Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun

MODIFIKASI PATI SAGU DENGAN TEKNIK
HEAT MOISTURE-TREATMENT (HMT) DAN
APLIKASINYA DALAM MEMPERBAIKI
KUALITAS BIHUN

DIAN HERAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Modifikasi Pati
Sagu dengan Teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam
Memperbaiki Kualitas Bihun” adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Agustus 2009

Dian Herawati
NIM F251060171

ABSTRACT
DIAN HERAWATI. Sago Starch Modification by Heat Moisture-Treatment
(HMT) and Its Application on Sago Bihon-Type Noodle Improvement.
Supervised by FERI KUSNANDAR and SUGIYONO.
The objectives of this research were: (1) to develop optimum conditions in
HMT (heat-moisture treatment) for sago starch in order to reach C type pasting
profile which was suitable for sago bihon-type noodle and (2) to study the effect
of HMT modified sago starch substitution on sago bihon-type noodle quality.
Sago starch was adjusted at 26-27% moisture content and exposed to heatmoisture treatment at 110oC for various times with
washing and without
washing. HMT modified sago starch was analyzed in term of pasting profile. The
modified starch with C type pasting profile was characterized and formulated into
bihon-type noodle production. HMT substituted bihon-type noodle was analyzed
in term of cooking loss, cooking time, texture by objective measurement and

sensory quality. Sago starch that HMT modified for 4 hours at washing condition
showed C type pasting profile. HMT modified starch with C type pasting profile
showed no viscosity breakdown indicating in heat stability during cooking.
Furthermore, HMT sago starch has larger granule size, higher gel strength, lower
degree of whiteness, lower syneresis and lower starch content than those of native
sago starch. The substitution of native sago starch with 50% HMT sago starch
improved the characteristics of sago bihon-type noodle quality, i.e. lower cooking
time, higher hardness and better sensory quality in term of hardness, chewiness,
stickiness and overall acceptability.
Keyword: heat-moisture treatment, sago starch, bihon-type noodle

RINGKASAN

DIAN HERAWATI. Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat MoistureTreatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun.
Dibimbing oleh FERI KUSNANDAR and SUGIYONO.

Pati sagu yang memiliki potensi sangat besar dapat digunakan sebagai
bahan baku pangan pokok alternatif seperti bihun sagu. Pati sagu alami yang
mempunyai profil gelatinisasi tipe A (puncak viskositas tinggi yang diikuti oleh
pengenceran yang cepat selama pemanasan) kurang sesuai sebagai bahan baku

bihun karena adonan yang dihasilkan sangat lengket sehingga antar untaiannya
sulit dipisahkan dan cenderung rapuh. Sagu alami yang akan digunakan sebagai
bahan baku bihun dapat ditingkatkan sifat fungsionalnya melalui modifikasi
dengan metode HMT (heat-moisture treatment). Penelitian ini bertujuan untuk :
(1) menentukan kombinasi waktu dan perlakuan pencucian pada modifikasi HMT
yang dapat menghasilkan pati sagu termodifikasi HMT yang mempunyai profil
gelatinisasi type C (profil gelatinisasi dengan viskositas puncak terbatas dan
viskositas yang stabil selama pemanasan) dan perbandingan karakteristik lain dari
pati termodifikasi tipe C tersebut dengan pati alaminya serta (2) menentukan
tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT yang dapat memperbaiki kualitas
fisik dan sensori bihun sagu
Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap yaitu: (1) penentuan kombinasi
waktu (4 jam, 8 jam dan 16 jam) dan perlakuan pencucian (dicuci dan tidak
dicuci) dalam modifikasi pati sagu dengan metode HMT dan (2) substitusi pati
sagu termodifikasi HMT terpilih pada formulasi bihun sagu. Penentuan kombinasi
waktu dan perlakukan pencucian terpilih dilakukan berdasarkan profil gelatinisasi
pati sagu termodifikasi HMT yang dianalisis dengan menggunakan instrumen
brabender amylograph. Pati termodifikasi terpilih yaitu yang mempunyai profil
gelatinisasi tipe C dikarakterisasi (bentuk dan ukuran granula dengan alat
mikroskop polarisasi, gel strength (dengan texture analyzer), sineresis, derajat

putih, swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel) kemudian
dibandingkan dengan pati alaminya. Pati sagu termodifikasi HMT terpilih
digunakan untuk mensubstitusi pati sagu alami untuk formulasi bihun masingmasing dengan perbandingan 0:100%, 25%:75% dan 50%:50% untuk pati sagu
termodifikasi HMT: pati sagu alami. Tingkat substitusi pati sagu termodifikasi
HMT terbaik ditentukan berdasarkan hasil analisis kehilangan padatan akibat
pemasakan (KPAP), texture profile analysis (TPA), dan uji organoleptik dengan
metode ranking hedonik (1= ranking terbaik sampai 3 = ranking terjelek)
berdasarkan parameter kekerasan, elastisitas, kelengketan dan kesukaan secara
keseluruhan dari 30 orang panelis.
Modifikasi pati sagu yang dilakukan dengan kombinasi perlakukan
pencucian (dicuci dan tidak dicuci) dan waktu yang berbeda menghasilkan pati
sagu dengan profil gelatinisasi yang berbeda dengan pati sagu alaminya.
Modifikasi HMT yang dilakukan selama 4 jam pada pati sagu yang dicuci terlebih
dahulu menghasilkan pati termodifikasi dengan viskositas pasta panas, suhu awal
gelatinisasi, viskositas pasta dingin dan viskositas setback tertinggi bila
dibandingkan perlakuan HMT lainnya. Sebaliknya, pati yang dimodifikasi pada

kondisi tersebut mempunyai nilai breakdown yang paling rendah yaitu mencapai
33 BU. Berdasarkan karakteristik gelatinisasi yang diperoleh dapat dikatakan
bahwa pati sagu termodifikasi HMT dengan perlakuan pencucian dan waktu 4 jam

memiliki karakteristik yang lebih mirip dengan karakteristik gelatinisasi tipe C.
Perubahan profil gelatinisasi pati sagu alami dari tipe A menjadi tipe C karena
proses modifikasi HMT menunjukkan bahwa modifikasi HMT mampu
meningkatkan resistensi pati sagu terhadap pemanasan dan pengadukan. Selain
mempunyai karakteristik gelatinisasi tipe C, pati termodifikasi terpilih
mempunyai kekuatan gel lebih tinggi, % sineresis yang lebih rendah, derajat
putih yang lebih rendah, swelling volume dan fraksi pati tidak membentuk gel
yang tidak berbeda serta kandungan pati, amilosa dan amilopektin yang lebih
rendah bila dibandingkan pati alaminya.
Substitusi pati sagu termodifikasi HMT dalam produksi bihun sagu dapat
meningkatkan kualitas bihun sagu. Berdasarkan pengujian secara fisik (waktu
pemasakan dan kekerasan) dan organoleptik, bihun sagu yang disubtitusi dengan
pati sagu termodifikasi HMT sebanyak 50% mempunyai kualitas yang lebih baik
bila dibandingkan dengan bihun yang disubstitusi pati termodifikasi HMT
sebanyak 25% maupun bihun sagu yang tidak disubstitusi pati sagu termodifikasi
HMT. Bihun sagu yang disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT sebanyak 50%
mempunyai waktu pemasakan paling singkat (4.5 menit), kekerasan tertinggi
(1481.25 gf) dan paling disukai bila dibandingkan dengan dengan bihun yang
disubstitusi pati termodifikasi HMT sebanyak 25% maupun bihun sagu yang tidak
disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT.

Kata kunci: heat-moisture treatment, pati sagu, bihun sagu

@Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

MODIFIKASI PATI SAGU DENGAN TEKNIK HEAT
MOISTURE-TREATMENT (HMT) DAN APLIKASINYA
DALAM MEMPERBAIKI KUALITAS BIHUN

DIAN HERAWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ridwan Thahir

Judul

Tesis

Nama
NIM

:

:

:

Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat MoistureTreatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki
Kualitas Bihun
Dian Herawati
F 251060171

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sugiyono, M.AppSc.
Anggota

Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc.
Ketua

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc.

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,
MS.

Tanggal Ujian : 22 Juni 2009

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyususunan karya ilmiah ini.
Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Modifikasi Pati Sagu dengan
Teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki
Kualitas Bihun.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Feri Kusnandar
MSc. dan Dr. Ir. Sugiyono M.AppSc


atas bimbingan, arahan dan dorongan

sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Semoga Allah SWT memberikan
balasan yang terbaik atas segala pengorbanan curahan waktu dan tenaga, serta
ilmu yang diberikan kepada penulis. Kepada Dr. Ridwan Thahir, penulis
mengucapkan terima kasih atas kesediaannya untuk menjadi dosen penguji.
Masukan yang Bapak berikan akan sangat berarti untuk perbaikan karya ilmiah
ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada tim BPPS IPB 2006
yang telah memberikan beasiswa selama studi dan penelitian di Pascasarjana IPB.
Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Tim KKP3T Departemen Pertanian
yang telah memberikan dana penelitian sehingga dapat memperlancar kegiatan
penelitian yang penulis lakukan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Rektor
IPB, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan (ITP) dan Kepala Bagian Kimia Pangan atas izin dan kesempatan untuk
menempuh pendidikan program Magister di Sekolah Pascasarjana IPB. Kepada
Ketua Program Studi serta semua staf pengajar program studi Ilmu Pangan IPB
penulis ucapkan banyak terima kasih atas ilmu yang diberikan. Kepada rekanrekan sejawat di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan terima kasih banyak

atas bantuan, dorongan dan pengertiannya selama penulis mengikuti pendidikan
program Magister.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua
Ayahanda Dudung Supyadi dan Ibunda Kusminingsih serta ibu mertua Ibunda
Juhriah yang selalu memberikan dorongan, semangat dan do’a restu yang tidak

ada hentinya. Kepada suami tercinta Dr. Jakaria dan anak-anak tersayang Hafidz
Azhar Jakaria dan Galuh Samia Zahra, penulis mengucapkan terima kasih banyak
atas kasih sayang, pengertian dan pengorbanan yang diberikan selama penulis
menjalani studi.
Kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Pangan Angkatan
2006 dan rekan-rekan seperjuangan di Laboratorium Pilot Plant Seafast Center,
penulis mengucapkan terima kasih banyak atas kerjasama dan kebersamaan yang
terjalin selama ini.

Kepada rekan-rekan teknisi di Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan dan Seafast Center, penulis mengucapkan terima kasih banyak
atas bantuan dan kerjasamanya yang tidak ternilai harganya.

Akhirnya penulis

berharap semoga karya kecil ini bermanfaat bagi penulis juga para pembaca
umumnya.

Bogor, Agustus 2009

Dian Herawati

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Januari 1975. Penulis
merupakan putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan ayah Dudung
Supyadi dan Ibu Kusminingsih.
Pada tahun 1993 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui
program USMI dan pada tahun 1994 penulis diterima di program studi Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian dan selesai pada tahun 1998. Pada tahun
2006 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi S2 dengan bantuan
beasiswa BPPS Dirjen Dikti, Depdiknas.
Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB dari tahun 2007.
Sebelumnya penulis bekerja sebagai asisten dosen pada institusi yang sama dari
tahun 2000 – 2007.

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................

Halaman
xi

DAFTAR TABEL ..............................................................................

xii

DAFTAR GAMBAR .........................................................................

xiii

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................

xiv

PENDAHULUAN ............................................................................

1

Latar Belakang ..........................................................................

1

Tujuan .......................................................................................

4

Manfaat ......................................................................................

5

Hipotesis .....................................................................................

5

TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................

6

Potensi dan Pemanfaatan Tanaman Sagu ..................................

6

Ekstraksi Pati Sagu ....................................................................

9

Karakteristik Pati Sagu Alami ………………………………...

15

Evaluasi Pati Sebagai Bahan Baku Bihun .................................

22

Modifikasi Pati dengan Metode HMT ......................................

26

Aplikasi pati termodifikasi HMT .............................................

32

BAHAN DAN METODE...................................................................

34

Bahan dan Alat Penelitian .........................................................

34

Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................

34

Metode Penelitian .....................................................................

34

Rancangan Percobaan dan Analisis Data ..................................

40

Prosedur Penelitian ...................................................................

41

HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................

52

Modifikasi Pati Sagu dengan Metode HMT .............................

52

Aplikasi Pati Termodifikasi HMT pada Bihun Sagu ................

73

SIMPULAN DAN SARAN ...............................................................

85

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................

87

LAMPIRAN .......................................................................................

92

xi

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Estimasi lahan sagu dunia ……………………………………..

6

2

Luas areal tanaman sagu dan produksi sagu di Indonesia .........

7

3

Persyaratan kandungan air, abu, serat kasar dan protein pati
sagu .............................................................................................

15

4

Komposisi kimia sagu asal Indonesia ........................................

16

5

Profil gelatinisasi pati sagu ........................................................

19

6

Persentase penggunaan pati sagu termodifikasi dalam
formulasi bihun sagu ..................................................................

38

7

Penetapan gula menurut Luff Schoorl ........................................

46

8

Kadar amilosa standar ................................................................

47

9

Profil gelatinisasi pati sagu alami dan termodifikasi HMT ........

58

10 Ukuran granula pati alami dan termodifikasi HMT ...................

70

11 Kekuatan gel dan sineresis pati sagu alami dan termodifikasi
HMT ...........................................................................................

70

12 Derajat putih pati sagu alami dan termodifikasi HMT ...............

72

13 Swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel ......

73

14 Kandungan pati, amilosa, amilopektin dan proporsi
amilosa:amilopektin ...................................................................

74

15 Intensitas warna bihun sagu ......................................................

77

16 Waktu rehidrasi, berat rehidrasi dan KPAP bihun sagu .............

80

17 Tekstur bihun sagu .....................................................................

83

18 Penilaian organoleptik bihun sagu .............................................

84

xii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Tanaman M. sagu dan M. sagu pada fase influorescence yang
siap dipanen ................................................................................

9

2

Empulur sagu ..............................................................................

10

3

Pemarutan empulur sagu ............................................................

11

4

Pemerasan parutan sagu (a) dan penampungan ekstrak pati
sagu (b) .......................................................................................

12

5

Pengemasan sagu basah .............................................................

13

6

Perendaman pati sagu (a) dan pencucian pati sagu (b) ..............

14

7

Pengeringan (a) dan pemasaran (b) pati sagu ………………….

14

8

Diagram alir tahapan penelitian .................................................

35

9

Modifikasi pati sagu dengan metode HMT (Collado et al 2001;
Purwani et al 2006) ....................................................................

37

10 Proses produksi bihun sagu yang disubstitusi pati sagu
termodifikasi ..............................................................................

38

11 Kurva Profil gelatinisasi pati: SAG (suhu awal gelatinisasi),
SPG (suhu puncak gelatinisasi), VP (viskositas puncak), VPP
(viskositas pasta panas), VB (viskositas breakdown), VPD
(viskositas pasta dingin) dan VB (viskositas set back) ..............

43

12 Kurva texture profile analysis (TPA) .........................................

49

13 Profil gelatinisasi pati sagu alami dan termodifikasi HMT ........

55

14 Grafik pola respon SAG pada kombinasi perlakuan pencucian
dan waktu yang berbeda .............................................................

59

15 Grafik pola respon VP pada kombinasi perlakuan pencucian
dan waktu yang berbeda .............................................................

61

16 Grafik pola respon VPP (a) dan VB (b) pada kombinasi
perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda ...........................

64

17 Grafik pola respon VPD (a) dan SB (b) pada kombinasi
perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda ...........................

66

18 Granula pati sagu yepha hungleu alami dan termodifikasi
HMT ...........................................................................................

69

19 Ekstrusi adonan bihun (a) 0 pati HMT dan (b) 50% pati HMT

76

20 Penyusunan untaian bihun (a) 0 pati HMT dan (b) 50% pati
HMT ...........................................................................................

76

21 Bihun sagu (a) 0% HMT, (b) 25% HMT dan (c) 50% HMT......

78

22 Hasil pemasakan bihun sagu (a) 0% HMT, (b) 25% HMT dan
(c) 50% HMT .............................................................................

79

xiii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Hasil analisis data pengaruh pencucian dan waktu modifikasi
HMT terhadap profil gelatinisasi pati sagu dengan metode
GLM dan uji lanjut Duncan pada program SAS ........................

92

2

Hasil analisis data uji beda pati alami dengan termodifikasi
HMT dengan uji t pada program excel ……………………......

98

3

Hasil analisis data pengaruh substitusi pati termodifikasi HMT
terhadap warna bihun sagu dengan menggunakan oneway
anova dan uji lanjut Duncan pada program SPSS ......................

102

4

Hasil analisis data pengaruh substitusi pati termodifikasi HMT
terhadap waktu rehidrasi, berat rehidrasi dan KPAP bihun sagu
dengan menggunakan oneway anova dan uji lanjut Duncan
pada program SPSS ....................................................................

104

5

Hasil analisis data pengaruh penambahan pati termodifikasi
HMT terhadap tekstur bihun sagu dengan menggunakan
oneway anova dan uji lanjut Duncan pada program SPSS ........

106

6

Data pengaruh penambahan pati sagu termodifikasi HMT
terhadap ranking hedonik bihun sagu .........................................

109

xiv

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Pati sagu yang diperoleh dari tanaman sagu (Metroxylon sp.) merupakan
salah satu bahan pangan pokok lokal yang banyak terdapat di Indonesia terutama
di wilayah Timur. Menurut Flach (1997), lahan sagu dari berbagai spesies yang
terdapat di Indonesia mencapai 1.4 juta hektar dari 2.5 juta hektar lahan sagu
dunia dan sekitar 1.2 juta hektar berada di Papua. Menurut Ditjen Bina Produksi
Pertanian (2003), produksi sagu di Papua mencapai 5.400.000 ton. Potensi sagu
Indonesia (terutama Papua) yang sangat besar tersebut dapat digunakan sarana
diversifikasi pangan pokok sumber karbohidrat berbahan baku lokal.
Sebagian masyarakat Papua masih menggunakan sagu sebagai bahan pangan
pokok dan mengolahnya menjadi berbagai pangan tradisional seperti sagu
lempeng, bagea, sinoli, kue kering dan sebagainya. Namun demikian, konsumsi
sagu sebagai makanan pokok terus mengalami penurunan kerena keberadaanya
mulai tergeser oleh beras.
Peningkatan konsumsi sagu dapat dilakukan melalui pengembangan produk
berbasis sagu yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat seperti bihun.
Untuk menghasilkan bihun sagu dengan kualitas yang baik diperlukan bahan baku
sagu dengan karakteristik yang sesuai untuk produksi bihun. Pati yang ideal untuk
bahan baku bihun adalah pati yang mempunyai ukuran granula kecil (Singh et al.
2002), kandungan amilosa tinggi, derajat pembengkakan dan kelarutan terbatas
serta kurva brabender tipe C (tidak memiliki puncak viskositas namun viskositas
cenderung tinggi dan tidak mengalami penurunan selama pemanasan dan
pengadukan) (Lii and Chang 1981). Pati dengan ukuran granula kecil dan
kandungan amilosa tinggi umumnya mempunyai profil gelatinisasi tipe C dan
mempunyai pembengkakan yang terbatas. Pati tersebut lebih tahan terhadap
pemanasan maupun pengadukan sehingga pada saat tergelatinisasi hanya
mengalami peningkatan viskositas yang terbatas sebagai konsekuensi dari
pembengkakan granula yang terbatas. Terbatasnya pembengkakan granula
mengakibatkan granula tidak mudah pecah dan amilosa tidak mudah keluar dari

granula. Apabila pati tersebut digunakan sebagai bahan baku bihun maka untaian
bihun yang dihasilkan tidak lengket dan pada saat dimasak mempunyai berat
rehidrasi terbatas serta hanya mengalami sedikit kehilangan padatan.
Pati sagu alami (termasuk pati sagu asal Papua) mempunyai beberapa
keterbatasan yang dapat mempengaruhi sifat fungsionalnya pada pembentukan
adonan serta teksur dan kualitas masak bihun yang dihasilkannya. Pati sagu
mempunyai karakteristik gelatinisasi tipe A yaitu mempunyai viskositas puncak
yang tinggi namun akan menurun dengan cepat selama pemanasan dan
pengadukan (Purwani et al. 2006; Wattanachant et al. 2003; Muhammad et al.
2000). Selain itu, pati sagu mempunyai ukuran granula yang besar (Yiu et al.
2008) serta indeks pembengkakan (swelling power) dan kelarutan (solubility)
yang tinggi (Wattanachant et al. 2003).
Menurut Purwani et al. (2006), bihun yang dihasilkan dari pati sagu alami
cenderung mempunyai kekompakan dan elastisitas yang rendah sehingga mudah
patah selama penanganan maupun rehidrasi (pemasakan kembali). Pada saat
dimasak, bihun mudah mengembang dan menyerap air dalam jumlah besar
sehingga berat rehidrasinya menjadi tinggi. Pengembangan yang terjadi pada
bihun yang direhidrasi disertai dengan pelepasan padatan terlarut sehingga susut
masak pada bihun dari pati alami menjadi besar. Selain itu, bihun dari pati sagu
alami cenderung lengket karena molekul amilosa sangat mudah keluar dari
granula selama proses gelatinisasi berlangsung.
Peningkatan sifat fungsional pati alami sebagai bahan baku bihun dapat
dilakukan melalui modifikasi fisik dengan metode heat-moisture treatment
(HMT). Metode HMT dilakukan dengan

cara memanaskan pati diatas suhu

gelatinisasi namun dengan kadar air terbatas sehingga pati tidak tergelatinisasi
tetapi hanya mengalami perubahan konformasi molekul yang disertai dengan
perubahan karakteristiknya (Collado and Corke 1999; Singh et al. 2005;
Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta and Varavinit 2007).
Metode HMT telah digunakan untuk meningkatkan kualitas bihun yang
dibuat dari pati ubi jalar (Collado et al. 2001) dan pati sagu (Purwani et al. 2006).
Purwani et al. (2006), melaporkan bahwa modifikasi HMT dapat menggeser
karakteristik pasta pati sagu dari tipe A menjadi tipe B. Pati dengan tipe B

2

mempunyai puncak viskositas yang tidak terlalu tinggi dan mengalami penurunan
yang tidak terlalu tajam selama pemanasan. Pergeseran ini berpengaruh pada
karakteristik bihun yang dihasilkan dari pati termodifikasi HMT yaitu adanya
peningkatan kualitas masak yang meliputi peningkatan kekompakan, peningkatan
elastisitas, penurunan susut masak dan penurunan berat rehidrasi.

Namun

demikian, untaian bihun yang keluar dari ekstruder sulit diatur dan dibentuk
sehingga untaian harus diatur satu per satu di atas rak-rak pengukusan untuk
memperoleh bentuk untaian yang baik. Kondisi proses tersebut sangat sulit
diaplikasikan pada skala yang lebih besar karena sangat tidak efisien dari segi
waktu dan biaya produksi. Selain itu, waktu pemasakan bihun mencapai 7
sampai 9 menit, jauh lebih lama jika dibandingkan dengan bihun komersial yang
pada umumnya hanya berkisar antara 3 – 4 menit (Purwani et al. 2006; Kruger et
al. 1996).
Kajian pengaruh berbagai faktor kondisi modifikasi HMT terhadap
karakteristik pati sagu perlu dilakukan untuk memperoleh pati sagu termodifikasi
yang lebih sesuai untuk produk bihun yaitu pati dengan tipe C. Perubahan yang
terjadi pada pati termodifikasi HMT dipengaruhi oleh kondisi modifikasi seperti
suhu (Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta and Varavinit 2007), kadar air
(Vermeylen et al. 2006; Adebowale et al. 2005; Lawal and Adebowale 2005), pH
(Collado and Corke 1999), waktu (Collado and Corke 1999), serta karakteristik
awal pati seperti proporsi amilosa(Collado and Corke 1999) dan tipe kristalisasi
pati (Gunaratne and Hoover 2002). Menurut Collado et al. (2001); Pukkahuta and
Varavinit (2007), suhu modifikasi yang dapat menghasilkan pati dengan
karakteristik gelatinisasi yang paling mendekati tipe C adalah 110oC. Sementara
itu, kondisi lain seperti waktu masih perlu dikaji mengingat pengaruhnya yang
berbeda tergantung kepada karakteristik pati yang dimodifikasi. Selain waktu,
modifikasi yang dilakukan terhadap pati sagu Papua perlu mempertimbangkan pH
sagu karena sagu Papua mempunyai pH rendah (berasam tinggi) yang
kemungkinan akan mempengaruhi proses modifikasi yang dilakukan. Oleh karena
itu, modifikasi pati sagu Papua dilakukan dengan kombinasi perlakukan waktu
dan pencucian. Pencucian yang dilakukan terhadap pati sagu Papua akan
melarutkan asam-asam organik yang terkandung didalamnya sehingga pH sagu

3

akan meningkat. Kombinasi perlakuan dipilih berdasarkan kombinasi yang dapat
menghasilkan pati sagu termodifikasi dengan profil gelatinisasi tipe C.
Pati sagu dengan karakteristik gelatinisasi tipe C yang dihasilkan dari
kondisi waktu dan perlakuan pencucian terpilih akan diaplikasikan untuk produk
bihun. Aplikasi pati sagu termodifikasi HMT pada formula bihun perlu
dioptimalkan mengingat adanya perubahan sifat fungsional pati yang telah
mengalami modifikasi HMT. Pati yang telah mengalami modifikasi HMT
mempunyai sifat yang cenderung short yaitu pati dengan kemampuan daya rekat
yang rendah (Collado et al. 2001). Pada tingkat tertentu, sifat kelengketan pati
diperlukan sebagai pengikat dan pembentuk adonan maupun untaian bihun. Pada
kondisi tersebut diperlukan proporsi yang tepat antara pati termodifikasi HMT dan
pati alami untuk menghasilkan produk bihun sagu dengan karakteristik yang baik
yaitu bersifat elastis tetapi tidak lengket. Selain itu, optimalisasi proporsi antara
pati sagu termodifikasi dan pati sagu alami diharapkan dapat menghasilkan
formula bihun dengan jumlah pati sagu termodifikasi yang sekecil mungkin
sehingga dapat meminimumkan penggunaan pati sagu termodifikasi.
Kenyataan tersebut menunjukkan perlunya dilakukan penelitian untuk
memperoleh pati sagu termodifikasi HMT yang sesuai untuk bihun dan pengaruh
aplikasinya terhadap kualitas bihun sagu. Informasi yang diperoleh diharapkan
dapat dijadikan dasar untuk melakukan pengembangan produksi pati sagu
termodifikasi HMT dan bihun yang dihasilkannya pada skala yang lebih besar.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menentukan waktu dan perlakuan pencucian dalam modifikasi HMT yang
dapat menghasilkan pati sagu termodifikasi dengan karakteristik
gelatinisasi tipe C serta perbandingan karakteristik lain dari pati
termodifikasi tipe C tersebut dengan pati alaminya
2. Menentukan tingkat substitusi pati sagu termodifikasi yang dapat
menghasilkan bihun sagu dengan kualitas yang baik

4

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Informasi kondisi (waktu dan pengaruh pencucian) modifikasi HMT yang
dapat menghasilkan pati sagu termodifikasi dengan karakteristik
gelatinisasi yang sesuai untuk produk bihun dapat digunakan sebagai dasar
untuk melakukan modifikasi pati sagu pada skala yang lebih besar dan
perubahan yang terjadi pada pati sagu termodifikasi HMT dapat digunakan
untuk memperkirakan potensi penggunaannya pada berbagai produk
pangan selain bihun sagu.
2. Informasi mengenai proporsi pati sagu termodifikasi HMT dan pati alami
yang dapat menghasilkan bihun dengan kualitas yang lebih baik dapat
digunakan sebagai dasar untuk produksi bihun sagu pada skala yang lebih
besar.

Hipotesis

Penelitian ini dilakukan berdasarkan hipotesis sebagai berikut:
1. Kombinasi waktu dan pengaruh pencucian menghasilkan pati sagu
termodifikasi HMT dengan karakteristik gelatinisasi yang berbeda dan
mempunyai ketahanan pemanasan dan pengadukan yang lebih tinggi bila
dibanding pati alaminya.
2. Perbedaan proporsi antara pati termodifikasi HMT dan pati alami
memberikan peningkatan terhadap karakteristik fisik maupun sensori
bihun sagu.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Potensi dan Pemanfaatan Tanaman Sagu

Tanaman sagu (Metroxylon) merupakan tanaman tahunan yang tumbuh
dengan baik pada daerah hutan hujan tropis, dataran rendah dengan kelembaban
yang tinggi dan di rawa-rawa. Habitat utama tanaman sagu berada pada 17o
lintang selatan dan 15 – 16o lintang utara yaitu dari Thailand, semenanjung
Malaysia dan Indonesia sampai Micronesia, Fiji serta Samoa (McClatchey et al.
2006). Di Indonesia, tanaman sagu hampir menyebar di seluruh wilayah, namun
potensi terbesarnya berada di wilayah Timur seperti

seperti Maluku, Sulawesi

dan Papua (Falch 1997; McClatchey et al. 2006) dan beberapa wilayah di bagian
barat seperti Riau. Menurut Flach (1997), estimasi lahan sagu di Indonesia
mencapai 1.4 juta hektar dari 2.5 juta hektar lahan sagu dunia dan 1.2 juta hektar
berada di Papua. Estimasi tanaman sagu dunia disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Estimasi lahan sagu dunia
Negara Penghasil Sagu

Hutan Sagu Liar (ha)

Kebun Sagu (ha)

Papua Nugini
Indonesia
Papua
Maluku
Sulawesi
Kalimantan
Sumatera
Riau
Mentawai
Malaysia
Thailand
Philipina
Lain-lain
Dunia
Sumber: Flach (1997)

1 000 000
1 250 000
1 200 000
50 000

20 000
148 000
14 000
10 000
30 000
20 000
30 000
10 000
10 000
45 000
3 000
3 000
5 000
224 000

2 250 000

Menurut Ditjen Bina Produksi Pertanian (2003), luas areal tanaman sagu di
Papua mencapai 600 000 hektar. Area tersebut lebih luas bila dibandingkan
dengan daerah lain di Indonesia.

Selanjutnya menurut Ditjen Bina Produksi

Pertanian (2003), Papua merupakan penghasil sagu yang paling tinggi di
Indonesia dimana produksinya mencapai 5 400 000 ton. Luas areal tanaman sagu
dan produksinya disajikan pada Tabel 2.

Selain mampu menghasilkan sagu

dengan jumlah produksi yang paling banyak, sagu asal Papua memiliki
produktivitas yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan daerah lain di
Indonesia. Apabila dibuat rasio, produksi sagu Papua mencapai 9.0 ton/ha.
Sementara itu, produksi sagu dari daerah lain hanya mencapai kurang dari 5
ton/ha kecuali Kalimantan Selatan yang produksinya mencapai 9.2 ton/ha. Namun
demikian, luas area sagu di Kalimantan Selatan yang hanya mencapai 564 ha
hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 0.09%

pada produksi sagu

Indonesia.

Tabel 2 Luas areal tanaman sagu dan produksi sagu di Indonesia
Provinsi

Area (Ha)

Riau
51250
Jambi
29
Jawa Barat
292
Kalimantan Barat
1576
Kalimantan Selatan
564
Sulawesi Utara
23400
Sulawesi Tengah
7985
Sulawesi Tenggara
13706
Sulawesi Selatan
7917
Maluku
94989
Papua
600000
Sumber: Ditjen Bina Produksi Pertanian (2003)

Produksi (ton)
192752
12
1203
7659
5212
113485
689
38246
37479
78862
5400000

Selain mempunyai areal paling luas, beberapa studi menunjukkan bahwa
sagu Papua memiliki keragaman genetik yang paling tinggi. Menurut Widjono et
al. (2000), terdapat 60 jenis sagu yang tumbuh di daerah Jayapura, Manokwari,
Merauke, dan Sorong. Miyazaki (2004) mengelompokkan 21 jenis sagu asal
Papua menjadi dua tipe yaitu sagu berduri (Metroxylon rumphii Mart) dan sagu
tidak berduri (Metroxylon sagu Rottb). Berbagai jenis sagu tersebut mempunyai
morfologi, produktivitas dan karakteristik tepung berbeda yang dapat digunakan
sebagai seleksi dan identifikasi sagu yang potensial untuk bahan baku produk
pangan.

7

Menurut Tenda et al. (2005), terdapat lima jenis sagu Papua yang
mempunyai produktivitas tepung paling tinggi yaitu empat jenis sagu dari spesies
Metroxylon sagu Rottb (Osokule Hongleu (9.8 ton/ha/thn), hapholo hongsai (8.4
ton/ha/thn), hapholo hongleu (8 ton/ha/thn) dan yepha hongleu (7.90 ton/ha/thn))
sagu para dari spesies Metroxylon rumphii Mart dengan produktivitas

serta

tepung mencapai 8.3 ton/ha/thn.
Limbongan (2007) mengungkapkan bahwa sagu yepha merupakan sagu
yang umum dimanfaatkan oleh masyarakat lokal. Sagu jenis ini mampu tumbuh
hingga 25 meter sehingga masyarakat menyebutnya dengan yepha (yang berarti
tumbuh ke langit). Sagu yepha mempunyai morfologi tertentu untuk
membedakannya dengan spesies Metroxylon sagu Rottb lainnnya. Sagu yepha
mempunyai ciri kanopi berbentuk V dan berbatang lurus serta berdaun lurus
dengan ukuran medium. Sagu yepha yang ditemukan di Papua terdiri atas dua
jenis yaitu yepha hongsay yang mempunyai tepung berwana pink dan yepha
hongleu yang mempunyai tepung berwarna putih (Limbongan 2007).
Selain tergantung pada spesies, produktivitas M. sagu juga tergantung pada
tempat tumbuh, kondisi lingkungan dan waktu pemanenen. Setiap pohon sagu
yang tumbuh di beberapa daerah di Papua dapat menghasilkan pati basah berkisar
antara 85-1000 kg pati basah per batang (Kertopermono et al. 1983; Maturbongs
1984; PPUS UNIPA 2004; Maturbongs dan Rumbino 1996; Maturbongs et al.
2001).
Untuk memperoleh produktivitas (per unit waktu dan unit area) pati yang
optimum, sebaiknya pemanenan sagu yang ditanam secara semi kultivasi
dilakukan pada saat inisiasi pembentukan bunga. Masyarakat tradisional biasanya
menandai waktu pemanenan pada saat batang sagu sudah tidak mengkilap
(influorescence) (Flach, 1997). Selain itu, daun tanaman sagu yang siap
dipanen biasanya terlihat mengering dan berwarna coklat.

Tanaman sagu

disajikan pada Gambar 1.
Masyarakat Papua menggunakan pati sagu sebagai bahan baku pangan
pokok dan kudapan. Untuk tujuan pangan pokok, masyarakat Papua mengolah
pati sagu menjadi bubur dan papeda basah atau mengolahnya menjadi produk
berbentuk kering seperti papeda kering dan sagu lempeng (Flach, 1997;

8

Limbongan,

2007).

Sebagian

masyarakat

pendatang

di

Papua

telah

mengembangkan berbagai kue kering dari pati sagu yang dapat dijadikan pangan
kudapan (Limbongan, 2007). Pengolahan pati sagu menjadi berbagai produk
pangan tersebut dimungkinkan oleh karakteristik tertentu yang dimiliki pati sagu.

Gambar 1 Tanaman M. sagu dan M. sagu pada fase influorescence yang siap
dipanen
Ekstraksi Pati Sagu

Pati pada tanaman sagu terdapat di bagian empulur sagu yang dilindungi
oleh kulit kayu yang cukup keras. Untuk mengeluarkan pati dari batang
dibutuhkan proses ekstraksi yang dapat dilakukan secara tadisional maupun
modern. Ekstraksi secara tradisional dilakukan melalui tahapan penebangan
batang sagu, pemotongan batang secara melintang dengan ukuran tertentu,
pemisahan empulur sagu dari bagian batang sagu yang keras dengan penohokan,
penghancuran empulur sagu dengan pemarutan atau penggilingan bersama air,
pemisahan pati sagu dan komponen lain dari bubur pati sagu dengan cara
pengendapan, pemisahan endapan pati dan bagian lain yang larut air, serta
pengeringan endapan (pati sagu) dengan menggunakan sinar matahari (Flach,
1997; Istalaksana dan Maturbongs, 2007).

9

Ekstraksi sagu yepha hungleu di Kecamatan Sentani, Jayapura dilakukan di
hutan sagu di sekitar danau Sentani, Jayapura. Sanitasi air maupun peralatan yang
digunakan untuk ekstraksi sagu di Sentani sangat jauh dari persyaratan untuk
industri pangan sehingga peluang adanya kontaminasi mikroba selama proses
ekstraksi berlangsung sangat tinggi. Air yang digunakan sebagai pengekstrak sagu
merupakan air dari sungai yang bermuara ke danau Sentani. Sementara, peralatan
yang digunakan sangat sederhana dan sebagian besar diperoleh dari sekitar hutan
sagu seperti pelepah sagu untuk proses pemerasan parutan sagu dan penampung
sementara yang berupa bak dari alas plastik.
Proses ekstraksi sagu di sekitar danau Sentani dilakukan melalui beberapa
tahapan antara lain: penebangan, pengupasan batang sagu, pemotongan batang
sagu, pemarutan, pencampuran dengan air, penyaringan, pengendapan pati, dan
pemisahan endapan pati. Masyarakat Sentani memilih pohon sagu yang layak
panen (tebang) berdasarkan perubahan morfologi batang maupun pohon sagu.
Sagu yang mempunyai batang tidak mengkilap lagi dan sebagian besar daunnya
mengering mempunyai rendemen pati yang tinggi sehingga layak untuk ditebang.
Penebangan batang sagu di sekitar danau Sentani, Jayapura sudah dilakukan
secara semiotomatis dengan menggunakan gergaji mesin. Batang sagu dikupas
untuk memisahkan empulur dari kulit batang sagu yang keras. Empulur sagu
dipotong melintang dengan panjang sekitar 60 cm untuk memudahkan
pengangkutan (Gambar 2).

Gambar 2 Empulur sagu

10

Potongan empulur dibelah secara memanjang untuk memudahkan proses
pemarutan. Pemarutan empulur sagu dilakukan dengan cara mengumpankan
empulur pada pemarut mesin (Gambar 3). Hasil parutan empulur sagu merupakan
bagian sagu yang siap untuk diekstrak patinya. Proses penghancuran empulur
sagu yang dilakukan masyarakat di Sentani sudah sedikit lebih maju mengingat
proses penghancuran yang biasa dilakukan oleh masyarakat di beberapa daerah
lain di Papua adalah adalah dengan penohokan.

Gambar 3 Pemarutan empulur sagu

Ekstraksi pati sagu dilakukan dengan cara meletakkan parutan empulur sagu
diatas pelepah sagu dan ditambah dengan sejumlah air. Parutan sagu diperas
bersama dengan air secara berulang sehingga air yang keluar sudah relatif jernih
yang berarti ekstraksi pati sudah dapat dikatakan optimal (Gambar 4a). Cairan
yang keluar saat pemerasan dilewatkan pada kain saring sehingga akan terpisah

11

dari ampasnya. Ekstrak sagu yang berupa cairan diendapkan di dalam bak
penampung dan dibiarkan mengendap kurang-lebih selama 1 jam (Gambar 4b).
Bak tersebut digunakan secara terus menerus tanpa adanya proses pembersihan
sebelum ataupun setelah pemakaian berlangsung. Di sekitar bak pengendapan
terlihat sisa-sisa endapan pati sagu yang sangat mungkin berasal dari pengendapan
sebelumnya karena dari sisa-sisa endapan tersebut tercium bau asam. Selama
pengendapan berlangsung, pati yang mempunyai berat jenis lebih besar dari air
akan mengendap di bagian bawah bak pengendapan. Sementara itu, air beserta
komponen yang terlarut didalamnya akan berada di atas bak penampung. Bahan
kantung plastik yang digunakan sebagai bak penampung akan memudahkan
pemisahan cairan yang berada di atas lapisan pati sagu. Cairan yang berada
bagain atas bak pengendapan dikeluarkan melalui saluran pengeluaran yang
berada di sisi-sisi bak pengendapan. Cairan ini berwarna keruh kemerahan yang
menandakan bahwa sagu Papua yang diekstrak kemungkinan mengandung
pigmen alami. Endapan patai sagu yang berada di bagian dasar bak pengendapan
ditampung ke dalam karung dan siap dipasarkan oleh petani sagu (Gambar 5).
Sementara itu, ampas sagu yang tertinggal di atas pelepah sagu dikumpulkan oleh
masyarakat sekitar tempat pemarutan sagu. Ampas tersebut selanjutnya digunakan
sebagai pakan ternak babi atau media budidaya sayuran.

(a)

(b)

Gambar 4 Pemerasan parutan sagu (a) dan penampungan ekstrak pati sagu (b)

12

Gambar 5 Pengemasan pati sagu basah

Pati sagu basah yang diperoleh dari petani di keringkan oleh pengrajin pati
sagu kering untuk mendapatkan sagu kering yang dapat disimpan dan lebih
mudah digunakan. Pengolahan pati sagu kering di Sentani dilakukan melalui
serangkaian proses seperti perendaman, pencucian, penjemuran, pengayakan dan
pengemasan.
Perendaman pati sagu dilakukan dengan tujuan untuk melarutkan kotoran
yang masih terdapat pada sagu basah yang dibeli dari petani (Gambar 6a). Selain
itu perendaman juga dapat mengurangi intensitas warna sagu dari yang tadinya
kecoklatan menjadi lebih putih. Perendaman ini berlangsung selama 1 malam
sehingga mengundang aktivitas bakteri pembentuk asam. Pemisahan kotoran dan
air perendam sagu dilakukan dengan cara menuangkan air perendam yang
terdapat di bagian atas bak penampung (6b).
Sagu yang telah bersih dijemur di bawah sinar matahari dengan cara
dihamparkan pada rak-rak penjemuran (7a). Sagu yang telah kering diayak,
kemudian dikemas dan dipasarkan di daerah Sentani dan sekitarnya (7b).
Sagu kering asal Sentani berbau asam yang menandakan adanya kandungan
asam organik pada sagu. Keberadaan asam ini kemungkinan karena fermentasi
yang terjadi selama proses produksi pati mengingat peralatan yang digunakan

13

untuk ekstraksi masih sangat sederhana dan kurang saniter. Kemungkinan
mikroba pembentuk asam (terutama bakteri asam laktat) akan mudah
mengkontaminasi ekstrak pati selama proses berlangsung. Ekstrak pati yang
diperoleh tidak langsung dikeringkan melainkan dijual dalam kondisi basah. Hal
ini juga akan menyebabkan terjadinya fermentasi pembentukan asam selama
penyimpanan sebelum pengeringan. Selain itu, pengeringan yang dilakukan oleh
industri rumah tangga di Sentani Papua juga memungkinkan terjadinya fermentasi
karena pati sagu basah yang diperoleh dari petani direndam selama satu malam
sebelum dikeringkan.

(a)

(b)

Gambar 6 Perendaman pati sagu (a) dan pencucian pati sagu (b)

(a)

(b)

Gambar 7 Pengeringan pati sagu (a) dan pati sagu dalam kemasan (b)

14

Karakteristik Pati Sagu Alami

Komposisi Kimia
Pati sagu yang ada di Indonesia umumnya merupakan pati sagu yang
diperoleh melalui ekstraksi secara tradisional. Proses ekstraksi yang dilakukan
secara tradisioanl hanya memisahkan pati berdasarkan kemampuannya untuk
tersuspensi di dalam air kemudian mengendapkan pati yang tersuspensi.
Komponen lain seperti protein, lemak kemungkinan, mineral (abu) dan serat
masih akan terbawa walaupun dalam jumlah yang sedikit.
Keberadaan komponen selain pati pada pati sagu menjadi bagian dari
penentu mutu pati sagu. Proses ekstraksi patu sagu yang dilakukan dengan baik
akan menghasilkan pati dengan tingkat kemurnian yang tinggi yaitu dengan
kandungan abu, lemak, protein dan serat kasar yang serendah mungkin. Sementara
itu, proses pengeringan yang dilakukan dengan baik akan menghasilkan pati
kering dengan kandungan air yang rendah sehingga aman untuk penyimpanan.
Persyaratan kandungan air, abu, serat kasar dan protein pati sagu disajikan pada
Tabel 3.

Tabel 3 Persyaratan kandungan air, abu, serat kasar dan protein pati sagu
Komponen
Satuan
Persyaratan
Air
% (b/b)
Maks 13*
Abu
% (b/b)
Maks 0.5*
Serat kasar
% (b/b)
Maks 0.1*
Protein
%
Maks 0.3**
*Sumber: SNI 01-3729-1995.
**Sumber: Widaningrum et al. (2005).
Komposisi pati sagu asal Indonesia disajikan pada Tabel 4. Adanya variasi
metode dan peralatan yang digunakan dalam ekstraksi pati sagu di setiap daerah di
Indonesia menyebabkan adanya perbedaan tingkat kemurnian pati sagu yang
diperoleh.
Pengeringan yang dilakukan dengan sinar matahari pada produksi sagu
secara tradisional menyebabkan sulitnya menentukan waktu pengeringan optimum
karena seringkali intensitas cahaya matahari sangat tergantung pada musim.
Waktu pengeringan pati sagu sagu dengan sinar matahari seringkali ditentukan

15

berdasarkan pengalaman dan pengamatan pati sagu secara visual sehingga kadar
air tepung yang diperoleh tidak konsisten dan sulit memenuhi standar SNI.
Kandungan air pada pati sagu asal Indonesia > 13% (Tabel 4).
Karbohidrat merupakan komponen terbesar dalam pati sagu (Tabel 4).
Proses ekstraksi yang dilakukan pada produksi pati sagu memungkinkan
karbohidrat yang terekstrak adalah dalam bentuk pati. Karbohidrat lain seperti
gula dan serat kemungkinan akan terbawa dalam jumlah yang sangat sedikit.
Kandungan serat kasar pada pati asal Sukabumi dan Maluku hanya mencapai
kurang dari 1% (Tabel 4).
Seperti halnya pati dari sumber lainnya, molekul pati sagu disusun oleh dua
kelompok makromolekul, yaitu amilosa dan amilopektin. Baik amilosa maupun
amilopektin disusun oleh monomer α-D-glukosa yang berikatan satu sama lain
melalui ikatan glikosidik (Whistler and Daniel 1985). Perbedaan antara kedua
makromolekul tersebut terletak pada pembentukan percabangan pada struktur
liniernya, ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul dan pengaturan posisi pada
granula pati.

Tabel 4 Komposisi kimia sagu asal Indonesia
Asal sagu
Komponen
Air (% bb)
Abu (% bb)
Lemak
(% bb)
Protein
(% bb)
Karbohidrat
(% bb)
Serat kasar
(% bb)
Amilosa
(% bb)
Amilopektin
(% bb)

Maluku*
Sukabumi*

Hapholo
hungleu

Papua**
Hapholo
Yepha
hongsay
hungleu

Yepha
hongsay

Tuni

Molat

Ihur

14.01
0.18

16.90
0.27

17.03
0.22

17.03
0.26

0.09

0.06

0.03

0.12

0.11

0.07

0.08

0.12

0.37

0.30

0.48

0.25

0.06

0.12

0.19

0.25

85.29

82.55

82.37

82.27

81.19

86.12

80.01

83.31

0.62

0.87

0.63

0.70

34.15

33.82

34.96

30.90

28.63

29.52

27.55

27.34

52.79

52.83

56.54

55.43

*Sumber: Purwani et al. (2006).
**Sumber: Tenda et al. (2005).
Amilosa disusun oleh molekul glukosa yang dihubungkan satu sama lain
dengan ikatan α-1,4-glikosidik sehingga membentuk polimer yang linear dengan
sedikit cabang yang dibentuk oleh ikatan α-1,6-glikosidik (25g/100g) berperan penting dalam pembentukan jaringan gel dan struktur bihun

17

yang diproduksi dari beras (Juliano & Sakurai, 1985). Pembentukan gel yang baik
dapat mengurangi tingkat kelengketan produk yang dihasilkan. Pati sagu asal
Indonesia mengandung amilosa dengan kisaran yang lebih tinggi yaitu mencapai
27 - 35% (Tabel 3). Oleh karena itu pati sagu asal Indonesia berpotensi untuk
dijadikan bahan baku bihun.

Karakteristik Fisik
a. Karakteristik Gelatinisasi
Komposisi kimia pati sagu akan sangat berpengaruh pada karakteristik fisik
pati sagu yang pada akhirnya sangat berpengaruh pada sifat fungsionalnya ketika
diaplikasikan untuk produk pangan. Salah satu karakteristik fisik pati yang
penting dievaluasi adalah karakteristik gelatinisasi pati. Ketika pati dipanaskan
bersama air, pati akan mengalami peningkatan kelarutan yang diikuti dengan
peningkatan viskositas yang kemudian akan membentuk pasta. Fenomena