Bahan tindak pidana adat

SANKSI KESEPEKANG DAN RELEVANSI SAAT INI PADA MASYARAKAT BALI
Agama Hindu adalah agama tertua dengan ajaran yang lengkap, tidak hanya menyangkut
hubungan secara horisontal ke atas dengan Tuhan, namun juga horizontal ke bawah kepada
lingkungan dan vertikal terhadap sesama manusia oleh sebab itulah simbol dari agama Hindu disebut
Swastika. Sebuah filosofi yang menuntut adanya keseimbangan lahir batin. Dalam ajarannya hal
tersebut dikonsepsikan dalam sebuah konsep yang menjadi inspirasi bagi dunia yaitu Tri Hita Karana,
tiga penyebab keharmonisan yang terdiri atas parahyangan, pawongan, dan palemahan. Hubungan
manusia dengan Tuhan dijadikan sebagai sebuah keyakinan yang tidak bisa dibantah, hubungan
antarmanusia dimana manusia merupakan makhluk sosial, dan hubungan manusia dengan
lingkungan.
Manusia adalah makhluk yang memiliki masalah kompleks baik menyangkut masalah dalam diri
sendiri maupun masalah dengan orang lain. Masalah terjadi karena adanya perbedaan antara
harapan yang diinginkan dengan kenyataan yang ada, masalah yang berlarut-larut akan dapat
mengganggu keharmonisan manusia itu sendiri jika tidak ada sebuah aturan yang mengikat ataupun
membatasi seseorang, selain itu hakekat manusia sebagai makhluk sosial mengharuskannya untuk
menjaga sikap, saling menghargai satu sama lainnya demi terwujudnya lingkungan yang kondusif.
Aturan tersebut adalah hukum, karena menyangkut masyarakat itu sendiri maka hukumpun dibuat
oleh masyarakat yang bersangkutan melalui sebuah musyawarah yang dibuat secara tertulis maupun
tidak tertulis. Mengingat pula manusia hidup berkelompok tentu hukum kelompok yang satu tidak
sama dengan kelompok yang lain, hukum sebuah kelompok secara tidak langsung menyiratkan
kebiasaan atau budaya dari kelompok tersebut.

Hukum-hukum kelompok tersebutlah yang menjadi dasar adanya hukum adat. Sebagai sebuah
hukum yang berfungsi sebagai pengendalian sosial kemasyarakatan tentu hukum memiliki sebuah
persyaratan lain yaitu adanya sanksi terhadap pelanggaran hukum. Tetapi bagaimanapun juga perlu
ada penyeragaman hukum karena meskipun berupa daerah-daerah tetaplah berada dalam satu
wilayah negara yaitu Indonesia. Cikal bakal penyeragaman hukum yang dilakukan adalah dengan
diproklamirkannya ideologi bangsa, Pancasila yang menyangkut ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Kelima hal tersebut diambil dari hukum-hukum
kedaerahan yang kemudian disatupadukan dan dijadikan sebagai sumber hukum tertinggi di
Indonesia. Dengan adanya sumber hukum tertinggi ini berarti hukum-hukum yang akan dibuat baru
tidak boleh bertentangan dengan Pancasila karena apabila bertentangan dianggap sebagai sebuah
pengingkaran atas hukum itu sendiri.

Meskipun Pancasila telah menjadi ideologi bukan berarti hukum yang telah mendarah daging di
masyarakat tertentu yang lebih dikenal dengan hukum adat dihapuskan. Hukum adat dan Pancasila
berjalan beriringan tanpa ada niat dari pihak manapun untuk saling menjatuhkan. Hukum adat
memang memiliki sanksi yang lebih menakutkan dibandingkan dengan hukum nasional. Karena
hukum adat dikaitkan dengan agama maka sanksinyapun berkaitan dengan sanksi norma agama juga
norma sosial yang dapat memengaruhi psikis bagi pelanggaran.
Tidak jarang masyarakat harus berpikir dua kali lipat jika ingin melanggar sebuah aturan yang telah
berlaku karena dampak dari sanksi tersebut dapat merembet kepada sanak keluarganya. Berbeda


dengan hukum nasional yang hanya memberikan sanksi dari norma hukum berupa kurungan penjara
yang bisa saja tidak memberikan efek jera bagi pelaku pelanggaran. Di Bali sendiri sanksi yang paling
ditakuti dari hukum adat adalah kesepekang. Sebuah hukuman yang membuat psikis pelakunya
terguncang karena harus terisolir dari masyarakat. Mengingat bahwa hukum nasional kita yang
merupakan penjabaran Pancasila dimana Pancasila menjunjung tinggi nilai kemanusiaan bukankah
sanksi kesepekang dapat dikatakan sebagai pengingkaran terhadap nilai kemanusiaan karena ketika
seseorang kesepekang ia tidak lagi memenuhi kewajiban apalagi mendapat haknya sebagai warga
masyarakat. Lalu bagaimanakah hukum nasional melihat sanksi adat ini? Jika memang tidak sesuai
dengan jiwa Pancasila masih perlukah sanksi seperti itu dipertahankan dengan mengatasnamakan
pengendalian sosial?
A. Hukum Adat dan Sanksi Adat

http://v-images2.antarafoto.com/gpr/1209448753/pajang-spanduk-53.jpgBeberapa ahli telah
merumuskan pengertian hukum adat diantaranya adalah Sopemo yang menjelaskan bahwa hukum
adat merupakan hukum tidak tertulis di dalam peraturan legislative meskipun tidak dibuat oleh yang
berwajib tetapi ditaati oleh rakyat berdasarkan keyakinan peraturan tersebut memiliki kekuatan
hukum.
Sukanto mengartikan hukum adat sebagai kompleks adat yang kebanyakan tidak dikitabkan dan
bersifat paksaan sehingga memiliki akibat hukum( Wirawan, 1990). Sedangkan Purwati (1990) dalam

artikelnya yang berjudul “Pelaksanaan Sanksi Adat dalam Hukum Pidana Nasional” menyebutkan
hukum adat adalah hukum nonstatutair yang sebagian hukum kebiasaan dan sebagian kecil sesuai
dengan keyakinan atau agama. Mahendra(2003) menyebutkan bahwa hukum adat adalah hukum
tidak tertulis selain hukum tertulis yang berlaku di wilayah hukum masyarakat di berbagai daerah.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas dapatlah sekiranya penulis merumuskan kembali
bahwa hukum adat merupakan hukum yang berlaku pada daerah tertentu baik tertulis maupun tidak
tertulis yang diyakini memiliki kekuatan yang mengikat semua orang yang ada di daerah tersebut.
Peraturan adat-istiadat dapat dikatakan sebagai sebuah hukum bila tindakan-tindakan yang oleh
masyarakat dikatakan patut dan mengikat masyarakat serta dirasa perlu untuk dipertahankan maka
peraturan tersebut bersifat hukum. Ter Haar mengatakan bahwa hukum adat dapat berlaku bilamana
dilakukan penetapan-penetapan oleh petugas hukum seperti kepala adat melalui rapat adat(Surojo
Wignjodipuro, 1967:19 dalam Wirawan, 1990: 31). Lebih jauh dijelaskan oleh Vollenhoven hukum
adat ada cukup dengan segala tingkah laku di dalam masyarakat yang menurut perasaan keadilan
rakyat harus ditaati semua orang.
Salah satu unsur dalam hukum adalah adanya sanksi atas pelanggran hukum. Sanksi merupakan
hukuman yang mengenai setiap subjek yang melanggar hukum. Sanksi adat sendiri merupakan reaksi
adat atau koreksi adat yang bertujuan mengembalikan ketidakseimbangan termasuk yang bersifat
magis akibat terjadinya pelanggaran(Dherana dan I Made Widnyana, 1975:13 dalam Purwati,
1990:4). Secara garis besar sanksi dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis antara lain:
1. Penggantian kerugian immaterial

2. Pembayaran uang adat

3. Berselamatan atau ritual upacara dalam rangka membersihkan masyarakat dari kotoran gaib
4. Penuntutan permohonan maaf
5. Hukuman fisik sampai pada hukuman mati
6. Pengasingan dari masyarakat (Soepomo, 1963:94-95 dalam Purwati, 1990)
Laporan Penelitian Identifikasi dan Inventarisasi Delik Adat Bali menyebutkan sanksi pelanggaran
terhadap hukum adat di Bali sebagai berikut:
1. Keharusan untuk meaksanakan upacara
2. Pemberin denda
3. Larangan memasuki tempat suci
4. Cemoohan, pengucilan,kesepekang
5. Pemecatan sebagai persekutuan warga
6. Pidana
B. Sanksi Kesepekang

Kesepekang merupakan sebuah sanksi adat yang dikenal dalam masyarakat hukum Bali yaitu berupa
penyisihan atau pengeluaran seseorang dari kegiatan-kegiatan persekutuan yang bersifat sementara.
Pengeluaran dari kegiatan-kegiatan persekutuan yang dimaksudkan adalah tidak diajak berbicara dan
tidak mendapat pelayanan dalam kegiatan-kegiatan adat yang dilakukan. Sanksi tersebut dijatuhkan

bilamana orangyang bersangkutan tidak mengindahkan peringatan-peringatan yang diberikan
sebelumnya. Karena dampak dari sanksi ini sangat berat oleh karenanya sanksi ini diambil sebagai
jalan akhir yang ditempuh(Tisnawati,2002)
Sanksi kesepekang tersebut bisa diakhiri dan kembali ke persekutuannya bila yang bersangkutan mau
meminta maaf, membayar denda atas pelanggaran yang dilakukan . Kembali yang harus dipahami
adalah pemberian sanksi tersebut diberikan bagi mereka yang tidak mengindahkan reaksi-reaksi dari
masyarakat sebelumnya yang tujuannya adalah pengembalian keseimbangan antara dunia lahir
bathin baik antara manusia dengan Tuhan, antarmanusia dan dengan lingkungan.
Diharapkan setelah pemberian sanksi ini masyarakat menjadi sadar akan kesalahan yang dilakukan
dan mengingat betapa pentingnya keharmonisan dalam hidup bermasyarakat. Sanksi ini masih bisa
diterapkan selama masyarakat masih menghendaki adanya sanksi tersebut dan hanya diterapkan
sebagai pilihan terakhir, sanksi ini perlu dilaksanakan karena dengan sanksi tersebut wibawa hukum
adat terangkat.
http://rosodaras.files.wordpress.com/2011/07/rumah-pengasingan-soekarno.jpg
C. Hukum Nasional

Hukum nasional adalah segala hukum yang berlaku secara nasional dan sah di seluruh tanah air, yang
dibuat oleh badan-badan atau lembaga nasional yang berwenang. Jadi, hukum ataupun undangundang yang dibuat oleh lembaga penjajahan di zaman colonial bukan hukum
nasiona(Surpha,2005:57). Pembinaan hukum nasional dan hukum agama (adat) mendapat perhatian
yang sama akan tetapi terdapat penegasan bahwasanya hukum yang dibangun serta dibina

dinamakan Hukum Nasional. Dengan istilah hukum nasional bukan berarti hukum agama
diabaikan.Karena bagaimanapun hukum-hukum yang dibuat tidak terlepas dari kebiasaan-kebiasaan
masyarakat yang notabenanya adalah masyarakat yang beragama dan beradat.
Jika ditelaah lebih jauh, hukum nasional telah mengenal sanksi kasepekang. Sanksi tersebut pernah
dialami oleh beberapa tokoh nasional pada masa perang kemerdekaan seperti Soekarno yang
dibuang oleh bangsa penjajah karena menentang aturan yang diberlakukan. Pada masa orde baru
sanksi kasepekang juga pernah diberlakukan untuk orang-orang yang terlibat dalam gerakan 30S/PKI.
Perkembangan hak asasi manusia yang mulai menggeliat membuat hukum nasional tidak hanya
sekadar membuat sanksi, tetapi dalam sanksi tersebut juga memperhatikan hak-hak asasi manusia.
Hal tersebut dapat dilihat dengan tidak adanya sanksi pengucilan atau pembuangan ke daerah
terpencil tanpa ada bantuan dari pihak manapun. Penjara yang dijadikan tempat penampungan bagi
tersangka dapat dikatakan sebagai tempat pembuangan mereka dari lingkungan masyarakat tetapi
disana mereka mendapat pelatihan keterampilan untuk bekal setelah keluar dari penjara. Para
tersangka pelanggaran masih mendapat hak dan kewajiban mereka di dalam penjara seperti makan
minum dan beribadah. Berbeda dengan sanksi adat kesepekang yang di Bali, bagi mereka yang
terkena sanksi tidak mendapat perlakuan seperti tersangaka kasus hukum nasional bahkan lebih
parah karena mereka dilarang beribadah di pura-pura yang berada di kawasan desa tempat tinggal
mereka, dan dilarang tinggal di rumah sehingga mereka tinggal di dalam tegalan atau kebun dengan
hanya beratapkan terpal.
D. Simpulan

1. Perkembangan hak asasi membuat hukum nasional tidak memberikan ruang sanksi kasepekang
untuk ada di dalamnya. Para pelanggar hukum nasional akan dijatuhkan hukuman sesuai ketentuan
yang berlaku dan dikarantina di dalam penjara.
2. Sanksi kasepekang masih sangat diperlukan guna mengatur masyarakat untuk tetap hidup
harmonis, selain itu dengan tetap dijaganya sanksi tersebut untuk menunjukkan bahwa hukum adat
memiliki wibawa.