IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI INSTITUSI KEPOLISIAN

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejadian kekerasan terhadap perempuan berdasarkan wilayah terjadinya kekerasan terbagi dalam tiga ranah, pertama privat yaitu kekerasan yang terjadi dalam ruang lingkup rumah tangga, dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan pembatasan ruang gerak. Kedua, publik yaitu kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat, bentuknya perkosaan, eksploitasi melalui media, pelecehan seksual, dan perdagangan perempuan dan anak perempuan. Ketiga, negara, yaitu kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh aparat negara secara sistimatis atau melalui kebijakan-kebijakan yang baik secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

Data yang dihimpun oleh Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR, menunjukkan angka kejadian kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Lampung dari tahun 2008 sampai 2009 sebanyak 252 kasus pada tahun 2008 dan sebanyak 233 kasus pada tahun 2009 seperti yang tercantum pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Kejadian Kekerasan terhadap Perempuan berdasarkan Wilayah Kejadian di Propinsi Lampung Tahun 2008-2009


(2)

Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase

Lampung Selatan 36 14,3 25 10,7

Bandar Lampung 103 40,9 114 49

Tanggamus 19 7,5 11 4,7

Lampung Barat 7 2,8 5 2,1

Lampung Utara 7 2,8 4 1,7

Tulang Bawang 9 3,6 6 2,6

Lampung Timur 19 7,5 18 7,7

Way Kanan 6 2,4 2 0,9

Lampung Tengah 22 8,7 26 11,2

Metro 3 1,2 4 1,7

Lainnya* (Tj. Pinang, Banten, Bangka)

5 2,0 18 7,7

Tidak Diketahui 7 2,8 - -

Jumlah 252 100 233 100

*) Tempat kejadian, proses hukum di Propinsi Lampung

Sumber: Catatan Akhir Tahun Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR; Tahun 2008 dan 2009.

Bila dirinci berdasarkan bentuk-bentuk kekerasan,di ranah privat pada tahun 2008 tercatat 31 kasus perkosaan, 42 kasus penganiayaan,1 kasus pelecehan seksual,dan 4 kasus pembunuhan.Di ranah publik tercatat 144 kasus perkosaan,10 kasus pelecehan seksual, 11 kasus pelarian anak perempuan,5 kasus perdagangan anak perempuan, dan 3 kasus p ada masa pacaran.Kasus serangan seksual tahun 2008


(3)

sebanyak 191 kasus, berarti dalam satu bulan terjadi 15 kasus serangan seksual. Dengan kata lain, setiap dua hari sekali terjadi kasus serangan seksual. Sedangkan, pada tahun 2009 terdiri dari 233 kasus, bila dirinci di ranah privat tercatat kekerasan seksual (perkosaan, incest, pelecehan seksual) ada 29 kasus terdiri dari 11 kasus perkosaan, 16 kasus incest, dan 2 kasus pelecehan seksual. Kekerasan fisik 43 kasus, 2 di antaranya meninggal dunia. Kekerasan ekonomi 6 kasus. Di ranah publik kekerasan seksual (perkosaan, pelecehan, perdagangan) ada 148 kasus, terdiri dari 113 kasus perkosaan, 15 kasus pelecehan seksual, 20 kasus perdagangan perempuan. Kekerasan fisik meliputi 2 kasus penganiayaan, 3 kasus pada masa pacaran, 2 kasus pelarian, seperti yang termuat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2. Bentuk dan Jenis Tindak Kekerasan terhadap Perempuan Pada Sektor Privat (Rumah Tangga) di Propinsi Lampung Tahun 2008

Bentuk dan Jenis Kekerasan Frekuensi Persentase

Privat

* Seksual

Perkosaan 13 3.8

Incest 10 2.9

Pelecehan Seksual 1 0.3

* Fisik

Penganiayaan 54 15.8

* Psikis 15 4.4

* Ekonomi 7 2.1

Jumlah 100 29.3

Sumber : Laporan tahunan LAP Damar, 2008.

Sementara itu, data kasus kekerasan perempuan yang muncul di media massa dikategorikan sebagai kasus publik, nampak lebih besar dari pada kasus yang tercover daripada sektor privat atau rumah tangga, ialah sebagai berikut:


(4)

Tabel 3. Bentuk dan Jenis Tindak Kekerasan terhadap Perempuan Pada Sektor Publik di Propinsi Lampung Tahun 2008

Publik Frekuensi Persentase

* Seksual

Perkosaan*) 127 37.2

Pelecehan Seksual 25 7.3

Pelarian perempuan 5 1.5

Pencabulan 34 10.0

Perdagangan Perempuan 7 2.1

* Fisik

Kekerasan masa pacaran (pembakaran,

penganiayaan) 5 1.5

Perdagangan Perempuan 38 11.1

Jumlah 241 70.7

Total 341 100.0

Sumber data: 2 surat kabar harian lokal, 1 tabloid mingguan, kasus yang masuk ke

Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR melalui Drop In, Outreach Hotline Service, dan kasus yang di dapat dari basis mitra jaringan

Perempuan tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan perlawanan atas perlakuan kekerasan yang menimpanya sebagai respon dari kekerasan yang dilakukan terhadap dirinya yang membahayakan keselamatan jiwa, nyawa, kehormatan, dan atau harta benda. Tentunya kita semua sepakat bahwa kekerasan terhadap perempuan perlu mendapat perhatian yang serius tidak hanya dari relawan pembela hak-hak perempuan tetapi juga dari semua pihak termasuk pemerintah, karena bilamana tidak maka semakin banyak perempuan mendapat perlakuan yang tidak adil dan bahkan tidak dihormati hak-haknya sebagai manusia. Bentuk-bentuk kekerasan yang diterimanya berupa tindakan pemukulan, penganiayaan, pelecehan seksual, perkosaan dan bentuk kekerasan lainnya yang membahayakan nyawanya bahkan ada pula yang sampai menemuai ajalnya.


(5)

Perempuan yang mengalami tindak kekerasan, tentunya, mengadukan kasusnya ke Aparta Penegak Hukum. Namun, kadangkala yang dialami perempuan dalam mengadukan kasusnya di Aparat Penegak Hukum seringkali menjadikan korban tidak terbantu melainkan menjadikan korban berikutnya sebagai akibat perlakuan atau penanganan yang sering dilakukan oleh penyidik. Oleh karena itu, untuk kasus kekerasan terhadap perempuan memerlukan penanganan yang khusus dan berbeda dengan kasus kejahatan lainnya. Untuk menyikapi hal ini, dibuatlah Perangkat Undang-undang Khusus, yakni Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang disahkan pada 14 September 2004.

Perspektif undang-undang baru ini luas sekali, mencakup tiga prinsip yang tidak ada dalam undang-undang sebelumnya, yaitu (a) perlindungan dan penegakan hak asasi manusia, (b) kesetaraan dan keadilan jender, dan (c) relasi sosial yang imbang dan perlindungan atas korban. Namun demikian, hal-hal yang baik dalam undang-undang ini tidak begitu berkonsekuensi logis dengan penerapannya dalam

perkara kekerasan dalam rumah tangga. Kendati ada juga niat baik dari para penegak hukum untuk menggunakan undang-undang ini dalam penanganan kasus-kasus PKDRT.

Adanya banyak perbedaan persepsi antar penegak hukum yang mengakibatkan penerapan undang-undang ini terhambat. Di samping, payung kebijakan di bawah undang-undang, seperti peraturan pelaksanaan dan alokasi anggaran yang masih jauh dari memadai sehingga mempersulit penanganan yang sesuai dengan yang dimandatkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004. Selain itu, kendala budaya masih sangat besar bagi para perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga sehingga banyak perkara ditarik kembali setelah mulai diproses


(6)

polisi. Akibatnya, persentasenya perkara yang sampai ke persidangan sangat kecil dibandingkan dengan jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat.

Implementasi pasal-pasal tersebut sangat diperlukan mengingat tindakan kekerasan, penelantaran, maupun penyiksaan pada perempuan dan anak perempuan dapat menimbulkan dampak terhadap kesehatan fisik maupun kesehatan psikologis/mental pada mereka. Penganiayaan secara fisik atau penelantaran dapat menyebabkan kegagalan dalam keberlangsungan hidup manusia. Dampak psikologis atau kesehatan mental dari tindak kekerasan, penelantaran maupun penyiksaan pada perempuan dan anak perempuan, dapat dilihat dari tingkahlaku mereka yang menunjukkan ketidakwajaran seperti penarikan diri, ketakutan, atau menunjukkan tingkah laku agresif dengan emosi

yang labil. Mereka juga sering menunjukkan gejala depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, adanya gangguan tidur, dan phobia. Kelak mereka bisa tumbuh menjadi penganiaya, bersifat keras, dan terlibat dalam penggunaan zat adiktif.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, masalah yang ingin diperoleh jawaban dari penelitian ini, sebagai berikut:

1. Bagaimana pengetahuan dan pemahaman tentang keberadaan UU PKDRT? 2. Apa kendala dalam implementasi UU PKDRT di Institusi Kepolisian?

C. Tujuan Penelitian


(7)

1 Memetakan pengetahuan masyarakat tentang UU PKDRT sebagai instrumen hukum Negara untuk perlindungan terutama korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).

2 Memetakan kendala-kendala Implementasi UU PKDRT di Institusi Kepolisian.

D. Manfaat Penelitian

Upaya penelitian implementasi UU PKDRT diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara teoritik, penelitian ini diharapkan memberikan penjelasan yang komprehensif

mengenai pelbagai hal antara lain, faktor-faktor pendukung dan penghambat implementasi UU PKDRT yang dilakukan oleh Polisi.

2. Secara praktik, penelitian ini diharapkan menjadi bahan referensi dalam implementasi UU PKDRT, khususnya UU PKDRT.


(8)

I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kekerasan

Secara umum kekerasan identik dengan pengerusakan dan menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Namun jika kita pilah kedalam jenis kekerasan itu sendiri, nampaknya kita akan menjumpai kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pada pasal 5 - 9, UU tersebut menyebutkan ada 4 kategori kekerasan. Pertama ialah kekerasan fisik, jenis kekerasan ini merupakan perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, luka berat. Sedangkan kedua, Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Ketiga, Kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Dan keempat, Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, tanpa memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

Semuanya ini dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang pantas atau perbuatan yang melewati batas yang diizinkan. Seorang dokter gigi yang mencabut gigi pasiennya, walaupun menimbulkan rasa sakit pada si penderita, tidak dapat dikatakan menganiaya, karena perbuatan dokter itu mempunyai maksud yang baik, yakni mengobati si sakit. seorang bapak yang mengajar anaknya yang nakal dengan cara memukuli pantatnya, walaupun menimbulkan rasa sakit pada anak tersebut, tidak dapat dikatakan menganiaya, karena perbuatannya mempunyai maksud yang baik, yakni mencegah agar anaknya tidak nakal. Walaupun demikian,


(9)

apabila kedua perbuatan itu melewati batas – batas yang diizinkan, umpamanya dokter gigi mencabut gigi pasiennya tanpa memakai obat pematirasa, atau seorang bapak mengajar anaknya dengan cara mamukuli dengan sepotong besi, dapat dianggap sebagai penganiayaan.

Penganiayaan ini dinamakan “penganiayaan biasa”.yang bersalah diancam hukuman lebih berat, apabila perbuatan ini mengakibatkan luka berat atau matinya si korban. Apabila luka berat direncanakan sejak semula, maka perbuatan itu dikenakan pasal 354 (penganiayaan berat). Dan apabila kematian tersebut memang direncanakan sejak semula, maka perbuatan itu dikenakan pasal 338 (pembunuhan biasa). Sedang seorang pengemudi mobil yang kurang hati – hatinya menubruk seseorang hingga mati, dikenakan pasal 359 (menyebabkan seseorang mati karena kekhilafan). Percobaan penganiayaan biasa (pasal 351) dan penganiayaan ringan (pasal 352) tidak dihukum. Akan tetapi percobaan penganiayaan tersebut dalam pasal 353, 354, dan 355 dihukum.

B. Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam Iingkup rumah tangga.


(10)

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, pasal 2 ayat 1 ialah a. suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dari pihak suami atau istri atau hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).

C. Teori Kekerasan Budaya

Teori kekerasan cultural menjelaskan kekerasan kepada istri sebagaimana penjelasan teori feminis. Teori kekerasan budaya menyatakan bahwa basic dari berbagai pola kekerasan. Seperti kekerasan terhadap istri, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, dan kekerasan terhadap anggota keluarga lainnya. Sebagai contoh, masyarakat dapat menerima penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan konflik pada tingkat personal, nasional, dan internasional, sepertinya penggunaan kekerasan sama artinya dengan memenuhi harapan seseorang (Viano, 1992).

Teori ini menyatakan bahwa secara budaya mengizinkan kekerasan dalam sebuah masyarakat yang sah, mengilhami, dan menguatkan pemakaian kekerasan dalam keluarga (McCall & Shields, 1986) Dengan kata lain, sejak kekerasan nampak pada bagian luar dunia kita seperti bersepakat seiring dengan permasalahan yang mungkin timbul, seseorang mungkin menggunakan kekerasan dirumahnya yang berarti juga setuju bahwa keluarga tersebut sedang bermasalah. Misalnya, seorang suami membentak atau memukul istrinya untuk mengatasi masalah, hal tersebut justru meningkat di dalam rumah, sama halnya dengan penggunaan kekerasan dijalanan, tempat kita bekerja, atau di televise (contohnya, Melrose place) dan di


(11)

film-film (Sleeping with the Enemy). Straus (1980) mengatakan bahwa di masyarakat, setidaknya beberapa hal yang mutlak disetujui dan didukung untuk menggunakan kekerasan pada bagian dimana para suami berhadapan dengan istri-istrinya; dia mengistilahkan: “Lembaga pernikahan

seperti mengizinkan pemukulan.” Contoh kedua, Russell (1984) mengatakan bahwa setidaknya

media dan hukum telah, permisif dan mendorong kekerasan seksual kepada para istri.

Kesimpulannya, teori kekerasan cultural, dalam beberapa tingkat kekerasan di masyarakat secara esensi mempertunjukan secara sah untuk mengakhiri masalah. Hasilnya, para suami menggunakan kekerasan dengan mengartikan masalah dapat segera selesai. Sebagaimana menyelesaikan konflik yang timbul dengan para istri

mereka. Oleh karena itu, menghentikan kekerasan terhadap istri akan merestrukturisasi penggunaan kekerasan dalam masyarakat.

D. Teori Peranan Seksual

Sama halnya dengan teori budaya kekerasan, sex-role theory sangat mirip dengan teori feminis. Sangat sederhana, sex-role theory berargumen bahwa sosialisasi sex-role mengenai perempuan ialah menjadi istri yang baik. (Walker, 1979). Dengan kata lain, menyosialisasikan sex-role secara tradisional telah berakibat bahwa perempuan akan menjadi korban dan laki-laki sebagai pelaku kekerasannya. Kaum laki-laki diajarkan bahwa mereka harus terlihat kuat dan mengkontrol sepanjang waktu, serta menafkahkan keluarganya. Disisi lain, perempuan diajarkan untuk pasif, menyerah pada control laki-laki. Serta menjadi satu-satunya yang bertanggungjawab


(12)

untuk memelihara pernikahan mereka, dengan menanggung tugas rumah tangga dan bertanggungjawab merawat seluruh anaknya.

Dengan sia-sia, sosialisasi seksual pada masa kanak-kanak mendorong kekerasan kepada perempuan. Hal ini tampak terlihat dari catatan tertulis seksual yang secara tradisional tentang laki-laki dan perempuan di masyarakat. Anak laki-laki diajarkan sebagai pihak yang menyerang dalam berhubungan, sementara perempuan diajarkan untuk bersikap patuh. Selain itu, juga diajarkan bahwa mereka berusaha memberikan raganya dan dayatarik seksualnya kepada laki-laki. Bagi setiap laki-laki dan perempuan, sex-role ialah hubungan yang terjadi antara aggressor dan si korban.

Secara keseluruhan, dalam sex-role theory menggambarkan sebuah penjelasan yang cukup tepat tentang kekerasan kepada perempuan/istri. Peran antara laki-laki dan perempuan menempatkan laki-laki sebagai pelaku kekerasan dan perempuan ialah korbannya. Oleh karena itu, hentikan kekerasan terhadap perempuan/istri akan menghantarkan pada restrukturisasi peran kaum laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Sebagaimana mestinya, restrukturisasi mengenai peran tersebut merupakan sebuah proses sosialisasi.

E. Gambaran Singkat UU PKDRT

Berdasarkan hasil Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 14 September 2004, telah disahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, yang diharapkan dapat menjadi payung perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan. Berikut adalah poin-poin penting yang diatur dalam Undang Undang ini.


(13)

1. Pengertian Kekerasan dan Lingkup Rumah Tangga

Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).

Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal 2 ayat 1): a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).

2. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga Bentuk-bentuk KDRT adalah (Pasal 5) :

a. Kekerasan fisik; Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6).

b. Kekerasan psikis; Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7).

c. Kekerasan seksual; Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak


(14)

disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. Pemaksaan hubungan

seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

d. Penelantaran rumah tangga; Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).

3. Hak-hak korban

Berdasarkan UU ini, korban berhak mendapatkan (pasal 10): Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

a. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

b. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

c. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan


(15)

Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari (pasal 39):

a. Tenaga kesehatan; b. Pekerja sosial;

c. Relawan pendamping; dan/atau d. Pembimbing rohani.

4. Ketentuan Pidana dan Pembuktian tindak kekerasan dalam UU PKDRT

Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 – pasal 53. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tindak kekerasan yang dilakukan. Dalam proses pengesahan UU ini, bab mengenai ketentuan pidana sempat dipermasalahkan karena tidak menentukan batas hukuman minimal, melainkan hanya mengatur batas hukuman maksimal. Sehingga dikhawatirkan seorang pelaku dapat hanya dikenai hukuman percobaan saja.

Meskipun demikian, ada dua pasal yang mengatur mengenai hukuman minimal dan maksimal yakni pasal 47 dan pasal 48. Kedua pasal tersebut mengatur mengenai kekerasan seksual.

Pasal 47: “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya

melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau

denda paling sedikit Rp 12.000.000 atau denda paling banyak Rp 300.000.000”

Pasal 48: “Dalam hal perbuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban

mendapatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus


(16)

atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp

25.000.000 dan denda paling banyak Rp 500.000.000”

Dalam UU ini dikatakan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (pasal 55). Alat bukti yang sah lainnya itu adalah:

a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;


(17)

I. METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan unsur penelitian yang bertujuan untuk memberikan arahan dalam proses penelitian, di antaranya menerangkan tentang dimana dan bagaimana penelitian ini akan dilakukan, perangkat-perangkat yang digunakan dalam proses penelitian, dan berhubungan dengan teknik pengolahan dan analisis data. Dengan kata lain, metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian sehingga metodologi dipengaruhi atau berdasarkan perspektif teoritis itu sendiri ialah suatu kerangka penjelasan atau intervensi yang memungkinkan peneliti memahami data dan menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa dan situasi lain. Untuk memaparkan hal tersebut penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Sementara, angka statistik hanya sebagai pelengkap untuk mendeskripsikan kondisi atau keadaan tertentu sehingga dapat membantu menjelaskan persoalan.

Bagi Mohammad Nazir, metode deskripsi adalah metode penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian sehingga metode ini berkehendak mengadakan akumulasi data dasar semata. Cara-cara yang dilakukan pada dasarnya tetap bertujuan membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat. Analisis-analisis kemudian dilakukan dengan cara-cara interpretatif dan kritis terhadap fakta yang ditemukan. Metode penelitian ini seperti dikatakan Mohammad Nazir dapat digunakan untuk meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu sistem kondisi, suatu pemikiran ataupun peristiwa pada masa sekarang. Pada saat yang sama, metode ini juga dapat mencakup hanya beberapa kasus bilamana fenomena yang dipelajari kompleks dan dimanifestasikan dalam organisasi atau lingkungan masyarakat yang luas.


(18)

B. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hal ini dikarenakan dengan pendekatan kualitatif, sikap dan pandangan subjektif informan bisa digali lebih maksimal. Di samping itu, penelitian ini ingin menempatkan informan tidak hanya sebagai objek penelitian tetapi juga mengusahakan adanya pembangunan kesadaran yang berpihak pada perempuan dan ditujukan untuk upaya transformasi atau perubahan ke arah yang lebih baik bagi institusi yang melakukan pelayanan, pendampingan, dan penanganan perempuan korban kekerasan.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Bandar Lampung. Lokasi penelitian di kantor

Polisi yang ada lembaga/ruang Penanganan Perempuan dan Anak, dalam halini ada di Polda Lampung dan Poltabes Bandar Lampung

D. Populasi dan Sampel

Dalam penelitian ini,populasi yang diambil ialah Staf Bagian Penanganan Perempuan dan Anak,di Polda Lampung dan Poltabes Bandar Lampung.

Dikarenakan Jumlah Staf terbatas maka semua staf akan dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini.

E. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan 2 (dua) metode pengumpulan data, yakni diskusi kelompok terarah (focus group discussion) dan dokumentasi. Tahapan proses pengumpulan data diawali dengan diskusi kelompok terarah dengan tujuan untuk menggali dan mengidentifikasi berbagai persoalan yang terjadi dalam penerapan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 oleh para pihak yang terkait


(19)

dalam penyelesaian kasus dan pelayanan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Akan diukur pemahaman dan kemampuan mereka akan promosi, perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia, lebih khusus lagi hak perempuan korban kekerasan, dan untuk memperoleh faktor-faktor kendala dan pendukung implementasi UU PKDRT dan rumusan model strategi kampanye atau sosialisasi UU PKDRT. Metode pengumpulan data melalui dokumentasi untuk memperoleh gambaran kejadian kekerasan dalam rumah tangga dan upaya penyelesaian kasus di lokasi penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah multy various method.

F. Teknik Pengelolaan Data

Pengolahan data dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: a. Pembuatan transkripsi data;

b. Reduksi data;

c. Klasifikasi/Kategorisasi data; d. Display/Penyajian data.

G. Analisis Data

Setelah data kualitatif terkumpul sesuai dengan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab masalah penelitian, langkah berikutnya yaitu melakukan analisis data. Analisis data kualitatif untuk memahami bentuk-bentuk pelayanan, pendampingan, dan penanganan kasus-kasus PKDRT, kendala dan pendukung implementasi UU PKDRT, dan strategi sosialisasi PKDRT sebagai bagian dari promosi hak perempuan korban yang mengadukan kasusnya dalam kaitan


(20)

dengan penegakan hak asasi perempuan melalui tahapan generatif coding (open coding), axial coding, selective coding, dan descriptive coding. Sedangkan, informasi yang diperoleh dengan kuesioner akan dianalisis dengan menginterpretasikan atau menyimpulkan informasi yang telah diringkas dan disajikan dalam bentuk tabel (baik tabel tunggal maupun tabel silang). Model analisis untuk data kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah model interaktif yang telah dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992) dengan langkah sebagai berikut:

Gambar 1. Komponen Analisis Data Model Interaktif Pengumpulan

Data

Penyajian Data

Reduksi


(21)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan tindak kekerasan dalam rumah tangga, tetapi perlakukan kasar maupun penelantaran rumah tangga masih saja terjadi. Berdasarkan permasalahan menyangkut tentang implementasi UU PKDRT yang tertuang dalam UU No. 23 tahun 2004, yang mengupayakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

A. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pengetahuan masyarakat tentang UU PKDRT sebagai instrumen hukum Negara untuk perlindungan terutama korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Dan Memetakan kendala-kendala Implementasi UU PKDRT di Institusi Kepolisian. Metode penelitian yang digunakan adalah Deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dengan diskusi kelompok terarah dan dokumentasi.

B. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa masih banyak sekali hal-hal yang kurang kontekstual dengan pemahaman masyarakat terhadap undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga masih kurang memahami hal ini terlihat dengan masih banyaknya kasus kekerasan yang bermunculan dimasyarakat. Dan kendalannya adalah lemahnya sanksi hukum yang diberikan kepada pelaku.


(22)

1

Dalam kenyataan praktek dilapangan, banyak sekali hal-hal yang kurang kontekstual dengan yang menjadi semangat UU PKDT juga beberapa kekurangan yang tidak mampu dijelaskan dengan rinci tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, beberapa hal yang didapat ialah sebagai berikut:

1. Alokasi dana APBD untuk program-program KDRT dapat menutupi kekurangan fasilitas di Rumah sakit, RPK, dinas/instansi.

2. Pendidikan & Pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dan kecakapan teknis tentang penanganan KDRT, terutama di Rumah Sakit & RPK.

3. Membuat Standar Pelayanan Minimum (SPM) bagi korban KDRT.

4. Adanya kerjasama dalam menangani KDRT dengan rumah sakit jiwa, khususnya tenaga psikolog & keterangan berupa visum et repertum psichiatricum.

5. Adanya mekanisme kerjasama yang melibatkan Pengadilan Agama, khususnya korban KDRT yang berstatus suami-istri.

6. Revisi UU PKDRT, terutama pada ketentuan pidana & standar, pembuktian dari kekerasan psikis.

7. Media sosialisasi yang dilakukan Pemda dan mitra kerja (LSM, RKP) belum efektif. Sasaran sosialisasi belum meluas, tidak dilakukan secara kontinue, dan pilihan metode terbatas.

8. Pemberian bantuan ekonomi kepada korban KDRT, tidak menyentuh kebutuhan dan keterampilan korban sehingga program bantuan tersebut tidak berkelanjutan.

9. Koordinasi antarinstansi/lembaga belum berjalan dengan baik, terutama pada pemdampingan korban.


(23)

2

B. Saran-saran

UU PKDRT secara konseptual terlihat ideal dalam menekan angka kekerasan dalam rumah tangga, namun dalam implementasinya justru terbuka peluang terjadinya mispersepsi antara para aktor yang menanganinya sehingga perlu diperjelas kembali beberapa pasal yang kurang rinci dalam menjelaskan definisi-definisi tindak kekerasan dalam rumah tangga maupun penanganan korbannya. Oleh karena itu, perlu upaya bersama yang harus dilakukan oleh lembaga/instansi yang memiliki fokus dalam penanganan tindak kekerasan dalam rumah tangga, ialah sebagai berikut:

1. Pendidikan hukum kepada masyarakat terutama mengenai penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

2. Sosialisasi UU PKDRT dan program daerah tidak sebatas pada institusi pemerintah & lembaga formal tetapi kepada masyarakat lebih luas. Disamping itu, bentuk dan media sosialisasi menyesuaikan dengan kelompok sasaran. 3. Legislasi DPRD mengenai perda tentang penanganan KDRT & alokasi APBD

bagi penanganan korban KDRT.

4. Adanya revisi undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tang selama ini masih kurang tegas.


(24)

(25)

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI INSTITUSI

KEPOLISIAN

Oleh

AYUNDA NURUL HERWIKA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosiologi

Jurusan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG


(26)

(27)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Implementasi UU PKDRT

Sepanjang tahun 2006, pemerintah daerah melalui unit kerja/dinas masing-masing menjalankan program yang berkaitan dengan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Namun, dalam bahasa program kegiatan-kegiatan tersebut tidak secara langsung ditujukan kepada persoalan korban KDRT. Secara lebih spesifik, Dinas Pemberdayaan Perempuan (PP) Propinsi Lampung merupakan ujung tombak koordinasi antar lintas sektoral, sekaligus pembiayaannya. Seperti dalam penyediaan peralatan medis dan obat untuk menutupi pelayanan medis di UPT PKTK RSU Abdul Moeloek. Program lainnya seperti sosialisasi tingkat propinsi yang melibatkan lintas sektoral serta Ruang Penanganan Khusus (RPK) yang sudah ada ditingkat Polres dan Poltabes. Salah satu programnya ialah membuat shelter/rumah aman yang telah berdiri di Polres Lampung Selatan.

Demikian pula dengan Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinkesos) Propinsi Lampung, proses pendampingan perempuan korban tindak pidana kekerasan hingga kini masih dilakukan, bahkan Dinkesos sudah memiliki data korban menurut by name and by address (berdasarkan nama dan alamat).

Kita juga peroleh data tersebut dari polres-polres artinya banyak data yang kita dapat, dari tahun2003 hingga 2006 tercatat sudah tertangani 225 orang korban tindak kekerasan seksual yang permasalahannya itu variatif. Dengan data kami yang sudah by name by address itu kami harapkan data kami itu jadi data kesepakatan kita untuk bergerak.”


(28)

Dinkesos Prop. LampungBegitu pula Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan Kota Bandar Lampung, selain sosialisasi tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan sampai tingkat kelurahan dan kecamatan.

1. Pengetahuan dan Pemahaman Pegawai Rumah Sakit mengenai a. keberadaan UU PKDRT

Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Propinsi yang mempunyai visi sebagai kota perdagangan dan industri. Sebagai ibu kota Propinsi, maka sudah sewajarnya bila Kota Bandar Lampung menjadi orientasi semua masyarakat dari kota/kabupaten seluruh propinsi Lampung untuk memperoleh pelayanan publik yang lebih baik, pekerjaan, serta berbagai tujuan lain. Oleh karena itu, Kota Bandar Lampung menghadapi berbagai persoalan yang cukup kompleks, khususnya soal pemberdayaan perempuan.

Namun tidak semua faham dan memiliki pengetahun yang cukup untuk menjawab substansi UU PKDRT, bahkan sebagian besar dari instansi pemerintah daerah dan rumah sakit belum pernah membaca UU PKDRT serta sebagian lainnya sudah pernah membaca namun belum memahami tujuan dari UU PKDRT tersebut.

Kalau KDRT itu dilakukan oleh keluiarga terdekat. Hal-hal yang menyangkut kekerasan

didalam rumah tangga. Tetapi kalau dilihat sekarang ini sudah sangat banyak terjadi.” RSU

Abdoel Moeloek.

Kemudian mengenai hak-hak korban yang dijamin oleh pemerintah sebagai penyelenggara upaya perlindungan dan pemulihan korban tindak kekerasan semua informan sepakat bahwa pemerintah daerah harus memiliki perhatian lebih besar terutama pada program-program yang telah dan saat ini berjalan. Pola kerjasama yang dibangun pemerintah daerah dalam mengimplementasikan hak-hak korban membutuhkan kerjasama lintas sektoral yang melibatkan tenaga medis, pendamping korban, aparat penegak hukum, pembimbing rohani, bahkan psikolog.


(29)

Pada prakteknya di Kota Bandar Lampung telah memberikan pelayanan medis dan pendampingan korban oleh LSM LAP DAMAR. Pendelegasian tugas tersebut berdasarkan konsentrasi kerja masing-masing lembaga tanpa mengurangi peran kerjasama tersebut. RSU Abdul Moeloek misalkan sudah memiliki ruang khusus bagi perempuan korban kekerasan, yakni di Unit Pelayanan Terpadu Perempuan Korban Tindak Kekerasan (UPT PKTK). Pada UPT tersebut, memiliki tenaga medis dan volunteer yang bertugas melayani perempuan korban kekerasan. Korban bisa langsung ditangani oleh petugas jaga UPT atau bagi korban yang tidak tahu lokasi UPT PKTK, biasanya korban datang ke Unit Gawat Darurat, lalu korban dirujuk ke UPT PKTK. Adapula korban yang datang dengan didampingi oleh petugas RPK Poltabes Bandar Lampung yang langsung dirujuk ke UPT PKTK.

Kalau kasus KDRT, pertama kalau mereka (korban) tidak tahu, biasanya mereka akan masuk melalui UGD. Nah, disitu tergantung, apa dia akan ditempatkan dipaviliun atau diruang Mawar. Kemudian, dari sana kalau mau diperiksa lebih jauh maka kita akan bawa

kesini (UPT PKTK).” RSU Abdoel Moeloek.

Sementara, didalam lingkup lainnya tenaga medis, khususnya dari rumah sakit maupun tenaga sosial yang mendampingi korban juga masih rendah dalam menerjemahkan substansi UU PKDRT. Hal ini, terjawab bahwa mereka masih minim dengan sosialisasi dan informasi yang diperoleh mengenai UU PKDRT, bahkan sebagian besar tenaga medis di RSUD Kalianda hanya mendengar keberadaan UU PKDRT tetapi belum pernah membaca secara mandiri UU tersebut. Walaupun upaya tindakan medis, tenaga perawat tersebut sudah dibekali dengan standar-standar pelayanan kesehatan yang termasuk dalam pelayanan rumah sakit.

Kalau dari UGD yang kita temui kekerasan fisik antara suami istri, langkah –langkah yang harus kita lakukan adalah pendataan korban, lalu diberikan resep sementara mengurangi rasa sakitmya oleh dokter. Seandainya, korban memang perlu dirawat, harus dilihat fisik umumnya. Setelah dari UGD dilaporkan itu ada korban. Kami dari manajemen memproses keadaan penderita, kemudian konfirmasi ke dokter sejauh mana kondisi fisik yang diderita oleh korban. Kemudian kami biatkan laporan visum et revertum (tidak dikenai biaya), itu yang dibutuhkan sesuai dengan keterangan dari kepolisian. Seandainya korban


(30)

memerlukan perawatan lanjut, kami bawa keruang yang memang khusus ada di ruang

kebidanan.” RSUD Kalianda

Secara prosedural pihak rumah sakit tidak membedakan pelayanan medis kepada korban kekerasan rumah tangga dengan pasien biasa. Namun untuk tahap lanjut sebagai komitmen untuk menekan laju angka kekerasan yang lebih besar, rumah sakit akan melengkapi kebutuhan alat pembuktian pihak kepolisian yakni visum. Sementara itu, untuk pemulihan si korban, rumah sakit menyediakan rekam medis yang bermanfaat untuk memberikan pemulihan secara bertahap, baik itu dengan kerjasama dengan LSM maupun profesi seperti psikolog jika perlu. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada kendala dalam implementasinya, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) untuk memberikan pelayanan non-medis seperti konseling bagi korban kekerasan hingga saat ini belum berjalan. Justru dengan kekurangan SDM tersebut membuat pelayanan tenaga rumah sakit menjadi tumpang tindih antara satu dengan lainnya, tidak fikus pada kompetensi masing-masing tenaga medis. Hal ini, menjadi catatan penting mengingat UPT korban kekerasan, khususnya pelayanan kepada korban masih menginduk kepada manajemen rumah sakit umum, baik itu di Bandar Lampung maupun di Lampung Selatan.

“UPT PKTK memiliki tenaga pendampingan untuk membantu pasien, bagi kami untuk pemilihan itu perlu konseling. Dari keterbatasan SDM ini maka peran tenaga kami menjadi tumpang tindih. UPT PKTK idealnya menjadi klinik atau rumah sakit mandiri. RSU Abdoel Moeloek.

“Di RSU Kalianda pelayanan perempuan kekerasan biasanya masuk di UGD, karena memang tenaga medis kami menunggu disana. Kalau memang butuh konseling atau perawatan lanjut kami juga ada diruang kebidanan

Selain pelayanan medis yang sudah sepantasnya diberikan oleh rumah sakit. Jika ditarik dalam pembahasan pasal-pasal dalam UU PKDRT, secara umum tenaga medis tidak paham dengan penjelasan pasal tersebut. Hal ini memang tidak ada sosialisasi dengan membedah isi UU


(31)

PKDRT. Hanya beberapa tenaga medis yang pernah mengikuti pelatihan-pelatihan atau sosialisasi yang dilakukan LSM dan pemda, itupun mereka yang menempati posisi struktural dalam menajemen rumah sakit, seperti tingkat kepala bidang atau mengikuti kegiatan tersebut secara mandiri.

Kemudian, peran yang dilakukan rumah sakit hanya sebatas kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan), mereka tidak melakukan upaya sosialisasi kepada pihak luar. Akan tetapi, jika pemerintah daerah (Biro PP), Dinas Sosial & PP Bandar Lampung dan LSM meminta data mengenai perempuan korban kekerasan kami akan berikan.

b. Pengetahuan dan Pemahaman Pegawai di Biro PP, Dinas/bagian Sosial dan mengenai keberadaan UU PKDRT

Lalu bagaimana dengan pemahaman dan pengetahuan staf instansi pemerintah daerah yang berkonsentrasi pada pelayanan korban kekerasan dalam rumah tangga, khususnya perempuan atau istri yang teraniaya. Menurut, Bagian Pemberdayaan Perempuan (PP) Lampung Selatan, koordiansi sudah berjalan hingga pada tataran implementasi dilapangan. Beberapa program pendukung seperti membangun Shelter/rumah aman melibatkan aparat penegak hukum, bagian pemerintah daerah, rumah sakit dan lembaga-lembaga yang peduli dengan isu penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Pada tahun anggaran 2006, Bagian PP bersama RPK Polres Lampung Selatan melakukan sosialisasi mengenai UU PKDRT kepada aparat kecamatan di 20 kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan.

Walaupun, program sosialisasi tersebut berjalan, masih ada sebagian besar dari staf Bagian PP belum pernah membaca UU PKDRT, apalagi memahaminya. Pola pemahaman ini hampir disemua instansi pemerintah dan rumah sakit ditemui kelemahan yang serupa. Mereka


(32)

beranggapan bahwa pekerjaan yang dilakukan selama ini memang sudah disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.

Disisi lain, Biro PP Propinsi Lampung memiliki program sosialisasi UU PKDRT. Sosialisasi tersebut membedah UU PKDRT pasal perpasal, memang tidak seluruh staf mendapatkan sosialisasi tersebut. Sosialisasi UU PKDRT ini melibatkan semua Dinas Sosial dan PP kabupaten dan kota di Propinsi Lampung, sedangkan bentuk sosialisasi sebatas ceramah dan tukar pikiran antara narasumber dan peserta.

Namun, semua informan yang berpartisipasi dalam FGD ini mengetahui bentuk-bentuk dan hak-hak korban kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan hadirnya UU PKDRT ini akan memperkuat KUHP sebagaimana biasa menjadi rujukan aparat penegak hukum. Sosialisasi juga dilakukan oleh Dinas Sosial dan PP Bandar Lampung dengan melibatkan aparat kelurahan, kecamatan, pengurus PPK, juga difasilitasi oleh Biro PP Propinsi Lampung. Lain juga di Lampung Selatan, Bagian Sosial dan PP bekerjasama dengan RPK melakukan sosialisasi di 20 Kecamatan.

“Kita melakukan sosialisasi pasal ke pasal UU PKDRT. yaitu mengatur tentang bagaimana hak hak korban, bentuk pelayanan, kemudian hak hak dan kewajiban hak hak dan kewajiban negara kepada warga negara. Kita juga menghimbau agar UPT UPT itu ada, sehingga ke depan setiap kabupaten memiliki UPT.” Biro PP Propinsi Lampung.

Secara umum Dinas sosial salah satunya membagikan bantuan kepada perempuan korban kekerasan. Bantuan ekonomi produktif seperti membuatkan warung sederhana bagi korban yang bertujuan untuk mengembalikan kondisi korban sebagaimana sebelum menjadi korban kekerasan. Selain itu, ada juga bantuan pengobatan sebanyak Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) secara cuma-cuma yang memang ada angarn untuk itu. Walaupun tidak semua korban mendapatkan bantuan tersebut, hanya korban yang berasal dari keluarga miskin mendapat bantuan tersebut. Bagian Sosial dan PP Lampung Selatan juga memiliki program yang sama,


(33)

yakni untuk satu tahun anggaran mereka tersedia Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) pertahun untuk perempuan korban kekerasan.

“Dinas Sosial dan PP Bandar Lampung bekerjasama Dinas Kesehatan, Poltabes, kami juga

memberi bantuan obat, psikolog, Rp. 200 ribu satu orang. Misalkan, dia butuh obat, dia kami beri 200 ribu, psikolog, bimbingan rohani. Sedangkan di Lampung Selatan, Bagian Sosial dan PP memiliki anggaran Rp 2 juta pertahun untuk membantu korban KDRT. Dinas Sosial & PP Bandar Lampung dan Bagian PP Lampung Selatan.

c. Pengetahuan dan Pemahaman Pegawai Dinas Kesos Propinsi Lampung & Subbag Kesos mengenai keberadaan UU PKDRT

Sebagian besar staf tidak faham dan memiliki pengetahun yang cukup untuk menjawab substansi UU PKDRT, bahkan mereka belum pernah membaca UU PKDRT serta sebagian lainnya sudah pernah membaca namun belum memahami tujuan dari UU PKDRT tersebut.

“Sudah pernah membaca, tetapi mungkin secara lengkapnya kami belum benar memahami.” Dinas Kesos Propinsi Lampung.

Nampaknya mereka belum memahami secara menyeluruh substansi UU PKDRT, mereka dapat menjelaskan yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga. Bagi mereka kekerasan tersebut selain kekerasan fisik yang nyata dapat dilihat juga penelantaran rumah tangga merupakan bentuk kekerasan tersebut. Sesuai dengan Tupoksinya, Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinkesos) Propinsi Lampung, saat ini menangani 27 kriteria kesejahteraan sosial, yang salah satunya ialah perempuan rawan sosial. Dinkesos tidak spesifik hanya perempuan korban kekerasan. Justru Dinkesos tidak menangani lebih lanjut bentuk kekerasan seksual maupun kekerasan psikis pada tahap penanganan awal. Bentuk penanganan kekerasan tersebut ditangani lembaga lain, seperti LSM, rumah sakit, bahkan kepolisian.


(34)

Namun, secara umum peran Dinkesos juga melakukan pendampingan korban yang sudah berbasiskan by name by address (berdasarkan nama dan alamat korban) sehingga korban dapat mudah dipantau perkembangannya, sesuai dengan program pemulihan korban.

“Kita (Dinkesos) akan jalankan bersama kalangan mitra kerja berdasarkan data korban by

name by address itu. Kami harapkan data kami itu jadi data kesepakatan kita untuk

bergerak gitu.” Dinkesos Lampung

Untuk menjawab hak-hak korban kekerasan, Dinkesos secara gamblang menerangkan bahwa mereka pun terlibat dalam pengadaan shelter/rumah aman. Disamping itu, pendampingan korban tetap dilakukan oleh staf sampai pada pemberian bantuan ekonomi produktif.

”Ada team work, orang-orang yang menangani hal semacam itu. Kalau sudah keluar dari situ (rehabilitasi) kita juga ada program untuk mereka yakni membantu ekonominya

dengan usaha ekonomi produktif .” Dinkesos Lampung

Sementara itu, Kabupaten Lampung Selatan memiliki Sub Bagian Kesejahteraan Sosial (Subbag Kesos) yang bergabung dalam Dinas Catatan Sipil, Kependudukan dan Kesejahteraan Sosial. Oleh karena itu, tugas dan fungsi Subbag Kesos terkesan minimalis.

“Dinas kami ini namanya Kependudukan, Catatan Sipil, dan Kesejahteraan Sosial, jadi tiga

permasalah dijadikan satu. Sementara ini kami belum melaksanakan langsung. Artinya kami bergabung dengan propinsi pakai dana dekonsentrasi. Kami juga agak bingung karena dana dekon itu dari Gubernur sebagai pimpinan wilayah tidak bisa dipakai oleh Kabupaten/Kota, jadi kita dalam pelaksanaan dekonsentrasi ini, ya sebagai pelengkap

saja.” Subbag Kesos Lampung Selatan

Walaupun demikian, peran Subbag Kesos Lampung Selatan masih memiliki kontribusi kepada upaya penanganan perempuan korban kekerasan, yakni turut terlibat dalam Pos Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan di Kabupaten Lampung Selatan, salah satunya meresmikan shelter/rumah aman yang telah didirikan di lingkungan Kantor Polres Lampung Selatan.


(35)

Meskipun Subbag Kesos Lampung Selatan saat ini tidak memiliki program khusus bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Justru program yang dijalankan lebih banyak dari dana propinsi.

“Kalau dilihat misalkan yang ditangani mereka kan itu juga bagian dari PMKS juga,

artinya itu meringankan kerja dinas sosial. Jadi kedepan kita berharap saja lebih baik lagi, dan konsentrasi sosial pemerintah lampung selatan ini semakin meningkat, sebenarnya dari tahun ke tahun anggaran juga meningkat dari tahun 2004 hanya 150 juta naik 2005 175 juta, sekarang 275 juta, itu untuk subdin kesos. Kita masih berkonsentrasi kepada fakir

miskin, anak terlantar, karang taruna (untuk perempuan belum ada).” Subbag Kesos Lampung Selatan

Dari keterbatasan tersebut, Subbag Kesos Lampung Selatan untuk melakukan percepatan implementasi UU PKDRT mengusulkan agar program penyuluhan kepada masyarakat desa dilakukan secara intensif.

Seandainya mengusulkan program yang paling efektif, pertama harus ada penyuluhan atau sosialisasi UU tentang kekerasan perempuan, UU tentang Perlindungan Sosial. Itu harus diutamakan dulu, kalau perempuan di ujung kampung, mereka tidak tahu ketika dia dilanggar hak haknya malah memilih diam saja, jadi penyuluhan dulu lalu pendataan

korban, itu sudah pasti.” Subbag Kesos Lampung Selatan

d. Pengetahuan dan Pemahaman Petugas RPK Poltabes Bandar Lampung dan Polres Lampung Selatan mengenai keberadaan UU PKDRT

Keberadaan Ruang Penanganan Khusus (RPK) Poltabes Bandar Lampung dan Polres Lampung Selatan memang difokuskan pada penanganan perempuan korban kekerasan. Sebagaimana mandat dalam UU PKDRT, kepolisian selaku penyidik memegang peran penting untuk mengungkap berbagai macam kasus kekerasan terhadap perempuan. RPK dituntut profesional saat menangani kasus tersebut, hingga saat ini RPK selalu membangun kontak kerjasama dengan rumah sakit, pemerintah daerah, maupun dengan LSM.


(36)

Jika menilik lebih dalam, secara internal belum ada sosialisasi yang mengupas secara detail isi UU PKDRT, hanya beberapa petugas saja yang secara mandiri mengikuti berbagai kegiatan yang diselenggarakan pemda dan LSM DAMAR. Namun, secara praktis mereka mengetahui dan paham bagaimana menangani perempuan korban kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga.

Sama halnya dengan RPK Polres Lampung Selatan, secara umum pemahaman mereka tentang substansi UU PKDRT cukup memadai. Selain itu, RPK juga memiliki tugas untuk melakukan sosialisasi tentang keberadaan UU PKDRT. Walaupun sosialisasi tersebut bukan inisiatif RPK, akan tetapi merupakan bekerja sama pemerintah daerah terutama Bagian Pemberdayaan Perempuan. Dalam sosialisasi tersebut RPK sebagai narasumber sedangkan Bagian PP melakukan fasilitasi atas pertemuan tersebut. Sayangnya, sosialisasi hanya dilakukan ditingkat pamong kecamatan dengan harapan pamong tersebut yang melakukan sosialisasi kembali kepada masyarakatnya.

“Iya ada di 20 kecamatan, kalau di tingkat Polsek, ada 10 Polsek karena tidak semua kecamatan ada polsek, tapi ada posnya pak sehingga yang dikedepankan. Terlebih saat ini, sedang digalakan oleh Mabes Polri ini mempolisikan masyarakat, ya itu yang mau kita

jalani.” RPK Polres Lampung Selatan.

Berbeda dengan informasi yang disampaikan oleh RPK Poltabes Lampung Bandar Lampung, bahwa secara fisik jika si korban masih mampu mengikuti proses verbal, bahkan hingga 2 jam, paling tidak si korban tidak mengalami luka yang serius. Walaupun, visum dokter juga merupakan alat bukti pendukung yang dipakai untuk memperkuat pembuktian.

”Ada kesulitan pada penerapan, karena kita anggap orang kalau masih bisa jalan, kami

anggap itu ringan. Dia masih bisa jalan ke sini, lalu kami bawa ke rumah sakit itu masih kuat, kami wawancara, BAP sampai 2 jam, dia masih kuat, jadi kami anggap itu masih ringan. Ini untuk yang pasal 44 ayat 1. Kami anggap karena kalau dia sudah sakit sudah gak bisa bangun, itu baru bisa diterapkan pasal 44 ayat 2 jadi untuk penerapannya, saya


(37)

gak ada kesulitan. Jadi kami melihatnya secara fisik, dari 44 ayat 1, kami sudah bisa

menahan suaminya” RPK Poltabes Bandar Lampung.

Dari informasi tersebut, terungkap bahwa belum ada panduan teknis atau penjabaran yang terperinci mengenai upaya perlindungan korban, saat korban dihadapkan pada sanksi hukum bagi pelaku. Pada pasal-pasal mana yang paling representatif menyentuh asas keadilan bagi korban. Nampaknya hingga kini persepsi aparat penegak hukum masih normatif.

Disamping itu, dalam pembuktian dan pengajuan berkas acara kepada penuntut umum. Menurut RPK Poltabes Bandar Lampung tidak langsung diterima berkas acara yang mereka ajukan. Seperti pada pasal 55, UU PKDRT, pasal tersebut berbunyi “Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.” Masih menurut RPK, untuk melengkapi alat bukti, pihak Jaksa meminta keterangan saksi lainnya, bisa saja kami mencari keterangan dari keluarga, kerabat, atau tetangga korban yang bisa dijadikan saksi alibi.

“Pasal 55, memudahkan polisi tapi ketika sudah sampai Jaksa tidak sesuai dengan isi pasal 55, hanya cukup 1 (satu) alat bukti itu lho, tapi setelah sampai Jaksa, mereka meminta saksi tambahan untuk memperkuat dakwaan. Jadi tidak mungkin diterapkan pasal 55, karena sulit praktiknya. Kami takutkan seandainya ada kejadian ribut suami istri dan tidak ada saksi kan, hanya saksi korban. Sedangkan, belum tentu setelah dipukuli korban memiliki bekas pukulan, harus ada saksi alibi, atau visum et revertum.” RPK Poltabes

Bandar Lampung

Selain keterangan saksi alibi, ada juga pasal yang masih rancu pelaksanaannya dilapangan. Seperti pasal 45, tentang ketentuan hukum bagi pelaku kekerasan psikis. Bagaimana mengukur seseorang mengalami kekerasan psikis? Isi UU PKDRT tidak dengan rinci menjelaskan penanganan pelaku dan korban yang mendapat kekerasan psikis. Walaupun, sebagaimana UU PKDRT menyebutkan kekerasan psikis harus dibuktikan melalui visum et repertum psichiatricum hanya saja RPK belum mengerti dengan jelas lembaga atau institusi yang sah


(38)

untuk mengeluarkan bukti visum et repertum psichiatricum tersebut. Oleh karena itu, hingga saat ini RPK belum pernah menangani kasus kekerasan secara psikis.

“Belum ada kasus kekerasan psikis, kami tidak tahu batasannya psikis, itu kan khusus

pembuktiannya, Nah, pasal 45 ini agak rancu, bagaimana sih yang kita selidik kasusnya kurang jelas hanya kekerasan secara psikis begitu aja bunyinya. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga, jadi secara detailnya kami tidak tahu dan hasilnya kami membuktikannya seperti apa? RPK Polres Lampung Selatan

Lalu berbicara mengenai perlindungan, RPK memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada korban kekerasan. Ada 2 (dua) macam perlindungan, perlindungan sementara dan perintah perlindungan. Perintah sementara, menurut RPK Poltabes ialah perlindungan yang diberikan oleh kepolisian atau oleh LSM seperti menempatkan korban di rumah aman, sedangkan perintah perlindungan ialah surat keterangan dari pengadilan untuk melindungi korban kekerasan. Menurut mereka perlindungan sementara sudah dilakukan dengan bekerjasama pihak rumah sakit atau pun dengan LSM, sedangkan perintah perlindungan dari pengadilan kami memang belum meminta.

“Belum pernah kami mengeluarkan permohonan perintah perlindungan kepada pengadilan

karena selama ini mereka masih aman-aman saja. Korban lebih memilih di rumah orang tuanya daripada tinggal di shelter/rumah aman. Jadi perintah perlindungan belum pernah

ada.” RPK Polres Lampung Selatan

e. Pengetahuan dan Pemahaman Pegawai Kejari Tanjung Karang & Kejari Kalianda mengenai keberadaan UU PKDRT

Kehadiran UU PKDRT ialah untuk menjawab perkembangan masyarakat dan melengkapi kekurangan KUHP yang merupakan produk jaman Kolonial. Bagi Jaksa, UU PKDRT merespon


(39)

baik kepentingan masyarakat untuk menekan tindak kekerasan dalam rumah tangga, terutama perempuan dan anak. Banyak kasus dalam rumah tangga yang korbannya merupakan manifestasi dari budaya patriarki. Namun, Jaksa mencatat tidak semua kasus KDRT masuk dalam kategori seperti dalam lingkup UU PKDRT. Misalkan, pencabulan anak yang dilakukan oleh anak-anak atau insest yang dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri.

“Kami (Jaksa) kasih petunjuk bahwa agar digunakan undang-undang PKDRT, saya kasih contoh satu pak, karena yang banyak di sini kemarin ditaruh pasal perkosaan KUHP pak, ada 5 anak-anak, mereka itu melakukan pencabulan terhadap anak dibawah umur, pasal

perkosaan saya bilang sama jaksanya ganti sama kekerasan terhadap anak.” Kejari

Kalianda.

Bagi Jaksa, definisi lingkup KDRT ialah pencabulan, kekerasan, psikis, fisik, seksual yang terjadi dalam rumah tangga itu sudah merupakan kekerasan dalam rumah tangga. Jaksa memberikan penekanan pada beberapa pasal yang bisa bias jika dibaca oleh orang awam. Yakni pada pasal 44 mengenai batasan kekerasan.

”Pada pasal 44, tentang luka berat, luka ringan. Kita diskusi waktu itu di Damar pada kesimpulan akhir pada waktu itu, dari pihak kepolisian, dari pihak pengadilan juga, kejaksaan dan akademisi, pada kesimpulannya ketika itu bahwa UU PKDRT ini memang

perlu direvisi.” Kejari Tanjungkarang.

Kejari Kalianda menambahkan bahwa UU PKDRT tidak mudah dibaca orang awam, beberapa pasal seperti ketentuan pidana pada pasal 44 tentang tolerasi kekerasan sangat berbeda dengan yang tersurat dalam KUHP. Sebagimana penjelasan KUHP Bab XX tentang penganiayaan pasal 351 -358, yang berisi sebagai berikut:

Undang – undang tidak menegaskan apa arti sesungguhnya daripada “penganiayaan”. Menurut yurisprudensi, arti penganiayaan ialah perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka. Dan menurut ayat empat (4) pasal ini, masuk dalam pengertian penganiayaan ialah perbuatan dengan sengaja merusak kesehatan orang.

perbuatan yang menimbulkan perasaan tidak enak misalnya: mendorong orang terjun ke dalam kubangan air sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari dan sebagainya.


(40)

Perbuatan yang menimbulkan rasa sakit misalnya: mencubit, mendepak, memukul, menempeleng dan sebagainya.

Perbuatan yang mengakibatkan luka misalnya: mengiris, memotong, menusuk dengan benda tajam dan sebagainya.

Perbuatan yang dapat merusak kesehatan misalnya: menyiram dengan air aki.

Semuanya ini dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang pantas atau perbuatan yang melewati batas yang diizinkan. Seorang dokter gigi yang mencabut gigi pasiennya, walaupun menimbulkan rasa sakit pada si penderita, tidak dapat dikatakan menganiaya, karena perbuatan dokter itu mempunyai maksud yang baik, yakni mengobati si sakit.seorang bapak yang mengajar anaknya yang nakal dengan cara memukuli pantatnya, walaupun menimbulkan rasa sakit pada anak tersebut, tidak dapat dikatakan menganiaya, karena perbuatannya mempunyai maksud yang baik, yakni mencegah agar anaknya tidak nakal. Walaupun demikian, apabila kedua perbuatan itu melewati batas – batas yang diizinkan, umpamanya dokter gigi mencabut gigi pasiennya tanpa memakai obat pematirasa, atau seorang bapak mengajar anaknya dengan cara memukuli dengan sepotong besi, dapat dianggap sebagai penganiayaan.

Penganiayaan ini dinamakan “penganiayaan biasa”.yang bersalah diancam hukuman

lebih berat, apabila perbuatan ini mengakibatkan luka berat atau matinya si korban. Apabila luka berat direncanakan sejak semula, maka perbuatan itu dikenakan pasal 354 (penganiayaan berat). Dan apabila kematian tersebut memang direncanakan sejak semula, maka perbuatan itu dikenakan pasal 338 (pembunuhan biasa).sedang seorang pengemudi mobil yang kurang hati – hatinya menubruk seseorang hingga mati, dikenakan pasal 359 (menyebabkan seseorang mati karena kekhilafan). Percobaan penganiayaan biasa (pasal 351) dan penganiayaan ringan (pasal 352) tidak dihukum. Akan tetapi percobaan penganiayaan tersebut dalam pasal 353, 354, dan 355 dihukum.

Oleh karena itu, bagi kejari tidak menjadi masalah dalam penerapan ketentuan pidana. Apakah didalam UU PKDRT tidak secara rinci menjelaskan toleransi kekerasan terhadap seseorang. Asalkan saja hal tersebut mampu menjerat pelaku kekerasan, sehingga apabila UU PKDRT tidak mampu menjelaskan toleransi kekerasan tersebut maka kejari akan merujuk pada KUHP.

“Dari rekam fisiknya. Kalau terjadi luka ringan atau luka berat, kita pun harus berpatokan

dengan KUHP. Jadi kalau tidak termuat didalam ketentuan UU ini, maka kita harus berpulang ke KUHP. Apa-apa yang terkandung dalam KUHP juga harusnya terdapat di UU ini. Tetapi harus ada penjelasan dalam UU ini, dipasalnya itu, harusnya ditambahkan,

“berkaitan dengan luka berat, luka ringan dalam pasal UU yang mengatur tentang ini,

karena tidak diatur dalam UU ini mestinya dikembalikan ke sini (sambil menunjuk

KUHP)”, itu karena nanti orang-orang tidak jelas. Kami ini karena orang praktek sudah pasti itu menunjuk ke KUHP, tapi kan kalau orang-orang baca kan tidak ngerti.” Kejari Kalianda.


(41)

mengenai keberadaan UU PKDRT

Berdasarkan paparan para hakim yang berpatisipasi dalam FGD, mereka memahami dan mengikuti perkembangan wacana maupun penanganan kasus kekerasan perempuan terutama kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Walau dalam perlindungan korban, pengetahuan para hakim tidak merata. Hal tersebut terungkap bahwa kepekaan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus perempuan korban kekerasan, sesuai standar kinerja para hakim yang hanya pasif menerima tuntutan dari jaksa maupun berkas perkara kepolisian.

“Korban terutama perempuan untuk melapor dia merasa malu atau bila ia melapor sehingga mungkin di kepolisian dan jaksa maupun pengadilan kadang-kadang belum dilatih kepekaan termasuk korban perkosaan itu menjadi faktor terjadinya KDRT ini.” Hakim PN Kalianda.

Hingga saat ini belum ada surat perintah yang dikeluarkan pengadilan untuk melindungi korban. Berdasarkan paparan hakim yang berpartisipasi dalam FGD, mereka tidak pernah menerima permohonan dari penyidik untuk mengeluarkan perintah perlindungan.

“Pengadilan tugas kita adalah menerima, memeriksa dan yang dilimpahkan ke pengadilan jadi masalah dianggap perlu atau tidaknya petanyaan tadi jadi kalau polisi tidak mau undang-undang ini dalam penyidikan UU ini tidak akan sampai ke pengadilan kecuali memang didakwakan, jadi kalau pengadilan sifatnya kan pasif jika didakwakan.” Pengadilan Tinggi.

Kongkritnya bagi hakim berkas yang masuk bermula dari kepolisian sebagai penyidik lalu dimasukkan kepada penuntut umum, yakni Jaksa. Jaksa akan memeriksa kembali berkas perkara dari kepolisian, apabila kasus yang diperkarakan tidak sesuai dengan UU PKDRT atau KUHP maka akan dikembalikan lagi kepada penyidik. Lalu berkas yang sudah selesai akan didaftarkan ke pengadilan negeri. Disilah peran jaksa untuk mengarahkan, apakah kasus kekerasan dalam rumah tangga memakai UU PKDRT atau KUHP. Hal tersebut penting karena tugas hakim hanya menerima berkas, melakukan analisa, dan memutuskannya, jadi tidak terlibat dalam menentukan ketentuan pidana yang dikenakan kepada pelaku. Setiap lembaga negara memiliki kewenangan


(42)

dan kekuasaan yang berbeda, hakim dan kepolisian serta kejaksaan tidak bisa mengintervensi kewenangannya masing-masing.

Selain wewenang dan kekuasaan masing-masing lembaga tersebut, hal fundamental yang tersirat dalam diskusi ialah bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dilingkungan rumah tangga. Hakim menjelaskan bahwa UU PKDRT masih lemah dalam beberapa sisi, terutama pada standar kekerasan psikis. Dalam UU PKDRT tidak secara rinci menjelaskan pembuktian kekerasan secara psikis, lalu siapa yang berwenang bahwa disebuah rumah tangga tertentu terjadi kekerasan psikis antara suami kepada istrinya.

“Paling saya tambahan begini, kekerasan psikis kalau kita baca dalam UU PKDRT itu

sebenarnya saya ya kurang jelas atau tidak jelas ukurannya kalau tidur saling membelakangi itu kan bukan fisik yang hal-hal seperti itu bisa saja orang luar menafsirkan lain jadi dari situ kebenaran-kebenaran yang mau dicapai secara benar ya sulit.” Hakim PN Tanjungkarang.

Kemudian, kendala yang dihadapi saat berkas kasus sudah diproses dalam pengadilan. Korban memohon untuk membebaskan pelaku notabene suaminya sendiri. Jika sudah dalam proses pengadilan, perkara yang disidangkan tidak bisa dicabut. Hal tersebut dapat menjadi preseden buruk penegakan hukum, jikalau itu terjadi seharusnya sudah ada perdamaian antara suami dan istri yang dimediasi oleh RPK, dengan catatan pelaku mengakui kekerasan yang dilakukannya dan tidak mengulanginya kembali serta dilakukan dengan hati-hati. Walau itu pernah terjadi di Kabupaten Lampung Selatan. Tapi, perkara tetap dilanjutkan agar memiliki efek jera bagi pelaku.

“Perkara KDRT saya sudah 2 (dua) kali memutus perkara KdRT dan putusan saya selalu

lebih tinggi dari dakwaan. Kemudian soal damai saya selalu mengkordinasikan kalau perkara yang bukan delik aduan jika korbannya meminta damai, dibiarkan saja proses

hukumnya tetap berlanjut karena untuk memberi dampak jera.” Edy Wibowo, PN


(43)

g. Pengetahuan dan Pemahaman aktivis LSM mengenai keberadaan UU PKDRT

Secara umum, aktivis LSM memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Bagi mereka, kekerasan rumah tangga memiliki bentuk yang beragam. LSM berperan pada program lembaganya masing-masing. Seperti LADA Anak, mereka merespon lingku keluarga, secara khusus pada kekerasan anak. Walau dalam UU PKDRT, anak termasuk lingkup keluarga yang harus dilindungi dari kekerasan, bagi Lada Anak penanganan kekerasan terhadap anak memiliki penanganan khusus yang dilindungi oleh UU perlindungan anak. Lain halnya, dengan Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), mereka menyebutkan selain kekerasan seksual juga ada kekerasan perproduksi. Bagi mereka kekerasan perproduksi menyangkut kesehatan sistem preproduksi perempuan. Istri tidak boleh dipaksa untuk memakai alat kontrasepsi yang tidak sesuai dengan kondisi tubuhnya.

Terkait dengan kekerasan seksual, teman teman mencoba merancang sedemikian rupa, bagaimana bentuk monitoringnya, terhadap masalah hak hak KB, kapan perempuan itu boleh menggunakan alat kontrasepsi, alat KB apa yang berhak ia pilih, itu juga sebenarnya

merupakan hak perempuan.” PKBH Lampung.

Lain halnya dengan Pussbik, lembaga yang fokus pada kajian kebijakan publik. Menurut mereka, kekerasan perempuan juga terkait dengan kebijakan yang disponsori pemerintah daerah. Tidak imbangnya alokasi dana pembangunan bagi pemberdayaan perempuan, berdampak pada merosotnya daya mandiri perempuan, terkait dengan kesempatan pendidikan, perbaikan ekonomi, bahkan partisipasi politik perempuan.

“Segala akibat yang dimunculkan oleh peraturan itu tentu harus ditanggung negara, misalnya pembiayaan, dalam hal pembiayaan kita melihat belum maksimal pembiayaan yang dilakukan oleh Pemda dalam hal ini Pemprov Kabupaten Kota, tidak mendanai sebuah hal yang prioritas penanganan perempuan korban kekerasan, kalaupun kemudian yang ada itu disimbolisasi, lebih cenderung simbolisasi, ada Biro Pemberdayaan


(44)

Jika menilik dari sisi kebijakan ini, pemerintah daerah harus mampu melakuan sosialisasi yang menjangkau wilayah sasaran yang luas. Pemerintah dapat bekerjasama dengan lembaga yang kompeten mengurusi perlindungan bagi perempuan dari kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga maupun lingkup area publik.

“Kalaupun bentuknya sosialisasi KDRT, tapi lebih banyak dilakukan kepada birokrasi saja. Bagaimana kemudian bentuknya sosialisasi tapi pemerintahnya hanya sebagai fasilitator dan mediator. Partnernya kita melibatkan kelompok kelompok masyarakat, jadi agak beda kalau di tengah perkotaan mungkin tidak ada rasa sungkan masyarakat dengan

pemerintah.” Pussbik.

Lalu, jika Damar melihat bentuk kekerasan tersebut kekerasan yang biasa dialami yakni kekerasan psikis dan kekerasan ekonomi. Bentuk kekerasan tersebut sulit untuk dibuktikan. Seperti dalam UU PKDRT menjelaskan kekerasan ekonomi bentuknya ialah penelantaran rumah tangga.

“Ketika perempuan korban mengalami kekerasan secara psikis dan kekerasan ekonomis, itu kita sangat susah sekali dalam proses hukumnya karena banyak juga korban yang melaporkan mereka mengalami kekerasan secara ekonomi tidak diberi nafkah selama dia berkeluarga. Di kepolisian ya, alasannya pembuktian, pembuktian dia terlantar itu seperti

apa, itu juga kita kesulitan.” Damar.s

Walaupun, lingkup UU PKDRT ini ialah keluarga. Namun, masyarakat awam memiliki kesan UU PKDRT hanya mengurusi tindak kekerasan suami dan istri. Padahal, anak dalam keluarga kerap mengalami kekerasan, baik fisik maupun psikis, juga ada pembantu rumah tangga yang masih terkait dalam lingkup UU PKDRT, masih jauh dari perhatian publik dan aparat keamanan.

B. Analisa Hambatan Dan Peluang Dalam Pelaksanaan UU PPKDRT

Disahkannya UU PPKDRT pada tanggal 22 September 2005 merupakan titik awal kebangkitan perjuangan kesetaraan dan keadilan perempuan pada ruang domestik. Berabad-abad lamanya ruang privat ini hampir tidak dapat disentuh, lebih-lebih oleh yang namanya hukum positif.


(45)

Kehadirannya juga disyukuri sebagai angin segar terutama oleh para korban kekerasan dalam rumah tangga, yang angkanya semakin cepat melaju dari segi kuantitas.

Berikut adalah data korban kekerasan dalam rumah tangga di tahun .... yang tercatat oleh DAMAR sebagai salah satu lembaga pendampingan korban kekerasan dalam rumah tangga. Tabel 10. Data kasus PKDRT DAMAR LAMPUNG Tahun 2008

No Bentuk Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. Fisik Psikis Ekonomi Seksual Perkosaan Insest 54 15 7 1 13 10

Sumber : Laporan tahunan LAP Damar, 2008

Data di atas cukup memberikan gambaran bahwa kehadiran UU PPKDRT ini sangat diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para korban kekerasan dalam rumah tangga tentang bagaimana memperoleh keadilan atas kekerasan yang dialaminya.

Seperti kebanyakan peraturan perundangan lain yang sempat hadir di Indonesia yang sarat dengan berbagai kepentingan, keberadaan UU PPKDRT ini juga tidak luput dengan hal-hal semcam itu. Asumsi terhadap analisa berbagai kepentingan tersebut merebak setelah UU ini disahkan. Misalnya, ada kelompok-kelompok tertentu yang menamakan dirinya perempuan yang kritis terhadap UU PPKDRT, seperti yang ditulis salah satu majalah mingguan, menolak keberadaan UU ini. Namun tidak sedikit kelompok yang mendukung dan berharap banyak terhadap UU ini. Kami mencoba melakukan analisa terhadap tantangan dan dukungan yang


(46)

terjadi terhadap UU ini, melalui analisa terhadap sistem hukum, yaitu substansi, struktur, dan kultur hukum.

Dalam melakukan kajian yang holistik terhadap hukum dan kenyataan sosial, maka diperlukan suatu pendekatan yang empiris. Dalam hal ini hukum harus dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen, sebagaimana dikemukakan oleh seorang sosiolog hukum, Lawrence M. Friedman. Komponen-komponen tersebut adalah legal substance (aturan-aturan, dan norma-norma), legal structure (institusi atau penegak hukum seperti pengacara, polisi, jaksa dan hakim), dan legal culture (budaya hukum, meliputi ide-ide, sikap-sikap, kepercayaan, harapan, dan pandangan tentang hukum).

1. Pemahaman terhadap SUBTANSI HUKUM dan Tindakan STRUKTUR HUKUM yang dipengaruhi oleh KULTUR (Budaya) Masyarakat

Terobosan hukum untuk memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga pada kenyataannya tidak serta merta diterima begitu saja oleh semua kalangan.

Analisa dan kritik terhadap isi dari UU ini bermunculan. Salah satunya adalah analisa terhadap tujuan UU PPKDRT yang dianggap tidak sesuai dengan tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri. Banyak anggapan di masyarakat maupun penegak hukum bahwa adanya UU PPKDRT ini akan memberikan peluang besar pada bubarnya sebuah perkawinan dan meningkatnya angka perceraian. Namun, jika dilihat lebih jauh, sebenarnya anggapan ini salah, karena pada pasal 4 huruf d menyebutkan bahwa salah satu tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Jadi, kekhawatiran di atas tidak ada dasarnya sama sekali.


(47)

Salah satu kritikan lainnya adalah pada pasal 15 yang mengatur masyarakat untuk wajib melakukan pencegahan PKDRT dan memberikan perlindungan pada korban PKDRT. UU PPKDRT dipandang justru cenderung merusak keharmonisan rumah tangga, terkait dengan pasal 15 ini, karena ada campur tangan masyarakat dalam urusan privat. Pandangan tersebut didasarkan pada pemahaman yang dangkal dari Pasal 15 UU ini yang isinya mengatur tentang kewajiban masyarakat untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan. Bunyi lengkap dari pasal

ini adalah : “Setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tanggawajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan

perlindungan”. Keberadaan pasal ini justru dianggap memperkeruh masalah, karena pasal ini tidak membantu kedua belah pihak untuk rujuk, malah sebaliknya mendorong terjadinya perceraian. Padahal, pasal 15 mengatur kewajiban masyarakat untuk mencegah PKDRT, memberikan perlindungan dan pertolongan darurat pada korban PKDRT serta membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. Sehingga jika kita mau bijak, masalah kekerasan adalah sudah merupakan urusan bersama dan merupakan tindak pidana yang harus dilaporkan ke pihak berwajib.

Anggapan lain yang juga keliru dalam menafsirkan pasal ini adalah upaya dari pihak lain untuk mencegah kekerasan yang terjadi dianggap sebagai tindakan mencampuri urusan rumah tangga orang. Anggapan tersebut nyata-nyata keliru karena kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan masyarakat sekitar untuk mencegah terjadinya tindakan PKDRT terbukti efektif. Tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan keberadaan UU ini justru telah memberikan jaminan bagi masyarakat agar tidak ragu-ragu lagi untuk menghentikan kekerasan yang terjadi


(1)

aparat penegak hukum yang menstigmatisasi perempuan. Victim blaming, yakni menyalahkan perempuan sebagai korban atau menuntut korban untuk membuktikan bahwa ia benar-benar korban dari kekerasan, masih saja terjadi dalam setiap proses pemeriksaan. Bahwa PKDRT itu terjadi disebabkan ulah perempuan sendiri, tidak melakukan kewajiban sebagai istri yang baik, tidak mau mengerti kesusahan suami, melawan suami hingga suami melakukn tindkan kekerasan, baru dipukul sekali sudah melapor, adalah stigma-stigma yang sering disampaikan aparat ketika perempuan korban PKDRT melaporkan kekerasan yang dialaminya. Akibatnya, banyak korban PKDRT merasa enggan dan takut untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya.

2. Identifikasi Peluang pelaksanaan UU No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Sejak diundangkan tahun 2004 lalu tepatnya pada bulan September, UU PPKDRT langsung popular. Salah satu faktor yang mendukung kepopuleran Undang-undang ini adakah karena banyak kasus PKDRT yang dialami para selebritis menggunakan Undnag-undang ini sebagai alat gugatannya, misalnya Five, Vi, Dewi Hughes dan artis lainnya. Hal ini tidak terlepas dari peran sertanya Komunitas Artis Peduli Sosial dan Politik (KAPPS) untuk mensosialisasikannya kasus PKDRT yang menimpa para selebritis umumnya menyita hampir sebagian besar perhatian media massa (radio, TV, Koran, majalah, tabloid) terutama media elektronik televise lewat acara infotainment-nya. Penayangan ini juga merupakan betuk pendidikan terhadap masyarakat (public).

Sama seperti bentuk sosialisasi lainnya, penayangan kasus-kasus PKDRT secar terus menerus lewat media massa akan menyadarkan masyarakat bahwa saat ini telah ada aturan negara yng berkenaan dengan aturan berperilaku dalam lingkungan terkecil yaitu rumah tangga. Atau paling tidak, masyarakat menjadi tahu bahwa kekerasan yang diakui oleh negara tidak hanya kekerasan


(2)

fisik semata tapi bentuk-bentuk kekerasan lainnya yang sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga, yaitu kekerasna psikis (yang sering dipahami oleh masyarakat sebagai bentuk sakit hati), kekerasan seksual (pemaksaan hubungan seksual misanya) dan kekerasan ekonomi (penelantaran ekonomi) juga diatur oleh negara. Selain itu, masyarakat juga diharapkan menyadari bahwa apapun bentuk kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga merupakan tindak kejahatan dan dapat dilaporkan atau dipidanakan sama dengan kejahatan-kejahatan lainnya.

Media massa sebagai media strategis dalam penyebarluasan berbagai isu juga secara khusus dimanfaatkan oleh DAMAR untuk menyebarluaskan informasi mengenai UU PPKDRT ini. DAMAR saat ini telah memiliki kerjasama yang baik dengan beberapa media massa di Bandar Lampung. Bentuk kerjasama dalam mensosialisasikan isu-isu perempuan, HAM dan Keadilan Hukum termasuk UU PPKDRT ini beragam, antara lain menjadi narasumber dalam salah satu acara di televisi atau radio, melalui tulisan-tulisan atau wawancara khusus.

Aparat penegak hukum sebagai salah satu pendukung penting dalam upaya pensosialisasian UU PPKDRT dirasa masih kurang menyadari pentingnya UU ini. Berkaitan dengan itu DAMAR yang dikoordinasi oleh Divisi Pendidikan Publik dan Penangan Kasus sepanjang tahun 2004-2006 bermitra dengan Layanan Krisis Perempuan Berbasis Masyarakat terlibat dalam rangkaian program Penguatan Penegak Hukum khususnya dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Kegiatan yang dilakukan antara lain pendampingan korban dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang saat ini telah merampungkan kertas kebijakan (policy paper) dengan berlandaskan pada salah satunya pada UU PPKDRT. Kertas kebijakan ini disusun dengan melibatkan institusi aparat penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, kehakiman, Institusi Peradilan, LSM dan Advokat. Kertas kebijakan tersebut kelak diharapkan menjadi


(3)

acuan para penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan terhdap perempuan dengan menggunakan sistem peradilan terpadu tadi.

3. Evaluasi Program Pemerintah Daerah yang mendukung percepatan Implementasi UU PKDRT di Kota Bandar Lampung dan Kab. Lampung Selatan

Upaya pemerintah daerah untuk mempercepat implementasi UU PKDRT melalui pembiayaan APBD propinsi maupun kota dan kabupaten, melalui perantara dinas atau bagian menghasilkan program-program yang dapat membantu penanganan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.

Seperti Dinas Sosial & PP Bandar Lampung, saat ini tidak ada sumber pembiayaan lain kecuali APBD. Program penanganan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga misalnya, diturunkan dalam bentuk kegiatan bantuan langsung kepada korban yang berasal dari keluarga miskin sebesar Rp. 200.000,- maupun mendukung sarana dan fasilitas shelter/rumah aman. Dinas tidak berjalan sendiri, tetap dalam koridor kerjasama lintas sektor yang melibatkan LSM, kepolisian, rumah sakit, maupun Biro PP Propinsi Lampung dan Dinkesos Propinsi Lampung.

Menurut Dinas Sosial & PP Bandar Lampung, upaya terobosan untuk mempercepat implementasi UU PKDRT ialah tersedianya pos-pos pengaduan masyarakat ditingkat kecamatan, yang dikelola oleh tenaga pendamping yang telah dilatih dan meperoleh pendidikan yang cukup mengenai kesetaraan perempuan dan penanganan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Pos-pos pengaduan ini akan melakukan sosialisasi yang didampingi juga oleh konsultan dengan sasaran masyarakat di kecamatan tersebut. Terobosan ini dapat menjawab keterbatasan ruang gerak birokrasi yang hingga kini dibatasi oleh tugas dan fungsinya masing-masing.


(4)

Sama halnya dengan di Kabupaten Lampung Selatan, sosialisasi UU PKDRT hingga pada tingkat kecamatan, 20 kecamatan yang ada di Kabupaten Lampung Selatan dengan kerjasama RPK Polres Lampung Selatan sebagai narasumber yang memberikan paparan tentang isi UU PKDRT kepada para pamong kecamatan. Sosialisasi tersebut hanya melibatkan pamong kecamatan dengan harapan mereka dapat menyosialisasikan kembali kepada aparat desa dan masyarakat luas. Sementara, bentuk sosialisasi dilakukan dengan cara ceramah dan tanya jawab peserta sosialisasi kurang memicu kreatifitas peserta. Bentuk alternatif untuk menyosialisasikan UU PKDRT ini bisa menggunakan fasilitas publik, misalkan road show ke mal-mal, pasar-pasar tradisional, maupun iklan layanan pemerintah daerah.

Sementara itu, Sub Bagian Kesos Lampung Selatan berpendapat bahwa seandainya mengusulkan program yang paling efektif, adanya kerjasama dengan perusahaan atau lebih dikenal corporate social responsibility / tanggungjawab sosial perusahaan kepada masyarakat. Perusahaannya juga melakukan penyuluhan tentang kekerasan perempuan, UU tentang ketenagakerjaan, UU perlindungan sosial, itu harus diutamakan. Subbag Kesos, banyak jenis programnya, misalnya pembinaan, tindak lanjut dari pembinaan memberikan bantuan sosial ekonomi produktif, dengan memberikan bantuan dana untuk buat warung misalnya. Tetapi kendalanya, dana yang tersedia itu sangat sedikit untuk membiayai semua, waktu tahun 2005 juga bekerja sama dengan Bagian perempuan, tetapi banyak yang tidak jalan. Secara lengkapnya, kalau juklak dan juknis instansi ada kreteria korban yang harus diberikan bantuan, seperti apa korban kekerasan, anak jalanan itu apa. Contohnya, Surat Edaran dari Dinas Sosial, isinya tentang bantuan sosial permanen untuk artinya wanita usia lanjut terlantar, anak terlantar, KDRT tetapi dalam kemasan bukan KDRT ya, Subbag Kesos melaksanakannya untuk perempuan lansia terlantar, itu 90 %, lanjut usia terlantar, untuk lansia terlantar. Menurut juklaknya, bantuan diberikan seperti barang barang dagangan,


(5)

ada juga perternakan, mesin jahit, tarup, tujuannya wanita. Dana-dana tersebut berasal dari APBD Propinsi bukan dari APBD Lampung Selatan.

Secara umum Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi Lampung (Dinkesos), yaitu ada bagian-bagian pelayanan dan bantuan yang nanti secara langsung. Namun pada tahun-tahun belakangan ini memang ada kendala yang dihadapi soal koordinasi, karena secara institusi tugas dan fungsi dinas kesos sesuai dengan UU PKDRT itu. Secara umum tugas Dinkesos ialah memulihkan korban-korban tindak kekerasan itu kembali normal karena upaya tersebut akan terganggu apabila ada kekerasan secara fisik atau psikis terhadap korban. Inilah fungsi Dinkesos, setelah memberikan advokasi, konsultasi memberikan semacam pelayanan. Memang kalau pekerjaan sosial yang dikerjakan depsos itu terkait dengan prinsip menolong orang untuk mampu menolong dirinya sendiri. Pola-pola seperti ini terutama setelah dilakukan advokasi dam bimbingan dan bantuan sosial. Oleh karena itu, sebenarnya pola ini hanya diperuntukkan untuk mengembalikan diri dengan pendampingan-pendampingan oleh kawan-kawan LSM, Dinkesos mengharapkan terlibat dalam pendampingan itu juga, seperti Dinkesos memfasilitasi trauma center bagi perempuan korban kekerasa.

Selain itu, peran serta aparat dalam masalah ini juga melakukan kerja-kerja secara internal, kalau di tingkat reskrim ada sebagai proyek penyidik jadi penindak, sehingga ada program penyuluhan dari Bina Mitra. Bina Mitra itu yang memberikan penyuluhan-penyuluhan, bimbingan kepada masyarakat itu, makanya kita tidak ada keterkaitan, makanya masalah alokasi anggaran ada di Bina Mitra. Atau menggunakan alternatif lain seperti di tingkat polsek ini ada namanya Babinkatibmas, jadi prosesnya perpanjangan tangan, apalagi sekarang ini sudah dilakukan, penghapusan dwifungsi, dia tidak mengikuti kegiatan di komando, mengikuti kegiatan di


(6)

masyarakat, pada masyarakat. Itu jadi ada 3 tingkatan, pembinaan, sentuhan, pendampingan. Lalu nanti kalau terjadi tindak KDRT atau pencurian segala, dia harus memberi pelayanan cepat untuk desa. Sehingga polisi masyarakat ini yang turun langsung ke masyarakat, bergaul dengan masyarakat mereka, tatap muka door to door memberikan pengarahan kepada masyarakat secara langsung. Seauh ini ada di 20 kecamatan, kalau di tingkat polsek 10 polsek. Saat ini program yang digalakan oleh Mabes Polri ialah permolisian masyarakat, kalau di tentara ada Babinsa, Badan Bina Masyarakat, tapi kalau di polisi Babin kantibimas, itulah yang dikedepankan. Dari proses tersebut, harapannya aparat memiliki kepekaan dan respon yang tanggap terhadap kasus perempuan korban kekerasan.


Dokumen yang terkait

Menuju sistem hukum yang responsif gender dengan undang undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

0 2 3

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 5 18

SKRIPSI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN

0 3 13

PENDAHULUAN IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 4 20

PENUTUP IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 2 9

(ABSTRAK) IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi di Wilayah Hukum Polres Grobogan).

0 0 3

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi di Wilayah Hukum Polres Grobogan).

0 3 93

EKSISTENSI UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM AKTUALISASI KONSEP NUSYUZ FIQH MADANI

0 0 9

Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kota Batam

0 0 16

PROSPEK PENEGAKAN HUKUM UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (UU PKDRT)

0 0 12