Composting Characteristics of Traditional Market Solid Wastes with Natural Static Pile System
KARAKTERISTIK PENGOMPOSAN LIMBAH PADAT
PASAR TRADISIONAL DENGAN SISTEM
NATURAL STATIC PILE
MUHAMMAD NASIR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Karakteristik
Pengomposan Limbah Padat Pasar Tradisional dengan Sistem Natural Static Pile”
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Muhammad Nasir
F451110011
RINGKASAN
MUHAMMAD NASIR. Karakteristik Pengomposan Limbah Padat Pasar
Tradisional dengan Sistem Natural Static Pile. Dibimbing oleh ARIEF SABDO
YUWONO dan SATYANTO KRIDO SAPTOMO.
Limbah padat pasar tradisional merupakan kumpulan dari berbagai macam
sayuran dan buah serta bahan lainnya yang tidak layak jual, baik yang bersifat
organik maupun anorganik. Jumlah limbah padat yang dihasilkan dari pasar
tradisional di Kota Bogor adalah sebanyak 330 m3 per hari dan yang terangkut
sekitar 70%. Sisanya sebanyak 30% tidak terangkut dan menumpuk di
lingkungan pasar sehingga menimbulkan pencemaran dan bau busuk di
lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan komposisi limbah padat tersebut adalah
90% organik dan 10% anorganik. Namun, limbah padat ini dapat diolah menjadi
kompos sehingga mempunyai nilai tambah. Mengolah limbah padat organik
menjadi kompos dapat dilakukan dengan teknologi yang sederhana. Pengolahan
limbah padat pasar menjadi kompos berarti melakukan dua pekerjaan sekaligus,
yaitu membuat kompos dan mengurangi pencemaran lingkungan.
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan identifikasi dan karakterisasi
limbah padat pasar tradisional, kemudian melakukan pengomposan limbah padat
pasar tradisional, dan diakhiri dengan menganalisis karakteristik kompos yang
dihasilkan dan membandingkan kualitasnya dengan SNI 19-7030-2004. Sampah
diperoleh dari pasar Kebon Kembang, pasar Bogor Baru, pasar Merdeka, pasar
Jambu Dua, pasar Gunung Batu, pasar Sukasari dan pasar Padasuka.
Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan. Tahap pertama adalah
mengidentifikasi komposisi limbah padat dan karakteristiknya dengan pengunian
sampel di Laboratorium Teknologi dan Manajemen Lingkungan Departemen
Teknologi Industri Pertanian IPB. Tahap kedua dilakukan pengomposan 6 m3
limbah padat organik pasar tradisional dan kotoran kambing dengan sistem
natural static pile di rumah kompos Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan
IPB. Tahap ketiga dilaksanakan pasca pengomposan yaitu analisis karakteristik
kompos di Balai Penelitian Tanah, Kementerian Pertanian, Bogor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa timbulan limbah padat tujuh pasar
tradisional Kota Bogor rata-rata adalah 115 m3/hari, dengan komposisi 90%
(103.5 m3) organik dan 10% (11.5 m3) anorganik. Berat jenis (density) limbah
padat organik adalah 242 kg/m3, sedangkan berat jenis kotoran kambing lebih
tinggi yaitu 342 kg/m3. Hasil analisis karakteristik menunjukkan bahwa limbah
padat organik pasar tradisional memiliki kadar air yang tinggi, yang mencapai
90% berat basah dan berpotensi untuk pengomposan. Waktu yang dibutuhkan
untuk pengomposan adalah 56 hari dan luasan yang dibutuhkan adalah 6.5 m2.
Karakteristik kompos yang dihasilkan secara umum memenuhi standar baku mutu
kompos.
Simpulan dari penelitian ini adalah hasil identifikasi dan karakterisasi
limbah padat pasar tradisional menunjukkan bahwa 90% berupa limbah organik
dan layak untuk dijadikan kompos. Limbah padat organik pasar tradisional yang
dicampur dengan kotoran kambing dapat dikomposkan dan kompos yang
dihasilkan sesuai dengan baku mutu kompos yang dipersyaratkan dalam SNI 197030-2004.
Kata kunci: karakteristik, limbah padat, pasar tradisional, pengomposan, sistem
natural static pile
SUMMARY
MUHAMMAD NASIR. Composting Characteristics of Traditional Market Solid
Wastes with Natural Static Pile System. Supervised by ARIEF SABDO
YUWONO and SATYANTO KRIDO SAPTOMO.
Traditional market solid waste consists of various unsellable vegetables and
fruits as well as other organic or inorganic materials. Amount of solid waste
generated from traditional markets in Bogor City was about 330 m3 per day.
Approximately 70% of solid waste are transported, but the remaining (30%) were
not transported and were accumulated at the market, causing pollution and mal
odors in the environment. This is due to the composition of solid waste i.e 90%
organic and 10% inorganic. Solid waste can be proccessed to become compost, so
it has an add value. The composting of organic solid waste can be done with
simple technology and has two advantages i.e. producing compost and reducing
environment pollution.
The purpose of this study were to identify and characterize the traditional
market solid waste, to compost traditional market solid waste, and to analyze the
characteristics of the generated compost, comparing with SNI 19-7030-2004. The
traditional market were Kebon Kembang market, Bogor Baru market, Merdeka
market, Jambu Dua market, Gunung Batu market, Sukasari market and Padasuka
market.
This study consisted of three stages. The first stage was to identify the
composition of solid waste and its characteristics, by conducting sample test in
Laboratory of Technology and Environmental Management at Department of
Agroindustrial Technology IPB. The second stage, composting 6 m3 of traditional
markets organic solid waste and goat manure with natural static pile systems in
composting house Department of Civil and Environmental Engineering IPB. The
third stage was to analyze the characteristics of the compost at the Soil Research
Institute, Ministry of Agriculture, Bogor.
The results showed that the average of solid waste from seven traditional
markets in Bogor City was 115 m3/day, with composition of 90% organic (103.5
m3) and 10% inorganic (11.5 m3). Specific gravity (density) of organic solid waste
is 242 kg/m3, and of goat manure is 342 kg/m3. The characteristic analysis results
showed that organic solid waste of traditional markets have a high water content
(90% of wet weight) and potential for composting. Periode of composting was 56
days and required an are of 6.5 m2.
Conclusions of this research was 90% of the solid waste from traditional
market was organic and potential to be composted. The organic solid waste of
traditional market mixed with goat manure can be composted, and the compost
product can fulfill the standard criteria in SNI 19-7030-2004.
Keywords: characteristics, composting, natural static pile sistem, solid waste,
traditional markets.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK PENGOMPOSAN LIMBAH PADAT
PASAR TRADISIONAL DENGAN SISTEM
NATURAL STATIC PILE
MUHAMMAD NASIR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Erizal, MAgr
Judul Tesis : Karakteristik Pengomposan Limbah Padat Pasar Tradisional
dengan Sistem Natural Static Pile
Nama
: Muhammad Nasir
NIM
: F451110011
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Arief Sabdo Yuwono, MSc
Ketua
Dr Satyanto K Saptomo, STP MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknik Sipil dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Nora H Pandjaitan, DEA
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 20 Juni 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2012 ini ialah pengomposan,
dengan judul Karakteristik Pengomposan Limbah Padat Pasar Tradisional dengan
Sistem Natural Static Pile.
Terima kasih diucapkan kepada Dr Ir Arief Sabdo Yuwono, MSc dan Dr
Satyanto K Saptomo, STP MSi selaku komisi pembimbing. Juga kepada Dr Ir
Nora H Pandjaitan, DEA selaku Ketua Program Magister Teknik Sipil dan
Lingkungan dan Dr Ir Erizal MAgr selaku penguji luar komisi yang telah banyak
memberi saran. Di samping itu, penghargaan disampaikan kepada Ir Deni Susanto
dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, Ir M Ade Nugraha beserta
staf Bagian Perencanaan dan Pelaporan DKP Kota Bogor, serta saudara Handi
sebagai pelaksana lapangan di Rumah Kompos Departemen Teknik Sipil dan
Lingkungan IPB, yang telah membantu selama penelitian dan pengumpulan data.
Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu serta seluruh keluarga
atas segala do’a dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
Muhammad Nasir
F451110011
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
2
2
2
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Padat Pasar Tradisional
Komposisi dan Karakteristik Limbah Padat Pasar Tradisional
Aktivator Pengomposan
Pengomposan
Kualitas Kompos
3
3
4
6
8
15
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Prosedur Analisis Data
17
17
17
17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi dan Karakterisasi Limbah Padat Pasar Tradisional
Pengomposan Limbah Padat Organik Pasar Tradisional
Karakteristik Kompos
20
20
24
32
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
36
36
36
DAFTAR PUSTAKA
37
LAMPIRAN
40
RIWAYAT HIDUP
45
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
Kandungan hara beberapa jenis kotoran hewan
Kandungan hara kotoran kambing
Perbandingan karbon dan nitrogen berbagai bahan organik
Organisme yang berperan dalam proses pengomposan
Timbulan sampah pasar tradisional Kota Bogor
Karakteristik limbah padat organik pasar tradisional Kota Bogor
Komposisi bahan organik pasar dan kotoran kambing yang
dikomposkan
8 Perbandingan berat awal dan berat akhir kompos serta berat bahan
yang hilang
9 Beberapa indikator kematangan kompos
10 Analisis kandungan hara dan justifikasi kualitas kompos
6
7
9
14
20
22
25
33
34
35
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Bagan alir upaya minimalisasi sampah pasar tradisional
Diagram alir penelitian
Indentifikasi komposisi sampah rata-rata pasar tradisional Kota Bogor
Bak pengomposan dengan sistem natural static pile
Perubahan suhu dan pertumbuhan mikroba selama proses pengomposan
Perubahan temperatur pengomposan pada perlakuan pertama
Perubahan temperatur pengomposan pada perlakuan dua
Curve fitting untuk variasi satu
Curve fitting untuk variasi dua
Curve fitting untuk variasi tiga
Curve fitting untuk variasi empat
4
19
21
24
26
27
28
29
30
30
31
DAFTAR LAMPIRAN
1 Standar Nasional Indonesia tentang spesifikasi kompos dari sampah
organik domestik (SNI 19-7030-2004)
2 Hasil uji karakteristik limbah padat organik pasar tradisional
3 Temperatur pengomposan perlakuan satu (variasi satu dan dua),
perlakuan dua (variasi tiga dan empat).
4 Pengukuran ketinggian permukaan pengomposan
5 Karakteristik kompos dari limbah padat organik pasar tradisional Kota
Bogor
40
41
42
43
44
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Limbah padat pasar tradisional merupakan kumpulan dari berbagai macam
sayuran dan buah yang tidak layak jual (Armijo et al. 2010). Pengelolaan limbat
padat pasar menjadi kompos berarti melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu
membuat kompos dan mengurangi beban lingkungan (Rezaei et al. 2010).
Berdasarkan informasi dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor tahun
2012 menerangkan bahwa jumlah limbah padat yang dihasilkan dari pasar
tradisional di Kota Bogor adalah sebanyak 330 m3 setiap hari dan yang terangkut
sekitar 70%, sedangkan sisanya 30% tidak terangkut dan menumpuk di
lingkungan pasar sehingga menimbulkan pencemaran dan bau busuk pada
lingkungan. Hal ini disebabkan komposisi limbah padat tersebut 90% organik dan
hanya 10% anorganik. Namun, jika diolah menjadi kompos dan bernilai guna
tinggi, tentu saja akan menjadi barang yang berharga. Mengolah limbah padat
organik menjadi kompos dapat dilakukan dengan teknologi yang sederhana.
Secara umum jenis sampah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
sampah organik dan sampah anorganik. Rata-rata persentase bahan organik
sampah mencapai sekitar 75%, sehingga pengomposan merupakan alternatif
penanganan yang penting. Pengomposan dapat mengendalikan bahaya
pencemaran yang mungkin terjadi, serta dapat menghasilkan keuntungan bila
diusahakan dengan baik. Hasil akhir dari proses pengomposan merupakan bahan
yang sangat dibutuhkan untuk menyuburkan lahan pertanian, yaitu untuk
memperbaiki sifat kimia, dan biologi tanah, sehingga produktivitas tanaman dapat
lebih tinggi. Keunggulan usaha pengomposan antara lain teknologi yang
dibutuhkan sederhana, biaya penanganan relatif rendah, serta dapat dilakukan
dalam skala kecil maupun besar (Simamora dan Salundik 2006).
Torkashvand (2010) menyatakan bahwa penggunaan kompos sebagai pupuk
sangat baik karena dapat memberikan beberapa manfaat, antara lain: (1)
menyediakan unsur hara bagi tanah, (2) menggemburkan tanah, (3) memperbaiki
struktur dan tekstur tanah, (4) meningkatkan porositas, aerasi dan komposisi
mikroorganisme tanah, (5) meningkatkan daya ikat tanah terhadap air, (6)
memudahkan pertumbuhan akar tanaman, (7) menyimpan air tanah lebih lama, (8)
mencegah lapisan kering pada tanah, (9) mencegah beberapa penyakit akar, (10)
menghemat pemakaian pupuk buatan, dan (11) menurunkan aktifitas
mikroorganisme yang merugikan.
Berdasarkan hal tersebut di atas perlu diterapkan suatu teknologi untuk
mengatasi limbah padat pasar tradisional, yaitu dengan menggunakan teknologi
daur ulang limbah padat menjadi produk kompos yang bernilai guna tinggi.
Pengomposan limbah padat pasar tradisional dengan sistem natural static pile
merupakan salah satu alternatif pengolahan limbah padat organik yang dapat
diterapkan di Indonesia, mengingat bahan baku terutama limbah padat organik
pasar tradisional tersedia di pasar, dan teknologi tepat guna untuk proses
pengomposan telah cukup dikuasai. Dari sisi kepentingan lingkungan,
pengomposan dengan cara ini dapat mengurangi volume sampah pasar tradisional
yang dibuang ke TPA, karena sebagian diantaranya sudah dikomposkan.
2
Perumusan Masalah
Usaha pengomposan limbah padat organik pasar tradisional belum
sepenuhnya dilaksanakan, baik dalam skala kecil maupun besar. Atas dasar
tersebut, maka penelitian ini diarahkan pada permasalahan sebagai berikut:
1. Seberapa besar komposisi limbah organik pasar tradisional dan bagaimana
karakteristiknya, dapatkah dijadikan sebagai bahan baku pengomposan.
2. Bagaimana cara mengomposkan limbah padat organik pasar tradisional
dengan sistem natural static pile.
3. Bagaimana kualitas kompos yang dihasilkan, apakah sesuai dengan baku
mutu kompos yang dipersyaratkan dalam SNI 19-7030-2004.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Melakukan identifikasi dan karakterisasi limbah padat pasar tradisional.
2. Melakukan pengomposan limbah padat pasar tradisional.
3. Menganalisis karakteristik kompos yang dihasilkan dan membandingkan
kualitasnya dengan Standar Nasional Indonesia (SNI 19-7030-2004).
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan masyarakat dapat melakukan
pengomposan dengan sistem natural static pile dari limbah padat pasar tradisional
berupa sisa sayuran pada pasar tradisional, agar sampah yang dibuang ke TPA
dapat dikurangi dan dapat mencegah pencemaran lingkungan akibat sampah serta
menciptakan lingkungan pasar yang lebih bersih dan sehat. Penelitian ini juga
dapat memberikan masukan kepada pemerintah Kota Bogor agar dapat mendesain
tempat pengomposan limbah padat organik, khususnya pasar tradisional sesuai
dengan kapasitas limbah yang diproduksi.
Ruang Lingkup Penelitian
Untuk membatasi pembahasan dan menghindari kesalahan persepsi dalam
memahami penelitian ini, maka pembahasan dibatasi hanya menganalisis
karakteristik bahan baku pengomposan, melakukan pengomposan dengan sistem
natural static pile dan menganalisis karakteristik kompos yang dihasilkan serta
membandingkannya dengan SNI 19-7030-2004. Penelitian ini tidak membahas
aspek manajemen penjualan (marketing management) kompos.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Padat Pasar Tradisional
Limbah padat adalah sampah, lumpur dan bahan-bahan padat buangan yang
dihasilkan dari operasi komersial dan kegiatan masyarakat, tidak termasuk
material padat atau terlarut pada saluran atau polutan pada sumber-sumber air,
seperti endapan, padatan terlarut atau mengendap pada keluaran air limbah, bahan
terlarut pada aliran irigasi atau polutan air lainnya (Fagnano et al. 2011).
Menurut Queda et al. (2004) limbah padat atau sampah dapat dibedakan
menjadi tiga jenis, pertama sampah organik yakni sampah yang dihasilkan dari
kegiatan pertanian, perikanan, peternakan, rumah tangga dan sebagainya, yang
secara alami mudah terurai oleh aktifitas mikroorganisme. Kedua anorganik yakni
sampah yang berasal dari sumber daya alam tidak dapat diperbaharui seperti
mineral dan minyak bumi, atau hasil samping proses organik, tidak mudah hancur
atau lapuk serta sebagian tidak dapat diuraikan oleh alam, sedangkan sebagian
lainnya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Ketiga sampah bahan
berbahaya dan beracun (B3), merupakan sisa suatu usaha yang mengandung
bahan berbahaya atau beracun, baik secara langsung atau tidak langsung dapat
merusak atau mencemarkan bahkan membahayakan lingkungan hidup, kesehatan
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
Pada umumnya sampah pasar sebagian besar terdiri dari sisa-sisa sayuran
dan buah yang kadar airnya tinggi sehingga cepat membusuk. Jumlah yang besar
dikeluarkan dari pasar setiap harinya merupakan potensi yang pantas
diperhitungkan. Dengan mengolah sampah pasar menjadi kompos berarti
melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu membuat kompos dan mengurangi
beban lingkungan (Herrera et al. 2008). Berdasarkan informasi dari Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor 2003 dalam Murniwati (2006)
menerangkan bahwa jumlah sampah yang dihasilkan dari pasar tradisional di Kota
Bogor adalah sebanyak 262 m3 setiap hari dan yang terangkut sekitar 233 m3,
sedangkan 29 m3 lagi tidak terangkut dan menumpuk di lingkungan pasar
sehingga menimbulkan pencemaran dan bau busuk pada lingkungan.
Permasalahan yang timbul karena jumlah sampah yang terus bertambah,
memerlukan upaya yang serius yang melibatkan semua pihak untuk dapat
menanggulanginya secara berkesinambungan. Upaya minimalisasi sampah pasar,
telah dilaksanakan pada tahun 2001 oleh Unesco bekerjasama dengan LSM dan
pasar tradisional berupa Program Pasar Bersih/Propasih (Setyawan, 2006).
Gambar 1 merupakan bagan alir upaya minimalisasi sampah pasar.
Taboada-González et al. (2011) menyatakan bahwa limbah organik
merupakan limbah yang paling besar mencemari lingkungan. Mikroorganisme
alami tangki septik mampu mendegradasi bahan organik dalam limbah pasar. Hal
ini ditunjukkan oleh perubahan parameter BOD dari 1 830 mg/l menjadi 600 mg/l,
COD dari 1 640 mg/l menjadi 226.7 mg/l, TSS dari 0.85 mg/l menjadi 0.19 mg/l,
TDS dari 3.76 mg/l menjadi 4.59 mg/l dan pH dari 2 menjadi 9. Upaya
minimalisasi sampah pasar tradisional ditunjukkan pada Gambar 1 dalam bentuk
diagram alir.
4
PEDAGANG
Sayur, buah
Ikan, daging
Kelontong
Lain-lain
PEMILAHAN DARI SUMBER SAMPAH
Sampah basah
Sampah Kering
Residu
KOMPOS
Sampah
kaca, logam
Residu
Material
Sampah
plastik
Sampah
kayu
Kerajinan
Arang
Gambar 1 Bagan alir upaya minimalisasi sampah pasar tradisional
(Olfati et al. 2009)
Minimalisasi sampah dilakukan dengan pemilahan sampah di tingkat para
pedagang dengan cara menyediakan tempat sampah yang berbeda untuk sampah
basah dan sampah kering. Sampah basah meliputi sisa sayur, buah, ikan dan daun
pembungkus, umumnya merupakan 80% dari seluruh sampah pasar. Sampah
kering meliputi antara lain kertas, plastik, kayu, kain, logam dan kaca. Selanjutnya
sampah basah dapat dijadikan kompos sedangkan sampah kering dapat diolah dan
digunakan kembali. Langkah mengurangi sampah dari sumbernya tidak akan
efektif tanpa peran aktif para pedagang sebagai penghasil utama sampah dan para
pedagang juga yang merasakan dampak negatif sampah (Olfati et al. 2009).
Komposisi dan Karakteristik Limbah Padat Pasar Tradisional
Komposisi
Komposisi limbah padat pasar tradisional terdiri dari limbah padat organik
dan anorganik. Limbah padat organik adalah sampah yang dihasilkan dari
kegiatan pasar yang sifatnya cepat membusuk karena memiliki kadar air yang
tinggi seperti sisa buah-buahan dan sayur-sayuran. Sedangkan sampah anorganik
tidak cepat membusuk dan tidak mudah terurai atau hancur (Kumar 2010).
Pengelompokan berikutnya yang juga sering dilakukan adalah berdasarkan
komposisinya, misalnya dinyatakan sebagai % berat (biasanya berat basah) atau %
volume (basah) dari kertas, kayu, kulit, karet, plastik, logam, kaca, kain, makanan,
dan lain-lain.
5
Rahman dan Ali (2004) menyatakan pengertian sampah organik lebih
bersifat untuk mempermudah pengertian umum, untuk menggambarkan
komponen sampah yang cepat terdegradasi (membusuk), terutama yang berasal
dari sisa makanan. Sampah yang membusuk (garbage) adalah sampah yang
dengan mudah terdekomposisi karena aktivitas mikroorganisme. Dengan
demikian pengelolaannya menghendaki kecepatan, baik dalam pengumpulan,
pembuangan, maupun pengangkutannya. Pembusukan sampah ini dapat
menghasilkan bau tidak enak, seperti ammoniak dan asam-asam volatil lainnya.
Selain itu, dihasilkan pula gas-gas hasil dekomposisi, seperti gas metan dan
sejenisnya, yang dapat membahayakan keselamatan bila tidak ditangani secara
baik. Penumpukan sampah yang cepat membusuk perlu dihindari. Sampah
kelompok ini kadang dikenal sebagai sampah basah, atau juga dikenal sebagai
sampah organik. Kelompok inilah yang berpotensi untuk diproses dengan bantuan
mikroorganisme, misalnya dalam pengomposan atau gasifikasi.
Sampah yang tidak membusuk pada umumnya terdiri atas bahan-bahan
kertas, logam, plastik, gelas, kaca, dan lain-lain. Sampah kering sebaiknya didaur
ulang, apabila tidak maka diperlukan proses lain untuk memusnahkannya, seperti
pembakaran. Namun pembakaran atau refuse ini juga memerlukan penanganan
lebih lanjut, dan berpotensi sebagai sumber pencemaran udara yang bermasalah,
khususnya bila mengandung plastik PVC. Kelompok sampah ini dikenal pula
sebagai sampah kering, atau sering pula disebut sebagai sampah anorganik
(Kumar et al. 2009).
Murniwati (2006) menjelaskan bahwa sampah pasar yang terbanyak berupa
sisa sayuran yaitu sebanyak 46.96 % dan yang berupa kertas, kardus, plastik,
karet, pecahan kaca sekitar 41.16 % serta sampah lainnya sebanyak 11.88 %.
Sampah yang berupa kertas, kardus, plastik, karet banyak dijumpai pada pedagang
yang berjualan bahan-bahan pokok. Sampah jenis ini biasanya tidak dibuang tapi
dikumpulkan untuk digunakan kembali. Sampah berupa sisa sayuran dan buahbuahan biasanya dibuang ke tempat pembuangan sehingga sampah pasar
didominasi sampah jenis ini.
Monson dan Murugappan (2010) menyatakan bahwa dengan mengetahui
komposisi sampah dapat ditentukan cara pengolahan yang tepat dan yang paling
efisien sehingga dapat diterapkan proses pengolahannya. Semakin bertambah
sederhana pola hidup masyarakat, maka semakin bertambah banyak komponen
sampah organik yang dihasilkan. Pemukiman dan pasar merupakan sumber
sampah terbesar dengan komposisi sampah basah atau sampah organik sebesar
73-78%. Dengan kondisi seperti itu disertai kelembaban sampah yang tinggi,
maka sampah akan sangat cepat membusuk.
Karakteristik
Selain komposisi, maka karakteristik lain yang bisa ditampilkan dalam
penanganan sampah adalah karakteristik fisika dan kimia. Karakteristik sampah
sangat bervariasi, tergantung pada komponen-komponen sampah. Kekhasan
sampah dari berbagai tempat atau daerah serta jenisnya yang berbeda-beda
memungkinkan sifat-sifat yang berbeda pula. Sampah kota di negara-negara yang
sedang berkembang akan berbeda susunan dengan sampah kota di negara-negara
maju (Sullivan 2010).
6
Tingginya kelembaban kedua jenis sampah organik dan anorganik tersebut
karena komponen terbanyaknya merupakan sampah makanan. Seperti yang
diketahui bahwa sampah makanan mempunyai kadar air yang tinggi yaitu 70%
dibandingkan dengan komponen sampah lainnya (Tucker 2009). Karakteristik
sampah dapat dikelompokkan menurut sifat-sifatnya. Ada dua karakteristik
sampah. Pertama karakteristik fisika yang meliputi densitas, kadar air, kadar
volatil, kadar abu, nilai kalor dan distribusi ukuran. Kedua, karakteristik kimia
khususnya yang menggambarkan susunan kimia sampah tersebut yang terdiri dari
unsur C, N, O, P, H, S, dan sebagainya (Amouei et al. 2010).
Metode penentuan dan jumlah sampah sampel timbulan dan komposisi
sampah kota di Indonesia telah diatur berdasarkan SNI 19-3964-1994. Sesuai
metode SNI, penentuan timbulan dan komposisi sampah kota dilakukan terhadap
semua sumber sampah yaitu domestik (rumah tangga) dan non domestik meliputi
sampah komersial, institusi, pelayanan kota (sapuan jalan) dan industri. Dengan
mengetahui timbulan, komposisi dan karakteristik sampah terutama yang berada
dari sumber representatif, permasalahan dalam pengelolaan persampahan dapat
dicegah dan diantisipasi sedini mungkin. Data ini juga dapat digunakan untuk
mendesain pengelolaan sampah (terutama di sumber) dan teknologi pengolahan
sampah yang tepat, sehingga pembuangan akhir sampah ke TPA dapat dikurangi,
sesuai dengan pola yang diterapkan negara-negara maju dalam dekade ini
(Setyorini et al. 2005).
Aktivator Pengomposan
Pierzynski et al. (2005) mendefinisikan bahwa setiap zat atau bahan yang
dapat mempercepat dekomposisi bahan organik dalam tumpukan kompos disebut
sebagai aktivator. Aktivator tersebut mempengaruhi tumpukan kompos melalui
dua cara, yaitu inokulasi strain mikroorganisme yang efektif dalam
menghancurkan bahan organik dan meningkatkan kadar nitrogen yang merupakan
makanan dari mikroorganisme tersebut.
Setyawan (2006) menyatakan bahwa kotoran hewan yang berasal dari usaha
peternakan adalah kotoran ayam, sapi, kerbau, kambing, kuda, dan sebagainya.
Komposisi hara pada masing-masing kotoran hewan berbeda tergantung pada
jumlah dan jenis makanannya. Secara umum, kandungan hara dalam kotoran
hewan jauh lebih rendah dari pada pupuk kimia, sehingga takaran penggunaannya
juga akan lebih tinggi. Kandungan hara beberapa jenis kotoran hewan ditunjukkan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan hara beberapa jenis kotoran hewan
Sumber
Sapi perah
Sapi daging
Kuda
Unggas
Kambing
N
P
K
0.53
0.65
0.7
1.5
1.28
0.35
0.15
0.1
0.77
0.19
0.41
0.3
0.58
0.89
0.93
Sumber: Setyorini et al. (2005)
Ca
[ % ]
0.28
0.12
0.79
0.3
0.59
Mg
S
0.11
0.1
0.14
0.88
0.19
0.05
0.09
0.07
0
0.09
Fe
0.004
0.004
0.01
0.1
0.02
7
Namun demikian, Setyorini et al. (2005) menambahkan bahwa hara dalam
kotoran hewan ini ketersediaannya (release) lambat sehingga tidak mudah hilang.
Ketersediaan hara sangat dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi/mineralisasi dari
bahan-bahan tersebut. Rendahnya ketersediaan hara dari pupuk kandang antara
lain disebabkan karena bentuk N, P serta unsur lain terdapat dalam bentuk
senyawa komplek organo protein atau senyawa asam humat atau lignin yang sulit
terdekomposisi. Selain mengandung hara bermanfaat, pupuk kandang juga
mengandung bakteri saprolitik, pembawa penyakit, dan parasit mikroorganisme
yang dapat membahayakan hewan atau manusia. Oleh karena itu pengelolaan dan
pemanfaatan pupuk kandang harus hati-hati.
Menurut Tan (dalam Satyorini et al. 2005) menjelaskan bahwa kotoran sapi
mengandung unsur N sebanyak 0.498%, unsur P 71.75 ppm, unsur K 15.18
me/100gr, unsur Ca sebanyak 5.82 me/100gr, unsur Mg 9.04 me/100gr, dan unsur
C sebanyak 25.05%. Nisbah C/N kotoran sapi 50.30. Kotoran ayam mengandung
unsur N, P, K, Ca, Mg, dan C berturut-turut sebanyak sebanyak 0.824%; 236.5
ppm; 24.38 me/100gr; 3.74 me/100gr; 8.93 me/100gr; dan 25.68%. Nisbah C/N
kotoran ayam adalah 31.17. Kotoran kambing mengandung N, P dan K berturutturut 1.28%, 0.19%, dan 0.93% (Setyorini et al. 2005). Nazif (2011) menyatakan
kandungan hara khusus kotoran kambing ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan hara kotoran kambing
Kandungan hara
Nilai
Satuan
C-organik
3.77
%
N-total
0.55
%
P 2 O5
0.44
%
K2O
0.32
%
CaO
2.00
%
MgO
0.44
%
Fe
0.77
%
Mn
0.053
%
Zn
152
ppm
Co
3
ppm
Sumber: Nazif (2011)
Meskipun kotoran ternak ini memiliki sejumlah manfaat bagi kesuburan
tanah dan tanaman, tetapi dalam penggunaan hendaknya berhati-hati. Kotoran
yang baru dikeluarkan oleh ternak belum dapat dimanfaatkan sebagai pupuk,
tetapi masih sebagai kotoran ternak. Jika kotoran ternak ini diberikan pada
tanaman, maka yang terjadi pada tanaman tersebut tidak akan menambah
kesuburan, tetapi sebaliknya dapat menyebabkan tanaman layu atau bahkan mati.
8
Hal ini disebabkan kotoran ternak masih mentah atau menurut istilah petani masih
panas (Xie et al. 2006).
Jerami padi ditambah kotoran ayam ataupun kotoran kambing dapat dijadikan
kompos. Kegiatan pengelolaan limbah pertanian berupa jerami dilakukan dengan
tujuan memanfaatkan kembali produksi limbah pertanian yang kurang bermanfaat,
memperkecil biaya pengelolaan limbah pertanian, mengurangi jarak transportasi
limbah pertanian, meningkatkan nilai tambah limbah pertanian (Yuwono et al. 2011).
Pengomposan
Proses pengomposan
Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah
dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap,
yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Ojoawo et al (2011), selama tahap-tahap
awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera
dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat
dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu
akan meningkat hingga di atas 50-70oC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu
tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu
mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekmposisi atau
penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos
dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap
air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan
berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos
tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses
pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan.
Pengurangan ini dapat mencapai 30–40% dari volume atau bobot awal bahan (Xi
et al. 2012).
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik atau anaerobik. Proses
yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan
oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga
terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses
ini tidak diinginkan selama proses pengomposan karena akan dihasilkan bau yang
tidak sedap. Proses aerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau
seperti asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine),
amonia dan H2S (Rao et al. 2009).
Kompos adalah hasil penguraian bahan organik melalui proses biologis
dengan bantuan organisme pengurai. Proses penguraian dapat berlangsung secara
aerob maupun anaerob (Hargreaves et al. 2008). Hall (2011) menyatakan bahwa
kompos adalah bahan organik (sampah organik) yang telah mengalami proses
pelapukan karena adanya interaksi antara mikroba yang bekerja di dalamnya.
Kompos sebagai produk dari proses penguraian bahan organik memiliki sifat-sifat
yang baik untuk menyuburkan tanah dan menyediakan unsur hara bagi tanaman.
namun orang tidak tertarik untuk mengolah sampah menjadi kompos, karena
proses dekomposisi dan pematangannya yang lama. Di alam kompos matang
memerlukan waktu yang lama. Selain itu, biaya tenaga kerja yang tinggi dan
seringnya muncul gulma dan penyakit. Oleh karena itu, perlu teknologi dengan
bantuan manusia agar mampu mengatasi hal tersebut.
9
Domingo dan Nadal (2009) mendefinisikan pengomposan sebagai
dekomposisi biologi dari bahan organik sampah di bawah kondisi yang terkontrol.
Proses tersebut dapat menggunakan atau tidak menggunakan oksigen. Proses yang
menggunakan oksigen disebut aerobik sedangkan proses yang tidak menggunakan oksigen disebut proses anaerobik. Pengomposan secara aerobik dapat
memproduksi kompos secara cepat dan produksinya relatif bebas patogen,
sedangkan yang secara anaerobik membutuhkan waktu dekomposisi yang lama
dan jarang bebas dari patogen dan masalah bau. Tweib et al. (2011) menyatakan
pengomposan adalah suatu proses biokimia yang mendekomposisi bahan-bahan
organik menjadi zat-zat seperti humus (kompos) oleh kelompok-kelompok
mikroba heterofilik yang berbeda-beda, yang meliputi bakteri, kapang, protozoa
dan aktinomicetes. Mikroba solulolitik dan lignolitik sangat berperan dalam
mendekomposisikan komponen dari bahan organik yang terdegradasi secara
lambat. Proses pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang
dikomposkan, aktivator pengomposan yang dipergunakan dan metode pengomposan yang dilakukan.
Faktor yang mempengaruhi pengomposan
Secara umum, faktor yang paling mempengaruhi proses pengomposan
adalah karakteristik bahan yang dikomposkan, bioaktivator yang digunakan, serta
metode pengomposan yang diaplikasikan. Paulin dan O'malley (2008)
menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan dapat
dirinci sebagai berikut:
a. Rasio C/N
Zat arang atau karbon (C) dan nitrogen (N) ditemukan di seluruh bagian
sampah organik. Dalam proses pengomposan, C merupakan sumber energi bagi
mikroba sedangkan N berfungsi sebagai sumber makanan dan nutrisi bagi
mikroba. Nilai rasio C/N tergantung pada jenis sampah pada Tabel 3, namun rasio
C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1.
Tabel 3 Perbandingan karbon dan nitrogen berbagai bahan organik
Jenis Bahan
Sampah sayuran
Sisa dapur campur
Jerami
Batang jagung
Serbuk gergaji
Kayu
Daun-daunan pohon
Kotoran sapi
Kotoran ayam
Kotoran kuda
Sisa buah-buahan
Perdu/semak
Rumput-rumputan
Kulit batang pohon
Kertas
Sumber: Paulin dan O'malley (2008).
Rasio C/N
12-20:1
15:1
70:1
100:1
500:1
400:1
40-60:1
20:1
10:1
25:1
35:1
15-60:1
12-25:1
100-130:1
150-200:1
10
Tabel 3 menunjukkan perbandingan kandungan C dan N dalam berbagai
bahan organik. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan
menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30-40, mikroba
mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio
C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga
penguraian berjalan lambat (Paulin dan O’malley 2008).
b. Ukuran partikel
Ukuran partikel sangat menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas).
Pori yang cukup akan memungkinkan udara dan air tersebar lebih merata dalam
tumpukan. Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan
memperkecil ukuran partikel bahan tersebut, dimana ukuran partikel yang optimal
untuk pengomposan adalah 2-10 cm. Partikel yang berukuran besar akan
menghambat aerasi dan kinerja mikroba sehingga proses pematangan akan
membutuhkan waktu lebih lama. Selain itu, semakin meningkatnya kontak antara
mikroba dengan bahan maka proses penguraian juga akan semakin cepat (Ojoawo
et al. 2011).
c. Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen.
Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadinya peningkatan suhu yang akan
menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam
tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh porositas, ukuran partikel bahan dan
kandungan air bahan (kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka dapat terjadi
proses anaerob yang akan menghasilkan amonia yang berbau menyengat. Aerasi
dapat ditingkatkan dengan pembalikan atau pengaliran udara ke tumpukan
kompos (Li dan Xu 2007).
d. Porositas
Porositas adalah rongga diantara partikel di dalam tumpukan kompos yang
berisi air atau udara. Udara akan mensuplai oksigen untuk proses pengomposan.
Apabila rongga memiliki kandungan air yang cukup banyak, maka pasokan
oksigen akan berkurang dan proses pengomposan akan terganggu. Porositas
dipengaruhi oleh kadar air dan udara dalam tumpukan. Oleh karena itu, untuk
menciptakan kondisi porositas yang ideal pada saat pengomposan, perlu
diperhatikan kandungan air dan kelembaban kompos (Deddy 2005).
e. Kelembaban
Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses
metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen.
Organisme pengurai dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik
tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40-60 % adalah kisaran optimum untuk
metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan
mengalami penurunan. Jika kelembaban lebih besar dari 60%, maka unsur hara
akan tercuci dan volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan
menurun dan akan terjadi fermentasi anaerob. Oleh karena itu, menjaga
kandungan air agar kelembaban ideal untuk pengomposan sangatlah penting
(Chairiah 2006).
11
f. Temperatur
Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba diakibatkan oleh peningkatan suhu
dan konsumsi oksigen yang memiliki hubungan berbandingan lurus. Semakin
tinggi suhu, maka akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin
cepat pula proses penguraian. Tingginya oksigen yang dikonsumsi akan
menghasilkan CO dari hasil metabolisme mikroba sehingga bahan organik
semakin cepat terurai. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada
tumpukan kompos. Suhu yang berkisar antara 30ºC-60ºC menunjukkan aktivitas
pengomposan yang cepat. Sedangkan suhu yang lebih tinggi dari 60ºC akan
membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba termofilik saja yang tetap
bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen
tanaman dan benih-benih gulma. Ketika suhu telah mencapai 70ºC, maka segera
lakukan pembalikan tumpukan atau penyaluran udara untuk mengurangi suhu,
karena akan mematikan mikroba termofilik (Elango et al. 2009).
g. pH
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH 5.5-9. Proses
pengomposan akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan
itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam secara temporer atau lokal
akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari
senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fasefase awal pengomposan. Kadar pH kompos yang sudah matang biasanya
mendekati netral. Kondisi kompos yang terkontaminasi air hujan juga dapat
menimbulkan masalah pH tinggi (Monson dan Murugappan 2010).
Kompos
Yulianto et al. (2009) menyatakan bahwa berdasarkan komposisi kandungan
unsur hara yang ada pada sampah organik maka, kompos berbahan baku sampah
pasar dapat menjadi kompos yang berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari
kandungan hara makro dan mikro kompos yang lengkap serta mikroorganisme
menguntungkan bagi tanah. Hartatik dan Widowati (2007) menyatakan bahwa
penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah (soil conditioner) dapat
meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga mempertahankan dan
menambah kesuburan tanah pertanian. Karakteristik umum dimiliki kompos
antara lain: (1) mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi
tergantung bahan asal; (2) menyediakan unsur hara secara lambat (slow release)
dan dalam jumlah terbatas; dan (3) mempunyai fungsi utama memperbaiki
kesuburan dan kesehatan tanah (Yuwono 2004). Berikut ini diuraikan fungsi
kompos dalam memperbaiki kualitas kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah.
a. Sifat fisika
Kompos memperbaiki struktur tanah yang semula padat menjadi gembur
sehingga mempermudah pengolahan tanah. Tanah berpasir menjadi lebih kompak
dan tanah lempung menjadi lebih gembur. Penyebab kompak dan gemburnya
tanah ini adalah senyawa-senyawa polisakarida yang dihasilkan oleh
mikroorganisme pengurai serta miselium atau hifa yang berfungsi sebagai perekat
partikel tanah. Dengan struktur tanah yang baik ini berarti difusi O atau aerasi
akan lebih banyak sehingga proses fisiologis di akar akan lancar. Perbaikan
agregat tanah menjadi lebih lemah akan mempermudah penyerapan air ke dalam
12
tanah sehingga proses erosi dapat dicegah. Kadar bahan organik yang tinggi di
dalam tanah memberikan warna tanah yang lebih gelap (warna humus coklat
kehitaman), sehingga penyerapan energi sinar matahari lebih banyak dan fluktuasi
suhu di dalam tanah dapat dihindarkan. Takaran kompos sebanyak 5 ton/ha
meningkatkan kandungan air tanah pada tanah-tanah yang subur (Adhikari 2005).
b. Sifat kimia
Kompos merupakan sumber hara makro dan mikromineral secara lengkap
meskipun dalam jumlah yang relatif kecil (N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, B, Zn, Mo,
dan Si). Dalam jangka panjang, pemberian kompos dapat memperbaiki pH dan
meningkatkan hasil tanaman pertanian pada tanah-tanah masam. Pada tanah-tanah
yang kandungan P-tersedia rendah, bentuk fosfat organik mempunyai peranan
penting dalam penyediaan hara tanaman karena hampir sebagian besar P yang
diperlukan tanaman terdapat pada senyawa P-organik. Sebagian besar P-organik
dalam organ tanaman terdapat sebagai fitin, fosfolipid, dan asam nukleat. Kedua
yang terakhir hanya terdapat sedikit dalam bahan organik tanah karena senyawa
tersebut mudah digunakan oleh jasad renik tanah. Turunan senyawa-senyawa
tersebut sangat penting dalam tanah (karena kemampuannya membentuk senyawa
dengan kation polivalen), terdapat dalam jumlah relatif tinggi, tetapi yang
dekomposisinya lambat ialah inositol. Pada tanah alkalin, terbentuk inositol fosfat
dengan Ca atau Mg, sedangkan pada tanah masam dengan Al atau Fe. Panorganik dalam bentuk Al-Fe; Ca-P yang tidak tersedia bagi tanaman, akan
dirombak oleh organisme pelarut P menjadi P-anorganik yang larut atau tersedia
bagi tanaman (Zhang et al. 2013).
Selain itu, kompos juga mengandung humus (bunga tanah) yang sangat
dibutuhkan untuk peningkatan hara makro dan mikro dan sangat dibutuhkan
tanaman. Misel humus mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang lebih besar
daripada misel lempung (3-10 kali) sehingga penyediaan hara makro dan
mikromineral lebih lama. Kapasitas tukar kation (KTK) asam-asam organik dari
kompos lebih tinggi dibandingkan mineral liat, namun lebih peka terhadap
perubahan pH karena mempunyai sumber muatan tergantung pH (pH dependent
charge). Pada nilai pH 3.5, KTK liat dan C-organik sebesar 45.5 dan 199.5 me
100 g-1 sedangkan pada pH 6.5 meningkat menjadi 63 dan 325.5 me 100 g-1. Nilai
KTK mineral liat kaolinit (3-5 me 100 g-1), illit (30-40 me 100 g-1), montmorilonit
(80-150 me 100 g-1) sedangkan pada asam humat (485-870 me 100 g-1) dan asam
fulfat (1.400 me 100 g-1). Oleh karena itu, penambahan kompos ke dalam tanah
dapat meningkatkan nilai KTK tanah (Gautam et al. 2010).
Deteksi emisi bau dari fasilitas pengomposan yang dilakukan dengan
menggunakan QCM (Quartz Crystal Microbalance) yaitu seperangkat alat sensor
kristal kuarsa yang dilapisi dengan bahan yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa
perubahan frekuensi emisi bau telah terdeteksi selama perubahan periode
pengomposan. Analisis kimia menunjukkan bahwa emisi bau terdiri dari
sedikitnya 22 senyawa berbau dilepaskan dari fasilitas pengomposan (Yuwono et
al. 2003).
c. Sifat biologi
Goldstein (2007) menyatakan bahwa kompos banyak mengandung
mikroorganisme (fungi, aktinomisetes, bakteri, dan alga). Penambahan kompos ke
dalam tanah tidak hanya jutaan mikroorganisme yang bertambah, akan tetapi
13
mikroorganisme yang ada dalam tanah juga terpacu untuk berkembang. Proses
dekomposisi lanjut oleh mikroorganisme akan tetap terus berlangsung tetapi tidak
mengganggu tanaman. Gas CO yang dihasilkan 2 mikroorganisme tanah akan
dipergunakan untuk fotosintesis tanaman, sehingga pertumbuhan tanaman akan
lebih cepat. Amonifiksi, nitrifikasi, dan fiksasi nitrogen juga meningkat karena
pemberian bahan organik sebagai sumber karbon yang terkandung di dalam
kompos. Aktivitas berbagai mikroorganisme di dalam kompos menghasilkan
hormon-hormon pertumbuhan, misalnya auksin, giberelin, dan sitokinin yang
memacu pertumbuhan dan perkembangan akar-akar rambut sehingga daerah
pencarian makanan lebih luas. Pemberian kompos pada lahan sawah akan
membantu mengendalikan atau mengurangi populasi nematoda, karena bahan
organik memacu perkembangan musuh alami nematoda, yaitu cendawan dan
bakteri serta memberi kondisi yang kurang menguntungkan bagi perkembangan
nematoda. Munculnya serangan nematoda penyebab penyakit bintil akar pada
akar tanaman padi di beberapa daerah dipicu oleh penggunaan pupuk urea yang
intensif.
Peigné dan Girardin (2004) menyatakan kompos merupakan bentuk akhir
dari bahan-bahan organik sampah domestik dan pasar yang telah mengalami
proses penguraian. Kematangan kompos ditunjukkan oleh hal-hal berikut:
1. C/N rasio mempunyai nilai 10-20
2. Suhu sesuai dengan suhu air tanah
3. Berwarna kehitaman dan tekstur seperti tanah
4. Berbau tanah
Pengolahan kompos untuk meningkatkan kualitas kompos antara lain dapat
dilakukan dengan cara: pengeringan, penghalusan, pembuatan granul, dan
pengemasan. Kompos dengan kualitas tinggi sesuai dengan kriteria tabel SNI pada
Lampiran 1.
Dengan adanya SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk kompos, maka
dapat dinilai mutu kompos yang dihasilkan. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa hasil kompos yang dibuat bermutu tinggi jika memenuhi SNI kompos.
Karena mutu dan kualitas kompos akan berpengaruh pada penjualan produk
kompos ke pasaran. Kompos dengan kualitas tinggi dan harga jual yang
terjangkau akan banyak dicari oleh para konsumen. Oleh karena itu, proses
pembuatan kompos dari sampah organik pasar harus dilakukan secara cermat dan
teliti. Mutu kompos yang baik dapat dihasilkan selain dari bahan kompos yang
baik (sampah), juga tergantung dari proses pembuatan kompos (pengomposan)
yang harus dilakukan sesuai dengan prosedur pelaksanaan.
Fungi utama kompos adalah membatu memperbaiki sifat fisik, kimia dan
biologi tanah. Secara fisik kompos dapat menggemburkan tanah, aplikasi kompos
pada tanah akan meningkatkan jumlah rongga sehingga tanah menjadi gembur.
Sementara sifat kimia yang mampu dibenahi dengan aplikasi kompos adalah
meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) pada tanah dan dapat meningkatkan
kemampuan tanah dalam menyimpan air (water holding capacity). Sedangkan
untuk perbaikan sifat biologi, kompos dapat meningkatkan populasi mikroorganisme dalam tanah (Simamora dan Salundik 2006).
Dalam proses ini organisme pengurai mengambil sumber makanan dari
sampah atau bahan organik yang diolah lalu mengeluarkan sisa metabolisme
berupa karbon dioksida (CO2), serta panas yang menghasilkan uap air (H2O). Oleh
14
kerena itu, kinerja organisme pengurai dapat dipantau dengan pengamatan
temperatur (suhu), tekstrur, dan perubahan warna serta bau. Peningkatan suhu,
tekstur dan struktur tidak lengket dan remah serta warna menjadi gelap mengkilat
menandakan adanya kegiatan organisme pengurai yang berjalan dengan baik dan
bau menyengat kompos yang semakin hari semakin hilang.
Yulianto et al. (2009) menyatakan bahwa rata-rata produksi sampah rumah
tangga di Indonesia 2.6 liter per orang /hari atau rata-rata 15 liter/keluarga per
hari. Sekitar kompos 50-80% (7.5 – 12.5 liter) merupakan sampah organik yang
dapat diolah menjadi kompos. Manfaat yang diperoleh dari segi teknologi yaitu
penerapan teknik penanggulangan sampah yang lebih ramah lingkungan
dibandingkan dengan teknik yang lain seperti landfill dan pembakaran, mudah
dipelajari dan diterapkan serta membutuhkan modal yang relatif sedikit. Dari segi
ekonomi dapat menghemat biaya pengololaan sampah dan memenuhi kebutuhan
pupuk organik sendiri. Dari segi ekologi akan mengurangi pencemaran akibat
sampah, dan menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat, dan
mendukung upaya pelestarian sumber daya alam dan mengurangi pemakaian
pestisida dan herbisida. Sedangkan dari segi sosial, dapat menciptakan
kesempatan kerja dengan pendapatan yang layak dan menciptakan image positif
atau meningkatkan citra kepedulian terhadap lingkungan (Seo et al. 2003).
Keunggulan kompos adalah kandungan unsur hara makro maupun mikronya
yang lengkap. Unsur hara makro yang terkandung dalam kompos antara lain N, P,
K, Ca, Mg, dan S, sedangkan kandungan unsur mikronya antara lain Fe, Mn, Zn,
Cl, Cu, Mo, Na dan B (Stoffella dan Kahn 2001). Pengomposan adalah proses
penguraian bahan organik secara alamiah dengan bantuan organisme pengurai.
Tabel 4 menjelaskan organisme yang terlibat dalam proses pengomposan.
Tabel 4 Organisme yang berperan dalam proses pengomposan
Mikroba
Jumlah populasi mikroba pada fase
Mesofilik < 40oC
Termosofilik < 40o- 70oC
Bakteri
Mesofilik
108
106
Termofilik
Actinomycetes
Termofilik
Jamur
104
109
104
108
Mesofilik
106
103
Termofilik
103
107
Sumber: Stoffella dan Kahn (2001)
Pengomposan bisa terjadi karena adanya mikroorganisme aktif yang
mengontrol proses pengomposan seperti bakteri, actynomicetes, jamur dan
protozoa (Sullivan 2010). Mikrorganisme ini secara alami tersedia pada bahan
organik termasuk limbah makanan, tanah, dedaunan dan limbah organik lainnya
(Rahman dan Ali 2004).
Beberapa elemen penting yang perlu diperhatikan dalam pengomposan
adalah kandungan hara seperti Carbon (C), Nitrogen (N), Phosphor (P), Sulfur
15
(S), dan hara lainnya. Karbon berfungsi sebagai sumber energi sedangkan
nitrogen sebagai pertumbuhan populasi mikroba. Agar ef
PASAR TRADISIONAL DENGAN SISTEM
NATURAL STATIC PILE
MUHAMMAD NASIR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Karakteristik
Pengomposan Limbah Padat Pasar Tradisional dengan Sistem Natural Static Pile”
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Muhammad Nasir
F451110011
RINGKASAN
MUHAMMAD NASIR. Karakteristik Pengomposan Limbah Padat Pasar
Tradisional dengan Sistem Natural Static Pile. Dibimbing oleh ARIEF SABDO
YUWONO dan SATYANTO KRIDO SAPTOMO.
Limbah padat pasar tradisional merupakan kumpulan dari berbagai macam
sayuran dan buah serta bahan lainnya yang tidak layak jual, baik yang bersifat
organik maupun anorganik. Jumlah limbah padat yang dihasilkan dari pasar
tradisional di Kota Bogor adalah sebanyak 330 m3 per hari dan yang terangkut
sekitar 70%. Sisanya sebanyak 30% tidak terangkut dan menumpuk di
lingkungan pasar sehingga menimbulkan pencemaran dan bau busuk di
lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan komposisi limbah padat tersebut adalah
90% organik dan 10% anorganik. Namun, limbah padat ini dapat diolah menjadi
kompos sehingga mempunyai nilai tambah. Mengolah limbah padat organik
menjadi kompos dapat dilakukan dengan teknologi yang sederhana. Pengolahan
limbah padat pasar menjadi kompos berarti melakukan dua pekerjaan sekaligus,
yaitu membuat kompos dan mengurangi pencemaran lingkungan.
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan identifikasi dan karakterisasi
limbah padat pasar tradisional, kemudian melakukan pengomposan limbah padat
pasar tradisional, dan diakhiri dengan menganalisis karakteristik kompos yang
dihasilkan dan membandingkan kualitasnya dengan SNI 19-7030-2004. Sampah
diperoleh dari pasar Kebon Kembang, pasar Bogor Baru, pasar Merdeka, pasar
Jambu Dua, pasar Gunung Batu, pasar Sukasari dan pasar Padasuka.
Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan. Tahap pertama adalah
mengidentifikasi komposisi limbah padat dan karakteristiknya dengan pengunian
sampel di Laboratorium Teknologi dan Manajemen Lingkungan Departemen
Teknologi Industri Pertanian IPB. Tahap kedua dilakukan pengomposan 6 m3
limbah padat organik pasar tradisional dan kotoran kambing dengan sistem
natural static pile di rumah kompos Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan
IPB. Tahap ketiga dilaksanakan pasca pengomposan yaitu analisis karakteristik
kompos di Balai Penelitian Tanah, Kementerian Pertanian, Bogor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa timbulan limbah padat tujuh pasar
tradisional Kota Bogor rata-rata adalah 115 m3/hari, dengan komposisi 90%
(103.5 m3) organik dan 10% (11.5 m3) anorganik. Berat jenis (density) limbah
padat organik adalah 242 kg/m3, sedangkan berat jenis kotoran kambing lebih
tinggi yaitu 342 kg/m3. Hasil analisis karakteristik menunjukkan bahwa limbah
padat organik pasar tradisional memiliki kadar air yang tinggi, yang mencapai
90% berat basah dan berpotensi untuk pengomposan. Waktu yang dibutuhkan
untuk pengomposan adalah 56 hari dan luasan yang dibutuhkan adalah 6.5 m2.
Karakteristik kompos yang dihasilkan secara umum memenuhi standar baku mutu
kompos.
Simpulan dari penelitian ini adalah hasil identifikasi dan karakterisasi
limbah padat pasar tradisional menunjukkan bahwa 90% berupa limbah organik
dan layak untuk dijadikan kompos. Limbah padat organik pasar tradisional yang
dicampur dengan kotoran kambing dapat dikomposkan dan kompos yang
dihasilkan sesuai dengan baku mutu kompos yang dipersyaratkan dalam SNI 197030-2004.
Kata kunci: karakteristik, limbah padat, pasar tradisional, pengomposan, sistem
natural static pile
SUMMARY
MUHAMMAD NASIR. Composting Characteristics of Traditional Market Solid
Wastes with Natural Static Pile System. Supervised by ARIEF SABDO
YUWONO and SATYANTO KRIDO SAPTOMO.
Traditional market solid waste consists of various unsellable vegetables and
fruits as well as other organic or inorganic materials. Amount of solid waste
generated from traditional markets in Bogor City was about 330 m3 per day.
Approximately 70% of solid waste are transported, but the remaining (30%) were
not transported and were accumulated at the market, causing pollution and mal
odors in the environment. This is due to the composition of solid waste i.e 90%
organic and 10% inorganic. Solid waste can be proccessed to become compost, so
it has an add value. The composting of organic solid waste can be done with
simple technology and has two advantages i.e. producing compost and reducing
environment pollution.
The purpose of this study were to identify and characterize the traditional
market solid waste, to compost traditional market solid waste, and to analyze the
characteristics of the generated compost, comparing with SNI 19-7030-2004. The
traditional market were Kebon Kembang market, Bogor Baru market, Merdeka
market, Jambu Dua market, Gunung Batu market, Sukasari market and Padasuka
market.
This study consisted of three stages. The first stage was to identify the
composition of solid waste and its characteristics, by conducting sample test in
Laboratory of Technology and Environmental Management at Department of
Agroindustrial Technology IPB. The second stage, composting 6 m3 of traditional
markets organic solid waste and goat manure with natural static pile systems in
composting house Department of Civil and Environmental Engineering IPB. The
third stage was to analyze the characteristics of the compost at the Soil Research
Institute, Ministry of Agriculture, Bogor.
The results showed that the average of solid waste from seven traditional
markets in Bogor City was 115 m3/day, with composition of 90% organic (103.5
m3) and 10% inorganic (11.5 m3). Specific gravity (density) of organic solid waste
is 242 kg/m3, and of goat manure is 342 kg/m3. The characteristic analysis results
showed that organic solid waste of traditional markets have a high water content
(90% of wet weight) and potential for composting. Periode of composting was 56
days and required an are of 6.5 m2.
Conclusions of this research was 90% of the solid waste from traditional
market was organic and potential to be composted. The organic solid waste of
traditional market mixed with goat manure can be composted, and the compost
product can fulfill the standard criteria in SNI 19-7030-2004.
Keywords: characteristics, composting, natural static pile sistem, solid waste,
traditional markets.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK PENGOMPOSAN LIMBAH PADAT
PASAR TRADISIONAL DENGAN SISTEM
NATURAL STATIC PILE
MUHAMMAD NASIR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Erizal, MAgr
Judul Tesis : Karakteristik Pengomposan Limbah Padat Pasar Tradisional
dengan Sistem Natural Static Pile
Nama
: Muhammad Nasir
NIM
: F451110011
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Arief Sabdo Yuwono, MSc
Ketua
Dr Satyanto K Saptomo, STP MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknik Sipil dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Nora H Pandjaitan, DEA
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 20 Juni 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2012 ini ialah pengomposan,
dengan judul Karakteristik Pengomposan Limbah Padat Pasar Tradisional dengan
Sistem Natural Static Pile.
Terima kasih diucapkan kepada Dr Ir Arief Sabdo Yuwono, MSc dan Dr
Satyanto K Saptomo, STP MSi selaku komisi pembimbing. Juga kepada Dr Ir
Nora H Pandjaitan, DEA selaku Ketua Program Magister Teknik Sipil dan
Lingkungan dan Dr Ir Erizal MAgr selaku penguji luar komisi yang telah banyak
memberi saran. Di samping itu, penghargaan disampaikan kepada Ir Deni Susanto
dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, Ir M Ade Nugraha beserta
staf Bagian Perencanaan dan Pelaporan DKP Kota Bogor, serta saudara Handi
sebagai pelaksana lapangan di Rumah Kompos Departemen Teknik Sipil dan
Lingkungan IPB, yang telah membantu selama penelitian dan pengumpulan data.
Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu serta seluruh keluarga
atas segala do’a dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
Muhammad Nasir
F451110011
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
2
2
2
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Padat Pasar Tradisional
Komposisi dan Karakteristik Limbah Padat Pasar Tradisional
Aktivator Pengomposan
Pengomposan
Kualitas Kompos
3
3
4
6
8
15
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Prosedur Analisis Data
17
17
17
17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi dan Karakterisasi Limbah Padat Pasar Tradisional
Pengomposan Limbah Padat Organik Pasar Tradisional
Karakteristik Kompos
20
20
24
32
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
36
36
36
DAFTAR PUSTAKA
37
LAMPIRAN
40
RIWAYAT HIDUP
45
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
Kandungan hara beberapa jenis kotoran hewan
Kandungan hara kotoran kambing
Perbandingan karbon dan nitrogen berbagai bahan organik
Organisme yang berperan dalam proses pengomposan
Timbulan sampah pasar tradisional Kota Bogor
Karakteristik limbah padat organik pasar tradisional Kota Bogor
Komposisi bahan organik pasar dan kotoran kambing yang
dikomposkan
8 Perbandingan berat awal dan berat akhir kompos serta berat bahan
yang hilang
9 Beberapa indikator kematangan kompos
10 Analisis kandungan hara dan justifikasi kualitas kompos
6
7
9
14
20
22
25
33
34
35
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Bagan alir upaya minimalisasi sampah pasar tradisional
Diagram alir penelitian
Indentifikasi komposisi sampah rata-rata pasar tradisional Kota Bogor
Bak pengomposan dengan sistem natural static pile
Perubahan suhu dan pertumbuhan mikroba selama proses pengomposan
Perubahan temperatur pengomposan pada perlakuan pertama
Perubahan temperatur pengomposan pada perlakuan dua
Curve fitting untuk variasi satu
Curve fitting untuk variasi dua
Curve fitting untuk variasi tiga
Curve fitting untuk variasi empat
4
19
21
24
26
27
28
29
30
30
31
DAFTAR LAMPIRAN
1 Standar Nasional Indonesia tentang spesifikasi kompos dari sampah
organik domestik (SNI 19-7030-2004)
2 Hasil uji karakteristik limbah padat organik pasar tradisional
3 Temperatur pengomposan perlakuan satu (variasi satu dan dua),
perlakuan dua (variasi tiga dan empat).
4 Pengukuran ketinggian permukaan pengomposan
5 Karakteristik kompos dari limbah padat organik pasar tradisional Kota
Bogor
40
41
42
43
44
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Limbah padat pasar tradisional merupakan kumpulan dari berbagai macam
sayuran dan buah yang tidak layak jual (Armijo et al. 2010). Pengelolaan limbat
padat pasar menjadi kompos berarti melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu
membuat kompos dan mengurangi beban lingkungan (Rezaei et al. 2010).
Berdasarkan informasi dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor tahun
2012 menerangkan bahwa jumlah limbah padat yang dihasilkan dari pasar
tradisional di Kota Bogor adalah sebanyak 330 m3 setiap hari dan yang terangkut
sekitar 70%, sedangkan sisanya 30% tidak terangkut dan menumpuk di
lingkungan pasar sehingga menimbulkan pencemaran dan bau busuk pada
lingkungan. Hal ini disebabkan komposisi limbah padat tersebut 90% organik dan
hanya 10% anorganik. Namun, jika diolah menjadi kompos dan bernilai guna
tinggi, tentu saja akan menjadi barang yang berharga. Mengolah limbah padat
organik menjadi kompos dapat dilakukan dengan teknologi yang sederhana.
Secara umum jenis sampah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
sampah organik dan sampah anorganik. Rata-rata persentase bahan organik
sampah mencapai sekitar 75%, sehingga pengomposan merupakan alternatif
penanganan yang penting. Pengomposan dapat mengendalikan bahaya
pencemaran yang mungkin terjadi, serta dapat menghasilkan keuntungan bila
diusahakan dengan baik. Hasil akhir dari proses pengomposan merupakan bahan
yang sangat dibutuhkan untuk menyuburkan lahan pertanian, yaitu untuk
memperbaiki sifat kimia, dan biologi tanah, sehingga produktivitas tanaman dapat
lebih tinggi. Keunggulan usaha pengomposan antara lain teknologi yang
dibutuhkan sederhana, biaya penanganan relatif rendah, serta dapat dilakukan
dalam skala kecil maupun besar (Simamora dan Salundik 2006).
Torkashvand (2010) menyatakan bahwa penggunaan kompos sebagai pupuk
sangat baik karena dapat memberikan beberapa manfaat, antara lain: (1)
menyediakan unsur hara bagi tanah, (2) menggemburkan tanah, (3) memperbaiki
struktur dan tekstur tanah, (4) meningkatkan porositas, aerasi dan komposisi
mikroorganisme tanah, (5) meningkatkan daya ikat tanah terhadap air, (6)
memudahkan pertumbuhan akar tanaman, (7) menyimpan air tanah lebih lama, (8)
mencegah lapisan kering pada tanah, (9) mencegah beberapa penyakit akar, (10)
menghemat pemakaian pupuk buatan, dan (11) menurunkan aktifitas
mikroorganisme yang merugikan.
Berdasarkan hal tersebut di atas perlu diterapkan suatu teknologi untuk
mengatasi limbah padat pasar tradisional, yaitu dengan menggunakan teknologi
daur ulang limbah padat menjadi produk kompos yang bernilai guna tinggi.
Pengomposan limbah padat pasar tradisional dengan sistem natural static pile
merupakan salah satu alternatif pengolahan limbah padat organik yang dapat
diterapkan di Indonesia, mengingat bahan baku terutama limbah padat organik
pasar tradisional tersedia di pasar, dan teknologi tepat guna untuk proses
pengomposan telah cukup dikuasai. Dari sisi kepentingan lingkungan,
pengomposan dengan cara ini dapat mengurangi volume sampah pasar tradisional
yang dibuang ke TPA, karena sebagian diantaranya sudah dikomposkan.
2
Perumusan Masalah
Usaha pengomposan limbah padat organik pasar tradisional belum
sepenuhnya dilaksanakan, baik dalam skala kecil maupun besar. Atas dasar
tersebut, maka penelitian ini diarahkan pada permasalahan sebagai berikut:
1. Seberapa besar komposisi limbah organik pasar tradisional dan bagaimana
karakteristiknya, dapatkah dijadikan sebagai bahan baku pengomposan.
2. Bagaimana cara mengomposkan limbah padat organik pasar tradisional
dengan sistem natural static pile.
3. Bagaimana kualitas kompos yang dihasilkan, apakah sesuai dengan baku
mutu kompos yang dipersyaratkan dalam SNI 19-7030-2004.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Melakukan identifikasi dan karakterisasi limbah padat pasar tradisional.
2. Melakukan pengomposan limbah padat pasar tradisional.
3. Menganalisis karakteristik kompos yang dihasilkan dan membandingkan
kualitasnya dengan Standar Nasional Indonesia (SNI 19-7030-2004).
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan masyarakat dapat melakukan
pengomposan dengan sistem natural static pile dari limbah padat pasar tradisional
berupa sisa sayuran pada pasar tradisional, agar sampah yang dibuang ke TPA
dapat dikurangi dan dapat mencegah pencemaran lingkungan akibat sampah serta
menciptakan lingkungan pasar yang lebih bersih dan sehat. Penelitian ini juga
dapat memberikan masukan kepada pemerintah Kota Bogor agar dapat mendesain
tempat pengomposan limbah padat organik, khususnya pasar tradisional sesuai
dengan kapasitas limbah yang diproduksi.
Ruang Lingkup Penelitian
Untuk membatasi pembahasan dan menghindari kesalahan persepsi dalam
memahami penelitian ini, maka pembahasan dibatasi hanya menganalisis
karakteristik bahan baku pengomposan, melakukan pengomposan dengan sistem
natural static pile dan menganalisis karakteristik kompos yang dihasilkan serta
membandingkannya dengan SNI 19-7030-2004. Penelitian ini tidak membahas
aspek manajemen penjualan (marketing management) kompos.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Padat Pasar Tradisional
Limbah padat adalah sampah, lumpur dan bahan-bahan padat buangan yang
dihasilkan dari operasi komersial dan kegiatan masyarakat, tidak termasuk
material padat atau terlarut pada saluran atau polutan pada sumber-sumber air,
seperti endapan, padatan terlarut atau mengendap pada keluaran air limbah, bahan
terlarut pada aliran irigasi atau polutan air lainnya (Fagnano et al. 2011).
Menurut Queda et al. (2004) limbah padat atau sampah dapat dibedakan
menjadi tiga jenis, pertama sampah organik yakni sampah yang dihasilkan dari
kegiatan pertanian, perikanan, peternakan, rumah tangga dan sebagainya, yang
secara alami mudah terurai oleh aktifitas mikroorganisme. Kedua anorganik yakni
sampah yang berasal dari sumber daya alam tidak dapat diperbaharui seperti
mineral dan minyak bumi, atau hasil samping proses organik, tidak mudah hancur
atau lapuk serta sebagian tidak dapat diuraikan oleh alam, sedangkan sebagian
lainnya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Ketiga sampah bahan
berbahaya dan beracun (B3), merupakan sisa suatu usaha yang mengandung
bahan berbahaya atau beracun, baik secara langsung atau tidak langsung dapat
merusak atau mencemarkan bahkan membahayakan lingkungan hidup, kesehatan
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
Pada umumnya sampah pasar sebagian besar terdiri dari sisa-sisa sayuran
dan buah yang kadar airnya tinggi sehingga cepat membusuk. Jumlah yang besar
dikeluarkan dari pasar setiap harinya merupakan potensi yang pantas
diperhitungkan. Dengan mengolah sampah pasar menjadi kompos berarti
melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu membuat kompos dan mengurangi
beban lingkungan (Herrera et al. 2008). Berdasarkan informasi dari Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor 2003 dalam Murniwati (2006)
menerangkan bahwa jumlah sampah yang dihasilkan dari pasar tradisional di Kota
Bogor adalah sebanyak 262 m3 setiap hari dan yang terangkut sekitar 233 m3,
sedangkan 29 m3 lagi tidak terangkut dan menumpuk di lingkungan pasar
sehingga menimbulkan pencemaran dan bau busuk pada lingkungan.
Permasalahan yang timbul karena jumlah sampah yang terus bertambah,
memerlukan upaya yang serius yang melibatkan semua pihak untuk dapat
menanggulanginya secara berkesinambungan. Upaya minimalisasi sampah pasar,
telah dilaksanakan pada tahun 2001 oleh Unesco bekerjasama dengan LSM dan
pasar tradisional berupa Program Pasar Bersih/Propasih (Setyawan, 2006).
Gambar 1 merupakan bagan alir upaya minimalisasi sampah pasar.
Taboada-González et al. (2011) menyatakan bahwa limbah organik
merupakan limbah yang paling besar mencemari lingkungan. Mikroorganisme
alami tangki septik mampu mendegradasi bahan organik dalam limbah pasar. Hal
ini ditunjukkan oleh perubahan parameter BOD dari 1 830 mg/l menjadi 600 mg/l,
COD dari 1 640 mg/l menjadi 226.7 mg/l, TSS dari 0.85 mg/l menjadi 0.19 mg/l,
TDS dari 3.76 mg/l menjadi 4.59 mg/l dan pH dari 2 menjadi 9. Upaya
minimalisasi sampah pasar tradisional ditunjukkan pada Gambar 1 dalam bentuk
diagram alir.
4
PEDAGANG
Sayur, buah
Ikan, daging
Kelontong
Lain-lain
PEMILAHAN DARI SUMBER SAMPAH
Sampah basah
Sampah Kering
Residu
KOMPOS
Sampah
kaca, logam
Residu
Material
Sampah
plastik
Sampah
kayu
Kerajinan
Arang
Gambar 1 Bagan alir upaya minimalisasi sampah pasar tradisional
(Olfati et al. 2009)
Minimalisasi sampah dilakukan dengan pemilahan sampah di tingkat para
pedagang dengan cara menyediakan tempat sampah yang berbeda untuk sampah
basah dan sampah kering. Sampah basah meliputi sisa sayur, buah, ikan dan daun
pembungkus, umumnya merupakan 80% dari seluruh sampah pasar. Sampah
kering meliputi antara lain kertas, plastik, kayu, kain, logam dan kaca. Selanjutnya
sampah basah dapat dijadikan kompos sedangkan sampah kering dapat diolah dan
digunakan kembali. Langkah mengurangi sampah dari sumbernya tidak akan
efektif tanpa peran aktif para pedagang sebagai penghasil utama sampah dan para
pedagang juga yang merasakan dampak negatif sampah (Olfati et al. 2009).
Komposisi dan Karakteristik Limbah Padat Pasar Tradisional
Komposisi
Komposisi limbah padat pasar tradisional terdiri dari limbah padat organik
dan anorganik. Limbah padat organik adalah sampah yang dihasilkan dari
kegiatan pasar yang sifatnya cepat membusuk karena memiliki kadar air yang
tinggi seperti sisa buah-buahan dan sayur-sayuran. Sedangkan sampah anorganik
tidak cepat membusuk dan tidak mudah terurai atau hancur (Kumar 2010).
Pengelompokan berikutnya yang juga sering dilakukan adalah berdasarkan
komposisinya, misalnya dinyatakan sebagai % berat (biasanya berat basah) atau %
volume (basah) dari kertas, kayu, kulit, karet, plastik, logam, kaca, kain, makanan,
dan lain-lain.
5
Rahman dan Ali (2004) menyatakan pengertian sampah organik lebih
bersifat untuk mempermudah pengertian umum, untuk menggambarkan
komponen sampah yang cepat terdegradasi (membusuk), terutama yang berasal
dari sisa makanan. Sampah yang membusuk (garbage) adalah sampah yang
dengan mudah terdekomposisi karena aktivitas mikroorganisme. Dengan
demikian pengelolaannya menghendaki kecepatan, baik dalam pengumpulan,
pembuangan, maupun pengangkutannya. Pembusukan sampah ini dapat
menghasilkan bau tidak enak, seperti ammoniak dan asam-asam volatil lainnya.
Selain itu, dihasilkan pula gas-gas hasil dekomposisi, seperti gas metan dan
sejenisnya, yang dapat membahayakan keselamatan bila tidak ditangani secara
baik. Penumpukan sampah yang cepat membusuk perlu dihindari. Sampah
kelompok ini kadang dikenal sebagai sampah basah, atau juga dikenal sebagai
sampah organik. Kelompok inilah yang berpotensi untuk diproses dengan bantuan
mikroorganisme, misalnya dalam pengomposan atau gasifikasi.
Sampah yang tidak membusuk pada umumnya terdiri atas bahan-bahan
kertas, logam, plastik, gelas, kaca, dan lain-lain. Sampah kering sebaiknya didaur
ulang, apabila tidak maka diperlukan proses lain untuk memusnahkannya, seperti
pembakaran. Namun pembakaran atau refuse ini juga memerlukan penanganan
lebih lanjut, dan berpotensi sebagai sumber pencemaran udara yang bermasalah,
khususnya bila mengandung plastik PVC. Kelompok sampah ini dikenal pula
sebagai sampah kering, atau sering pula disebut sebagai sampah anorganik
(Kumar et al. 2009).
Murniwati (2006) menjelaskan bahwa sampah pasar yang terbanyak berupa
sisa sayuran yaitu sebanyak 46.96 % dan yang berupa kertas, kardus, plastik,
karet, pecahan kaca sekitar 41.16 % serta sampah lainnya sebanyak 11.88 %.
Sampah yang berupa kertas, kardus, plastik, karet banyak dijumpai pada pedagang
yang berjualan bahan-bahan pokok. Sampah jenis ini biasanya tidak dibuang tapi
dikumpulkan untuk digunakan kembali. Sampah berupa sisa sayuran dan buahbuahan biasanya dibuang ke tempat pembuangan sehingga sampah pasar
didominasi sampah jenis ini.
Monson dan Murugappan (2010) menyatakan bahwa dengan mengetahui
komposisi sampah dapat ditentukan cara pengolahan yang tepat dan yang paling
efisien sehingga dapat diterapkan proses pengolahannya. Semakin bertambah
sederhana pola hidup masyarakat, maka semakin bertambah banyak komponen
sampah organik yang dihasilkan. Pemukiman dan pasar merupakan sumber
sampah terbesar dengan komposisi sampah basah atau sampah organik sebesar
73-78%. Dengan kondisi seperti itu disertai kelembaban sampah yang tinggi,
maka sampah akan sangat cepat membusuk.
Karakteristik
Selain komposisi, maka karakteristik lain yang bisa ditampilkan dalam
penanganan sampah adalah karakteristik fisika dan kimia. Karakteristik sampah
sangat bervariasi, tergantung pada komponen-komponen sampah. Kekhasan
sampah dari berbagai tempat atau daerah serta jenisnya yang berbeda-beda
memungkinkan sifat-sifat yang berbeda pula. Sampah kota di negara-negara yang
sedang berkembang akan berbeda susunan dengan sampah kota di negara-negara
maju (Sullivan 2010).
6
Tingginya kelembaban kedua jenis sampah organik dan anorganik tersebut
karena komponen terbanyaknya merupakan sampah makanan. Seperti yang
diketahui bahwa sampah makanan mempunyai kadar air yang tinggi yaitu 70%
dibandingkan dengan komponen sampah lainnya (Tucker 2009). Karakteristik
sampah dapat dikelompokkan menurut sifat-sifatnya. Ada dua karakteristik
sampah. Pertama karakteristik fisika yang meliputi densitas, kadar air, kadar
volatil, kadar abu, nilai kalor dan distribusi ukuran. Kedua, karakteristik kimia
khususnya yang menggambarkan susunan kimia sampah tersebut yang terdiri dari
unsur C, N, O, P, H, S, dan sebagainya (Amouei et al. 2010).
Metode penentuan dan jumlah sampah sampel timbulan dan komposisi
sampah kota di Indonesia telah diatur berdasarkan SNI 19-3964-1994. Sesuai
metode SNI, penentuan timbulan dan komposisi sampah kota dilakukan terhadap
semua sumber sampah yaitu domestik (rumah tangga) dan non domestik meliputi
sampah komersial, institusi, pelayanan kota (sapuan jalan) dan industri. Dengan
mengetahui timbulan, komposisi dan karakteristik sampah terutama yang berada
dari sumber representatif, permasalahan dalam pengelolaan persampahan dapat
dicegah dan diantisipasi sedini mungkin. Data ini juga dapat digunakan untuk
mendesain pengelolaan sampah (terutama di sumber) dan teknologi pengolahan
sampah yang tepat, sehingga pembuangan akhir sampah ke TPA dapat dikurangi,
sesuai dengan pola yang diterapkan negara-negara maju dalam dekade ini
(Setyorini et al. 2005).
Aktivator Pengomposan
Pierzynski et al. (2005) mendefinisikan bahwa setiap zat atau bahan yang
dapat mempercepat dekomposisi bahan organik dalam tumpukan kompos disebut
sebagai aktivator. Aktivator tersebut mempengaruhi tumpukan kompos melalui
dua cara, yaitu inokulasi strain mikroorganisme yang efektif dalam
menghancurkan bahan organik dan meningkatkan kadar nitrogen yang merupakan
makanan dari mikroorganisme tersebut.
Setyawan (2006) menyatakan bahwa kotoran hewan yang berasal dari usaha
peternakan adalah kotoran ayam, sapi, kerbau, kambing, kuda, dan sebagainya.
Komposisi hara pada masing-masing kotoran hewan berbeda tergantung pada
jumlah dan jenis makanannya. Secara umum, kandungan hara dalam kotoran
hewan jauh lebih rendah dari pada pupuk kimia, sehingga takaran penggunaannya
juga akan lebih tinggi. Kandungan hara beberapa jenis kotoran hewan ditunjukkan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan hara beberapa jenis kotoran hewan
Sumber
Sapi perah
Sapi daging
Kuda
Unggas
Kambing
N
P
K
0.53
0.65
0.7
1.5
1.28
0.35
0.15
0.1
0.77
0.19
0.41
0.3
0.58
0.89
0.93
Sumber: Setyorini et al. (2005)
Ca
[ % ]
0.28
0.12
0.79
0.3
0.59
Mg
S
0.11
0.1
0.14
0.88
0.19
0.05
0.09
0.07
0
0.09
Fe
0.004
0.004
0.01
0.1
0.02
7
Namun demikian, Setyorini et al. (2005) menambahkan bahwa hara dalam
kotoran hewan ini ketersediaannya (release) lambat sehingga tidak mudah hilang.
Ketersediaan hara sangat dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi/mineralisasi dari
bahan-bahan tersebut. Rendahnya ketersediaan hara dari pupuk kandang antara
lain disebabkan karena bentuk N, P serta unsur lain terdapat dalam bentuk
senyawa komplek organo protein atau senyawa asam humat atau lignin yang sulit
terdekomposisi. Selain mengandung hara bermanfaat, pupuk kandang juga
mengandung bakteri saprolitik, pembawa penyakit, dan parasit mikroorganisme
yang dapat membahayakan hewan atau manusia. Oleh karena itu pengelolaan dan
pemanfaatan pupuk kandang harus hati-hati.
Menurut Tan (dalam Satyorini et al. 2005) menjelaskan bahwa kotoran sapi
mengandung unsur N sebanyak 0.498%, unsur P 71.75 ppm, unsur K 15.18
me/100gr, unsur Ca sebanyak 5.82 me/100gr, unsur Mg 9.04 me/100gr, dan unsur
C sebanyak 25.05%. Nisbah C/N kotoran sapi 50.30. Kotoran ayam mengandung
unsur N, P, K, Ca, Mg, dan C berturut-turut sebanyak sebanyak 0.824%; 236.5
ppm; 24.38 me/100gr; 3.74 me/100gr; 8.93 me/100gr; dan 25.68%. Nisbah C/N
kotoran ayam adalah 31.17. Kotoran kambing mengandung N, P dan K berturutturut 1.28%, 0.19%, dan 0.93% (Setyorini et al. 2005). Nazif (2011) menyatakan
kandungan hara khusus kotoran kambing ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan hara kotoran kambing
Kandungan hara
Nilai
Satuan
C-organik
3.77
%
N-total
0.55
%
P 2 O5
0.44
%
K2O
0.32
%
CaO
2.00
%
MgO
0.44
%
Fe
0.77
%
Mn
0.053
%
Zn
152
ppm
Co
3
ppm
Sumber: Nazif (2011)
Meskipun kotoran ternak ini memiliki sejumlah manfaat bagi kesuburan
tanah dan tanaman, tetapi dalam penggunaan hendaknya berhati-hati. Kotoran
yang baru dikeluarkan oleh ternak belum dapat dimanfaatkan sebagai pupuk,
tetapi masih sebagai kotoran ternak. Jika kotoran ternak ini diberikan pada
tanaman, maka yang terjadi pada tanaman tersebut tidak akan menambah
kesuburan, tetapi sebaliknya dapat menyebabkan tanaman layu atau bahkan mati.
8
Hal ini disebabkan kotoran ternak masih mentah atau menurut istilah petani masih
panas (Xie et al. 2006).
Jerami padi ditambah kotoran ayam ataupun kotoran kambing dapat dijadikan
kompos. Kegiatan pengelolaan limbah pertanian berupa jerami dilakukan dengan
tujuan memanfaatkan kembali produksi limbah pertanian yang kurang bermanfaat,
memperkecil biaya pengelolaan limbah pertanian, mengurangi jarak transportasi
limbah pertanian, meningkatkan nilai tambah limbah pertanian (Yuwono et al. 2011).
Pengomposan
Proses pengomposan
Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah
dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap,
yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Ojoawo et al (2011), selama tahap-tahap
awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera
dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat
dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu
akan meningkat hingga di atas 50-70oC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu
tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu
mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekmposisi atau
penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos
dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap
air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan
berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos
tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses
pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan.
Pengurangan ini dapat mencapai 30–40% dari volume atau bobot awal bahan (Xi
et al. 2012).
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik atau anaerobik. Proses
yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan
oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga
terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses
ini tidak diinginkan selama proses pengomposan karena akan dihasilkan bau yang
tidak sedap. Proses aerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau
seperti asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine),
amonia dan H2S (Rao et al. 2009).
Kompos adalah hasil penguraian bahan organik melalui proses biologis
dengan bantuan organisme pengurai. Proses penguraian dapat berlangsung secara
aerob maupun anaerob (Hargreaves et al. 2008). Hall (2011) menyatakan bahwa
kompos adalah bahan organik (sampah organik) yang telah mengalami proses
pelapukan karena adanya interaksi antara mikroba yang bekerja di dalamnya.
Kompos sebagai produk dari proses penguraian bahan organik memiliki sifat-sifat
yang baik untuk menyuburkan tanah dan menyediakan unsur hara bagi tanaman.
namun orang tidak tertarik untuk mengolah sampah menjadi kompos, karena
proses dekomposisi dan pematangannya yang lama. Di alam kompos matang
memerlukan waktu yang lama. Selain itu, biaya tenaga kerja yang tinggi dan
seringnya muncul gulma dan penyakit. Oleh karena itu, perlu teknologi dengan
bantuan manusia agar mampu mengatasi hal tersebut.
9
Domingo dan Nadal (2009) mendefinisikan pengomposan sebagai
dekomposisi biologi dari bahan organik sampah di bawah kondisi yang terkontrol.
Proses tersebut dapat menggunakan atau tidak menggunakan oksigen. Proses yang
menggunakan oksigen disebut aerobik sedangkan proses yang tidak menggunakan oksigen disebut proses anaerobik. Pengomposan secara aerobik dapat
memproduksi kompos secara cepat dan produksinya relatif bebas patogen,
sedangkan yang secara anaerobik membutuhkan waktu dekomposisi yang lama
dan jarang bebas dari patogen dan masalah bau. Tweib et al. (2011) menyatakan
pengomposan adalah suatu proses biokimia yang mendekomposisi bahan-bahan
organik menjadi zat-zat seperti humus (kompos) oleh kelompok-kelompok
mikroba heterofilik yang berbeda-beda, yang meliputi bakteri, kapang, protozoa
dan aktinomicetes. Mikroba solulolitik dan lignolitik sangat berperan dalam
mendekomposisikan komponen dari bahan organik yang terdegradasi secara
lambat. Proses pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang
dikomposkan, aktivator pengomposan yang dipergunakan dan metode pengomposan yang dilakukan.
Faktor yang mempengaruhi pengomposan
Secara umum, faktor yang paling mempengaruhi proses pengomposan
adalah karakteristik bahan yang dikomposkan, bioaktivator yang digunakan, serta
metode pengomposan yang diaplikasikan. Paulin dan O'malley (2008)
menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan dapat
dirinci sebagai berikut:
a. Rasio C/N
Zat arang atau karbon (C) dan nitrogen (N) ditemukan di seluruh bagian
sampah organik. Dalam proses pengomposan, C merupakan sumber energi bagi
mikroba sedangkan N berfungsi sebagai sumber makanan dan nutrisi bagi
mikroba. Nilai rasio C/N tergantung pada jenis sampah pada Tabel 3, namun rasio
C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1.
Tabel 3 Perbandingan karbon dan nitrogen berbagai bahan organik
Jenis Bahan
Sampah sayuran
Sisa dapur campur
Jerami
Batang jagung
Serbuk gergaji
Kayu
Daun-daunan pohon
Kotoran sapi
Kotoran ayam
Kotoran kuda
Sisa buah-buahan
Perdu/semak
Rumput-rumputan
Kulit batang pohon
Kertas
Sumber: Paulin dan O'malley (2008).
Rasio C/N
12-20:1
15:1
70:1
100:1
500:1
400:1
40-60:1
20:1
10:1
25:1
35:1
15-60:1
12-25:1
100-130:1
150-200:1
10
Tabel 3 menunjukkan perbandingan kandungan C dan N dalam berbagai
bahan organik. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan
menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30-40, mikroba
mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio
C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga
penguraian berjalan lambat (Paulin dan O’malley 2008).
b. Ukuran partikel
Ukuran partikel sangat menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas).
Pori yang cukup akan memungkinkan udara dan air tersebar lebih merata dalam
tumpukan. Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan
memperkecil ukuran partikel bahan tersebut, dimana ukuran partikel yang optimal
untuk pengomposan adalah 2-10 cm. Partikel yang berukuran besar akan
menghambat aerasi dan kinerja mikroba sehingga proses pematangan akan
membutuhkan waktu lebih lama. Selain itu, semakin meningkatnya kontak antara
mikroba dengan bahan maka proses penguraian juga akan semakin cepat (Ojoawo
et al. 2011).
c. Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen.
Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadinya peningkatan suhu yang akan
menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam
tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh porositas, ukuran partikel bahan dan
kandungan air bahan (kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka dapat terjadi
proses anaerob yang akan menghasilkan amonia yang berbau menyengat. Aerasi
dapat ditingkatkan dengan pembalikan atau pengaliran udara ke tumpukan
kompos (Li dan Xu 2007).
d. Porositas
Porositas adalah rongga diantara partikel di dalam tumpukan kompos yang
berisi air atau udara. Udara akan mensuplai oksigen untuk proses pengomposan.
Apabila rongga memiliki kandungan air yang cukup banyak, maka pasokan
oksigen akan berkurang dan proses pengomposan akan terganggu. Porositas
dipengaruhi oleh kadar air dan udara dalam tumpukan. Oleh karena itu, untuk
menciptakan kondisi porositas yang ideal pada saat pengomposan, perlu
diperhatikan kandungan air dan kelembaban kompos (Deddy 2005).
e. Kelembaban
Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses
metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen.
Organisme pengurai dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik
tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40-60 % adalah kisaran optimum untuk
metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan
mengalami penurunan. Jika kelembaban lebih besar dari 60%, maka unsur hara
akan tercuci dan volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan
menurun dan akan terjadi fermentasi anaerob. Oleh karena itu, menjaga
kandungan air agar kelembaban ideal untuk pengomposan sangatlah penting
(Chairiah 2006).
11
f. Temperatur
Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba diakibatkan oleh peningkatan suhu
dan konsumsi oksigen yang memiliki hubungan berbandingan lurus. Semakin
tinggi suhu, maka akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin
cepat pula proses penguraian. Tingginya oksigen yang dikonsumsi akan
menghasilkan CO dari hasil metabolisme mikroba sehingga bahan organik
semakin cepat terurai. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada
tumpukan kompos. Suhu yang berkisar antara 30ºC-60ºC menunjukkan aktivitas
pengomposan yang cepat. Sedangkan suhu yang lebih tinggi dari 60ºC akan
membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba termofilik saja yang tetap
bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen
tanaman dan benih-benih gulma. Ketika suhu telah mencapai 70ºC, maka segera
lakukan pembalikan tumpukan atau penyaluran udara untuk mengurangi suhu,
karena akan mematikan mikroba termofilik (Elango et al. 2009).
g. pH
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH 5.5-9. Proses
pengomposan akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan
itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam secara temporer atau lokal
akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari
senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fasefase awal pengomposan. Kadar pH kompos yang sudah matang biasanya
mendekati netral. Kondisi kompos yang terkontaminasi air hujan juga dapat
menimbulkan masalah pH tinggi (Monson dan Murugappan 2010).
Kompos
Yulianto et al. (2009) menyatakan bahwa berdasarkan komposisi kandungan
unsur hara yang ada pada sampah organik maka, kompos berbahan baku sampah
pasar dapat menjadi kompos yang berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari
kandungan hara makro dan mikro kompos yang lengkap serta mikroorganisme
menguntungkan bagi tanah. Hartatik dan Widowati (2007) menyatakan bahwa
penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah (soil conditioner) dapat
meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga mempertahankan dan
menambah kesuburan tanah pertanian. Karakteristik umum dimiliki kompos
antara lain: (1) mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi
tergantung bahan asal; (2) menyediakan unsur hara secara lambat (slow release)
dan dalam jumlah terbatas; dan (3) mempunyai fungsi utama memperbaiki
kesuburan dan kesehatan tanah (Yuwono 2004). Berikut ini diuraikan fungsi
kompos dalam memperbaiki kualitas kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah.
a. Sifat fisika
Kompos memperbaiki struktur tanah yang semula padat menjadi gembur
sehingga mempermudah pengolahan tanah. Tanah berpasir menjadi lebih kompak
dan tanah lempung menjadi lebih gembur. Penyebab kompak dan gemburnya
tanah ini adalah senyawa-senyawa polisakarida yang dihasilkan oleh
mikroorganisme pengurai serta miselium atau hifa yang berfungsi sebagai perekat
partikel tanah. Dengan struktur tanah yang baik ini berarti difusi O atau aerasi
akan lebih banyak sehingga proses fisiologis di akar akan lancar. Perbaikan
agregat tanah menjadi lebih lemah akan mempermudah penyerapan air ke dalam
12
tanah sehingga proses erosi dapat dicegah. Kadar bahan organik yang tinggi di
dalam tanah memberikan warna tanah yang lebih gelap (warna humus coklat
kehitaman), sehingga penyerapan energi sinar matahari lebih banyak dan fluktuasi
suhu di dalam tanah dapat dihindarkan. Takaran kompos sebanyak 5 ton/ha
meningkatkan kandungan air tanah pada tanah-tanah yang subur (Adhikari 2005).
b. Sifat kimia
Kompos merupakan sumber hara makro dan mikromineral secara lengkap
meskipun dalam jumlah yang relatif kecil (N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, B, Zn, Mo,
dan Si). Dalam jangka panjang, pemberian kompos dapat memperbaiki pH dan
meningkatkan hasil tanaman pertanian pada tanah-tanah masam. Pada tanah-tanah
yang kandungan P-tersedia rendah, bentuk fosfat organik mempunyai peranan
penting dalam penyediaan hara tanaman karena hampir sebagian besar P yang
diperlukan tanaman terdapat pada senyawa P-organik. Sebagian besar P-organik
dalam organ tanaman terdapat sebagai fitin, fosfolipid, dan asam nukleat. Kedua
yang terakhir hanya terdapat sedikit dalam bahan organik tanah karena senyawa
tersebut mudah digunakan oleh jasad renik tanah. Turunan senyawa-senyawa
tersebut sangat penting dalam tanah (karena kemampuannya membentuk senyawa
dengan kation polivalen), terdapat dalam jumlah relatif tinggi, tetapi yang
dekomposisinya lambat ialah inositol. Pada tanah alkalin, terbentuk inositol fosfat
dengan Ca atau Mg, sedangkan pada tanah masam dengan Al atau Fe. Panorganik dalam bentuk Al-Fe; Ca-P yang tidak tersedia bagi tanaman, akan
dirombak oleh organisme pelarut P menjadi P-anorganik yang larut atau tersedia
bagi tanaman (Zhang et al. 2013).
Selain itu, kompos juga mengandung humus (bunga tanah) yang sangat
dibutuhkan untuk peningkatan hara makro dan mikro dan sangat dibutuhkan
tanaman. Misel humus mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang lebih besar
daripada misel lempung (3-10 kali) sehingga penyediaan hara makro dan
mikromineral lebih lama. Kapasitas tukar kation (KTK) asam-asam organik dari
kompos lebih tinggi dibandingkan mineral liat, namun lebih peka terhadap
perubahan pH karena mempunyai sumber muatan tergantung pH (pH dependent
charge). Pada nilai pH 3.5, KTK liat dan C-organik sebesar 45.5 dan 199.5 me
100 g-1 sedangkan pada pH 6.5 meningkat menjadi 63 dan 325.5 me 100 g-1. Nilai
KTK mineral liat kaolinit (3-5 me 100 g-1), illit (30-40 me 100 g-1), montmorilonit
(80-150 me 100 g-1) sedangkan pada asam humat (485-870 me 100 g-1) dan asam
fulfat (1.400 me 100 g-1). Oleh karena itu, penambahan kompos ke dalam tanah
dapat meningkatkan nilai KTK tanah (Gautam et al. 2010).
Deteksi emisi bau dari fasilitas pengomposan yang dilakukan dengan
menggunakan QCM (Quartz Crystal Microbalance) yaitu seperangkat alat sensor
kristal kuarsa yang dilapisi dengan bahan yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa
perubahan frekuensi emisi bau telah terdeteksi selama perubahan periode
pengomposan. Analisis kimia menunjukkan bahwa emisi bau terdiri dari
sedikitnya 22 senyawa berbau dilepaskan dari fasilitas pengomposan (Yuwono et
al. 2003).
c. Sifat biologi
Goldstein (2007) menyatakan bahwa kompos banyak mengandung
mikroorganisme (fungi, aktinomisetes, bakteri, dan alga). Penambahan kompos ke
dalam tanah tidak hanya jutaan mikroorganisme yang bertambah, akan tetapi
13
mikroorganisme yang ada dalam tanah juga terpacu untuk berkembang. Proses
dekomposisi lanjut oleh mikroorganisme akan tetap terus berlangsung tetapi tidak
mengganggu tanaman. Gas CO yang dihasilkan 2 mikroorganisme tanah akan
dipergunakan untuk fotosintesis tanaman, sehingga pertumbuhan tanaman akan
lebih cepat. Amonifiksi, nitrifikasi, dan fiksasi nitrogen juga meningkat karena
pemberian bahan organik sebagai sumber karbon yang terkandung di dalam
kompos. Aktivitas berbagai mikroorganisme di dalam kompos menghasilkan
hormon-hormon pertumbuhan, misalnya auksin, giberelin, dan sitokinin yang
memacu pertumbuhan dan perkembangan akar-akar rambut sehingga daerah
pencarian makanan lebih luas. Pemberian kompos pada lahan sawah akan
membantu mengendalikan atau mengurangi populasi nematoda, karena bahan
organik memacu perkembangan musuh alami nematoda, yaitu cendawan dan
bakteri serta memberi kondisi yang kurang menguntungkan bagi perkembangan
nematoda. Munculnya serangan nematoda penyebab penyakit bintil akar pada
akar tanaman padi di beberapa daerah dipicu oleh penggunaan pupuk urea yang
intensif.
Peigné dan Girardin (2004) menyatakan kompos merupakan bentuk akhir
dari bahan-bahan organik sampah domestik dan pasar yang telah mengalami
proses penguraian. Kematangan kompos ditunjukkan oleh hal-hal berikut:
1. C/N rasio mempunyai nilai 10-20
2. Suhu sesuai dengan suhu air tanah
3. Berwarna kehitaman dan tekstur seperti tanah
4. Berbau tanah
Pengolahan kompos untuk meningkatkan kualitas kompos antara lain dapat
dilakukan dengan cara: pengeringan, penghalusan, pembuatan granul, dan
pengemasan. Kompos dengan kualitas tinggi sesuai dengan kriteria tabel SNI pada
Lampiran 1.
Dengan adanya SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk kompos, maka
dapat dinilai mutu kompos yang dihasilkan. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa hasil kompos yang dibuat bermutu tinggi jika memenuhi SNI kompos.
Karena mutu dan kualitas kompos akan berpengaruh pada penjualan produk
kompos ke pasaran. Kompos dengan kualitas tinggi dan harga jual yang
terjangkau akan banyak dicari oleh para konsumen. Oleh karena itu, proses
pembuatan kompos dari sampah organik pasar harus dilakukan secara cermat dan
teliti. Mutu kompos yang baik dapat dihasilkan selain dari bahan kompos yang
baik (sampah), juga tergantung dari proses pembuatan kompos (pengomposan)
yang harus dilakukan sesuai dengan prosedur pelaksanaan.
Fungi utama kompos adalah membatu memperbaiki sifat fisik, kimia dan
biologi tanah. Secara fisik kompos dapat menggemburkan tanah, aplikasi kompos
pada tanah akan meningkatkan jumlah rongga sehingga tanah menjadi gembur.
Sementara sifat kimia yang mampu dibenahi dengan aplikasi kompos adalah
meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) pada tanah dan dapat meningkatkan
kemampuan tanah dalam menyimpan air (water holding capacity). Sedangkan
untuk perbaikan sifat biologi, kompos dapat meningkatkan populasi mikroorganisme dalam tanah (Simamora dan Salundik 2006).
Dalam proses ini organisme pengurai mengambil sumber makanan dari
sampah atau bahan organik yang diolah lalu mengeluarkan sisa metabolisme
berupa karbon dioksida (CO2), serta panas yang menghasilkan uap air (H2O). Oleh
14
kerena itu, kinerja organisme pengurai dapat dipantau dengan pengamatan
temperatur (suhu), tekstrur, dan perubahan warna serta bau. Peningkatan suhu,
tekstur dan struktur tidak lengket dan remah serta warna menjadi gelap mengkilat
menandakan adanya kegiatan organisme pengurai yang berjalan dengan baik dan
bau menyengat kompos yang semakin hari semakin hilang.
Yulianto et al. (2009) menyatakan bahwa rata-rata produksi sampah rumah
tangga di Indonesia 2.6 liter per orang /hari atau rata-rata 15 liter/keluarga per
hari. Sekitar kompos 50-80% (7.5 – 12.5 liter) merupakan sampah organik yang
dapat diolah menjadi kompos. Manfaat yang diperoleh dari segi teknologi yaitu
penerapan teknik penanggulangan sampah yang lebih ramah lingkungan
dibandingkan dengan teknik yang lain seperti landfill dan pembakaran, mudah
dipelajari dan diterapkan serta membutuhkan modal yang relatif sedikit. Dari segi
ekonomi dapat menghemat biaya pengololaan sampah dan memenuhi kebutuhan
pupuk organik sendiri. Dari segi ekologi akan mengurangi pencemaran akibat
sampah, dan menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat, dan
mendukung upaya pelestarian sumber daya alam dan mengurangi pemakaian
pestisida dan herbisida. Sedangkan dari segi sosial, dapat menciptakan
kesempatan kerja dengan pendapatan yang layak dan menciptakan image positif
atau meningkatkan citra kepedulian terhadap lingkungan (Seo et al. 2003).
Keunggulan kompos adalah kandungan unsur hara makro maupun mikronya
yang lengkap. Unsur hara makro yang terkandung dalam kompos antara lain N, P,
K, Ca, Mg, dan S, sedangkan kandungan unsur mikronya antara lain Fe, Mn, Zn,
Cl, Cu, Mo, Na dan B (Stoffella dan Kahn 2001). Pengomposan adalah proses
penguraian bahan organik secara alamiah dengan bantuan organisme pengurai.
Tabel 4 menjelaskan organisme yang terlibat dalam proses pengomposan.
Tabel 4 Organisme yang berperan dalam proses pengomposan
Mikroba
Jumlah populasi mikroba pada fase
Mesofilik < 40oC
Termosofilik < 40o- 70oC
Bakteri
Mesofilik
108
106
Termofilik
Actinomycetes
Termofilik
Jamur
104
109
104
108
Mesofilik
106
103
Termofilik
103
107
Sumber: Stoffella dan Kahn (2001)
Pengomposan bisa terjadi karena adanya mikroorganisme aktif yang
mengontrol proses pengomposan seperti bakteri, actynomicetes, jamur dan
protozoa (Sullivan 2010). Mikrorganisme ini secara alami tersedia pada bahan
organik termasuk limbah makanan, tanah, dedaunan dan limbah organik lainnya
(Rahman dan Ali 2004).
Beberapa elemen penting yang perlu diperhatikan dalam pengomposan
adalah kandungan hara seperti Carbon (C), Nitrogen (N), Phosphor (P), Sulfur
15
(S), dan hara lainnya. Karbon berfungsi sebagai sumber energi sedangkan
nitrogen sebagai pertumbuhan populasi mikroba. Agar ef