Co-Composting Limbah Padat Beltpress Dan Jerami Padi Dengan Aerated Static Pile

CO-COMPOSTING LIMBAH PADAT BELTPRESS
DAN JERAMI PADI DENGAN AERATED STATIC PILE

ASTRIDIA PERMATASARI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Co-composting Limbah
Padat Beltpress dan Jerami Padi dengan Aerated Static Pile adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016
Astridia Permatasari
NIM F34110028

ABSTRAK
ASTRIDIA PERMATASARI. Co-composting Limbah Padat Beltpress dan Jerami
Padi dengan Aerated Static Pile. Dibimbing oleh NASTITI SISWI INDRASTI
dan MUHAMMAD ROMLI.
Limbah padat dari mesin beltpress dihasilkan sebanyak 1,25 ton/hari namun
sampai saat ini belum termanfaatkan, menimbulkan bau tidak sedap dan
membutuhkan biaya besar untuk pembuangannya. Pengomposan merupakan
teknologi yang dapat diaplikasikan untuk mengatasi hal tersebut. Penelitian ini
bertujuan untuk menguji pengaruh faktor nilai C/N awal dan laju aerasi terhadap
kecepatan proses co-composting limbah padat beltpress dan jerami padi dalam
mencapai nilai C/N sesuai SNI 19-7030-2004, serta mengetahui karakteristik
kompos yang dihasilkan. Rancangan acak lengkap faktorial (3x3) in time yang
digunakan terdiri dari faktor nilai C/N dengan 3 taraf yaitu 25; 30; 35 dan laju
aerasi dengan 3 taraf yaitu 0; 0,4; 0,8 L/menit.kg bahan kering, sebanyak 2 kali

ulangan. Pengomposan dilakukan menggunakan reaktor 30 L dengan pemberian
aerasi selama 1 jam/hari pada 7 hari pertama pengomposan. Hasil ANOVA
menunjukkan pengaruh nilai C/N awal dan laju aerasi berbeda nyata (P0,05)
terhadap nilai pH. Semakin rendah nilai C/N awal dan semakin tinggi laju aerasi,
semakin cepat mencapai nilai C/N sesuai SNI 19-7030-2004. Perlakuan terbaik
berdasarkan kesesuaian dengan SNI 19-7030-2004 yaitu C/N awal 25 dengan laju
aerasi 0,8 L/menit.kg bahan kering, yang memenuhi syarat SNI bagian fisik
(warna, tekstur, bau), unsur makro, unsur mikro dan unsur lainnya, tetapi tidak
memenuhi syarat nilai pH dan kadar air.
Kata kunci: aerated static pile, co-composting, limbah padat beltpress, jerami
padi

ABSTRACT
ASTRIDIA PERMATASARI. Co-composting of Beltpress Solid Waste and Rice
Straw by Using Aerated Static Pile. Supervised by NASTITI SISWI INDRASTI
and MUHAMMAD ROMLI.
Solid waste from beltpress machine in wastewater treatment plant is produced as
much as 1,25 tons/day but hasn’t been utilized, causing unpleasant odor and
requires a high cost for disposal. Composting is one of alternative technology that
can be applied to solve the problem. The objectives of this research were to

examine the influence of the initial C/N value and aeration rate to the speed of cocomposting process in reaching the C/N value that corresponds to SNI 19-70302004, and to characterize the compost produced. The research design used was
factorial RAL (Complete Random Design) in time with two factors and 2
repetitions. The first factor was C/N value, consisted of 25; 30; 35 and the second

factor was aeration rate, consisted of 0; 0,4; 0,8 L/min.kg of dry material.
Composting was done using 30 L reactor by giving active intermittent aeration for
1 hour/day during the first 7 days of composting. Based on ANOVA, effects of
initial C/N value and aeration rate were significantly different (P0.05) on pH value. Lower initial C/N value and
higher aeration rate attained standard C/N value fastest. The best treatment based
on the conformity with SNI 19-7030-2004 was initial C/N 25 with aeration rate
0,8 L/minute.kg dry matter. The compost produced met the SNI standards in
macro elements, trace elements and other elements, but didn’t qualify the pH
value and moisture content.
Key words: aerated static pile, beltpress solid waste, co-composting, rice straw

CO-COMPOSTING LIMBAH PADAT BELTPRESS
DAN JERAMI PADI DENGAN AERATED STATIC PILE

ASTRIDIA PERMATASARI


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Maret 2015 sampai Maret 2016 ini ialah
manajemen limbah industri, dengan judul Co-composting Limbah Padat Beltpress
dan Jerami Padi dengan Aerated Static Pile.
Terimakasih kepada Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti dan Prof Dr Ir
Muhammad Romli, MSc.St selaku dosen pembimbing. Di samping itu,

penghargaan penulis sampaikan kepada Ir. Meirianto atas bimbingannya, serta
Bapak Anas dan staf Wastewater Treatment Plant (WWTP), yang telah membantu
dalam mengumpulkan bahan baku limbah padat beltpress. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada ibunda Rukmiasih, ayahanda Asep Tahyana, kakak
Dewi Humaira, kakak Bastiyan, sahabat, dan teman-teman TINFORMERS atas
doa, dukungan, motivasi dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, April 2016
Astridia Permatasari

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat
Metode
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik dan Formulasi Bahan Baku
Perubahan selama Co-composting
Karakteristik Produk Kompos
Pemilihan dan Pengujian Karakteristik Lanjutan Perlakuan Terbaik
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
vii
viii
1
1
2

2
2
3
6
8
11
29
34
36
36
37
37
41
53

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.

5.
6.
7.
8.

Kombinasi perlakuan laju aerasi dan nilai C/N awal
Kandungan limbah padat beltpress dan jerami padi
Hasil formulasi bahan baku pengomposan
Karakteristik fisik kompos
Hasil analisis mutu kompos secara kimia
Tabulasi kesesuaian hasil perlakuan dengan SNI
Hasil analisis kandungan kimia perlakuan terbaik
Kandungan limbah padat beltpress dan jerami padi (berat kering)

5
9
10
31
34
34

35
45

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

14.
15.


16.
17.

Desain reaktor
3
Diagram alir proses co-composting
4
Perubahan suhu pada C/N awal: (a) 25, (b) 30, (c) 35
12
Perubahan suhu pada laju aerasi: (a) 0 L/menit.kg bahan kering,
14
(b) 0,4 L/menit.kg bahan kering, (c) 0,8 L/menit.kg bahan kering
Perubahan suhu pengomposan pada seluruh perlakuan
15
Perubahan nilai pH pada C/N awal: (a) 25, (b) 30, (c) 35
17
Perubahan nilai pH pada laju aerasi: 0 L/menit.kg bahan kering,
19
(b) 0,4 L/menit.kg bahan kering, (c) 0,8 L/menit.kg bahan kering

Perubahan nilai pH pengomposan pada seluruh perlakuan
20
Perubahan kadar air pada C/N awal: (a) 25, (b) 30, (c) 35
22
Perubahan kadar air pada laju aerasi: (a) 0 L/menit.kg bahan kering, 23
(b) 0,4 L/menit.kg bahan kering, (c) 0,8 L/menit.kg bahan kering
Perubahan kadar air pada seluruh perlakuan
24
Perubahan nilai C/N pada nilai C/N awal: (a) 25, (b) 30, (c) 35
26
Perubahan nilai C/N pada laju aerasi: (a) 0 L/menit.kg
27
bahan kering, (b) 0,4 L/menit.kg bahan kering,
(c) 0,8 L/menit.kg bahan kering
Perubahan nilai C/N pada seluruh perlakuan
28
Bentuk fisik bahan baku pengomposan :
30
(a) limbah padat beltpress, (b) jerami padi,
(c) campuran limbah padat beltpress dan jerami padi
Bentuk fisik kompos: (a) 25/0, (b) 25/04, (c) 25/08, (d) 30/0,
30
(e) 30/04, (f) 30/08, (g) 35/0, (h) 35/04, (i) 35/08
Hasil pengujian jumlah bakteri: (a) Eschericia coli, (b) Salmonella sp. 36

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Prosedur analisis karakteristik
Perhitungan formulasi C/N bahan baku kompos
Hasil uji ANOVA dan Duncan pada suhu selama pengomposan
Hasil uji ANOVA dan Duncan pada nilai pH selama pengomposan
Hasil uji ANOVA dan Duncan pada kadar air selama pengomposan
Hasil uji ANOVA dan Duncan pada nilai C/N selama pengomposan

41
45
49
50
51
52

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Limbah cair yang dihasilkan dari proses pemotongan ayam dan pengolahan
daging ayam menjadi sosis, nugget dan lainnya mengandung bahan organik
berupa protein dan lemak dalam konsentrasi yang tinggi karena terjadinya kontak
antara air pencuci dengan darah, organ dalam, tepung, bumbu, daging serta kulit
yang tersisa di alat maupun ruang produksi. Hal ini menyebabkan air limbah dapat
menjadi media pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba, sehingga akan
menghasilkan aroma tidak sedap (NH3 dan H2S) dari proses pembusukan dan akan
mencemari lingkungan sekitar (Formentini et al. 2010).
Selama ini proses pengolahan limbah cair diawali dengan penyaringan
menggunakan mesin rotary screen untuk menghilangkan benda asing dengan
ukuran > 0,5 mm. Selanjutnya limbah cair ditambahkan polyaluminium chloride
(PAC), NaOH dan polimer anionik pada mesin Dissolved Air Flotation (DAF)
untuk memisahkan padatan terlarut melalui proses koagulasi. Hasil koagulasi
yang berupa gumpalan padatan dipisahkan lalu ditekan dengan mesin beltpress
untuk mengurangi kadar airnya. Limbah padat tersebut dihasilkan sejumlah 1,25
ton/hari pada total produksi 155 ton produk/hari. Namun selama ini penanganan
terhadap limbah padat tersebut diserahkan ke pihak ketiga sehingga memerlukan
biaya yang cukup besar. Dengan tingginya kandungan bahan organik pada limbah
padat tersebut, dapat dilakukan peningkatan nilai manfaat limbah.
Salah satu alternatif pengolahan limbah organik dalam jumlah besar adalah
pengomposan, karena dapat meminimalkan jumlah timbunan limbah melalui
proses dekomposisi dan dapat mengurangi gas hasil perombakan anaerob limbah
yang dapat membahayakan kesehatan. Pengomposan merupakan cara yang efektif
untuk mengonversi limbah menjadi bahan yang berguna untuk memulihkan atau
meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat fisik tanah. Pengomposan
juga dapat memberi masukan finansial dari penjualan kompos (Indrasti 2015).
Valladao (2007) menyatakan bahwa kandungan bahan organik limbah
rumah potong unggas tinggi akan protein dan lemak, sehingga memiliki nilai
perbandingan kandungan karbon terhadap nitrogen (C/N) yang rendah. Organisme
yang melakukan dekomposisi memerlukan karbon dan nitrogen dalam
perbandingan tertentu untuk pertumbuhannya. Penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Kumar et al. (2010) menunjukkan bahwa proses pengomposan
berlangsung optimal jika nilai C/N bahan berkisar antara 25-30. Sementara
menurut Asian Development Bank (2011), nilai C/N ideal untuk memulai
pengomposan berkisar antara 25-40. Nilai C/N di atas 40 akan memperlambat
pengomposan karena nitrogen menjadi faktor pembatas pertumbuhan
mikroorganisme, sedangkan nilai C/N di bawah 25 akan menyebabkan tingginya
kehilangan nitrogen dalam bentuk amonia.
Limbah padat beltpress membutuhkan bahan lain sebagai sumber karbon
untuk mencapai nilai C/N ideal. Menurut Karki dan Dixit (1984), jerami padi
memiliki nilai C/N 70 sehingga dapat berperan sebagai sumber karbon tambahan.
Harahap (2010) menyatakan bahwa jerami padi tersedia melimpah di Indonesia
karena 1 hektar lahan sawah dapat menghasilkan 5-8 ton jerami, namun selama ini

2

pemanfaatannya baru sekitar 38%, yang meliputi penggunaan sebagai pakan
ternak, pupuk dan keperluan industri.
Selain itu, pelaksanaan pengomposan di industri membutuhkan waktu yang
sesingkat-singkatnya agar tidak terjadi akumulasi bahan. Berdasarkan penelitian
Diaz et al. (2002), laju aerasi merupakan faktor yang penting dalam
pengomposan. Aerasi yang terlalu sedikit dapat menyebabkan kondisi menjadi
anaerobik karena kekurangan oksigen. Namun aerasi yang terlalu banyak dapat
meningkatkan biaya dan menurunkan laju pengomposan karena terbuangnya
panas, air dan amonia. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai nilai
C/N dan laju aerasi terbaik yang dapat mempercepat proses pengomposan
campuran limbah padat beltpress dan jerami padi.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh faktor nilai C/N awal dan
laju aerasi terhadap kecepatan proses co-composting dalam mencapai nilai C/N
yang sesuai SNI 19-7030-2004, serta mengetahui karakteristik kompos yang
dihasilkan.

METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat

Bahan utama penelitian ini adalah limbah padat beltpress dan jerami padi
segar. Limbah padat beltpress merupakan padatan hasil koagulasi limbah cair
pabrik pemotongan ayam dan pengolahan daging ayam dengan menggunakan
polyaluminium chloride (PAC), NaOH dan polimer anionik pada mesin Dissolved
Air Flotation (DAF), yang ditekan dengan mesin beltpress. Jerami padi yang
digunakan berasal dari sawah Cikarawang, Bogor. Sementara bahan yang
diperlukan untuk uji karakteristik di antaranya H2SO4 pekat, NaOH, etanol 95%,
H3BO3, Na2SO4, HNO3 pekat, CuSO4.5H2O, SnCl2, ammonium heptamolibdat,
aquades, indikator mengsell, indikator phenolptalein, indikator metil orange,
gliserol, n-heksan, kertas saring dan kapas.
Peralatan yang dibutuhkan untuk pengamatan terdiri dari termometer, pH
meter, timbangan analitik, stopwatch, oven, tanur, kompor listrik, distiller kjedahl,
inkubator, dan atomic absorbtion spectrofotometer (AAS). Sementara itu peralatan
yang dibutuhkan untuk pengomposan terdiri dari reaktor, kompressor, flow meter,
pipa, saringan ukuran 25 mesh dan selang. Reaktor yang digunakan diadaptasi
dari penelitian Agastirani (2011). Reaktor tersebut berbentuk tabung plastik
dengan kapasitas volume 30 L, diameter 30 cm dan tinggi 75 cm. Reaktor
dilengkapi dengan penutup ulir serta dimodifikasi dengan menambahkan 2 pipa
aerasi (0,5 inci), 3 lubang sampel berdiameter 2 cm dan 1 lubang saluran lindi.
Pipa aerasi diletakkan horizontal pada badan reaktor dan memiliki lubang yang

3

dilapisi kain kassa sehingga udara dapat dialirkan ke dalam tumpukan bahan baku
tanpa adanya penyumbatan. Desain reaktor tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
1

2

6

3
4

10

5
8

11

9

7

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Keterangan :
Tutup reaktor
Reaktor
Bahan kompos
Lubang aerasi
Pipa aerasi
Lubang sampel
Saluran lindi
Flow meter
Kran
Pengatur tekanan
Compressor

Gambar 1 Desain reaktor

Metode
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental skala laboratorium yang
terdiri atas tiga tahapan, yaitu karakterisasi dan formulasi bahan baku kompos, cocomposting dan karakterisasi produk kompos. Berikut merupakan uraian masingmasing tahapan penelitian.
Karakterisasi dan Formulasi Bahan Baku
Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui komposisi bahan. Karakterisasi
limbah padat beltpress dilakukan dengan uji proksimat meliputi kadar air, abu,
lemak, serat kasar, protein dan karbohidrat sesuai metode AOAC (1984) untuk
mengetahui komposisi keseluruhan limbah. Selain itu, juga meliputi pengukuran
kandungan karbon organik dengan metode by difference sesuai JICA (1978) dan
total kjedahl nitrogen (APHA 2012). Sementara itu karakterisasi jerami meliputi
kadar karbon organik dan total kjedahl nitrogen karena pada penelitian ini jerami
merupakan bahan tambahan untuk meningkatkan nilai C/N limbah padat
beltpress. Prosedur semua uji karakterisasi dapat dilihat pada Lampiran 1.
Setelah karakterisasi bahan baku, dilakukan formulasi bahan. Formulasi
bahan baku kompos dilakukan untuk mengetahui bobot masing-masing bahan
yang diperlukan untuk mencapai nilai C/N campuran sebesar 25, 30 dan 35
berdasarkan hasil karakterisasi bahan dengan total bobot campuran bahan sebesar
4 kg bahan kering. Formulasi tersebut dapat dilakukan dengan menghitung
menggunakan rumus berikut (Djuarnani et al. 2005).
Nilai C/N =
Co-composting

%

%









%

%

Pengomposan dilaksanakan untuk menguji potensi peningkatan nilai tambah
limbah padat beltpress menjadi produk kompos dengan bantuan bahan tambahan

4

berupa jerami padi. Selain itu pelaksanaan pengomposan juga dilakukan untuk
mengetahui pengaruh faktor nilai C/N awal dan laju aerasi terhadap kecepatan
waktu pengomposan dan mutu kompos yang dihasilkan. Gambar 2 menunjukkan
diagram alir proses pengomposan.

Gambar 2 Diagram alir proses co-composting
Pengomposan dilakukan meggunakan tangki 30 L yang diisi dengan
campuran bahan limbah padat beltpress dan cacahan jerami (ukuran 1 inci) yang
telah dikeringkan (dijemur) dengan jumlah sesuai komposisi dari hasil tahap
formulasi bahan baku kompos. Selama 7 hari pertama proses pengomposan,
tumpukan bahan dalam reaktor diberikan aerasi aktif dari kompressor selama 1
jam setiap hari. Udara yang dimasukkan dikontrol kecepatannya dengan flow
meter. Kecepatan aliran udara atau laju aerasi yang diberikan untuk masingmasing nilai C/N sebesar 0 L/menit.kg bahan kering; 0,4 L/menit.kg bahan kering;
dan 0,8 L/menit.kg bahan kering.
Selama pengomposan, kadar air bahan dijaga agar berada kisaran 50%
sampai 60%. Pengontrolan kadar air tersebut dilakukan secara manual, yakni
dengan mengambil segenggam bahan dari bagian dalam tumpukan kemudian
diperas dengan tangan. Apabila air keluar sedikit (satu atau dua tetes) atau tangan
menjadi basah maka kelembaban dianggap cukup atau sekitar 50% sampai 60%.
Apabila air tidak keluar berarti tumpukan terlalu kering atau kurang dari 30%.
Jika tumpukan terlalu kering maka ditambahkan air dan jika terlalu basah maka
tumpukan dibalik. Namun untuk mencegah kekeringan pada awal pengomposan,
dilakukan penambahan air sebesar 5% total massa awal setiap minggu dari
minggu ke-1 sampai minggu ke-4 (Warsito dalam Hermawan 2015).
Pengomposan dilakukan selama 60 hari. Selain kadar air, dilakukan
pemantauan terhadap suhu setiap hari dengan cara mengukur suhu rata-rata dari

5

tumpukan bahan kompos melalui 3 titik lubang sampel menggunakan termometer.
Metode pengukurannya yaitu termometer dibenamkan ke dalam tumpukan
kompos dan didiamkan selama 3 menit. Suhu dibaca pada skala yang tertera di
termometer. Adapun pengukuran lainnya dilakukan setiap 2 minggu sekali
meliputi pH (SNI 06-6989.11-2004), kadar air (AOAC 1984), kadar karbon JICA
(1978) dan total kjedahl nitrogen (AOAC 1984). Prosedur analisis disajikan pada
Lampiran 1.
Karakterisasi Produk Kompos
Karakterisasi seluruh produk kompos dilakukan untuk mengetahui kualitas
kompos yang dihasilkan dari berbagai perlakuan, yang meliputi parameter warna,
ukuran partikel, bau, kadar karbon, kadar nitrogen, nilai C/N, kadar air, nilai pH
dan suhu, dengan mengacu pada SNI 19-7030-2004. Perlakuan terbaik dipilih
berdasarkan jumlah parameter yang paling banyak memenuhi syarat SNI. Kompos
dengan perlakuan terbaik kemudian dikeringkan dengan cara dijemur untuk
mecegah terjadinya perubahan karakteristik menjelang pelaksanaan uji lanjutan
yang meliputi kadar air, kandungan unsur makro (kadar bahan organik, kadar
karbon, kadar nitrogen, nilai C/N, kadar phospor/P2O5, kadar kalium/K2O),
kandungan unsur mikro (As, Cd, Co, Cr, Cu, Hg, Ni, Pb, Se, Zn), kandungan
unsur lainnya (Ca, Mg, Fe, Al, Mn) (APHA 2012) dan jumlah bakteri patogen
Escherichia coli serta Salmonella sp. (SNI 01-2891-1992). Prosedur analisis
karakterisasi produk kompos tertera pada Lampiran 1.
Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
faktorial (3x3) in time dengan dua faktor perlakuan, yaitu laju aerasi dan nilai C/N
awal. Laju aerasi terdiri dari 3 taraf yaitu 0 L/menit-kg bahan kering, 0,4 L/menitkg bahan kering, dan 0,8 L/menit-kg bahan kering. Nilai C/N awal terdiri dari 3
taraf yaitu 25, 30 dan 35. Setiap perlakuan terdiri dari 2 kali ulangan. Kombinasi
perlakuan laju aerasi dan nilai C/N awal dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kombinasi perlakuan laju aerasi dan nilai C/N awal
Faktor A :
Faktor B :
Kombinasi Perlakuan
laju aerasi
nilai C/N awal
(L/menit-kg bahan)
A1B1
25
A1B2
0
30
A1B3
35
25
A2B1
0,4
30
A2B2
35
A2B3
25
A3B1
0,8
30
A3B2
35
A3B3

6

Model matematis dari rancangan percobaan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + Ɛijk
Keterangan :
Yijk = Nilai pengamatan akibat faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, pada
ulangan ke-k
µ
= Nilai rata-rata
Ai = Pengaruh laju aerasi selama proses co-composting
Bj
= Pengaruh nilai C/N bahan baku selama proses co-composting
ABij = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j
Ɛijk = Pengaruh kesalahan percobaan
Data hasil percobaan diolah menggunakan uji hipotesis sidik ragam untuk
mengetahui pengaruh perlakuan laju aerasi dan nilai C/N dengan tingkat
kepercayaan 95% (ɑ = 0,05). Apabila berdasarkan uji hipotesis sidik ragam
berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan. Bentuk hipotesis yang diuji
dalam rancangan acak lengkap penelitian adalah sebagai berikut :
a) Pengaruh utama faktor A (laju aerasi) :
H0 : A1 = A2 = A3 = 0, laju aerasi tidak berpengaruh terhadap kecepatan
pengomposan
H1 : Minimal ada satu i dimana Ai ≠ 0
b) Pengaruh utama faktor B (nilai C/N awal) :
H0 : B1 = B2 = B3 = B4 = 0, nilai C/N awal tidak berpengaruh terhadap
kecepatan pengomposan
H1 : Minimal ada satu j dimana Bj ≠ 0
c) Pengaruh interaksi antara faktor A dan B :
H0 : (AB)11 = (AB)12 =... = (AB)ab = 0, interaksi antara faktor A (laju aerasi)
dengan faktor B (nilai C/N awal) tidak berpengaruh terhadap kecepatan
pengomposan
H1 : Minimal ada sepasang (i,j) dimana (AB)ij ≠ 0

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengomposan adalah proses dekomposisi dan stabilisasi bahan organik
secara biologis pada kondisi terkontrol dengan hasil akhir berupa karbondioksida,
air dan produk dalam bentuk padatan komplek yang bersifat stabil sehingga tidak
menimbulkan efek merugikan terhadap lingkungan apabila diberikan pada lahan
(Haug 1980). Co-composting adalah pengomposan yang menggunakan lebih dari
1 bahan baku untuk meningkatkan laju degradasi dan kualitas produk kompos
yang dihasilkan, dimana umumnya bahan yang dipadukan adalah biosolid/sludge
dengan limbah padat organik (Indrasti 2015).
Pada co-composting, biosolid menjadi sumber nitrogen dan menjaga
kelembaban, sedangkan limbah padat digunakan sebagai bahan pencampur yang
memiliki kandungan karbon organik yang tinggi dan bersifat kamba sehingga
memudahkan sirkulasi udara. Dengan mengombinasikan keduanya, kelebihan
masing-masing bahan dapat digunakan untuk mengoptimalkan proses dan kualitas
produk yang dihasilkan (Indrasti 2015). Pada penelitian ini, biosolid yang

7

digunakan adalah limbah padat beltpress karena memiliki porositas yang rendah
dan kadar air yang tinggi. Limbah padat beltpress merupakan padatan hasil
koagulasi limbah cair pabrik pemotongan ayam dan pengolahan daging ayam
yang telah ditekan dengan mesin beltpress. Sementara itu limbah padat organik
yang digunakan adalah jerami padi.
Pada dasarnya proses pengomposan adalah suatu proses biologis, yang
menunjukkan bahwa peran mikroorganisme pengurai sangat besar. Oleh karena
itu prinsip pengomposan adalah menciptakan kondisi yang mendukung
pertumbuhan populasi mikroorganisme pengurai untuk mempercepat stabilisasi
bahan organik. Dengan demikian kondisi yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme pengurai menjadi faktor yang mempengaruhi pengomposan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengomposan terdiri dari ukuran bahan,
porositas, nilai C/N, kadar air, suhu, pH dan aerasi (Bari 1999).
Pada proses dekomposisi bahan, beberapa kandungan bahan mudah
didegradasi, beberapa lainnya agak sulit terdegradasi dan sulit terdegradasi.
Kandungan bahan seperti gula dan pati cepat terdegradasi. Kandungan yang lebih
sulit didegradasi dari gula dan pati adalah selulosa, hemiselulosa, lignin, lemak
dan protein. Lignin dan beberapa turunannya resisten terhadap dekomposisi
sehingga cenderung terakumulasi. Humus akan terbentuk dari bahan yang telah
kehilangan semua kandungan yang mudah terdegradasi, serta mengandung zat
yang disintesis mikroba dan akumulasi kandungan bahan yang resisten (Bolan et
al. 2003).
Saat pengomposan, berbagai kandungan bahan terutama karbon, nitrogen,
sulfur dan fosfor diubah menjadi mineral. Karbon sebagian dibebaskan dalam
bentuk CO2 dan sebagian lainnya digunakan mikroorganisme untuk mensintesis
sel tubuhnya. Mekanisme dekomposisi karbohidrat oleh mikroorganise tergantung
pada sifat karbohidrat, sifat mikroorganisme dan kondisi dekomposisi terutama
suplai oksigen. Pada dekomposisi karbohidrat, karbohidrat diubah
mikroorganisme menjadi glukosa, selanjutnya diubah menjadi CO2 dengan reaksi
C6H12O6 + 6 O2  6 CO2 + 6 H2O. Jika oksigen tersedia dalam jumlah yang
sedikit, reaksi yang terjadi (Bolan et al. 2003) :
C6H12O6 + 1 ½ O2  C6H8O7 (asam sitrat) + 2 H2O
C6H12O6 + 1 ½ O2 3 C2H2O4 (asam oksalat) + 3 H2O
Jika oksigen tidak tersedia, mikroorganisme anaerob akan mengubah
glukosa dengan reaksi (Bolan et al. 2003) :
C6H12O6  2C3H6O3 (asam laktat)
C6H12O6  2 C2H5OH (alkohol) + 2 CO2
C6H12O6  C4H8O2 (asam butirat) + 2 CO2 + 2 H2
C6H12O6 + 2H+  C4H6O4 (asam fumarat) + C2H5OH (alkohol) + H2O
Kandungan lain dari biomassa yaitu selulosa. Selulosa merupakan polimer
dari glukosa yang resisten terhadap berbagai agen pengoksidasi dan hanya
terhidrolisis dengan asam pekat. Meski demikian, selulosa dapat didekomposisi
oleh organisme spesifik dari golongan bakteri, fungi dan actinomycetes.
Actinomycetes tumbuh pada pH 5,5-9,5, sedangkan fungi tumbuh pada pH 3,09,5. Bakteri dan fungi aerobik tersebut memecah selulosa menjadi CO2 dan bahan
pembentuk sel. Nitrogen yang dibutuhkan untuk mendekomposisi selulosa
bervariasi dari 1 bagian nitrogen untuk 25-54 bagian selulosa (Bolan et al. 2003).

8

Pada jerami, selulosa dilindungi oleh lignin. Lignin yang sangat tahan terhadap
degradasi dan bersifat hidrofobik. Lignin tersebut membentuk matriks dengan
hemiselulosa di sekeliling selulosa sehingga menjadi hambatan untuk
menghidrolisis selulosa (Sjostrom 1995).
Adapun kandungan lemak pada bahan akan terhidrolisis menjadi gliserol
dan asam lemak. Gliserol akan dioksidasi menjadi CO2 dan air. Sementara itu
ketika protein didekomposisi, protein akan dihidrolisis dengan enzim proteolitik
yang dihasilkan mikroorganisme menjadi polipeptida, asam amino dan turunan
nitrogen yang lainnya. Bahan yang mengandung nitrogen lebih dari 1,5-1,7%,
sebagian nitrogen dibebaskan dalam bentuk amonia. Jika kandungan nitrogen
kurang dari 1,5%, sangat sedikit amonia yang dilepaskan. Amonia yang
dihasilkan tidak terakumulasi, melainkan dioksidasi oleh bakteri nitrifikasi
menjadi nitrat (Bolan et al. 2003).
Secara umum, persamaan reaksi dekomposisi bahan organik secara aerob
adalah sebagai berikut (Panda 2013) :
Gula, hemiselulosa,
selulosa, lignin, protein
Nitrogen organik

(CH2O)x + x O2  x CO2 + x H2O + energi

Sulfur organik
Fosfat organik

S organik + O2  SO42P organik + O2  H3PO4  Ca(HPO4)2

1. Pembentukan amonium :
RNH2 + H+ + H2O  R·OH + NH4+
2. Pembentukan amonia :
NH4+ + OH-  NH3 + H2O
3. Pembentukan nitrit :
NH3 + 1.5 O2  NO2- + H+ + H2O
4. Pembentukan nitrat :
NH4+ + 2O2  NO3- + H2O + 2H+
Atau NH3 + 2 O2  NO3- + H+ + H2O
Atau NO2- + ½ O2  NO3-

Sebelum dilakukan pengomposan terhadap limbah padat beltpress dan
jerami padi, karakteristik kedua bahan diuji terlebih dahulu untuk memastikan
potensi pemanfaatan bahan sebagai bahan baku pengomposan.

Karakteristik dan Formulasi Bahan Baku
Karakteristik Bahan Baku
Karakteristik yang meliputi komposisi bahan dapat menginformasikan
potensi pemanfaatan bahan. Komposisi limbah padat beltpress dan jerami padi
segar disajikan pada Tabel 2. Menurut Dalzell et al. (1987), kadar air optimum
untuk pengomposan sebesar 55% sehingga dilakukan pengeringan untuk
menurunkan kadar air kedua jenis bahan. Hasil analisis komposisi limbah padat
beltpress yang sudah dikeringkan disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2,
kandungan terbesar limbah padat beltpress adalah lemak, yaitu sebesar 32,23% bb

9

dan protein sebesar 19,35% bb pada kadar air 35,71% bb. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Valladao (2007) bahwa limbah rumah potong unggas mengandung
protein dan lemak yang tinggi. Tingginya kandungan lemak tersebut dapat
menyebabkan pengomposan berlangsung lambat. Menurut Mohapatra (2006),
lemak dan lilin lebih sulit mengalami degradasi dibandingkan karbohidrat dan
protein. Hal ini disebabkan lemak dan lilin bersifat hidrofobik sehingga
menghambat akses air dan akhirnya menurunkan laju hidrolisis (Gopferich 1966).
Selain kandungan utama bahan, parameter penting dari karakteristik bahan
baku pengomposan adalah nilai C/N. Nilai C/N menunjukkan perbandingan kadar
karbon dan nitrogen yang terdapat pada suatu bahan. Organisme dekomposer pada
awal pertumbuhannya memerlukan sejumlah karbon dan nitrogen dalam
perbandingan tertentu agar pertumbuhannya berlangsung optimal, sehingga proses
pengomposan dapat berjalan maksimal. Penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Kumar et al. (2010) menunjukkan bahwa proses pengomposan berlangsung
optimal jika nilai C/N bahan berkisar antara 25-30, sementara menurut Asian
Development Bank (2011) berkisar antara 25-40.
Tabel 2 Kandungan limbah padat beltpress dan jerami padi
Analisis
Kandungan (% bb)
Limbah padat beltpress
Jerami padi
Segar
Hasil
Segar
Hasil
pengeringan
pengeringan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Kadar protein (%)
Kadar lemak (%)
Kadar serat (%)
Kadar karbohidrat
(by difference)
Kadar C-Organik
(%)
Total kjedahl
nitrogen (%)
Nilai C/N

84,04 + 0,07
2,47 + 0,05
4,80 + 0,35
8,00 + 0,01
0,66 + 0,05
0,03

35,71 + 0,11
9,94 + 0,04
19,35 + 0,50
32,23 + 0,04
2,64 + 0,05
0,13

61,66 + 0,73
4,74 + 0,11
1,59 + 0,48

12,33 + 0,07
10,84 + 0,02
3,66 + 0,28

6,99

28,16

18,32

41,89

0,77 + 0,06

3,10 + 0,08

0,26 + 0,08

0,59 + 0,04

9,10

9,09

71,62

71,31

Limbah padat beltpress mengandung karbon organik sebesar 28,16% bb dan
nitrogen sebesar 3,10% bb, sehingga diperoleh nilai C/N sebesar 9,09 yang tidak
termasuk ke dalam rentang nilai C/N ideal untuk pengomposan (25-40). Namun
hasil ini sesuai dengan pernyataan Girovich (1996) bahwa limbah organik seperti
biosolid cenderung bersifat lembab dan kaya akan nitrogen, dengan nilai C/N
sekitar 5-10. Rendahnya nilai C/N limbah padat beltpress disebabkan oleh
kandungan nitrogennya yang tinggi dari protein sisa-sisa potongan daging proses
produksi yang terbawa dalam air limbah. Menurut Isroi (2008), efisiensi proses
pengomposan bahan yang memliliki nilai C/N di luar rentang tersebut akan lebih
tinggi jika dicampur dengan bahan lainnya, dibandingkan jika dilakukan
pengomposan secara tersendiri. Hal ini menunjukkan limbah padat beltpress
berpotensi sebagai sumber nitrogen bagi bahan baku pengomposan, namun
membutuhkan bahan lain yang dapat berfungsi sebagai sumber karbon untuk
mencapai nilai C/N yang optimal untuk pengomposan.

10

Pada penelitian ini, sumber karbon yang digunakan adalah jerami padi.
Karakteristik jerami padi yang sudah dikeringkan meliputi parameter penting
pengomposan disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2, nilai C/N jerami padi
sebesar 71,31. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Suhartatik dan Roechan (2001)
bahwa jerami segar mempunyai nilai C/N lebih dari 30, dan tidak berbeda jauh
dengan hasil penelitian Abbasi et al. (2002) bahwa nilai C/N jerami padi berkisar
antara 50-70. Jerami padi memiliki nilai C/N yang lebih tinggi daripada limbah
padat beltpress karena secara kimia jerami merupakan biomassa berlignoselulosa
yang terdiri dari 28-36% selulosa, 23-28% hemiselulosa, 12-16% lignin, dan 1520% abu (Mulder 1996). Hal ini menunjukkan bahwa jerami padi dapat digunakan
sebagai sumber karbon tambahan. Dengan demikian, limbah padat beltpress dan
jerami padi dapat dikombinasikan agar mencapai nilai C/N bahan yang ideal.
Formulasi Bahan Baku
Tingkat kematangan kompos dan lama proses pengomposan ditentukan oleh
nilai C/N bahan karena mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam
memperoleh sumber energi dan pembentukan sel mikroorganisme. Bahan-bahan
yang memiliki nilai C/N tidak pada rentang ideal dapat dicampurkan dengan
bahan lainnya sehingga diperoleh bahan baku pengomposan yang memiliki atau
mendekati nilai C/N ideal (25-40). Menurut Djaja (2008), bahan baku kompos
harus dipilih dan dicampur pada proporsi yang tepat. Formulasi bahan baku untuk
mencapai nilai C/N ideal menggunakan rumus berikut (Djuarnani et al. 2005).




=

%
%�










+ %
+ %�










Total bahan baku kompos yang digunakan pada penelitian ini adalah 4 kg
berat kering. Perhitungan formulasi C/N bahan baku kompos disajikan pada
Lampiran 2. Hasil formulasi disajikan pada Tabel 3.

Nilai
C/N
Awal
25
30
35

Tabel 3 Hasil formulasi bahan baku pengomposan
Massa (kg bk)
Total
Massa (kg bb)
Limbah
Jerami Massa
Limbah
Jerami
(kg bk)
Padat
Padi
Padat
Padi
Beltpress
Beltpress
1,15
2,85
4
1,79
3,25
0,86
3,14
4
1,34
3,58
0,65
3,35
4
1,01
3,82

Massa air
yang
ditambahkan
(kg)
3,85
3,97
4,06

Tabel 3 menunjukkan adanya penggunaan komposisi yang berbeda untuk
setiap nilai C/N awal. Pada ketiga nilai C/N, campuran didominasi oleh jerami
padi. Hal ini disebabkan oleh sangat tingginya kandungan nitrogen limbah padat
beltpress yang digunakan (4,82% bk), sehingga untuk meningkatkan nilai C/N
limbah padat beltpress (9,09) menjadi 25, 30 dan 35 jumlah jerami padi yang
dibutuhkan lebih banyak. Semakin tinggi nilai C/N yang dituju, semakin banyak
jumlah jerami padi yang digunakan.

11

Perbedaan komposisi limbah padat beltpress dan jerami padi pada masingmasing nilai C/N awal akan mempengaruhi komposisi kandungan dalam
campuran bahan, yang pada akhirnya dapat berdampak pada adanya perbedaan
kecepatan pengomposan. Pada C/N awal 25, limbah padat beltpress yang
digunakan lebih banyak dibandingkan pada C/N awal lainnya sehingga kandungan
lemak dan proteinnya lebih tinggi. Sementara itu pada C/N awal 35, jerami padi
yang digunakan lebih banyak dibandingkan C/N awal lainnya sehingga
kandungan lignoselulosanya lebih tinggi.
Perubahan Selama Co-composting
Suhu
Suhu dapat menjadi indikator adanya aktivitas mikroorganisme dalam
mendekomposisi bahan organik (Cahyani 2013). Kalor sebagai salah satu hasil
dekomposisi bahan organik secara aerob (Metcalf dan Eddy 1991) meningkatkan
suhu bahan selama pengomposan. Kenaikan suhu tersebut merupakan suatu fungsi
dari suhu awal, evolusi panas metabolik dan konservasi panas (Miller 1992).
Perubahan suhu pada bahan yang dikomposkan itu sendiri mempengaruhi
metabolisme dan dinamika populasi mikroba. Pencapaian suhu optimum sangat
penting untuk proses pengomposan yang efektif (Finstein et al. 1986) dan
memberikan kontribusi besar terhadap tingginya tingkat dekomposisi yang dicapai
selama pengomposan (Miller 1992), sehingga nilai C/N bahan akan semakin cepat
sesuai SNI 19-7030-2004. Namun suhu optimum pengomposan berbeda-beda
karena komposisi dari populasi mikroba pada suatu bahan dan suhu optimum
untuk masing-masing spesies mikroba berbeda (Finstein et al. 1986).
Menurut Herdiyantoro (2010), proses pengomposan terdiri atas tiga tahapan
dalam kaitannya dengan suhu, yaitu degradasi awal/mesofilik (24-40oC),
termofilik (>45oC), pendinginan dan pematangan. Pada tahap degradasi awal suhu
proses akan naik dari suhu lingkungan ke 40oC dengan adanya kapang dan bakteri
yang mendekomposisi bahan organik yang mudah terurai (gula dan protein)
menjadi gas CO2, air dan kalor (panas) (Metcalf dan Eddy 1991). Setelah itu suhu
terus meningkat sampai suhu termofilik yaitu 45-70oC. Pada tahap ini degradasi
bahan organik berlangsung maksimal (Herdiyantoro 2010) karena kecepatan
proses oksidasi meningkat 2 kali lipat seiring dengan pertambahan suhu sebesar 89oC. Selain itu, pada suhu di atas 55oC juga terjadi eliminasi mikroorganisme
patogen (EPA 1994). Suhu pengomposan di bawah 45oC menyebabkan
pengomposan berlangsung lebih lama karena reaksi oksidasi berlangsung lebih
lambat, sedangkan suhu pengomposan lebih dari 70oC dapat menyebabkan
kematian mikoorganisme pengurai. Setelah tahap termofilik, terjadi penurunan
suhu karena adanya penurunan aktivitas mikroorganisme akibat jumlah bahan
organik yang sudah mulai terbatas. Turunnya suhu pada tahap ini juga
menyebabkan pergantian mikroorganisme yang hidup dalam sistem
pengomposan, dari mikroorganisme termofilik menjadi bakteri dan kapang
mesofilik (Metcalf dan Eddy 1991).
Perubahan suhu rata-rata pada C/N awal 25, 30, 35 untuk berbagai laju
aerasi selama pengomposan disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan Gambar 3
seluruh perlakuan telah mencapai tahap degradasi awal/mesofilik sejak hari ke-1

12
pengomposan karena mengalami peningkatan suhu menjadi 38-41oC. Suhu tinggi
tersebut cenderung bertahan atau meningkat mencapai suhu termofilik sampai hari
ke-7. Perlakuan C/N awal 30 dengan laju aerasi 0,8 L/menit.kg bahan kering
mencapai tahap termofilik dengan rata-rata suhu tertinggi sebesar 47,7oC.
Menurut McKinley et al. (1985), aktivitias mikrobial tertinggi pada pengomposan
sludge dan bahan lignoselulosa terjadi pada suhu 35-45oC. Dengan demikian
aktivitias mikrobial tertinggi pada penelitian ini terjadi mulai dari hari ke-1
sampai hari ke-8 pengomposan.
50

Suhu (oC)

40
30

25/0

20

25/04

10

25/08

0
0

7

14

21

28

35

42

49

56

Waktu (hari ke-)
(a)
50

Suhu (oC)

40
30

30/0

20

30/04

10

30/08

0
0

7

14

21

28

35

42

49

56

Waktu (hari ke-)
(b)
50

Suhu (oC)

40
30

35/0

20

35/04

10

35/08

0
0

7

14

21

28

35

42

49

56

Waktu (hari ke-)
(c)

Gambar 3 Perubahan suhu pada C/N awal : (a) 25, (b) 30, (c) 35
Pada penelitian ini secara keseluruhan tidak ada perlakuan yang mencapai
suhu 55oC. Hal ini dapat disebabkan oleh terbatasnya jumlah bahan organik yang
mudah terurai pada bahan. Lemak dan lignoselulosa yang banyak terdapat pada
bahan terdegradasi pada tahap pendinginan karena termasuk ke dalam golongan
bahan yang sulit didegradasi (Sjostrom 1995), menyebabkan suhu pada awal
pengomposan tidak terlalu tinggi. Selain itu juga dapat disebabkan oleh massa
bahan yang terlalu sedikit (4 kg bahan kering), seperti penelitian Bustamente et al.
(2013) yang mencapai suhu lebih tinggi dari 50oC pada pengomposan dengan

13

skala 150 kg. Massa bahan terlalu sedikit menyebabkan dimensi gundukan terlalu
kecil sehingga panas yang dihasilkan tidak tertahan dalam bahan dan ikut terbawa
bersama udara (Indrasti dan Wimbanu 2006).
Berdasarkan Gambar 3, suhu selanjutnya menurun sampai kisaran 26-38oC
pada hari ke-9 sampai 14. Penurunan suhu tumpukan kompos sebelum bahan
menjadi stabil menunjukkan bahwa kondisi tumpukan kompos telah menjadi
anaerobik dan harus diberi aerasi (Guo et al. 2012). Vandergheynst dan Lei
(2003) menyatakan selama tahap termofilik, aktivitas mikroorganisme dalam
mengoksidasi bahan organik yang sangat tinggi menyebabkan terbatasnya jumlah
oksigen. Terbatasnya jumlah oksigen ini dapat disebabkan oleh pemberian aerasi
yang hanya berlangsung sampai hari ke-7 pengomposan.
Dari hari ke-14 sampai hari ke-45 suhu cenderung meningkat kembali
sampai kisaran 30-39oC. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh dilakukannya
pembalikan bahan pada hari ke-14 sehingga kondisi menjadi aerobik kembali.
Selain itu dapat disebabkan pula oleh tidak tercapainya suhu termofilik yang
bertahan lama. Sementara Trautmann (1996) menyatakan bahwa sebagian besar
selulosa, hemiselulosa dan lignin terdegradasi pada tahap termofilik. Dengan
demikian terdapat kemungkinan bahwa bahan lignoselulosa belum banyak terurai,
akibatnya dekomposisi berlanjut pada saat tahap pendinginan. Hal ini diperkuat
dengan pernyataan Alexander (1976) bahwa mikroba lignolitik, hemiselulotik dan
selulotik mempunyai suhu optimum untuk mendekomposisi sekitar 30-37oC.
Setelah hari ke-45, suhu menurun sampai kisaran 29-32oC. Masing-masing
perlakuan mencapai suhu yang relatif stabil pada kisaran suhu ruang (28-30oC)
pada hari yang berbeda. Perlakuan yang memiliki suhu yang paling cepat stabil
adalah perlakuan C/N awal 25 dengan laju aerasi 0,4 dan 0,8 L/menit.kg bahan
kering yang mencapai suhu yang stabil pada hari ke-51. Sementara itu perlakuan
C/N awal 30 dengan laju aerasi 0 L/menit.kg bahan kering, 35 dengan laju aerasi
0 dan 0,4 L/menit.kg bahan kering mencapai suhu yang stabil pada hari ke-52.
Perlakuan C/N awal 30 dan 35 dengan laju aerasi 0,8 L/menit.kg bahan kering
mencapai suhu yang stabil pada hari ke-54. Perlakuan C/N awal 25 dengan laju
aerasi 0 L/menit.kg bahan kering dan C/N awal 30 dengan laju aerasi 0,4
L/menit.kg bahan kering masih mengalami sedikit fluktuasi suhu sampai akhir
masa pengomposan (60 hari). Perbedaan kecepatan tercapainya suhu stabil
menunjukkan adanya perbedaan keefektifan masing-masing perlakuan sebagai
kondisi pengomposan. Semakin cepat tercapai suhu stabil menunjukkan semakin
efektif kondisi pengomposan yang diberikan sehingga semakin singkat pula waktu
pengomposan yang dibutuhkan.
Selain dinamika perubahan suhu selama pengomposan, berdasarkan Gambar
3 dapat diketahui pengaruh perlakuan laju aerasi. Suhu perlakuan laju aerasi 0,4
L/menit.kg bahan kering paling tinggi pada 7 hari pertama pengomposan kecuali
pada perlakuan C/N awal 30. Sementara itu laju aerasi 0 L/menit.kg bahan
menunjukkan suhu yang paling rendah selama pengomposan. Menurut Dalzell et
al. (1987), dalam proses pengomposan diperlukan udara yang cukup ke semua
bagian tumpukan untuk memasok oksigen pada mikroorganisme dan
mengeluarkan karbondioksida yang dihasilkan. Aerasi yang terlalu sedikit dapat
menyebabkan kondisi menjadi anaerobik akibat kekurangan oksigen. Energi yang
dihasilkan dari dekomposisi 1 molekul glukosa secara anaerob sebesar 2 ATP
dengan panas metabolik yang hilang sebesar 70%, sedangkan dari dekomposisi

14

aerob sebesar 38 ATP dengan panas metabolik yang hilang sebesar 68% (Kleidon
2005). Dengan demikian rendahnya panas metabolik dari kondisi anaerobik
menyebabkan suhu pengomposan rendah. Sementara aerasi yang berlebihan dapat
meningkatkan biaya dan menurunkan laju pengomposan karena tingginya
kehilangan panas, air dan amonia (Diaz et al. 2002). Laju aerasi optimum
tergantung komposisi bahan baku dan metode pemberian udara (Guo et al. 2012).
Hasil uji ANOVA menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata dari
perlakuan laju aerasi terhadap suhu selama 60 hari pengomposan (P < 0,05)
(Lampiran 3). Hasil uji Duncan menunjukkan suhu perlakuan laju aerasi 0,4
L/menit.kg bahan kering berbeda nyata lebih tinggi daripada perlakuan laju aerasi
0 dan 0,8 L/menit.kg bahan kering (Lampiran 3). Sementara suhu perlakuan laju
aerasi 0 dan 0,8 L/menit.kg bahan kering tidak berbeda nyata. Hal ini
menunjukkan perlakuan laju aerasi 0,4 L/menit.kg bahan kering merupakan laju
aerasi yang optimum untuk pengomposan limbah padat beltpress dan jerami padi.
Adapun perubahan suhu rata-rata pada laju aerasi 0, 0,4 dan 0,8 L/menit.kg
bahan kering untuk berbagai nilai C/N awal disajikan pada Gambar 4.
50

Suhu (oC)

40
30

25/0

20

30/0

10

35/0

0
0

7

14

21

28

35

42

49

56

Waktu (hari ke-)
(a)

Suhu (oC)

50
40
30

25/04

20

30/04

10

35/04

0
0

7

14

21

28

35

42

49

56

Waktu (hari ke-)
(b)
50

Suhu (oC)

40
30

25/08

20

30/08

10

35/08

0
0

7

14

21

28

35

42

49

56

Waktu (hari ke-)
(c)

Gambar 4 Perubahan suhu pada laju aerasi : (a) 0 L/menit.kg bahan kering,
(b) 0,4 L/menit.kg bahan kering, (c) 0,8 L/menit.kg bahan kering

15

Berdasarkan Gambar 4, perlakuan C/N awal 25 pada semua laju aerasi
menunjukkan suhu yang paling rendah pada awal pengomposan. Hal ini
disebabkan kandungan karbon organik mudah terurai pada C/N awal 25 paling
sedikit daripada perlakuan lainnya dan memiliki volume tumpukan paling kecil
sehingga panas yang dihasilkan tidak tertahan. Sementara itu perlakuan C/N awal
30 memliki suhu maksimal tertinggi, meskipun tidak bertahan lama. Lebih
tingginya C/N awal 30 daripada 35 dapat disebabkan oleh tersedianya nutrisi
dalam perbandingan yang paling baik bagi kehidupan mikroorganisme dalam
proses pengomposan (Djuarnani et al. 2005). Dengan optimalnya kondisi yang
mendukung aktivitas mikroorganisme, produksi kalor (panas) dari hasil
perombakan bahan organik juga semakin maksimal.
Setelah minggu ke-2 pengomposan, suhu perlakuan C/N awal 30 dan 35
hampir sama. Sementara itu, perlakuan C/N awal 25 memiliki suhu yang relatif
lebih tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh baru terjadinya penguraian bahan
lignoselulosa dan lemak yang terdapat pada C/N awal 25 akibat suhu
pengomposan pada tahap-tahap sebelumnya lebih rendah. Meskipun demikian,
suhu pengomposan perlakuan C/N awal 25 paling cepat mencapai kestabilan pada
suhu yang disyaratkan oleh SNI 19-7030-2004 dibandingkan dengan C/N awal
lainnya, kecuali pada laju aerasi 0 L/menit.kg bahan kering.
Hasil uji ANOVA menunjukkan perlakuan nilai C/N awal tidak
memberikan pengaruh nyata (P > 0,05) terhadap suhu selama pengomposan
(Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan komposisi bahan tidak
mempengaruhi suhu. Oleh karena itu C/N awal terbaik untuk suhu pengomposan
dipilih berdasarkan kecepatannya mencapai kestabilan suhu pada suhu yang
disyaratkan SNI 19-7030-2004. Semakin cepat suhu pengomposan mencapai
kestabilan suhu yang disyaratkan SNI, menunjukkan waktu proses pengomposan
semakin singkat. Dengan demikian, C/N awal terbaik yaitu C/N awal 25. Adapun
pengaruh interaksi laju aerasi dan C/N awal dapat dilihat pada Gambar 5.
50

Suhu (oC)

40
30
20
10
0
0

7

14

21

28

35

42

49

56

25/0
30/0
35/0
25/04
30/04
35/04
25/08
30/08
35/08

Waktu (hari ke-)

Gambar 5 Perubahan suhu pengomposan pada seluruh perlakuan
Berdasarkan Gambar 5, diketahui bahwa seluruh perlakuan memiliki suhu
pengomposan dalam kisaran 26-47oC. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa
interaksi nilai C/N awal dengan laju aerasi tidak memberikan pengaruh nyata (P >
0,05) terhadap suhu pengomposan (Lampiran 3), artinya kombinasi C/N awal dan
laju aerasi yang berbeda menghasilkan suhu pengomposan yang relatif sama. Hal
ini menunjukkan bahwa faktor laju aerasi dan C/N awal tidak saling sinergis
dalam mempengaruhi suhu pengomposan. Meskipun demikian, suhu dari

16

kombinasi C/N awal dan laju aerasi yang berbeda memiliki perbedaan kecepatan
dalam mencapai kestabilan suhu yang sesuai SNI 19-7030-2004, sehingga
pemilihan interaksi terbaik dilakukan berdasarkan waktu mencapai kestabilan.
Perlakuan C/N awal 25 dengan laju aerasi 0,4 dan 0,8 L/menit.kg bahan kering
sama-sama mencapai suhu yang stabil sesuai SNI 19-7030-2004 pada hari ke-51.
Dari segi tingginya suhu maksimal yang dapat dicapai kedua perlakuan tersebut,
interaksi terbaik yaitu C/N awal 25 dengan laju aerasi 0,4 L/menit.kg bahan
kering, yang mencapai suhu maksimal sebesar 43,3oC.
Secara keseluruhan, berdasarkan hasil uji ANOVA, laju aerasi berpengaruh
nyata terhadap suhu pengomposan sementara nilai C/N awal dan interaksi
keduanya tidak berpengaruh nyata. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi suhu
pengomposan, faktor nilai C/N awal tidak perlu diterapkan karena tidak
meningkatkan efektivitas. Namun laju aerasi yang paling optimum, yaitu 0,4
L/menit.kg bahan kering perlu untuk diterapkan.
Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH mempengaruhi kelarutan berbagai zat kimia dengan mempengaruhi
derajat ionisasi senyawa kimia tersebut, sehingga pada akhirnya juga
mempengaruhi ketersediaan nutrisi untuk mikroba pengurai, aktivitas populasi
mikroba dan toksisitas beberapa bahan yang dikandung bahan. Nilai pH optimum
pengomposan berkisar antara 5,5 dan 8,0 (Bertoldi et al. 1983). Pada rentang pH
tersebut, nutrisi untuk pertumbuhan mikroorganisme pengurai tersedia paling
tinggi karena berada dalam bentuk terdisosiasi. Pada pH di bawah 5,5, nutrisi
menjadi kurang tersedia dan beberapa mikronutrien dapat menjadi racun karena
bersifat toksik dalam bentuk tidak terdisosiasi. Pada pH di atas 8, pembentukan
amonia (bersifat toksik) lebih tinggi.
Nilai pH berubah selama pengomposan karena adanya perubahan komposisi
kimia (Beck-Friis et al. 2003). Menurut Weast et al. (1990) nilai pH selama
pengomposan dipengaruhi oleh tiga sistem asam-basa. Sistem yang pertama
adalah sistem karbonat. Karbon dioksida (CO2) yang terbentuk selama
dekomposisi dapat menguap dalam bentuk gas atau larut dalam cairan membentuk
asam karbonat (H2CO3), ion bikarbonat (HCO3-) dan ion karbonat (CO32-), Sistem
ini memiliki dua konstanta disosiasi (pKa) yaitu 6,35 dan 10,33 pada 25°C,
sehingga cenderung untuk menetralisir pH kompos, meningkatkan pH rendah dan
mengurangi pH tinggi. Sistem yang kedua adalah sistem amonium (NH4+) amonia (NH3), yang terbentuk ketika protein terurai. Sistem amonia memiliki pKa
9,24 pada 25°C sehingga meningkatkan nilai pH. Sistem ketiga terdiri dari
beberapa asam organik yang didominasi oleh asam asetat dan asam laktat, yang
cenderung terbentuk pada kondisi anaerob. Sistem ini dapat mengurangi pH
menjadi 4,14, yang juga merupakan pKa asam laktat pada 25°C. Konsentrasi
berbagai zat hasil dekomposisi inilah yang pada akhirnya menentukan nilai pH.
Nilai pH diamati setiap 2 minggu sekali selama 2 bulan. Perubahan nilai pH
pada C/N awal 25, 30, 35 untuk berbagai laju aerasi selama 8 minggu
pengomposan disajikan pada Gambar 6. Berdasarkan Gambar 6, nilai pH awal
bahan sebesar 8. Tingginya nilai pH awal bahan dapat disebabkan oleh kandungan
senyawa bersifat basa yang tinggi pada limbah padat beltpress sebagai akibat dari
pemrosesan sebelumnya di unit pengolahan air limbah, seperti NaOH yang

17

digunakan untuk menstabilkan pH air limbah. Meskipun demikian, nilai pH
campuran bahan awal masih berada di kisaran yang sesuai untuk pertumbuhan
optimal mikroorganisme pengurai, termasuk ammonifier (5,0-8,0), nitrifier
autotrof (6,5-8,0) dan denitrifier (6,0-8,0) (Knowles 1982).

(a)

(b)

(c)
Gambar 6 Perubahan nilai pH pada C/N awal: (a) 25, (b) 30, (c) 35
Pada minggu ke-2 pengomposan keseluruhan perlakuan menunjukkan
adanya peningkatan nilai pH sampai kisaran 8,7-9. Selanjutnya nilai pH seluruh
perlakuan mengalami penurunan sampai kisaran 8,6-8,9 pada minggu ke-4, 8,58,9 pada minggu k