Model Komunikasi Seksualitas Orangtua-Remaja Sebagai Prevensi Terhadap Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perilaku seksual remaja kini semakin mencengangkan banyak kalangan.
Hasil‐hasil kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa hubungan remaja dengan
pacarnya telah sampai pada sexual intercourse. Bahkan temuan PKBI mengungkap
semakin dininya usia remaja yang terlibat sexual intercourse, yaitu telah merambah
pada remaja usia 14 tahun dengan tingkat pendidikan SMP (Sugiarto, 2006).
Sementara itu dari hasil penelitian yang penulis lakukan (Lestari, 2007) terhadap 551
remaja di Surakarta diperoleh data yang lebih terperinci tentang perilaku seksual
remaja dalam berpacaran Dari jumlah responden tersebut, terdapat 30.9% yang
duduk berdampingan, berpegangan tangan, dan berbincang‐bincang, 28.1% remaja
yang perilaku pacarannya pada tahap merangkul atau mencium kening dan pipi,
38,8% remaja yang perilakunya telah mengarah pada stimulasi seksual seperti
berciuman bibir, berpelukan erat sambil berciuman, meraba/diraba area sensitif,
dan stimulasi area erogen, serta 2,2% remaja yang telah melakukan hubungan
seksual. dengan pacarnya.
Penelitian tersebut juga menemukan adanya korelasi yang signifikan antara
perilaku seksual remaja dalam berpacaran dengan komunikasi seksualitas dengan
orang tua. Remaja yang komunikasi seksualitas dengan orangtuanya rendah,
memiliki kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual yang tahapannya lebih
tinggi dalam berpacaran. Adapun remaja yang orangtuanya memiliki kesediaan
untuk mengkomunikasikan topik‐topik seksualitas memiliki kecenderungan untuk
melakukan aktivitas seksual yang tahapannya lebih rendah dalam berpacaran.
Temuan tersebut selaras dengan penelitian terdahulu yang menunjukkan
bahwa ketika orang tua dapat menerima ketertarikan anak terhadap seksualitas dan
mempunyai kehendak untuk mendiskusikannya, maka anak‐anak tersebut
cenderung menunda sexual intercourse yang pertama (Zelnik dan Kim dalam Allgeier
dan Allgeier, 1991), dan mengembangkan sikap seksual yang serupa dengan orang
1
tuanya (Fisher dalam Allgeier dan Allgeier, 1991). Kondisi tersebut dapat terjadi
karena ketika orang tua dan anak berkomunikasi tentang seksualitas, umumnya juga
mengkomunikasikan sikap dan nilai, tidak sekedar fakta tentang seksualitas (Bennett
dan Dickinson; Fisher, dalam Allgeier dan Allgeier, 1991).
Sayangnya penelitian penulis (Lestari, 2007) juga mengungkapkan masih
rendahnya intensitas maupun kualitas komunikasi seksualitas orang tua – remaja.
Oleh karena itu perlu diadakan program untuk mendorong sikap proaktif dan
keterbukaan orang tua dalam mengomunikasikan seksualitas dengan remaja. Dalam
penelitian ini akan dikaji apakah model komunikasi seksualitas orang tua – remaja
dapat meningkatkan sikap proaktif dan keterbukaan orang tua dalam
mengomunikasikan seksualitas kepada anak?
Perilaku seksual remaja merupakan cerminan dari kebutuhan untuk
memeroleh informasi seksualitas dan hasrat untuk mengekspresikan seksualitas
dirinya. Orang tua merupakan sumber informasi seksualitas yang paling penting dan
diharapkan oleh anak. Sayangnya kesediaan orang tua untuk mengomunikasikan
seksualitas dengan remaja masih tergolong rendah. Bila dibandingkan, peran ibu
masih lebih besar daripada ayah, tetapi keduanya sama‐sama lebih menekankan
pada penyampaian norma dalam pergaulan dengan lawan jenis, namun kurang
bersikap terbuka dan proaktif dalam memberikan informasi tentang seluk‐beluk
seksualitas. Bahkan terhadap pengalaman seksual yang khas perempuan, yaitu
menstruasi, para ibu masih kurang menunjukkan perhatian dan sikap yang proaktif
menyampaikan informasi kepada anak perempuannya.
Secara umum dapat pula dikatakan bahwa terdapat gap dalam komunikasi
seksualitas orang tua‐anak akibat kurang adanya sikap terbuka dari orang tua.
Kurangnya keterbukaan antara orang tua dan remaja dalam komunikasi seksualitas
penulis temukan ketika melakukan wawancara tentang komunikasi seksualitas
dalam keluarga. Ketika penulis mewawancarai orang tua dan remaja bersama‐sama
dalam satu forum, remaja mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan‐
pertanyaan yang penulis ajukan terkait dengan pemerolehan informasi tentang
materi seksual maupun perilaku seksual mereka. Akan tetapi ketika remaja
2
diwawancarai tanpa ada orang tuanya, mereka dapat mengemukakan pengalaman‐
pengalamannya dalam memeroleh materi seksual maupun perilaku seksual yang
pernah dilakukannya secara terbuka.
Temuan lain yang juga menarik untuk ditindaklanjuti adalah bahwa
peringatan atau pemberian rambu‐rambu dalam pergaulan oleh orang tua pada
remaja, tidak dapat mencegah remaja untuk memenuhi rasa ingin tahunya tentang
seks dari sumber‐sumber lain. Saat melakukan penelitian tentang pola komunikasi
seksualitas dalam keluarga, penulis menemukan ayah dan ibu yang telah
menyampaikan pesan tentang norma pergaulan dan larangan untuk menyimpan
gambar porno maupun melihat VCD porno pada anak laki‐lakinya yang telah
menginjak remaja. Suatu hari, ayah memergoki anak laki‐lakinya menyimpan gambar
porno di HPnya. Tindakan yang dilakukan ayah adalah memarahi habis‐habisan anak
laki‐lakinya tersebut dengan harapan anak laki‐lakinya akan jera untuk mengakses
gambar porno lagi. Namun fakta yang terjadi pada anak laki‐laki tersebut tidak
sesuai dengan harapan ayah. Anak laki‐laki tersebut mengungkapkan bahwa ia tidak
lagi menyimpan gambar porno di HP karena takut dimarahi lagi oleh ayahnya, tetapi
ia biasa nonton VCD porno bersama teman‐temannya ketika mendapat ijin untuk
bermain pada sore hari. Acara nonton VCD porno tersebut dilakukan rata‐rata tiga
hari sekali di rumah teman yang orang tuanya sedang bepergian. Dampak dari sering
nonton VCD porno tersebut, ia mudah terangsang ketika melihat ada anak
perempuan yang berpakaian seksi atau agak terbuka. Untuk memenuhi hasrat
seksualnya yang menggelora, ia kemudian melakukan masturbasi. Ia juga
menyatakan bahwa acara nonton VCD porno bersama teman‐teman maupun
masturbasi dilakukan tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya.
Komunikasi seksualitas antara orang tua‐anak juga belum terjalin secara
intens dalam upaya mempersiapkan anak memasuki masa remaja. Dalam penelitian
tentang pengalaman menstruasi pertama (menarche) penulis menemukan bahwa
belum semua ibu memberikan bekal yang memadai bagi anak‐anak perempuannya
untuk menghadapi menstruasi yang pertama. Anak‐anak perempuan tersebut
mengetahui tentang menstruasi justru dari teman‐teman sebayanya yang telah lebih
3
dulu mengalami menstruasi. Ibu baru menjelaskan tentang seluk‐beluk menstruasi
setelah anak perempuan mengalaminya. Akibat dari kekurangsiapan dalam
menghadapi menarche tersebut adalah muncul emosi‐emosi negatif seperti kaget,
bingung, cemas dan takut. Sementara pada anak perempuan yang telah
dipersiapkan untuk menghadapi menarche, emosi‐emosi negatif tersebut tidak
muncul.
Bagaimanapun orang tua mempunyai peran penting dalam menanamkan
nilai‐nilai yang menjadi panutan bagi remaja dalam berperilaku, termasuk di
dalamnya adalah nilai‐nilai yang terkait dengan seksualitas (Allgeier & Allgeier, 1991;
Fuhrmann, 1990). Anak memperoleh nilai seksualitas melalui proses sosialisasi
pertama yang dialami oleh anak adalah ketika berinteraksi dengan orang tuanya.
Pada mulanya anak belajar meniru atau melakukan imitasi terhadap pola‐pola
perilaku yang ditunjukkan oleh orang tuanya. Menginjak masa kanak‐kanak, anak
mulai berinteraksi dengan teman sebayanya.
Pada usia sekolah, anak mulai mengenal adanya perbedaan perilaku antara
dirinya dengan teman sebayanya. Anak juga mulai menemukan adanya perbedaan
nilai antara yang diajarkan orang tuanya di rumah dengan yang ditemui di luar
rumah, seperti sekolah, masyarakat, media cetak, internet, maupun televisi. Ada
perilaku yang dilarang oleh orang tua, tetapi anak melihat orang lain melakukan hal
tersebut. Perbedaan tersebut tentunya menimbulkan pertentangan nilai dalam
masalah seksualitas pada diri anak. Apabila anak tidak mendapatkan pembelajaran
nilai seksualitas yang memadai dari orang tuanya maka kondisi ini akan dapat
menyebabkan anak mudah terpengaruh oleh situasi lingkungan yang dihadapinya.
Misalnya, anak mudah terpengaruh ajakan dari teman‐teman sebayanya untuk
melakukan tindakan yang melanggar norma seperti menonton VCD porno,
kecanduan mengakses situs porno, berperilaku seksual yang mengarah pada
stimulasi seksual, bahkan melakukan hubungan seksual pada masa remaja.
Dengan maraknya stimulasi seksual dari lingkungan yang dapat menerpa
remaja dan besarnya rasa ingin tahu remaja tentang masalah seks, maka penelitian
ini dilakukan untuk memetakan sumber‐sumber informasi yang dimanfaatkan oleh
4
remaja untuk memenuhi rasa ingin tahunya tentang seks dan sejauhmana orangtua
berperan dalam mengomunikasikan topik seks dengan anak‐anaknya pada masa
remaja.
B. Urgensi Penelitian
Perilaku seksual remaja merupakan cerminan dari kebutuhan untuk
memeroleh informasi seksualitas dan hasrat untuk mengekspresikan seksualitas
dirinya. Orang tua merupakan sumber informasi seksualitas yang paling penting dan
diharapkan oleh anak. Sayangnya kesediaan orang tua untuk mengomunikasikan
seksualitas dengan remaja masih tergolong rendah. Bila dibandingkan, peran ibu
masih lebih besar daripada ayah, tetapi keduanya sama‐sama lebih menekankan
pada penyampaian norma dalam pergaulan dengan lawan jenis, namun kurang
bersikap terbuka dan proaktif dalam memberikan informasi tentang seluk‐beluk
seksualitas. Bahkan terhadap pengalaman seksual yang khas perempuan, yaitu
menstruasi, para ibu masih kurang menunjukkan perhatian dan sikap yang proaktif
menyampaikan informasi kepada anak perempuannya.
Secara umum dapat pula dikatakan bahwa terdapat gap dalam komunikasi
seksualitas orang tua‐anak akibat kurang adanya sikap terbuka dari orang tua.
Kurangnya keterbukaan antara orang tua dan remaja dalam komunikasi seksualitas
penulis temukan ketika melakukan wawancara tentang komunikasi seksualitas
dalam keluarga. Ketika penulis mewawancarai orang tua dan remaja bersama‐sama
dalam satu forum, remaja mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan‐
pertanyaan yang penulis ajukan terkait dengan pemerolehan informasi tentang
materi seksual maupun perilaku seksual mereka. Akan tetapi ketika remaja
diwawancarai tanpa ada orang tuanya, mereka dapat mengemukakan pengalaman‐
pengalamannya dalam memeroleh materi seksual maupun perilaku seksual yang
pernah dilakukannya secara terbuka.
Temuan lain yang juga menarik untuk ditindaklanjuti adalah bahwa
peringatan atau pemberian rambu‐rambu dalam pergaulan oleh orang tua pada
remaja, tidak dapat mencegah remaja untuk memenuhi rasa ingin tahunya tentang
5
seks dari sumber‐sumber lain. Saat melakukan penelitian tentang pola komunikasi
seksualitas dalam keluarga, penulis menemukan ayah dan ibu yang telah
menyampaikan pesan tentang norma pergaulan dan larangan untuk menyimpan
gambar porno maupun melihat VCD porno pada anak laki‐lakinya yang telah
menginjak remaja. Suatu hari, ayah memergoki anak laki‐lakinya menyimpan gambar
porno di HPnya. Tindakan yang dilakukan ayah adalah memarahi habis‐habisan anak
laki‐lakinya tersebut dengan harapan anak laki‐lakinya akan jera untuk mengakses
gambar porno lagi. Namun fakta yang terjadi pada anak laki‐laki tersebut tidak
sesuai dengan harapan ayah. Anak laki‐laki tersebut mengungkapkan bahwa ia tidak
lagi menyimpan gambar porno di HP karena takut dimarahi lagi oleh ayahnya, tetapi
ia biasa nonton VCD porno bersama teman‐temannya ketika mendapat ijin untuk
bermain pada sore hari. Acara nonton VCD porno tersebut dilakukan rata‐rata tiga
hari sekali di rumah teman yang orang tuanya sedang bepergian. Dampak dari sering
nonton VCD porno tersebut, ia mudah terangsang ketika melihat ada anak
perempuan yang berpakaian seksi atau agak terbuka. Untuk memenuhi hasrat
seksualnya yang menggelora, ia kemudian melakukan masturbasi. Ia juga
menyatakan bahwa acara nonton VCD porno bersama teman‐teman maupun
masturbasi dilakukan tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya.
Komunikasi seksualitas antara orang tua‐anak juga belum terjalin secara
intens dalam upaya mempersiapkan anak memasuki masa remaja. Dalam penelitian
tentang pengalaman menstruasi pertama (menarche) penulis menemukan bahwa
belum semua ibu memberikan bekal yang memadai bagi anak‐anak perempuannya
untuk menghadapi menstruasi yang pertama. Anak‐anak perempuan tersebut
mengetahui tentang menstruasi justru dari teman‐teman sebayanya yang telah lebih
dulu mengalami menstruasi. Ibu baru menjelaskan tentang seluk‐beluk menstruasi
setelah anak perempuan mengalaminya. Akibat dari kekurangsiapan dalam
menghadapi menarche tersebut adalah muncul emosi‐emosi negatif seperti kaget,
bingung, cemas dan takut. Sementara pada anak perempuan yang telah
dipersiapkan untuk menghadapi menarche, emosi‐emosi negatif tersebut tidak
muncul.
6
Bagaimanapun orang tua mempunyai peran penting dalam menanamkan
nilai‐nilai yang menjadi panutan bagi remaja dalam berperilaku, termasuk di
dalamnya adalah nilai‐nilai yang terkait dengan seksualitas (Allgeier & Allgeier, 1991;
Fuhrmann, 1990). Anak memperoleh nilai seksualitas melalui proses sosialisasi
pertama yang dialami oleh anak adalah ketika berinteraksi dengan orang tuanya.
Pada mulanya anak belajar meniru atau melakukan imitasi terhadap pola‐pola
perilaku yang ditunjukkan oleh orang tuanya. Menginjak masa kanak‐kanak, anak
mulai berinteraksi dengan teman sebayanya.
Pada usia sekolah, anak mulai mengenal adanya perbedaan perilaku antara
dirinya dengan teman sebayanya. Anak juga mulai menemukan adanya perbedaan
nilai antara yang diajarkan orang tuanya di rumah dengan yang ditemui di luar
rumah, seperti sekolah, masyarakat, media cetak, internet, maupun televisi. Ada
perilaku yang dilarang oleh orang tua, tetapi anak melihat orang lain melakukan hal
tersebut. Perbedaan tersebut tentunya menimbulkan pertentangan nilai dalam
masalah seksualitas pada diri anak. Apabila anak tidak mendapatkan pembelajaran
nilai seksualitas yang memadai dari orang tuanya maka kondisi ini akan dapat
menyebabkan anak mudah terpengaruh oleh situasi lingkungan yang dihadapinya.
Misalnya, anak mudah terpengaruh ajakan dari teman‐teman sebayanya untuk
melakukan tindakan yang melanggar norma seperti menonton VCD porno,
kecanduan mengakses situs porno, berperilaku seksual yang mengarah pada
stimulasi seksual, bahkan melakukan hubungan seksual pada masa remaja.
Salah satu kunci keberhasilan bagi orang tua dalam mengomunikasikan
seksualitas dengan anak adalah merasa nyaman dengan topik seksualitas (Whitaker,
Miler, May, & Levin, 1999), serta memiliki pengetahuan yang cukup akurat dan
memiliki ketrampilan komunikasi (Atwater, 1992). Dalam penelitian yang penulis
lakukan (Lestari, 2002; Lestari & Lestari, 2006) pemberian intervensi pada ibu
melalui pelatihan komunikasi seksualitas dapat meningkatkan perasaan nyaman
terhadap topik seksualitas.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan adanya suatu kondisi yang mendesak
yakni perlunya dikembangkan suatu program yang dapat mendorong orangtua
7
untuk bersikap proaktif dalam menjalin komunikasi seksualitas dengan anak. Sebagai
dasar pijakannya perlu dilakukan asesmen pada remaja untuk mengetahui
kebutuhan informasi seksualitas pada mereka.
8
DAFTAR PUSTAKA
Allgeier, E.R., & Allgeier, A.R. (1991). Sexual Interactions. Third Edititon.
Massachusetts: D. C. Heath and Company.
Atwater, E. (1992). Adolescence. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
Anganthi, N.R.N & Lestari, S. (2007). Pola komunikasi seksualitas pada keluarga
muslim di Surakarta. Laporan Penelitian Fundamental. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta, tidak diterbitkan.
Baumeister, L.M., Flores, E., & Marín, B. V. (1995). Sex information given to Latina
adolescents by parents. Health Education Research, 10, 233‐239.
Donnelly, J., Goldfarb, E., Duncan, D. F., Young, M., Eadie, C., & Castiglia, D., (1999).
Self‐esteem and sex attitudes as predictors of sexual abstinence by inner‐city
early adolescents. North American Journal of Psychology, 1, 205‐212.
Eastman, K. L., Corona, R., Ryan, G. W., Warsofsky, A. L. & Schuster, M. A. (2005).
Worksite‐based parenting programs to promote healthy adolescent sexual
development: A qualitative study of feasibility and potential content.
Perspectives on Sexual and Reproductive Health, 37, 62–69.
Fisher, J. D. (1987). Family communication and the sexual behavior and attitudes of
college students. Journal of Youth and Adolescence, 16, 481‐495.
Fisher, T. D. (1986). An exploratory study of parent‐child communication about sex
and the sexual attitudes of early, middle, and late adolescents. Journal of
Genetic Psychology, 147, 543‐557.
Forehand, R., Miller, K.S., Dutra, R., and Change, M.W. 1997. Role of parenting in
adolescent deviant behaviour: Replication accros and within two ethnic
group. Journal of Consulting and Clinical Phychology, 65, 1036‐1041.
French, D. C., & Dishion, T. J. (2003). Predictors of early initiation of sexual
intercourse among high‐risk adolescents. Journal of Early Adolescence, 23,
295‐315.
Fuhrmann, B.S. (1990). Adolescence, Adolescents. Second Edition. Illinois: Scott,
Foresman and Company.
Hayes, N. (2000). Doing psychological research: Gathering and analysing data.
Buckingham: Open University Press.
Hutchinson, M. K, & Cooney, T.M. (1998). Patterns of parent‐teen sexual risk
communication: Implications for intervention. Family Relations, 47, 185‐194.
Hutchinson, M. K., & Montgomery, A. J. (2007). Parent communication and sexual
risk among African Americans. Western Journal of Nursing Research, 29, 691.
60
Izugbara, C. O. (2005). The socio‐cultural context of adolescents’ notions of sex and
sexuality in Rural South‐Eastern Nigeria. Sexualities, 8, 600‐617.
Jaccard, J., Dittus, P.J., & Gordon, V.V. (2000). Parent‐teen communication about
premarital sex: Factors associated with the extent of communication. Journal
of Adolescent Research, 15, 187‐208.
Karofsky, P. S., Zeng, L., & Kosorok, M. R. (2001). Relationship between adolescent‐
parental communication and initiation of first intercourse by adolescents.
Journal of Adolescent Health, 28, 41‐45.
Katchadourian, H.A. (1987). Fundamentals of human sexuality. Fifth Edition.
Orlando, Florida: Holt, Rinehart & Winston Inc.
Lefkowitz, E. S., Sigman, M., & Au, T. K. (2000). Helping mothers discuss sexuality and
AIDS with adolescents. Child Development, 71, 1383‐1394.
Lestari, S. (2007). Perilaku pacaran ditinjau dari intensitas mengakses situs porno
dan komunikasi seksualitas dengan orangtua. Laporan penelitian dosen
muda. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, tidak diterbitkan.
Lestari, S. & Pratisti, W. D. (2008). Makna menarche dan pengalaman psikologis yang
menyertainya. Arkhe, 13, 1‐8.
Lestari, S. & Hertinjung, W.S. (2007). Sikap ibu terhadap pertanyaan anak tentang
seksualitas. Psikologika. No 24, Tahun XII, 147‐155.
Lestari, S. & Purwandari, E. (2002). Kemampuan komunikasi ibu – anak tentang
seksualitas ditinjau dari tingkat pengetahuan ibu. Indigenous, 6, 32‐39.
Lestari, S. & Lestari, R. (2006). Pelatihan komunikasi sebagai sarana untuk
meningkatkan kemampuan komunikasi seksualitas pada ibu. Makalah.
Dipresentasikan dalam Temu Ilmiah Nasional V Ikatan Psikologi
Perkembangan Indonesia (IPPI), 25‐26 Agustus di Malang.
Lestari, S. (2002). Peningkatan kemampuan ibu dalam mengkomunikasikan
seksualitas kepada anak melalui pemberian informasi. Tesis. Yogyakarta:
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan.
Lieberman L.D. (2006). Early predictors of sexual behavior: implications for young
adolescents and their parents. Perspectives on Sexual and Reproductive
Health, 38, 112‐114.
Luster, T., & Small, S. A. (1994). Factors associated with sexual risk‐taking behaviors
among adolescents. Journal of Marriage & the Family, 56, 622‐632.
Masters, W. H., Johnson, V. E., & Kolodny, R. C. (1992). Human Sexuality. Fourth
Edition. New York: Harper Collins Publishers.
McNeely, C., Shew, M. L., Beuhring, T., Sieving, R., Miller, B. C., & Blum, R. W. (2002).
Mothers' influence on the timing of first sex among 14‐ and 15‐year‐olds.
Journal of Adolescent Health, 31, 256‐265.
61
Miller, B. C., Norton, M. C., Fan, X., & Christopherson, C. R, 1998. Pubertal
development, parental communication, and sexual values in relation to
adolescent sexual behaviors. Journal of Early Adolescence, Vol 18, 27‐52.
Moore, S., & Rosenthal, D. 1991. Adolescents' perceptions of friends' and parents'
attitudes to sex and sexual risk‐taking. Journal of Community and Applied
Social Psychology, Vol 1, 189‐200.
Mudijana, D. 1993. Need assessment reproduksi sehat remaja di Kodya Yogyakarta.
Makalah. Yogyakarta: Kerjasama YKB dengan Kantor Menteri
Kependudukan/BKKBN. Tidak diterbitkan
PKBI (2001). Kebutuhan akan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja.
Laporan need assesment di Kupang, Palembang, Singkawang, Cirebon dan
Tasikmalaya. Diakses dari: www.PKBI.or.id.
Ryu, E., Kim, K., and Kwon, H., 2007. Predictors of sexual intercourse among Korean
adolescents. The Journal of School Health, 77, 615‐622.
Shaughnessy, J.J. and Zechmeister, E.B., 1990. Research methods in Psychology.
Second edition. New York: McGraw‐Hill, Inc.
SIECUS (2002). Innovative innovative approaches to increase parent‐child
communication about sexuality: Their impact and examples from the field.
Retrieved from www.siecus.org.
Somers, C.L. and Canivez, G.L. 2003. The sexual communication scale: a measure of
frequency of sexual communication between parents and adolescents.
Adolescence, 38, 43‐56.
Sugiarto, 2006. Hasil survei PSS PKBI DIY: Pelajar sudah lakukan seks bebas. Diakses
dari www.cyberman.cbn.net.id pada tanggal 15 Maret 2006.
Taufik dan Anganthi, N.R.N., 2005. Seksualitas remaja: Perbedaan antara seksualitas
remaja yang tidak melakukan hubungan seksual dan remaja yang melakukan
hubungan seksual. Jurnal Penelitian Humaniora, 6, No. 2.
Wallace, P., 1999. The psychology of the internet. Cambridge: Cambridge University
Press.
Whitaker, D.J., Miller, K.S., May D.C. and Levin, M.L. 1999. Teenage partners'
communication about sexual risk and condom use: The importance of
parent‐teenager discussions. Family Planning Perspectives, 31, 117‐121.
62
LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING
TAHUN PERTAMA
Model Komunikasi Seksualitas Orangtua-Remaja
Sebagai Prevensi Terhadap Perilaku Seksual Berisiko
pada Remaja
Oleh:
Sri Lestari, S.Psi, M.Si
Drs. Suparno, M.Si
Yudhi Satria Restu, SE, S.Psi, M.Si
DIBIAYAI OLEH DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL RI
DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN HIBAH PENELITIAN
NOMOR KONTRAK: 089/SP2H/PP/DP2M/III/2010, TERTANGGAL 01 MARET 2010
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
OKTOBER 2010
i
Daftar Isi
Halaman pengesahan ......................................................................................................... ii
Ringkasan ............................................................................................................................ v
Summary ........................................................................................................................... vii
Prakata ............................................................................................................................... ix
Daftar tabel ........................................................................................................................ xi
Daftar bagan ..................................................................................................................... xii
Daftar lampiran ................................................................................................................ xiii
Bab I. Pendahuluan ............................................................................................................. 1
A. Latar belakang masalah ......................................................................................... 1
B. Urgensi penelitian .................................................................................................. 5
Bab II. Tinjauan pustaka ..................................................................................................... 9
A. Kebutuhan remaja tentang informasi seksualitas ................................................. 9
B. Perilaku seksual remaja........................................................................................ 10
C. Komunikasi orangtua‐anak tentang seksualitas .................................................. 11
D. Sumber informasi seksualitas bagi remaja .......................................................... 15
E. Pertanyaan penelitian .......................................................................................... 15
Bab III. Tujuan dan manfaat penelitian ............................................................................ 16
Bab IV. Metode penelitian ................................................................................................ 17
A. Informan penelitian ............................................................................................. 17
B. Strategi pengambilan sampe ............................................................................... 17
C. Instrumen dan prosedur pengumpulan data ....................................................... 18
D. Metode analisis data ............................................................................................ 19
Bab V. Hasil dan pembahasan .......................................................................................... 20
A. Data wawancara kelompok terarah ..................................................................... 20
B. Data survei ........................................................................................................... 23
C. Pembahasan ......................................................................................................... 50
D. Temuan penelitian ............................................................................................... 56
E. Keterbatasan penelitian ....................................................................................... 57
iii
Bab VI. Kesimpulan dan saran .......................................................................................... 58
Daftar pustaka .................................................................................................................. 59
Lampiran‐lampiran ........................................................................................................... 62
Draft Artikel Jurnal ............................................................................................................ 80
Sinopsis proposal tahun kedua ......................................................................................... 90
iv
Model Komunikasi Seksualitas Orangtua‐Remaja Sebagai Prevensi Terhadap
Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja
RINGKASAN
Perilaku seksual yang semakin meningkat dalam aktivitas pacaran remaja
dan pornografi yang semakin mudah untuk diakses anak telah menginspirasi
dilakukannya penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kebutuhan
remaja akan informasi seksualitas. Agar memperoleh pemahaman terhadap
kebutuhan remaja secara komprehensif, proses pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan teknik wawancara kelompok dan survei. Partisipan dalam
wawancara kelompok adalah 23 orang remaja, yang terdiri dari 11 remaja laki‐laki
dan 12 remaja perempuan. Adapun partisipan dalam survey adalah 530 orang, yang
terdiri dari 261 orang remaja perempuan dan 269 orang remaja laki‐laki. Semua
partisipan merupakan remaja yang masih duduk di bangku SMP dan SMK di
Surakarta. Usia partisipan berkisar dari 11‐17 tahun.
Dari eksplorasi data yang diperoleh dalam penelitian ini diketahui hal‐hal
berikut:
a. Peristiwa haid dan mimpi basah tidak hanya merupakan peristiwa biologis
semata, tetapi juga disertai dengan pengalaman psikologis yang unik.
b. Sebagian besar remaja telah mengetahui tentang haid/mimpi basah sebelum
mereka mengalaminya
c. Sumber informasi seksualitas bagi remaja yang utama adalah internet dan
teman, peran orangtua sebagai sumber informasi seksualitas belum optimal.
d. Lebih dari dua pertiga remaja pernah mengakses materi pornografi terutama
melalui internet dan hp.
e. Bentuk materi pornografi yang disukai oleh remaja laki‐laki adalah gambar dan
video porno, sedangkan remaja perempuan lebih menyukai cerita porno.
f. Topik informasi seksualitas yang dibutuhkan oleh remaja adalah pengertian seks,
sistem reproduksi, perilaku seksual, hubungan seksual, dan psikoseksual.
g. Haid/mimpi basah pertama dimaknai remaja sebagai proses transisi dari anak‐
anak menjadi remaja, muncul kesadaran bahwa organ reproduksi telah aktif.
Mimpi basah pertama juga dihayati sebagai pengalaman seksual oleh remaja
laki‐laki.
h. Setelah mengalami haid/mimpi basah pertama, remaja menerima nasihat
orangtua yang berisi pesan agar lebih menjaga diri, lebih dewasa, lebih merawat
diri, dan memberikan batasan‐batasan pada anak.
i. Kata seks dikonotasikan oleh remaja sebagai hubungan intim, dan hanya sedikit
remaja yang mengartikannya sebagai jenis kelamin.
j. Sebagian besar remaja menyatakan tidak setuju hubungan seks dengan pacar
yang dilandasi oleh alasan normatif dan sikap antisipatif.
Temuan dalam penelitian ini mendukung penelitian‐penelitian terdahulu
bahwa orangtua belum bersikap proaktif dalam menjalin komunikasi seksualitas
dengan anak.
v
Keterbatasan penelitian ini adalah mayoritas remaja memiliki orangtua yang
berpendidikan dasar (SD‐SMP) sehingga masih perlu dikembangkan dengan
menambah partisipan dengan orangtua yang tingkat pendidikannya lebih tinggi.
vi
Parent‐adolescent Sexuality Communication Model As Prevention to
Adolescent’s Risking Sexual Behavior
SUMMARY
This researh was inspired by the increasing of adolescent’s sexual behavior in
courtship and the fact that pornography recently more accessible to children. The
purpose of this study was to identify the needs of adolescent for sexuality
information. In order to gain an understanding of the needs of adolescents in a
comprehensive manner, the process of data collection was done using focus group
interviews (FGI) and surveys. Twenty three students, which consisted of eleven male
students and twelve female student, participated in the focus group interviews.
Whereas the survey was participated by 530 adolescents, which consisted of 261
male students and 269 female students. Participants of both studies were
adolescents from 11 – 17 years age, who are still in junior high school and vocational
school in Surakarta.
Content analysis to the collected data in this research obtain some findings
as follows:
a. The occurence of menstruation and wet dream were not experienced as a purely
biological event, but also recognized as a unique psychological experience.
b. The most of teens already know about menstruation and wet dreams before
they experience it.
c. The main sources of sexuality information for teens are internet and friends,
since the role of parents as a source of sexuality information is not optimal.
d. More than two‐thirds of teenagers had access to pornographic material,
especially via internet and mobile phones.
e. Adolescent boys prefer to see pornographic materials such as pictures and
videos, while girls prefer to read porn stories.
f. Adolescent’s need of sexuality information include five themes, that are the
meaning of sex, the reproductive systems, sexual behavior, intercourse, and
psychosexual.
g. Several adolescent comprehend menarche and pollutio as transition phase into
adulthood, while others identify menarche and pollutio as beginning time of the
reproductive organs being active.
h. After experiencing menarche or pollutio, teenagers receive notification from
parent that they should be more careful, have mature attitude, keep themselves
clean and healthy. Parent also confirm some limitations.
i. The term of sex was connotated by adolescent as intercourse, and only a few
teenagers who interpret it as a person’s genital.
j. Generally adolescent state that having sex in dating is unacceptable, because of
normative reason and anticipatory behavior.
Findings in this study support previous studies that parents
has not been proactive in communicating sexuality with child.
vii
Limitation of this study is that the most of participants have parent with
basic level of education (primary and junior school), so this study need to be
extended to participants which have parent with higher education.
viii
PRAKATA
Alhamdulillah atas kekuatan dan perkenan Allah SWT penelitian dapat
terlaksana dan selesai. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah pada figur
teladan Rasulullah Muhammad SAW. Walaupun penelitian ini tidak terlepas dari
sejumlah keterbatasan, namun harapan penulis semoga hasil penelitian ini dapat
menjadi gerbang untuk semakin memahami dinamika kehidupan remaja, khususnya
dalam menjalani perkembangan seksualitasnya.
Perkembangan
seksualitas
yang paling pesat pada remaja ternyata telah mendorong remaja untuk
bereklsplorasi dalam mencari informasi seksualitas yang dibutuhkannya. Rasa ingin
tahu tentang seks yang tidak terjawab, tanggapan orangtua ketika ditanya tentang
seks yang kurang memuaskan remaja, dan minimnya sumber informasi tentang
seksualitas yang khusus dirancang bagi remaja telah mengakibatkan sebagian besar
remaja terpapar oleh media pornografi. Berpijak dari fenomena tersebut, penelitian
ini dilakukan untuk memahami informasi seksualitas yang dibutuhkan oleh para
remaja.
Penelitian ini dapat terlaksana atas bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu penulis sampaikan terima kasih kepada pihak‐pihak yang telah
mendukung pelaksanaan penelitian ini, yakni:
1. Departemen Pendidikan nasional Republik Indonesia, dalam hal ini DP2M
Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi.
2. Rektor Universitas Muhammdiyah Surakarta, dalam hal ini Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Masyarakat yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas
untuk kegiatan ini.
3. Para Kepala Sekolah SMP dan SMK yang telah memberikan ijin kepada penulis
untuk melakukan penelitian di insitusi yang beliau pimpin.
4. Bapak dan ibu guru yang telah membantu dalam proses pengumpulan data
dengan kerjasama yang sangat baik.
5. Adik‐adik remaja yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini dengan
membagi pengalamannya dalam menjalani kehidupan sebagai remaja.
ix
6. Ibu Setia Asyanti, S.Psi., M.Si., Ibu Wisnu Sri Hertinjung, S.Psi., M,Si. Dan Yudha
Teknik, S.Psi. yang telah bersedia membantu menjadi pewawancara dalam FGI.
7. Adik‐adik asisten ‐ Rika, Anik Dwining, Prima, dan Sari ‐ yang telah bersedia
membantu dalam proses pengumpulan data maupun entri data.
8. Keluarga penulis, Mochammad Mustachir yang telah bersedia menjalani share
parenting dengan berbagi tugas dalam pengasuhan anak ketika penulis
melaksanakan pengumpulan data dan penulisan laporan. Juga anak‐anak – Azka,
Akhyar, dan Allifna yang telah terkurangi waktu kebersamaan dengan bundanya
ketika penulis berkutat dengan data‐data penelitian.
9. Berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan dan kemudahan demi terlaksananya penelitian ini.
Tak ada gading yang tak retak, demikian kata pepatah. Penelitian ini masih
memiliki sejumlah keterbatasan. Oleh karena itu saran, masukan, dan kritik untuk
meningkatkan kualitas penelitian sangat penulis nantikan. Harapan penulis, semoga
karya ini dapat bermanfaat dalam menambah setitik pemahaman terhadap
kehidupan para remaja sebagai generasi masa depan bangsa Indonesia.
Surakarta, Oktober 2010
Penulis
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tema‐tema yang muncul dalam FGI pada remaja perempuan ..................... 21
Tabel 2. Tema‐tema yang muncul dalam FGI pada remaja laki‐laki ............................ 22
Tabel 3. Pengertian mimpi basah menurut remaja laki‐laki ....................................... 31
Tabel 4. Pengertian remaja perempuan tentang haid ................................................ 35
Tabel 5. Isi nasihat yang disampaikan orangtua kepada remaja setelah mengalami
haid/mimpi basah ......................................................................................... 36
Tabel 6. Pemahaman remaja tentang seks ................................................................. 37
Tabel 7 Kebutuhan informasi seksualitas pada remaja ........................................ 38‐39
Tabel 8. Aktivitas yang paling disukai remaja ketika bersama pacar ................... 44‐45
xi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Komposisi partisipan berdasarkan usia ........................................................ 24
Grafik 2. Tingkat pendidikan orangtua partisipan ....................................................... 24
Grafik 3. Jenis pekerjaan orangtua partisipan ............................................................. 25
Grafik 4. Hubungan remaja perempuan dengan ayah dan ibu ................................... 26
Grafik 5. Hubungan remaja laki‐laki dengan ayah dan ibu .......................................... 26
Grafik 6. Usia remaja ketika mengalami mimpi basah pertama kali ........................... 28
Grafik 7. Perbandingan remaja yang memperoleh informasi sebelum dan sesudah
mengalami mimpi basah .............................................................................. 28
Grafik 8. Sumber pertama pemerolehan informasi tentang mimpi basah ................. 29
Grafik 9. Figur dalam berbagi pengalaman mimpi basah pertama ............................. 30
Grafik 10. Usia remaja ketika mengalami haid pertama kali ....................................... 32
Grafik 11. Perbandingan remaja yang memperoleh informasi sebelum dan sesudah
mengalami haid ............................................................................................ 32
Grafik 12. Sumber pertama pemerolehan informasi tentang haid ............................. 33
Grafik 13. Figur yang dipercaya remaja untuk dibagi pengalaman haid pertamanya 34
Grafik 14. Sumber informasi tentang seks yang dipilih remaja .................................. 40
Grafik 15. Sumber informasi tentang seks yang dipilih remaja berdasarkan jenis
kelamin .......................................................................................................... 41
Grafik 16. Perbandingan remaja laki‐laki dan perempuan dalam pengalaman
bertanya tentang seks pada orangtua .......................................................... 42
Grafik 17. Status pacaran pada remaja berdasarkan jenis kelamin .......................... 43
Grafik 18. Status pacaran remaja berdasarkan tingkat pendidikan ............................ 43
Grafik 19. Pendapat remaja perempuan dan laki‐laki tentang hubungan seks dengan
pacar ............................................................................................................. 46
Grafik 20. Frekuensi remaja dalam mengakses materi pornografi. ............................ 47
Grafik 21. Perbandingan frekuensi remaja laki‐laki dan perempuan dalam mengakses
materi pornografi ......................................................................................... 47
Grafik 22. Frekuensi akses materi pornografi pada remaja berdasarkan tingkat
pendidikan dan jenis kelamin ....................................................................... 48
Grafik 23. Bentuk materi pornografi yang diakses remaja laki‐laki dan perempuan
Grafik 24. Media yang digunakan untuk mengakses pornografi pada remaja laki‐laki
dan perempuan ............................................................................................ 49
Grafik 25. Sumber informasi pertama dalam memperoleh materi pornografi pada
remaja laki‐laki dan perempuan ................................................................... 50
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Personalia Penelitian ................................................................................................... 63
Panduan Wawancara Kelompok (FGI) ......................................................................... 66
Angket untuk remaja putra ......................................................................................... 68
Angket untuk remaja putri .......................................................................................... 74
xiii