Prinsip Tanggung Jawab Dalam Pengangkutan

Penggunaan hak retensi dalam perjanjian pengangkutan tidak dibenarkan. Penggunaan hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan. Berdasarkan hasil penelitian ternyata penggunaan hak retensi akan menyulitkan pengangkut sendiri, misalnya penyediaan tempat penyimpanan, biaya penyimpanan, penjagaan dan perawatan barang.

6. Prinsip Tanggung Jawab Dalam Pengangkutan

Menurut Saefullah Wiradipradja dalam bukunya Abdul Kadir 1984:27 mengemukakan setidak-tidaknya ada tiga prinsip tanggung jawab pengangkut dalam hukum pengangkutan yaitu sebagai berikut : a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan fault liability Menurut prinsip ini setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian atas segala kerugian yang timbul akibat dari kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut itu. Beban pembuktian ada pihak yang dirugikan, bukan pada pengangkut. Prinsip ini adalah yang umum berlaku seperti yang diatur dalam pasal 1365 KUHPdt tentang perbuatan melawan hukum. b. Prinsip Tanggung jawab berdasarkan praduga presumption of liability Menurut prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselengarakannya. Tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian. Yang dimaksud dengan “tidak bersalah” adalah tidak melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang perlu untuk menghindar kerugian, atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu tidak mungkin dihindari. Beban pembuktian ada pada pihak pengangkut, bukan pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian yang diderita dalam pengangkutan yang diselengarakan oleh pengangkut. c. Prinsip tanggung jawab mutlak absolute liability Menurut prinsip ini pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian tentang kesalahan. Unsur kesalahan tidak relevan. Apabila prinsip-prinsip ini dihubungkan dengan undang-undang yang mengatur pengakutan darat, laut, dan udara di Indonesia, ternyata undang-undang pengakutan yang mengatur ketiga jenis pengangkutan tersebut menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga. Hal ini terbukti dari antara lain ketentuan pasal-pasal yang diuraikan berikut ini : Dalam Pasal 468 ayat 2 KUHD ditentukan bahwa apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan seluruh atau sebagian, atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim. Tetapi pengangkut tidak bertanggung jawab mengganti kerugian apabila ia dapat membuktikan bahwa tidak diserahkan seluruh atau sebagian atau rusaknya barang itu karena suatu peristiwa yang tidak dapat dicegah atau dihindari terjadinya.....dst Dalam pasal 522 ayat 2 KUHD ditentukn bahwa pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian yang disebabkan oleh luka yang dialami penumpang karena pengangkutan itu, kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa luka itu disebabkan oleh suatu peristiwa yang tidak dapat dicegah atau dihindari terjadinya, atau kesalahan penumpang sendiri.

7. Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Laut