1. Teori Demokrasi Deliberatif J01257

2. 1. Teori Demokrasi Deliberatif

Teori demokrasi deliberatif Habermas adalah penerapan dari teori tindakan komunikatif yang digagas filsuf ini sebelumnya. Menurut Habermas, komunikasi sudah selalu merupakan ciri dasar kehidupan bersama manusia, maka tuntutan teori demokrasi itu tidak lain daripada sebuah radikalisasi dari struktur-struktur komunikasi yang lama sudah ada di dalam negara hukum modern, sehingga negara hukum yang faktual sedikit demi sedikit dapat mendekati asas-asas normatifnya sendiri. Model deliberatif ini menekankan pentingnya prosedur komunikasi untuk meraih legitimitas hukum di dalam proses pertukaran yang dinamis antara sistem politik dan ruang publik yang dimobilisasi secara kultural. Dalam model ini Habermas mencoba menghubungkan tesis hukumnya, yakni tesis tentang fungsi hukum sebagai medium integrasi sosial, dengan sebuah teori sosiologis tentang demokrasi. 4 Dalam bahasa Habermas sendiri, demokrasi deliberatif adalah suatu teori yang menerima diskursus rasional diantara para warga sebagai sumber legitimasi politik. 5 Dalam masyarakat tradisional yang masih cenderung homogen, kebutuhan akan diskursus politis yang inklusif belum muncul. Di sana ada referensi bersama pada otoritas transenden yang dianggap menyediakan basis kokoh dan pra-diskursif bagi kesatuan dan stabilitas komunitas politis. Habermas mengatakan: Hukum awalnya memiliki suatu dasar ilahi; hukum ini, biasanya ditafsirkan dan diatur oleh para teolog atau pembuat hukum, lalu diterima secara luas sebagai bagian dari perintah Ilahi atau tatanan hukum alam, dan bukan urusan manusia. 6 Tetapi dengan kelahiran modernitas, situasinya berubah. Dalam konteks post-tradisional dan pluralisme metafisika, referensi bersama pada otoritas agama tidak lagi memadai. Habermas yakin bahwa dalam masyarakat modern, otoritas dari yang Ilahi perlahan-lahan digantikan dengan otoritas suatu konsensus rasional dan bahwa legitimasi dan stabilitas dari komunitas politik tergantung pada menurut model deliberatif rasionalitas konsensus yang dicapai dalam debat demokratis itu sendiri. Secara faktual, demokrasi deliberatif mengacu pada prosedur pembentukan pendapat dan aspirasi secara demokratis itu sendiri. Model ini tidak memberitahu kita sebelumnya, bagaimana kita dapat menghasilkan alasan-alasan yang bagus, melainkan hanya mengatakan bahwa alasan-alasan yang bagus untuk sebuah keputusan politis haruslah diuji secara publik 4 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas,, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm 126 5 Jürgen Habermas, Between Facts and Norm: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, Cambridge, Mass: MIT Press, 1996, p. 110 6 Ibid, 145-6 melalui diskursus sedemikian rupa sehingga alasan-alasan tersebut diterima secara intersubjektif oleh semua warganegara dan tidak menutup diri dari kritik-kritik dan revisi- revisi. Maka bagi Habermas, untuk mendorong partisipasi publik dan memperluas atau memperkuat demokrasi, politik harus dipandang sebagai percakapan publik yang dijalankan dengan prosedur-prosedur yang sah dan rasional. Habermas berpendapat, “formasi kehendak demokratis mendapat kekuatan legitimitasnya dari pengandaian-pengandaian komunikatif yang memungkinkan argumen-argumen yang lebih baik dalam berbagai bentuk diskursus dan dari prosedur-prosedur yang menjamin proses-proses negosiasi yang adil. Habermas meringkas prosedur-prosedur adil ini dalam apa yang dia sebut “situasi pembicaraan yang ideal”; yaitu, situasi di mana dialog publik itu bebas dan tanpa paksaan. Menurut Habermas, demokrasi deliberatif mendekati situasi pembicaraan ideal bila ia memenuhi kondisi-kondisi formal berikut. 1 inklusif, artinya tidak ada pihak yang dieksklusi dari partisipasi dalam diskusi mengenai topik-topik yang relevan baginya, dan tidak ada informasi relevan yang dilarang. 2. Bebas dari paksaan, artinya setiap orang boleh terlibat dalam argumen secara bebas, tanpa didominasi atau atau merasa diintimidasi oleh para partisipan lain. 3. Terbuka dan simetris, artinya masing-masing partisipan dapat menginiasi, melanjutkan, dan mempertanyakan diskusi mengenai topik yang relevan, termasuk prosedur- prosedur deliberatif. Selain itu, para partisipan juga tanpa batas boleh mengusulkan scope atau agenda mengenai deliberasi-deliberasi publik: topik-topik selalu terbuka, ditentukan oleh mereka yang berpartisipasi dalam diskusi-diskusi dan tunduk pada revisi bila diperlukan. 7 Ringkasnya, demokrasi deliberatif mensyaratkan semua pihak untuk saling memperlakukan sesama sebagai partner setara equal, di mana setiap individu diberi ruang untuk bicara, saling mendengarkan, dan saling mempertanggung jawabkan posisi masing-masing. 8 Semakin diskursif proses itu, yakni semakin rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, semakin legitim hasilnya. Dengan kata lain, legitimitas tidak terletak pada hasil komunikasi politik, melainkan pada prosesnya. Deliberasi sebagai sumber final legitimasi politik semacam itulah yang memungkinkan penerimaan terhadap argumen-argumen religius dalam debat publik. Demokrasi deliberatif ini mengandaikan ruang publik sebagai forum berlangsungnya diskursus. 7 Dikutip dalam Ilan Kapoor, Deliberaive Democratic or Agonictic Mouffe? The Relevance of the Habermas- Mouffe Debate for Third World Politics, dalam jurnal Alternatives, Columbia University, Vol 27, No 4, 2002 , hlm 461-2. 8 Aletta J. Norval, Democratic decisions and the Question of Universality: Rethinking recent approaches, Simon Crtchley and Oliver Marchart editor, dalam Laclau: A Critical Reader, Abingdon, Oxon: Rotledge, 2004, p 142 2. 2. Konsep Ruang Publik