Forest Degradation Management Strategic in Gunung Halimun Salak National Park

STRATEGI PENGENDALIAN DEGRADASI HUTAN
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

RULLY DHORA CAROLYN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengendalian
Degradasi Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013
Rully Dhora Carolyn
NIM A156110294

RINGKASAN
RULLY DHORA CAROLYN. Strategi Pengendalian Degradasi Hutan di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO
BASKORO dan LILIK BUDI PRASETYO.
Degradasi hutan dapat didefinisikan sebagai perubahan yang berdampak
negatif pada struktur dan fungsi tegakan hutan, sehingga menurunkan
kapasitasnya untuk menyediakan produk dan atau jasa. Dalam prosesnya
degradasi hutan melibatkan penurunan kualitas dan struktur vertikal kanopi hutan
dalam jangka waktu yang lama. Untuk itu, guna mendeteksi dan mengendalikan
laju proses degradasi hutan, maka teknologi penginderaan jauh dengan
menggunakan data satelit dapat mempercepat kegiatan deteksi dan pemantauan
tersebut. Terjadinya degradasi hutan terjadi disebabkan oleh interaksi berbagai
faktor, sehingga diperlukan analisis terhadap faktor – faktor yang diduga
berpengaruh agar dapat disusun suatu arahan untuk pengendalian degradasi hutan.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis proses degradasi hutan pada kawasan TNGHS sebagai salah satu

dasar penyusunan strategi pengelolaan.Secara khusus tujuan penelitian ini adalah
1) mendeteksi tingkat degradasi kawasan TNGHS melalui indikator kerapatan
penutupan tajuk, 2) mengkaji faktor – faktor yang mempengaruhi (driving factors)
terjadinya degradasi pada kawasan TNGHS, dan 3) menyusun arahan strategi
untuk pengendalian degradasi hutan pada wilayah Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (TNGHS).
Deteksi terhadap tingkat degradasi dengan indikator kerapatan tajuk hutan
menggunakan metode forest canopy density (FCD) atau pengukuran persentase
kerapatan tajuk. Tutupan hutan dibagi ke dalam 4 kelas kerapatan yaitu non hutan
(kerapatan kanopi 0-10%), kerapatan rendah (kerapatan kanopi 11-30%),
kerapatan sedang (kerapatan kanopi 31-50%) dan kerapatan tinggi (kerapatan
kanopi 51-100%). Penurunan antar kelas kerapatan tersebut kemudian ditetapkan
dalam kelas degradasi ringan, degradasi berat dan deforestasi.
Berdasarkan hasil analisis spasial, didapati luas total penurunan kelas hutan
yang terjadi antara tahun 2003 – 2007 adalah sebesar 5005,71 Ha, yang terbagi ke
dalam degradasi ringan seluas 2764,80 Ha, deforestasi sebesar 1493,46 Ha, dan
degradasi berat sebesar 747,45 Ha. Selanjutnya dalam kurun waktu antara tahun
2003 – 2011, mengindikasikan luas deforestasi yang terdeteksi berkurang dari
sebelumnya, hal ini dapat terjadi antara lain disebabkan oleh tutupan awan yang
luas pada tahun tersebut, juga adanya kegiatan rehabilitasi dan kegiatan

penanaman yang dilakukan pada lahan yang sebelumnya terbuka, sehingga pada
saat pengolahan data kenampakan tutupan tajuk tersebut diinterpretasikan sebagai
tutupan tajuk hutan. Hasil analisis degradasi hutan pada periode 2003 – 2011
menunjukan telah terjadinya degradasi ringan sebesar 6197,13 Ha, degradasi berat
sebesar 1200,15 Ha, dan deforestasi sebesar 189,9 Ha.
Selanjutnya teknik regresi bertatar digunakan untuk mengkaji faktor – faktor
yang berpengaruh terhadap luas degradasi tersebut pada setiap unit pengamatan
dalam satuan Desa yang berada dalam wilayah penelitian. Berdasarkan teknik
tersebut didapati bahwa jarak desa dengan kecamatan merupakan faktor yang
paling berpengaruh terhadap luas degradasi. Selain itu faktor yang juga memberi

pengaruh adalah laju pertumbuhan penduduk, laju perubahan luas lahan non
pertanian, dan persentase perubahan jumlah keluarga pertanian.
Faktor jarak desa dengan Kecamatan dan laju perubahan luas lahan non
pertanian menunjukkan adanya pemanfaatan ruang wilayah, baik kawasan
TNGHS maupun wilayah administratif Kabupaten Bogor. Sedangkan faktor laju
pertumbuhan penduduk dan perubahan jumlah keluarga pertanian merupakan
proses mendasar yang memicu perubahan pola dan intensitas penggunaan ruang
tersebut, sehingga terjadi perubahan alokasi bagi setiap peruntukan untuk
mendukung pertumbuhan wilayah guna pemenuhan kebutuhan populasi.

Memperhatikan keberadaan kawasan TNGHS pada lintas wilayah Kabupaten dan
kepentingan para pihak yang bersifat lintas sektor, maka dalam pemanfaatan
ruang wilayah tersebut diperlukan adanya penetapan kebijakan terlebih dahulu,
mengingat peran pentingnya dalam pengendalian terhadap ke-empat faktor yang
berpengaruh terhadap degradasi.
Selanjutnya dalam penentuan arahan strategi pengendalian degradasi hutan
TNGHS, maka fokus pengendalian ditentukan oleh peran serta implementasi
regulasi dan kebijakan terhadap pengendalian faktor – faktor yang berpengaruh.
Teknik analisis yang digunakan pada tahap ini adalah teknik Analytic Hierarchy
Process (AHP). Hasil analisis ini menyimpulkan bahwa strategi yang paling
penting untuk dijadikan langkah awal pengendalian degradasi adalah strategi
penyelarasan RTRWK Bogor dengan Surat Penunjukan kawasan TNGHS. Untuk
itu dibutuhkan komitmen Kementerian Kehutanan dalam implementasi regulasi,
yang dapat diwujudkan melalui pengukuhan kawasan TNGHS. Langkah awal
yang penting agar strategi berjalan efektif maka sosialisasi kawasan merupakan
kondisi pemungkin yang harus dilakukan sehingga pengaruh yang diberikan oleh
driving factors dapat dikendalikan dan tidak memberikan ancaman yang berarti
terhadap kawasan TNGHS.
Kata kunci: degradasi, driving factors, kerapatan tajuk, strategi


SUMMARY
RULLY DHORA CAROLYN. Forest Degradation Management Strategic in
Gunung Halimun Salak National Park. Under supervision of DWI PUTRO TEJO
BASKORO and LILIK BUDI PRASETYO.
Forest degradation can be defined as changes within the forest which
negatively affect the structure or function of the stand or site, and thereby lower
the capacity to supply products and/or services. The process involving the canopy
quality decrease and forest structure in a long term. Therefore, to detect and
manage the rate of degradation, satellite remote sensing provides the capabilities
to monitor it time effectively. Forest degradation caused by interaction of many
factors, hence driving factors analysis required to arrange the strategy of forest
degradation management.
The aim of this study is to analyze the forest degradation within the
Halimun Salak National Park (TNGHS). The specific objectives of the study are
1) to detect the forest degradation level by canopy cover as the indicator, 2) to
assess the forest degradation driving factors, and 3) to arrange the forest
degradation management strategy in TNGHS.
The forest canopy density (FCD) method was used to detect the degradation
by percentage of canopy cover as the indicator. The canopy cover was devided in
4 cover density class, i.e non forest (0-10% canopy cover), low density forest (1130%), moderate density (31-50%) and high density forest (51-100%). Decreasing

among the forest density class hereinafter appointed as slightly degraded forest,
severely degraded forest, and deforestation.
The spatial analysis result showed that among 2003 – 2007 degraded forest
cover a total area of 5005,71 Ha, while slightly degraded forest occupied for
2764,80 Ha, deforestation 1493,46 Ha and severely degraded forest is 747,45 Ha.
Then, among 2003 – 2011, indicates that the area interpreted as deforestation had
becoming less than before. This can be caused by vast cloud coverage in 2011
imagery, also rehabilitation and restoration in open area, so in time of data
interpretation the visibility of vegetation cover identified as forest canopy cover.
During 2003 – 2011 period, the result showed that slightly degraded forest
occupied for 6197,13 Ha, severely degraded forest for 1200,15 Ha, and
deforestation for 189,9 Ha.
Stepwise regression was used to assess the driving factors affecting the total
area of forest degradation. The observation unit is village (Desa) within the study
site. Based on regression technique, the distance to the sub-district (Kecamatan) is
the most important variable for forest degradation total area. The other significant
factors are population growth, growth of build up area (non agriculture area), and
percentage of amount agriculture household.
Distance to the sub-district and growth of build up area show that there is
space utilization, both inside the park or regency administrative area. While,

population growth and amount of agriculture household are underlying process
which drive the change of space utilization pattern and intensity, so that lead to
allocation changing for every land use to support the region growth to fulfill the
population need. Considering that TNGHS presence as both cross-section and
interest stakeholders, then the regulation establishment is needed first in term the

space utilization, due to its important role to control or manage the forest
degradation driving factors.
In arrangement of the strategy, degradation management focus was
determined by the role and implementation of regulation and policy related to
controlling the driving factors. The Analytic Hierarchy Process (AHP) was used
due to this alternative strategy arrangement. The AHP result conclude that
synchronization between the Kabupaten Bogor regional planning and officially
status authorized of the Park was the most important strategy to become starting
point to manage the forest degradation in Gunung Halimun Salak National Park.
Therefore, the Ministry of Forestry commitment in regulation implementation is
important and can be realized by establishing the park authorization. Due to this,
socialization is the important enabling condition to implement the strategy
effectively, so that the influence of the driving factors can be controlled and not
provide significant threats to the park.

Keywords: canopy density, degradation, driving factors, strategy

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STRATEGI PENGENDALIAN DEGRADASI HUTAN
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

RULLY DHORA CAROLYN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji pada Ujian Tesis :

Dr Ir Baba Barus, MSc

Judul Tesis : Strategi Pengendalian Degradasi Hutan di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak
Nama
: Rully Dhora Carolyn
NIM
: A156110294

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc Agr
Ketua

Prof Dr Lilik Budi Prasetyo, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Santun R.P Sitorus

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

30 Maret 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala kasih karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 ini ialah degradasi hutan,
dengan judul Strategi Pengendalian Degradasi Hutan di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Dwi Putro Tejo
Baskoro, MSc.Agr. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc, selaku
Komisi Pembimbing atas kesabaran dan dukungan dalam proses penelitian dan
penulisan tesis ini. Penulis juga menyampaikan penghargaan dan terima kasih
kepada Bapak Dr Sigit Nugroho, atas bantuan data dan perangkat lunak FCD
berlisensinya. Di samping itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Agus Priambudi selaku Kepala Balai TNGHS beserta staf, khususnya pegawai
pada Resort Gunung Kencana, serta rekan – rekan PWL 2011 yang telah banyak
membantu selama pengumpulan dan pengolahan data. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Pusbindiklatren BAPPENAS yang telah memberikan beasiswa
sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada program studi Ilmu Perencanaan
Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB.
Akhirnya, kepada keluarga tercinta (suami, anak dan orang tua) yang telah
memberikan dukungan dan kasih sayangnya, penulisan menyampaikan rasa terima
kasih yang tak terhingga.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013
Rully Dhora Carolyn

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran

1
1
3
4
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia
Degradasi Hutan
Faktor -faktor yang Berpengaruh Terhadap Degradasi
Metode Pengukuran Kerapatan Tajuk
Analisis AHP

7
7
9
10
12
13

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Metode Pengumpulan Data
Prosedur Penelitian
Teknik Analisis Data
Analisis Tingkat Kerapatan Tajuk dan Degradasi
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Degradasi
Arahan Strategi untuk Pengendalian Degradasi

14
14
15
15
16
17
17
22
24

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
Letak Geografis dan Topografi Kawasan
Sejarah dan Status Kawasan
Iklim dan Curah Hujan
Geologi, Tanah dan Hidrologi
Keanekaragaman Hayati
Sosial Ekonomi Masyarakat

26
26
26
27
27
28
30

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Tingkat Degradasi Hutan di TNGHS
Analisis Kelas Kerapatan Tajuk
Analisis Tingkat Degradasi Hutan
Faktor – faktor yang Mempengaruhi Degradasi
Laju Pertumbuhan Penduduk
Laju Perubahan Luas Lahan Non Pertanian
Jumlah Keluarga Pertanian
Faktor Jarak Desa dengan Kecamatan
Faktor Perubahan Luas Ladang

31
31
31
37
43
44
46
48
49
51

Pengendalian Degradasi Berdasarkan Faktor yang Mempengaruhi
Arahan Strategi Pengendalian Degradasi
Faktor Kebijakan dan Regulasi
Kriteria dalam Implementasi Kebijakan dan Regulasi
Arahan Strategi

52
52
53
55
57

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

65
65
65

DAFTAR PUSTAKA

66

LAMPIRAN

70

RIWAYAT HIDUP

88

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Matriks metodologi
Deteksi perubahan kerapatan tajuk
Kelas degradasi
Jumlah plot pengamatan
Nilai perbandingan berpasangan
Ringkasan sejarah pengelolaan kawasan TNGHS
Uji akurasi klasifikasi kelas karapatan hutan
Penghitungan jumlah tunggak
Hasil regresi faktor terhadap luas degradasi
Laju pertumbuhan penduduk
Laju perubahan luas lahan non pertanian
Persentase perubahan jumlah keluarga pertanian
Jarak desa dengan Kecamatan
Upaya pengendalian dalam RPTNGHS

15
20
20
21
25
27
35
37
43
45
46
48
50
61

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Kerangka pemikiran penelitian
Perubahan luasan hutan tahun 1989 – 2004
Lokasi penelitian
Alur analisis kerapatan tajuk
Sebaran data setiap peubah
Peta kerapatan hutan tahun 2003
Peta kerapatan hutan tahun 2007
Peta kerapatan hutan tahun 2011
Peta penggunaan lahan tahun 2010
Persentase luas degradasi tahun 2003 - 2007
Persentase luas degradasi tahun 2003 - 2011
Peta degradasi tahun 2003 – 2007
Peta degradasi 2003 – 2011
Kenampakan kelas degradasi ringan
Kenampakan kelas degradasi berat
Perbandingan luas ladang dan degradasi hutan
Hasil analisis hierarki AHP
Pola ruang dan zonasi TNGHS pada wilayah penelitian
Degradasi pada setiap zona

6
9
14
18
23
32
33
34
36
38
38
39
40
41
42
51
53
59
62

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Kuisioner AHP
Matriks perbandingan hasil AHP
Matriks gabungan prioritas
Tabel hubungan perubahan luas ladang dengan luas degradasi hutan
Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Pola Ruang Kabupaten Bogor
Ringkasan tahapan metode regresi bertatar

71
78
81
82
84
85
86

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Nilai ekologi yang dimiliki oleh suatu kawasan konservasi menjadikan
kawasan tersebut salah satunya berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan yang terjadi di dalam dan wilayah sekitarnya (UU No 5/1990).
Kemampuan perlindungan terhadap sistem yang berlangsung dalam suatu
ekosistem untuk menyangga kehidupan tentunya sangat dipengaruhi oleh daya
dukung yang dimiliki serta besarnya kebutuhan akan sumberdaya yang diperlukan
oleh wilayah yang disangganya.
Seiring dengan meningkatnya aktifitas manusia yang memicu peningkatan
kebutuhan akan sumber daya alam, tentunya terjadi pula peningkatan tekanan
yang mempengaruhi struktur dan fungsi ekosistem suatu kawasan. Faktor sosial
dan ekonomi sering dijadikan alasan bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam
yang tidak selaras dengan lingkungan dan peraturan. Hal ini kemudian memicu
terjadinya deforestasi dan degradasi hutan dan kawasan hutan, termasuk Taman
Nasional.
Keberadaan Taman Nasional sangat bersifat keruangan, dalam artian
kondisi suatu kawasan memiliki keterkaitan atau hubungan dengan wilayah lain
dalam skala yang lebih luas. Oleh karena itu, keberhasilan pengelolaannya
ditentukan oleh interaksi yang bersifat mendukung keberlanjutan (sustainability)
manfaat nilai ekologi kawasan tersebut bagi kehidupan masyarakat. Untuk itu,
dalam rencana pengelolaan diperlukan data dan informasi mengenai nilai ekologi
kawasan serta potensi tekanan dan ancaman terhadap nilai ekologi tersebut. Hal
ini akan menjadi dasar kegiatan pengelolaan keanekaragaman hayati berbasis
ekosistem dan bioregional, yang nantinya secara formal akan dituangkan ke dalam
suatu sistem dan standar pengelolaan kawasan konservasi, dalam hal ini Taman
Nasional.
Salah satu Taman Nasional yang memiliki nilai strategis dalam hal
wilayah penyangga dan posisi adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak
(TNGHS). Taman Nasional ini merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan hujan
dataran rendah, hutan sub-montana dan hutan montana di Pulau Jawa. Hampir
seluruh hutan di TNGHS berada di dataran pegunungan dengan beberapa sungai
dan air terjun, yang memiliki peranan yang sangat penting sebagai sistem
penyangga kehidupan, serta menyimpan keanekaragaman hayati yang cukup
tinggi dan merupakan perlindungan fungsi hidrologis di Kabupaten Bogor, Lebak
dan Sukabumi. Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan sebagai
Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992
dengan luas ± 40.000 Ha dan dirubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun
Salak (TNGHS) berdasarkan Surat Keputusan Menteri No. 175/Kpts-II/2003
tepatnya pada tanggal 10 Juni 2003 dengan luas 113.357 ha.
Berdasarkan sejarah perluasan kawasan TNGHS tersebut, tentunya
berimplikasi pada dinamika kondisi sosial, ekonomi, hukum maupun politik pada
wilayah sekitar kawasan. Dinamika tersebut akan berpengaruh, baik langsung

2
maupun tidak, terhadap nilai ekologi atau daya dukung kawasan TNGHS.
Memperhatikan hal tersebut tentunya diperlukan kajian mengenai pengaruh
dinamika wilayah tersebut terhadap kondisi ekologi kawasan, guna menjamin
terpeliharanya daya dukung kawasan TNGHS dalam menyangga kebutuhan
wilayah.
Salah satu permasalahan yang muncul dalam pengelolaan kawasan adalah
isu degradasi sumber daya alam dan lingkungan (RPTN TNGHS). Degradasi
sumber daya alam dan lingkungan kawasan TNGHS dapat dilihat dari penurunan
penutupan hutan (deforestasi) di TNGHS. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Prasetyo dan Setiawan (2006), dalam kurun waktu 1989 – 2004 diperkirakan
telah terjadi deforestasi sebesar 25 % atau berkurangnya luas hutan alam sebesar
22 ribu hektar dengan laju kerusakan rata-rata 1.3 % per tahun. Deforestasi
tersebut diikuti dengan kenaikan secara konsisten semak belukar, ladang dan
perumahan yang sebagian besar terjadi di wilayah perluasan.
Pertumbuhan sosial dan ekonomi memicu aktivitas manusia yang
mendorong perubahan penggunaan dan penutupan lahan. Studi literatur terhadap
berbagai hasil penelitian yang dilakukan pada berbagai lokasi, menunjukkan
adanya pengaruh faktor-faktor sosial ekonomi terhadap perubahan penggunaan
dan penutupan lahan. Berdasarkan verifikasi yang dilakukan dalam penelitian oleh
Yatap (2008) disimpulkan bahwa faktor sosial ekonomi yang berpengaruh
dominan terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di TNGHS adalah
kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, luas kepemilikan lahan,
perluasan pemukiman, dan perluasan lahan pertanian.
Perubahan penggunaan dan penutupan lahan ini telah menjadi salah satu
faktor utama yang menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan (Panta et al,
2008). Menurut Food and Agriculture Organization's angka deforestasi di
Indonesia dari tahun 2000-2005 mencapai 1,9 juta Ha pertahun (FAO, 2005).
Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa
deforestasi dan degradasi hutan menyumbang 40% dari emisi gas rumah kaca
yang merupakan penyebab pemanasan global (IPCC, 2007).
Deforestasi merupakan suatu kondisi perubahan penutupan hutan menjadi
non hutan, sedangkan degradasi hutan dapat didefinisikan sebagai perubahan yang
berdampak negatif pada struktur dan fungsi tegakan atau kawasan (situs),
sehingga menurunkan kapasitas hutan untuk menyediakan produk dan atau jasa
(FAO, 2001). Degradasi hutan merupakan suatu proses yang melibatkan
penurunan kualitas kanopi hutan dan struktur vertikal kanopi hutan dalam jangka
waktu yang lama (Panta et al. 2008).
Untuk itu, guna mendeteksi dan mengendalikan laju dan kecepatan proses
degradasi hutan, maka monitoring, reporting and verification (MRV) diperlukan
untuk menghasilkan data dan informasi yang dijadikan dasar dalam pelaksanaan
pengelolaan kawasan hutan. Teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan
data satelit dapat mempercepat kegiatan deteksi dan pemantauan tersebut dengan
hasil yang akurat, mencakup areal yang luas dan dapat dilakukan secara kontinyu.
Joshi et al. (2006) telah menggunakan data penginderaan jauh untuk menilai
kerapatan kanopi hutan sebagai indikator degradasi hutan. Penggunaan persentase
kerapatan kanopi dengan menggunakan citra satelit Landsat untuk mendeteksi
degradasi hutan menghasilkan akurasi yang tinggi (Panta et al. 2008).

3
Perkembangan pemrosesan citra digital dengan metode change detection
berkembang dengan berbagai klasifikasi penutup lahan, satu diantaranya adalah
klasifikasi forest canopy density (FCD). Perkembangan dalam klasifikasi FCD
atau tutupan hutan ini menggunakan kerapatan kanopi sebagai indikator
perubahan vegetasi. Menurut Roy (2003) dalam Nugroho (2012), biophysical
vegetation indices merupakan metode yang dapat mengakomodasi variasi
permasalahan gangguan atmosfer citra ataupun pengaruh dari latar belakang dari
vegetasi. Metode ini dapat mengurangi efek bias dan menghasilkan ekstraksi
kenampakan yang lebih baik pada obyek yang spesifik di bumi. Perkembangan
metode ini diaplikasikan dengan menggunakan Forest Canopy Density Mapper
untuk deteksi perubahan penutup hutan.
Nugroho (2012) melakukan evaluasi tingkat akurasi klasifikasi kerapatan
hutan menggunakan metode FCD, maximum likelihood, fuzzy dan belief-dempster
shafer, untuk mendeteksi degradasi hutan lahan kering di TNGHS, secara khusus
pada wilayah Gunung Surandil. Salah satu hasil penelitiannya menyebutkan
bahwa metode yang terbaik untuk mendeteksi degradasi hutan menggunakan 3
kelas degradasi hutan dengan indikator kerapatan tegakan adalah metode FCD
dengan overall accuracy 68% dan akurasi kappa 54%.
Analisis spasial terhadap tingkat kerapatan hutan dan deteksi degradasi ini
akan mendukung ketersediaan data dan informasi yang dibutuhkan bagi
pengelolaan kawasan untuk menjamin kelestarian fungsi ekologi sebagai tujuan
utama pengelolaan Taman Nasional. Salah satu pembelajaran diperoleh dari
penelitian yang dilakukan oleh Kartawinata dalam Wiratno (2012), yang
menyatakan bahwa diperlukan waktu tidak kurang dari 170 tahun untuk
mengembalikan kerusakan hutan tropis dataran rendah di Besitang (Taman
Nasional Gunung Leuser). Hal ini tentu berimplikasi pada prinsip pengelolaan
yang harus menerapkan prinsip kehati-hatian, yang harus diperhatikan dan
diperhitungkan dalam strategi pengelolaan kawasan, sehingga tujuan pengelolaan
Taman Nasional dapat tercapai.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penelitian
ini bermaksud mengangkat permasalahan sebagai berikut :
1.

2.

Kawasan TNGHS memiliki nilai ekologi yang penting bagi wilayah
sekitarnya. Perubahan terhadap kualitas dan kapasitas nilai ekologi kawasan,
akan berdampak bagi kemampuan TNGHS memberikan manfaat ekologi bagi
wilayah sekitar. Dampak negatif tentunya akan dihasilkan jika terjadi
penurunan atau degradasi kapasitas kawasan. Untuk itu perlu dianalisis
seberapa besar perubahan atau degradasi tersebut telah terjadi.
Proses degradasi terjadi disebabkan oleh interaksi berbagai faktor, baik biofisik kawasan, sosial ekonomi, faktor budaya maupun hukum (regulasi). Oleh
karena itu perlu dilakukan analisis dan identifikasi terhadap faktor – faktor
tersebut untuk melihat besarnya pengaruh yang ditimbulkan pada tingkat
degradasi.

4
3.

Tekanan yang ditimbulkan oleh faktor - faktor yang mempengaruhi degradasi
hutan harus dapat dikendalikan, baik oleh pengelola kawasan TNGHS
maupun oleh Pemerintah Kabupaten. Untuk itu perlu analisis terhadap
berbagai alternatif untuk mengatasi faktor – faktor tersebut guna menyusun
arahan strategi sebagai masukan dalam penyusunan rencana pengelolaan
kawasan.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi proses degradasi
hutan pada kawasan TNGHS sebagai salah satu dasar penyusunan strategi
pengelolaan. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.

Mendeteksi tingkat degradasi kawasan TNGHS melalui indikator kerapatan
penutupan tajuk.
Mengkaji dan menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi (driving
factors) terjadinya degradasi pada kawasan TNGHS.
Menyusun arahan strategi untuk pengendalian degradasi hutan pada wilayah
TNGHS.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam mewujudkan
pengelolaan kawasan TNGHS berbasis ekosistem melalui :
1.
2.

Tersedianya data dan informasi mengenai proses degradasi kawasan sebagai
bahan pemantauan dan evaluasi (monev);
Memberikan masukan bagi pengelola dan Pemerintah daerah dalam
menyusun strategi pengelolaan wilayah TNGHS dan sekitarnya dengan
pendekatan bioregion yang lebih komprehensif.

Kerangka Pemikiran

Proses degradasi ini merupakan proses yang panjang untuk kemudian
menjadi deforestasi. Namun degradasi hutan dapat terjadi secara cepat atau
berjalan lambat dan bertahap. Analisis dan deteksi terhadap tingkat degradasi
yang terjadi penting bagi prosedur Monitoring, Reporting and Verification (MRV)
pengelolaan suatu kawasan konservasi. Kegiatan ini dapat dilakukan antara lain
melalui observasi di lapangan maupun menggunakan teknologi penginderaan jauh.
Beberapa teknik estimasi degradasi melalui penginderaan jauh telah berkembang,

5
salah satunya dengan menilai kerapatan tajuk/kanopi sebagai indikator degradasi
hutan. Tajuk atau kanopi pohon merupakan indikator yang mudah teridentifikasi
pada citra satelit. Variasi tajuk juga dapat merepresentasikan struktur suatu
tegakan hutan. Metode ini dikembangkan oleh Rikimaru, yaitu memetakan
kerapatan tajuk (kanopi) hutan dengan menggunakan 4 (empat) ukuran indeks
yaitu vegetasi, bare soil, shadow dan surface temperature yang diolah dari citra
satelit Landsat TM (Rikimaru, et al., 2002; Joshi, et al., 2006).
Memperhatikan kawasan hutan memiliki sifat keruangan, maka proses
yang terjadi di dalamnya tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor kewilayahan,
termasuk proses degradasi hutan. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
terjadinya
proses
degradasi
dipengaruhi
oleh
tingkat
intensitas
penebangan/pemanenan kayu, pengumpulan bahan bakar, budidaya, dan
kebakaran hutan (FAO, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Mon, et al. (2011)
menyatakan bahwa faktor ketinggian, jarak dengan desa terdekat, dan intensitas
penebangan merupakan faktor – faktor yang memberikan pengaruh kuat pada
terjadinya proses degradasi hutan. Geist dan Lambin (2002) berpendapat bahwa
faktor demografi, ekonomi, teknologi, kebijakan dan institusi, serta budaya
merupakan hal – hal mendasar yang memberi pengaruh terhadap terjadinya
deforestasi dan degradasi. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa perluasan lahan
pertanian merupakan penyebab utama terjadinya perubahan penggunaan lahan
yang berhubungan langsung dengan kasus deforestasi.
Nandy et al. (2011) yang meneliti degradasi di wilayah tangkapan air
sungai Ton, India, menyebutkan bahwa penggunaan ganda lahan pertanian
(agriculture, horticulture, agroforestry and grazing) oleh masyarakat local telah
memberi pengaruh pada proses degradasi. Dinyatakan dalam penelitian tersebut,
bahwa tanpa adanya perlindungan yang cukup, degradasi lahan tersebut telah
menimbukan erosi tanah yang parah, penurunan keanekaragaman hayati, serta
hilangnya penghidupan masyarakat lokal tersebut.
Perubahan penggunaan lahan oleh aktifitas manusia telah menjadi faktor
utama yang mempercepat laju deforestasi dan degradasi hutan. Deforestasi dan
degradasi juga diasosiasikan dengan dampak kegiatan manusia terhadap bentang
alam, kebijakan zonasi (zoning), dan tekanan urbanisasi (Tole, 1998; Koop dan
Tole, 2001; McMorrow dan Talip, 2001; Uusivuori et al., 2002; Wickham et al.,
2000; dalam Panta et al., 2008).
Memperhatikan peran penting ekologi kawasan TNGHS dan dinamika
sosial ekonomi, budaya, serta regulasi pada wilayah sekitarnya, maka identifikasi
dan analisis terhadap faktor – faktor yang diduga mempengaruhi (driving factors)
proses degradasi diperlukan guna penyusunan strategi yang tepat dan beradaptasi
pada perubahan – perubahan berbagai faktor tersebut, sehingga mampu
mengendalikan atau menekan laju degradasi.
Selanjutnya proses penentuan faktor – faktor yang berpengaruh dalam
penelitian ini dilakukan berdasarkan verifikasi terhadap berbagai hasil penelitian
terkait yang telah dilakukan. Salah satunya dengan merujuk pada Yatap (2008)
yang dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kepadatan penduduk, laju
pertumbuhan penduduk, luas kepemilikan lahan, perluasan pemukiman, dan
perluasan lahan pertanian merupakan peubah sosial ekonomi yang berpengaruh
dominan terhadap penurunan luas hutan alam dan perubahan persentase luas hutan
alam di TNGHS adalah.

6
Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan menghasilkan informasi
mengenai kondisi degradasi hutan, khususnya di kawasan TNGHS saat ini, serta
faktor yang memberi pengaruh dominan, sehingga dihasilkan suatu arahan bagi
pengelola dalam menyusun strategi pengendalian laju degradasi hutan di TNGHS.
Bagan kerangka pemikiran dari penelitian ini secara sederhana disajikan pada
Gambar 1.

Kawasan Taman
Nasional Gunung
Halimun Salak

Wilayah sekitar (wilayah
penelitian Kabupaten
Bogor)
interaksi

Degradasi
hutan

Deteksi penurunan
kerapatan tajuk dengan
teknologi inderaja

Analisis besarnya
pengaruh faktor – faktor
terhadap degradasi hutan

Analisis spasial
tingkat degradasi
hutan

Analisis skenario
pengendalian
(AHP)

Arahan strategi
pengendalian degradasi
hutan kawasan TNGHS
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

7

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia

Dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, taman nasional didefinisikan sebagai kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi
yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Menurut IUCN Protected Area
Category (1994) taman nasional termasuk kategori II yakni kawasan konservasi
yang dikelola dengan tujuan utama untuk perlindungan ekosistem dan rekreasi.
Berdasarkan kategori tersebut tujuan pengelolaan taman nasional adalah :
1.

2.

3.

4.

Melindungi wilayah alami dan pemandangan indah yang memiliki nilai tinggi
secara nasional atau internasional untuk tujuan spiritual, ilmu pengetahuan,
pendidikan, rekreasi, dan pariwisata,
Melestarikan sealamiah mungkin perwakilan dari wilayah fisiografi,
komunitas biotik, sumberdaya genetik dan spesies, untuk memelihara
keseimbangan ekologi, dan keanekaragaman hayati.,
Mengelola penggunaan oleh pengunjung untuk kepentingan inspiratif,
pendidikan, budaya, dan rekreasi dengan tetap mempertahankan areal tersebut
pada kondisi alamiah atau mendekati alamiah,
Menghilangkan dan mencegah eksploitasi atau okupansi yang bertentangan
dengan tujuan penunjukannya,

Selanjutnya, IUCN melalui Commission for Ecosystem Management
(IUCN-CEM) mendefinisikan pengelolaan ekosistem sebagai suatu proses yang
mengintegrasikan ekologi, sosial ekonomi, dan faktor kelembagaan dalam suatu
analisis dan aksi yang komprehensif dengan tujuan untuk melestarikan dan
meningkatkan kualitas ekosistem agar dapat menjembatani antara kebutuhan saat
ini dan kebutuhan di masa depan. Dasar dari pengelolaan ekosistem adalah
kelestarian, efisiensi, pemanfaatan yang adil dari sumberdaya alam. Noss dan
Cooperrider (1994) menyebutkan bahwa pengelolaan ekosistem adalah sistem
pengelolaan area untuk melindungi populasi secara lestari untuk semua spesies
asli, melestarikan alam dari regim gangguan dalam skala regional, mengadopsi
rencana pengelolaan jangka panjang, dan pemberian ijin pemanfaatan oleh
manusia pada level yang tidak mengakibatkan degradasi secara ekologi dalam
jangka panjang.
Secara umum tujuan pengelolaan taman nasional adalah untuk menjaga
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta untuk memberikan kesempatan
kepada publik untuk melakukan aktivitas rekreasi, wisata, penelitian, pendidikan,
dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat spiritual dan inspirasional. Dalam
konteks pengelolaan pada level unit pengelolaan, pengelola taman nasional harus
berani membuat target-target yang spesifik yang harus dicapai dalam kurun waktu

8
tertentu. Target-target yang harus dicapai mencakup hal-hal yang terkait dengan
upaya perlindungan keanekaragaman hayati, pengembangan wisata alam, serta
tujuan lain yang sesuai fungsi taman nasional. Dengan tujuan dan target
pengelolaan yang jelas, pengelola diharuskan menemukan cara dengan
mengerahkan semua sumberdaya, baik yang sudah tersedia maupun yang masih
bersifat potensi, untuk mencapai target tersebut. Upaya pengelola taman nasional
untuk mencapai tujuan dan target-target tersebut perlu dituangkan ke dalam
management plan (Hartono, 2008).
Kawasan TNGHS secara khusus ditunjuk dengan tujuan mengukuhkan
TNGHS sebagai pusat keanekaragaman hayati yang berfungsi optimal sebagai
sistem penyangga kehidupan dan penopang sistem sosial-ekonomi-budaya pada
tingkat komunitas dan wilayah secara lestari. Dalam pelaksanaan pengelolaannya
ditemukan beberapa masalah atau kendala pokok (TNGHS, 2007), antara lain :
1. Kemantapan kawasan yang rendah
Kemantapan kawasan terkait dengan aspek legal kemantapan kawasan
TNGHS dan pengakuan masyarakat secara aktual di lapangan. Rendahnya
kemantapan kawasan TNGHS disebabkan oleh belum adanya penetapan
batas kawasan TNGHS akibat belum selesainya proses tata batas kawasan,
ketidakjelasan pembagian zona dan lemahnya pengakuan masyarakat di
lapangan terhadap eksistensi kawasan TNGHS.
2. Pengembangan kampung adat ke dalam kawasan TNGHS
3. Koordinasi Para Pihak Lemah
Lemahnya koordinasi parapihak terjadi karena belum ada wadah dan
mekanisme koordinasi yang disepakati antara TNGHS dan para pihak.
Akibat dari lemahnya koordinasi parapihak, penyelesaian isu-isu penting
yang berkembang di dalam kawasan TNGHS seperti pemukiman,
pertumbuhan penduduk, degradasi sumberdaya alam serta rendahnya
ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar TNGHS tidak tertangani dengan
baik.
4. Data dan informasi belum lengkap sebagai dasar pengambilan keputusan
pengelolaan
5. Rendahnya ekonomi masyarakat sekitar TNGHS
6. Degradasi sumber daya alam dan lingkungan
Deforestasi menyebabkan kerusakan habitat dan ekosistem secara
signifikan di kawasan TNGHS. Secara kumulatif kerusakan habitat dan
ekosistem disebabkan oleh berbagai kegiatan ilegal dan bencana alam.
Kegiatan ilegal mencakup: penambangan emas tanpa ijin, penebangan liar,
perburuan satwa liar dan eksploitasi flora yang bernilai ekonomi tinggi,
serta perambahan – khususnya perluasan pemanfaatan lahan untuk
pemukiman, lahan pertanian, dan kebutuhan lainnya.
7. Kurangnya pemahaman para pihak terhadap fungsi TNGHS
Lemahnya pemahaman para pihak terhadap fungsi TNGHS
disebabkan oleh kurang efektifnya strategi komunikasi yang dilakukan
TNGHS dan kurang tersosialisasikannya kerangka hukum mengenai fungsi
kawasan hutan, khususnya mengenai kawasan pelestarian alam.
8. Lemahnya kebijakan pemanfaatan Sumber Daya Alam
9. Tumpang tindih regulasi
10. Meningkatnya jumlah penduduk dalam kawasan TNGHS

9
11. Mitigasi bencana kurang
12. Promosi TNGHS yang lemah
Lemahnya promosi TNGHS menyebabkan kurangnya apresiasi dan
penghargaan publik, terutama dukungan untuk meningkatkan investasi
usaha pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan dalam
pengelolaan TNGHS.
Khusus mengenai deforestasi dan degradasi yang terjadi di TNGHS,
Prasetyo dan Setiawan (2006) menyatakan luas hutan alam di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak secara gradual menurun, sedangkan hutan
tanaman relatif stabil dengan fluktuasi naik dan turun tidak signifikan
(Gambar 2). Selama periode 1998-2001, hutan alam berkurang 25 %, atau
berkurang sebesar 22 ribu hektar. Penurunan ini diikuti dengan kenaikan
semak belukar, ladang dan lahan terbangun. Hal ini mengindikasikan
terjadinya proses konversi hutan terutama untuk tujuan pemanenan kayu,
pertanian dan pembangunan perumahan.

90000
80000

LUAS (Ha)

70000
60000
50000
40000
30000

Hutan

Hutan tanaman

20000
10000
0
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1997 1998 2001 2003 2004

TAHUN

Gambar 2. Perubahan luasan hutan tahun 1989 – 2004 (Prasetyo; Setiawan, 2006)

Degradasi Hutan

Degradasi terjadi disebabkan oleh berbagai gangguan yang berbeda-beda
baik dari segi jumlah/derajat, tekanan, kualitas, sumber atau frekuensinya (FAO
2009). Proses perubahan tersebut dapat berlangung secara alami (disebabkan oleh
kebakaran, badai, banjir, hama, penyakit, polusi, perubahan suhu), atau oleh
aktivitas manusia (pemanenan kayu secara liar, pengumpulan bahan bakar,
perburuan, dll).
Degradasi hutan biasanya diasosiasikan dengan pengurangan penutupan
vegetasi, terutama pohon. Proses degradasi dapat berjalan sangat cepat atau dalam
gradasi lambat yang memakan waktu sangat lama. FAO (2001) mendefinisikan
degradasi hutan sebagai perubahan yang terjadi yang memberikan efek negatif
pada struktur atau fungsi suatu tegakan atau situs, dan karenanya mengurangi
kapasitas dalam menyediakan produk dan atau jasa. Kapasitas tersebut meliputi
pemeliharaan struktur dan fungsi ekosistem (ITTO, 2005). Hutan yang

10
terdegradasi hanya memberikan persediaan produk dan jasa yang terbatas, dan
memiliki keanekaragaman hayati yang rendah.
Menurut World Bank (1990) dalam FAO (2009) bahwa hilangnya tutupan
hutan secara permanen ataupun sementara merupakan deforestasi. Secara
sederhana, deforestasi adalah istilah untuk menyebutkan perubahan tutupan suatu
wilayah dari berhutan menjadi tidak berhutan, artinya dari suatu wilayah yang
sebelumnya berpenutupan tajuk berupa hutan (vegetasi pohon dengan kerapatan
tertentu) menjadi bukan hutan (bukan vegetasi pohon atau bahkan tidak
bervegetasi). Sedangkan degradasi hutan, atau penurunan kualitas hutan,
dimaksudkan sebagai perubahan kondisi atau mutu hutan dari hutan alam atau
hutan primer menjadi hutan bekas ditebang; atau dari hutan lebat menjadi hutan
jarang/rawang.
Dalam salah satu siaran pers, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia
menyampaikan pandangannya terhadap isu deforestasi dan degradasi hutan.
Deforestasi diartikan dalam pengertian bahwa areal hutan diubah sama sekali
untuk penggunaan lain, seperti untuk pemukiman, perkebunan, dll. Sedangkan
yang terjadi di Indonesia selama ini adalah degradasi hutan, yaitu perubahan luas
tutupan hutan tropis yang lebih banyak untuk tujuan ekonomi, non ekologis. Hal
ini dimaksudkan bahwa penggunaan dan pemanfaatan lahan (land use) tidak
berubah, tetapi sebagai kawasan hutan, yang berubah adalah kuantitas dan kualitas
penutupan hutannya. Diharapkan dengan berbagai upaya rehabilitasi lahan dan
hutan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah selama ini, tutupan hutan akan
kembali seperti semula. Untuk itu, Indonesia mengusulkan terminologi yang
dipakai adalah avoiding degradation bukan avoiding deforestation.
Kementerian Kehutanan RI juga memperkirakan setiap tahunnya laju
degradasi hutan mencapai 1-1,5 juta ha, sehingga memerlukan upaya
pengendalian yang dituangkan dalam program – program pencegahan dan
penanganan baik deforestasi maupun degradasi hutan. Program-program tersebut
dalam implementasinya memerlukan dukungan antara lain berupa perlunya
kebijakan lintas sektor, penyiapan peraturan perundangan terkait karbon
(pembatasan pemanfaatan lahan gambut, hutan alam primer, dsb), mekanisme
penyelesaian konflik kawasan termasuk di dalamnya adanya keterlanjuran
kegiatan non kehutanan di dalam kawasan hutan, reformasi birokrasi yang antara
lain percepatan pembentukan KPH, serta pemutakhiran data dan informasi.

Faktor – Faktor yang Berpengaruh Terhadap Degradasi
Menurut Burkhard et al. (2012), diantara berbagai efek yang ditimbulkan
oleh aktifitas manusia terhadap lingkungan adalah penggunaan dan perubahan
penutupan lahan. Definisi mengenai penggunaan lahan (land use) dan penutupan
lahan (land cover) pada hakekatnya berbeda walaupun sama-sama
menggambarkan keadaan fisik permukaan bumi. Lillesand dan Kiefer (1993)
dalam Yatap (2008) mendefinisikan penggunaan lahan berhubungan dengan
kegiatan manusia pada suatu bidang lahan, sedangkan penutupan lahan lebih
merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa

11
mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Selanjutnya
menurut Muiz (2009) perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses
perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain yang dapat
bersifat permanen maupun sementara dan merupakan konsekuensi logis dari
adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial.
Khusus pada kawasan TNGHS, beberapa penelitian terhadap trend
perubahan penggunaan dan penutupan lahan yang terjadi dari tahun ke tahun telah
dilakukan di antaranya oleh Cahyadi (2003), dimana didapatkan bahwa dalam
kurun waktu 11 tahun (tahun 1990-2001), telah terjadi degradasi hutan pada
koridor Gunung Halimun dan Gunung Salak seluas 347523 hektar. Lebih lanjut,
dari hasil studi yang dilakukan Prasetyo dan Setiawan (2006), yang
memperkirakan bahwa pada periode tahun 1989-2004, telah terjadi deforestasi
kawasan TNGHS seluas 22 ribu hektar (± 25%). Deforestasi tersebut diikuti
dengan kenaikan secara konsisten semak belukar, ladang, dan lahan terbangun.
Proses kehilangan hutan pada kawasan TNGHS terbanyak terjadi pada periode
tahun 2001-2003, seluas 4367.79 hektar (Prasetyo dan Setiawan 2006).
Geist dan Lambin (2002) melakukan analisis terhadap 152 studi kasus
untuk menunjukkan bahwa pada skala regional, deforestasi hutan tropis
dipengaruhi oleh interaksi berbagai faktor. Menurut penelitian ini, faktor – faktor
mendasar yang paling berpengaruh dan mendorong terjadinya deforestasi dan
degradasi adalah faktor ekonomi, institusi (kelembagaan), kebijakan nasional, dan
pengaruh tidak langsung yang menyebabkan perluasan lahan pertanian, ekstraksi
hasil hutan kayu, dan pengembangan infrastuktur.
Pelaksanaan observasi terhadap deforestasi hutan jauh lebih mudah jika
dibandingkan dengan observasi terhadap proses degradasi. Mengingat dalam
analisis degradasi, pengukuran penurunan kapasitas memperhitungkan penutupan
tajuk (kanopi) yang merupakan indikator utama untuk mengukur deforestasi dan
degradasi hutan. Mon, et al. (2011) mengaplikasikan pengukuran penutupan tajuk
sebagai indikator deforestasi (perubahan dari hutan menjadi non hutan) dan
degradasi (perubahan dari hutan kerapatan tinggi menjadi kerapatan rendah) pada
wilayah hutan produksi di Myanmar. Dalam penelitian tersebut mereka
menemukan bahwa jarak dengan kota terdekat dan elevasi (ketinggian) adalah hal
yang berpengaruh terhadap degradasi dan deforestasi. Hal ini berhubungan
dengan jangkauan pasar dan aksesibilitas. Secara khusus untuk degradasi, juga
dipengaruhi oleh intensitas penebangan dan jarak dengan desa terdekat. Bahkan
studi yang dilakukan oleh Utoyo (2000) menunjukan bahwa dengan menganggap
pertumbuhan ekonomi sebagai karakteristik pertumbuhan wilayah, disimpulkan
ada keterkaitan yang nyata antara pertumbuhan wilayah dengan dinamika
penggunaan lahan.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas, 2011) melalui
hasil analisa tulang ikan dalam konsultasi publik yang diselenggarakan oleh di
tujuh wilayah regional Indonesia, menemukan beberapa faktor penyebab utama
deforestasi dan degradasi hutan yaitu perencanaan tata ruang yang tidak efektif
dan tenurial yang lemah, manajemen hutan yang tidak efektif, tata kelola dan
penegakan hukum yang lemah.

12
Metode Pengukuran Kerapatan Tajuk

Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan penginderaan jauh merupakan
teknologi yang sangat membantu dalam mendeteksi laju perubahan penutupan dan
pemanfaatan lahan lahan yang begitu cepat. Dibanding dengan metode teresterial
atau pengukuran lapangan maka tidak ada jalan lain selain menggunakan
teknologi ini dalam mengantisipasi cepatnya perubahan pemanfaatan lahan,
begitupula data dan aplikasinya sangat luas terhadap objek kebumian sehingga
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh kepentingan yang berbeda dapat
digunakan. Salah satu yang sangat penting adalah melihat kondisi sekarang dan
kondisi yang akan datang (yaitu berkelanjutan) dalam lahan pertanian dan
aplikasinya dalam pengelolaan.(Hellkamp et al., 2000 dalam Baharudin, 2009).
Teknologi penginderaan jauh sangat bermanfaat dalam menjawab
permasalahan deteksi degradasi hutan. Kemampuan teknologi ini dapat
menjangkau wilayah yang luas, resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi
radiometrik dan resolusi temporal yang baik serta efisien dalam penggunaannya.
Salah satu produk teknologi ini adalah citra Landsat yang memiliki kemampuan
untuk deteksi indikator degradasi hutan diantaranya volume, luas bidang dasar,
kerapatan tegakan, LAI, kerapatan kanopi dan crown indicator.
Dalam pemanfaatan dan guna mendapatkan informasi dari citra satelit,
dilakukan teknik pemberian makna terhadap suatu bentang alam yang terekam
dalam citra melalui pengelompokan secara otomatis semua pixel pada citra ke
dalam kategori tema atau kelas – kelas penutupan lahan (land cover). Berbagai
metode klasifikasi kemudian berkembang, dan diantaranya adalah metode
klasifikasi forest canopy density (FCD).
Metode klasifikasi ini dikembangkan oleh ITTO-JOFCA pada awal tahun
2003 (Rikimaru, 2002). Metode ini dapat mengakomodasi variasi permasalahan
gangguan atmosfer citra ataupun pengaruh latar belakang vegetasi. Metode ini dapat
mengurangi efek dari bias dan menghasilkan ekstraksi kenampakan yang lebih baik
pada obyek yang spesifik dibumi. Roy (2003) menyebutkan bahwa perbedaan yang
sulit dipisahkan pada tutupan hutan dapat ditingkatkan dengan penggunaan kekuatan
respon band inframerah. Panjang gelombang inframerah lebih sensitif pada kerapatan
hutan dan kelas tumbuh-tumbuhan physiognomic. Biophysical vegetation indices
yang dalam perkembangannya disebut FCD indeks, melibatkan indeks advanced
vegetation index (AVI). Sedangkan untuk lebih detil dalam mengkategorikan status
vegetasi digunakan bare soil index (BI). Dasar logika pendekatan ini berdasar pada
hubungan timbal balik yang tinggi dari status vegetasi dan lahan terbuka. Oleh karena
itu, kombinasi BI dan AVI digunakan dalam analisis ini. Untuk menyadap informasi
pada shadow index (SI) digunakan melalui ekstraksi low radiance dari visible light.
Pendekatan ini mengisolasikan kenampakan vegetasi menggunakan index AVI dan
index BI. Kenampakan corak vegetasi distratifikasikan melalui (SI) atas dasar variasi
tekstur pada bayangan kanopi pada tegakan hutan
Pada model klasifikasi FCD, data penginderaan jauh yang digunakan
adalah citra Landsat. Model klasifikasi ini tidak memerlukan banyak informasi
atau data dari lapangan, pengecekan hanya dilakukan untuk mengukur akurasi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Azizi et al. (2008) pada wilayah
hutan bagian utara Iran, didapati bahwa koefisien korelasi antara model FCD
dengan pengecekan lapangan sebesar 0,84. Hal ini menunjukkan korelasi dan

13
akurasi yang lebih tinggi dibandingkan metode penginderaan jauh konvensional.
Model FCD sangat berguna bagi monitoring dan pengelolaan kawasan dengan
hanya memerlukan survei lapangan yang sedikit.

Analisis AHP

Dalam pelaksanaan pengelolaan kawasan konservasi muncul berbagai
kompleksitas permasalahan dan kendala yang dihadapkan pada berbagai alternatif
solusi penyelesaian. Salah satu tugas pengambil keputusan adalah menyusun skala
prioritas dari berbagai pilihan yang ada. Prioritas terpaksa dibuat karena adanya
keterbatasan sumberdaya. Ketika pilihan kompleks dengan konsekuensi yang
bersifat substantif, pengambil keputusan memerlukan model pengembalian
keputusan yang dapat membantu mereka membuat pilihan secara komprehensif,
logis, dan terstruktur. Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan alat bantu
yang sering digunakan sebagai salah satu metode untuk membantu menyusun
suatu prioritas dari berbagai pilihan dengan menggunakan beberapa kriteria
(Susila dan Munadi, 2007)
Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah sebuah hirarki fungsional
de