N N
o o
. .
1 1
M M
a a
r r
e e
t t
2 2
1 1
7 7
6
Melihat jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di atas, tentu saja ditafsirkan sebagaimana dalam penjelasan pasal tersebut
dimaksud, bahwa kekuatan hukum daripada Perda otomatis bergantung dan berada di bawah peraturan perundang-undangan di atasnya. Jimly
Asshiddiqiemenyatakan bahwa Perda sejatinya tak pernah dianggap berbeda dengan produk UU yang dibuat oleh pusat, yang membedakan di
antara keduanya bukanlah materi muatan ataupun isi, akan tetapi ruang linkup keberlakuan dari masing-masing produk perundang-undangan
tersebut, istilah Perda sendiri dapat dimaknai UU lokal locale statuelocale wet yaitu Undang-Undang yang bersifat lokal. Jimly Asshiddiqie, 2010 : 63
Substansi materi daripada Perda tidak diperkenankan untuk bertentangan dengan materi dari peraturan perundag-undangan di atasnya.
2.2. Mekanisme Executive Review Pembatalan Perda
Seperti layaknya peraturan perundang-undangan yang lain, pembentukan Perda tidak lepas dari pengawasan dan pengendalian. Hal ini
berkenaan dengan kontrol terhadap norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, melalui apa yang biasa disebut dengan
mekanisme kontrol norma hukum legal norm control mechanism. Ada tiga bentuk pengawasan atau pengendalian norma hukum dalam peraturan
perundang-undangan, Jimly Asshiddiqie, 2010 : 196 yaitu: 1. Kontrol yuridis, yaitu pengawasanpengendalian peraturan perundang-
undangan melalui uji materil judicial review. Dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia untuk pengujian Undang-Undang
dengan Undang-Undang Dasar menjadi kewenangan Mahkamah
N N
o o
. .
1 1
M M
a a
r r
e e
t t
2 2
1 1
7 7
7
Konstitusi. Sedangkan untuk pengujian peraturan perundang-undangan dibawah
Undang-Undang terhadap
Undang-Undang menjadi
kewenangan Mahkamah Agung. 2. Kontrol administratif, yaitu pengawasan atau pengendalian peraturan
perundang-undangan oleh eksekutif atau lembaga administrasi yang menjalankan fungsi
“bestuur” dibidang eksekutif. Dalam hal ini, misalnya kontrol
administratif terhadap
Undang-Undang berujung
pada pengesahan oleh Presiden. Dalam hal Presiden terdapat hal yang luar
biasa yang tidak memungkinkan Undang-Undang tersebut diberlakukan, maka Presiden berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang- Undang yang “membatalkan” keberlakukan Undang-
Undang yang sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat tersebut. 3. Kontrol politik, yaitu pengawasan atau pengendalian peraturan
perundang-undangan oleh lembaga politik misalnya parlemen. Dalam hal ini perubahan Undang-Undang melalui jalur hak inisiatif sebagai
amandemen dari Undang-Undang yang telah disahkan oleh Presiden. Sebagai instrumen hukum negara, Peraturan Daerah yang
bermasalah tersebut dapat dilakukan pengujian. Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi dapat diuji lewat dua model kewenangan yaitu dengan executive review pengujian peraturan perundang-undangan yang
dilakukan oleh pemerintah pusat dan judicial review pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga peradilan.
Pengujian Peraturan Daerah oleh Pemerintah executive review, terdapat permasalahan yang patut untuk dikaji. Dalam pengujian Peraturan
N N
o o
. .
1 1
M M
a a
r r
e e
t t
2 2
1 1
7 7
8
Daerah, Pemerintah Pusat mempunyai dua kriteria untuk melakukan pengujian, yaitu bertentangan dengan kepentingan umum dan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan Pasal 250ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
pembatalan peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dilakukan oleh Pemerintah Pusat yang cakupannya meliputi:
a. terganggunya kerukunan antar warga masyarakat; b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c. terganggunya ketentraman dan ketertiban umum; d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, danatau; e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-
golongan, dan gender. Pemerintah Pusat diberi kewenangan untuk membatalkan peraturan
daerah, hal ini tercermin dalam ketentuan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 251 ayat 1 sampai dengan ayat 8, yang
menyatakan sebagai berikut: 1 Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
lebih tinggi,
kepentingan umum, danatau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri. 2 Perda
KabupatenKota dan
peraturan bupatiwali
kota yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, danatau kesusilaan dibatalkan oleh
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
3 Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan Perda KabupatenKota danatau peraturan bupatiwali kota yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, danatau kesusilaan sebagaimana
dimaksud pada ayat 2, Menteri membatalkan Perda KabupatenKota danatau peraturan bupatiwali kota.
4 Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan keputusan Menteri dan
pembatalan Perda KabupatenKota dan peraturan bupatiwali kota
N N
o o
. .
1 1
M M
a a
r r
e e
t t
2 2
1 1
7 7
9
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
5 Paling lama 7 tujuh Hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat 4, kepala daerah harus menghentikan
pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.
6 Paling lama 7 tujuh Hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat 4, kepala daerah harus menghentikan
pelaksanaan Perkada dan selanjutnya kepala daerah mencabut Perkada dimaksud.
7 Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi dan gubernur tidak
dapat menerima
keputusan\pembatalan peraturan
gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dengan alasan yang dapat
dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14 empat
belas Hari sejak keputusan pembatalan Perda atau peraturan gubernur diterima.
8 Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupatenkota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda KabupatenKota dan
bupatiwali kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan bupatiwali kota sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dengan alasan
yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, bupatiwali kota dapat mengajukan keberatan kepada Menteri paling
lambat 14 empat belas Hari sejak keputusan pembatalan Perda KabupatenKota atau peraturan bupatiwali kota diterima.
Pasal ini dengan tegas menjabarkan kewenangan Menteri Dalam Negeri yang berkaitan dengan pembatalan perda provinsi serta perda
kabupatenkota apabila Gubernur yang memiliki kewenangan untuk membatalkan perda tersebut tidak melakukan pembatalan. Mendagri juga
memiliki kewenangan
untuk menerima
keberatan penyelenggara
KabupatenKota terhadap pembatalan Perda yang dilakukan oleh Gubernur, kewenangan Mendagri ini sangatlah lebih besar jika dibandingkan saat
pengaturanya pada saat berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Mengingat sebelumnya pembatalan Perda dalam kaitannya pengawasan secara represif yang sebelumnya ada di dalam UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 145 merupakan
N N
o o
. .
1 1
M M
a a
r r
e e
t t
2 2
1 1
7 7
10
kewenangan Presiden, kini dengan dirubahnya UU Pemerintahan Daerah menjadi UU Nomor 23 Tahun 2014tentang Pemerintahan Daerah
kewenangan pembatalan Perda semua beralih menjadi kewenangan Mendagri sehingga pembatalan perda bukan lagi menjadi kewenangan
Presiden. Proses Raperda hingga pada tahap Perda mekanisme pembatalannya semua dilakukan oleh mendagri terhadap seluruh perda
tanpa terkecuali sebagaimana yang diatur pada Pasal 251 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut.
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memiliki berbagai perbedaan dan persamaan berkaitan materi yang diatur khususnya
mengenai Pembatalan Perda. Persamaan dari pengaturan pembatalan perda ini dapat dilihat pada kewenangan yang dimiliki oleh Mendagri yakni
Mendagri memiliki kewenangan pembatalan terhadap Ranperda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta rencana tata ruang yang diatur pula
dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 185 ayat 4 jo Pasal 189.
Perbedaan yang signifikan terjadi ketika melihat kewenangan Mendagri yakni adanya penambahan pembatalan yang masih bentuknya
Raperda pada Ranperda RPJPD dan RPJMD serta mengenai kewenangan yang dimiliki Presiden dalam Pembatalan Perda. Sebelumnya dalam UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Presiden membatalkan seluruh Perda tanpa terkecuali. Pada UU No. 23 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan tersebut dilimpahkan kepada Mendagri sehingga Mendagrilah yang memiliki kewenangan untuk
membatalkan Perda. Presiden hanya memiliki kewenangan terhadap
N N
o o
. .
1 1
M M
a a
r r
e e
t t
2 2
1 1
7 7
11
keberatan yang diajukan pemerintah daerah terhadap pembatalan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Selain itu Mendagri juga berwenangan
untuk membatalkan perda apabila Gubernur tidak melakukan pembatalan terhadap Perda yang diajukan oleh pemerintah KabupatenKota serta
menerima keberatan yang diajukan Pemerintah KabupatenKota terhadap pembatalan perda yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
Selain hal tersebut diatas, landasan hukum Mendagri dalam melakukan
pembatalan perda
yaitu adanya
Instruksi Mendagri
Nomor:582476SJ tentang PencabutanPerubahan Peraturan Kepala Daerah, Peraturan Kepala Daerah Dan Keputusan Yang Menghambat
Birokrasi Dan Perizinan Investasi yang diterbitkan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Instruksi ini ditetapkan pada 16 Februari 2016. Dalam
Instruksi Mendagri itu gubernur dan bupatiwalikota di seluruh Indonesia perlu segera mengambil langkah-langkah untuk mencabutmengubah
perturan daerah, peraturan kepala daerah, peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah yang menghambat birokrai dan perizinan
investasi. Gubernur melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri melalui
Sekretaris Jenderal Cq Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri atas peraturan daerah, peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah
provinsi yang menghambat birokrasi dan perizinan investasi dengan mencantukan Judul, Bab, Bagian, Paragraf, Pasal dan Ayat untuk
dibatalkan. BupatiWalikota melaporkan kepada Gubernur melalui Sekretaris
Daerah Cq Kepala Biro Hukum Provinsi atas peraturan daerah, peraturan
N N
o o
. .
1 1
M M
a a
r r
e e
t t
2 2
1 1
7 7
12
kepala daerah dan keputusan kepala daerah kabupatenkota yang menghambat birokrasi dan perizinan investasi dengan mencantumkan Judul,
Bab, Bagian, Paragraf, Pasal dan Ayat untuk dibatalkan. Bupati
dan Walikota
melaporkan perkembangan
pencabutanperubahan peraturan daerah, peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah kabupatenkota yang menghambat birokrasi dan
perizinan investasi kepada Gubernur setiap bulan pada Minggu Pertama. Gubernur melaporkan peraturan daerah, peraturan kepala daerah dan
keputusan kepala daerah kabupatenkota yang telah dicabutdiubah dan peraturan daerah, peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah
provinsi yang menghambat birokrasi dan perizinan investasi kepada Menteri Dalam Negeri setiap bulan pada Minggu Kedua.
Dalam hal penyusunan pencabutanperubahan peraturan daerah, peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah, Pemerintah Daerah
Provinsi dapat berkonsultasi dengan Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah KabupatenKota dapat berkonsultasi dengan
Sekretaris Daerah melalui Biro Hukum Provinsi. Standar pengujian perda oleh pemerintah berbeda dengan standar
pengujian perda yang dilakukan oleh Mahakamah Agung. Bila Mahkamah Agung menguji suatu perda atas dasar apakah satu perda bertentangan
atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi dan apakah prosedur pembuatan perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
Pemerintah melakukan pengujian perda dilakukan dengan standar yang lebih luas. Dikatakan lebih luas karena pemerintah menguji perda tidak
hanya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi dari perda, tetapi
N N
o o
. .
1 1
M M
a a
r r
e e
t t
2 2
1 1
7 7
13
juga didasarkan pada standar kepentingan umum. Kepentingan umum adalah aspek yang bersifat sosiologis daripada yuridis. Sehingga pengujian
terhadap kepentingan umum tergantung pada aspek keberlakuan berbagai macam jenis hukum dan norma sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam
penjelasan Pasal 250 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemeritah Daerah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
melanggar ketertiban umum adaalah terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya akses terhadap pelayanan publik, terganggunya
ketentraman dan ketertiban umum, terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dandiskriminasi terhadap suku,
agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender. Namun hal itu adalah bahasa peraturan yang belum tentu sesuai
dengan kondisi masyarakat. Bertentangan dengan kepentingan umum menjadi standar yang longgar yang ditafsirkan berdasarkan kekuasaan
penafsir. Maka tidak jarang tafsir kepentingan umum lebih mewakili tafsir penguasa. Orientasi kekuasaanlah terkadang yang mewakili kepentingan
umum. Hal ini dapat dilihat dimana ketika tidak terjadi gejolak atau penolakan terhadap berlakunya suatu perda di masyarakat juga dapat
dibatalkan oleh pemerintah atas dasar bertentangan dengan kepentingan umum. Begitu pula sebaliknya, apabila suatu perda dianggap menimbulkan
masalah oleh masyarakat dapat saja tidak dibatalkan oleh pemerintah bila
perda tersebut sesuai dengan tafsir kekuasaan pemerintah.
N N
o o
. .
1 1
M M
a a
r r
e e
t t
2 2
1 1
7 7
14
2.3. Pembatalan Perda oleh Meteri Dalam Negeri