Respon Perilaku Abnormal Kukang Sumatera Terhadap Pengayaan Obyek Pakan di Yayasan International Animal Rescue (IAR) Bogor

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul ―Respon Perilaku
Abnormal Kukang Sumatera Terhadap Pengayaan Obyek Pakan di Yayasan
International Animal Rescue (IAR) Bogor‖ adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Rio Pria Adhihutama
NIM E34090117

ABSTRAK
RIO PRIA ADHIHUTAMA. Respon Perilaku Abnormal Kukang Sumatera
Terhadap Pengayaan Obyek Pakan di Yayasan International Animal Rescue (IAR)
Bogor. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASYUD dan RICHARD MOORE
Kukang sumatera adalah satwa endemik asal pulau Sumatera. Populasi
kukang semakin menurun, sehingga dibutuhkan usaha yang lebih untuk

melindungi dan menyelamatkannya. Penelitian ini dilaksanakan di Yayasan
International Animal Rescue dengan menggunakan 3 individu kukang sumatera,
yaitu Bima, Jupe, Lucia sebagai objek pengamatannya. Pengamatan terhadap
perilaku harian dilakukan dengan menggunakan metode scan sampling dan
metode one zero sampling. Terdapat 3 tahapan pada penelitian ini, yaitu tahapan
pra perlakuan, tahapan pemberian perlakuan, dan tahapan pasca perlakuan.
Perilaku abnormal stereotip hanya teridentifikasi pada satu ekor kukang, yaitu
Bima. Pengayaan bambu ayun serangga adalah bentuk pengayaan yang paling
disukai oleh kukang dan memberikan pengaruh signifikan dalam menekan
perilaku grooming, sementara itu pengayaan lemper buah merupakan bentuk
pengayaan yang memberikan pengaruh paling signifikan dalam menekan perilaku
abnormal stereotip.
Kata kunci: abnormal, International Animal Rescue, kukang sumatera, rehabilitasi

ABSTRACT
RIO PRIA ADHIHUTAMA. The abnormal behaviour response of sumatera slow
loris concerning feeding-object enrichments in International Animal Rescue
Foundation Bogor. Supervised by BURHANNUDDIN MASYUD and RICHARD
MOORE.
Sumatra slow loris is one of endemic animal in Sumatera island. The

population is declining, and more effort is needed to protect and save them.
Research was carried out in International Animal Rescue for 3 individuals of
Sumatra slow lorises, which is Bima, Jupe, and Lucia as the research object.
Observe the daily activity use scan sampling method and record with one-zero
sampling. There are 3 phases on this research, which is pre conditioning,
conditioning phase, and post conditioning. Abnormal behaviour only detected on
one loris, which is Bima. Bambu Ayun Serangga enrichment is the most favorite
enrichment for the lorises and also it gave most effects to suppress grooming
behaviour, while Lemper Buah enrichment is an enrichment that gave most effects
to suppress abnormal stereotype behaviour.
Keywords : abnormal, International Animal Rescue, rehabilitation, sumatera slow
loris.

RESPON PERILAKU ABNORMAL KUKANG SUMATERA TERHADAP
PENGAYAAN OBYEK PAKAN DI YAYASAN INTERNATIONAL ANIMAL
RESCUE (IAR) BOGOR

RIO PRIA ADHIHUTAMA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Respon Perilaku Abnormal Kukang Sumatera Terhadap Pengayaan
Obyek Pakan di Yayasan International Animal Rescue (IAR)
Bogor
Nama
: Rio Pria Adhihutama
NIM
: E34090117

Disetujui oleh


Dr Ir Burhanuddin Masyud, MS
Pembimbing I

Richard Moore, PhD
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah
mengenai perilaku kukang sumatera, dengan judul Respon Perilaku Abnormal
Kukang Sumatera Terhadap Pengayaan Obyek Pakan di Yayasan IAR Bogor .

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Burhanuddin Masyud,
MS dan Richard Moore, PhD selaku komisi pembimbing atas masukan, arahan,
dan dukungan moril serta materilnya yang sangat membantu penulis. Seluruh staff
Yayasan International Animal Rescue (IAR) Bogor beserta para dokter hewannya
(Mbak Wendy, Mas Purbo, dan Mbak Dini), serta para keeper di kandang
rehabilitasi (A Mastur, A Acong, A Igud, A Hendi, dan A Pudin) yang telah
banyak membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orangtua dan
keluarga besar saya atas kasih sayang dan dukungannya. Terima kasih banyak
juga penulis sampaikan untuk Novianti Sri Wahyuni yang telah bersedia
membantu penulis sejak pengumpulan data hingga penyusunan skripsi, serta
ungkapan terima kasih untuk keluarga besar DKSHE, HIMAKOVA, dan Anggrek
Hitam (KSHE ‗46) yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima
kasih atas segala pelajaran, doa, cerita, kebersamaan, persahabatan dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014
Rio Pria Adhihutama


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE PENELITIAN

2

Lokasi dan Waktu Penelitian

2

Alat dan Bahan

2


Jenis Data

3

Teknik Pengumpulan Data

4

Bentuk Pengayaan Obyek Pakan

5

Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Aktivitas Harian Kukang Sumatera saat Tahap Pra Perlakuan dan Tahap
Pasca Perlakuan


7
7

Aktivitas Harian Kukang Sumatera saat Tahap Perlakuan

10

Perbandingan Perilaku Kukang Sebelum, Sesudah, dan Selama Tahapan
Perlakuan

11

Perilaku Abnormal Stereotip pada Kukang Sumatera Rehabilitasi

13

SIMPULAN DAN SARAN

15


Simpulan

15

Saran

15

DAFTAR PUSTAKA

15

LAMPIRAN

18

DAFTAR TABEL
1 Rancangan tahapan pengamatan di kandang rehabilitasi kukang
sumatera


5

2 Frekuensi rata-rata aktivitas perilaku kukang saat pra perlakuan dan pasca
perlakuan
7
3 Frekuensi rata-rata aktivitas perilaku kukang saat tahap perlakuan

10

DAFTAR GAMBAR
1 Kukang sumatera di kandang rehabilitasi Yayasan IAR Bogor

3

2 Kandang rehabilitasi kukang di Yayasan IAR Bogor

4

3 Pengayaan bambu ayun serangga

5

4 Pengayaan madu rahasia

6

5 Pengayaan lemper buah

6

6 Histogram perbandingan nilai frekuensi tahap perlakuan

12

7 Histogram perbandingan nilai frekuensi grooming dan abnormal

13

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil perhitungan analisis Chi-Square

18

2 Kandang rehabilitasi kukang sumatera obyek penelitian

18

3 Kukang sumatera (Nycticebus coucang)

19

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemanfaatan satwa liar baik sebagai sumber obat-obatan atau sebagai hewan
peliharaan telah berlangsung sejak lama. Hal ini menyebabkan pemanfaatan
terhadap satwa liar yang memiliki potensi-potensi tersebut marak diburu secara
liar dan kemudian diperdagangkan secara komersil. Sejak 10 tahun terakhir
perburuan terhadap kukang untuk diperdagangkan di pasar bebas baik dijual
sebagai satwa peliharaan maupun sebagai bahan obat-obatan tradisional telah
dilakukan besar-besaran, padahal kemampuan berkembangbiaknya di alam
sangatlah lambat sehingga tidak mampu mengimbangi jumlahnya yang telah
dipanen di alam. Akibatnya, satwa di alam semakin terancam populasinya
(Streicher 2004).
Upaya konservasi terhadap kukang masih sedikit dilakukan di Indonesia.
Salah satu pusat penyelamatan dan rehabilitasi di Indonesia yang telah melakukan
upaya konservasi adalah Yayasan International Animal Rescue (IAR) Bogor.
Tujuan utama didirikannya IAR Bogor adalah untuk mengelola kembali satwa
hasil sitaan atau penyerahan sukarela dari masyarakat untuk kemudian dirawat,
direhabilitasi dan dilepasliarkan ke alam. Salah satu syarat pelepasliaran adalah
minimnya perilaku abnormal yang ditunjukkan oleh kukang rehabilitasi (IUCN
2014). Perilaku abnormal yang tinggi biasanya terdeteksi pada kukang yang
berasal dari hasil sitaan pasar gelap. Hal tersebut dapat terjadi oleh berbagai
macam pemicu, salah satunya berdasarkan pengalaman dan perlakuan yang tidak
memperhatikan prinsip kesejahteraan satwa yang dilakukan terhadapnya selama
berada di pasar gelap sehingga muncul perilaku abnormal stereotip. Perilaku
abnormal stereotip adalah perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang dalam
waktu yang lama dan tidak memiliki manfaat bahkan cenderung menyakiti diri
sendiri (Mason 2006). Diantara perilaku abnormal yang bersifat stereotip
ditunjukkan oleh perilaku yang bervariasi pada setiap satwa, namun perilaku
stereotip yang sering terdeteksi pada primata diantaranya adalah dengan
membenturkan kepalanya ke kandang (head bobbing) dan jalan bolak balik di
pada satu bagian kandang dengan tempo yang cepat.
Salah satu upaya yang mudah di-implementasikan dan paling umum
dilakukan oleh pengelola untuk menekan perilaku stereotip tersebut adalah
melalui pemberian pengayaan. Pengayaan (enrichment) bertujuan untuk
menambah kekayaan kandang sehingga memungkinkan terjadinya kegiatan
interaktif dan merangsang satwa untuk menunjukkan perilaku alaminya sehingga
satwa terhindar dari perilaku stress dan menyimpang (Purba 2008). Menurut
Ecclestone (2009) ada beberapa jenis pengayaan untuk satwa, yaitu (1) pengayaan
struktural yang bertujuan untuk memperbaiki susunan lingkungan kandang, (2)
pengayaan obyek yang dapat digunakan untuk mengurangi kebosanan dan
menghindari perkembangan perilaku menyimpang serta merangsang untuk
melakukan perilaku alami, kemudian (3) pengayaan sosial yaitu mensosialisasikan
satwa dengan sejenisnya, dan (4) pengayaan pakan yaitu pemberian pakan yang
bervariasi dan dengan cara yang berbeda.

2
Salah satu bentuk pengayaan yang dapat diberikan di dalam kandang
rehabilitasi kukang adalah bentuk pengayaan obyek-pakan. Bentuk pengayaan ini
merupakan kombinasi antara pengayaan obyek dan pakan yang bertujuan untuk
mengurangi kebosanan, menghindari perilaku menyimpang namun juga dapat
membuat kukang dapat mengekspresikan perilaku makan alami seperti di
habitatnya. Pengayaan obyek-pakan ini terbuat dari bahan alami yang bentuknya
berbeda-beda agar terlihat menarik dan interaktif bagi kukang. Berdasarkan hal
tersebut, penelitian tentang respon perilaku abnormal kukang sumatera terhadap
pengayaan obyek pakan di Yayasan IAR Bogor penting dilakukan.

Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi respon perilaku kukang sumatera rehabilitasi terhadap
pemberian pengayaan obyek-pakan untuk mengurangi perilaku abnormal
stereotip pada kukang sumatera (Nycticebus coucang) di Yayasan IAR Bogor.
2. Mengidentifikasi bentuk pengayaan obyek-pakan yang paling disukai oleh
kukang serta pengaruhnya terhadap perubahan perilaku kukang sumatera
(Nycticebus coucang) di Yayasan IAR Bogor.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah dapat melatih kukang
sumatera dalam kandang rehabilitasi untuk dapat merangsang kukang untuk
berperilaku seperti di habitat aslinya, sekaligus dapat menjadi bahan evaluasi
terhadap teknik pemberian pengayaan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi
perilaku abnormal kukang dalam kandang rehabilitasi. Selain itu, penelitian ini
juga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan pengembangan pengelolaan
rehabilitasi kukang selanjutnya bagi pihak-pihak yang bergerak di bidang
penyelamatan satwa.

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2014.
Penelitian dilaksanakan di Yayasan IAR Indonesia, Desa Sinarwangi Kecamatan
Ciapus Kabupaten Bogor.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis, tally sheet
pengamatan, kamera, kalkulator, aplikasi SPSS 17 dan aplikasi Microsoft Office
2007. Bahan yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah tiga ekor kukang
sumatera (Nycticebus coucang) di kandang rehabilitasi (Gambar 1). Pemilihan

3
individu tersebut sebagai objek penelitian didasarkan oleh keterangan dari penjaga
kandang (keeper) yang menyebutkan bahwa tiga individu di salah satu kandang
rehabilitasi tersebut memiliki tingkat abnormal yang paling tinggi dibandingkan
dengan individu kukang di kandang lainnya.

Gambar 1 Kukang sumatera di kandang rehabilitasi Yayasan IAR Bogor
Jenis Data
Data yang diambil dalam penelitian ini meliputi aktivitas harian yang
ditunjukkan oleh kukang sumatera pada setiap tahap penelitian. Data aktivitas
harian tersebut meliputi:
a. Perilaku makan (feeding)
Perilaku makan pada satwa meliputi bahan makanan yang dikonsumsi, baik
cair maupun padat dan polanya berhubungan dengan anatomi dan fisiologi.
b. Perilaku bergerak
Perilaku bergerak ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu moving dan foraging.
Hal ini sesuai dengan Nekaris (2001) yang menyatakan bahwa lokomosi
kukang di alam termasuk pada pergerakan secara langsung (moving) dan
mencari makan (foraging).
Aktivitas berjalan ialah aktivitas berpindah tempat di dalam kandang dengan
menggunakan keempat kaki dan dilakukan sejak bangun tidur, hanya untuk
sekedar berjalan di sekitar kandang dan mengamati kondisi kandang (moving)
atau berjalan menuju tempat makan dan minum.
Aktivitas mencari makan (foraging), yaitu aktivitas berjalan di sekitar kandang
untuk mencari pakan yang disajikan atau mungkin terjatuh ke lantai dan
berburu serangga-serangga seperti laron atau jangkrik yang berada di area
kandang.
c. Perilaku merawat diri (grooming)
Aktivitas merawat diri ialah perilaku membersihkan bulu dari debu dan kotoran,
atau untuk membersihkan sisa makanan di tangan dengan menggunakan
lidahnya.
d. Perilaku abnormal
Perilaku menyimpang atau abnormal didefinisikan sebagai perilaku yang
muncul di luar perilaku normal, dan pola tetap kelainan. Kriteria perilaku
abnormal stereotip yang dicatat saat pengamatan adalah ketika kukang
sumatera yang menjadi subjek penelitian melakukan perilaku sama yang
dilakukan secara berulang-ulang dalam waktu yang lama dan memiliki
kecenderungan untuk menyakiti diri mereka sendiri, diantaranya adalah

4
membenturkan kepalanya (head bobing), menggigit diri sendiri (self bitting)
atau berjalan bolak-balik dengan tempo cepat di salah satu bagian kandang.
e. Jumlah kunjungan ke jenis pengayaan yang disajikan
Jumlah kunjungan yang dilakukan pada setiap bentuk pengayaan obyek-pakan
ditandai dengan seberapa banyaknya kukang melakukan aktivitas makan di
bentuk pengayaan yang dipilihnya tersebut saat tahap perlakuan 1, 2, dan 3.
Kategori data ini dimasukkan ke dalam kategori perilaku makan, sehingga
dapat diasumsikan bahwa bentuk pengayaan yang memiliki nilai perilaku
makan paling tinggi didalamnya merupakan bentuk pengayaan obyek-pakan
yang paling disukai oleh kukang.
Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan metode scan sampling.
Pengamatan dilakukan di kandang rehabilitasi kukang Yayasan IAR Bogor
berukuran 3x3 m2 (Gambar 2) setiap selang waktu 5 menit antara pengamatan dan
istirahat. Waktu pengamatan dilakukan pada pukul 18.00-24.00, saat waktu aktif
kukang. Pencatatan aktivitas harian dilakukan dengan metode one-zero sampling,
yaitu dengan memberi tanda 1 pada aktivitas yang terjadi dan 0 pada aktivitas
yang tidak terjadi (Altmann 1974).

Gambar 2 Kandang rehabilitasi kukang di Yayasan IAR Bogor
Pencatatan aktivitas dan perilaku kukang sumatera dilakukan dengan
mengklasifikasikannya ke dalam tiga jenis tahapan pengamatan, yaitu aktivitas
harian saat sebelum diberi pengayaan (tahap pra perlakuan), aktivitas harian saat
diberi pengayaan (tahap perlakuan) dan aktivitas harian setelah diberi pengayaan
(tahap pasca perlakuan).
1) Tahap pra perlakuan dilakukan melalui pengamatan perilaku kukang tanpa
diberi pengayaan jenis tempat pakan selama enam hari, dengan ketentuan dua
hari masa persiapan dan empat hari selanjutnya digunakan untuk pengambilan
data. Tahap awal bertujuan untuk mengetahui perilaku kukang sebelum
diperkenalkan kepada pengayaan obyek-pakan yang berbeda.
2) Tahap perlakuan dilakukan dengan pemberian tiga perlakuan berbeda dan
diberikan tiga pengayaan obyek-pakan yang berbeda pula (Tabel 1). Tahap
perlakuan dilakukan selama enam hari, dengan ketentuan dua hari sebagai
masa persiapan dan empat hari selanjutnya dilakukan pengambilan data.
3) Tahap pasca perlakuan dilakukan saat semua pengayaan obyek-pakan dicabut
dan pemberian pakan dilakukan seperti biasa. Tahap ini dilakukan selama

5
enam hari, dengan ketentuan dua hari sebagai masa persiapan dan empat hari
selanjutnya dilakukan pengambilan data. Tahap ini bertujuan untuk melihat
perilaku kukang setelah diberikan pengayaan obyek-pakan selama tiga minggu
sebelumnya.
Tabel 1 Rancangan tahapan pengamatan di kandang rehabilitasi kukang sumatera
Perlakuan

Hari ke1-6


A
B
C
D
E

7-12


13-18


19-24



25-30



Keterangan : A: belum ada pengayaan obyek-pakan (tahap pra perlakuan)
B:
C:
D:
E:

pemberian pengayaan bambu ayun seragga (tahap perlakuan)
pemberian pengayaan madu rahasia (tahap perlakuan)
pemberian pengayaan lemper buah (tahap perlakuan)
tidak ada pengayaan obyek-pakan (tahap pasca perlakuan)

Bentuk Pengayaan Obyek-Pakan
Bentuk pengayaan obyek-pakan yang diberikan kepada kukang sumatera
rehabilitasi di Yayasan IAR Bogor pada penelitian ini terdiri dari 3 bentuk. Setiap
bentuk bertujuan untuk mengurangi kebosanan kukang di dalam kandang dan
dapat merangsang kukang untuk berperilaku seperti aslinya di alam. Bentukbentuk pengayaan tersebut adalah:
1. Bambu ayun serangga (perlakuan 1)
Pengayaan bambu ayun serangga merupakan bentuk pengayaan obyek-pakan
yang memanfaatkan batang bambu sepanjang 60 cm dan lebar 4 cm yang
dilubangi kemudian diisi dengan jangkrik. Bentuk pengayaan ini membuat
kukang harus membenamkan tangannya ke dalam rongga lubang pada bambu
tersebut dan mengaduk isinya sampai serangga di dalamnya dapat tertangkap
dan dimakan (Gambar 3).

Gambar 3 Pengayaan Bambu ayun serangga
2. Madu rahasia (perlakuan 2)
Pengayaan madu rahasia merupakan bentuk pengayaan obyek-pakan yang
memanfaatkan daun patat (Phrynium capitatum) sepanjang 45 cm yang diolesi
dengan madu sebagai bahan utamanya, kemudian di gulung sedemikian rupa

6
sehingga madu tersebut tersembunyi dalam gulungan daun tersebut. Bentuk
pengayaan ini membuat kukang harus menggerogoti daunnya untuk dapat
mengkonsumsi madu di dalamnya (Gambar 4).

Gambar 4 Pengayaan Madu rahasia
3. Lemper buah (perlakuan 3)
Pengayaan lemper buah merupakan pengayaan yang memanfaatkan buah –
buahan seperti pisang, sawo dan jambu yang diiris menjadi beberapa
bagian kecil sebagai bahan utamanya yang disembunyikan didalam
sejumput alang-alang (Imperata cylindrica) yang diikat kedua sisi atas dan
bawahnya seperti lemper, sehingga kukang harus berusaha menggerogoti
bagian tengah alang-alang untuk bisa memakan buah yang disembunyikan
di dalamnya (Gambar 5).

Gambar 5 Pengayaan Lemper buah
Analisis Data
Analisis Deskriptif
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan mengenai pengaruh pengayaan
obyek-pakan terhadap perilaku kukang sumatera rehabilitasi di Yayasan IAR
Bogor, dianalisis dan disajikan secara deskriptif dilengkapi dengan tabel, gambar
dan kurva atau grafik yang relevan.
Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif dilakukan dengan uji chi-square yang berguna untuk
menguji hubungan atau pengaruh dua buah variabel dan mengukur kuatnya

7
hubungan antara variabel yang satu dengan variabel lainnya (Lancaster dan Seneta
2005), yaitu menguji hubungan antara pengayaan obyek pakan dan pengaruhnya
terhadap perilaku kukang.
Pengujian terhadap hubungan antara parameter yang diukur dan diamati
menggunakan hipotesis sebagai berikut :
H0 = tidak ada pengaruh pengayaan terhadap perilaku kukang.
H1 = ada pengaruh pengayaan terhadap perilaku kukang.
Rumus metode uji chi-square :

Keterangan :
Oi = nilai pengamatan perilaku kukang
Ei = nilai harapan perilaku kukang

Kriteria uji :
Jika X2 hitung ≥ X2 tabel maka terima H1
Jika X2 hitung ≤ X2 tabel maka terima H0
Selang kepercayaan (SK) yang digunakan adalah sebesar 95% atau α = 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Aktivitas Harian Kukang Sumatera saat Tahap Pra Perlakuan dan
Tahap Pasca Perlakuan
Berdasarkan hasil pengamatan, aktivitas yang paling sering dilakukan oleh
masing–masing individu pada saat tahap pra perlakuan yang diamati adalah
grooming dan yang paling sedikit teramati adalah aktivitas moving. Hal tersebut
juga serupa dengan saat tahapan pasca perlakuan yang memiliki nilai frekuensi
aktivitas grooming paling tinggi dan nilai frekuensi aktivitas moving yang paling
rendah (Tabel 2).
Tabel 2 Frekuensi rata-rata aktivitas perilaku kukang saat pra perlakuan dan pasca
perlakuan
Perilaku
Feeding
Grooming
Moving
Foraging
Abnormal
Rata-rata

Tahapan Perlakuan (menit)
Pra Perlakuan
Pasca Perlakuan
121
95
509
486
86
17
205
14
159
121
216
169.2

8
Aktivitas Feeding
Kukang rehabilitasi di Yayasan IAR Bogor diberi pakan serangga, buahbuahan, serta beberapa jenis makanan tambahan, seperti madu dan yoghurt
(diberikan kepada kukang tertentu yang sakit dan membutuhkan asupan kalsium).
Pemilihan jenis pakan ini didasari pada karakteristik gigi, jenis kelamin kukang,
umur kukang dan sistem perencanaan yang dimiliki. Kukang termasuk ke dalam
satwa frugivorus yang mencukupi kebutuhan proteinnya dengan mengkonsumsi
serangga. Sementara itu, pakan buah yang sering diberikan pada kukang di
Yayasan IAR Bogor adalah pisang, sawo, pepaya, dan jeruk. Selain buah, kukang
juga diberikan pakan jenis serangga yaitu ulat sagu (Rhynchophorus ferruginenus),
ulat jerman (Zophobas morio), dan jangkrik (Gryllus asimilis). Selain itu, setiap
dua hari sekali diberikan pula pakan tambahan berupa telur ayam.
Posisi kukang sumatera yang teramati saat aktivitas feeding seringkali
sebelum mengkonsumsi pakan, kukang mendengus dan menciumi pakan lalu
memegangi objek pakan yang ingin dikonsumsinya dengan satu atau kedua
tangannya kemudian memasukkan pakan tersebut ke mulutnya. Sementara itu,
cara minum kukang ditunjukkan dengan sikap membungkuk dan meminum cairan
dengan cara menjilat menggunakan lidah. Jika kukang belum merasa kenyang
ketika pakan telah habis, kukang akan memburu serangga seperti laron yang
sering berterbangan di sekitar areal kandang. Menurut Warsono (2002) perilaku
makan berhubungan dengan faktor genetik, ketersediaan pakan, habitat atau
lingkungan, musim, gangguan, kondisi biologis, dan cara makan.
Sementara itu, perilaku feeding saat pasca perlakuan menurun dibandingkan
pada saat tahap pra-perlakuan dan bertambah jika dibandingkan saat tahap
pemberian pengayaan. Hal ini dapat terjadi karena pakan yang disajikan saat tahap
pra-perlakuan dan pasca-perlakuan memiliki tingkat palatabilitas yang berbedabeda bagi kukang, sehingga nilai feeding nya pun menjadi bervariasi.
Aktivitas Grooming
Perilaku grooming merupakan perilaku yang paling tinggi teramati saat
tahapan pra-perlakuan. Aktivitas grooming yang tinggi dan menempati sebagian
besar waktu aktif kukang, menunjukkan bahwa aktivitas grooming tersebut
cenderung berlebihan atau disebut overgrooming yang merupakan tanda
kecenderungan perilaku abnormal stereotip. Aktivitas grooming ini bisa dilakukan
sendiri (autogrooming) atau dilakukan secara bersama (allogroming).
Aktivitas grooming yang sering teramati saat pengamatan adalah aktivitas
autogrooming yang dilakukan oleh kukang dengan cara menjilat dan menggaruk
bagian yang gatal dengan cakar khusus yang terdapat di kakinya yang
dilakukannya sambil menggantung atau duduk di dahan. Saat pengamatan, jarang
sekali terlihat aktivitas allogrooming. Kalaupun ada, aktivitas allogrooming
tersebut hanya terjadi pada dua individu saja, yaitu Jupe dan Lucia yang keduanya
sama-sama betina. Hal ini dapat terjadi karena Jupe dan Lucia lebih lama bersama
di dalam kandang daripada Bima yang merupakan pendatang baru di kandang
tersebut. Padahal Bottcer-Law et al. (2001) menyatakan bahwa aktivitas
allogrooming adalah salah satu cara untuk mempererat tali hubungan antar
individu dalam ordo primata dan merupakan sebuah perilaku sosial yang positif.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kondisi sosial kukang sumatera yang menjadi
obyek pengamatan masih minim.

9
Sementara itu, perilaku grooming masih tinggi pada tahap pasca-perlakuan
ini walaupun berkurang sedikit daripada saat pra-perlakuan. Namun perilaku
grooming sempat berkurang secara signifikan saat tahap pemberian pengayaan.
Perilaku overgrooming pun diasumsikan masih terjadi pada kukang sumatera
rehabilitasi ini, karena sebagian besar waktu aktif mereka masih dihabiskan untuk
melakukan aktivitas grooming.
Aktivitas Foraging dan Moving
Perilaku bergerak yang diidentifikasi pada pengamatan ini adalah perilaku
foraging (mencari makan) dan moving (bergerak di dalam kandang) yang
keduanya merupakan bentuk lokomosi seperti di alam. Perilaku foraging ini
sering dilakukan oleh kukang sumatera rehabilitasi saat bangun tidur dan saat
pakan mereka telah habis. Seringkali perilaku foraging ini ditunjukkan dengan
mengendus mencari mangsa sambil berjalan di lantai. Biasanya mangsa yang
mereka cari adalah serangga-serangga kecil atau semut yang banyak berkeliaran
di dalam dan sekitar kandang. Jika kemudian tiba-tiba ada serangga kecil terbang
(seperti laron) di sekitar mereka saat melakukan aktivitas, kukang tersebut akan
teralihkan fokusnya dan akan mengikuti serangga kecil itu sampai akhirnya
berhasil ditangkap. Menurut Nekaris (2005) kukang dapat menkonsumsi hingga
lebih dari 36 serangga kecil dalam semalam saat di alam.
Sementara itu, perilaku moving adalah perilaku bergerak di sekitar kandang
tanpa diiringi aktivitas mencari mangsa. Biasanya perilaku moving dilakukan
kukang untuk mencari tempat yang nyaman untuk melakukan grooming atau
hanya sekedar mengawasi keadaan di sekitarnya dengan berjalan-jalan di area
kandang. Aktivitas moving ini merupakan aktivitas yang paling sedikit dilakukan
oleh kukang. Menurut Novriyanti (2011) aktivitas berjalan di sekitar kandang
merupakan bentuk adaptasi tingkah laku satwa untuk menyesuaikan suhu tubuh
dengan lingkungannya.
Frekuensi perilaku foraging dan moving sama-sama berkurang saat tahap
pasca perlakuan. Perilaku foraging bertambah cukup signifikan sejak saat tahapan
pemberian perlakuan. Hal ini terjadi karena saat tahapan pasca perlakuan ini,
kukang sumatera yang menjadi obyek penelitian tersebut masih mencari
pengayaan-pengayaan yang sebelumnya ada di kandang mereka, padahal pada
tahapan ini sudah tidak ada bentuk pengayaan apapun yang ditaruh di dalam
kandang. Frekuensi perilaku foraging dan moving sama-sama berkurang sejak
tahap pra-perlakuan. Hal ini terjadi karena saat tahapan pasca perlakuan ini,
kukang sumatera yang menjadi subyek penelitian tersebut masih mencari
pengayaan-pengayaan yang sebelumnya ada di kandang mereka, padahal pada
tahapan ini sudah tidak ada bentuk pengayaan apapun yang ditaruh di dalam
kandang.
Aktivitas Abnormal
Perilaku abnormal hanya teridentifikasi pada satu individu saja dari tiga
individu kukang obyek penelitian, yaitu Bima. Bima adalah kukang jantan hasil
penyitaan di pasar gelap berumur lima tahun. Pola perilaku abnormal yang
ditunjukkan oleh Bima selalu sama setiap waktunya, ia duduk di sudut kandang
dan kemudian membenturkan dan menggosok-gosok kepalanya ke kawat secara
berulang-ulang (head bobbing) selama hampir lebih dari satu jam. Kemudian ia

10
akan berhenti melakukan aktivitas tersebut selama 10-20 menit sebelum akhirnya
kembali melakukan head bobbing. Hal ini terus menerus terjadi selama waktu
aktifnya sepanjang malam. Menurut pengurus kandang di Yayasan IAR Bogor,
perilaku abnormal pada Bima tersebut sudah muncul sejak pertama kalinya ia
berada di kandang rehabilitasi. Menurut Mason (2006) perilaku abnormal dapat
terjadi karena stres, fungsi otak yang tidak seimbang, atau usaha individu tersebut
untuk mengatasi masalahnya. Sementara itu, aktivitas perilaku abnormal kembali
meningkat pada tahap pasca perlakuan hingga hampir sama frekuensinya dengan
saat tahapan pra perlakuan sejak sempat menurun secara signifikan saat tahap
perlakuan.

Aktivitas Harian Kukang Sumatera saat Tahap Perlakuan
Tahap pemberian pengayaan ini terdapat tiga bentuk pengayaan obyekpakan yang diberikan kepada kukang sumatera di kandang rehabilitasi, yaitu
Bambu ayun serangga, madu rahasia, dan lemper buah. Masing-masing
pengayaan tersebut memberikan pengaruh yang berbeda terhadap setiap perilaku
kukang. Frekuensi rata-rata aktivitas harian kukang dari ketiga tahap perlakuan
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Frekuensi rata-rata aktivitas harian kukang saat tahap perlakuan
Perilaku

Feeding
Grooming
Moving
Foraging
Abnormal
Rata-rata

Perlakuan
1
82
122
2
47
35
57.6

Tahapan Perlakuan (menit)
Perlakuan
Perlakuan
2
3
68
58
131
140
3
3
57
65
29
22
57.6
57.6

Aktivitas Feeding
Respon feeding (makan) paling aktif dan paling lama interaksinya
ditunjukkan oleh kukang saat pemberian pengayaan pertama (bambu ayun
serangga) dibandingkan pada kedua pengayaan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari
nilai rata-rata makannya yang paling tinggi dibandingkan kedua pengayaan
lainnya. Nilai yang tinggi ini terjadi karena pengayaan ini memanfaatkan serangga,
yaitu jangkrik yang sangat disukai kukang untuk dikonsumsi. Menurut Sinaga et
al. (2010) jangkrik merupakan pakan yang paling disukai kukang setelah ulat
sutera. Jangkrik yang ditaruh di dalam bambu yang dilubangi langsung diraih oleh
kukang dengan cara memasukkan tangannya ke dalam lubang dan meraup
jangkrik didalamnya dengan jari-jarinya kemudian langsung dikonsumsi.

11
Aktivitas Grooming
Pemberian pengayaan obyek-pakan ini berpengaruh dalam menekan
frekuensi perilaku grooming (merawat diri) pada kukang saat tahap pemberian
pengayaan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk pengayaan
bambu ayun serangga juga merupakan bentuk pengayaan yang paling berpengaruh
dalam menekan frekuensi perilaku grooming pada kukang sumatera hingga
seminimal mungkin daripada saat pemberian bentuk pengayaan lainnya. Hal ini
dapat terjadi karena bentuk pengayaan bambu ayun serangga merupakan bentuk
pengayaan yang berhasil menyita waktu aktif kukang cukup banyak untuk
berinteraksi dengan pengayaan tersebut, sehingga porsi waktu yang biasanya
digunakan kukang untuk melakukan aktivitas grooming menjadi teralihkan untuk
berinteraksi dengan bentuk pengayaan yang disajikan.
Aktivitas Foraging dan Moving
Perilaku bergerak yang ditunjukkan dengan moving (berjalan di sekitar
kandang) dan foraging (mencari makan) mengalami penurunan saat tahap
perlakuan. Hal ini dapat terjadi karena kukang menghabiskan sebagian besar
aktivitasnya untuk berinteraksi dengan pengayaan obyek pakan yang disajikan.
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku moving dan foraging
merupakan perilaku yang paling sedikit dilakukan daripada perilaku lainnya.
Aktivitas Abnormal
Perilaku abnormal ikut berkurang saat tahap pemberian pengayaan. Bentuk
pengayaan lemper buah merupakan bentuk pengayaan yang memberikan
pengaruh paling besar dalam menekan perilaku abnormal stereotip. Data hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengayaan lemper buah berhasil mengurangi nilai
frekuensi abnormal hingga 70% sejak pra perlakuan. Hal ini dapat disebabkan
pada pengayaan ini menggunakan buah-buahan yang disukai oleh kukang sebagai
bahan utamanya, selain itu bentuk pengayaan lemper buah juga merupakan bentuk
pengayaan yang bentuknya unik dan cukup sulit untuk dikonsumsi oleh kukang,
sehingga mereka butuh waktu interaksi yang lama pada bentuk pengayaan ini.

Perbandingan Perilaku Kukang Sebelum, Sesudah, dan Selama Tahapan
Perlakuan
Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan analisis chi-square yang
dilakukan pada setiap tahapan perlakuan, perbandingan nilai abnormal dalam
setiap tahapan tersebut menunjukkan hasil yang bervariasi. Perubahan perilaku
kukang sebelum, saat, dan setelah diberikan pengayaan mengalami perubahan
yang signifikan pada beberapa variabel (χ2 tes, x= 175.667, df= 16, P< 0.05) yang
berarti pemberian pengayaan obyek pakan berpengaruh nyata terhadap perubahan
perilaku kukang sumatera di kandang rehabilitasi.
Aktivitas perilaku abnormal mengalami sedikit penurunan setelah
diberikan pengayaan obyek-pakan, begitu pula dengan aktivitas bergerak (mencari
makan (foraging) dan berjalan didalam kandang (moving)) dan aktivitas feeding.
Sementara perilaku grooming merupakan perilaku yang paling mendominasi di

12
antara dua perlakuan tersebut dan meningkat cukup tinggi saat tahap pascaperlakuan sehingga cenderung mengarah kepada perilaku merawat diri yang
berlebihan (overgrooming).
Trollope (1977) menyatakan aktivitas overgrooming ini berkaitan erat
dengan kondisi sosial dan kebosanan individu satwa di dalam kandang. Hal ini
sesuai dengan hasil pengamatan didalam kandang yang menunjukkan bahwa
aktivitas allogrooming yang masih sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa
hubungan sosial diantara Bima, Jupe, dan Lucia masih rendah. Selain itu, aktivitas
overgrooming juga mengarah pada kerusakan bulu pada kukang. Hal ini pun
terlihat pada ketiga individu kukang subjek penelitian yang sebagian bulu-bulu di
tubuhnya rusak hingga botak di beberapa bagian karena aktivitas overgrooming.
Berdasarkan hasil penelitian, tiga bentuk pengayaan obyek-pakan yang
disajikan memberikan efek yang bervariasi terhadap perubahan perilaku kukang
sumatera rehabilitasi di Yayasan IAR Bogor seperti yang disajikan pada Gambar 6.
160
140
120
100

Perlakuan 1

80

Perlakuan 2

60

Perlakuan 3

40
20
0
Feeding

Grooming

Moving

Foraging Abnormal

Gambar 6 Histogram perbandingan nilai frekuensi perilaku harian kukang
sumatera pada tahap perlakuan pemberian obyek pakan
Berdasarkan data hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa bentuk
pengayaan bambu ayun serangga (perlakuan 1) merupakan bentuk perlakuan yang
paling sering dimanfaatkan dan disukai oleh kukang, selain itu, bentuk pengayaan
ini juga merupakan bentuk pengayaan yang paling berpengaruh dalam menekan
perilaku grooming pada kukang. Sementara itu, bentuk pengayaan lemper buah
(perlakuan 3) merupakan bentuk pengayaan yang dapat memberikan efek
abnormal paling sedikit terhadap Bima.

Perilaku Abnormal Stereotip pada Kukang Sumatera Rehabilitasi
Perilaku abnormal stereotip adalah perilaku yang dilakukan secara
berulang-ulang dalam waktu yang lama dan tidak memiliki manfaat, bahkan
cenderung menyakiti diri sendiri (Mason 2006). Perilaku abnormal stereotip ini
bervariasi pada setiap satwa, mulai dari bergerak bolak-balik dengan cepat di satu

13
bagian kandang, self-mouthing, menggigit anggota tubuh sendiri, eye-covering,
hingga grooming berlebihan. Sementara itu hasil pengamatan menunjukkan
bahwa terdapat suatu pola kemiripan pada perilaku kukang sejak pra perlakuan
hingga pasca perlakuan, yaitu sama-sama memiliki nilai merawat diri (grooming)
yang tinggi dan semakin bertambah saat fase pasca-perlakuan. Perilaku grooming
ini merupakan perilaku merawat diri yang wajar dilakukan oleh satwa sebagai
upaya untuk membersihkan dirinya dari kotoran, namun ketika intensitas perilaku
grooming mulai tinggi dan menghabiskan sebagian besar waktu aktif satwa, maka
perilaku grooming tersebut berubah menjadi berlebihan (overgrooming) yang
dapat dikategorikan sebagai perilaku abnormal stereotip, perbandingan antara
perilaku abnormal dan overgrooming dapat dilihat pada Gambar 7. Hal ini sesuai
dengan yang dinyatakan Mason (2006) bahwa perilaku abnormal stereotip sangat
berkaitan erat dengan banyaknya frekuensi repetisi perilaku tersebut dengan
lamanya durasi terjadinya perilaku tersebut. Selain perilaku merawat diri yang
berlebihan, perilaku abnormal stereotip pun dapat terlihat pada kelima fase
tersebut, walaupun hanya terjadi pada satu individu saja.
600
500
400
300

Grooming

200

Abnormal

100
0
Pra
Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3
Pasca
Perlakuan
Perlakuan

Gambar 7 Histogram perbandingan nilai frekuensi grooming dan abnormal
Perilaku abnormal stereotip yang ditunjukkan oleh Bima adalah menggosok
dan membenturkan kepalanya ke kawat secara berulang kali dan ke segala arah
yang biasa disebut head bobing yang termasuk kepada tipe abnormal stereotip
pathology. Menurut Mason (2006) abnormal stereotip pathology adalah tipe
abnormal stereotip yang cenderung menyakiti diri sendiri dan menghabiskan
sebagian waktu aktifnya hingga individu tersebut tidak dapat bersosialisasi dengan
lingkungannya dan merawat dirinya sendiri. Sementara itu perilaku overgrooming
merupakan perilaku abnormal stereotip non-pathology yang merupakan perilaku
abnormal yang tidak membahayakan, namun melibatkan sistem motorik di
seluruh tubuhnya untuk melakukan perilaku tersebut secara berulang-ulang.
Perilaku abnormal stereotip dapat dipicu oleh berbagai macam sebab yang
hingga kini masih menjadi perdebatan di antara para ahli. Namun penyebab
abnormal stereotip yang sudah diketahui salah satunya adalah karena individu
tersebut mengalami social deprivation, yaitu pemisahan satwa dengan induknya
sejak lahir dan dibesarkan di luar habitat aslinya (Gilmer dan McKinney 2003
diacu dalam Mason 2006). Social deprivation ini merupakan penyebab perilaku

14
abnormal stereotip yang paling parah. Sejak bayi, satwa yang mengalami social
deprivation ini seringkali sudah menderita perilaku abnormal stereotip dan
kemudian berubah menjadi perilaku abnormal stereotip seperti menggosokgosokan kepala (head bobbing), dan terkadang perilaku stereotip yang menyakiti
diri sendiri (self injurious behaviour). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa Bima merupakan kukang hasil sitaan dari perdagangan gelap
satwa saat usianya masih bayi, fakta ini menunjukkan bahwa Bima telah
mengalami social deprivation dan perilaku abnormal stereotipnya telah terbentuk
sejak saat itu. Selain itu, menurut Ames (1993) perilaku abnormal stereotip ini
dapat terjadi juga karena kandang satwa terdapat di luar ruangan dengan kondisi
cuaca yang kurang mendukung bagi perkembangan satwa tersebut. Hal ini dapat
terlihat saat pengamatan langsung di lapangan, kandang rehabilitasi ketiga kukang
sumatera yang dijadikan objek penelitian berada persis di bawah rimbun tegakan
pohon bambu, sehingga setiap harinya mereka sedikit sekali mendapatkan paparan
cahaya matahari, terutama pada musim hujan yang membuat kandang menjadi
lebih lembab. Padahal sebagian besar primata membutuhkan paparan cahaya
ultraviolet untuk mendapatkan asupan vitamin D dan membuat rambut di tubuh
mereka menjadi lebih sehat (Bernard et al. 1997).
Sheperdson (1989) diacu dalam Mason (2006) menyatakan kecenderungan
perilaku abnormal dalam kandang muncul akibat satu alasan yaitu untuk
melarikan diri, namun dengan berbagai tujuan, seperti untuk berburu makanan
atau mencari pasangan. Berdasarkan asumsi ini, perilaku abnormal stereotip pun
muncul akibat usaha untuk melarikan diri dari kandang secara berulang kali yang
akhirnya selalu gagal, sehingga solusi umum yang sering dilakukan oleh
pengelola adalah dengan melakukan pengayaan di dalam kandang yang bertujuan
untuk membuat kandang tersebut menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi
individu didalamnya.
Manipulasi semacam pemberian pengayaan tersebut dapat mengurangi
perilaku abnormal stereotip dengan mengambil sebagian waktu aktif satwa
tersebut yang biasanya dihabiskan untuk melakukan aktivitas stereotip tersebut
dialihkan kepada kegiatan interaksi satwa dengan pengayaannya (Vickery 2003).
Data yang didapatkan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata
abnormal dan grooming saat setelah diberi perlakuan (pasca perlakuan) kembali
meningkat hingga hampir menyamakan saat sebelum diberi perlakuan (pra
perlakuan), padahal saat pemberian pengayaan, nilai keduanya sempat menurun
secara signifikan. Hal ini sesuai dengan Odberg (1984) diacu dalam Mason (2006)
yang menyatakan bahwa bentuk manipulasi seringkali menghilang atau menurun
efektivitasnya seiring berjalannya waktu, sehingga lama kelamaan frekuensi
perilaku abnormal stereotip tersebut akan muncul kembali seperti semula. Hal ini
menunjukkan bahwa manipulasi pemberian pengayaan di dalam kandang tidak
bersifat permanen, sehingga bentuk manipulasi tersebut harus diberikan secara
terus menerus dalam waktu yang lama untuk membentuk pola perilaku kukang
yang baru sehingga dapat mengurangi perilaku abnormal stereotip pada kukang.

15

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian pengayaan obyek-pakan kepada kukang sumatera rehabilitasi di
Yayasan IAR Bogor terbukti telah berpengaruh terhadap pengurangan intensitas
perilaku abnormal stereotip pada kukang. Berdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan, bentuk pengayaan bambu ayun serangga merupakan bentuk perlakuan
yang paling sering dimanfaatkan dan disukai oleh kukang sekaligus merupakan
bentuk pengayaan yang paling berpengaruh dalam menekan nilai grooming.
Sementara itu, bentuk pengayaan lemper buah merupakan bentuk pengayaan yang
dapat menekan frekuensi aktivitas abnormal seminimal mungkin, sekaligus
meningkatkan aktivitas bergerak, yaitu foraging dan moving pada setiap individu
kukang sumatera di Yayasan IAR Bogor.
Saran
Pemberian pakan dengan cara melalui bentuk pengayaan obyek-pakan bisa
dijadikan alternatif untuk diterapkan setiap harinya pada kandang rehabilitasi
kukang di Yayasan IAR Bogor dengan tujuan untuk mengurangi perilaku
abnormal dan kecenderungan perilaku abnormal pada kukang. Selain itu,
penempatan kandang harus harus memiliki cukup paparan cahaya matahari pada
siang hari, sehingga diharapkan dapat mengurangi aktivitas grooming yang
berlebihan.

DAFTAR PUSTAKA
Altmann J. 1974. Observational Study of Behavior: Sampling Methods.
Behaviour 49 : 227-267.
Ames A. 1993. The Behaviour of Captive Polar Bears. UFAW Animal Welfare
Research Report No. 5, Hertfordshire, UK: Universities Federation for
Animal Welfare.
Ario A, Payne K, Masmur IY, Permanawati. 2007. Protokol Pelaksanaan Program
Di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center).
Bogor: Yayasan Owa Jawa, Departemen Kehutanan RI, Conservation
International Indonesia, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Bernard H, Otway S, Wilshaw S. 1997. Biodiversity of the Tropical Peat Swamp
forest: A Case Study of Animal Diversity in the Sungai Sebangau
Catchment of Central Kalimantan, Indonesia. In: Biodiversity and
Sustainability of Tropical Peatlands, Eds. Rieley, J.O., Page, S.E. Cardigan:
Samara Publishing.
Blackshaw JK. 1986. Notes on Some Topics in Applied Animal Behaviour.
University of Queensland. Quensland.

16
Bottcher-Law L, Fitch H, Schulze SH. 2001. Management of Lorises in Captivity:
a Husbandry Manual for Asian Lorisines Nycticebus & Loris spp. San
Diego: Cres, Zool Soc San Diego.
Ecclestone KJ. 2009. Animal Welfare di Jawa Timur: Model Pendidikan
Kesejahteraan Binatang di Jawa Timur [Skripsi]. Malang: Fakultas Ilmu
Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang.
Goldsmid JM. 2005. Zoonotic Infection : An Overview. The Australasian College
of Tropical Medicine. Primer of Tropical Medicine.
Hugh-Jones ME, Hubbert WT, Hagsta HV. 1995. Zoonoses: Recognition, Control,
and Prevention. Iowa State University Press. A Blackwell Publishing
Company. Ames. Iowa.
IUCN. 2014. IUCN Red List of Threatened Species.(USA). Version 2014.1.
www.iucnredlist.com [diunduh 2014, Juni 23].
Kawamura S, Kuboreta N. 2004. Ancestral Loss of Short Wave-Sensitive Cone
Visual Pigment in Lorisiform Prosimians, Contrating With its Strict
Conservation in Other Prosimians. J Mol Evol 58:314-321.
Lancaster HO, Seneta E. 2005. Encyclopedia of Biostatistics Edition 2. Sydney
(Australia): University of Sydney.
Lehner PN. 1979. Handbook of Ethological Methods. Garland STPM Press. New
York and London.
Mason G. 2006. Stereotypic Animal Behaviour: Fundamentals and Applications
to Welfare Second Edition. Trowbridge (UK): Cromwell Press.
Nandini R, Kakati K, Ved N. 2009. Occurrence Records of The Bengal Slow
Loris (N. bengalensis) in Northeastern India. Am J Primatol 1(2):12-18
Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of The Primates. Cambridge:
The MIT Press.
Napier JR, Napier PH. 1967. A Handbook of Living Primates. New York:
Academic Press.
Nekaris KAI. 2001. Activity Budget and Positional Behavior of The Mysore
Slender Loris (Loris tardigradus lydekkerianus): Implications for Slow
Climbing Locomotion. Folia Primatol 2001 (72): 228-241.
Nekaris KAI. 2005. Foraging Behavior of Slender Loris (Loris lydekkerianus
lydekkerianus): Implication for Theories of Primate Origins. Journal of
Human Evolution 49 (2005) 289-300.
Nekaris KAI, Bearder SK. 2007. The Lorisiform Primates of Asia and Mainland:
Diversity Shrouded in Darkness. Didalam : Campbell C, Fuentes A,
MacKinnon K, Panger M, Bearder SK, editor. Primates in Perspective.
Oxford: Oxford University Press. Hlm 24-25.
Nekaris KAI, Nijman V. 2007. CITES Proposal Highlights Threat to Nocturnal
Primates Nycticebus: Lorisidae. Folia Primatol 78: 211-214.
Nekaris KAI, Blackham GV, Nijman V. 2008. Conservation Implications of Low
Encounter Rates of Five Nocturnal Primate Species (Nycticebus spp.) in
Asia. Biodiversity and Conservation 17:733-747.
Novriyanti. 2011. Kajian Manajemen Penangkaran, Tingkat Konsumsi,
Palatabilitas Pakan, dan Aktivitas Harian Trenggiling (Manis javanica) di
Penangkaran UD. Multi Jaya Abadi Sumatera Utara [Skripsi]. Bogor(ID) :
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

17
Pambudi JAA. 2008. Studi Populasi, Perilaku, dan Ekologi Kukang Jawa
(Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) di Hutan Bodogol Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat [tesis]. Jakarta(ID) :
Universitas Indonesia.
Purba DM. 2008. Enrichment di Kandang Rehabilitasi Monyet Ekor Panjang.
SIAR Indonesia 3:9.
Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to The Living Primates. New York: Pogonian
Press.
Shettlewoth SJ. 2001. Animal Cognition and Animal Behaviour. Animal
Behaviour, 61: 277-286.
Sinaga W, Astuti DA, Iskandar E, Wirdateti, Pamungkas J. 2010. Konsumsi
Pakan Asal Hewan pada Kukang (Nycticebus coucang) di Fasilitas
Penangkaran, Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB. Jurnal Primatologi
Indonesia 2010 (7): 69-75.
Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia.
JICA. Jakarta.
Suryaningsih E. 2003. Manajemen Perawatan dan Karantina pada Satwa Primata.
Karya Tulis. Program Studi Teknisi Medis Veteriner. Fakultas Kedokteran
Hewan. IPB. Bogor.
Streicher U. 2004. Aspects of The Ecology and Conservation of The Pygmy Loris
Nycticebus pygmaeus in Vietnam. [disertasi]. Germany:
LudwigMaximillians Universitat.
Sleeman J. 2006. Wildlife Zoonses for The Veterinary Practicioner. Ex. Pet Med.
15: 25-32.
Trollope J. 1977. A Preliminary Survey of Behavioural Stereotypies in Captive
Primates. Laboratory Animals [11] 195–196.
Vickery S. 2003. Stereotypy in Caged Bears: Individual and Husbandry Factors
[Tesis]. Oxford (UK) : University of Oxford.
Warsono, Unggul I. 2002. Pola Tingkah Laku Makan dan Kawin (Casuarius sp)
Dalam Pengangkaran di Taman Burung dan Taman Anggrek Biak. Makalah
Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca-Sarjana IPB
Wiens F. 2002. Behaviour and Ecology of Wild Slow Lorises (N. coucang):
Social Organisation, Infant Care System and Diet. [disertasi]. Bayreuth:
Bayreuth University.
Wirdateti, Suparno. 2006. Survey Habitat dan Perdagangan Nycticebus coucang
dan Tarsius di Palembang dan Prabumulih Sumatera Selatan. [Laporan
Perjalanan,
tidak
dipublikasikan].
Bogor:
LIPI

18
50

Lampiran 1 Hasil perhitungan analisis Chi Square
Perilaku
Tahapan

Foraging

Grooming

Feeding

Moving

Abnormal

Pra-Perlakuan

205

509

121

86

159

Pasca-Perlakuan

145

486

95

17

121

Bambu Ayun
Serangga

47

122

82

2

35

Madu Rahasia

57

131

68

3

29

Lemper Buah

65

140

58

3

22

Total

519

1388

424

111

366

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square

175.667

Asymp. Sig.
(2-sided)

df
16

Lampiran 2 Kandang rehabilitasi kukang sumatera obyek penelitian

.000

19
51

Lampiran 3 Kukang sumatera (Nycticebus coucang)