Efektifitas Herbisida Triklopir Dan Fluroksipir Untuk Pengendalian Gulma Berdaun Lebar Di Kawasan Savana Bekol Taman Nasional Baluran

EFEKTIFITAS HERBISIDA TRIKLOPIR DAN FLUROKSIPIR
UNTUK PENGENDALIAN GULMA BERDAUN LEBAR DI
KAWASAN SAVANA BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN

RINNY SAPUTRI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektifitas Herbisida
Triklopir dan Fluroksipir untuk Pengendalian Gulma Berdaun Lebar di Kawasan
Savana Bekol Taman Nasional Baluran adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2016
Rinny Saputri
G3531300121

RINGKASAN
RINNY SAPUTRI. Efektifitas Herbisida Triklopir dan Fluroksipir untuk
Pengendalian Gulma Berdaun Lebar di Kawasan Savana Bekol Taman Nasional
Baluran. Dibimbing oleh YULIANA MARIA DIAH RATNADEWI,
SOEKISMAN TJITROSOEDIRDJO, dan TITIEK SETYAWATI.
Taman Nasional Baluran merupakan kawasan pelestarian alam di
Indonesia dengan ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pendidikan, dan pariwisata. Taman
Nasional Baluran memiliki savana yang dihuni herbivor langka yang merupakan
ciri dan ekosistem khas dari Taman Nasional Baluran. Savana ini sekarang
diinvasi oleh Acacia nilotica dengan berbagai tingkat invasi. Pada tempat-tempat
tertentu tingkat invasi A. nilotica sangat rapat dan membentuk kanopi yang rapat,
sehingga menganggu pertumbuhan rumput di bawahnya karena kurangnya
intensitas cahaya matahari. Akibatnya produksi rumput menurun karena
kurangnya intensitas cahaya matahari. Di samping itu, di area savana dengan

tutupan kanopi A. nilotica lebih terbuka juga ditemukan beberapa gulma berdaun
lebar, antara lain Bidens biternata, Thespesia lampas, dan Abutilon indicum.
Gulma berdaun lebar mampu tumbuh di bawah naungan dengan morfologi
daunnya yang lebar dapat beradaptasi pada kondisi intensitas cahaya rendah dan
mampu menggunakan cahaya secara efisien untuk tumbuh dan berkompetisi
dengan rumput. Invasi gulma berdaun lebar di kawasan savana Taman Nasional
Baluran mulai menganggu dan menekan pertumbuhan jenis rumput lokal yang
menjadi sumber pakan satwa herbivor. Rumput seperti Dichantium caricosum
sudah jarang ditemukan dan digantikan oleh Brachiaria reptans rumput yang
lebih tahan naungan, tetapi tidak disukai oleh herbivor. Jika tidak dikendalikan,
maka dikhawatirkan akan menyebabkan penurunan drastis produksi rumput.
Upaya pengendalian gulma berdaun lebar telah diusahakan sejalan dengan
pengendalian A. nilotica. Triklopir dan fluroksipir merupakan herbisida selektif
yang mampu mematikan gulma berdaun lebar tetapi tidak mematikan rumput.
Pemakaian herbisida mempunyai dampak negatif bagi lingkungan, sehingga
penelitian ini juga mencakup studi tentang residu herbisida.
Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama yakni: (1) untuk mengamati
dinamika perubahan komposisi gulam akibat herbisida selektif triklopir dan
fluroksipir (2) untuk menemukan dosis herbisida yang tepat dan aman untuk
mengendalikan gulma berdaun lebar; (3) untuk mengestimasi residu herbisida di

tanah.
Penelitian ini dilaksanakan di Savana Bekol Taman Nasional Baluran,
Situbondo, Jawa Timur pada bulan Januari-Maret 2015. Analisis residu herbisida
untuk sampel tanah dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Pasca Panen,
Cimanggu, Bogor. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dengan enam perlakuan dan empat blok sebagai ulangan, sehingga
terdapat 24 petak percobaan dengan ukuran petak 7 m x 7 m. Perlakuan terdiri
dari (1) Triklopir 670 g b.a ha-1 (TA), (2) Triklopir 1340 g b.a ha-1 (TB), (3)
Fluroksipir 200 g b.a ha-1 (FA), (4) Fluroksipir 400 g b.a ha-1 (FB), (5) penyiangan
gulma secara manual (PM), (6) kontrol (K). Peubah yang diamati adalah
komposisi vegetasi savana sebelum dan setelah perlakuan, bobot kering gulma

dan rumput total serta kadar residu herbisida di tanah. Analisis vegetasi
mengunakan metode kuadrat dan dihitung nilai Summed Dominance Ratio (SDR).
Data SDR dianalisis dengan analisis gerombol dengan NTSYS4WIN (UPGMA)
untuk menentukan keragaman komposisi vegetasi yang ada. Sampel spesies
gulma dan rumput segar diambil dua kali saat sebelum dan setelah perlakuan
untuk dihitung bobot keringnya. Residu herbisida di tanah dianalisis
menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sebelum perlakuan komposisi

vegetasi savana didominasi oleh gulma berdaun lebar. Komposisi vegetasi setelah
perlakuan herbisida berubah menjadi didominasi oleh rumput. Perlakuan herbisida
triklopir dan fluroksipir menunjukkan efektifitas sebagai herbisida selektif dengan
menurunkan bobot kering gulma total, sehingga memberikan ruang, ketersediaan
cahaya, air dan unsur hara untuk rumput dapat tumbuh. Bobot kering rumput
meningkat pada 28 hari setelah perlakuan. Pemakaian herbisida triklopir lebih
efektif daripada fluroksipir untuk mengendalikan gulma berdaun lebar. Aplikasi
triklopir dosis rendah memiliki efektifitas yang tidak berbeda dengan fluroksipir
dosis tinggi serta meninggalkan residu rendah di antara perlakuan herbisida
lainnya. Triklopir dan fluroksipir memiliki persistensi yang rendah di tanah
dengan waktu paruh 10 hari, lebih rendah dari kriteria Kementerian Pertanian
yaitu 90 hari.
Kata kunci: fluroksipir, gulma berdaun lebar, triklopir, residu herbisida.

SUMMARY
RINNY SAPUTRI. Effectiveness of Herbicide Triclopyr and Fluroxypyr for
Broadleaved Weeds Control in Savanna Bekol of Baluran National Park. Guided
by
YULIANA
MARIA

DIAH
RATNADEWI,
SOEKISMAN
TIJTROSOEDIRDJO, and TITIEK SETYAWATI.
Baluran National Park is a conservation area in Indonesia with original
ecosystem, managed by the zoning systems utilized for research, education, and
tourism. Baluran National Park has savanna inhabited by rare herbivores that are
characteristic of Baluran National Park ecosystems. Savana is invaded by Acacia
nilotica in various levels of invasion. In certain places the level of invasion is
several and form a dense canopy, thus disrupting the growth of grass due to lack
of sunlight intensity. As a result, some grass can not live under it due to lack of
sunlight intensity. In addition, in the savanna areas with a canopy cover of more
open A. nilotica also found some broadleaved weeds found such as Bidens
biternata, Thespesia lampas, and Abutilon indicum. Broadleaved weeds can grow
in the shade with a wide leaf morphology can adapt to the conditions of low light
intensity and were able to use light efficiently to grow and compete with the grass.
Invasion of broadleaved weeds in the savanna of Baluran National Park began to
disrupt and suppress the growth of grass types of local food resources herbivores.
Dichantium caricosum grasses such as is rarely found and are replaced by
Brachiaria reptans more shade tolerant grass, but it does not ate by herbivore. If

not controlled, it is feared will cause a drastic reduction in grass production.
Efforts to control broadleaved weeds as same as the control of A. nilotica.
Triclopyr and fluroxypyr is selective herbicide that can kill broadleaved weeds but
does not kill the grass. Herbicide use has a negative impact on the environment, so
this research also includes studies of residues of herbicides.
This study has three main objectives (1) to observe the changes in the
weed composition due to selective herbicide triclopyr and fluroxypyr (2) to find
the best rate of herbicide to control broadleaved weeds in the savanna and; (3) to
determine the soil residue of herbicide used.
The research conducted in the savanna Bekol - Baluran National Park,
East Java, from January 2015 until March 2015. The experimental design was a
randomized block with six treatments and four replications. The treatments were
herbicide applications consisting of (1) Triclopyr at 670 g a.i ha-1 (TA), (2)
Triclopyr at 1340 a.i ha-1 (TB), (3) Fluroxypyr at 200 g a.i ha-1 (FA), (4)
Fluroxypyr at 400 g a.i ha-1 (FB), (5) Manual Weeding (PM) and (6) Control (K).
Variables observed were vegetation composition of savanna before and after
treatment, dry weight of weeds and grass in total and residues of herbicides in the
soil. Vegetation analysis using quadrat method and calculated values by Summed
Dominance Ratio (SDR). Data of SDR were analyzed by clump analysis with
NTSYS4WIN (UPGMA) to determine the diversity of the composition of the

vegetation. Sample fresh broadleaved weeds and grasses were measured twice at
the time before and after treatment for the dry weight. Herbicide residues in soil
were analyzed by using High Performance Liquid Chromatography (HPLC).
The results showed that before treatment vegetation composition of
savanna was dominated by broadleaved weeds and there were change after

herbicide treatments become dominated by grasses. Application of triclopyr and
fluroxypyr shown to be effective as a selective herbicide with decreasing total
weed dry weight, thus providing space, the availability of light, water and
nutrients to the grass can grow and develop. Grass grows and the dry weight
increases of up to 28 days after treatment. Triclopyr more effective than
fluroxypyr to control broadleaved weeds. Application of triclopyr low doses
effective as same as high doses of fluroxypyr and generate residues lowest among
other herbicide treatments. Triclopyr and fluroxypyr have a low persistence in soil
are 10 days, lower than the standard of 90 days from Ministry of Agriculture.
Keywords: broadleaved weeds, fluroxypyr, residue of herbicide, triclopyr.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang–Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

EFEKTIFITAS TRIKLOPIR DAN FLUROKSIPIR UNTUK
PENGENDALIAN GULMA BERDAUN LEBAR DI KAWASAN
SAVANA BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN

RINNY SAPUTRI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. M.A Chozin, M.Agr

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga tesis ini berhasil terselesaikan. Penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Januari hingga Maret 2015 ini diberi judul Efektifitas
Triklopir dan Fluroksipir untuk Pengendalian Gulma Berdaun Lebar di Kawasan
Savana Bekol Taman Nasional Baluran.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Yuliana Maria Diah
Ratnadewi, Dr. Ir. Soekisman Tjitrosoedirdjo, M.Sc dan Dr. Ir. Titiek Setyawati,
M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan, saran dan
masukan bermanfaat selama proses penelitian hingga penulisan tesis. Terimakasih
kepada Ditjen Dikti atas beasiswa BPPDN 2013 untuk biaya pendidikan dan
FORIS INDONESIA untuk biaya penelitian. Penulis juga mengucapkan segenap
rasa terimakasih kepada Balai Besar Taman Nasional Baluran dan seluruh staf
yang telah memberi izin penelitian, fasilitas dan telah membantu dalam

pengumpulan data di lapangan, serta staf laboratorium Fisiologi Tumbuhan IPB
yang telah banyak membantu penulis selama penelitian. Ungkapan terimakasih
sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Ayahanda Sadak Seran (alm), Ibunda
Lusy, adik Dinda Ayu Putri Sejati dan Maseli Annisa, terkasih Tri Nanda Satria,
seluruh keluarga dan sahabat atas doa restu yang tulus, didikan, kasih sayang,
dorongan semangat dan motivasi bagi penulis selama menempuh pendidikan di
IPB.
Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini memberikan manfaat dan
sumbangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Oktober 2016
Rinny Saputri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

xi
xi
xii


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat Penelitian

1
1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Taman Nasional Baluran
Savana
Gulma
Pengendalian Gulma Secara Kimiawi
Herbisida
Dampak Residu Herbisida pada Tanah

3
3
3
5
5
6
8

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan
Prosedur Penelitian
Rancangan Penelitian
Analisis Vegetasi
Bobot Kering
Aplikasi Herbisida
Pengambilan Sampel Tanah
Analisis Residu Herbisida
Analisis Data

10
10
10
10
10
10
11
11
11
12
13

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Sebelum Aplikasi Herbisida
Kondisi Setelah Aplikasi Herbisida
Bobot Kering Gulma Total
Bobot Kering Calopogonium mucunoides
Bobot Kering Thespesia lampas
Bobot Kering Bidens biternata
Bobot Kering Merremia emarginata
Bobot Kering Abutilon indicum
Persentase Kematian Gulma
Bobot Kering Rumput Total
Residu Herbisida

14
14
14
19
20
22
23
26
28
30
31
33

SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

35
36
40

DAFTAR TABEL
1

Nilai Summed Dominance Ratio (SDR) hasil analisis vegetasi pada kondisi
awal dan akhir setelah aplikasi herbisida pada petak perlakuan

16
20

3

Bobot kering Calopogonium mucunoides sebelum dan setelah aplikasi
herbisida
Bobot kering Thespesia lampas sebelum dan setelah aplikasi herbisida

4

Bobot kering Bidens biternata sebelum dan setelah aplikasi herbisida

24

5

Bobot kering Merremia emarginata sebelum dan setelah aplikasi herbisida

27

6

Bobot kering Abutilon indicum sebelum dan setelah aplikasi herbisida

28

7

Kematian gulma total pada 28 hari setelah aplikasi herbisida

30

8

Pengaruh perlakuan herbisida terhadap bobot kering rumput total

32

9

Laju penurunan kadar residu dan waktu paruh triklopir di tanah

33

2

10 Laju penurunan kadar residu dan waktu paruh fluroksipir di tanah

22

34

DAFTAR GAMBAR
1

Struktur kimia komponen triklopir

7

2

Struktur kimia komponen fluroksipir

8

3

Kondisi savana; A. Kondisi savana sebelum aplikasi herbisida; B. Kondisi 14
savana 28 hari setelah aplikasi herbisida

4

Dendrogram komposisi penyusun komunitas di savana sebelum aplikasi
herbisida di bakal petak perlakuan. Keterangan: TA = Triklopir 670 g 15
b.a/Ha, TB = Triklopir 1340 g b.a/Ha, FA = Fluroksipir 200 g b.a/Ha, FB =
Fluroksipir 400 g b.a/Ha, PM = Penyiangan gulma secara manual, K =
Kontrol.

5

Dendrogram komposisi jenis penyusun komunitas savana 4 minggu setelah 18
aplikasi herbisida. Keterangan: TA = Triklopir 670 g b.a/Ha, TB = Triklopir
1340 g b.a/Ha, FA = Fluroksipir 200 g b.a/Ha, FB = Fluroksipir 400 g
b.a/Ha, PM = Penyiangan gulma secara manual, K = Kontrol.

6

Bobot kering gulma total pada hari ke 0 dan ke 28 setelah aplikasi 19
herbisida. Keterangan: TA = Triklopir 670 g b.a/Ha, TB = Triklopir 1340 g
b.a/Ha, FA = Fluroksipir 200 g b.a/Ha, FB = Fluroksipir 400 g b.a/Ha, PM
= Penyiangan gulma secara manual, K = Kontrol.

7

Kondisi Calopogonium mucunoides setelah aplikasi herbisida; A. Daun layu 21
dan mengalami epinasti 2 jam beberapa menit setelah aplikasi herbisida, B.
Daun layu dan menguning pada hari pertama, C. Daun dan batang menjadi
cokelat pada hari ketiga, D. Gulma mengalami kematian pada hari kelima.

8

Kondisi Thespesia lampas setelah aplikasi herbisida; A. Daun terbalik dan 23
layu beberapa menit setelah aplikasi herbisida, B. Daun mengalami leaf
cupping pada hari pertama, C. Daun mengalami klorosis dan batang
bengkak dan layu pada hari ketiga, D. Daun klorosis dan nekrosis pada hari
kelima.

9

Kondisi Bidens biternata setelah aplikasi herbisida, A. gulma menjadi layu 25
dan menunduk beberapa menit setelah aplikasi herbisida, B. Epinasti pada
daun dan batang pada hari ketiga, C. Daun bagian atas mengalami klorosis
pada hari keempat, D. Batang menjadi bengkak dan terjadi inisiasi akar
pada batang pada hari ketujuh, E, F. Daun berubah warna menjadi merah
dan epinasti dari hari ke 10 hingga ke 21.

10 Kondisi Bidens biternata pada akhir pengamatan, A. Beberapa individu 26
yang mengalami kematian pada hari ke 28, B. Individu yang masih bertahan
hidup hingga hari ke 28.
11 Kondisi Merremia emarginata setelah aplikasi herbisida. A. kondisi hari 28
ketujuh pada petak perlakuan dosis rendah, B. Kondisi hari ketujuh pada
petak perlakuan dosis tinggi, C. Daun mengalami klorosis pada petak
perlakuan dosis rendah pada hari ke 24, D. Individu yang mati pada petak
perlakuan dosis tinggi di hari ke 24.

12 Kondisi Abutilon indicum setelah aplikasi herbisida, A. Gulma mengalami 29
leaf cupping pada hari pertama, B. Daun klorosis pada hari ketiga, C.
Batang menjadi layu dan mengalami nekrosis pada hari kelima, D. Gulma
mengalami kematian pada hari kesepuluh.

DAFTAR LAMPIRAN
1

Perhitungan kalibrasi herbisida

40

2

Indeks similaritas (IS) dan Indeks Disimilaritas (ID) seluruh petak 41
perlakuan sebelum dan setelah aplikasi herbisida

3

Kurva Standar Fluroksipir

42

4

Kurva Standar Triklopir

43

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Taman Nasional Baluran merupakan kawasan pelestarian alam di
Indonesia dengan ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pendidikan, dan pariwisata. Taman
Nasional Baluran memiliki savana yang dihuni herbivor langka seperti, banteng
(Bos javanicus), rusa timor (Cervus timorensis), kijang (Munticus muntjak),
kerbau liar (Bubalus bubalis) dan predatornya seperti anjing ajak (Cuon alpinus),
macan tutul (Panthera pardus), disamping berbagai aves seperti, merak yang
dilindungi (Pavo muticus) (TNB 2016).
Savana ini diinvasi oleh Acacia nilotica dengan berbagai tingkat invasi.
Setiabudi et al. (2013) mengemukakan ada 7 tingkat tutupan vegetasi terkait untuk
A. nilotica (1) A. nilotica dengan kanopi tertutup (611.12 Ha); (2) A. nilotica
dengan kanopi terbuka menengah (208.35 Ha); (3) Campuran A. nilotica dan
semak belukar tua yang mengalami pertumbuhan kembali (1396.88 Ha); (4)
Campuran A. nilotica dan savana (532.16 Ha); (5) Campuran savana dengan A.
nilotica yang jarang (921.48 Ha); (6) Campuran savana dengan A. nilotica dan
semak belukar tua yang mengalami pertumbuhan kembali (2018.41 Ha); dan (7)
Campuran semak belukar, A. nilotica dan semak belukar tua yang mengalami
pertumbuhan kembali (533.82 Ha).
Pada tempat-tempat tertentu tingkat invasi A. nilotica sangat rapat dan
membentuk kanopi yang menutup, sehingga menganggu pertumbuhan rumput di
bawahnya karena kurangnya intensitas cahaya matahari. Akibatnya beberapa jenis
rumput tidak dapat hidup di bawahnya karena kurangnya intensitas cahaya
matahari. Di samping itu, di area savana dengan tutupan kanopi A. nilotica lebih
terbuka juga ditemukan beberapa gulma berdaun lebar yang ditemukan antara lain
Bidens biternata, Thespesia lampas, dan Abutilon indicum. Menurut Anderson et
al. (1995) gulma berdaun lebar mampu tumbuh di bawah naungan dengan
morfologi daunnya yang lebar dapat beradaptasi pada kondisi intensitas cahaya
rendah dan mampu menggunakan cahaya secara efisien untuk tumbuh dan
berkompetisi dengan rumput.
Invasi gulma berdaun lebar di kawasan savana Taman Nasional Baluran
mulai menganggu dan menekan pertumbuhan jenis rumput lokal yang menjadi
sumber pakan satwa herbivor. Rumput seperti Dichantium caricosum sudah
jarang ditemukan dan digantikan oleh Brachiaria reptans rumput yang lebih tahan
naungan. Jika tidak dikendalikan, maka dikhawatirkan akan menyebabkan
penurunan drastis produksi rumput. Upaya pengendalian gulma berdaun lebar
telah diusahakan sejalan dengan pengendalian A. nilotica. Triklopir dan
fluroksipir merupakan herbisida selektif yang mampu mematikan gulma berdaun
lebar tetapi tidak mematikan rumput (Grossmann 2010; Hu et al. 2014). Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi untuk mengendalikan gulma
berdaun lebar karena penelitian ini juga mencakup studi tentang residu herbisida.

2

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati perubahan komposisi gulma
akibat herbisida selektif triklopir dan fluroksipir dari aplikasi dosis yang berbeda
dan mendeteksi residu herbisida di tanah.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pengendalian gulma
berdaun lebar secara kimiawi di kawasan savana Bekol di Taman Nasional
Baluran.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Taman Nasional Baluran (TNB)
Taman Nasional Baluran terletak di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten
Situbondo, Jawa Timur. Secara geografis terletak antara 7o 45’-7o 15’ LS, serta
antara 114o 18’-114o 27’ BT, sebelah Timur laut Pulau Jawa. Sebelah Utara
berbatasan dengan Selat Madura, sebelah barat berbatasan dengan Sungai
Bajulmati, sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali dan sebelah Barat Laut
berbatasan dengan Sungai Klokoran. Kawasan konservasi sumber daya alam
tersebut ditetapkan secara definitif sebagai taman nasional berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan No: 096/Kpts-II/1984 tanggal 12 Mei 1984. Pada awalnya
kawasan TNB merupakan suakamargasatwa untuk melindungi satwa-satwa
seperti banteng (Bos javanicus), kerbau liar (Bubalus bubalus), babi hutan (Sus
sp), rusa (Cervus timorensis), kijang (Mutiacus munjak), dan anjing ajak (Coun
alpinus). Namun, seiring perkembangan jaman, diperlukan perlindungan terhadap
seluruh potensi kawasan baik flora, fauna maupun lingkungannya, sehingga
ditetapkanlah kawasan ini menjadi taman nasional. Sebagai kawasan pelestarian
alam, potensi TNB dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pendidikan, budaya,
pariwisata dan rekreasi (Djufri 2006).
Secara geologi TNB memiliki jenis tanah pengunungan yang terdiri dari
tanah vulkanik dengan kondisi tanah berbatu-batu dan lereng gunung yang tinggi
dan curam, sampai tanah aluvial yang dalam di dataran rendah. Tanah hitam
meliputi kira-kira setengah luas dataran rendah, ditumbuhi rumput savana. Tanah
ini membentuk daerah subur, kaya mineral tetapi miskin bahan organik.
Kesuburan fisik yang rendah karena sebagian besar tanah berpori dan tidak dapat
menyimpan air dengan baik. Ciri khas tanah ini mudah longsor dan berlumpur
saat musim hujan, sebaliknya pada musim kemarau permukaan tanah pecah-pecah
(BTNB 2000).
Topografi TNB dapat dibagi dalam kategori: datar dengan ketinggian 0-124
m dpl, bergelombang dengan ketinggian 125-900 m dpl, dan terjal pada
ketinggian lebih dari 900 m dpl. Pada garis pantai di Mesigit, Balanan dan Montor
terdapat hamparan batu karang yang terjal. TNB memiliki beberapa tipe
ekosistem yang tersebar mulai dari ketinggian 0-1247 m dpl. Tipe ekosistem
tersebut meliputi hutan pantai, hutan bakau, savana, hutan hijau sepanjang tahun
(evergeen forest), dan hutan musim. Savana merupakan tipe vegetasi yang
dijumpai hampir di seluruh bagian kawasan TNB dan merupakan habitat utama
satwa yang dilindungi (Djufri 2006).
Savana
Savana merupakan padang rumput dan semak serta merupakan daerah
peralihan antara hutan dan padang rumput. Savana merupakan habitat yang
penting bagi kehidupan berbagai jenis satwa liar karena savana bukan sekedar
tempat untuk mencari makan tetapi juga merupakan tempat untuk melakukan
komunikasi sosial, memelihara dan membesarkan keturunannya. Savana di TNB,
mirip dengan savana di Afrika, yaitu tipe savana tropika yang produksi hijauannya

4

melimpah di musim penghujan dan berkurang pada musim kemarau (Sabarno
2002).
Savana merupakan ekosistem khas di TNB dan hampir 40% luas kawasan
TNB merupakan ekosistem savana. Savana sering mengalami kebakaran terutama
di musim kemarau. Tumbuhan paling dominan adalah jenis rumput seperti
lamuran putih (Dichantium caricosum) dan rayapan (Brachiaria reptans).
Sebagian besar populasi satwa liar herbivor seperti banteng, kerbau liar, rusa,
kijang dan satwa liar lainnya seperti anjing ajak, merak, dan ayam hutan dapat
dijumpai di savana (Djufri 2002; Sabarno 2002).
Tipe ekosistem savana di daerah ini dapat dibedakan ke dalam dua subtipe,
yaitu savana datar (flat savana) dan savana bergelombang (undulating savana).
Savana datar tumbuh pada tanah aluvial berbatu-batu. Sub tipe savana ini terdapat
di bagian tenggara kawasan, yaitu daerah sekitar Plalangan dan Bekol. Savana
bekol memiliki luas wilayah 420 Ha. Sebagian besar populasi banteng, rusa,
maupun kerbau liar mempergunakan areal ini untuk merumput (feeding gound).
Jenis-jenis rumput dominan di daerah ini adalah Dichantium caricosum,
Heteropogon contortus, dan Barchiaria reptans. Jenis pohon yang dijumpai di
savana ini antara lain pilang (Acacia leucophloea), kesambi (Schliechera oleasea)
dan bidoro bukol (Zyzipus rotundifolia) (Djufri 2005). Savana bergelombang
tumbuh pada tanah hitam berbatu-batu. Sub tipe savana ini membujur dari sebelah
utara hingga timur laut dengan luas 8000 Ha. Dareah ini kurang disukai oleh
banteng, rusa maupun kerbau liar. Jenis-jenis rumput yang dominan adalah
Dichantium caricosum. Pohon yang dijumpai di daerah ini antara lain pohon
kesambi (Schleichera oleasea), pilang (Acacia leucophloea) dan bidoro bukol
(Zizyphus rotundifolia) tumbuh secara terpencar pada savana ini (BTNB 2000).
Pada saat ini savana Baluran mengalami penurunan kualitas karena terinvasi
oleh Acacia nilotica, tumbuhan eksotik yang mengganggu pertumbuhan rumput
sebagai pakan satwa. Selain itu, akibat dari pertumbuhan akasia mengawali
tumbuhnya gulma berdaun lebar yang lama kelamaan juga menginvasi area
savana. Gulma berdaun lebar tidak disukai satwa herbivor. Kondisi ini merupakan
ancaman bagi keseimbangan ekosistem savana (Muttaqin 2002; Djufri 2004).
Keberadaan tumbuh-tumbuhan lain selain dari pakan ternak di padang rumput,
terutama di padang rumput alam, apabila populasinya sudah sangat tinggi
sehingga menekan pertumbuhan dan populasi rumput pakan yang ada, maka
tumbuhan tersebut sudah berubah menjadi gulma (Prawiradiputra 2007).
Kondisi savana Bekol seluas 420 Ha memperlihatkan karakter sebagai
berikut : (a). Sekitar 150 Ha berupa savana terbuka yang tidak dijumpai adanya
pohon A. nilotica, tetapi hanya ditumbuhi oleh anakan A. nilotica yang berukuran
rata-rata sekitar 25-50 cm, dengan tingkat kerapatan berkisar 1000-2500
individu/Ha. Komposisi spesies penyusun daerah ini mencapai 60 spesies, rumput
Brachiria reptans menguasai seluruh tempat dengan penutupan area mencapai 75
%. (b). Sekitar 200 Ha berupa savana yang tertutupi oleh pohon A. nilotica
berumur 2-3 tahun, tinggi pohon berkisar 2.5-3.5 m, dengan kerapatan pohon ratarata sekitar 2500-4000 pohon/Ha. Komposisi spesies di daerah ini sangat terbatas
karena telah dipengaruhi kerapatan pohon A. nilotica yang terkait dengan
intensitas cahaya matahari dan kemungkinan adanya pengaruh zat alelopati yang
diproduksi oleh A. nilotica atau karena adanya kompetisi antar spesies. Spesies
yang dijumpai di daerah ini merupakan golongan gulma berdaun lebar. (c).

5

Sekitar 70 Ha berupa savana yang sudah berubah fungsi menjadi hutan A. nilotica
berumur 3-4 tahun, tinggi pohon berkisar 5 – 6.5 m, dengan kerapatan pohon A.
nilotica mencapai > 4000-5500 pohon/ha. Di lantai hutan A. nilotica ini relatif
bersih karena hanya di jumpai beberapa spesies saja yang mampu hidup dan
kerapatannya sangat rendah, misalnya Eleuntheratha ruderalis, Thespesia lanpas,
Brachiaria reptans, Stachytarpeta indica dan Themeda arguens. Kondisi yang
sama dijumpai di savana Kramat dan Balanan (Djufri 2012).
Gulma
Gulma didefinisikan sebagai tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di tempat
yang tidak dikehendaki manusia. Hal itu berarti bahwa tumbuhan tersebut
merugikan baik secara langsung atau tidak langsung (Tjitrosoedirdjo et al. 1984).
Gulma mempunyai sifat genetic plasticity yang besar dimana gulma dapat dengan
mudah beradaptasi dengan tempat lingkungan tumbuhnya. Beberapa sifat gulma
adalah : (1) mampu berkecambah dan tumbuh pada kondisi zat hara dan air yang
sedikit, biji tidak mati dan mengalami dorman apabila kondisi lingkungan kurang
mendukung pertumbuhannya, (2) tumbuh dengan cepat dan mempunyai masa
reproduktif yang relatif singkat, apabila kondisi menguntungkan, (3) dapat
mengurangi hasil tanaman budidaya walaupun dalam populasi sedikit, (4) mampu
berbunga dan menghasilkan biji yang banyak, (5) mampu tumbuh dan
berkembang dengan cepat, terutama yang berkembang biak secara vegetatif. Biji
gulma memiliki masa dormansi yang panjang (Mercado 1979).
Gulma dibedakan berdasarkan tempat hidup, siklus hidup dan morfologinya.
Menurut Mercado (1979), secara morfologi gulma dibedakan atas gulma golongan
daun lebar, gulma golongan rumput dan golongan teki. Golongan gulma berdaun
lebar pada umumnya adalah tumbuhan dikotil dan beberapa tumbuhan monokotil
dengan daun yang lebar, seperti Chromolaena odorata. Golongan rumput adalah
gulma dari famili Poaceae. Tumbuhan ini biasanya bervariasi ukurannya; tegak
ataupun menjalar; tumbuhan perenial ataupun annual. Batangnya jelas terbagi
menjadi ruas dengan buku-buku pada setiap antar ruas. Daun terdiri dari dua
bagian yakni pelepah daun dan helai daun, seperti Brachiaria reptans. Gulma
golongan teki adalah anggota dari famili Cyperaceae, mirip dengan golongan
rumput namun dapat dibedakan melalui batangnya yang berbentuk segitiga dan
tidak memiliki umbi atau akar rimpang di dalam tanah, seperti Cyperus rotundus
(Tjitrosoedirdjo et al. 1984).
Pengendalian Gulma Secara Kimiawi
Pengendalian gulma dapat didefinisikan sebagai proses membatasi
pertumbuhan gulma agar tumbuhan yang dikehendaki tumbuh lebih produktif.
Pengendalian bertujuan hanya menekan populasi gulma sampai tingkat populasi
yang tidak merugikan, bukan bertujuan menekan populasi gulma sampai nol.
Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pada dasarnya ada
enam macam metode pengendalian gulma, yaitu : preventif, kultur teknis, fisik,
biologis, kimia dan terpadu. Pengendalian gulma dengan cara kimia lebih
diminati, terutama untuk areal yang cukup luas (Sukman & Yakup 1991).

6

Pengendalian gulma secara kimiawi menggunakan senyawa-senyawa
beracun terhadap gulma. Herbisida merupakan senyawa phytotoxic yang mampu
mematikan tumbuhan tertentu.
Menurut Tjitrosoedirdjo et al. (1984),
pengendalian dengan menggunakan herbisida memiliki beberapa keuntungan
yaitu penggunaan tenaga kerja yang lebih sedikit dan lebih mudah dan cepat
dalam pelaksanaan pengendaliannya. Salah satu pertimbangan yang penting
dalam pemakaian herbisida adalah untuk mendapatkan pengendalian yang
selektif, yaitu mematikan gulma tetapi tidak merusak tumbuhan lain. Keberhasilan
aplikasi suatu herbisida dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : jenis herbisida,
formulasi herbisida, ukuran butiran semprot, volume semprotan dan waktu
pemakaian (pra pengolahan, pra tanam, pra tumbuh atau pasca tumbuh). Faktor
lainnya yang mempengaruhi keberhasilan aplikasi herbisida adalah sifat kimia
herbisida yang dipakai, iklim, kondisi tanah dan aktivitas mikroorganisme. Teknik
penyemprotan dan pelarut yang digunakan juga mempengaruhi efektivitas
herbisida yang diaplikasikan.
Herbisida
Pestisida adalah zat kimia, zat pengatur tumbuh, serta organisme renik atau
virus yang digunakan untuk melindungi tanaman. Secara harfiah, pestisida berarti
zat pembunuh organisme pengganggu (pest: organisme pengganggu, cide:
membunuh). Herbisida adalah pestisida yang digunakan untuk menekan atau
membunuh vegetasi yang tidak diinginkan. Banyak jenis pestisida, yang meliputi
insektisida, fungisida, rodentisida, dan lain-lain. Herbisida digunakan untuk
menekan populasi gulma di lahan pertanian, hutan, dan banyak kondisi lainnya
seperti pinggir jalan, di mana pertumbuhan gulma menjadi masalah. Herbisida
juga digunakan untuk membantu dalam pengelolaan dan pemulihan daerah yang
sebelumnya diserang oleh tanaman invasif (Radosevich et al.. 2007).
Menurut Moenandir (1990) herbisida dapat diklasifikasikan menurut
beberapa cara, yaitu menurut cara kerja, tipe gulma, waktu aplikasi, struktur
kimiawi, formulasi dan keselektifannya. Herbisida dapat dibedakan menjadi
herbisida kontak dan sistemik. Herbisida kontak dapat merusak bagian tumbuhan
yang terkena langsung dan tidak ditranslokasikan pada bagian lain, sedangkan
herbisida sistemik dapat ditranslokasikan ke seluruh tubuh tumbuhan, sehingga
pengaruhnya luas. Herbisida dapat menghambat fotosintesis, respirasi,
perkecambahan dan pertumbuhan target herbisida. Dan berdasarkan selektivitas
dibagi menjadi herbisida selektif dan non selektif.
Herbisida selektif adalah herbisida yang bila diaplikasikan dalam suatu
komunitas, maka dapat mematikan sekelompok tumbuhan tertentu dan tidak
menganggu tumbuhan lain yang diinginkan tetap hidup. Salah satu contoh
herbisida selektif adalah herbisida tipe auksin yang dapat mengendalikan gulma
berdaun lebar tetapi tidak mematikan gulma jenis rumput. Pengaruh herbisida ini
dikaitkan dengan induksi hormon auksin yang berlebihan pada tumbuhan,
sehingga dapat menyebabkan berbagai kelainan pertumbuhan pada dikotil mulai
dari epinasti pada daun dan batang, penebalan batang dan akar, klorosis dan
nekrosis hingga berakhir pada kematian (Kelley & Riechers 2007). Herbisida
auksin memiliki gugus cincin aromatik dan karboksilat sebagai bagian asam,
seperti halnya auksin alami, dan umumnya dibagi menjadi empat kelas, yakni

7

asam fenoksi asetat (contohnya, 2,4-D), asam benzoat (contohnya, dikamba),
asam piridin (contohnya, triklopir dan fluroksipir), dan asam karboksilat quinoline
(contohnya, quinclorac dan quinmerac) yang juga memiliki aktivitas seperti
auksin (Grossmann 2010).
Kriteria penting dalam memilih pestisida adalah efektif terhadap gulma
sasaran, mempunyai selektivitas tinggi terhadap tanaman pokok, murah dan aman
terhadap lingkungan termasuk terhadap manusia dan hewan serta persistensinya
pendek sampai medium sehingga tidak merugikan tanaman pada pola tanam
berikutnya, tidak bersifat antagonis bila dicampur dengan herbisida lain dan tahan
terhadap perubahan kondisi cuaca dalam jangka waktu terbatas (Pane & Jatmiko
2009).
Triklopir
Triklopir adalah herbisida sistemik yang bersifat selektif digunakan untuk
mengendalikan herba berdaun lebar di padang rumput dan taman. Herbisida tidak
menimbulkan dampak buruk pada rumput. Triklopir merupakan herbisida auksin
golongan piridin, mematikan gulma berdaun lebar dengan meniru cara kerja
hormon auksin, menyebabkan tanaman tidak terkendali pertumbuhannya. Ada dua
formulasi dasar yakni, trikopir, garam trietilamina dan butoksi etil ester (Gambar
1). Di tanah, kedua formulasi menurunkan ke senyawa induk, asam triklopir.
Degradasi terjadi terutama melalui metabolisme mikroba, fotolisis dan hidrolisis
(Jhonson et al.. 1995). Pada penelitian ini, herbisida yang dipakai mengandung
bahan aktif butoksi etil ester.

asam triklopir

garam trietilamina

butoksi etil ester

Gambar 1 Struktur kimia komponen triklopir
Fluroksipir
Fluroksipir adalah herbisida sistemik golongan auksin yang bersifat selektif.
Herbisida ini biasanya digunakan untuk mengendalikan gulma berdaun lebar dan
gulma berkayu. Aplikasi dilakukan setelah gulma tumbuh pada areal tertentu.
Struktur kimia fluroksipir merupakan meptil ester (Gambar 2) dapat membunuh
gulma baik bekerja sendiri atau dikombinasikan dengan herbisida untuk mengendalikan
gulma (Sanders & Pallet 1987). Pada penelitian ini, bahan aktif herbisida yang dipakai
adalah fluroksipir. Fluroksipir memiliki nama dagang 'Starane 200 EC' dan 'Starane

180 EC '; keduanya formulasi konsentrat yang dapat diemulsikan (EC) yang berisi
masing-masing 200 dan 180 g/L fluroksipir sebagai meptil ester.

8

fluroksipir

meptil ester

Gambar 2 Struktur kimia fluroksipir
Dampak Residu Herbisida pada Tanah
Herbisida di lingkungan diserap oleh beberapa komponen lingkungan
terutama tanah. Dalam aplikasi di lapangan, herbisida akan jatuh dan terakumulasi
serta meninggalkan residu di tanah. Herbisida mengalami proses adsorbsi dan
dekomposisi sampai akhirnya terakumulasi menjadi residu di dalam tanah.
Adsorbsi herbisida ke dalam tanah merupakan proses koloid yang melibatkan
partikel muatan negatif dari tanah dan bahan organik tanah. Proses ini diikuti
desorpsi dengan melepaskan molekul herbisida ke dalam larutan tanah. Adsorbsi
dan desorpsi merupakan suatu bentuk keseimbangan yang mengatur jumlah
herbisida pada koloid tanah dan larutan tanah. Jumlah herbisida teradsorbsi ke
tanah tergantung pada jumlah bahan organik, kelembaban, dan sifat ionisasi setiap
jenis herbisida. Proses terakhir adalah dekomposisi, yakni penghancuran molekul
herbisida dan mengakibatkan herbisida kehilangan aktivitas. Setelah degradasi,
bagian dari struktur molekul bahan aktif herbisida akan terurai menjadi molekul
organik sederhana. Proses degradatif ini selain terjadi di dalam tanah; dapat pula
terjadi di air, udara, tanaman, mikroba dan hewan. Proses degradasi herbisida
digunakan untuk menghitung waktu paruh bahan aktif herbisida. Namun, waktu
paruh herbisida tidak mutlak karena hal itu tergantung pada jenis tanah, suhu, dan
konsentrasi herbisida (Radosevich et al.. 2007).
Dalam praktek sehari-hari, Keputusan Kementerian Pertanian No 39 tahun
2015, menentukan bahwa herbisida yang boleh dipakai di Indonesia tidak boleh
mempunyai waktu paruh lebih dari 90 hari. Residu herbisida di dalam tanah ada
yang bersifat cepat terdegradasi (non-persistent) dan ada yang membutuhkan
waktu lama untuk terdegradasi (persistent). Kebanyakan molekul organik
herbisida bersifat degadable sehingga tidak terakumulasi di dalam tanah, memiliki
waktu paruh berkisar hanya beberapa hari sampai beberapa bulan. Triklopir dan
fluroksipir merupakan herbisida yang cepat terdegradasi. Proses degradasi
herbisida di dalam tanah bisa terjadi melalui fotodegradasi dan dengan bantuan
mikroba di dalam tanah. Beberapa herbisida mengalami reaksi fotokimia saat
terkena sinar matahari, misalnya triklopir. Formulasi asam triklopir, ester dan
garam dari triklopir mudah terdegradasi di bawah sinar matahari. Sebuah studi
dari fotolisis menyebutkan bahwa waktu paruh asam triklopir di tanah di bawah
sinar matahari pertengahan musim panas adalah dua jam (McCall & Gavit 1986).
Selain itu, mikroba merupakan agen utama penyebab degradasi herbisida di
dalam tanah. Struktur molekul organik herbisida dimanfaatkan oleh mikroba
sebagai sumber karbon, nutrisi, dan energi. Dalam proses degradasi tersebut,
mikroba menguraikan bahan aktif herbisida menjadi molekul sederhana. Proses
tersebut dilakukan dengan bantuan enzim yang disekresikan oleh mikroba.

9

Dengan demikian, semakin tinggi populasi mikroba di dalam tanah maka semakin
meningkat proses degradasi herbisida di dalam tanah (Radosevich et al.. 2007).

10

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Savana Bekol Taman Nasional Baluran,
Situbondo, Jawa Timur pada bulan Januari-Maret 2015. Analisis residu herbisida
untuk sampel tanah dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Pasca Panen,
Cimanggu, Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang dijadikan sampel adalah tanah, gulma berdaun lebar, dan
rumput yang tumbuh di Savana Bekol Taman Nasional Baluran serta herbisida
berbahan aktif fluroksipir dan triklopir yang diproduksi oleh PT DOW
Agoscience.
Alat yang digunakan adalah semprotan punggung semi otomatis dengan
tekanan udara 1 kg/cm2 (15-20 psi) merk Solo, nozel T-jet warna biru, oven, dan
perangkat HPLC (High Performance Liquid Chromatogaphy) untuk deteksi residu
herbisida di tanah.
Prosedur Penelitian
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Percobaan
terdiri dari 6 perlakuan dengan masing perlakuan terdiri dari 4 kelompok sebagai
ulangan sehingga terdapat 24 petak percobaan. Perlakuan yang diberikan untuk
petak percobaan terdiri atas:
TA : Triklopir butoksi etil ester (triklopir) 670 g b.a/Ha; setara dengan 1 L/Ha.
TB : Triklopir butoksi etil ester (triklopir) 1340 g b.a/Ha; setara dengan 2 L/Ha.
FA : Fluroksipir 200 g b.a/Ha; setara dengan 1 L/Ha.
FB : Fluroksipir 400 g b.a/Ha; setara dengan 2 L/Ha.
PM : Penyiangan manual, dengan cara mencabut gulma sampai ke akarnya.
K : Kontrol, pembanding tanpa penyiangan dan perlakuan apapun.
Variabel yang diukur meliputi komposisi vegetasi savana sebelum dan
setelah perlakuan herbisida, bobot kering gulma dan rumput total, serta residu
herbisida di tanah.
Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi vegetasi awal dan
akhir di lokasi penelitian. Analisis vegetasi dilakukan pada hari ke 0 sebelum
aplikasi herbisida dan hari ke 28 setelah aplikasi herbisida. Metode yang
digunakan adalah metode purposive random sampling di dalam 24 petak
perlakuan, masing-masing petak berukuran 7 m x 7 m dan pengamatan vegetasi
dilakukan pada petak sampel berbentuk kuadrat berukuran 2 m x 2 m sebanyak
tiga kali pada setiap petak (Djufri 2011). Pengenalan spesies di lapangan mengacu
pada buku Backer & Brink Jr (1965) dan Soerjani et al.. (1987). Kemudian
spesies tersebut dinyatakan dalam Summed Dominance Ratio (SDR) (Numata
1971). Komponen yang dihitung meliputi:

11

Kerapatan (K)

= Jumlah individu suatu spesies (ind/Ha)
Luas seluruh petak

Kerapatan Relatif (KR)

= Kerapatan suatu spesies
x 100%
Kerapatan seluruh spesies

Frekuensi (F)

= Jumlah petak ditemukan suatu spesies x 100%
Jumlah seluruh petak

Frekuensi Relatif (FR)

= Frekuensi suatu spesies
Frekuensi seluruh spesies

Summed Dominance Ratio (SDR)

x 100%

= KR + FR
2

Data SDR dianalisis dengan analisis gerombol untuk menentukan
keragaman komposisi vegetasi saat sebelum dan setelah aplikasi herbisida. Indeks
similaritas (IS) dan indeks desimilaritas (ID) dihitung dengan menggunakan
rumus similaritas Sorensen (Krebs 1978):
Indeks Similaritas (IS)
= 2W
A+B
Keterangan:

W
A
B

= Jumlah jenis yang ada pada kedua lokasi
= Jumlah jenis yang hanya ada di lokasi A
= Jumlah jenis yang hanya ada di lokasi B

Indeks Desimilaritas (ID)

= 1 – IS

Bobot Kering
Sampel spesies gulma dan rumput segar diambil di awal dan akhir penelitian
pada hari ke 28 setelah aplikasi herbisida. Sampel diambil pada petak contoh
ukuran 0.25 m2 di dalam petakan kecil 2 x 2 m2 di semua petak utama ukuran 7 x
7 m2. Gulma dan rumput segar yang ada di dalam petakan tersebut dipotong pada
permukaan tanah lalu dipisahkan antara masing-masing spesies yang berbeda.
Kemudian dimasukkan ke dalam kantong kertas yang telah diberi label dan nama
masing-masing spesies. Selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC
selama ± 24 jam atau sampai bobotnya konstan kemudian ditimbang.
Aplikasi Herbisida
Penyemprotan herbisida dilakukan di awal pengamatan pada hari ke nol.
Herbisida dalam berbagai konsentrasi dilarutkan dalam air setara dengan 500
L/Ha. Masing-masing herbisida dengan konsentrasi tertentu disemprotkan dengan
semprotan punggung semi otomatis kapasitas 10 L dikalibrasikan untuk
menyemprotkan dosis 1 dan 2 L/Ha, dengan lebar tapak semprotan 1.5 meter
(Lampiran 1). Penyemprotan dilakukan dari dosis rendah ke dosis tinggi setelah
alat semprot dicuci.

12

Pengambilan Sampel Tanah
Sampel tanah diambil dua kali, yakni 2 jam setelah aplikasi herbisida saat
hari ke 0 dan hari ke 28. Sampel tanah diambil menggunakan ring sampler dengan
diameter 5 cm dan tinggi ring 5 cm hingga kedalaman 20 cm. Pengambilan
sampel tanah dilakukan pada 5 titik di setiap petak masing-masing perlakuan
kemudian dijadikan satu sampel komposit. Tanah diambil sebanyak 100 g dan
disimpan dalam kantong plastik diberi label dan tanggal, lalu dianalisis di
laboratorium dan dihitung kadar residunya.
Analisis Residu Herbisida
Instrumentasi dan analisis kondisi
Analisis residu herbisida dilakukan menggunakan alat HPLC (High
Performance Liquid Chromatogaphy) merk Varian 940 tahun 2009 dengan PC
integrator pada suhu ruangan 20 oC. Alat ini menggunakan detektor UV-Visible
dan kolom fase diam C18 ukuran 250 x 4.6 mm. Fase gerak dengan asetonitril
80% laju alir 1 mL/menit pada panjang gelombang 254 nm.
Pembuatan Larutan dan Kurva Standar
a. Pembuatan Larutan Standar
Larutan standar yang digunakan adalah larutan yang dibuat dari
bahan aktif fluroksipir dan triklopir. Larutan standar masing-masing bahan
aktif dibuat dengan melarutkan fluroksipir dan triklopir masing-masing
sebanyak 0.05 g ke dalam labu takar 100 mL sampai tanda tera dengan
metanol. Kemudian dihomogenkan dengan vortex hingga larut sehingga
diperoleh larutan stok 500 ppm.
b. Pembuatan Kurva Standar
Masing-masing triklopir dan fluroksipir standar dilarutkan dengan
metanol 80%, kemudian dibuat seri larutan standar triklopir dan fluroksipir
dengan konsentrasi 0.1 ppm, 1 ppm, 2.5 ppm, dan 5 ppm untuk membuat
kurva standar triklopir dan fluroksipir. Larutan disaring dengan membran
filter sartorius PTFE 0.45 µm dan diinjeksikan ke HPLC.
Ekstraksi Tanah
Sampel tanah dikeringanginkan selama satu hari lalu diambil sebanyak 50 g
dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer. Diklorometan dan aseton
ditambahkan ke dalam labu dengan perbandingan 1:1 sebanyak 100 mL,
kemudian dikocok dengan shaker selama 30 menit kecepatan 100 rpm dan
didiamkan semalam. Ekstrak tanah disaring ke dalam labu rotavapor dan
dievaporasi pada suhu 40 oC selama 2 menit.
.
Pemurnian
Hasil ekstrak tanah yang telah dievaporasi kemudian ditambahkan 50 ml
metanol dan disaring dengan kertas saring Whatman 41 yang telah ditambahkan
Florisil dan Na 2 SO 4 anhidrat dan ditampung dalam labu rotavapor. Sampel hasil
pemurnian kemudian diuapkan kembali dengan rotavapor sampai menghasilkan
sisa larutan sebanyak ± 1 mL. Larutan tersebut dimasukkan ke dalam tabung

13

reaksi lalu ditambahkan metanol 60% sampai mencapai volume 10 mL, kemudian
disaring dengan filter membran Sartorius PTFE 0.45 µm dan diinjeksikan ke
HPLC. Residu triklopir terdeteksi pada waktu retensi 5.52 menit dengan luas area
137.5 dan fluroksipir pada waktu retensi 4.53 menit dengan luas area 256.4.
Perhitungan Konsentrasi Residu Herbisida
Konsentrasi residu herbisida ditentukan berdasarkan hasil rekaman yang
tercatat dalam kromatografi. Hasil rekaman berupa kromatogram dengan retention
time dan luas peak area kemudian luas area herbisida dimasukkan ke dalam
persamaan regresi area standar sehingga diketahui konsentrasi residu herbisida
yang dihasilkan.
Perhitungan Laju Penurunan Residu dan Waktu Paruh
Laju penurunan residu dihitung berdasarkan persamaan eksponensial.
Perhitungan penurunan eksponensial tersebut diturunkan dari persamaan sebagai
berikut:
C1
= C 0 .e-rt
ln C 1
= ln C 0 – rt
- ln C 0 + ln C 1 = - rt
r
= ln(C 0 ) – ln(C 1 )
t
waktu paruh dihitung dengaan rumus :
= C 0 .e-rt
= ½ C0
= C 0 .e-rt
= e-rt
= - rt
= ln 0.5
r
keterangan: r = laju degradasi (ppm); C 0 : konsentrasi residu awal (ppm); C 1 :
konsentrasi residu setelah waktu t (ppm); t : waktu pengamatan, t ½ : waktu paruh.
C1
C1
½ C0
½
ln 0.5


Analisis Data
Pengolahan data analisis vegetasi dihitung dengan Summed Dominance
Ratio (SDR) dan dilanjutkan dengan analisis gerombol menggunakan
NTSYS4WIN (UPGMA). Pengolahan data bobot kering gulma dan rumput total,
dan residu herbisida menggunakan metode analisis ragam dengan bantuan
program SAS 9.1. Jika perlakuan menunjukkan pengaruh nyata maka akan
dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) taraf uji α = 5%.

14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Sebelum Aplikasi Herbisida
Pada kondisi awal komponen vegetasi menunjukkan bahwa jumlah jenis
gulma berdaun lebar lebih banyak daripada rumput. Hasil analisis vegetasi pada
awal dan akhir pengamatan disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil analisis
vegetasi awal diketahui bahwa terdapat 23 jenis tumbuhan, yakni 2 jenis rumput
dan 21 jenis gulma berdaun lebar. Vegetasi yang mendominasi area savana adalah
Thespesia lampas (21.70%) dan Calopoginium muconoides (18.82%) yang memiliki
persentase lebih tinggi daripada SDR rumput Brachiaria reptans (12.56%) dan
Schleracne punctata (8.84%). Hal ini menunjukkan bahwa kompoisisi vegetasi

savana pada awal pengamatan sebelum aplikasi herbisida didominasi oleh gulma
berdaun lebar. Kondisi ini menunjukkan bahwa gulma berdaun lebar
mendominasi savana. Kondisi savana pada awal penelitian sudah diserang oleh
gulma berdaun lebar (Gambar 3A). Pada seluruh petak percobaan didominasi oleh
gulma berdaun lebar, sehingga penutupan rumput sudah tergeser oleh gulma
berdaun lebar.
A

B

Gambar 3 Kondisi savana; A. Kondisi savana sebelum aplikasi herbisida; B. Kondisi
savana 28 hari setelah aplikasi herbisida

Hasil perhitungan indeks similaritas (IS) dan Indeks desimilaritas (ID)
seluruh petak perlakuan sebelum aplikasi herbisida disajikan pada Lampiran 2.
Hasil analisis gerombol sebelum perlakuan menunjukkan bahwa seluruh petak
percobaan mempunyai indeks similaritas (IS) >50% (Gambar 4), sehingga
vegetasi di dalam seluruh bakal petak perlakuan secara ekologis dianggap
seragam dan dapat diberikan perlakuan aplikasi herbisida. Menurut Setiadi (2005)
secara ekologi stasiun pengamatan yang mempunyai indeks similaritas yang
tinggi memberikan indikasi bahwa komposisi spesies yang menyusun komunitas
tersebut relatif sama, terutama petak perlakuan yang mencapai nilai IS > 75%.
Kemiripan komposisi vegetasi penyusun komunitas pada petak perlakuan triklopir
670 g b.a/Ha dengan petak perlakuan fluroksipir 400 g b.a/Ha adalah sebesar
96%, dan petak perlakuan penyiangan manual memiliki kemiripan sebesar 89%
dengan kedua petak perlakuan tersebut. Petak kontrol memiliki kemiripan sebesar
82% dengan ketiga petak tersebut. Petak perlakuan triklopir 1340 g b.a/Ha
memiliki kemiripan sebesar 78% dengan keempat petak tersebut dan petak
perlakuan fluroksipir 200 g b.a/Ha memiliki kemiripan sebesar 73% dengan
semua petak perlakuan.

15

Gambar 4 Dendrogam komposisi penyusun komunitas di savana sebelum aplikasi
herbisida di bakal petak perlakuan. Keterangan: TA = Triklopir 670 g
b.a/Ha, TB = Triklopir 1340 g b.a/Ha, FA = Fluroksipir 200 g b.a/Ha,
FB = Fluroksipir 400 g b.a/Ha, PM = Penyiangan gulma secara
manual, K = Kontrol.
Kondisi Setelah Aplikasi Herbisida
Setelah aplikasi herbisida, komposisi vegetasi awal yang didominasi oleh
gulma berdaun lebar sebanyak 78% dan rumput hanya sebesar 22% berubah
menjadi didominasi oleh rumpu