Monitoring Sedimentasi Dan Perubahan Garis Pantai Di Estuari Muara Gembong Bekasi.

MONITORING SEDIMENTASI DAN PERUBAHAN GARIS
PANTAI DI ESTUARI MUARA GEMBONG, BEKASI

HERMANSYAH PUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Monitoring Sedimentasi
dan Perubahan Garis Pantai di Estuari Muara Gembong, Bekasi adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Agustus 2016

Hermansyah Putra
NIM P052114021

2

RINGKASAN

HERMANSYAH PUTRA. Monitoring Sedimentasi dan Perubahan Garis Pantai di
Estuari Muara Gembong Bekasi. Dibimbing oleh Lilik Budi Prasetyo dan Nyoto
Santoso.
Muara Gembong merupakan wilayah hilir DAS Citarum yang terletak di
Kabupaten Bekasi. DAS Citarum termasuk priotas 1 dikarenakan tingkat degradasi
lahan tinggi dan sedimentasi berat. Dampak sedimentasi tinggi dari DAS Citarum
yang bermuara di estuari Muara Gembong mengakibatkan perubahan garis pantai.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisa jenis spektral citra landsat yang memiliki
hubungan terbaik dengan kondisi TDS in situ dan menganalisis perubahan garis
pantai, juga menganalisis tingkat tekanan penduduk terhadap lahan di Muara

Gembong.
Metode pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (data sekunder) dan
pengukuran lapangan (data primer). Analisis data dilakukan secara sistematik yang
diawali dengan konversi atau mengubah data citra dari digital number (DN) menjadi
top of atmosphere (TOA), lalu melakukan composit band, pan sherping, memisahkan
darat, laut, dan mangrove (masking), melakukan validasi koordinat (GCP),
melakukan penajaman citra(color balancing), melakukan digitized on screen,
melakukan pengukuran (measured tools) untuk garis pantai, sedangkan analisis
sedimentasi tahap terakhir, melakukan pemetaan distribusi TDS dengan model
algoritma terpilih.
Hasil penelitian di lapangan, data TDS memiliki nilai K-S 0,133 atau data
terdistribusi normal. Sedangkan hasil analisis hubungan “r” reflectance citra dengan
data lapangan, band 6 memiliki nilai hubungan kuat (positif) sebesar 0,782, lalu
model algoritma yang terpilih atau memiliki nilai koefisien determinasi (R2 )
tertinggi adalah model eksponensial dengan persamaan y = 4E+06e-285,4x dan
RMS error terkecil 3,98.
Perubahan garis pantai di Muara Gembong mengalami kemunduran (abrasi)
dan kemajuan (akresi) di beberapa lokasi pantai. Perubahan garis pantai abrasi terjadi
rata-rata setiap tahun sepanjang 230,89 m/thn sampai 34,95 m/th atau sebesar
202.589 m2/thn sampai 15.911 m2/thn.Perubahan garis pantai yang mengalami akresi

terjadi rata-rata setiap tahun sepanjang 22 sampai 172,39 m/thn atau seluas 7.044 m2
/thn sampai 47.205 m2/thn, Sedangkan hasil kajian tekanan penduduk terhadap lahan,
kecamatan Muara Gembong mengalami tekanan lahan untuk budidaya tambak tinggi
yaitu sebesar 10,6 atau tekanan penduduk d atas 2 (TP > 2).
Kata kunci : akresi, abrasi, penginderaan jauh, sedimentasi

SUMMARY

HERMANSYAH PUTRA Monitoring of sedimentation and shoreline change in
Muara Gembong estuary, Bekasi. Supervised by Lilik Budi Prasetyo and Nyoto
Santoso.
Muara Gembong is a downstream area Citarum Watershed (DAS Citarum),
Citarum is considensed as the first priority one to high land, and degradation and high
sedimentation. The high sedimention rate of DAS Citarum, causes change of
shoreline in Muara Gembong Estuary needs the right of model for monitoring
sedimentation and shoreline change. This research aims to analize landsat image
spectral with the spectral type of the right image for the model and shoerline change
over the last 10 years, also determine the level of population pressure on land in
Muara Gembong in Situ TDS condition, shoreline change and the degree of
population pressure to the land in Muara Gembong.

Methods of data collection was carried through literature review and data
collection obtained through literature study (secondary data observation. data
analysis was carried out systematically preceded by radiometric and field observation
(primary data) calibration. Conversion is done with the aim of changing the image
data from the digital number (DN) to be Top Of Atmosphere (TOA), then conducting
composite band, pan sharping, separating land, sea and mangrove, Ground Control
Point (GCP), color balancing, digitized on screen, measurement of shoreline change,
while the final phase of analysis sedimentation is the mapping sedimentation with the
selected algorithm model.
The results of research in the field, TDS data has a value of K-S 0.133 or
normally distributed data, While the results of the analysis of the relationship "r"
reflectance images with field data, band 6 has a positive correlation value amounted
to 0,782, Then the algorithm model selected or have the highest coefficient of
determination is a model of exponential formula y = 4E+06e-285,4x and the
smallest RMS error of 3.98.
Changes in Muara Gembong shoreline abrasion and accretion experience at
several locations coast. shoreline change experienced an average abrasion along 231
m/year until 35 m/year or by 202.589 m2/year until 15.911 m2/year. Shoreline
change experienced an average an average accretion experience along 22 until 172
m/year or by 7.044 m2 /year until 47.205 m2/year. While the results of the study

population pressure on land, Muara Gembong districts have experienced the pressure
of land for aquaculture higher at 10.6 or above population pressure d 2 (TP> 2).

Keywords : accretion, abrasion, remote sensing, sedimentation

2

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

3

MONITORING SEDIMENTASI DAN PERUBAHAN GARIS
PANTAI DI ESTUARI MUARA GEMBONG


HERMANSYAH PUTRA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

4

Penguji luar komisi pada ujian tesis : Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana,MS

5


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Febuari 2015 ini adalah
pemantauan lingkungan dengan judul “Monitoring Sedimentasi dan Perubahan Garis
Pantai di Estuari Muara Gembong, Bekasi”.
Penelitian ini merupakan syarat dalam menyelesaikan studi pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik
Budi Prasetyo.M.Sc dan dan Dr. Ir. Nyoto Santoso, MS selaku pembimbing dan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku ketua program studi sekaligus penguji luar
komisi pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
Ecih Sukiesih ,SE serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016

Hermansyah Putra


i

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2. TINJAUAN PUSTAKA
3. METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Kondisi Biofisik
Sosial dan Ekonomi
Waktu Penelitian
Bahan dan Alat Penelitian

Prosedur Analisis Data
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Model Pendugaan TDS
Nilai Top Of Atmosphere (TOA)
Analisis Data In Situ TSS dan TDS
Uji Asumsi Klasik
Hasil Analisis Hubungan ( pearson )
Pengembangan Model Pendugaan TDS
Pengujian dan Validasi Data Model
Pemetaan konsentrasi TDS di Muara Gembong
Perubahan Garis Pantai
Perubahan Garis Pantai Abrasi
Perubahan Garis Pantai Akresi
Penggunaan Lahan di Muara Gembong
Tekanan Penduduk Terhadap Lahan di Muara Gembong
5. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

iii

iv
v
1
2
3
3
4
11
11
11
13
14
14
15
25
25
25
26
28
29

31
32
33
34
35
37
40
42
45
45
45

ii

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

46

iii

DAFTAR TABEL

1.

Kecepatan Endapan Beberapa Fraksi Sedimen

7

2.

Jumlah RW dan RT Menurut Desa Di Kecamatan Muara Gembong

13

3.

Sensor Satelit Landsat 8

14

4.

Data Akuisisi Citra Landsat

15

5.

Bentuk Persamaan Model Regresi

20

6.

Hasil Nilai DN ke Nilai TOA pada data landsat-8

25

7.

Data Hasil Pengukuran In situ Ekosistem Estuari Muara Gembong

26

8.

Uji Asumsi Klasik

28

9.

Nilai korelasi antar Variabel

30

10. Algoritma Pendugaan TDS pada Reflektansi Citra Akuisisi Januari

31

11. Hasil Uji –t TDS in situ dengan TDS hasil pendugaan

32

12. Analisis Jarak Perubahan Garis Pantai Abrasi

36

13. Hasil Perubahan Luas Abrasi

37

14. Analisis Jarak Perubahan Garis Pantai Akresi

38

15. Hasil Perubahan Garis Pantai Luas Akresi

39

16. Luas Hutan Mangrove di Muara Gembong

40

17. Populasi Penduduk dalam Sepuluh Tahun Terakhir

42

18. Kebutuhan Lahan untuk Tambak

43

iv

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.

Diagram Alir Kerangka Berfikir
Estuari Tercampur Sempurna (Tomczak,1998)
Estuari Stratifikasi Sebagian (Tomczak,1998)
Estuari Stratifikasi Tinggi (Tomezak,1998)
Lokasi Penelitian Monitoring Sedimentasi dan Perubahan Garis Pantai
Data citra landsat tahun (a) 2005, (b) 2007, (c) 2009, (d) 2011,
(e) 2013, dan (f) 2015
Diagram Alir Penelitian
Citra Landsat 8 dengan (a) sebelum koreksi TOA dan (b) setelah
Koreksi TOA
Lokasi Plot Pengukuran TDS / TSS
Uji Normalitas TDS
Scatterplot Uji Heteroskedastisitas
Scatterplot antara TDS dengan TOA
Scatterplot antara TDS dengan TOA
Hubungan TOA (band 6) dengan TDS In Situ
Selang Wilayah Penerimaan atau Penolakan Hipotesis
Sebaran Konsentrasi TDS di Muara Gembong
Perubahan luas garis pantai tahun 2005 dengan (a) 2007, (b) 2009,
(c) 2011, (d) 2013, (e) 2015, (f) Gabungan
Perubahan Garis Pantai dari tahun 2005 sampai 2015
Perubahan Jarak Garis Pantai Per Tahun
Perubahan Luas Garis Pantai Per Tahun
Perubahan Jarak Garis Pantai Setiap Tahun Akresi
Perubahan Luas Garis Pantai Setiap Tahun
Kondisi hutan mangrove di Muara Gembong dalam periode 10 tahun
Hutan mangrove mengalami penurunan di lokasi abrasi
Penggunaan lahan Muara Gembong tahun 2015
Populasi Penduduk di Muara Gembong Periode 10 Tahun
Kebutuhan Lahan Tambak di Muara Gembong dalam Periode
Tahun 2005-2015

3
5
5
6
13
16
19
25
28
29
29
30
31
32
33
33
35
35
36
37
39
39
41
42
42
43
43

v

DAFTAR LAMPIRAN

1.
2.
3.
4.
5.

Hasil Analisis TSS dan Laboratorium ProLing IPB
Analisis Model Terpilih
Analisis Validasi dengan Exsponensial
Analisis Uji-T
Kondisi penggunaan lahan di Muara Gembong

48
52
53
54
55

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan garis pantai dipengaruhi berbagai macam faktor baik faktor dari
alam maupun manusia. Faktor dari alam antara lain sedimentasi, erosi pantai,
gelombang, sedangkan faktor dari manusia seperti penggalian, aktifitas manusia yang
menyebabkan sedimentasi pantai dan laut, reklamasi (pengurugan pantai),
perlindungan pantai (shore protection), penggundulan dan penanaman hutan pantai,
pengaturan pola aliran sungai (Bird and Ongkosongo, 1980)
Menurut Triatmodjo (1999) transpor sedimen sepanjang pantai merupakan
penyebab utama terjadinya perubahan garis pantai. Perubahan garis pantai pada
dasarnya meliputi proses abrasi dan akresi (sedimentasi) yang dapat terjadi secara
alami karena faktor alam dan manusia. Akresi dan abrasi yang terjadi disertai dengan
maju dan mundurnya garis pantai. Akibat pengaruh transpor sedimen sepanjang
pantai, sedimen dapat terangkut sampai jauh dan menyebabkan perubahan garis
pantai.
Menurut Nybakken (1992) sedimen yang berasal dari daratan, dan masuk
kedalam aliran sungai serta dibawa ke laut melalui estuari, juga akan menyebabkan
terjadinya perubahan bentuk garis pantai. Akumulasi lumpur yang mengendap dan
terperangkap vegetasi bakau selama bertahun-tahun akan menyebabkan timbulnya
daratan. Tinggi sedimentasi dari darat bersumber dari daerah aliran sungai (DAS)
Citarum.
DAS Citarum masuk prioritas I dikarenakan tingkat degradasi DAS kategori
berat. Adapun permasalahan yang ada di DAS Citarum yaitu di wilayah hulu DAS
Citarum sangat Kritis ditinjau dari nilai koefesien aliran dan indeks muatan sedimen
serta erosi aktual 95,29 ton/ha/thn dan daerah banjir setiap tahun di sekitar wilayah
Bandung, Bekasi dan Karawang dengan ketinggian 0,5 – 3 meter lalu pencemaran
BOD di sungai Citarum hulu 239.980 kg/hari dan telah di atas baku mutu, kemudian
wilayah DAS Citarum diperparah dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar ±
2%/tahun dan luas lahan kritis DAS Citarum sebesar 125.692,20 Ha. (BP DAS
Citarum – Ciliwung, 1999)
Perubahan bentuk garis pantai akibat sedimentasi (akresi) menimbulkan
masalah, antara lain meluasnya areal lahan, pendangkalan pelabuhan, pendangkalan
pada mulut muara yang dapat mengakibatkan banjir di sekitar muara pada waktu
debit air dari sungai tinggi atau terjadi banjir di hulu sungai. Selain itu, perubahan
bentuk garis pantai disebabkan juga oleh adanya abrasi pantai. Abrasi yang terjadi
lebih disebabkan oleh faktor manusia, peningkatan jumlah populasi manusia dan
penggunaan lahan yang semakin intensif dan berkembang untuk lahan pertanian (Bird
and Ongkosongso, 1980).
Dampak abrasi terhadap ekologi dan sosial masyarakat dirasakan di Wilayah
Pesisir Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Kecamatan Muara Gembong
merupakan wilayah pesisir yang banyak mengalami perubahan penggunaan lahan,

2

terutama konversi hutan mangrove menjadi tambak. Perubahan lahan yang tidak
memperhatikan keseimbangan lingkungan di pesisir Pantai Muara Gembong
mengakibatkan berkurangnya hutan mangrove pada tiga desa, yakni Desa Pantai
Bahagia, Desa Pantai Mekar dan Desa Pantai Sederhana (Alimuddin, 2015).
Menurut Susianti el al (2010) data penginderaan jauh tidak hanya dipakai untuk
data atau inventarisasi saja tapi sekaligus untuk fungsi pemantauan. Hal ini
dimungkinkan karena satelit merupakan salah satu sistem penginderaan jauh yang
sudah dikembangkan landsat TM, ETM dan OLI. Penginderaan jauh sistem satelit
sering digunakan dalam berbagai penelitian karena disamping kemampuan
multispektral dari sensornya, juga karena begitu pesat perkembangan pengolahan dan
analisis datanya. Data digital Landsat memiliki resolusi spasial 30 m x 30 m landsat
TM, ETM sedangkan Landsat OLI sampai 15 m x 15 m juga data landsat tersedia
real time, cepat, multi temporal, multi spektral, multi spasial, dan berkelanjutan.
Sehingga data Landsat dengan pendekatan penginderaan jauh bisa menjawab kondisi
perubahan garis pantai secara optimalisasi baik faktor alami dalam hal ini sedimentasi
dan faktor manusia.
Perumusan Permasalahan
Perubahan garis pantai di pesisir Muara Gembong mengalami peningkatan
dalam jangka sepuluh tahun terakhir. Peningkatan perubahan garis pantai di pesisir
Muara Gembong salah satu sebabnya adalah sedimentasi. Peningkatan distribusi
sedimentasi di pesisir Muara Gembong merupakan hasil limpasan sedimentasi dari
hulu DAS Citarum.
Menjadi penting untuk mengetahui seberapa besar tingkat perubahan garis
pantai di pesisir Muara Gembong pada saat ini. Hal ini juga berhubungan dengan
kondisi tingkat distribusi sedimentasi di estuari Muara Gembong. Sehingga
diperlukan model monitoring yang paling baik untuk memberikan informasi kondisi
distribusi sedimentasi di estuari dan tingkat optimalisasi perubahan garis pantai di
pesisir Muara Gembong dalam waktu sepuluh tahun terakhir. Mengingat perubahan
garis pantai di pesisir Muara Gembong terjadi oleh faktor sedimentasi (alam) dari
DAS Citarum dan manusia disekitar pesisir yang mengalami peningkatan kebutuhan
lahan untuk budidaya tambak..
Dengan uraian permasalahan di atas, perumusan masalah disajikan pada
Gambar 1, adapun yang menjadi permasalahan adalah
a. Bagaimana gambaran optimalisasi perubahan garis pantai akibat distribusi
sedimentasi di Muara Gembong
b. Jenis data spektral citra landsat mana yang terbaik yang dapat digunakan dalam
melakukan monitoring Total Dissolve Solid (TDS) di estuari Muara Gembong
c. Bagaimana tekanan dan ketergantungan penduduk terhadap lahan di Muara
Gembong

3
PERMASALAHAN
WILAYAH HULUH DAS
CITARUM

PENDEKATAN

OUTPUT

WILAYAH HILIR DAS CITARUM

WILAYAH PESISIR

PENGINDERAAN JAUH
( REMOTE SENING)

TINGKAT TEKANAN
TERHADAP LAHAN
PESISIR

SEDIMENTAI
PERSAMAAN MODEL
SEDIMENTASI

ALIFUNGSI
LAHAN

BIOFISIK
BIOFISIK

Perubahan Garis
Pantai

MODEL SPASIAL
MONITORING

TINGKAT
DISTRIBUSI
SEDIMENTAI

TINGKAT OPTIMALIASI
PERUBAHAN
GARIS PANTAI

GARIS TRANSEK
( AKRESI PANTAI)

HABITA MANGROVE
SEDIMENTASI
SEDIMENTASI

POLA PERTANIAN
DAN BUDIDAYA
INTENSIF

SOSIAL
SOSIAL

TEKANAN TERHADAP LAHAN
KETERGANTUNGAN TERHADAP
LAHAN

Gambar 1
1.
2.
3.

TINGKAT
KETERGANTUNGAN
TERHADAP LAHAN
PESISIR

ZONA
ZONAESTUARI
ESTUARI

SISTEM INFORMASI
GIOGRAFIS
(SIG)

Diagram Alir Kerangka Berfikir

Tujuan Penelitian
Menganalisa jenis spektral citra landsat yang memiliki hubungan terbaik dengan
kondisi in situ dalam memonitoring sedimentasi (TDS)
Menganalisis perubahan garis pantai akibat distribusi sedimentasi
di Muara Gembong
Menganalisis tingkat tekanan penduduk terhadap lahan di Muara Gembong

Manfaat Penelitian
Penelitian analisis spasial memberikan salah satu teknik alternatif yang dapat
digunakan untuk memonitor sedimentasi di estuari yang bersumber dari limpasan
sedimentasi dari DAS Citarum dan perubahan garis pantai. Salah satu kelebihan
analisis spasial adalah dapat menduga (estimasi) nilai dan sebaran sedimentasi dan
jarak perubahan garis pantai dengan pendekatan penginderaan jauh ( remote sensing).

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Estuari
Menurut Dyer (1979) estuari adalah suatu perairan tempat pertemuan air tawar
dengan air laut yang mengakibatkan adanya gradient salinitas di sepanjang badan
estuari mulai dari sepenuhnya air laut (33 – 37 ppt) di bagian mulut sampai dengan
sepenuhnya air tawar pada bagian hulu. Percampuran akan terjadi bila kedua massa
air tersebut bersentuhan, air tawar akan terapung di atas air laut karena densitas air
tawar lebih ringan dibandingkan densitas air laut. Densitas air laut dipengaruhi oleh
salinitas dan temperatur, tetapi di estuari, peranan salinitas dalam perubahan densitas
lebih dominan dibandingkan dengan temperatur. Hal ini disebabkan karena dua
alasan, yaitu kisaran salinitas yang lebih lebar dibandingkan dengan kisaran
temperatur dan perairan yang relatif dangkal.
Menurut Elliot et al (1984) perairan estuari terdapat tiga gaya hidrolik yang
mempengaruhi tingkat percampuran dan pola sirkulasi air, yaitu: Adanya aliran dua
arah sebagai hasil interaksi antara aliran air tawar dan pergerakan pasang surut air
laut. Perbedaan densitas antara air yang masuk ke estuari dengan air yang keluar ke
estuari secara periodik. Adanya gaya coriolis menyebabkan terjadi perubahan bentuk
muara sungai yang cenderung melebar dan perubahan pola sirkulasi air.
Dari ketiga gaya tersebut, sirkulasi dan tingkat percampuran antara air tawar
dan air laut akan membentuk stratifikasi salinitas. Stratifikasi menyebabkan
terbentuk distribusi salinitas yang dalam hal ini tergantung atas beberapa faktor,
antara lain; Pasang surut air laut. Pasang surut merupakan suatu gaya eksternal utama
yang membangkitkan pergerakan massa air serta perilaku perubahan tinggi muka air
secara periodik pada daerah estuari. Ketika pasang surut terjadi, seluruh massa air di
estuari bergerak karah hulu dan ke laut dalam periode tertentu. Adanya arus pesut
menyebabkan terjadi gesekan antara massa air dengan dasar estuari yang
menghasilkan pergolakan. Pergolakan ini memiliki kecenderungan untuk mencampur
kolom air dengan lebih efektif.
Perubahan debit air sungai. Debit air sungai akan berubah secara musiman
antara maksimum dan minimum. Perubahan debit air sungai tersebut menjadi penentu
derajat percampuran antara air laut dan air tawar. Arus dan gelombang. Arus air pada
perairan estuari berasal dari arus air sungai akibat perbedaan topografi dan arus air
laut yang dipengaruhi oleh pasang surut, angin dan gelombang.
Menurut Tomczak (1998) klasifikasi sirkulasi air dan pola stratifikasi di estuari
ada 4 tipe yaitu:
a)
Estuari yang tercampur secara vertikal atau sempurna (Vertically mixed
estuary), biasanya dangkal dan airnya bercampur secara vertikal sehingga
massa airnya menjadi homogen dari permukaan sampai ke dasar estuari.
Salinitas meningkat dengan jarak sepanjang estuari dari hulu sampai kemulut
atau hilir. Pada tipe estuari tercampur sempurna, energi pesut lebih besar
daripada debit sungai dang mengakibatkan suatu proses pengadukan dan

5

percampuran yang sangat efektif. Airnya bercampur secara vertikal. Gambar 2
dibawah ini menunjukkan bagaimana estuari yang tercampur secara vertikal
atau sempurna.

b)

c)

Gambar 2
Estuari Tercampur Sempurna (Tomczak,1998)
Estuari stratifikasi sebagian (Partially stratified estuary) terjadi pada suatu
wilayah yang mempunyai debit sungai lebih kecil atau setara dengan energi
pesut seperti tersaji pada Gambar 3. Energi pasang akan menstimulir terjadinya
pengadukan dan percampuran kedua massa air sungai dan laut estuari. Tipe
estuari tercampur sebagian mempunyai sifat antara lain: salinitas meningkat
dari kepala sampai mulut pada semua kedalaman, massa air masing-masing
berada pada 2 lapisan, dimana lapisan atas salinitasnya sedikit lebih rendah
dibandingkan dengan yang lebih dalam serta tidak terbentuk gradients densitas.
Pada tipe ini ada jaringan masuk mengalir di lapisan yang lebih dalam.

Gambar 3
Estuari Stratifikasi Sebagian (Tomczak,1998)
Estuari stratifikasi tinggi (Highly stratified estuary), lapisan atas salinitas
meningkat dari dekat nol pada sungai sampai mendekati di luar mulut perairan
yang lebih dalam. Pada estuari ini ada halocline diantara perairan atas dan
bawah khususnya di bagian kepala estuari. Gambar 4 di bawah ini
memperlihatkan kondisi estuari berstratifikasi tinggi.

6

Gambar 4
Estuari Stratifikasi Tinggi (Tomezak,1998)
d)
Estuari Baji Garam (Salt wedge), air bersalinitas tinggi menyusup dari laut
seperti baji di bawah air sungai. Estuari baji garam mempunyai penampakan
yang hampir sama dengan estuari stratifikasi sedang dan tinggi. Ada gradient
horisontal dari salinitas didasar seperti pada partially stratified estuary dan
sebuah gradien salinitas vertikal yang tegas pada high stratied estuari. Tipe
estuari baji garam umumnya terjadi di wilayah yang mempunyai aliran air
sungai yang lebih dominan dari pada energi pesut, sehingga sirkulasi masa air
didominasi oleh energi massa air yang masuk dari sungai dan mengakibatkan
terbentuk gradient densitas nyata pada batas pertemuan massa air sungai dan
massa air laut yang disebut baji garam. Adanya gradient densitas menyebabkan
proses pengadukan dan percampuran kurang efektif .
Sedimentasi
Estuari merupakan tempat bertemunya arus sungai menuju ke laut dan arus
pasang surut air laut yang menuju sungai. Kedua aktivitas ini menyebabkan proses
sedimentasi di Estuari juga semakin efektif, baik sedimen dari laut maupun sedimen
dari sungai.
Menurut Supriharyono (2000) proses sedimentasi ditentukan oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah kecepatan arus sungai, kondisi dasar sungai, turbulensi,
dan diameter sedimen berdiameter 104 m akan tererosi oleh arus dengan kecepatan
150 cm/dt, dan terbawa arus pada kecepatan antara 90 – 150 cm/dt, dan akan
mengendap pada kecepatan arus < 90 cm/dt . Untuk sedimen yang halus atau dengan
ukuran diameter 102 m, akan tererosi pada kecepatan arus > 30 cm/dt dan
terendapkan pada kecepatan < 15 cm/dt.
Menurut Supriharyono (2000) kondisi seperti tersebut di atas, maka di estuari,
seluruh ukuran partikel sedimen akan mengalami erosi dan terbawa arus Apabila arus
melemah, maka sedimen berukuran besar seperti pasir, akan mengendap terlebih
dahulu, sedangkan sedimen yang berukuran kecil seperti clay atau lempung masih
terbawa oleh arus. Partikel halus ini akan mengendap setelah arus sudah cukup lemah
dan akan mengendap di tengah estuari.
Menurut King (1976) laju sedimentasi tergantung pada ukuran partikel dan
sedimen yang terbawa sampai ke daerah estuari berada dalam bentuk suspensi dan
berukuran kecil. Partikel-partikel itu umumnya berdiameter < 2 m, dan merupakan

7

komposisi dari clay mineral, yaitu illite, kaolinite, dan montmorilonit, yang
bersumber dari sungai. Semakin kecil diameter partikel, maka akan semakin sulit
untuk mengendap. Pasir dan pasir kasar mengendap secara cepat diperairan. Sedimen
ini dapat mengendap dalam satu siklus pasang, sementara sedimen yang lebih halus
seperti silt dan clay, kecepatan endapnya sangat lambat, tidak dapat mengendap
dalam satu siklus pasang. Tabel 1 berikut memperlihatkan beberapa tipe sedimen
dengan laju kecepatan endapnya.
Tabel 1
Kecepatan Endapan Beberapa Fraksi Sedimen
Fraksi Sedimen
Diameter (um)
Kecepatan Endap (cm/dt)
62 – 250
0,3484 – 1,2037
Pasir
31,2 - 3,9
0,0870 – 0,0014
Lumpur
1,95 - 0,12
3,47 x10-4 – 1,16x10-6
Lempung (clay)
Material padatan tersuspensi dalam air laut berasal dari ;
a)

Sungai
Material ini berasal dari pelarutan batuan (seperti kwarsa, mineral lempung),
bahan-bahan organik di daratan (contoh sisa-sisa tanaman, material humus) dan
berbagai macam polutan (sewage).
b) Atmosfer
Bahan pencemar di udara yang melayang sebagai debu
c) Laut
Berasal dari komponen biogeneus yang berasal dari organisme laut (skeletal
debris/tulang, mineral organik) dan komponen anorganik (berasal dari sedimen
maupun yang terbentuk dalam kolom air laut itu sendiri).
d) Estuari itu Sendiri
Material ini merupakan hasil dari proses yang terjadi di estuari, diantaranya
adalah; penggumpalan, presipitasi, dan adanya proses produksi biologi yang
menghasilkan material organik.
Penginderaan Jauh (Remote Sensing)
Penginderaan jauh merupakan cara memperoleh informasi atau pengukuran dari
objek dengan menggunakan alat pencatat, tanpa ada hubungan langsung dengan objek
tersebut. Sistem ini didasarkan pada prinsip pemanfaatan gelombang elektromagnetik
yang dipantulkan dan dipancarkan oleh objek. Alat penginderaan jauh ditempatkan
pada suatu wahana yang dioperasikan pada suatu ketinggian tertentu yang disebut
sebagai platform. Ketinggian platform tersebut dapat berupa ketinggian pesawat
terbang, balon udara atau satelit (Sutanto, 1986).
Sistem penginderaan jauh dengan menggunakan satelit sangat menguntungkan,
karena wilayah yang sangat luas dan sulit dijangkau dapat diliput. Keuntungan ini
dapat dirasakan bagi negara-negara dengan wilayah yang sangat luas seperti
Indonesia, selain itu perekaman data penginderaan jauh dari satelit dapat berlangsung
secara terus-menerus selama waktu tertentu, peliputan suatu lokasi tertentu di
permukaan bumi dapat dilakukan berulang-ulang dengan periode tertentu. Oleh

8

karena itu data penginderaan jauh dari satelit dapat digunakan untuk memantau suatu
daerah.
Pengamatan muka bumi, samudera, atmosfer dan interaksi ketiganya dengan
satelit berlangsung secara kontinyu, cepat dan selalu dapat diperbaharui dengan
segera. Jenis satelit pada dasarnya ada 5 yaitu satelit sumberdaya alam dan
lingkungan (contohnya LANDSAT); satelit meteorologi (contohnya METEOSAT);
satelit navigasi (contohnya NAVSTAR); satelit mata-mata (spy) yang namanya
sangat dirahasiakan, dan satelit komunikasi (contohnya PALAPA) (Susilo dan Gaol,
2008). Pada masa sekarang ini pemerintah Indonesia telah memanfaatkan sistem
penginderaan jauh. Sistem ini telah banyak digunakan sebagai salah satu sarana
penelitian oleh para peneliti untuk tujuan tertentu, misalnya memantau perkembangan
suatu daerah, penentuan daerah penangkapan ikan dan lain sebagainya.
Berdasarkan sifat sensor, citra dan aplikasinya, maka pemanfaatan
penginderaan jauh sangat membantu dalam penelitian kelautan yang mencakup
wilayah pesisir karena kenampakan dan gejala yang terjadi di kedua wilayah tersebut
terjadi dengan sangat cepat dan memerlukan pengamatan yang terus menerus.
Penginderaan jauh dari satelit mampu menjangkau daerah yang cukup luas, daerahdaerah terpencil serta dapat diperoleh dalam periode waktu tertentu, sehingga data
tersebut dapat digunakan untuk kebutuhan pemantauan yang efisien dalam rangka
pengelolaan sumberdaya di perairan dan lahan pantai. Proses alami di wilayah pesisir
yang dapat dikenali dari data penginderaan jauh adalah akresi pantai, perubahan
muara sungai, pendangkalan perairan, kekeruhan air di sekitar muara sungai, erosi
pantai dan pembentukan dune (Purwadhi, 1990).
Penelitian mengenai perubahan daratan pantai telah banyak dilakukan oleh para
ahli dengan beberapa metode, seperti pengukuran langsung di lapangan atau dengan
cara mengumpulkan pustaka-pustaka yang ada, sedangkan pemanfaatan sistem
penginderaan jauh masih sedikit diterapkan. Salah satu data penginderaan jauh dari
satelit yang dapat digunakan untuk melihat perubahan garis pantai adalah data
penginderaan jauh satelit Landsat 7 ETM+ (Purwadhi, 1990).
Radiasi Gelombang Elektromagnetik
Media yang sangat penting dalam penginderaan jauh adalah gelombang
elektromagnetik. Sebagian energi gelombang elektromagnetik yang mencapai
permukaan bumi akan diserap oleh obyek dan sebagian lagi akan dipancarkan dan
dipantulkan hingga mencapai sensor yang dipasang pada satelit, pesawat terbang,
atau wahana lainnya (Sutanto, 1986).
Energi elektromagnetik tidak dapat diamati oleh mata, kecuali energi tersebut
berinteraksi dengan benda (debu, uap air, benda lain di atmosfir atau di permukaan
bumi). Pada saat mengenai obyek, energi akan mengalami interaksi-interaksi seperti
dipantulkan, diserap atau mengalami transmisi. Dalam teknik penginderaan jauh
terdapat empat komponen penting yaitu sumber energi, obyek (target), sensor dan
atmosfir. Matahari merupakan sumber utama energi elektromagnetik. Matahari
memancarkan energi elektromagnetik ke segala arah, sebagian dari energi
elektromagnetik itu mencapai bumi dengan cara radiasi.

9

Menurut Sutanto (1986), jumlah energi matahari yang mencapai bumi di
pengaruhi oleh waktu, lokasi dan kondisi cuaca. Matahari sebagai sumber energi
memancarkan gelombang elektromagnetik ke permukaan bumi. Gelombang ini akan
di pengaruhi oleh lapisan atmosfir. Sifat dari partikel-partikel yang terdapat di lapisan
atmosfir akan menyerap dan menghamburkan gelombang-gelombang tersebut pada
panjang gelombang tertentu.
Dalam mekanisme penginderaan, pantulan gelombang elektromagnetik yang
datang dari obyek diterima dan direkam oleh sensor. Sensor ini dipasang pada
ketinggian tertentu. Makin tinggi letak sensor, maka areal yang terliput akan semakin
luas tetapi data yang di peroleh kurang detail. Sebaliknya semakin rendah letak sensor
maka data yang dihasilkan menjadi lebih detail namun cakupannya menjadi lebih
sempit (Sutanto,1986)
Karakteristik Landsat
Satelit Landsat pada mulanya disebut ERTS (Earth Resources Technology
Satellite), kemudian namanya diubah kembali menjadi Landsat pada Tahun 1974.
Ada tujuh satelit Landsat yang diluncurkan. Landsat 1 diluncurkan tanggal 22 Juli
1972 yang dihentikan pengoperasiannya pada tanggal 6 Januari 1978. Landsat 2 yang
diluncurkan pada tanggal 22 Januari 1975, kemudian pengoperasiannya dihentikan
pada tanggal 22 Januari 1980, kemudian dikembalikan kembali ke bumi pada tanggal
21 Juni 1980 atas dasar stabilisasi magnetiknya; Landsat 3 diluncurkan pada tanggal
3 Maret 1978, kemudian dikembangkan masalah di dalam sensor MSS pada bulan
Agustus 1978 untuk mengatasi masalah keterlambatan pengiriman sinyal ke bumi
(Purwadhi, 2001).
Sistem Landsat generasi pertama (Landsat 1, Landsat 2, dan Landsat 3)
didesain untuk membuat pengamatan secara otomatis menggunakan satelit sistem
kamera RBV (Return Beam Vidicon) dan MSS (Multi Spektral Scanner). Sistem RBV
pada Landsat 1 dan 2 dioperasikan dengan 3 kamera pengatur cahaya yang terpisah,
masing-masing band memiliki nilai spektral berbeda dalam selang 0,48- 0,83 m.
Sistem RBV Landsat 3 telah diubah menjadi 2 kamera, Pankromatik RBV yang
dioperasikan dalam selang 0,51-0,75 m. Kamera ini menghasilkan 2 bagian citra
dengan mencakup permukaan bumi kira-kira 183 x 98 km. Sistem RBV
menggunakan fokus sepanjang 25 cm didapatkan resolusi bumi kira-kira 30m.
Stasiun satelit Landsat dioperasikan dekat orbit Sun-Synchronous dekat kutub
orbit dengan ketinggian 915 km. Satelit Landsat mengelilingi bumi setiap 103 menit,
mencapai 14 orbit per hari dan memperlihatkan permukaan bumi secara keseluruhan
setiap 18 hari. Orbit dari satelit telah dipilih sehingga satelit bumi tersebut dapat
mengulang peliputan wilayah di bumi pada waktu setempat yang sama pada setiap
periode 18 hari dengan jarak 37 km dari orbit sebelumnya (Purwadhi, 2001 ).
Perubahan Garis Pantai
Perubahan garis pantai terjadi akibat dari dua proses yaitu akresi dan abrasi.
Akresi adalah kondisi semakin majunya pantai karena penambahan materi dari hasil
endapan sungai. Sedangkan abrasi adalah kerusakan pantai yang mengakibatkan
semakin mundurnya pantai karena kegiatan laut (Pardjama,1977 dalam Permono
199).

10

Perubahan garis pantai pada dasarnya meliputi proses abrasi dan akresi
(sedimentasi) yang dapat terjadi secara alami karena faktor alam. Akresi dan abrasi
yang terjadi disertai dengan maju dan mundurnya garis pantai. Perubahan garis pantai
tersebut dapat diprediksi dengan membuat model matematik yang didasarkan pada
keseimbangan sedimen pantai yang ditinjau. Akibat pengaruh transpor sedimen
sepanjang pantai, sedimen dapat terangkut sampai jauh dan menyebabkan perubahan
garis pantai. Proses pengembalian garis pantai pada kondisi semula memerlukan
waktu cukup lama. Bahkan apabila gelombang dari satu arah lebih dominan daripada
gelombang dari arah yang lain, sulit untuk mengembalikan garis pantai pada posisi
semula. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa transpor
sedimen sepanjang pantai merupakan penyebab utama terjadinya perubahan garis
pantai (Triatmodjo, 1999).
Berdasarkan alasan tersebut maka dalam model perubahan garis pantai ini
hanya memperhitungkan transpor sedimen sepanjang pantai. Transpor sedimen lain
yang diberikan dalam keseimbangan sedimen pantai tidak diperhitungkan dalam
pemodelan perubahan garis pantai ini. Pendekatan umum untuk membangun model
komputer perubahan garis pantai hampir serupa dengan model komputer aliran air.
Persamaan kontinuitas untuk air digantikan dengan hubungan kontinuitas untuk
pasir/sedimen sehingga menjaga arah volume atau massa pasir total dan memastikan
bahwa tidak ada penambahan atau Pada model, pantai dibagi menjadi sejumlah sel
(ruas). Pada tiap sel ditinjau angkutan sedimen yang masuk dan keluar. Sesuai dengan
hukum kekekalan massa, jumlah laju aliran massa netto di dalam sel adalah sama
dengan laju perubahan massa di dalam sel tiap satuan waktu (Triatmodjo, 1999).
Menurut Triwahyuni et al. (2010) juga memperoleh hasil model dan hasil citra
tidak sama pada daerah yang terdapat sungai dan intervensi manusia. Hal tersebut
terjadi karena faktor masukan sedimen dari sungai dan intervensi manusia tidak
diperhitungkan dalam model.
Menurut Dewi (2011) telah membuat model transformasi gelombang dari laut
dalam menuju ke pantai serta perubahan garis pantai di pantai Teritip hingga
Ambarawang. Bentuk garis pantai model cenderung mengikuti bentuk garis pantai
awal (garis pantai citra Landsat tahun 2000). Perbandingan hasil model dengan hasil
citra Landsat tahun 2007 memperlihatkan bentuk garis pantai yang mirip.

11

3 METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Kawasan Hutan Gembong memiliki luas + 5.311,15 Ha. Kawasan hutan ini
membentang di sepanjang pantai Ujung Kerawang (Muara Gembong) yang terletak di
Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Secara
geografis terletak antara 107o 00’ 00’’ BT sampai 107o 06’ 00’’ BT dan 5o 55’ 00’’
LS sampai 6o 05’ 30’’ LS. Secara administratif, kawasan ini berbatasan denganμ
Utara : Laut Jawa.
Timur : Kabupaten kerawang.
Selatan : Kota Bekasi, Kecamatan Tambun.
Barat : DKI Jakarta.
Secara administrasi kehutanan, kawasan ini termasuk di dalam BKPH Ujung
Kerawang, KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Adapun
letak lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5.
Kondisi Biofisik
Sejarah Penggunaan Lahan di Muara Gembong
Konversi lahan di Muara Gembong telah terjadi sebelum terbit surat Keputusan
Menteri Kehutanan SK.475/Menhut-II/2005 tanggal 16 Desember 2005 yang
mengubah fungsi kawasan dari hutan lindung menjadi hutan produksi tetap seluas
5.170 hektar. Surat Keputusan Menteri Kehutanan ini terbit atas usulan Bupati
Bekasi. Kalau dari sejarahnya, hutan lindung Muara Gembong berawal dari tanah
negara bebas pada tahun 1949. Bupati Bekasi kemudian menyerahkan tanah seluas
9.311 ha tersebut kepada Kepala Dinas Kehutanan Jakarta Raya. Menteri Pertanian
Kemudia menetapkan lahan eks partikelir Cabangbungin, Pondok Tengah, Babakan,
Pangkalan, dan Terusan sebagai hutan tetap seluas 9.311 ha. Berita Tata Batas
(BATB) kelompok hutan Ujung Karawang KPH Bogor dibuat tanggal 2 Febuari 1957
dan disahkan 31 Mei 1957 seluas 10.481,1 ha. Pemerintah kemudis menambah
kawasan hutan tersebut seluar 1.123 ha karena ada tanah timbul (beting)
(Forestian, 2011)
Kondisi penutupan lahan Kawasan Hutan Lindung Ujung Kerawang (Muara
Gembong) berdasarkan Citra Ikonos Tahun 2002 adalah bakau 682,10 ha (6,51%),
semak/rumput/rawa 2.703,96 ha (25,80 %), tambak/empang 4.709,59 ha (44,93 %),
sawah 1.116,98 (10,65 %), ladang/kebun 428,60 ha (4,09 %), tegalan 547,61 ha (5,23
%), dan pemukiman/perkampungan 292,31 ha (2,79 %) (Forestian, 2011)
Kondisi Hutan Mangrove
Menurut Forestian (2011) kawasan pesisir pantai hutan mangrove Muara
Gembong ditemukan jenis tumbuhan mangrove sejati terdiri dari 23 jenis yang
didominasi oleh Api-api (Avicennia spp.), Bakau (Rhizophora spp.), Pedada
(Sonneratia caseolaris). Sedangkan hutan mangrove ikutan terdiri dari 13 jenis yang
didominasi oleh Bintan (Cerbera odollam), Kiser (Fimbristylis verruginea) dan
Ketapang (Terminalia catappa). Adapun jenis tumbuhan di muara air tawar terdiri

12

dari 11 jenis yang didominasi oleh Kiser (Fimbristylis verruginea) dan Nipah (Nypha
fruticans).
Gelombang
Gelombang-gelombang yang timbul karena angin adalah gelombang
ditimbulkan oleh perubahan turun naiknya air (pasang surut). Dalam musim
barat, terutama bulan Desember sampai Maret, sering dialami gelombang agak
besar antara 0,5 s/d 1 meter. Pada waktu terjadi “sguall” gelombang dapat
mencapai 1,5 s/d 1,75 meter. Bulan April dan Mei terjadi gelombang lebih kecil
sekitar 0,5 meter atau kurang. Dalam periode musim timur dialami gelombang
antara 0,5 s/d 1 meter. Dalam periode ini gelombang lebih besar daripada periode
pancaroba April/Mei dan Oktober/November. (Hartati, 2009)
Pola Arus
Arus umum di Teluk Jakarta dan Sekitarnya pada musim barat, antara bulan
Oktober sampai April, arus pantai pada musim barat berpengaruh pada pantai
yang menghadap ke arah barat, terutama di daerah pantai antara Cilincing dan
Ujung Kawang (Muara Gembong). Arus tersebut berpadu dengan arus dari aliran
sungai Citarum, sehingga menimbulkan perubahan-perubahan bentuk pantai
disekitar dengan terjadinya endapan-endapan atau beting-beting serta berpindahpindahnya garis kedalaman. Arus laut pada musim barat di daerah Cilincing dan
Ujung Karawang (Muara Gembong) berkecepatan maximum 1,5 knot dengan
arah
timur – tenggara. (Hartati, 2009)
Kecepatan Angin
Menurut Syahbana (2011) perubahan musim menyebabkan perubahan arah
dan kecepatan angin. Kecepatan angin di Muara Gembong maksimum terjadi
pada bulan Desember 2001 sebesar 14,1 km/jam. Kecepatan angin minimum
terjadi pada bulan Mei sebesar 2 km/jam. Kecepatan angin yang besar dapat
menyebabkan gelombang yang menuju pantai menjadi besar dan kuat.
Gelombang yang besar dan kuat dapat membahayakan tanggul sehingga rentan
untuk rusak. Berdasarkan pemantauan awan melalui Satelit MTSAT tampak
bahwa awan-awan konvektif yang terbentuk pada 9 Februari masuk dalam
kategori awan-awan dingin konvektif tinggi.
Ketinggian Pasang
Menurut Syahbana (2011) ketinggian pasang rata-rata di perairan teluk
Jakarta termasuk Muara Gembong mengalami fluktuasi. Ketinggian pasang surut
harian di perairan Teluk Jakarta meliputi Muara Gembong berkisar antara 10-120
cm. Sedangkan ketinggian pasang surut menurut bulan berkisar antara 59,8460,80 cm. Ketinggian maksimum terjadi pada bulan Desember yaitu sebesar
60,80 cm. Ketinggian minimum terjadi pada bulan November sebesar 59,84 cm.
Ketinggian pasang surut rata-rata maksimum biasanya terjadi pada bulan Februari
dan Maret. Namun pada tahun 2001, ketinggian maksimum terjadi pada bulan
Desember. Pada tahun 2009, ketinggian rata-rata maksimum terjadi dua kali
yaitu pada bulan Febuari dan Desember.

13

Sosial dan Ekonomi
Menurut kategori kesejahteraan, keluarga di kecamatan Muara Gembong
terbagi menjadi 5.507 keluarga pra sejahtera (Pra KS), 3.890 keluarga sejahtera-1
(KS-1), 2.324 keluarga sejahtera-II (KS-II), 481 keluarga sejahtera-III (KS-III) dan
90 keluarga sejahtera-III plus (KS-III+). Kemudian ekonomi rumah tangga di Muara
Gembong, tercatat rumah tangga usaha jasa pertanian sebanyak 209 rumah tangga.
Sebanyak 58% adalah rumah tangga jasa pertanian tanaman pangan, dan 38% jasa
perikanan. Pada sektor perikanan, Kecamatan Muara Gembong memiliki jumlah
rumah tangga usaha budidaya ikan sebanyak 1.492 rumah tangga. Budidaya
terbanyak dilakukan di tambak yaitu sebanyak 99,13%. Rata –rata luas baku
budidaya ikan di tambak sebesar 33.689,14 m2/rumah tangga. Jenis komoditas utama
yang dibudidayakan adalah bandeng dan udang windu. Selain itu tercatat pula
sebanyak 1.509 sebanyak 84,43% rumah tangga menangkap ikan di laut. Pada tahun
2014 jumlah rukun tetangga (RT) sebanyak 137, tersebar di 22 Dusun dan 42 Rukun
Warga (RW). (BPS Kabupaten Bekasi, 2015)
Tabel 2
Jumlah RW dan RT menurut Desa di Kecamatan Muara Gembong
Desa
Pentaiharapanjaya
Pantaimekar
Pantaisederhana
Pantaibakti
Pantaibahagia
Jayasakti
Kec. Muara Gembong
Sumber : BPS Tahun 2015

Gambar 5

Dusun
4
4
4
3
4
3
22

RW
14
8
5
6
6
6
46

RT
27
23
16
19
32
20
137

Lokasi penelitian monitoring sedimentasi dan perubahan garis pantai

14

Waktu Penelitian
Pengumpulan data lapangan sedimentasi dan Ground Poin cek (GPC)
perubahan garis pantai dan sedimentasi dilakukan pada bulan Febuari 2016. Data
landsat liputan bulan Febuari 2016 untuk perubahan garis pantai sebagai acuan
dalam penapisan GPC untuk landsat liputan tahun 2005, 2007, 2009, 2011, 2013,
dan 2015. Data citra landsat yang digunakan dari USGS yaitu data satelit landsat
generasi ke-5, ke-7 dan ke-8 (Landsat 8). Landsat 8 memiliki kemampuan untuk
merekam citra dengan resolusi spasial yang bervariasi, dari 15 meter sampai 100
meter, serta dilengkapi oleh 11 kanal. Dalam satu harinya satelit ini akan
mengumpulkan 400 scenes citra atau 150 kali lebih banyak dari Landsat 7.
Sensor satelit landsat ke-8 disajikan pada Tabel.3
Tabel 3
Sensor satelit landsat 8
Kanal Spektral
Resolusi Spasial
Band 1
Visible (0.433 – 0.453 µ m) 30 m
Band 2
Visible (0.450 – 0.515 µ m) 30 m
Band 3
Visible (0.525 – 0.600 µ m) 30 m
Band 4
Near-Infrared (0.630 – 0.680 µ m) 30 m
Band 5
Near-Infrared (0.845 – 0.885 µ m) 30 m
Band 6
SWIR 1(1.560 – 1.660 µ m) 30 m
Band 7
SWIR 2 (2.100 – 2.300 µ m) 30 m
Band 8
Panchromatic (PAN) (0.500 – 0.680 µ m) 15 m
Band 9
Cirrus (1.360 – 1.390 µ m) 30 m
Band 10
TIRS 1 (10.3 – 11.3 µ m) 100 m
Band 11
TIRS 2 (11.5 – 12.5 µ m) 100 m
Sumber : Landsat.Usgs.gov; nature.com; en.wikipedia.org
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan dalam penelitian ini membutuhkan data raster resolusi sedang (Citra
Landsat generasi ke-5, ke-7 dan ke-8) dan data vektor kawasan lindung Muara
Gembong. Dalam pengumpulan data primer di lapangan membutuhkan peralatan
untuk mendukung pemantauan sedimentasi dan perubahan garis pantai, adapun
peralatan yang dibutuhkan yaitu;
TDS Meter dengan merk Eutech CON 700.
1.
2.
Global positioning system (GPS), digunakan untuk menentukan posisi
Perahu motor untuk menjangkau titik sampel atau stasiun pemantauan yang
3.
telah ditetapkan
4.
Kamera untuk mendokumentasikan lokasi dan proses kegiatan pengumpulan
data primer
5.
Sofware ERDAS Imagine untuk menganalisa data raster resolusi sedang
(Citra Landsat OLI)
6.
Sofware Arcgis untuk melakukan mapping
7.
Sofware Microsoft Office untuk menyusun laporan dan analisa

15

Prosedur Analisis Data
Data Spasial
Penelitian ini membutuhkan data raster resolusi sedang wilayah Muara
Gembong dalam melakukan analisa sedimentasi di perairan. Data raster resolusi
sedang berupa citra satelit landsat ke-5, ke-7, dan ke-8 OLI path/row 122/064
yang dikeluarkan oleh pihak USGS. Adapun data akuisisi citra satelit landsat
digunakan seperti disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 6.
Data Tahun
2015
2013
2011
2009
2007
2005

Tabel 4 Data akuisisi citra landsat
Akuisisi
Landsat 8 OLI ; 18 Oktober 2015
Landsat 8 OLI ; 18 Oktober 2013
Landsat 7 ETM+ ; 18 September 2011
Landsat 5 TM
; 15 November 2009
Landsat 5 TM. ; 15 September 2007
Landsat 7 ETM+ ; 20 November 2005

Sumber : Data Satelit USGS

(a)

(c)

(b)

(d)

16

(e)

Gambar 6

(f)

Data citra landsat tahun (a) 2005, (b) 2007, (c) 2009, (d) 2011, (e)
2013, dan (f) 2015

Desain Plot dan Pemilihan Data Contoh
Desain plot dilakukan menggunakan data sample sedimentasi sebanyak 30
sample yang terbagi menjadi 2 jenis sample yaitu sedimentasi di estuari dan di
zona mangrove. Data yang diolah di estuari 30 sample yang tersebar di ( estuari
yang tercampur secara vertikal, stratifikasi sebagian, stratifikasi dan baji garam)
dan di zona mangrove. Jumlah data tersebut, kemudian dibagi menjadi 2
kelompok secara berselang-seling, yaitu 20 sampling (stasiun) plot digunakan
untuk membangun model dan 10 sampling lagi untuk validasi model.
Analisis Data Total Sedimentasi Tersuspensi (TSS)
Contoh sedimen dari pengambilan data di lapangan (In Situ) dianalisis untuk
mendapatkan besarnya kandungan sedimen dalam satu liter air. Prosedur untuk
analisa data sedimen tersuspensi adalah sebagai berikut:
1. Kertas saring dioven terlebih dahulu pada suhu 100oC -103o selama 24 jam
untuk memperoleh berat konstan
2. Sampel air disaring dengan kertas saring
3. Hasil penyaringan yang tertahan di kertas saring (kertas + sedimen)
dikeringkan dengan dioven pada suhu 105o C selama 24 jam, kemudian
dimasukkan ke dalam desikator sebelum ditimbang.
Hasil yang diperoleh dimasukkan ke dalam formula sebagai berikut :


X 100

Keterangan A = Berat kering kertas sering dan sedimen setelah penyaringan (mg)
B = Berat kering kertas saring sebelum penyaringan (mg)
C = Volume air yang disaring (I)

17

Analisis Data Total Dissolved Solid (TDS)
Total Dissolve Solid (TDS) yaitu ukuran zat terlarut (baik itu zat organic
maupun anorganik, mis : garam, dll) yang terdapat pada sebuah larutan. TDS
meter menggambarkan jumlah zat terlarut dalam Part Per Million (PPM) atau
sama dengan milligram per Liter (mg/L). Umumnya berdasarkan definisi di atas
seharusnya zat yang terlarut dalam air (larutan) harus dapat melewati saringan
yang berdiameter 2 micrometer (2×10-6 meter).
Total padatan terlarut merupakan bahan-bahan terlarut dalam air yang tidak
tersaring dengan kertas saring millipore dengan ukuran pori 0,45 m. Padatan ini
terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang terlarut dalam air,
mineral dan garam-garamnya. Penyebab utama terjadinya TDS adalah bahan
anorganik berupa ion-ion yang umum dijumpai di perairan. Sebagai contoh air
buangan sering mengandung molekul sabun, deterjen dan surfaktan yang larut air,
misalnya pada air buangan rumah tangga dan industri pencucian. .
Total padatan terlarut (Total Dissolved Solid) adalah bahan-bahan terlarut
(diameter < 10 -6 mm) dan koloid (diameter < 10 -6 mm - < 10 -3 mm) yang
berupa senyawa kimia dan bahan-bahan lain yang tidak tersaring pada kertas
saring berdiameter 0,45 µm.
Sampai saat ini ada dua metoda yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas
suatu larutan. Ada pun dua metoda pengukuran TDS (Total Dissolve Solid)
tersebut adalah Gravimetry dan Electrical Conductivity. Sedangkan dalam
penelitian ini metode yang digunakan untuk pengukuran TDS adalah “Electrical
Conductivity”
Penentuan TDS digunakan alat TDS Meter dengan merk Eutech CON 700.
Alat ini bisa digunakan juga untuk pengukuran konduktivitas dan suhu. Pertamatama tekan tombol power untuk menyalakan alat kemudian elektroda dibilas
menggunakan aquades dan dikeringkan dengan tisu. Setelah itu dicelupkan
kedalam sampel hingga batas elektroda dan ditekan tombol CAL/MEAS untuk
melakukan pengukuran terhadap TDS. Ditunggu nilai pembacaan TDS hingga
stabil dan dicatat nilai TDS yang muncul pada layar. Diulangi 3 kali dan
dilanjutkan pengukuran TDS dengan sampel berikutnya.
Proses Pengolahan Data Citra Satelit
Pengolahan data dari citra satelit hingga menghasilkan output kajian secara
umum terlihat pada Gambar 7. Kanal-kanal pada satelit Landsat 8 yang digunakan
hanya band 2, band 3, band 4, band 5, band 6, dan band 7 memperoleh nilai
reflektansi.
Perairan Estuari Muara Gembong merupakan daerah penelitian yang dikaji,
oleh karena itu data citra satelit Landsat 8 OLI di potong (cropping) terlebih dahulu
untuk mempersempit daerah kajian yang akan di olah. Citra yang telah di potong
kemudian dilakukan koreksi atmospheric. Citra satelit Landsat 8 yang diperoleh
melalui situs USGS sudah terkoreksi secara geometrik, sehingga tidak perlu
dilakukan koreksi geometrik.
Konversi bit c