Alternatif Bangunan Penanggulangan Abrasi Di Pantai Muara Gembong, Bekasi

ALTERNATIF BANGUNAN PENANGGULANGAN ABRASI
DI PANTAI MUARA GEMBONG, BEKASI

ALIMUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Alternatif Bangunan
Penanggulangan Abrasi Di Pantai Muara Gembong, Bekasi adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, September 2015
Alimuddin
NIM F451114021

RINGKASAN
ALIMUDDIN. Alternatif Bangunan Penanggulangan Abrasi Di Pantai Muara
Gembong, Bekasi. Dibimbing oleh ASEP SAPEI dan NORA H. PANDJAITAN.
Pembukaan lahan di daerah pantai menyebabkan meningkatnya abrasi
karena pantai menjadi tidak terlindungi. Tingginya abrasi menyebabkan hilangnya
tiga desa di Pantai Muara Gembong, Bekasi. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengkaji alternatif bangunan untuk penanggulangan abrasi yang terjadi di
Pantai Muara Gembong, menentukan dimensi dan menyusun anggaran biaya yang
dibutuhkan. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2013 – Desember 2014 di
daerah pesisir Pantai Muara Gembong, Bekasi.
Dari hasil overlay Citra Landsat terlihat bahwa terjadi abrasi pada Pantai
Muara Gembong sebesar 285.635,23 m2. Nilai rata-rata perubahan tinggi muka air
laut sebesar 0,60 m dengan surut terendah sebesar 0,57 m dan pasang tertinggi
sebesar 0,62 m diukur dari tinggi muka air laut rata-rata (MSL). Bangunan
pelindung pantai yang cocok untuk permasalahan abrasi di lokasi studi adalah

breakwater karena bangunan ini dapat menahan sedimentasi dan hampir tidak
mengakibatkan abrasi di wilayah lain. Tinggi minimum bangunan pantai yang
akan dibangun adalah 4,95 m dengan mengabaikan berat bangunan yang akan
dibangun dan diasumsikan bahwa dasar perairan untuk penempatan bangunan
tersebut tidak mengalami penurunan.
Kata kunci:

bangunan pelindung pantai, Citra Landsat, Pantai Muara
Gembong, pasang surut, penanggulangan abrasi.

SUMMARY
ALIMUDDIN. Alternative of Abrasion Mitigation Building In Coastal Area Of
Muara Gembong, Bekasi. Supervised by ASEP SAPEI and NORA H.
PANDJAITAN
Land clearing in coastal areas lead to increased abrasion due to decreating
of beach pretection. The high abrasion has made 3 villages in Muara Gembong,
Bekasi dissapeared. The purpose of this study were to assess building alternative
for abrasion mitigation at coastal area of Muara Gembong, Bekasi, to determine
the dimension and to calculate the total cost. The study was conducted since July
2013 – December 2014.

The result of Landsat overlay showed that abrasion in Muara Gembong
was 285.635,23 m2. The average of mean sea level change was 0.60 m with the
lowest tide was 0,57 m and the highest tide was 0,62 m above mean sea level
(MSL). Coastal protection building suitable for abrasion problems in the study
area was breakwater because it can keep sedimentation at the back side and make
barely abrasion in the other area. The minimum height of coastal wall was
designed 4,95 m by ignoring the weight of the structure and assuming that the sea
bottom at structure location would not be subsidence.
Key words:

abrasion mitigation, Citra Landsat, coastal protection building,
Muara Gembong Coastal area, tidal.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ALTERNATIF BANGUNAN PENANGGULANGAN ABRASI
DI PANTAI MUARA GEMBONG, BEKASI

ALIMUDDIN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir M. Yanuar J. Purwanto, MS


PRAKATA
Alhamdulillah puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT karena atas
segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya tesis yang berjudul “Alternatif
Bangunan Penanggulangan Abrasi Di Pantai Muara Gembong, Bekasi” dapat
diselesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan salah satu syarat kelulusan dari
Program Magister Sains Teknik Sipil dan Lingkungan
Terima kasih diucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS selaku Ketua
Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA selaku Anggota Komisi
Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan
mengarahkan sejak dari penyusunan proposal sampai penulisan tesis. Tak lupa
juga diucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS selaku
Penguji Luar Komisi pada ujian tesis.
Ucapan terima kasih yang sangat spesial kepada ayah, ibu, dan adik-adikku,
atas segala doa dan kasih sayangnya, bantuan dan nasehatnya agar penyusunan
tesis ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
teman-teman S2 Teknik Sipil dan Lingkungan IPB, teman-teman di Fakultas
Perikanan IPB (Bang Tri, Mba Tyas, Santos, Erwin, Nabil dan Dimi) dan temanteman Teknik Kelautan ITB (Mas Azka dan Mas Huda) atas bimbingan, masukan
dan saran untuk pembuatan model dalam tesis ini serta semua pihak yang telah
memberikan banyak informasi, pengetahuan, bimbingan, dan pengarahan

sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan.
Disadari bahwa tesis ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
diharapkan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan penulisan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi civitas akademika, peneliti, pemerintah
dan semua pihak yang terkait.

Bogor, September 2015

Alimuddin

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x


DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan
Manfaat
Ruang Lingkup

1
1
1
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pantai

Perubahan Garis Pantai

2
2
9

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Metode Pengolahan Data
Transformasi Gelombang
Data Citra Satelit
Analisis Perubahan Garis Pantai
Alternatif Bangunan Penanggulangan Abrasi
Rencana Anggaran Biaya (RAB)

16
16
16
17

21
23
24
24
25

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Arah dan Kecepatan Angin
Pembangkitan Gelombang Laut Lepas
Transformasi Gelombang
Perubahan Garis Pantai
Alternatif Penanggulangan Abrasi
Rencana Anggaran Biaya (RAB)

25
25
27
30
32
33

37

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

38
38
38

DAFTAR PUSTAKA

39

LAMPIRAN

41

RIWAYAT HIDUP


44

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

8
9
10
11

Karakteristik Citra Landsat TM dan ETM+
Jenis dan Sumber Data
Frekuensi Distribusi Kecepatan Angin Tahun 2003 - 2012
Frekuensi Kejadian Angin Tahun 2003 – 2012
Persentase Kejadian Angin Tahun 2003 – 2012
Panjang Fetch Efektif
Tinggi dan Periode Gelombang Di Laut Dalam Yang Merambat
Menuju Pantai Muara Gembong Yang Dibangkitkan Oleh Angin
Bulanan Rata-Rata
Parameter Gelombang Pecah Di Dekat Pantai Muara Gembong
Komponen Harmonik Rata-Rata Pasang Surut Di Muara Gembong
Nilai Pasang Surut, Tunggang Pasut dan MSL Di Muara Gembong
Rencana Anggaran Biaya (RAB) Pembuatan Breakwater Satu Di
Lokasi Penelitian

9
16
26
27
27
28

29
30
31
32
38

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Definisi dan Batasan Pantai
Terminologi Pantai Untuk Keperluan Rekayasa Pantai
Definisi Gelombang (Sorensen, 1978)
Refraksi Gelombang Pada Berbagai Bentuk Tipe Kontur Garis Pantai
(a) Kontur Lurus dan Sejajar; (b) Gabungan Antara Submarine Ridge
dan Submarine Canyon; (c); Submarine Ridge dan (d) Submarine
Canyon
Penampang Melintang Zona Dekat Pantai Yang Menggambarkan
Transformasi Gelombang (Dally, 2005)
Gelombang Yang Membangkitkan Arus Menyusur Pantai (Sorensen,
1978)
Aktifitas Penambangan Pasir Laut Yang Dapat Mempercepat Proses
Abrasi Pantai
Peta Lokasi Penelitian
Bagan Alir Pengumpulan dan Pengolahan Data Alternatif Bangunan
Penanggulangan Abrasi
Durasi Angin Tercepat Sebagai Fungsi Dari Kecepatan Angin (Untuk
Laut Terbuka) (USACE, 2003)
Hubungan Antara RL Dengan Kecepatan Angin Di Darat
Rasio Durasi Kecepatan Angin (Ut) Pada Kecepatan 1 Jam (U3600)
(USACE, 2003)
Refraksi gelombang
Struktur Program Genesis Untuk Analisis Peramalan Garis Pantai
Alternatif Bangunan Pelindung Pantai. a. Groin, b. Seawall, c.
Breakwater

3
4
5

6
7
7
9
17
18
19
19
20
22
25
25

16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

Mawar Angin Harian Rata-Rata Tahun 2003 - 2012
Distribusi Frekuensi Kecepatan Angin Harian Rata-Rata Tahun 2003
– 2012
Panjang Fetch Di Lokasi Penelitian
Tinggi dan Periode Gelombang Laut Dalam Tahun 2003 – 2012
Perbandingan Tinggi Gelombang Laut Dalam (Hmo) dan Tinggi
Gelombang Pecah (Hb) Saat Mendekati Pantai
Grafik Pasang Surut Di Muara Gembong
Perubahan Garis Pantai Hasil Overlay Citra Tahun 2003 – 2012 Di
Lokasi Penelitian
Perubahan Garis Pantai Hasil Simulasi GENESIS Dalam 10 Tahun
Mendatang Di Lokasi Penelitian
Perubahan Garis Pantai Akibat Pemasangan Groin Dalam 10 Tahun
Mendatang Di Lokasi Penelitian
Perubahan Garis Pantai Akibat Pemasangan Seawall Dalam 10 Tahun
Mendatang Di Lokasi Penelitian
Perubahan Garis Pantai Akibat Pemasangan Breakwater Dalam 10
Tahun Mendatang Di Lokasi Penelitian
Potongan Desain Breakwater Di Lokasi Penelitian
Tampak Atas Desain Breakwater Di Lokasi Penelitian

26
26
28
29
31
32
33
34
34
35
36
37
37

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Desain Breakwater Untuk Lokasi Penelitian Berdasarkan SPM
(Shore Protection Manual) Tahun 1984
Biaya Pembuatan Breakwater Per Satuan Unit

41
43

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang meliputi
kurang lebih 17.508 pulau dan memiliki garis pantai sepanjang 99.093 km.
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang paling intensif dimanfaatkan untuk
kegiatan industri, perkantoran, permukiman, pelabuhan, pertambakan, pertanian,
perikanan, dan pariwisata.
Wilayah pesisir Muara Gembong terletak di Desa Pantai Sederhana
Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Kecamatan Muara Gembong
merupakan wilayah pesisir yang banyak mengalami perubahan penggunaan lahan,
terutama konversi hutan mangrove menjadi tambak. Konversi yang berlebihan
dan tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan menyebabkan terjadinya
degradasi lingkungan yang berpengaruh terhadap produktivitas daerah tersebut
(Handayani, 2006). Perubahan lahan yang tidak memperhatikan keseimbangan
lingkungan di pesisir Pantai Muara Gembong mengakibatkan berkurangnya hutan
mangrove dan meningkatnya abrasi yang terjadi. Kondisi ini menyebabkan
hilangnya tiga desa, yakni Desa Pantai Bahagia, Desa Pantai Mekar dan Desa
Pantai Sederhana. Bila kondisi ini tidak segera ditangani dengan baik, maka akan
terjadi kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Menurut Perum Perhutani selaku pengelola kawasan ini, luas hutan
mangrove alami di Muara Gembong 10.480 ha. Namun, saat ini hutan mangrove
yang ada telah berubah sekitar 93,5 % menjadi tambak dan lahan pertanian
masyarakat. Setiap tahunnya terjadi penyusutan yang diakibatkan oleh abrasi dan
gelombang besar yang diperkirakan mencapai 1-2 % dari potensi lahan atau setara
dengan 100-200 ha. Penyusutan terbesar terjadi di Kecamatan Muara Gembong.
Kawasan hutan mangrove Muara Gembong merupakan bagian rangkaian
ekosistem mangrove di pesisir utara Teluk Jakarta, dari Tanjung Pasir di
Tangerang, Banten, hingga ke ujung Karawang. Hutan mangrove mempunyai
peranan yang sangat penting untuk mencegah pengikisan pantai oleh gelombang
air laut. Abrasi merupakan salah satu masalah yang dapat mengancam garis
pantai, merusak tambak, persawahan yang berada di pinggir pantai, dan juga
mengancam bangunan yang berbatasan langsung dengan air laut, baik bangunan
yang difungsikan sebagai penunjang wisata maupun rumah penduduk. Akibat
abrasi kondisi kawasan pantai di berbagai lokasi di Indonesia sudah sangat
mengkhawatirkan. Kondisi ini jika tidak ditangani dengan baik akan memberikan
dampak yang sangat merugikan bagi kelangsungan makhluk hidup.
Mengacu dari permasalahan di atas, perlu adanya suatu kajian analisis
abrasi pantai dan alternatif penanggulangannya sehingga dapat diketahui dan
ditetapkan rekomendasi penanggulangan yang paling efektif dalam mengurangi
abrasi pantai.
Perumusan Masalah
Kawasan pantai merupakan kawasan yang sangat dinamis dengan berbagai
ekosistem hidup di sana dan saling mempunyai keterkaitan satu dengan yang
lainnya. Perubahan garis pantai merupakan salah satu bentuk dinamisasi kawasan

2
pantai yang terjadi secara terus – menerus. Perubahan garis pantai yang terjadi di
kawasan pantai dapat berupa pengikisan badan pantai (abrasi) maupun
penambahan badan pantai (sedimentasi atau akresi). Proses-proses tersebut terjadi
sebagai akibat dari pergerakan sedimen, arus dan gelombang yang terjadi dan
berinteraksi dengan kawasan pantai secara langsung. Selain faktor-faktor tersebut,
perubahan garis pantai dapat terjadi akibat faktor antropogenik, seperti aktivitas
manusia di sekitarnya. Untuk itu perlu dianalisis proses abrasi yang terjadi dan
alternatif bangunan penanggulangannya sehingga diharapkan kerusakan tidak
bertambah.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengkaji alternatif bangunan penanggulangan abrasi yang terjadi di Pantai
Muara Gembong, Bekasi.
2. Menentukan dimensi dan menyusun anggaran biaya yang dibutuhkan.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
untuk memecahkan permasalahan abrasi yang terjadi di Pantai Muara Gembong,
Bekasi sehingga dapat membantu pemerintah daerah setempat dalam pengambilan
keputusan agar kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh proses abrasi dapat
segera diatasi.
Ruang Lingkup
1.
2.
3.
4.
5.

Ruang lingkup penulisan tugas akhir ini yaitu:
Memprediksi perubahan garis pantai yang akan terjadi.
Menghitung perubahan garis pantai dari layout citra.
Menentukan alternatif pilihan bangunan pengaman pantai.
Merancang dimensi struktur alternatif bangunan pengaman pantai.
Menyusun rencana anggaran biaya (RAB).

TINJAUAN PUSTAKA
Pantai
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline) maka wilayah pesisir memiliki dua
batas (boundaries), yaitu batas garis yang sejajar pantai (longshore) dan batas
garis yang tegak lurus terhadap garis pantai (crosshore). Untuk kepentingan
pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir dan laut yang sejajar dengan
garis pantai relatif mudah. Penetapan wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap
garis pantai sejauh ini masih berbeda antara satu negara dengan negara yang lain.
Hal ini dapat dimengerti sebab setiap negara memiliki karakteristik lingkungan,
sumberdaya dan sistem pemerintahan sendiri (Bengen, 2001).

3
Kartawinata dan Soemodiharjo (1997) mendefinisikan wilayah pesisir
sebagai daerah pertemuan antara laut dan darat termasuk pulau-pulau kecil.
Wilayahnya dibatasi oleh tempat dimana percampuran antara air laut dan air tawar
tidak lagi nyata dan luasnya ditentukan oleh kondisi setempat. Di dataran rendah
wilayah pesisir dapat terbentang sampai beberapa puluh kilometer sejajar garis
pantai, sedangkan daerah berbukit dan berpantai terjal umumnya sempit.
Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah suatu wilayah
pertemuan antara daratan dan lautan, dimana batas ke arah laut mencakup bagian
atau batas terluar dari paparan benua yang masih dipengaruhi oleh proses alami
yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun proses yang
disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan lahan dan
pencemaran. Batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun
terendam air, yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat air laut seperti angin laut,
pasang surut, perembesan air laut yang dicirikan oleh jenis vegetasi yang khas
(Dahuri et al., 2004).
Pantai merupakan batas antara wilayah daratan dengan wilayah lautan.
Daerah daratan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan
daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi sedangkan daerah lautan adalah
daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut
pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya
(Triadmodjo,1999). Beberapa istilah kepantaian (Gambar 1) yaitu :
1. Daerah pantai atau pesisir adalah suatu daratan beserta perairannya dimana
daerah tersebut masih dipengaruhi baik darat maupun oleh aktivitas
marine.
2. Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang
tertinggi dan air surut terendah.
3. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan lautan.
4. Daratan pantai adalah daerah di tepi laut yang masih dipengaruhi oleh
aktivitas marine
5. Perairan pantai adalah perairan yang masih dipengaruhi oleh aktivitas
daratan.
6. Sempadan pantai adalah daerah sepanjang pantai yang diperuntukkan bagi
pengamanan dan pelestarian pantai.

Gambar 1. Definisi dan Batasan Pantai.

4
Untuk kepentingan rekayasa atau teknik pantai, Triadmodjo (1999)
mendefinisikan pantai sebagai berikut (Gambar 2):
1. Surf zone adalah daerah yang terbentang antara bagian dalam dari
gelombang pecah sampai batas naik-turunnya gelombang di pantai.
2. Breaker zone adalah daerah dimana terjadi gelombang pecah.
3. Swash zone adalah daerah yang dibatasi oleh garis batas tertinggi naiknya
gelombang dan batas terendah turunnya gelombang di pantai.
4. Offshore adalah daerah dari gelombang (mulai) pecah sampai ke laut lepas.
5. Foreshore adalah daerah yang terbentang dari garis pantai pada saat surut
terendah sampai batas atas dari uprush pada saat air pasang tertinggi.
6. Inshore adalah daerah antara offshore dan foreshore.
7. Backshore adalah daerah yang dibatasi oleh foreshore dan garis pantai
yang terbentuk pada saat terjadi gelombang badai bersamaan dengan muka
air tertinggi.
8. Coast adalah daratan pantai yang masih terpengaruh laut secara langsung,
misalnya pengaruh pasang surut, angin laut, dan ekosistem pantai (hutan
bakau, sand dunes ).
9. Coastal area adalah daratan pantai dan perairan pantai sampai kedalaman
100 atau 150 m.

Gambar 2. Terminologi Pantai Untuk Keperluan Rekayasa Pantai.
Secara umum Sutikno (1993) menjelaskan bahwa pantai merupakan suatu
daerah yang meluas dari titik terendah air laut pada saat surut hingga ke arah
daratan sampai mencapai batas efektif dari gelombang. Garis pantai adalah garis
pertemuan antara air laut dengan daratan yang kedudukannya berubah-ubah sesuai
dengan kedudukan pada saat pasang-surut, pengaruh gelombang dan arus laut.
Lingkungan pantai merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan
yang dapat terjadi secara lambat hingga cepat, tergantung pada imbang daya
antara topografi, batuan dan sifat-sifatnya dengan gelombang, pasang surut dan
angin. Secara garis besar proses geomorfologi yang bekerja pada daerah pantai
dapat dibedakan menjadi proses destruksional dan konstruksional. Proses
destruksional adalah proses yang cenderung merusak bentuk lahan yang ada
sebelumnya, sedangkan proses konstruksional adalah proses yang menghasilkan
bentuk lahan baru.
Abrasi merupakan salah satu masalah yang mengancam kondisi pesisir,
mengancam garis pantai, merusak tambak maupun lokasi persawahan yang berada

5
di pinggir pantai. Selain itu juga mengancam bangunan yang berbatasan langsung
dengan air laut, baik bangunan yang difungsikan sebagai penunjang wisata
maupun rumah penduduk. Abrasi pantai didefinisikan sebagai mundurnya garis
pantai dari posisi asalnya (Triatmodjo, 1999) yang disebabkan oleh adanya
angkutan sedimen menyusur pantai sehingga mengakibatkan berpindahnya
sedimen dari satu tempat ke tempat lainnya. Angkutan sedimen menyusur pantai
terjadi bila arah gelombang datang membentuk sudut dengan garis normal pantai.
Perubahan konfigurasi pantai di wilayah pesisir dapat disebabkan oleh
proses alami dan non alami (antropogenik/kegiatan manusia). Proses hidrooseanografi dari laut yang dapat memberikan pengaruh antara lain hempasan
gelombang, perubahan pola arus serta fenomena pasang surut yang kadangkadang diperkuat oleh pengaruh perubahan iklim. Fenomena alami dari darat yang
ikut memberikan pengaruh terjadinya perubahan garis pantai, antara lain abrasi
dan sedimentasi akibat arus pasang akibat banjir serta perubahan arus aliran
sungai.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi perubahan garis pantai adalah :
 Faktor Hidro-Oseanografi
Perubahan garis pantai terjadi bila proses geomorfologi yang terjadi pada
setiap bagian pantai melebihi proses yang biasanya terjadi yang meliputi :
1. Gelombang Yang Dibangkitkan Oleh Angin
Gelombang terjadi melalui proses pergerakan massa air yang dibentuk
oleh hembusan angin secara tegak lurus terhadap garis pantai (Gambar 3). Dahuri,
et al (2004) menyatakan bahwa gelombang yang pecah di daerah pantai
merupakan salah satu penyebab utama terjadinya proses abrasi dan sedimentasi di
pantai.

Gambar 3. Definisi Gelombang (Sorensen, 1978)
Gelombang yang merambat dari laut dalam menuju pantai mengalami
perubahan bentuk karena pengaruh perubahan kedalaman laut. Berkurangnya
kedalaman laut menyebabkan semakin berkurangnya panjang gelombang dan
bertambahnya tinggi gelombang. Pada saat kemiringan gelombang (perbandingan
antara tinggi dan panjang gelombang) mencapai batas maksimum maka
gelombang akan pecah.
Gelombang yang dibangkitkan oleh angin penting sebagai perantara transfer
energi. Gelombang memperoleh energi dari angin, mentransfernya di atas lautan,
lalu membawanya ke zona pantai sehingga menjadi penyebab utama abrasi atau

6
dapat membangkitkan berbagai arus di dekat pantai dan transpor sedimen.
Pembangkitan utama gelombang oleh angin dipengaruhi oleh kecepatan angin,
lamanya angin bertiup (durasi), dan fetch. Semakin lama angin berhembus, maka
semakin besar jumlah energi yang ditransfer ke gelombang yang sedang tumbuh.
Fetch adalah panjang permukaan laut yang langsung dipengaruhi oleh angin saat
kecepatan dan arah angin konstan. Semakin besar daerah fetch maka semakin
besar potensi energi gelombang yang didapatkan (Komar, 1983).
2. Transformasi Gelombang
Gelombang yang merambat dari perairan dalam ke perairan dangkal
mengalami refraksi, pendangkalan (shoaling), difraksi, disipasi akibat friksi,
disipasi akibat penapisan (percolation), gelombang pecah, penambahan
gelombang tumbuh, interaksi gelombang-arus, dan interaksi gelombanggelombang (USACE, 2002).
Menurut Dally (2005), fenomena refraksi dan pendangkalan gelombang
(wave shoaling) merupakan fenomena paling penting dalam transformasi
gelombang di dekat pantai. Refraksi dan pendangkalan dapat mempengaruhi
besarnya tinggi gelombang pada kedalaman tertentu dan distribusi energi
gelombang di sepanjang pantai. Perubahan arah gelombang karena proses refraksi,
akan menghasilkan suatu daerah energi gelombang konvergen (penguncupan) atau
divergen (penyebaran) yang berpengaruh terhadap struktur pantai (Gambar 4).
Deskripsi umum kedalaman perairan pantai dapat diperoleh melalui analisis pola
refraksi gelombang (USACE, 1984).

(a)

(b)

(c)
(d)
Gambar 4. Refraksi Gelombang Pada Berbagai Bentuk Tipe Kontur Garis Pantai
(a) Kontur Lurus dan Sejajar; (b) Gabungan Antara Submarine Ridge dan
Submarine Canyon; (c); Submarine Ridge dan (d) Submarine Canyon

7
Saat bergerak mendekati pantai, kecuraman gelombang meningkat seiring
dengan berkurangnya kedalaman. Meningkatnya kecuraman (H/L) ditandai
dengan berkurangnya panjang gelombang (L) dan meningkatnya tinggi
gelombang (H). Saat mencapai batas kecuraman, gelombang akan pecah,
membaurkan energi dan menyebabkan arus di dekat pantai (nearshore current),
serta kenaikan muka air (USACE, 2003). Dally (2005) menyebutkan bahwa ketika
kedalaman perairan menjadi terlalu dangkal untuk menahan tinggi pertumbuhan
gelombang, gelombang menjadi tidak stabil dan kemudian pecah (Gambar 5).

Gambar 5. Penampang Melintang Zona Dekat Pantai Yang Menggambarkan
Transformasi Gelombang (Dally, 2005).
Menurut Sorensen (1978), angin yang bertiup terus menerus sepanjang
pantai akan membangkitkan arus sepanjang pantai. Arus yang paling dominan
adalah arus di zona selancar yang dibangkitkan oleh gelombang pecah yang
membentuk sudut terhadap garis pantai. Gambar 5 menunjukkan skema zona
foreshore-nearshore. Gelombang yang bergerak mendekati garis pantai dengan
sudut tertentu, pecah, dan mendaki muka pantai serta membangkitkan arus
menyusur pantai. Gelombang pecah membentuk sudut terhadap garis pantai,
membawa partikel sedimen naik dan gaya gravitasi membawanya turun dari muka
pantai. Transpor ini membentuk pola “zig-zag” seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 6 (Sorensen, 1978).

Gambar 6. Gelombang Yang Membangkitkan Arus Menyusur Pantai (Sorensen,
1978)

8
3. Pasang Surut
Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut yang disebabkan oleh gaya
tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut
di bumi. Meskipun massa bulan jauh lebih kecil dari massa matahari, tetapi karena
jaraknya terhadap bumi jauh lebih dekat, maka pengaruh gaya tarik bulan
terhadap bumi lebih besar dari pada pengaruh gaya tarik matahari. Gaya tarik
bulan yang mempengaruhi pasang surut adalah 2,2 kali lebih besar dari gaya tarik
matahari (Triatmodjo, 1999).
Pasang surut sangat penting artinya di dalam perencanaan bangunan pantai.
Elevasi muka air tertinggi (pasang) dan terendah (surut) sangat penting untuk
merencanakan puncak dari bangunan tersebut. Mengingat elevasi muka air laut
yang selalu berubah setiap saat, maka diperlukan suatu elevasi yang ditetapkan
berdasarkan data pasang surut, yang dapat digunakan sebagai pedoman di dalam
perencanaan suatu bangunan pantai.
Beberapa elevasi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Muka air tinggi (high water level/HWL), yaitu muka air tertinggi yang dicapai
pada saat air pasang dalam satu siklus pasang surut.
2. Muka air rendah (low water level/LWL), yaitu kedudukan air terendah yang
dicapai pada saat air surut dalam suatu siklus pasang surut.
3. Muka air tinggi rata-rata (mean high water level/MHWL), yaitu rata-rata dari
muka air tinggi selama periode 19 tahun.
4. Muka air rendah rata-rata rata (mean low water level/MLWL), yaitu rata-rata
dari muka air rendah selama periode 19 tahun.
5. Muka air rata-rata (mean sea level/MSL), yaitu muka air rata-rata antara muka
air tinggi rata-rata dan muka air rendah rata-rata. Digunakan sebagai referensi
untuk elevasi daratan.
6. Muka air tinggi tertinggi (highest high water level/HHWL), yaitu air tertinggi
pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
7. Muka air terendah (lowest low water level/LLWL), yaitu air terendah pada
saat pasang surut purnama atau bulan mati.
 Faktor Antropogenik
Ada beberapa kegiatan manusia yang berpotensi menimbulkan perubahan
garis pantai antara lain:
1. Penambangan pasir di perairan pantai (Gambar 7), mengakibatkan
perubahan kedalaman sehingga dapat merubah pola arus dan gelombang
pecah akan mendekati garis pantai yang masih memiliki daya rusak yang
cukup besar.
2. Pengambilan pelindung pantai alami, yaitu penebangan tumbuhan
pelindung pantai, seperti hutan mangrove dan terumbu karang
3. Pembuatan bangunan yang menjorok kearah laut, sehingga mengganggu
keseimbangan transport sedimen di sepanjang pantai
Pembukaan tambak yang tidak memperhatikan kondisi dan lokasi,
terutama yang terlalu dekat dengan garis pantai, sehingga mengakibatkan terjadi
abrasi pantai oleh hempasan gelombang dan gerakan arus pasang surut

9

Gambar 7. Aktifitas Penambangan Pasir Laut Yang Dapat Mempercepat Proses
Abrasi Pantai
Perubahan Garis Pantai
Pendekatan umum untuk membangun model komputer perubahan garis
pantai hampir serupa dengan model komputer dari aliran air yang telah banyak
digunakan. Persamaan kontinuitas untuk air digantikan dengan hubungan
kontinuitas yang serupa untuk pasir sehingga menjaga arah volume atau massa
pasir total dan memastikan bahwa tidak ada penambahan atau pengurangan yang
luar biasa (Komar, 1983).
Citra Landsat merupakan satelit sumberdaya bumi yang awalnya bernama
ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) yang peluncuran pertama kalinya
pada tanggal 23 Juli 1972 dan mengorbit sampai 6 Januari 1978. Satelit ini
mengorbit mengelilingi bumi selaras matahari (sun-synchronous). Tepat sebelum
peluncuran ERTS-B pada tanggal 22 Juli 1975, NASA (National Aeronautic and
Space Administration) secara resmi menangani program ERTS dan mengubahnya
menjadi program Landsat (untuk membedakan dengan program satelit
oseanografi “Seasat” yang telah direncanakan) sehingga ERTS-1 dan ERTS-B
menjadi Landsat 1 dan Landsat 2 (Purwadhi, 2001).
Citra Landsat TM merupakan hasil rekaman sensor Thematic Mapper
yang dipasang pada satelit Landsat 4 dan Landsat 5. Landsat ETM+ didapat hasil
dari satelit Landsat 7 yang merupakan keberlanjutan (continuity) dari program
Landsat 4 dan 5, karena program Landsat 6 gagal mencapai orbit. Karakteristik
kedua citra ini ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Citra Landsat TM dan ETM+
Panjang
Resolusi Spektral
Kanal
Spektrum
Gelombang
Landsat TM Landsat ETM+
1
Sinar tampak violet-biru
0,45 - 0,52 30m x 30m
30m x 30m
2
Sinar tampak hijau
0,52 - 0,60 30m x 30m
30m x 30m
3
Sinar tampak merah
0,63 - 0,69 30m x 30m
30m x 30m
4
Infra merah dekat
0,76 - 0,90 30m x 30m
30m x 30m
5
Infta merah menengah
1,55 - 1,75 30m x 30m
30m x 30m
6
Infra merah thermal
10,40 - 12,50 120m x 120m 60m x 60m
7
Infra merah jauh
2,08 - 2,35 30m x 30m
30m x 30m
8
Pankromatik
0,5 - 0,90
Tidak ada
15m x 15m
(Sumber : Purwadhi, 2001; NASA, 2005)

10
Penelitian tentang perubahan garis pantai telah banyak dilakukan oleh
peneliti sebelumnya. Komar (1983), membuat contoh model perubahan garis
pantai akibat struktur pantai. Perhitungan angkutan sedimen berdasarkan pada
fluks energi, hanya memperhitungkan gelombang dari satu arah. Garis pantai dari
arah datang gelombang (sisi hulu jetti) mengalami sedimentasi (akresi) sedangkan
pada sisi lain (hilir jetti) mengalami abrasi.
Triwahyuni (2009), melakukan penelitian perubahan garis pantai di pantai
timur Tarakan Kalimantan Timur, dengan mengembangkan model perubahan
garis pantai yang dimodifikasi dari model yang dibuat oleh Komar (1983).
Perubahan garis pantai yang ditimbulkan oleh gelombang pecah yang
dibangkitkan oleh angin menuju pantai selama 10 tahun yaitu tahun 1991 – 2001
adalah garis pantai mengalami sedimentasi lebih tinggi di Utara dibandingkan di
Selatan karena arah angkutan sedimen sepanjang pantai menuju Utara. Hasil
simulasi model memberikan gambaran perubahan garis pantai yang mengikuti
pola garis pantai hasil citra. Selain itu Triwahyuni (2010), juga memperoleh hasil
bahwa pada daerah yang terdapat sungai dan intervensi manusia hasil model dan
hasil citra tidak sama. Kondisi ini terjadi karena faktor masukan sedimen dari
sungai dan intervensi manusia tidak diperhitungkan dalam pengembangan model.
Fitrianto (2010), membuat model perubahan garis pantai sekitar jetti di
Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Glayem-Juntinyuat, Kabupaten Indramayu.
Perhitungan transformasi gelombang menggunakan program STWave, angkutan
sedimen dan perubahan garis pantai dihitung menggunakan persamaan Komar
(1983). Perubahan garis pantai terjadi di sekitar jetti yang ditunjukkan dengan
semakin majunya muka pantai ke arah laut di sebelah tenggara jetti sejauh 140 m
dan semakin berkurangnya muka pantai (abrasi) di sebelah barat laut jetti sejauh
35 m. Hal ini terjadi akibat gelombang dan arus sepanjang pantai yang bergerak
dari tenggara menuju ke barat laut yang dibangkitkan oleh angin dominan berasal
dari timur dan tenggara, sehingga angkutan sedimen dominan ke barat laut.
Sunday & John (2006) melakukan penelitian tentang perubahan garis
pantai di Pulau Victoria, Nigeria menggunakan citra satelit tahun 1986, 1990,
1995 dan 2002. Berdasarkan hasil overlay garis pantai tersebut menunjukkan
bahwa laju abrasi setiap tahun berkisar antara 1,53 – 22,29 m.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Alphan (2005) di Delta Cukurova,
Pantai Tenggara Mediterrania, Turkey dengan menggunakan citra Landsat MSS
dan ETM tahun 1972 dan 2002. Hasil overlay garis pantai tahun 1972 dan 2002
menunjukkan bahwa akresi dan abrasi terjadi sekitar muara sungai. Telah terjadi
abrasi sebesar 153 ha dan akresi sekitar 203 ha di muara Sungai Seyhan.
Purba dan Jaya (2004), melakukan penelitian tentang perubahan garis
pantai dan penutupan lahan di pesisir Lampung Timur dengan menggunakan citra
Landsat-TM tahun 1991, 1999, 2001 dan 2003. Perubahan garis pantai dan
karakteristik gelombang tergantung pada kekuatan angin yang bertiup. Bagian
pantai yang mempunyai tonjolan, disisi hilir dari arah arus menyusur pantai yang
umumnya dominan ke utara menyebabkan terjadinya abrasi. Hasil gerusan ini
diangkut ke sisi utara dalam proses littoral drift kemudian diendapkan pada
bagian tertentu sehingga terjadi proses sedimentasi.
Hakim et al (2014) melakukan penelitian tentang perencanaan
perlindungan terhadap Pantai Sayung, Demak. Analisis dilakukan terhadap pasang

11
surut, pembangkitan gelombang oleh angin, morfologi pantai, dan geologi teknik.
Digunakan empat alternatif bangunan pelindung yaitu breakwater, revetment,
groin, dan kombinasi. Alternatif bangunan pelindung dianalisa berdasarkan
morfologi pantai, fungsi, nilai ekonomi, dan kemudahan pelaksanaan. Alternatif
terbaik untuk perlindungan Pantai Sayung, Demak yaitu bangunan pelindung
kombinasi revetment dan breakwater. Revetment sepanjang 2,3 km di bangun
pada sisi bagian barat dan breakwater sebanyak 3 buah dengan panjang masingmasing 100 m dan celah 40 m di sisi bagian timur pada lokasi studi.
Cempaka (2012) melakukan penelitian tentang perencanaan pemecah
gelombang Pelabuhan Perikanan Pondok Mimbo Situbondo, Jawa Timur.
Pelabuhan Perikanan Pondok Mimbo memiliki tinggi gelombang pada kolam
pelabuhan setinggi 2,4 meter yang melebihi syarat (0,3 meter) sehingga
membutuhkan sebuah pemecah gelombang (breakwater) untuk meredam tinggi
gelombang datang. Perencanaan breakwater dibagi menjadi perencanaan layout
dan perencanaan dimensi. Berdasarkan hasil perencanaan, diperoleh breakwater
rencana dengan tipe Rubble mounds batu pecah (batu alam) berdinding miring.
Breakwater rencana merupakan perpotongan dua lingkaran yaitu lingkaran
berjari-jari 202,5 meter dengan pusat BM 1 dan lingkaran berjari-jari 172,5 meter
dengan pusat BM 2 dengan kedalaman lokasi rencana –0,5 LWS. Panjang
breakwater sebelah barat (BWB) x adalah 230 meter dan breakwater sebelah
timur (BWT) adalah 372 meter dengan lebar puncak 3 meter, tinggi bangunan 6,5
meter serta kemiringan 1 : 1,5.
Sakka (2012) membuat model perubahan garis pantai di sekitar delta
Sungai Jeneberang, Makassar, Sulawesi Selatan yang mengkaji karakteristik
gelombang laut lepas, transformasi gelombang, besar angkutan sedimen dan
memprediksi laju perubahan garis pantai delta Sungai Jeneberang dengan
menggunakan model dan dibandingkan dengan hasil citra satelit.
Setyandito dan Triyanto (2007) menganalisis abrasi dan garis pantai pada
pantai pasir buatan dan sekitarnya di Takisung, Provinsi Kalimantan Selatan.
Hasil analisa data dan perhitungan bobot kriteria kerusakan diperoleh bahwa
terjadi perubahan bentuk garis pantai yang tidak maksimal sehingga bentuk yang
ada tidak sesuai desain pantai pasir buatan yang direncanakan. Hal ini terjadi
karena fungsi groin yang ada tidak maksimal dan terjadinya abrasi pada pantai
pasir buatan dan sekitarnya.
Wahyuningsih et al (2012) menganalisis perubahan garis pantai di Teluk
Pacitan, Kabupaten Pacitan. Jawa Timur. Analisa perubahan garis pantai
dilakukan dengan menggunakan bantuan software CEDAS (Coastal Engineering
Design and Analysis System) sub program NEMOS. Berdasarkan hasil simulasi
perubahan garis pantai selama 10 tahun (2001-2011) Teluk Pacitan mengalami
abrasi. Dengan rata-rata transpor sedimen kotor (Qg) per tahun 9.447.312 m3 dan
5.252.514 m3 untuk transpor sedimen bersih (Qn). Serta hasil simulasi prediksi
perubahan garis pantai setiap tahun selama 9 tahun (2012-2020) adalah pantai
mengalami abrasi dengan abrasi terluas pada tahun 2016, yaitu seluas 82.820 m2
dan lahan terakresi seluas 32.900 m2.
Pandjaitan (2005) melakukan pengujian efektivitas sistem perlindungan
pantai Nusa Dua Bali dengan menggunakan paket program GENESIS. Di Pantai
Nusa Dua Bali, terjadi angkutan sedimen litoral sebesar 10.180 m3 per tahun
sehingga mengakibatkan mundurnya garis pantai Nusa Dua Bali. Dari hasil

12
simulasi pemodelan dengan periode 10 dan 20 tahun masih terjadi abrasi di
beberapa lokasi. Untuk penanggulangan lokasi yang terabrasi disarankan dengan
melaksanakan pengisian pasir secara kontinyu.
Hidayah (2012) menganalisa perubahan garis Pantai Jasri, Kabupaten
Karangasem, Bali menggunakan software GENESIS. Berdasarkan hasil
pemodelan terjadi kegagalan struktur eksisting dimana terjadi kemunduran garis
pantai secara signifikan pada pias 570 sepanjang 13,48 m selama 10 tahun, dan
terjadi abrasi pada pias 480-570 sebesar 13.310 m3 serta pada pias 870-960
sebesar 12.153 m3. Total sedimen transport yang terjadi selama 10 tahun adalah
sebesar 11.063,40 m3 pada kondisi adanya eksisting. Setelah dilakukannya
penambahan revetment, pada pias 480-570 terjadi pengurangan abrasi yang
awalnya 13.310 m3 menjadi 5.285 m3 dan pada pias 870-960 terjadi penambahan
sedimen sebesar 12.205 m3 dan total sedimen transport yang terjadi selama 10
tahun terdapat pengurangan sebesar 11.063,40 m3.
Program GENESIS menggambarkan posisi garis pantai pada awal simulasi
dan posisi garis pantai setelah beberapa tahun simulasi dengan atau tanpa
bangunan pelindung pantai. Untuk dapat menggunakan GENESIS, sebelumnya
harus melewati beberapa tahap terlebih dahulu, seperti Grid Generator, WWWL
Data (Wind, Wave and Water Level Data), WISPH3, dan WSAV (Wave Station
Analysis and Visualization). Dari analisis perubahan garis pantai dengan atau
tanpa bangunan pelindung pantai. Garis pantai yang paling stabil diperoleh
dengan jalan mengubah-ubah konfigurasi bangunan pelindung pantai yang
direncanakan.
Kemampuan dan keterbatasan GENESIS adalah sebagai berikut:
 Kemampuan:
1. Dapat digunakan kombinasi yang berubah-ubah dari groin, jetty, breakwater,
seawall dan beach fills.
2. Dapat memperhitungkan akibat bentuk-bentuk groin, misal bentuk T, Y atau
campuran.
3. Dapat meliputi area yang luas. Panjang garis pantai yang disimulasi antara 2 35 km dengan jarak antar grid 15 – 90 m.
4. Dapat mengetahui difraksi gelombang yang terjadi pada breakwater, jetty dan
groin.
5. Periode simulasi antara 6 bulan - 20 tahun
6. Interval data gelombang yang digunakan (30 menit - 6 Jam)
 Keterbatasan:
1. Hanya dapat digunakan untuk meramalkan perubahan garis pantai yang
diakibatkan oleh struktur pantai dan perubahan akibat gelombang.
2. Tidak memperhitungkan adanya refleksi gelombang dari bangunan pantai.
3. Tidak dapat menghitung perubahan akibat terjadinya badai.
4. Tidak dapat mensimulasikan adanya tombolo pada breakwater.
5. Efek pasang surut terhadap perubahan garis pantai tidak dapat diperhitungkan.
Menurut Triatmodjo (1999), bangunan pantai digunakan untuk melindungi
pantai terhadap kerusakan karena serangan gelombang dan arus. Beberapa cara
yang dapat dilakukan untuk melindungi pantai yaitu :
1. Memperkuat atau melindungi pantai agar mampu menahan serangan
gelombang
2. Mengubah laju transpor sedimen sepanjang pantai

13
3. Mengurangi energi gelombang yang sampai ke pantai
4. Reklamasi dengan menambah suplai sedimen ke pantai atau dengan cara lain
Sesuai dengan fungsinya, bangunan pantai diklasifikasikan menjadi 3
kelompok, yaitu :
1. Konstruksi yang dibangun di pantai dan sejajar dengan garis pantai, misalnya
dinding pantai (revetment) dan tembok laut (seawall)
2. Konstruksi yang dibangun kira-kira tegak lurus pantai dan tersambung ke
pantai, misalnya groin dan jetty.
3. Konstruksi yang dibangun di lepas pantai dan kira-kira sejajar garis pantai,
misalnya pemecah gelombang/breakwater.
Dinding Pantai (Seawall)
Dinding pantai adalah bangunan yang memisahkan daratan dan perairan
pantai, yang terutama berfungsi sebagai pelindung pantai terhadap abrasi dan
limpasan gelombang (overtopping) ke darat. Daerah yang dilindungi adalah
daratan tepat di belakang bangunan. Dinding pantai biasanya berbentuk dinding
vertikal, ditempatkan sejajar atau hampir sejajar dengan garis pantai, dan bisa
terbuat dari pasangan batu, beton, tumpukan pipa beton, turap, kayu atau
tumpukan batu (Triatmodjo,1999).
Dalam perencanaan dinding pantai perlu ditinjau fungsi dan bentuk
bangunan, lokasi, panjang, tinggi, stabilitas bangunan dan tanah pondasi, elevasi
muka air baik di depan maupun di belakang bangunan, ketersediaan bahan
bangunan dan sebagainya. Pada perencanaan bangunan pantai perlu diperhatikan
stabilitas dinding pantai. Dinding pantai harus dicek terhadap stabilitas guling dan
geser. Bila stabilitas geser belum memenuhi, diberikan sepatu di tengah atau di
ujung tumitnya.
Agar fasilitas yang ada di balik tembok laut dapat aman, biasanya dinding
pantai direncanakan tidak boleh overtopping. Dinding pantai ada dua macam,
yaitu dinding pantai masif dan tidak masif. Dinding pantai masif biasanya dibuat
dari konstruksi beton atau pasangan batu. Sedangkan tembok laut tidak masif
berupa tumpukan batu (rubble mound). Seawall merupakan bangunan yang
digunakan untuk melindungi struktur pantai dari bahaya abrasi/abrasi dan
gelombang kecil.
Seawall dibangun pada sepanjang garis pantai yang diprediksikan
mengalami abrasi yang dimaksudkan untuk melindungi pantai dan daerah
dibelakangnya dari serangan gelombang yang dapat mengakibatkan abrasi dan
limpasan gelombang.
a. Kelebihan :
1. Pada seawall dengan dinding vertikal pemakaian material relatif sedikit
2. Seawall dengan dinding miring mempunyai bidang kontak dengan tanah dasar
yang luas sehingga tidak membutuhkan kondisi tanah dasar yang prima
3. Konstruksi relatif murah dan pembangunannya relatif mudah
4. Seawall dengan sisi tegak dapat dimanfaatkan sebagai dermaga
b. Kelemahan :
1. Pembangunan seawall dinding tegak pada tanah lunak memerlukan perbaikan
tanah atau pemakaian pondasi tiang pancang
2. Pada seawall dinding miring harus diperhatikan tingginya rayapan gelombang
yang terjadi, sehingga membutuhkan mercu bangunan yanglebih tinggi

14
3. Harus diperhatikan kemungkinan terjadinya abrasi di kaki bangunan
4. Kurang kuat untuk menahan gelombang yang cukup besar
Groin (Groyne)
Menurut Triadmodjo (1999), groin adalah bangunan pelindung pantai
yang biasanya dibuat tegak lurus garis pantai dan berfungsi untuk menahan
transpor sedimen sepanjang pantai sehingga bisa mengurangi atau menghentikan
abrasi yang terjadi. Groin hanya bisa menahan transpor sedimen sepanjang pantai.
Kriteria perencanaan groin yang baik adalah sebagai berikut:
1. Groin dibuat sepanjang 40% sampai dengan 60% dari lebar surf zone
2. Tinggi groin berkisar antara 50 - 60 cm di atas elevasi rencana.
3. Jarak groin pada pantai berkerikil biasanya diambil 1-3 dari panjang groin
4. Elevasi puncak groin dapat diambil di bawah muka air tertinggi.
Struktur groin dibagi menjadi 2 bagian yaitu difracting dan nondifracting.
Groin non-difracting biasanya memiliki panjang yang relatif lebih pendek jika
dibandingkan dengan groin difracting. Panjang groin akan efektif menahan
sedimen apabila bangunan tersebut menutup lebar surfzone. Namun keadaan
tersebut dapat mengakibatkan suplai sedimen ke daerah hilir terhenti sehingga
dapat mengakibatkan abrasi di daerah hilir. Panjang groin dibuat 40% sampai
dengan 60% dari lebar surfzone dan jarak antar groin adalah 1-3 panjang groin.
Groin memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai berikut :
a. Kelebihan :
1. Mampu menahan transpor sedimen sepanjang pantai.
2. Groin tipe T dapat digunakan sebagai inspeksi dan untuk keperluan wisata.
b. Kelemahan :
1. Pembangunan groin pada pantai yang terabrasi akibat onshore offshore
transport dapat mempercepat abrasi tersebut.
2. Perlindungan pantai dengan groin dapat menyebabkan abrasi di daerah hilir.
Pemecah Gelombang (Breakwater)
Pemecah gelombang (breakwater) adalah pemecah gelombang yang
ditempatkan secara terpisah-pisah pada jarak tertentu dari garis pantai dengan
posisi sejajar pantai. Struktur pemecah gelombang ini dimaksudkan untuk
melindungi pantai dari hantaman gelombang yang datang dari arah lepas pantai
(Triatmodjo, 1999). Breakwater biasanya digunakan untuk melindungi daerah
perairan dari gangguan gelombang yang dibedakan menjadi dua macam yaitu
pemecah gelombang sambung pantai dan lepas pantai. Tipe pertama digunakan
untuk perlindungan perairan pelabuhan sedang tipe kedua untuk perlindungan
pantai terhadap abrasi/abrasi.
Prinsip kerja dari breakwater adalah dengan memanfaatkan difraksi
gelombang. Akibat adanya difraksi gelombang akan menimbulkan pengaruh
terhadap angkutan sedimen yang dibawa, salah satunya dengan terbentuknya
tombolo di belakang posisi breakwater. Penentuan panjang breakwater
didasarkan pada tujuan pembentukan garis pantai yang diinginkan, yaitu tombolo
atau salient. Tombolo adalah sedimentasi yang terbentuk tepat di belakang
bangunan breakwater. Tombolo terjadi apabila jarak antara pemecah gelombang
dengan garis pantai lebih kecil dibandingkan panjang pemecah gelombang.
Salient adalah sedimentasi yang terbentuk pada garis pantai.

15
Breakwater memiliki kelebihan dan kekurangan (Triadmodjo,1999):
a. Kelebihan :
1. Tidak dibangun sepanjang garis pantai yang akan dilindungi sehingga volume
bahan yang lebih sedikit.
2. Berfungsi juga untuk mengurangi ketinggian dan meredam energi gelombang.
3. Berfungsi untuk menahan laju sedimen ke arah laut.
b. Kelemahan :
1. Proses pembangunan relatif lebih sulit dikarenakan pembangunan dilakukan
terpisah dari pantai sehingga membutuhkan teknik khusus guna menempatkan
peralatan konstruksi.
2. Membutuhkan waktu agar dapat bekerja sesuai dengan fungsinya karena harus
menunggu terjadinya tombolo/salient.
3. Merupakan konstruksi berat sehingga biaya pembangunannya mahal.
4. Karena biayanya yang mahal, konstruksi ini jarang digunakan untuk
perlindungan pantai.
Perlindungan pantai dengan cara lain dapat dilakukan dengan soft solution.
Cara soft solution (non struktur) dapat berupa penanaman pohon bakau
(mangrove), pengisian pasir pada pantai (sand nourishment), pemeliharaan
terumbu karang dan gundukan pasir (dunes) di pinggir pantai. Cara hard solution
(struktur) penanganan dengan jalan membuat struktur bangunan pelindung pantai,
seperti dinding pantai (seawall), groin, jetty atau pemecah gelombang
(breakwater).
Penanaman Tumbuhan Pelindung Pantai
Penanaman tumbuhan pelindung pantai (bakau, nipah dan pohon api-api)
dapat dilakukan terhadap pantai berlempung, karena pada pantai berlempung
pohon bakau dan pohon api-api dapat tumbuh dengan baik tanpa perlu perawatan
yang rumit. Pohon bakau dan pohon api-api dapat mengurangi energi gelombang
yang mencapai pantai sehingga pantai terlindung dari serangan gelombang.
Penanaman pohon bakau juga dapat mempercepat pertumbuhan pantai karena
akar-akar pohon bakau akan menahan sedimen/lumpur yang terbawa arus
sehingga akan terjadi pengendapan di sekitar pepohonan bakau. Pohon bakau juga
dapat berfungsi sebagai tempat berlindung biota laut dan ikan, sehingga dapat
melestarikan kehidupan di sekitar pantai. Pohon bakau juga berfungsi sebagai
penghasil oksigen dan sebagai penyeimbang untuk kelestarian lingkungan pantai.
Agar dapat berfungsi dengan efektif diperlukan banyak bibit pohon bakau
dan diperlukan area yang sangat luas untuk pelestarian pohon bakau. Perawatan
pada masa-masa awal penanaman bakau juga diperlukan, karena pohon bakau
memerlukan waktu yang lama agar dapat berfungsi dengan baik sebagai penahan
gelombang. Untuk itu diperlukan perencanaan yang matang dan terpadu mulai
menanam, memelihara dan perawatan tanaman bakau.
Pengisian Pasir (Sand Nourishment)
Perlindungan pantai dengan sand nourishment dipilih berdasar
pertimbangan kesesuaian dan keharmonisan dengan lingkungan. Metode sand
nourishment biasanya memerlukan biaya investasi lebih murah dibandingkan
metode lainnya, tetapi biaya operasi dan perawatannya relatif lebih mahal. Prinsip
kerja sand nourishment yaitu dengan menambahkan suplai sedimen ke daerah

16
pantai yang potensial akan terabrasi. Penambahan sedimen dapat dilakukan
dengan menggunakan bahan dari laut maupun dari darat, tergantung ketersediaan
material dan kemudahan transportasi. Suplai sedimen berfungsi sebagai cadangan
sedimen yang akan dibawa oleh badai (gelombang yang besar) sehingga tidak
mengganggu garis pantai. Diusahakan kualitas pasir urugan harus lebih baik atau
sama dengan kualitas pasir yang akan diurug atau diameter pasir urugan
diusahakan lebih besar atau sama dengan diameter pasir asli.
Sand nourishment merupakan cara yang cukup baik dan tidak memberikan
dampak negatif pada daerah lain, namun perlu dilakukan secara terus-menerus
sehingga memerlukan biaya perawatan yang mahal. Mengingat biaya operasional
yang mahal maka sand nourishment hanya dilakukan jika memberikan
keuntungan yang cukup besar seperti pantai untuk pariwisata

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pantai Muara Gembong, Bekasi yang terletak
pada posisi 06º00’ - 06º05’ Lintang Selatan dan 106º57 - 107º02 Bujur Timur
dengan luas wilayah 14.009 km2 (Gambar 8). Penelitian dilaksanakan dari bulan
Juli 2013 – Desember 2014.
Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder yang diperoleh
dari instansi terkait. Data primer yang dikumpulkan adalah morfologi pantai dan
sedimen. Jenis dan sumber data yang digunakan selengkapnya disajikan pada
Tabel 2. Tahapan pelaksanaan penelitian disajikan pada Gambar 9.
Tabel 2. Jenis dan Sumber Data
No
Jenis data
1 Morfologi pantai dan sedimen
2 Pasang surut dan bathimetri
3 Citra Landsat
4

Arah dan k