Puasa Transformatif
Puasa Transformatif
Oleh Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
Marhaban ya Ramadhan. Ramadhan merupakan bulan pilihan Tuhan –satusatunya bulan yang disebut dalam Alqur’an— untuk disediakan bagi hamba-Nya yang
mau memenuhi panggilan-Nya: berpuasa dengan penuh keimanan dan harapan positif
untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Ramadhan adalah bulan penuh kasih sayang,
ampunan, kemuliaan, dan keberkahan bagi kita semua.
Tujuan puasa Ramadhan adalah membentuk Muslim yang bertaqwa (QS
Albaqarah [2]: 183), bukan untuk penyiksaan fisik dengan menahan lapar, haus, dan
dahaga, juga bukan untuk pengebirian nafsu, melainkan pengendalian dan pengelolaan
hawa nafsu. Puasa merupakan kecenderungan alami sekaligus merupakan kebutuhan
manusia, sesuai fitrahnya (QS Ali Imran [3]: 14). Manusia juga cenderung mampu
mengendalikan dan mengelola hawa nafsunya, jika memiliki keimanan dan kesadaran
religius yang kokoh untuk berkomitmen menjadi hamba-Nya yang bertaqwa.
Puasa berfungsi sebagai perisai atau benteng spiritual Muslim (as-shaumu
junnah) agar senantiasa berada dalam keseimbangan diri, sehingga watak dan selera
rendah manusia yang bersumber dari hawa nafsu dapat dikendalikan dan dimenej
menjadi potensi mental-spiritual yang tercermin dalam sifat-sifat luhur ketuhanan (alAsma’ al-Husna) dan nilai-nilai kemanusiaan (akhlaq mulia).
Puasa Ramadhan merupakan bulan pendidikan mental spiritual. Menurut Imam
al-Ghazali, melalui pendidikan Ramadhan, Muslim dididik untuk memiliki
kompetensi transformasi spiritual dari manusia yang berwatak sebagai ―budak hawa
nafsu‖ (‘abdul hawa) menjadi hamba Allah (‘abdullah) yang menyucikan dirinya.
Dengan kata lain, puasa berorientasi pada pembentukan karater atau watak Muslim yang
tangguh, tidak mudah tergoda oleh hawa nafsunya, dan selalu merasa diawasi dan
bersama Allah SWT. Karena itu, perilaku Muslim yang berpuasa semestinya selalu
mencerminkan akhlak Alquran.
Dalam hidupnya, manusia seringkali menjadi budak nafsu karena, menurut
sabda Nabi SAW, dalam aliran darah manusia terdapat potensi disusupi bujuk rayu setan
(HR. an-Nasa'i). Menurut Imam al-Ghazali, ada dua nafsu yang menjadikan manusia
terperangkap dalam budak nafsu, yaitu: nafsu ammarah dan nafsu lawwamah .Kedua
nafsu ini merupakan penghalang pendidikan karakter Muslim. Manusia seringkali
terpedaya oleh keduanya, sehingga terjerumus dalam kemaksiatan dan perbuatan dosa,
lalu menjadi tidak terhormat dan bermartabat.
Jika yang menjajah manusia adalah nafsu ammarah, maka ia akan
memperlihatkan watak sabu'iyyah yang mencerminkan sifat-sifat kebinatangan seperti:
mudah marah, pendendam, dan serakah. Sedangkan jika manusia didominasi nafsu
lawwamah, maka ia memunculkan watak bahimiyyah yang memperlihatkan watak
kebinatangan yang rakus, tidak mengenal halal dan haram. Sementara kombinasi nafsu
ammarah dan lawwamah akan memunculkan watak syaithaniyyah dalam diri manusia,
sehingga ia cenderung berperilaku takabur, iri, dengki, pendendam, tamak, korup, dan
serakah. Jadi, perilaku korup itu merupakan perilaku setan yang terkutuk.
Dengan mengendalikan dan mengelola nafsu –sesuai dengan arti lafazh shiyam
(puasa), puasa sejatinya adalah proses transformasi mental-spiritual dari watak
kebinatangan dan kesetanan menuju watak kemanusiaan dan ketuhanan yang baik. Inilah
hakikat puasa transformatif. Jika seorang Muslim tidak mampu melakukan trasformasi
diri menuju perbaikan moral, berarti ia gagal dalam berpuasa.
Oleh karena itu, Nabi SAW berulang kali mewanti-wanti umatnya: "Betapa
banyak orang berpuasa, tetapi yang diperoleh dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga
semata" (HR al-Bukhari dan Muslim). Jika hasil puasa hanya lapar dan dahaga, maka
puasanya hanya ―puasa perut‖, puasa fisik, padahal transformasi terpenting dari puasa
adalah perubahan mental-spiritual; menjadi orang yang bertaqwa.
Menurut Dr. Ahamd Taj dalam tulisannya, al-Shiyam Mu'jizat Ilmiyyah, puasa
Ramadhan tidak hanya dapat mengerem gejolak hawa nafsu yang membara, tetapi juga
dapat mengoptimalkan tingkat tanggung jawab seseorang dalam mengemban tugas dan
aktivitas produktif. Puasa juga tidak menimbulkan depresi psikologis karena rentang
waktu berpuasa yang berkisar antara 12-16 jam itu justeru dapat meningkatkan denyut
jantung sampai 12%, sehingga kondisi fisik dan psikis menjadi lebih bugar dan dinamis.
Di antara aspek kecerdasan emosi yang sangat ditekankan dalam puasa adalah kejujuran
dan kesabaran. Sabda Nabi SAW: "Puasa adalah separoh dari kesabaran." (HR Abu
Dawud).
Selain itu, puasa juga mendidik kita untuk memiliki kecerdasan spiritual. Pembiasaan
bangun pada waktu sahur mengandung hikmah bahwa Muslim harus disiplin waktu,
beribadah dan bekerja. Waktu sahur, kata Nabi SAW., adalah waktu yang paling tepat,
tidak hanya untuk memulai aktivitas baru, melainkan untuk beristighfar dan mendekatkan
diri kepada Allah, karena pada waktu sahur inilah para malaikat turun ke bumi untuk
menghampiri dan "mendata" para hamba-Nya yang sedang bermunajat kepada-Nya dan
menyampaikannya kepada Allah SWT agar permohonan mereka dikabulkan.
Dari segi kesehatan, pembiasaan diri bangun pada waktu sahur memungkinkan kita
dapat menghirup oksigen paling bersih dan segar, sehingga kebutuhan oksigen tubuh
dapat dipenuhi, dan pada gilirannya pikiran kita menjadi lebih jernih dan cerdas. Nabi
SAW menegaskan bahwa Allah senantiasa memberikan berkah (kebaikan, keutamaan)
kepada umatnya yang selalu bangun pagi hari (waktu sahur) (HR Al-Thabarani).
Aspek lain kecerdasan spiritual dari puasa adalah pembiasaan bertadarus Alquran.
Ramadan sendiri adalah syahr Alquran. Melalui tadarus ini kita dijak back to Alquran.
Selama sebelas bulan, kita boleh jadi jarang menyimak, membaca, dan merenungkan
ayat-ayat Alquran. Dalam bulan Ramadhan ini, kita diingatkan agar mau mengakrabi
Alquran. Sabda Nabi SAW: "Sebaik-baik kalian adalah orang yang mau belajar Alquran
dan mengajarkan atau mengamalkannya." (HR. al-Bukhari dan Muslim). Tadarus
Alquran selain menentramkan jiwa, juga meningkatkan spiritualitas dan moralitas kita.
Bukankah akhlaq Nabi SAW adalah Alquran? Sayyid Quthb dalam pengantar tafsirnya,
Fi Zhilal Alquran, menyatakan bahwa hidup di bawah naungan Alquran itu nikmat.
Pertanyaannya: "Sudahkah kita dapat menikmati dan memperoleh nikmat dari
pergumulan kita dengan Alquran?"
Puasa transformatif adalah puasa yang terencana dan bermakna dengan berbagai
agenda perubahan mental spiritual yang sudah diniati sejak awal Ramadhan. Puasa
transformatif menghendaki setiap Muslim membuat perencanaan "materi atau menu
spiritual" puasa, mulai dari optimalisasi amalan wajib hingga peningkatan amalan
sunnah. Jadi, hari-hari Ramadhan tidak dilalui dengan sekedar tidak makan, tidak
minum, dan tidak bersetubuh, melainkan harus dimaknai dengan qiyamul lail (tarawih),
tadarus Alquran, zikir, i'tikaf, sedekah, zakat, dan sebagainya .
Puasa transformatif idealnya juga menjadikan shaimin (pelaku puasa) lebih sehat,
memiliki kebugaran jasmani dan ruhani, sehingga tampil lebih produktif dan kreatif.
Karena itu, Muslim harus selalu mawas diri, sesuai makna leksikal taqwa, dan
bermuhasabah (evaluasi diri) terhadap kebermaknaan puasa telah dijalaninya tahun lalu.
Semoga kita semua berhasil mewujudkan puasa transformatif sehingga menjadi muttaqin
yang berakhak Islami. Wallahu a'lam bish-shawab!
Sumber: Artikel ini pernah dimuat dalam kolom OPINI Koran REPUBLIKA, 6
Juli 2013
Oleh Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
Marhaban ya Ramadhan. Ramadhan merupakan bulan pilihan Tuhan –satusatunya bulan yang disebut dalam Alqur’an— untuk disediakan bagi hamba-Nya yang
mau memenuhi panggilan-Nya: berpuasa dengan penuh keimanan dan harapan positif
untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Ramadhan adalah bulan penuh kasih sayang,
ampunan, kemuliaan, dan keberkahan bagi kita semua.
Tujuan puasa Ramadhan adalah membentuk Muslim yang bertaqwa (QS
Albaqarah [2]: 183), bukan untuk penyiksaan fisik dengan menahan lapar, haus, dan
dahaga, juga bukan untuk pengebirian nafsu, melainkan pengendalian dan pengelolaan
hawa nafsu. Puasa merupakan kecenderungan alami sekaligus merupakan kebutuhan
manusia, sesuai fitrahnya (QS Ali Imran [3]: 14). Manusia juga cenderung mampu
mengendalikan dan mengelola hawa nafsunya, jika memiliki keimanan dan kesadaran
religius yang kokoh untuk berkomitmen menjadi hamba-Nya yang bertaqwa.
Puasa berfungsi sebagai perisai atau benteng spiritual Muslim (as-shaumu
junnah) agar senantiasa berada dalam keseimbangan diri, sehingga watak dan selera
rendah manusia yang bersumber dari hawa nafsu dapat dikendalikan dan dimenej
menjadi potensi mental-spiritual yang tercermin dalam sifat-sifat luhur ketuhanan (alAsma’ al-Husna) dan nilai-nilai kemanusiaan (akhlaq mulia).
Puasa Ramadhan merupakan bulan pendidikan mental spiritual. Menurut Imam
al-Ghazali, melalui pendidikan Ramadhan, Muslim dididik untuk memiliki
kompetensi transformasi spiritual dari manusia yang berwatak sebagai ―budak hawa
nafsu‖ (‘abdul hawa) menjadi hamba Allah (‘abdullah) yang menyucikan dirinya.
Dengan kata lain, puasa berorientasi pada pembentukan karater atau watak Muslim yang
tangguh, tidak mudah tergoda oleh hawa nafsunya, dan selalu merasa diawasi dan
bersama Allah SWT. Karena itu, perilaku Muslim yang berpuasa semestinya selalu
mencerminkan akhlak Alquran.
Dalam hidupnya, manusia seringkali menjadi budak nafsu karena, menurut
sabda Nabi SAW, dalam aliran darah manusia terdapat potensi disusupi bujuk rayu setan
(HR. an-Nasa'i). Menurut Imam al-Ghazali, ada dua nafsu yang menjadikan manusia
terperangkap dalam budak nafsu, yaitu: nafsu ammarah dan nafsu lawwamah .Kedua
nafsu ini merupakan penghalang pendidikan karakter Muslim. Manusia seringkali
terpedaya oleh keduanya, sehingga terjerumus dalam kemaksiatan dan perbuatan dosa,
lalu menjadi tidak terhormat dan bermartabat.
Jika yang menjajah manusia adalah nafsu ammarah, maka ia akan
memperlihatkan watak sabu'iyyah yang mencerminkan sifat-sifat kebinatangan seperti:
mudah marah, pendendam, dan serakah. Sedangkan jika manusia didominasi nafsu
lawwamah, maka ia memunculkan watak bahimiyyah yang memperlihatkan watak
kebinatangan yang rakus, tidak mengenal halal dan haram. Sementara kombinasi nafsu
ammarah dan lawwamah akan memunculkan watak syaithaniyyah dalam diri manusia,
sehingga ia cenderung berperilaku takabur, iri, dengki, pendendam, tamak, korup, dan
serakah. Jadi, perilaku korup itu merupakan perilaku setan yang terkutuk.
Dengan mengendalikan dan mengelola nafsu –sesuai dengan arti lafazh shiyam
(puasa), puasa sejatinya adalah proses transformasi mental-spiritual dari watak
kebinatangan dan kesetanan menuju watak kemanusiaan dan ketuhanan yang baik. Inilah
hakikat puasa transformatif. Jika seorang Muslim tidak mampu melakukan trasformasi
diri menuju perbaikan moral, berarti ia gagal dalam berpuasa.
Oleh karena itu, Nabi SAW berulang kali mewanti-wanti umatnya: "Betapa
banyak orang berpuasa, tetapi yang diperoleh dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga
semata" (HR al-Bukhari dan Muslim). Jika hasil puasa hanya lapar dan dahaga, maka
puasanya hanya ―puasa perut‖, puasa fisik, padahal transformasi terpenting dari puasa
adalah perubahan mental-spiritual; menjadi orang yang bertaqwa.
Menurut Dr. Ahamd Taj dalam tulisannya, al-Shiyam Mu'jizat Ilmiyyah, puasa
Ramadhan tidak hanya dapat mengerem gejolak hawa nafsu yang membara, tetapi juga
dapat mengoptimalkan tingkat tanggung jawab seseorang dalam mengemban tugas dan
aktivitas produktif. Puasa juga tidak menimbulkan depresi psikologis karena rentang
waktu berpuasa yang berkisar antara 12-16 jam itu justeru dapat meningkatkan denyut
jantung sampai 12%, sehingga kondisi fisik dan psikis menjadi lebih bugar dan dinamis.
Di antara aspek kecerdasan emosi yang sangat ditekankan dalam puasa adalah kejujuran
dan kesabaran. Sabda Nabi SAW: "Puasa adalah separoh dari kesabaran." (HR Abu
Dawud).
Selain itu, puasa juga mendidik kita untuk memiliki kecerdasan spiritual. Pembiasaan
bangun pada waktu sahur mengandung hikmah bahwa Muslim harus disiplin waktu,
beribadah dan bekerja. Waktu sahur, kata Nabi SAW., adalah waktu yang paling tepat,
tidak hanya untuk memulai aktivitas baru, melainkan untuk beristighfar dan mendekatkan
diri kepada Allah, karena pada waktu sahur inilah para malaikat turun ke bumi untuk
menghampiri dan "mendata" para hamba-Nya yang sedang bermunajat kepada-Nya dan
menyampaikannya kepada Allah SWT agar permohonan mereka dikabulkan.
Dari segi kesehatan, pembiasaan diri bangun pada waktu sahur memungkinkan kita
dapat menghirup oksigen paling bersih dan segar, sehingga kebutuhan oksigen tubuh
dapat dipenuhi, dan pada gilirannya pikiran kita menjadi lebih jernih dan cerdas. Nabi
SAW menegaskan bahwa Allah senantiasa memberikan berkah (kebaikan, keutamaan)
kepada umatnya yang selalu bangun pagi hari (waktu sahur) (HR Al-Thabarani).
Aspek lain kecerdasan spiritual dari puasa adalah pembiasaan bertadarus Alquran.
Ramadan sendiri adalah syahr Alquran. Melalui tadarus ini kita dijak back to Alquran.
Selama sebelas bulan, kita boleh jadi jarang menyimak, membaca, dan merenungkan
ayat-ayat Alquran. Dalam bulan Ramadhan ini, kita diingatkan agar mau mengakrabi
Alquran. Sabda Nabi SAW: "Sebaik-baik kalian adalah orang yang mau belajar Alquran
dan mengajarkan atau mengamalkannya." (HR. al-Bukhari dan Muslim). Tadarus
Alquran selain menentramkan jiwa, juga meningkatkan spiritualitas dan moralitas kita.
Bukankah akhlaq Nabi SAW adalah Alquran? Sayyid Quthb dalam pengantar tafsirnya,
Fi Zhilal Alquran, menyatakan bahwa hidup di bawah naungan Alquran itu nikmat.
Pertanyaannya: "Sudahkah kita dapat menikmati dan memperoleh nikmat dari
pergumulan kita dengan Alquran?"
Puasa transformatif adalah puasa yang terencana dan bermakna dengan berbagai
agenda perubahan mental spiritual yang sudah diniati sejak awal Ramadhan. Puasa
transformatif menghendaki setiap Muslim membuat perencanaan "materi atau menu
spiritual" puasa, mulai dari optimalisasi amalan wajib hingga peningkatan amalan
sunnah. Jadi, hari-hari Ramadhan tidak dilalui dengan sekedar tidak makan, tidak
minum, dan tidak bersetubuh, melainkan harus dimaknai dengan qiyamul lail (tarawih),
tadarus Alquran, zikir, i'tikaf, sedekah, zakat, dan sebagainya .
Puasa transformatif idealnya juga menjadikan shaimin (pelaku puasa) lebih sehat,
memiliki kebugaran jasmani dan ruhani, sehingga tampil lebih produktif dan kreatif.
Karena itu, Muslim harus selalu mawas diri, sesuai makna leksikal taqwa, dan
bermuhasabah (evaluasi diri) terhadap kebermaknaan puasa telah dijalaninya tahun lalu.
Semoga kita semua berhasil mewujudkan puasa transformatif sehingga menjadi muttaqin
yang berakhak Islami. Wallahu a'lam bish-shawab!
Sumber: Artikel ini pernah dimuat dalam kolom OPINI Koran REPUBLIKA, 6
Juli 2013