Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengangkatan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Menurut Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah & Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Disusun Oleh
Rizky Ramandhika
1111048000074

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2015 M

LEMBAR PERNYATAAN


Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu
syarat memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima saksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Oktober 2015

Rizky Ramandhika

iii

ABSTRAK


RIZKY RAMANDHIKA 1111048000074 PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DALAM PENGANGKATAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
MENURUT UNDANG-UNDANG NO 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN. Program
Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan negara, Fakultas Syariah dan Hukum,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M. xi + 79 halaman. Penelitian ini menganalisa
bagaimana persetujuan dewan perwakilan rakyat terhadap pengangkatan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia dalam konteks ketatanegaraan Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat baik secara ilmiah yaitu dalam studi ilmu hukum, dan secara praktis
maupun akademis yaitu sebagai masukan bagi penulis maupun pihak-pihak yang memiliki
keinginan untuk menganalisa lebih jauh tentang peran Dewan Perwakilan Rakyat terhadap
pengangkatan pejabat publik. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian pustaka yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada
norma-norma hukum yang ada dalam perundang-undangan, kepustakaan, pendapat ahli, dan
jurnal. Penulis menganalisa landasan filosofis,sosiologis dan yuridis terbentuknya undangundang no 2 tahun 2002 tentang kepolisian kemudian bagaimana persetujan Dewan Perwakilan
Rakyat terhadap Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan apa dampaknya
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Ketatanegaraan Indonesia. Penulis menganalisa
dengan cara mencari sumber-sumber terkait yang berhubungan dengan sistem ketatanegaraan di
Indonesia dengan melihat dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian,
pendapat ahli maupun sumber yang lain. Sistem ketatanegaraan Indonesia menggunakan sistem
presidensil sehingga tidak sesuai apabila DPR ikut menyetujui pengangkatan Kepala Kepolisian

Republik Indonesia. Hasil Penelitian menunjukan bahwa penulis tidak setuju dengan adanya
frasa “atas persetujuan DPR” karena Negara Indonesia menganut sistem presidensil dan juga
Kapolri berada dibawah Presiden dan bertanggung jawab kepada presiden atas nama rakyat.
penulis lebih setuju dengan “atas Pertimbangan” Dewan Perwakilan Rakyat dapat memberikan
catatan-catatan khusus kepada presiden sebagai bentuk pengawasan, dampak dari peran DPR
adalah Pergeseran kekuasaan presiden sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan dalam
sistem presidensil, Presiden bukanlah pemegang otoritas tunggal dalam memilih Kepala
Kepolisian Republik Indonesia, Sistem Presidensil tidak berjalan secara konsisten.
Kata Kunci

: Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, Pengangkatan
Kepala Kepolisian , Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

Pembimbing

: Dr, Sodikin SH, MH, MSi
Nur Rohim Yunus, LL.M

Daftar Pustaka


: Tahun 1957 Sampai Tahun 2015
iv

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah swt yang
maha kasih serta maha penyayang, atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DALAM PENGANGKATAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK
INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002
TENTANG KEPOLISIAN”
Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada seluruh nabi yang telah berjasa
mengajarankan umat manusia tentang sifat Welas Asih, Kesabaran, Kejujuran,
Keberanian, Kepasrahan, Kewaspadaan, Kehati-hatian dan semua tentang sifat
kebaikan yang menghantarkan manusia dari zaman kegelapan ke zaman penuh
dengan kedamaian dan suka cita
Penulisan skripsi ini dilakukan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini tidak
mungkin diselesaikan dengan baik dan tepat oleh penulis tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Asep Syarifuddin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.

v

2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H, M.H. dan Abu Thamrin, SH, M.H. Ketua
dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr, Sodikin S.H, M.H, MSi dan Nur Rohim Yunus LL.M selaku Dosen
Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk
memberikan bimbingan dalam menyusun skripsi ini. Semoga ilmu yang telah
diajarkan dapat bermanfaat bagi penulis dan mendapat balasan yang berlimpah
dari Allah swt.
4. Ismail Hasani, S.H, M.H, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu
membantu penulis dari semester I hingga semester VIII, semoga bapak selalu
mendapat keberkahan.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum khususnya dosen-dosen Ilmu Hukum
yang telah memberikan ilmu-ilmunya selama penulis menjadi mahasiswa Ilmu
Hukum. Semoga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat bagi penulis dan
mendapat balasan yang berlimpah dari Allah SWT.
6. Kedua orang tua tercinta Bapak Fifin Arifin dan Ibu Neneng Supriyatin yang

selalu mencurahkan kasih sayangnya, memberi dukungan baik materil maupun
moril, dan tiada henti mendoakan penulis hingga penulis selesai menyelesaikan
skripsi ini.
7. Kepada Keluarga Besar RELIGI (Rela Tak Di Gaji) Kanjeng, Aki Balong, Bu
Blor, Pak Sana, Bu Raksa, Ki Santang, Loreina, Sulaiman, Papahnonok, Wulan,
Kalinyamat, Muria, Sawo, Nyimas, Ghyby,

yang selalu mensupport penulis

dengan berbagai macam petunjuk yang sangat berharga sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan
vi

8. Kepada Yunita Chairani Damanik kekasih tercinta yang selalu membantu penulis
dan memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikannya dengan cukup baik walaupun sampai harus terlunta-lunta tetapi
penulis tetap semangat, I Love you full…….
9. Teman-teman Ilmu Hukum: Sandi, Kiki, Isam, Tomi, Aryo, Gari, Ridwan,
Nando, Anto, Haidar, Jemi, Tege, Marwan, Ade, Adri, Uyung, Ian, Daboy,
Gilang, Waldan, Masda, Ulama, Riyan, Engkoh, yang tidak bisa disebutkan satu

persatu namanya terima kasih atas kebersamaanya, semangatnya, serta
wawasannya sehingga penulis bisa mencapai tahap ini semoga kita semua bisa
menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih dan maaf yang sebesar-sebesarnya apabila terdapat
kata-kata di dalam penulisan yang kurang berkenan bagi pihak-pihak tertentu.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di
Indonesia khususnya bagi penulis.

Jakarta, 5 Oktober 2015

Rizky Ramandhika

vii

DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING …….....................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI…………………...…….ii
LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………………...iii
ABSTRAK ………………………….…………………………………………..…. .iv
KATA PENGANTAR …………………………………………………………..….v

DAFTAR ISI ……………………………………………………………................vii

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah ……………………………………..1

B.

Batasan Dan Rumusan Masalah ……….………….................6

C.

Tujuan Dan Manfaat Penelitian …………………............... ..7

D.

Tinjauan Kajian Terdahulu ………………………………......9


E.

Kerangka Konseptual ………………………………............ 10

F.

Metode Penelitian …………………………………………..13

G.

Sistematika Penulisan …………………………………........16

viii

BAB II

BAB III

NEGARA HUKUM INDONESIA

A.

Teori Negara Hukum…………………………... …….…… 17

B.

Sistem Check and Balance…………. …………………….. 21

C.

Hak Prerogatif Presden Sebagai Kepala Negara…….............22

D.

Lembaga Perwakilan Rakyat …………………….………....26

E.

Uji Kepatutan dan Kelayakan…………. ……………….......30


LEMBAGA KEPOLISIAN DAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAN INDONESIA
A.

Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia………... ...34
1. Sejarah Lembaga Kepolisian Republik Indonesia……....34
2. Kedudukan Lembaga Kepolisian Republik Indonesia…..37
3. Tugas dan Kewenangan Lembaga Kepolisian…………..40

B.

Dewan Perwakilan Rakyat.....................................................45
1. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat…………………44
2. Susunan Dewan Perwakilan Rakyat……………………45
3. Tugas dan Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat……46

C.

Mekanisme Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan ........…… 47

ix

BAB IV

PERAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM
PENGANGKATAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK
INDONESIA
A.

Landasan Filosofis Sosioligis dan Yuridis Terbentuknya
Undang Undang No 2 Tahun 2002…………….................. 51
1. Landasan Filosofis……………………………………….51
2. Landasan Sosiologis……………………………………..52
3. Landasan Yuridis…………………………………….......57

B.

Peran Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengangkatan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia………..................... 58

C.

Dampak Adanya Peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam
Hal Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia…..………………………………………………..70

BAB V

PENUTUP
A.

Kesimpulan …………………….……………………….. …74

B.

Saran ………………………….…………………………….75

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...76

x

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai macam suku
bangsa ras dan budaya yang tersebar di berbagai pulau yang ada di Indonesia.
Kedaulatan yang dianut dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 adalah
kedaulatan rakyat sekaligus kedaulatan hukum.1 Dimana pun suatu negara yang
berkedaulatan hukum salah satu tujuan pokoknya adalah melindungi Hak Asasi
Manusia dan menciptakan kehidupan yang sejahtera bagi warga negara.
Keberadaan suatu negara hukum menjadi prasyarat bagi terselenggaranya Hak
Asasi Manusia dan kehidupan demokratis. Dasar filosofi perlunya perlindungan
hukum terhadap hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia sematamata karena ia manusia. Umat manusia memiliki hak asasi bukan karena
diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif melainkan
semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.2
Hak asasi manusia adalah hak dasar kodrati setiap orang yang
keberadaannya sejak berada dalam kandungan, dan ada sebagai pemberian.

1

Janedri M Gaffar, Demokrasi konstitusional praktik ketatanegaraan Indonesia setelah
perubahan UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), h.7.
2

Rhona K.M smith, at.al.---, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:PUSHAM UII,
2008), h,11

1

2

Tuhan dan karenanya, negara wajib melindunginya. Perlindungan Hak Asasi
Manusia di Indonesia secara yuridis didasarkan pada Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945. Pemberian jaminan hak asasi yang biasa disebut
juga sebagai hak konstitusional. Suatu negara hukum yang lahir dari
konstitusionalisme harus bercirikan :
1) adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia,
2) adanya peradilan yang bebas dan mandiri
3) serta adanya asas legalitas.
Oleh karena itu, hak konstitusional warga negara harus dijamin dalam
konstitusi sebagai bentuk pengakuan Hak Asasi Manusia serta adanya peradilan
yang independen tidak terpengaruh oleh penguasa dan segala tindakan
pemerintahan harus didasarkan atas hukum. Selain itu yang dimaksud dengan
negara hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan
kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya
kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan
itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara
yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika
peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga
negaranya.3
Menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia
sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya
pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik
3

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
(Jakarta:Sinar Bakti,1988) h., 153.

3

tidaknya suatu peraturan undang-undang dan membuat undang-undang adalah
sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu yang
terpenting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari
sikap yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.4
Negara Republik Indonesia mengenal adanya lembaga-lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan melaksanakan
pembagian kekuasaan (distribution of power) antara lembaga-lembaga negara.
Kekuasaan lembaga-lembaga negara tidaklah diadakan pemisahan yang kaku dan
tajam, tetapi ada koordinasi yang satu dengan yang lainnya. Sebagai negara
demokrasi, pemerintahan Indonesia menerapkan teori trias politika. Trias politika
adalah pembagian kekuasaan pemerintahan menjadi tiga bidang yang memiliki
kedudukan sejajar. Ketiga bidang tersebut yaitu :
1. Legislatif yaitu bertugas membuat undang undang. Bidang legislatif adalah
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
2. Eksekutif yaitu bertugas menerapkan atau melaksanakan undang-undang.
Bidang eksekutif adalah presiden dan wakil presiden beserta menterimenteri yang membantunya.
3. Yudikatif yaitu bertugas mempertahankan pelaksanaan undang-undang.
Adapun unsur yudikatif terdiri atas Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah
Konstitusi (MK).
Kekuasaan

Legislatif

sebagai

pembuat

undang-undang

dalam

hal

menjalankan praktik ketatanegaraan, sebagai pembuat hukum di suatu Negara.
4

Ibid., h. 154.

4

Dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat adalah suatu struktur legislatif yang
punya kewenangan membentuk undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat terdiri
atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan
umum. Dalam membentuk undang-undang tersebut Dewan Perwakilan Rakyat
harus melakukan pembahasan serta persetujuan bersama Presiden.
Negara Indonesia selain menggunakan konsep trias politica juga mengenal
dengan adanya teori sistem pemerintahan yaitu sistem pemerintahan presidensil
yang termaktub dalam pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi
“Presiden memegang kekuasaan pemerintah berdasarkan undang-undang”
bahwa sesungguhnya presiden pemegang kekuasaan tertinggi atas roda
pemerintahan suatu Negara oleh karena itu presiden berhak atas hak
prerogratifnya mengangkat jajaran pemerintahanya tanpa terperngaruh oleh
lembaga lain, dalam hal ini pengangkatan calon Kepala Kepolisian Republik
Indonesia (KAPOLRI). Lembaga kepolisian merupakan lembaga independen
dibawah ranah eksekutif yang bertugas mengawal negara Indonesia dalam
menjaga kestabilan dari segi internal.
Fenomena yang terjadi di masyarakat yaitu dewan perwakilan rakyat ikut
serta dalam menentukan Kepala Kepolisian Republik Indonesia bersama presiden
padahal sistem pemerintahan kita menganut sistem presidensil kewenangan
pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia harusnya utuh berada
ditangan presiden karena presiden memiliki hak prerogratif dalam pengangkatan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Penulis berkeinginan untuk meniliti lebih
dalam tentang permasalahan ini dengan judul “Persetujuan Dewan Perwakilan

5

Rakyat Dalam Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Menurut Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian ”
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat begitu luasnya cakupan pada pembahasan ini, maka penulis
membatasi pembahasan yaitu sebatas peranan dan hubungan lembaga Legislatif
dengan lembaga Eksekutif, sejarah singkat lembaga kepolisian di indonesia,
mekanisme pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia serta teori yang
berhubungan dengan Negara hukum.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang telah
diuraikan di atas, permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah:
a. Apa landasan filosofis,sosiologis dan yuridis terbentuknya Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002?
b. Bagaimana peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam pengangkatan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia?
c. Bagaimana dampak intervensi dewan perwakilan rakyat dalam pengangkatan
kepala kepolisian republik Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah dijelaskan, maka tujuan
penulisan penelitian adalah sebagai berikut:

6

a. Untuk mengetahui

apa landasan

filosofis,

sosiologis

dan

yuridis

terbentuknya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
b. Untuk mengetahui bagaimana peran dewan perwakilan rakyat dalam
pengangkatan kepala kepolisian republik Indonesia
c. Untuk mengetahui dampak intervensi dewan perwakilan rakyat dalam
pengangkatan kepala kepolisian republik indonesia
2. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
fungsi kekuasaan legislatif serta dapat mengetahui sejauh mana hubungan
lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif dalam pengangkatan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia dalam suatu praktek ketatanegaraan dan
memperkaya khazanah penelitian ilmiah hukum tata negara yang bermanfaat
bagi setiap bangsa.
b. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini, yaitu:
1) Bagi Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi ilmu hukum
khususnya di bidang kelembagaan negara yang berkaitan dengan Peran
lembaga legislatif dalam menjalankan tugasnya yang nantinya diharapkan
dapat dipergunakan untuk bahan kajian mahasiswa.
2) Bagi Masyarakat Umum

7

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah tambahan informasi kepada
masyarakat dan diharapkan bisa menjadi bahan acuan bagi peneliti lain yang
ingin melakukan penelitian lebih lanjut dalam hal kewenangan dewan
perwakilan rakyat dalam pengangkatan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia.
3) Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dalam peranya mengangkat Kepala Kepolisian Republik
Indonesia bersama presiden dalam hal ini agar Dewan Perwakilan Rakyat
mempertimbangkan sistem pemerintahan presidensil di Indonesia
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis akan menyertakan
beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi
yang akan dibahas sebagai berikut:
Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Alam Saputra yang berjudul
“Pergeseran Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengangkatan Duta
Besar Republik Indonesia Sebelum dan Sesudah Perubahan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945” dalam skripsinya beliau membahas tentang pergeseran
kewenangan pangangkatan Duta dan Konsul Republik Indonesia sebelum dan
sesudah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, terlihat pada posisi Presiden
dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Undang-Undang Dasar 1945 menjadi hak
penuh dari Presiden untuk mengangkat Duta

dan Konsul. Namun setelah

perubahan Undang-Undang Dasar 1945, sebelum Duta dan Konsul diangkat oleh

8

presiden, maka harus mendapatkan pertimbangan terlebih dahulu dari Dewan
Perwakilan Rakyat.
Penelitian Skripsi yang dilakukan oleh Lana Rachmalia Octavani pada tahun
2013 yang berjudul “ Pergeseran Kewenangan Lembaga Negara Setelah
Amandemen

Undang-Undang

Dasar

1945

(Studi

Terhadap

Majelis

Permusyawaratan Rakyat)” dalam skripsinya beliau membahas tentang pergeseran
kewenangan lembaga tinggi Negara yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat
setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945
Skripsi yang saya lakukan ada perbedaan dengan dua penulis skripsi diatas
karena berbeda obyek penelitian, penulis pertama obyek penelitianya adalah Duta
Konsul sedangkan skripsi penulis obyek penelitianya adalah Kepala Kepolisian
Republik Indonesia, untuk penulis kedua berbeda dengan skripsi penulis karena
beliau

berbicara

tentang

pergeseran

kewenangan

lembaga

Majelis

Permusyawaratan Rakyat sedangkan skripsi penulis berbicara tentang Dewan
Perwakilan Rakyat yang ikut campur dalam hal pengangkatan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia.
E. Kerangka Konseptual
Suatu kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan anatara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan
merupakan gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala
tersebut. Gejala biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan uraian

9

mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut5. Penulisan skripsi ini
menggunakan definisi operasional sebagai berikut:
1. Negara Hukum
Negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaannya
didasarkan atas hukum. Menurut Arif Sidharta, ciri negara hukum ada lima
yakni: (1) perlindungan terhadap hak asasi manusia, (2) perlakunya asas
kepastian hukum, (3) adanya persamaan didepan hukum (equality before the
law), (4) penerapan asa demokrasi, (5) pemerintah dan pejabat yang amanah
dalam mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat6
2. Trias Politica
Trias Politica, yaitu bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam
kekuasaan: kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan
eksekutif (melaksanakan undang-undang), kekuasaan yudikatif (kekuasaan
mengadili). Trias politica memiliki prinsip normatif bahwa kekuasaankekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Doktrin ini
pertama kali dikenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquie
(1689-1755) dan ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan. Ada perbedaan
antara mereka berdua. John Locke memasukkan kekuasaan yudikatif
kedalam

kekuasaan

eksekutif,

sedangkan

Montesquuie

memandang

kekuasaan pengadilan sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri.
5

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h, 132.

B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal
Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II,
(November 2004), hal, 124.
6

10

Dalam perkembangannya, meskipun ketiga kekuasaan ini sudah
dipisah satu dengan lainnya ada kalanya diperlukan check and balance
(pengawasan dan keseimbangan) diantara mereka, dimana setiap cabang
kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasan lainnya
sehingga dalam praktik ketatanegaraan dapat mengurangi masalah-masalah
antar lembaga dan agar setiap lembaga tidak melakukan kesewenangwenangan dalam hal menjalankan tugasnya.
3. Sistem Pemerintahan Presidental, parlementer dan referendum
Moh. Mahfud mengemukakan bahwa dalam studi ilmu negara dan
ilmu politik dikenal adanya tiga sistem pemerintahan negara, yaitu
Presidental, Parlementer, dan Referendum.7 :
a. Didalam sistem Presidental dapat dicatat adanya prinsip-prinsip
sebagai berikut : Kepala negara menjadi kepala pemerintahan dan
pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (DPR),
kedudukan pemerintah dan parlemen adalah sejajar. Kemudian
Menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden,
Eksekutif dan Legislatif sama-sama kuat.
b. Sistem Parlementer, menganut ciri-ciri sebagai berikut : Kepala Negara
tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan karena ia lebih
bersifat simbol nasional (pemersatu bangsa), pemerintah dilakukan
oleh sebuah kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri.
Kabinet bertanggung jawab kepada dan dapat dijatuhkan oleh
7

Moh.Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Cet -II (Jakarta,
Rineka Cipta, 2001), h. 90

11

parlemen melalui mosi, (karena itu) kedudukan eksekutif (kabinet)
lebih rendah dari (dan tergatung pada ) parlemen. Sebagai imbangan
dari lebih lemahnya kabinet ini, maka kabinet dapat meminta kepala
negara untuk membubarkan parlemen (DPR) dengan alasan-alasan
yang sangat kuat karena parlemen dinilai tidak representatif. Tapi jika
demikian yang terjadi maka dalam waktu yang relatif pendek kabinet
harus menyelenggarakan pemilu untuk membentuk parlemen baru.
c. Sistem Referendum. Dalam sistem ini, lembaga eksekutif merupakan
bagian dari lembaga legislatif, jadi Lembaga Eksekutif adalah badan
pekerja dari lembaga legislatif yang dibentuk oleh lembaga legislatif
sebagai pelaksana tugas pemerintah. Kontrol terhadap lembaga
legislatif dalam sistem ini dilakukan langsung oleh rakyat melalui
lembaga referendum. Pembuatan undang-undang di dalam sistem
referendum ini diputuskan langsung oleh seluruh rakyat melalui dua
macam mekanisme, yaitu Referendum ogligator, yaitu referendum
untuk menentukan disetujui atau tidaknya oleh rakyat berlakunya suatu
peraturan atau perundang-undangan baru. Referendum ini disebut
referendum wajib. Referendum fakultatif, yaitu referendum untuk
menentukan apakah suatu peraturan atau undang-undang yang sudah
ada dapat terus diberlakukan ataukah harus dicabut. Referendum ini
merupakan referendum tidak wajib.

12

F. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang sedang dihadapi.8 Dari penelitian tersebut dapat dijadikan dasar pemikiran
bahwa suatu penelitian diselesaikan untuk dapat menjawab isu-isu penting dan
terhangat yang terjadi di dalam suatu masyarakat khususnya di bidang hukum
dengan menganalisis isu-isu tersebut. Setelah dianalisa maka dilakukan
pemeriksaan secara mendalam terhadap fakta-fakta hukum yang relevan untuk
menjawab permasalahan yang ada.9 Selain itu menurut Soerjono Soekanto
penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan konstruksi di bidang hukum yang dilakukan secara metodologis, sistematis,
dan konsisten, yang bertujuan untuk memperlajari suatu gejala hukum tertentu
dengan cara menganalisanya.10
1. Jenis Penelitian
Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat yuridis
normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada sejauh mana peran Dewan
Perwakilan Rakyat dalam hal pengangkatan Kepala Kepolsian Republik
Indonesia dan hubungan Dewan Persetujuan Rakyat dengan Presiden dalam

8

Peter mahmud marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:kencana,2009) h.35.

9

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , (Jakarta: UI Press, 1982) h.43.

Topo Santoso,”Penulisan Proposal Penelitian Hukum Normatif”:Pelatihan Penelitian
Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia” 25 April 2005 Depok.
10

13

hal Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan mekanisme
pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini
menggunakan

pendekatan

perundang-undangan

(statute

approach),

pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan analisis dan
konseptual hukum (conceptual approach).11 Pendekatan perundangundangan dilakukan dengan meneliti berbagai peraturan hukum yang
menjadi fokus dalam penelitian. Dalam hal ini pendekatan perundangundangan beranjak pada peraturan yang berkaitan dengan peran Dewan
Perwakilan Rakyat, hubungan dewan perwakilan rakyat dengan presiden
dalam hal pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia serta
mekanisme pengangkatannya.
Pendekatan sejarah dilakukan untuk mengetahui asal ataupun sebab
lahirnya Lembaga Legislatif dan Lembaga Kepolisian Pendekatan analisis
dan konseptual hukum dilakukan dengan cara menelaah pandangan para ahli
hukum tata negara yang berkaitan dengan Lembaga Legislatif, Lembaga
Eksekutif dan Lembaga Kepolisian dan menghubungkan dengan pendekatan
undang-undang dan pendekatan sejarah.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer

11

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet.VI(Surabaya: Kencana, 2010), h.126

14

Badan Hukum Primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Undang-Undang Dasar 1945
2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
b.Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri
dari buku-buku yang berhubungan dengan trias politika, Negara hukum,
lembaga eksekutif, lembaga legislatif, Lembaga kepolisian dan buku-buku
Hukum Tata Negara, skripsi, tesis dan disertasi tentang hukum tata negara
yang berkaitan dengan peran lembaga legislatif, hubungan lembaga
legislatif dengan lembaga eksekutif dalam hal pengangkatan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia
c. Bahan Non Hukum
Adalah bahan yang menunjang petunjuk maupun penjelasan
bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
hukum, Ensiklopedia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan lain
sebagainya.
4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder maupun bahan hukum non-hukum diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara
mengolahnya dengan mengumpulkan data-data yang diperoleh dari

15

pendekatan yang dilakukan oleh penulis yakni pendekatan perundangundangan dan sejarah, kemudian dihubungkan dengan pendapat para ahli
hukum.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun sesuai dengan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Terbitan
Tahun 2012, yang terbagi dalam lima Bab. Pada setiap bab terdiri dari sub bab
yang digunakan untuk memperjelas ruang lingkup dan inti permasalahan yang
diteliti.
Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta inti permasalahan
adalah sebagai berikut:
BAB I :Merupakan pendahulu yang bermuatkan: Latar Belakang Masalah,
Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan
Review/ Kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
BAB II :Merupakan bab pembahasan tentang landasan teori seperti teori Negara
hukum, sistem check and balance, hak prerogratif dan presiden sebagai
kepala Negara dan teori perwakilan rakyat
BAB III :Merupakan bab pembahasan tentang mekanisme pengangkatan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia, sejarah lembaga kepolisian, kedudukan
lembaga

kepolisian

dalam

praktek

ketatanegaraan,

mekanisme

pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam perundangundangan

16

BAB IV :Merupakan bab yang akan membahas tentang landasan filosofis,
sosiologis dan yuridis Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian, peran dewan perwakilan rakyat dalam hal pengangkatan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dampak adanya peran dewan
perwakilan rakyat dalam hal pengangkatan calon Kepala Kepolisian
Republik Indonesia
BAB V :Merupakan Bab Penutup, dalam bab ini akan menjelaskan Tentang
kesimpulan dan saran. Pada kesimpulan akan diuraikan secara ringkas
menganai jawaban dari permasalahan inti yang sebagaimana telah
diuraikan pada bab pendahuluan. Saran berisi masukan-masukan dari
penulis terkait dengan pembahasan.

20

83

83

85

Perpres No 17 Tahun 2011 pasal 16 ayat 1

Unsur Filosofis, berisi landasan kewenangan suatu instansi/ lembaga dalam
menyusun peraturan (masalah sosial yang ingin diselesaikan dengan peraturan);
Unsur Sosiologis, berisi fakta yang ingin diatur (penyebab utama masalah sosial);
Unsur Yuridis, memuat pernyataan tentang pentingnya pengaturan (solusi atas
permasalahan).

85

BAB II
NEGARA HUKUM INDONESIA

A. Teori Negara Hukum
Konsep negara hukum merupakan salah satu objek studi yang selalu aktual
untuk dapat dikaji lebih dalam. Pengertian negara hukum terus berkembang
mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Oleh karena itu, dalam rangka
memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu diketahui terlebih
dahulu gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum yang
mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum.1
Awal mula gagasan hukum sudah berkembang sejak 1800 SM.2 Akar terjauh
mengenai perkembangan awal pemikiran negara hukum adalah pada masa Yunani
Kuno yang dikemukakan oleh Plato, ketika memperkenalkan konsep nomoi.3
Menurut Plato penyelenggaraan negara yang baik harus didasarkan pada hukum
yang baik, yaitu negara yang berkonstitusi dan berkedaulatan hukum.4 Terdapat
tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu suatu pemerintahan yang
dilaksanakan:

1

Jazim Hamidi, dkk. Teori Hukum Tata Negara, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h

143
2

J.J. Von Schmid, Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, (Jakarta: Pembangunan,

1988), h.7
3

Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT Raja Gravindo, 2007), h.3

4

Jazim Hamidi, Teori Hukum Tata Negara, h.143

17

18

1) Untuk kepentingan umum
2) Menurut hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum
yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan
konstitusi.
3) Atas kehendak raykat, bukan karena paksaan atau tekanan yang
dilaksanakan oleh pemerintahan despotik.
Pada perkembangannya, Immanuel Kant memberikan gambaran tentang
negara hukum Liberal, yaitu negara hukum dalam arti sempit yang menempatkan
fungsi recht pada staat, sehingga negara berfungsi sebagai penjaga malam.
Artinya, tugas-tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat, jangan diganggu atau
dilanggar, mengenai kemakmuran rakyat tidak boleh ada campur tangan
pemerintah yang sewenang-wenang.
Dalam konsep negara hukum selanjutnya muncul istilah rechtsstaat yang
banyak dianut di negara-negara Eropa Kontinental yang bertumpu pada sistem
civil law. Konsep rechtsstaat ini dikemukakan oleh Frederick Julius Stahl5 yang
menyatakan bahwa dalam negara hukum terdapat beberapa unsur utama secara
formal, yaitu sebagai berikut:
1) Pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia
2) Penyelenggara negara harus berdasarkan teori Trias Politika
3) Pemerintah menjalankan tugasnya berdasarkan Undang-Undang
4) Adanya pengadilan administrasi jika pemerintah melanggar Hak Asasi
Manusia dalam menjalankan tugasnya.
5

Moh. Mahmud.M.D, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama
Media, 1999), h.127 h

19

Berbeda

dengan

Eropa

Kontinental,

negara-negara

Anglo-Saxon

menyebutnya sebagai the rule of law yang dipelopori oleh A. V. Dicey. Menurut
Dicey konsep the rule of law menekankan pada tiga tolak ukur yang meliputi6
supremasi hukum ( supremacy of law), persamaan di hadapan hukum (equality
before the law), dan konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the
constitution based on individual rights). Rechtsstaat banyak dianut negara-negara
Eropa Kontinental yang bertumpu pada sistem civil law, sedangkan the rule of law
banyak dikembangkan di negara-negara dengan tradisi Anglo-Saxon yang
bertumpu pada sistem common law. perbedaan dua konsep tersebut adalah pada
konsep civil law lebih menitikberatkan pada administrasi, sedangkan pada konsep
common law menitikberatkan pada yudisial.
Istilah negara hukum dalam berbagai literatur tidak bermakna tunggal, tetapi
dimaknai berbeda dalam waktu dan tempat yang berbeda sangat tergantung pada
ideologi dan sistem politik suatu negara. Setiap tindakan penguasa ataupun
raykatnya harus berdasarkan pada hukum dan sekaligus dicantumkan tujuan
negara hukum, yaitu menjamin hak-hak asasi rakyat. Menurut Tahir Azhari7
dalam penelitiannya sampai kesimpulan bahwa istilah negara hukum adalah suatu
genus begrip yang terdiri atas lima konsep, sebagai berikut:
1) Konsep negara hukum menurut AL Quran dan sunah yang diistilahkannya
dengan nomokrasi Islam
6

Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai
Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945,(Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h.30
7

M. Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari
Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, cet.III
(Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007), h.83-84

20

2) Konsep rechtstaat
3) Konsep rule of law
4) Konsep socialist legality
5) Konsep negara hukum Pancasila
Konsep rule of law merupakan pengembangan semata dari konsep
rechtsstaat. Sementara itu, antara konsep rule of law dengan socialist legality
mengalami pengembangan sejarah dan ideologi yang berbeda di mana rechtsstaat
dan rule of law berkembang negara Inggris, Eropa Kontinental, dan Amerika
Serikat, sedangkan socialist legality berkembang di negara-negara komunis dan
sosialis seperti Rusia, Korea utara, China. Namun sebenarnya, ketiga konsep
tersebut lahir dari akar yang sama yaitu manusia sebagai titik fokus yang
menempatkan rasionalisme, humanisme, dan sekularisme sebagai nilai dasar yang
menjadi sumber nilai.
Pada sisi yang lain konsep nomokrasi Islam dan konsep negara hukum
Pancasila menempatkan nilai-nilai yang sudah terumuskan sebagai nilai standar
atau ukuran nilai.8 Konsep nomokrasi Islam mendasarkan pada nilai-nilai yang
terkandung pada Al Quran dan sunah, sedangkan konsep negara hukum Pancasila
menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai standar atau
ukuran nilai, sehingga kedua konsep ini memiliki kesamaan yang berpadu pada
perlakuan adanya nilai standar yang sudah terumuskan dalam naskah tertulis.
Selain itu, kedua konsep ini menempatkan Tuhan, manusia, agama dan negara
dalam hubungan yang tidak dapat dipisahkan.

8

Jazim Hamidi, dkk. Teori hukum tata Negara. h.145

21

B. Sistem Check and Balance
Sistem check and balance pertama kali dimunculkan oleh Montesquieu pada
abad pertengahan atau yang sering dikenal dengan abad pencerahan. Gagasan ini
lahir sebagai hasil dari ajaran klasik tentang pemisahan kekuasaan dan pertama
kali diadopsi kedalam konstitusi oleh negara Amerika Serikat. Negara yang
menganut demokrasi terkenal dengan ajaran trias politika yaitu pembagian
kekuasaan didasarkan pada tiga cabang kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Sebagai akibat pembagian kekuasaan kenegaraan ini munculah
lembaga-lembaga kenegaraan yang masing-masing diserahi dalam melakukan
bidang kekuasannya.9 Masing-masing lembaga tersebut harus mempunyai
kekuasaan yang terpisah dan mampu berjalan sendiri tanpa saling mempengaruhi
dan terpengaruh, serta tidak saling mencampuri satu sama lain, baik mengenai
tugas maupun mengenai perlengkapan yang melakukannya.
Selanjutnya, bahwa di dalam ajaran trias politica itu terdapat suasana “check
and balances” dimana didalam hubungan antar lembaga negara tersebut saling
menguji karena masing-masing lembaga tidak boleh melampaui batas kekuasaan
yang sudah ditentukan atau masing lembaga tidak mau dicampuri kekuasaannya
sehingga antar lembaga-lembaga itu terdapat suatu perimbangan kekuasaan.10
Ketiga lembaga negara tersebut harus berjalan sesuai mekanisme check and
balances, saling mengontrol/mengawasi dan menyeimbangkan.

9

Mr. Kuntjoro Purbopranoto, Sedikit Tentang Sistem Pemerintahan Demokrasi, cet.III
(Jakarta-bandung: PT Eresco ,1960) , h. 29.
10

Moh. Kusnardi dan Bintan R Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut
Undang-Undang Dasar 1945,(Jakarta:PT Gramedia,1989) h.31

22

Dalam konstitusi Indonesia, fungsi kontrol Legislatif terhadap Eksekutif
meliputi persetujuan terhadap kekuasaan Presiden untuk menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; review terhadap
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) yang dibuat oleh
Presiden, pembahasan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara
(RAPBN) bersama Presiden. Selain fungsi kontrol tersebut, DPR juga dapat
mengajukan usul kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk
memberhentikan Presiden karena melakukan pengkhianatan terhadap negara,
korupsi penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela atapun bila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.

C. Hak Prerogratif Presiden Sebagai Kepala Negara
Prerogatif (bahasa Latin: praerogatio, -onis (femininum); bahasa Inggris:
prerogative; bahasa Jerman: das Vorrecht; "hak istimewa") dalam bidang hukum
adalah hak khusus atau istimewa yang diberikan kepada pemerintah atau penguasa
suatu negara dan diberikan kepada seorang atau sekelompok orang, yang terpisah
dari hak-hak masyarakat menurut hukum yang berlaku. Hal ini merupakan aspek
umum dari hukum feodal atau kerajaan. Kata "prerogatif" dalam bahasa Latin
diartikan hak lebih tinggi (diberi preferensi) dalam makna hukumnya.11
Hak prerogatif Presiden yaitu hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden
untuk melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan lembaga lain.12 Hal ini

11

Prerogratif dari Wikipedia eniklopedia bebas diakses pada tanggal 16-06-2015 pukul
13.05 WIB https://id.wikipedia.org/wiki/Prerogatif
12

Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta:PT Gama Media,
1999), h,256

23

bertujuan agar fungsi dan peran pemerintahan direntang sedemikian luas sehingga
dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapat membangun kesejahteraan
masyarakat.
Bentuk kekuasaan Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
a) Kekuasaan Kepala Negara
Kekuasaan

Presiden

sebagai

kepala

negara

hanyalah

kekuasaan

administratif, simbolis dan terbatas yang merupakan suatu kekuasaan
disamping kekuasaan utamanya sebagai kepala pemerintahan. Kekuasaan
Presiden sebagai kepala negara diatur dalam Undang Undang Dasar 1945
Pasal 10 sampai 15. Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara di masa
mendatang selayaknya diartikan sebagai kekuasaan yang tidak lepas dari
kontrol lembaga lain13.Kekuasaan Kepala Pemerintahan.
b) Kekuasaan Presiden sebagai kepala pemerintahan di Indonesia diatur dalam
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 4 ayat (1). Kekuasaan pemerintahan sama
dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan kekuasaan yang
membatasi kekuasaan pemerintahan secara sempit, pada pelaksanaan
peraturan hukum yang ditetapkan lembaga legislatif. Kekuasaan eksekutif
diartikan

sebagai

berdasarkan

pada

kekuasaan
konstitusi

pelaksanaan
dan

pemerintahan

peraturan

sehari-hari

perundang-undangan.

Pelaksanaannya, kekuasaan ini tetap besar dan mendapat pengawasan dari

13

Titik triwulan tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, (Jakarta:PT Kencana, 2011). h, 206

24

badan legislatif atau badan lain yang ditunjuk oleh konstitusi untuk
menjalankan fungsi pengawasan. Pada Undang Undang Dasar 1945, fungsi
pengawasan pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat.
c) Kekuasaan Legislatif
Undang Undang Dasar 1945 menetapkan fungsi legislatif dijalankan oleh
Presiden bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden adalah
“partner” Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan fungsi legislatif.
Oleh karena itu sistem check and balance mendesak untuk diterapkan
dengan mekanisme yang jelas. Bila ada pertentangan antara Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal persetujuan suatu undang-undang,
maka Presiden harus menyatakan secara terbuka dan menggunakan hak
vetonya. Dengan demikian, di akhir masa jabatannya masing-masing
lembaga dapat diminta pertanggung jawabannya baik di sidang umum
maupun dalam pemilihan umum.14
Kekuasaan Presiden Republik Indonesia dinyatakan secara eksplisit
sebanyak 24 bentuk dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundangundangan Indonesia. Berdasarkan mekanisme pelaksanaannya, bentuk kekuasaan
tersebut dikategorikan sebagai berikut :
a. Kekuasaan Presiden Yang Mandiri, Kekuasaan yang tidak diatur mekanisme
pelaksanaannya secara jelas, tertutup atau yang memberikan kekuasaan yang
sangat besar kepada Presiden. Yang termasuk kekuasaan ini adalah :

14

Ibid. h.205

25

1) Kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan
Udara dan (Kepolisian Negara Republik Indonesia )
2) Kekuasaan menyatakan keadaan bahaya
3) Kekuasaan mengangkat duta dan konsul
4) Kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 1945.
5) Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri.
6) Kekuasaan mengesahkan atau tidak mengesahkan Rancangan UndangUndang inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat.
7) Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung Republik
Indonesia.
8) Kekuasaan mengangkat Panglima Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (Panglima Tentara Nasional Indonesia dan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia)
9) Kekuasaan mengangkat Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK)
b. Kekuasaan Presiden Dengan Persetujuan DPR yang termasuk dalam
kekuasaan ini adalah :
1) Kekuasaan menyatakan perang dan membuat perdamaian
2) Kekuasaan membuat perjanjian dengan negara lain
3) Kekuasaan membentuk undang-undang
4) Kekuasaan menetapkan Peraturan Pengganti Undang-undang
5) Kekuasaan menetapkan APBN Sebelum melaksanakan kekuasaan
tersebut, Presiden memerlukan

persetujuan DPR terlebih dahulu.

Sebagai contoh, jika DPR menganggap penting suatu perjanjian, maka

26

harus mendapat persetujuan DPR. Jika

perjanjian dianggap kurang

penting oleh DPR dan secara teknis tidak efisien bila harus mendapat
persetujuannya terlebih dahulu, dapat dilakukan dengan

persetujuan

Presiden. Hal ini dilakukan untuk menghindari terulangnya tersisihnya
peran wakil rakyat dalam peranannya menentukan arah kebijakan politik
negara.
D. Lembaga Perwakilan Rakyat
Teori Perwakilan
Pada dasarnya, teori perwakilan amat erat hubungannya dengan prinsip
kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam zaman modern kekuasaan rakyat tidak
lagi dilaksanakan secara langsung, tetapi disalurkan melalui lembaga perwakilan
sebagai realisasi sistem demokrasi tidak langsung. Ada tiga hal yang perlu
diperhatikan ketika pengkajian difokuskan pada masalah perwakilan ini, pertama
menyangkut pengertian pihak yang diwakili, kedua berkenaan dengan pihak yang
mewakili,

dan

ketiga

berkaitan

dengan

bagaimana

hubungan

serta

kedudukannya.15 Heinz Eulau dan John Whalke mengadakan klasifikasi
perwakilan ini ke dalam tiga pusat perhatian, dijadikan sebagai sudut kajian yang
mengharuskan adanya “wakil”, yaitu:
1) adanya partai,
2) adanya kelompok, dan
3) adanya daerah yang diwakili.

15

Eddy Purnama, Lembaga Perwakilan Rakyat, (medan: Syiah Kuala University Press
2008), h. 41

27

Klasifikasi yang demikian, maka akan melahirkan tiga jenis perwakilan,
yaitu perwakilan politik (political representative), perwakilan fungsional
(functional representative) dan perwakilan daerah (regional representative).16
Menurut Leon Duguit, dasar adanya jalinan hubungan antara pemilih (rakyat)
dengan wakilnya adalah keinginan untuk berkelompok, yang disebut solidaritas
social, sebagai dasar lahirnya hukum obyektif untuk membentuk lembaga
perwakilan.17 Menyangkut dengan hakikat hubungan wakil dengan yang diwakili
ada dua teori yang amat terkenal di samping teori-teori lain, yaitu Teori Mandat
dan Teori Kebebasan.
Kedua teori tersebut merupakan hasil perkembangan pemikiran yang
bersifat saling melengkapi terhadap teori sebelumnya. Menurut Teori Mandat
memandang bahwa para wakil menempati kursi di lembaga perwakilan atas dasar
mandat dari rakyat, yang dinamakan mandataris. Teori yang berkembang oleh J.J.
Rousseau dan Pation ini lahir pada waktu saat revolusi dan dalam perjalananya
terpecah menjadi 3 (tiga) macam.18 : yaitu
a. Teori Mandat Imperatif
Teori ini mengatakan bahwa hubungan antara wakil dengan orang yang
diwakili itu terbatas pada instruksi yang disampaikan oleh orang-orang yang
mewakilinya. Wakil tidak diperbolehkan bertindak melampui mandat yang
telah diberikan dengan konsekuensi bahwa jika hal itu dilakukan oleh wakil,

16

ibid, h 41

17

Bintan r saragih, Lembaga perwakilan dan pemilihan umum di Indonesia, (Jakarta:gaya
media pratama, 1988), h, 84-85
18

Eddy purnama, lembaga perwakilan rakyat. h. 44

28

maka hal demikian tidak berada pada hubungan yang benar antara wakil dan
orang yang memberikan perwakilannya. Untuk adanya suatu jaminan yuridis
bagi rakyat agar para wakil tidak bertindak menyimpang dari keinginannya,
maka lembaga recall merupakan benteng dipergunakan untuk menjaga pola
hubungan imperatif ini. Lembaga recall ini dimaksudkan untuk dapat
menarik kembali si wakil bila terbukti aktivitasnya tidak sesuai dengan
keinginan rakyat yang diwakilinya. Konsep ini sepertinya tidak efisien dan
dapat menghambat peranan lembaga perwakilan, karena para wakil setiap
saat jika ingin bertindak harus terlebih dahulu menunggu intruksi dari pihak
yang diwakilinya.
b. Teori Mandat Bebas
Teori ini mengatakan bahwa para wakil yang duduk di dalam lembaga
perwakilan tidak terikat dengan para pemilih, karena setiap wakil yang
dipilih dan duduk disana adalah orang-orang yang telah dipercaya dan
memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya. Oleh karena itu,
para wakil tidak terikat dengan instruksi-instruksi dari para pemilihnya dan
tidak dapat ditarik kembali oleh mereka. Dalam konsepsi seperti ini terlihat
bahwa antara si w