Kewenangan Pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

(1)

1

KEWENANGAN PENGUJIAN KETETAPAN MAJELIS

PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

TRI YANTO YEREMIA S

NIM : 110200131

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa buat setiap kasih, penyertaan, hikmat, perlindungan, bahkan karya keselamatan yang telah Dia berikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan setiap proses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Bahkan terpujilah Allah sumber pertolongan yang sejati bagi penulis dalam menyelesaikan Skripsi

yang berjudul “KEWENANGAN PENGUJIAN KETETAPAN MAJELIS

PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA”.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian Skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dukungan, semangat, serta doa-doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan diri di hadapan Allah, dan rendah hati dihadapan manusia, penulis patut mengucapkan terimaksasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum , selaku dosen dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting SH, M. Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O.K Saidin SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan III, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

ii

5. Bapak Dr. Faisal Akbar, SH, M.Hum, selaku Kepala Departemen Hukum Tata Negara.

6. Bapak Drs. Nazaruddin SH, M.A, selaku Dosen Pembimbing I, atas ilmu, nasihat, saran, dan bimbingan kepada penulis baik semasa pengerjaan skripsi maupun masa-masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumater Utara.

7. Bapak M. Yusrin Nazief SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, atas ilmu, nasihat, saran, dan bimbingan kepada penulis baik semasa pengerjaan skripsi maupun masa-masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Aswar Mahyuzar SH, selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis semasa perkuliahan.

9. Bapak dan Ibu Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Bapak dan Ibu Dosen, selaku staff pengajar serta administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Among (Bapak) dan Inong (Mama), L. Siagian dan J. Br. Pardede yang sangat penulis kasihi, terimakaih buat setiap kasih sayang yang kalian berikan. Buat setiap tetesan keringat perjuangan yang telah kalian berikan untuk mendidik dan memperjuangkan pendidikan anak-anak mu. Kiranya kasih setia Tuhan yang tidak pernah berkesudahan melimpahi kita semua. 11. Buat saudara-saudari ku, Kakak Lestari Kristin Siagian S.Pd, Abang Roy


(4)

iii

buat kehangatan yang kalian berikan. Terimakasih juga Buat Lae Ronny Ambarita, Keponakan ku Natasha Gracia Ambarita dan Sylvia Ambarita. Terimakasih juga buat keluarga besar Siagian dan Pardede atas bantuan dan perhatiannya selama proses perkuliahan.

12. Terimakasih buat Kelompok Kecil ku Letare: Bang Marupa Sianturi, Bang Tody Valeri Marpaung, Nathan Romlen Lumban Raja, Ferdinand Patar Wisuda, Jessica Grace Simanjuntak dan Samuel Aritonang. Terimakasih buat Egritha Tampubolon dan Sheren. Terimakasih juga kepada seluruh teman-teman UKM KMK USU UP FH, terkhusus teman-teman 2011, Sarah Nova Siagian, Hari Tama Simanjuntak, Frans Joshua Sinuhaji, Tulus Pardamean Nababan, Kristy Amalia Pasaribu, Ari Pareme Simanulang, Ibreina Saulisa, Margaretha Sianturi, Erma Pasaribu, Juanda Tampubolon, Hengki Simanjuntak, Reta Manik, Poltak Sijabat, Sapta Agung Tobing, Dina, Jhon Purba, Eko Nainggolan, Frimanda Ginting, Holy Apriliani, Gracia Manurung, Sri Nita Pagit, Kristina Tampubolon, Rolinta Sinaga, Maruli Sinaga, Betari Ginting, dan lain-lain.

13. Terimakasih untuk Meriam Debating Club (MDC) FH-USU yang mengajarkan ku banyak hal tentang dunia kompetisi. Semoga MDC semakin berjaya dan terus memperjuangkan nama baik Almamater kita FH-USU. Terimakasih buat, Senior Coach MDC, Kak Dorthy, Kak Riswendang, Kak Fika, Kak Lusiana, Bang Sahat, Bang Yudha, Kak Utami, Kak Revani, Bang Reza, Kak Rahmaeni, Kak Arija, Kak Martha, Kak Heny, Kak Dina, Kak Kiki, Bang Rahmad. Terimakasih buat


(5)

rekan-iv

rekan Coach: Natasya Rehulina Bangun, Ika Khairunisa Simanjuntak, Maslon Ambarita, Saidesi Maysela. Terimakasih buat adik-adiku Canoners: Yola, Saidibot, Putri, Amalia, X- Jessie, Carlos, Octry, Esther, Efraim, Anggie, Egritha, Nuraini, Laila, Haris, Sarai, Irvin, Endah, Luciana, Elyas, Bona, Khairin. Rekan-rekan delegasi FH-USU untuk The 3rd Bussines Law Competition (BLC) 2012 FH-UI: Kak Martha dan Kak Arija, serta delegasi FH-USU untuk Padjadjaran Law Fair (PLF) Unpad 2013: Bang Reza Winata dan Maslon Ambarita.

14. Terimakasih kepada rekan-rekan pelayan Tuhan, Tim Kebaktian Minggu Sore (TKMS) HKBP P.Simalingkar. Semoga kita tetap se-visi di dalam kasih Tuhan, dan semakin mencintai Pribadi yang kita layani. Terimakasih buat BPH 2014-2015 Daniel Simanjuntak, Kak Nenes Simatupang, dan Lowria Napitupulu. Terimakasih juga buat Bang Simon, Bang Damos, Bang Anes, Bang Jo, Bang Acto, Erwin, Febri, Kak Tuti, Kak Resta, Kak Eva, Kak Elies, Kak Septi, Sari, Kak Naumi, Kak Reni, Astrid, Kak Esra, Novita, Tioma.

15. Terimakasih buat Pidungs: Kak Evi, Kak Emma, Kak, Deni, Kak Tari, Kak Gio, Kak Zebua, Kak Astry, Kak Jelita, Kak Tina. Terimakasih juga buat sahabatnya pidungs Bang Deffid, Bang Paul. Terimakasih buat semangat, senyuman yang tulus, candaan, motivasi, yang selalu kalian berikan. Semoga Pidungs semakin diberkati untuk menjadi berkat. Terimakasih juga buat Adik Pahala Sihombing, Adik Wilfrid Tobing tetap semangat dalam pelayanan mu kepada Tuhan.


(6)

v

16. Terimakasih kepada abangda Januari Sihotang atas bantuan dan masukkannya selama proses pengerjaan Skripsi. Sehingga saya merasa sangat terbantu dalam menulis Skripsi saya.

17. Terimakasih buat adik-adik Koor Natal FH-USU 2014. Terkhusus buat adik-adik ku Ruth Sesilya, Elyas Franklin Hasiholan Simanjuntak, Mulana Bona Manik, Rigta Ginting, Saul Purba, Bungaran Kevin Sinambela, Oynike Marpaung, Kristian Hutapea, Yeni Febrina, David, Elia Silitonga, Tioneni, Ninir Siagian, Yunita Siagian, dan lain-lain.

18. Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan, Ibnu, Fito, Rivai, Andri, Firman, Natasya, Nida, Nurul Fatimah, Grace, Fitty, Azaria, Dinda, Andreas, Murni, Sarabjit Singh Serta rekan-rekan Grup C 2011.

19. Terimakasih buat rekan-rekan Gemar Belajar, terkhusus abang, kakak, teman-teman, adik-adik angkatan 2008-2015. Terimakasih untuk pembelajaran, perjuangan, kerjasama, senyuman yang kalian berikan.

20. Terimakasih kepada rekan-rekan Klinis Perdata, Klinis Pidana, Klinis PTUN.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun untuk penyempurnaan Skripsi ini. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas khusunya mahasiswa hukum tata negera dan memberikan kontribusi bagi perkembangan hukum tata negara Indonesia.

Medan, 31 Maret 2015


(7)

vi DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN………..………. …1

A. Latar Belakang………...…1

B. Rumusan Masalah………...13

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...13

D. Keaslian Penulisan………...14

E. Tinjauan Kepustakaan………...15

F. Metode Penulisan………...40

G. Sistematika Penulisan……….…...44

BAB II MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945……..45

A. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ...45

B. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sesudah Perubahan Undang-Undang 1945...64

BAB III KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ………76

A. TAP MPRS No. XX/MPRS/1966...76

B. TAP MPR No. III/MPR/2000...79


(8)

vii

D. Undang-Undang No 12 Tahun 2011...83

BAB IV KEWENANGAN PENGUJIAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT...90

A. Lembaga Negara yang Berwenang Melakukan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...90

B. Kewenangan Pengujian TAP MPR...104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...127

A. Kesimpulan...127


(9)

viii ABSTRAK *Nazaruddin

**Yusrin

***Tri Yanto Yeremia S

Perubahan UUD 1945 telah menghantar Indonesia kepada perubahan tatanan sistem ketatanegraan dan kelembagaan negara, termasuk didalamnya kedudukan dan fungsi MPR. MPR yang semula sebagai lembaga tertinggi negara yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini telah berganti menjadi lembaga tinggi negara yang masih mengemban kedaulatan rakyat, akan tetapi tidak sepenuhnya diberikan kepada MPR, sehingga kedudukannya sejajar dengan lembaga negara lainnya yg diatur dalam UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan MPR yang semula menetapkan Garis-garis besar dari pada haluan negara yang dituangkan dalam bentuk Ketetapan, kini telah dihapuskan. Sebab MPR tidak memiliki kewenangan untuk membentuk Garis-garis besar dari pada haluan negara. Sehingga MPR diperintahkan untuk melakukan Pengujian terhadap TAP MPR/S berdasarkan Pasal I Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan oleh MPR masih ada TAP MPR/S yang mengikat dan berlaku umum. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 mengakui adanya Ketetapan yang masih berlaku secara umum sehingga dimasukkan ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Dan secara teoritis suatu norma tidak boleh bertentangan dengan norma yang ada diatasnya. Maka dibutuhkanlah mekanisme pengujian terhadap peraturan perundang-undangan termasuk TAP MPR.

Yang akan dibahas dalam Skripsi ini adalah kedudukan MPR dalam UUD sebelum dan sesudah perubahan di Indonesia dan dampaknya, serta bagaimana kedudukan TAP MPR/S dalam sejarah peraturan perundang-undangan. Puncak dari penulisan Skripsi ini adalah bagaimanakah apabila TAP MPR/S bertentangan dengan norma yang ada diatasnya yakni UUD NRI Tahun 1945, lembaga negara mana yang berwenang melakukan pengujian. Sebab hingga saat ini belum ada lembaga negara yang berwenang menguji TAP MPR/S. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan teknik pengumpulan data library Research (studi kepustakaan).

Berdasarkan hasil penelitian, hingga saat ini belum ada mekanisme yang mengatur mengenai pengujian TAP MPR/S. Padahal masih ada TAP MPR/S yang berlaku dan mengikat secara umum. Sehingga dibutuhkan adanya pengaturan mengenai pengujian TAP MPR oleh suatu lembaga negara untuk menjaga/melindungi bahkan mengawal hak asasi warga negara dari pelanggaran hak asasi oleh karena berlakukunya Ketetapan ini. Maka, Mahkamah Konstitusi yang semangat awal pembentukannya sebagai pengawal kontitusi, pengawal hak asasi, dan penafsir konstitusi memiliki peluang melakukan pengujian TAP MPR. *) Dosen Pembimbing I

**) Dosen Pembimbing II

***) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

Kata Kunci: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pengujian, Kewenangan.


(10)

viii ABSTRAK *Nazaruddin

**Yusrin

***Tri Yanto Yeremia S

Perubahan UUD 1945 telah menghantar Indonesia kepada perubahan tatanan sistem ketatanegraan dan kelembagaan negara, termasuk didalamnya kedudukan dan fungsi MPR. MPR yang semula sebagai lembaga tertinggi negara yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini telah berganti menjadi lembaga tinggi negara yang masih mengemban kedaulatan rakyat, akan tetapi tidak sepenuhnya diberikan kepada MPR, sehingga kedudukannya sejajar dengan lembaga negara lainnya yg diatur dalam UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan MPR yang semula menetapkan Garis-garis besar dari pada haluan negara yang dituangkan dalam bentuk Ketetapan, kini telah dihapuskan. Sebab MPR tidak memiliki kewenangan untuk membentuk Garis-garis besar dari pada haluan negara. Sehingga MPR diperintahkan untuk melakukan Pengujian terhadap TAP MPR/S berdasarkan Pasal I Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan oleh MPR masih ada TAP MPR/S yang mengikat dan berlaku umum. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 mengakui adanya Ketetapan yang masih berlaku secara umum sehingga dimasukkan ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Dan secara teoritis suatu norma tidak boleh bertentangan dengan norma yang ada diatasnya. Maka dibutuhkanlah mekanisme pengujian terhadap peraturan perundang-undangan termasuk TAP MPR.

Yang akan dibahas dalam Skripsi ini adalah kedudukan MPR dalam UUD sebelum dan sesudah perubahan di Indonesia dan dampaknya, serta bagaimana kedudukan TAP MPR/S dalam sejarah peraturan perundang-undangan. Puncak dari penulisan Skripsi ini adalah bagaimanakah apabila TAP MPR/S bertentangan dengan norma yang ada diatasnya yakni UUD NRI Tahun 1945, lembaga negara mana yang berwenang melakukan pengujian. Sebab hingga saat ini belum ada lembaga negara yang berwenang menguji TAP MPR/S. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan teknik pengumpulan data library Research (studi kepustakaan).

Berdasarkan hasil penelitian, hingga saat ini belum ada mekanisme yang mengatur mengenai pengujian TAP MPR/S. Padahal masih ada TAP MPR/S yang berlaku dan mengikat secara umum. Sehingga dibutuhkan adanya pengaturan mengenai pengujian TAP MPR oleh suatu lembaga negara untuk menjaga/melindungi bahkan mengawal hak asasi warga negara dari pelanggaran hak asasi oleh karena berlakukunya Ketetapan ini. Maka, Mahkamah Konstitusi yang semangat awal pembentukannya sebagai pengawal kontitusi, pengawal hak asasi, dan penafsir konstitusi memiliki peluang melakukan pengujian TAP MPR. *) Dosen Pembimbing I

**) Dosen Pembimbing II

***) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

Kata Kunci: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pengujian, Kewenangan.


(11)

12

menurut Jimly Asshiddiqie berfungsi sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution) dan penafsir konstitusi (The Interpreter of Constitution).24

1. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;

Dalam menjalankan fungsinya inilah, maka MK diberi kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945, sebab hanya MK sajalah yang diberikan kewenangan untuk menafsirkan UUD NRI Tahun 1945. Namun yang jadi persoalan adalah bahwa kewenangan MK bersifat limitatif atau terbatas, yakni yang diatur dalam pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi:

2. Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar NRI;

3. Memutuskan pembubaran partai politik; dan

4. Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.25

Sedangkan MA menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU, yang kewenangannya tidak bersifat limitatif, sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh UU.26

24

Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, MKRI, Jakarta, 2008, hlm. 495.

25

Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

26

Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Dari uraian di atas, maka jelas bahwa tidak ada pasal dari UUD NRI Tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bagaimana ketika TAP MPR bertentangan dengan norma yang lebih tinggi yakni UUD NRI Tahun 1945. Maka perlu kajian ketatanegaraan untuk menjawab persoalaan demikian. Oleh karena alasan-alasan yang telah dijabarkan,


(12)

13

maka penelitian ini berjudul : “Kewenangan Pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kedudukan MPR setelah perubahan UUD 1945 dan implikasinya terhadap produk hukum MPR?

2. Bagaimana kedudukan TAP MPR dalam sejarah perkembangan Hirarki Peraturan Perundang-Undangan?

3. Bagaimana apabila TAP MPR bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan lembaga negara manakah yang berwenang untuk menguji TAP MPR tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Menganalisa pengaturan mengenai kedudukan MPR dalam NRI serta dampak kedudukannya yang diatur dalam UUD terhadap tugas dan wewenanganya.

b. Menganalisis kedudukan TAP MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku dalam sejarah peraturan perundang-undangan.

c. Menganalisa kewenangan pengujian TAP MPR 2. Manfaat


(13)

14

Diharapkan penelitian yang dilakukan ini akan memberikan manfaat antara lain:

a. Secara Teoritis

Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan khazanah dokumentasi dalam segi hukum terhadap persoalan kewenangan pengujian TAP MPR sebagai ikhtiar pengembangan ilmu pengetahuan Hukum Tara Negara.

b. Secara Praktis

Penelitian ini secara umum ditujukan kepada segenap elemen Bangsa Indonesia mulai dari akademisi, praktisi hukum, aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan semua pihak yang ingin mengetahui mengenai “Kewenangan Pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skirpsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Kewenangan Pengujian Ketetapan Majelis Persmusyawaratan Rakyat,” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli serta bukan plagiat ataupun diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari sebuah proses penemuan kebenaran ilmiah sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenaranya secara ilmiah pula. Apabila ada skripsi yang sama maka akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan


(14)

15

Di dalam kepustakaan dan praktek dikenal dua macam hak menguji, yaitu:

a. Hak menguji formal

Menurut Sri Soemantri hak menguji formal adalah “wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum legislatif seperti UU misalnya terjelma melalui cara-cara seperti yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.” 27

b. Hak menguji materil

Dari uraian diatas, terlihat jelas bahwa yang dinilai adalah tata cara pembentukan suatu UU sudah sesuai atau tidak dengan apa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Menurut Sri Soemantri hak menguji materil adalah “suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.”28

Dalam kaitannya dengan hirarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie). Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam hirarki tata susunan. suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm)29

27

Sri Soematri, Hak Uji Material Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hlm. 6.

28Ibid.

, hlm. 11.

29


(15)

16

Menurut Adolf Merkl sebagaimana dikutip oleh Maria Farida, suatu norma hukum itu ke atas apabila ia bersumber dan berdasar pada norma di atasnya. Tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskacht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula.30 Korelasi dari adanya sebuah norma berjenjang ialah adanya sebuah pengujian norma yang lebih rendah terhadap norma di atasnya. Menurut Jimly Asshiddiqie, peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari hukum negara. Hukum negara merupakan hukum yang ditetapkan dengan keputusan negara sebagai hasil tindakan pengaturan, penetapan, dan pengadilan. Pengaturan tersebut akan mengahasilkan Ketetapan atau Keputusan (beschiking) dan penghakiman atau pengadilan akan menghasilkan Putusan (Vonnis).31 Di Indonesia, sumber utama asas dari suatu peraturan perundang-undangan adalah Pancasila,32 sedangkan UUD NRI Tahun 1945 Merupakan “hukum dasar tertulis”.33

Hingga penelitian ini dilakukan, terdapat beberapa ketentuan yang mengatur jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu:

30

Ibid.

31

Jimly Asshiddiqie, Prihal UU, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hlm 8.

32

Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 Lembaran Negara Tahun 2011 No. 82, Tambahan Lembaran Negara 5234, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan: “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara”

33

Pasal 3 UU No. 12 Tahun 2011 Lembaran Negara Tahun 2011 No. 82, Tambahan Lembaran Negara No. 5234, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan: “UUD Negara RI Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam perundang-undangan”.


(16)

17

1. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan menurut TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai sumber tertib Hukum dan tata Urutan Peraturan Perundang-undangan RI adalah:

a. UUD 1945;

b. Ketetapan MPR/S; c. UU/ Perppu; d. Peraturan Daerah; e. Keputusan Presiden;

f. Peraturan Pelaksanaan lainnya, seperti: 1) Peraturan Menteri;

2) Instruksi Menteri dan lain-lainnya.

2. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan menurut TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan adalah:

a. UUD 1945; b. TAP MPR/S;

c. UU;

d. Perppu;

e. Peraturan Pemerintah; f. Keputusan Presiden; g. Peraturan Daerah;

3. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah:


(17)

18

a. UUD NRI Tahun 1945; b. UU/Perppu;

c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.

4. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan:

a. UUD NRI Tahun 1945;

b. TAP MPR

c. UU/ Perppu;

d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerh Provinsi; g. Peraturan Daerah Kabupaten.

Kehadiran sistem pengujian konstitusional ini ataupun mekanisme ‘judicial review’ yang terus berkembang dalam praktik diberbagai dunia akademis maupun praktisi, bahkan tidak kurang dari lingkungan cabang kekuasaan kehakiman sendiri (judicary). Seperti yang dikemukakan oleh Lee Bridges, Geogrs Mezaros, dan Maurice Sunkin sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie :

Judicial review has been increasingly celebrate, Not least by the judiciary it self, as mean by which the citizen can obtain regress againt


(18)

19

oppressive goverment, and as akey vechicle for enabling the judiciary to prevent and check the abuse of executive power.”34

Ada dua peristilahan penting yang harus dipahami terlebih dahulu ketika membahasan pengujian, yaitu “constitusional review” atau pengujian konstitusional, yang harus dibedakan dari istilah “judicial review”. Perbedaan itu sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, ‘constitutional review’ selain dilakukan oleh hakim dapat juga dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana UUD memberikan kewenangan untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep ‘judicial review’ terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah UU, sedangkan ‘constitusional review’ hanya menyangkut pengujian konstitusionalitasnya, yaitu terhadap UUD.35 Pendefenisi konsep ‘constitusional review’ itu sendiri sebenarnya dapat dilihat sebagai buah perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokrasi yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers), serta perlindungan dengan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights).36

34

Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm 2.

35

Jimly Asshiddiqie, Model-Model . . . Op.Cit., hlm 9.

36

Himawan Estu, Negara Hukum & TAP MPR, LaksBang Grafika, Yogyakarta, 2014, hlm 55.

Dalam sistem ‘constitutional review’ itu tercakup dua tugas pokok. Pertama, untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau ‘interplay’ antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary). Dengan kata lain, ‘constitustional review’ dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh satu


(19)

20

cabang kekuasaan sedemikian rupa terhadap cabang kekuasaan lainnya; Kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalagunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.37

Ide pengujian konstitutional (contitutional review) ini telah demikian luas diterima dan dipraktikkan di dunia sebagai hasil perkembangan ketatanegaraan dimasing-masing negara. Oleh karena itu, perkembangannya di setiap negara berbeda-beda satu sama lain. Yang jelas adalah bahwa tradisi penegakan konstitusi sebagai tolak ukur penyelenggaraan kegiatan bernegara di dunia terus berkembang luas, dan semakin diakui pula bahwa ide pengujian konstitusional itu memang diperlukan dalam rangka melindungi dan mengawal pelaksanaan hukum dan konstitusi dalam praktik sehari-hari. Dalam perjalanan sejarahnya, sistem pengujian konstitusional (constitutional review) ini telah tumbuh sedemikian rupa melalui tahap-tahap perkembangan.38

Di Indonesia sendiri ada dua lembaga negara yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan, yakni MA dan MK. Kewenangan lembaga negara ini diatur dalam Pasal 24 A dan Pasal 24 C UUD NRI Tahun 1945. Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan memiliki wewenang lain yang

37

Jimly Asshiddiqie, Model-Model . . . Op.Cit., hlm. 8.

38


(20)

21

diberikan oleh undang-undang.” 39 Setelah perubahan UUD 1945, lahir UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang menggantikan UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 35 Tahun 1999. Dalam ketentuan Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan badan-badan peradilan di bawahnya dan oleh sebuah MK. Badan peradilan di bawah MA meliputi, badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.40 Mahkamah Agung merupakan puncak perjuangan keadilan bagi setiap warga negara. Hakikat fungsinya berbeda dengan MK yang tidak berhubungan dengan tuntutan keadilan bagi warga negara, melainkan dengan sistem hukum yang berdasarkan konstitusi.41 Hakikat fungsinya sedangkan MK menurut Pasal 24 C UUD NRI Tahun 1945 berwenang: “Mahkamah Konstitusi berwenang pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” 42

39

Pasal 24A (1) UUD NRI Tahun 1945.

40

Suladri, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, Setara Press, Malang, 2012, hlm 148.

41

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sinar Grafika Cetakan Ketiga, Jakarta, 2014, 197.

42

Pasal 24C ayat 1 UUD NRI Tahun 1945.

Sehubungan dengan kewenangan MK menguji UU terhadap UUD, maka yang harus dipahami bahwa rancangan UU yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden bukanlah bersifat final, sebab UU yang telah disepakati masih dapat


(21)

22

dimohonkan agar diuji di MK.43 Menurut A. Fickar Hadjar sebagaimana dikutip oleh Sulardi44

Dalam permohonan pengujian UU terhadap UUD di MK, harus memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Menurut Harjono sebagaimana dikutip oleh MK RI, bahwa kedudukan hukum ialah keadaan dimana

, ada empat hal yang melatar belakangi dan menjadi pijakan dalam pembentukan MK, yaitu: “1. Sebagai Implikasi dari paham konstitusionalisme, 2. Mekanisme checks and balances, 3. Penyelenggaraan yang bersih, dan 4. Perlindungan terhadap hak asasi manusia.”

Mengenai tata cara permohonan pengujian UU terhadap UUD diatur dalam Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, yang berbunyi:

“ (1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.

(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:

a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau

b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

43

Taufiqurrohman Syahuri, Tafsiran Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta, hlm 111.

44


(22)

23

seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan MK.45

a. Perorangan warga negara Indonesia;

Kedudukan hukum mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam UU, dan syarat Materiil yaitu kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya UU yang dimohonkan pengujiannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, sebagai berikut:

“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU;

c. Badan hukum publik atau privat; d. Lembaga negara.”

Pengaturan dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK diatur lebih lanjut dengan ketentuan yang sama dalam Pasal 3 PMK No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian UU. Jimly Asshiddiqie sebagaimana dikutip oleh MK RI, mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya kedudukan hukum pemohon dalam perkara pengujian UU terhadap UUD di MK, yaitu:

“Keempat pihak atau subjek hukum tersebut di atas (perorangan WNI, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik dan private, dan lembaga negara-pen), Pertama, haruslah terlebih dahulu membuktikan identitas dirinya memang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tersebut. Kedua, pihak yang bersangkutan haruslah membuktikan bahwa dirinya memang mempunyai hak-hak tertentu yang dijamin atau kewenangan-kewenangan tertentu yang dicantumkan dalam UUD 1945. Ketiga,

45

MK RI, Hukum Acara MK, Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan MK, Jakarta, 2010, hlm 98-99.


(23)

24

hak atau kewenangan konstitusional dimaksudkan memang terbukti telah dirugikan oleh berlakunya UU yang bersangkutan.”46

Yang dimaksud dengan Perorangan warga Negara Indonesia dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a bahwa: yang dimaksud dengan “perorangan “ termasuk dalam kelompok orang yang memilik kepentingan yang sama.”47

“Masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup dalam lingkungan pergaulan bersama sebagai suatu Community atau society, kesatuan masyaratakat menunjuk kepada pengertian masyarakat organik, yang tersusun dalam kerangka kehidupan berorganisasi dengan saling mengikatkan diri untuk kepentingan mencapai tujuan bersama. Dengan perkataan lain masyrakat hukum adat sebagai unit organisasi masyarakat hukum adat dan itu haruslah dibedakan dari masyarakat hukum adatnya sendiri sebagai isi dari kesatuan organisasinya itu,”

Terkait dengan kesatuan hukum adat terdapat Perbedaan antara masyarakat adat dengan kesatuan masyarakat hukum adat. Menurut Jimly sebagaimana dikutip oleh MK RI, bahwa:

48

Selanjutnya yang dimaksud dengan badan hukum publik atau privat menurut Wirjono Prodjodikoro dalam buku yang berjudul Hukum Acara MK yang diterbitkan oleh MK RI mengemukakan pengertian badan hukum, yaitu: “badan yang di samping manusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.”49

46Ibid.

47

Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003. Lembaran Negara Tahun 2003 No. 98, Tambahan Lembaran Negara No. 4316, tentang Mahkamah Konstitusi

48

MK RI, Op. Cit., hlm 103.

49Ibid

., hlm. 107.

Selanjutnya sehubungan dengan kedudukan hukum lembaga negara, Jimly asshiddiqie dan Muruarar Siahaan dalam buku Hukum Acara MK yang diterbitkan oleh MK RI. juga mengemukakan bahwa lembaga negara yang memiliki kedudukan hukum


(24)

25

adalah lembaga negara sebagai auxiliary institution yang dalam praktiknya banyak dibentuk oleh UU.50

“a. Adanya hak dan/atau kewenangan Konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945; b.hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya Pontensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.”

Sejak Putusan No. 006/PUU-III/2005 yang disempurnakan dengan Putusan No. 11/PUU-V/2007, hingga saat ini MK berpendapat bahwa untuk dapat dikatakan ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus dipenuhi syarat-syarat:

51

2. MPR

UUD 1945 dikenal sebagai konstitusi yang tidak menganut paham pemisahan kekuasaan dalam arti formil (formal separation of power), melainkan hanya menganut prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power).52

50

Ibid., hlm. 111.

51

Maruarar Siahaan, Hukum Acara . . . Op. Cit., hlm 139

52

Jimly Asshiddiqie, Reformasi Hukum dan Konstitusi Mewujudkan Cita Negara Hukum,

Pidato Ilmiah Milad ke-44 Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, hlm. 6.

Dalam hubungan ini, UUD 1945 menganut sistem supremasi parlemen, yaitu sistem kedaulatan rakyat yang terjelma dalam lembaga tertinggi negara yang bernama MPR. Dalam rangka pemikiran demikian, kedaulatan rakyat yang terjelma di lembaga tertinggi MPR dibagi-bagikan ke lembaga negara di bawahnya. Dalam proses pembagian itu, terutama antara fungsi eksekutif dan legislatif, tidak


(25)

26

terpisah secara tegas dan karena itu tidak terdapat hubungan ‘checks and balances’ antara satu sama lain.

Setelah adanya perubahan UUD 1945 dengan ditetapkannya Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) melalui perubahan kedua UUD 1945 resmi menganut pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan mengembangkan mekanisme hubungan ‘checks and balances’ yang lebih fungsional.53 Dengan perubahan ini, ditambah lagi dengan diadopsinya ketentuan mengenai pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat sehingga presiden tidak dipilih oleh MPR dan tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR, maka kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara mengalami perubahan mendasar. MPR kehilangan sebagian fungsi dan kewenangannya. Kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi, namun merupakan lembaga tinggi negara yang sederajat dengan lembaga-lembaga negara lainnya seperti: Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), MA, MK, dan Komisi Yudisial (KY), sebagaimana terdapat dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Pasal 10 UU No. 22 Tahun 2003 tersebut menyatakan bahwa MPR merupakan lembaga negara. Demikian pula dalam TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang perubahan kelima atas TAP MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib MPR. Pasal 2 TAP MPR No. II/MPR/1999 yang semula berbunyi: “Majelis adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan merupakan lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat,”54

53Ibid

.

54

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 .


(26)

27

pemegang, dan pelaksana kedaulatan rakyat menurut ketentuan UUD NRI Tahun 1945.”55

Bagir Manan mengemukakan,

Susunan keanggotaan MPR juga berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan utusan golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota DPR yang mencerminkan prinsip perwakilan politik dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah.

56

3. TAP MPR

perubahan kedudukan keanggotaan MPR selain untuk menutup peluang penyalagunaan sebagai jalan penyimpangan praktik dari kehendak UUD, juga dimaksudkan sebagai jalan mewujudkan gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. MPR bukan satu-satunya lembaga negara yang menjalankan kedaulatan rakyat. Setiap lembaga yang mengemban tugas-tugas politik negara dan pemerintahan (tidak termasuk kekuasaan kehakiman) adalah pelaksana kedaulatan rakyat dan harus tunduk dan bertanggung jawab kepada rakyat.

Penting untuk diketahui mengenai terminologi Peraturan, Keputusan dan Ketetapan. Istilah peraturan berasal dari asal kata atur, mengatur, peraturan yang menyangkut kegiatan yang berfungsi sebagai pengatur. Artinya istilah peraturan lebih tepat untuk dikaitkan dengan pengertian regels dan regeling dalam bahasa Belanda.

55

Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945..

56

Bagir Manan, DPR, DPR dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Cetakan Pertama. FH-UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm 74-76.


(27)

28

Istilah keputusan berasal dari kata putus, pemutus, memutuskan menyangkut kegiatan penyelesaian suatu masalah (problem solving). Sedangkan istilah ketetapan, dikaitkan dengan produk-produk keputusan yang berkaitan dengan kegiatan administrasi yaitu keputusan administrasi yang sifatnya menetapkan sesuatu menjadi tidak ada, ataupun dari keadaan tidak ada menjadi ada, atau keadaan sementara menjadi tetap. Jadi sangatlah tepat apabila perbuatan tersebut disebut dengan penetapan dan hasilnya adalah ketetapan.57

UUD tidak secara tegas menentukan adanya TAP MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Bentuk TAP MPR dan sifatnya sebagai peraturan perundang-undangan tumbuh sebagai praktik ketatanegaraan.58 Dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UUD 1945, ditemukan istilah menetapkan atau ditetapkan. Hasil dari menetapkan atau ditetapkan adalah ketetapan. Konstitusi tidak keliru, tetapi tidak selalu menetapkan menghasilkan ketetapan. Istilah ketetapan dapat diartikan menjadi dua, yakni pengertian yang umum dan khusus. Dalam pengertian yang umum, tindakan menetapkan dapat berwujud UU (menetapkan UU), dan lain sebagainya. Sedangkan dalam pengertian khusus, keluaran dari tindakan menetapkan adalah ketetapan, dan kalangan Ilmu Hukum Admistrasi Negara, istilah ketetapan biasanya dipakai sebagai nama perbuatan administrasi negara yang bersifat individual, konkrit, atau yang lazim disebut beschiking.59

57

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press Cetakan Pertama, Jakarta 2010, hlm. 265.

58

Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hlm 107.

59Ibid

., hlm 107-108

Sejak tahun 1960 MPRS telah menerbitkan berbagai produk hukum yang berupa: TAP MPRS, Keputusan MPRS, Resolusi, Keputusan Pimpinan


(28)

29

MPRS. UUD tidak menyebutkan secara tegas mengenai bentuk TAP MPR. Bentuk ini mulai dikenal sejak sidang-sidang MPRS Tahun 1960.

Pilihan bentuk putusan TAP MPR, sebagaimana dikemukakan oleh Bagir Manan, bahwa kehadiran TAP MPR dapat didasarkan pada dua hal, yaitu:60 Pertama, Ketentuan-ketentuan yang tersirat dalam UUD 1945. Adanya ketentuan-ketentuan yang tersirat yang sekaligus mengadung kekuasaan tersirat (implied power) diakui oleh setiap UUD. MPR menurut UUD 1945 mempunyai berbagai wewenang untuk melakukan tindakan atau membuat keputusan hukum seperti menetapkan Garis-garis besar dari pada haluan negara, memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, serta merubah UUD 1945. Keputusan-keputusan hukum ini harus diberi bentuk hukum tertentu. Keputusan hukum MPR antara lain diberi nama Ketetapan. Hal ini didasarkan pada Pasal 3 UUD 1945 yang menyebutkan: “MPR menentapkan UUD dan Garis-garis besar dari pada haluan negara”. Karena Menetapkan maka bentuknya diberi nama TAP MPR. TAP MPR adalah praktik ketatanegaraan atau kebiasaan ketatanegaraan. Praktik atau kebiasaan ketatanegaraan merupakan salah satu sumber hukum tata negara yang terdapat pada setiap negara.61

Apabila ditinjau dari segi sifat isinya, TAP MPR/S dapat digolongkan menjadi:62

“(1) ketetapan yang bersifat mengatur, ketetapan semacam ini tepat kalau digolongkan sebagai salah satu bentuk/jenis peraturan perundang-undangan seperti dimaksudkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1996; misalnya, TAP MPR tentang referendum. (2) ketetapan yang bersifat

60

Bagir Manan, Dasar-Dasar Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit Ind-Hill-Co Cetakan Pertama, Jakarta, 1992, hlm 31-33.

61

Riri Nazriyah, Op. Cit., hlm 171 .

62


(29)

30

“Penetapan/beschiking”. Misalnya ketetapan pengangkatan Presiden dan tentang GBHN. (3) ketetapan yang bersifat deklaratur, misalnya ketetapan tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.”

Dalam perkembangan selanjutnya, di samping materi yang dirumuskan dalam TAP MPR/S tersebut, terdapat pula materi-materi yang lebih bervariasi sebagai berikut:63

Dalam kaitan dengan hal di atas, A. Hamid S Atamimi mengatakan bahwa, munculnya pengelompokan muatan TAP MPR/S tanpa identifikasi kedudukan MPR lebih dahulu akan menimbulkan kerancuan dan salah paham. MPR harus digolongkan sebagai badan pembentukan hukum dasar tertulis (konstituante), lembaga yang menetapkan Garis-garis besar dari pada haluan negara, serta lembaga negara yang memilih dan mengangkat Presiden/Wakil Presiden. Dari pengkategorian ini akan dihasilkan peringkat norma yang berbeda.

“a. TAP MPR/S yang bersifat deklaratur; b. TAP MPR/S yang bersifat rekomendasi; c. TAP MPR/S yang bersifat perundang-undangan yang berlaku bersifat umum”.

64

1. Meninjau materi dan status hukum setiap TAP MPR/S;

Melihat akan pentingnya pengelompok terhadap produk hukum MPR yakni TAP MPR, maka MPR mengeluarkan TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR Tahun 1960 sampai 2002, yang memiliki Tujuan :

63

Jimly Asshiddiqie, Laporan Penelitian “Tinjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR/S RI Tahun 1960-2002”, Kerja sama dengan Sekretaris Jendral MPR RI Jakarta, Mei 2003, hlm. 8.

64

A. Hamid S Attamimi. Peran Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Fakultas Pasca Sarjana UI, Jakarta, hlm. 137.


(30)

31

2. Menentapkan keberadaan (eksistensi) dari TAP MPR/S saat ini dan masa yang akan datang;

3. Memberi kepastian hukum atas TAP MPR/S yang telah ditinjau.65

Dalam TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR/S Indonesia Tahun 1960 Sampai dengan Tahun 2002, bahwa ada 139 TAP MPR/S yang ditinjau, yang selanjutnya dikelompokkan menjadi enam pasal berdasarkan materi dan status hukumnya, yang terdiri dari:

1. Pasal 1, TAP MPR/S yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 TAP)

2. Pasal 2, TAP MPR/S yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan ketentuan (3 TAP)

3. Pasal 3, TAP MPR/S yang dinyatakan berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004 (8 TAP)

4. Pasal 4, TAP MPR/S yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya UU (11 TAP)

5. Pasal 5, TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya peraturan tata tertib baru oleh MPR hasil pemilu 2004 (5 TAP)

6. Pasal 6, TAP MPR/S yang dinyatakan tidak berlaku dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan ( 104 TAP).

65

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD NRI Tahun 1945 Dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Sekretaris Jendral MPR RI, 2010, hlm 51.


(31)

32

Dari uraian di atas menunjukan masih adanya TAP MPR/S yang masih berlaku dan mengikat secara umum. Diantaranya TAP MPR No. I/MPR/2003, Pasal 2 (dua): 66

1. TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, tentang Pembubaran PKI, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah NRI bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninnisme. Dinyatakan tetap berlaku, dengan ketentuan Seluruh ketentuan dalam TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 ini, ke depan diberlakukan dengan keadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

2. TAP MPR No. XVI/MPR/1998, tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan: pemerintah berkewajiban mendorong politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan dukungan dan pengembangan ekonomi, usaha kecil menengah, dan koperasi sebagai pilar ekonomi dalam membangkitkan terlaksannya pembangungan nasional dalam rangka demokrasi ekonomi sesuai dengan hakikat Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.

3. TAP MPR No. V/MPR/1999, tentang Penentuan Pendapat di Timor-Timor. Dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan: Ketetapan ini tetap berlaku sampai terlaksananya ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 TAP MPR No. V/MPR/1999. (Karena masih adanya masalah-masalah

66


(32)

33

kewarganegaraan, pengungsi, pengembalian asset negara, dan hak perdata perseorangan).

TAP MPR No. I/MPR/2003 Pasal 4 (empat), dinyatakan berlaku sampai dengan terbentuknya UU, ada sebelas ketetapan, yaitu:67

1. TAP MPRS No. XXIX/MPRS/1996 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera.

Substansi dari ketetapan ini ialah bahwa setiap korban perjuangan menegakkan dan melaksanakan amanat penderitaan rakyat dalam melanjutkan pelaksanaan revolusi 1945 mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila adalah Pahlawan Ampera. Amanat TAP MPR No. I/MPR/2003, memerintahan pembentukan UU tentang pemberian gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan. Hasil kajian, saat ini sudah dibentuk UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

2. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Substansi dari Tap ini ialah perlu berfungsinya lembaga-lembaga negara dan penyelenggara negara, menghindari praktik KKN serta upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga. Mengamanatkan terlaksannya seluruh ketentuan yang terdapat di dalam TAP MPR No. XI/MPR1998. Hasil kajian dari ketetapan ini ialah amanat TAP MPR RI No. XI/MPR/1998 belum dilaksanakan dan/atau dituangkan ke dalam UU, maka ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku dan daya guna/efficacy).

67


(33)

34

3. TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; sarta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan RI.

Substansi dari TAP MPR ini ialah, bahwa Penyelanggaraan Otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Amanat dari ketetapan ini ialah pembentukan UU tentang pemerintahan daerah sebagaimana diamanatkan oleh pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945. Hasil kajian, karena amanat dari TAP MPR No. XV/MPR/1998 belum seluruhnya dituangkan ke dalam UU maka ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku/validity/dan daya guna/efficacy).

4. TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.

Substansi dari ketetapan ini ialah Tata urutan pembentukan peraturan perundang-undangan; Lembaga Negara yang berwenang menguji UU terhadap UUD; Lembaga Negara yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Amanat dari ketetapan ini ialah dibentuknya UU sesuai dengan substansi TAP MPR No. III/MPR/2000. Hasil kajian dari ketetapan ini ialah telah terbentuknya tiga UU yang mengatur tiga substansi utama dalam TAP MPR No. III/MPR/2000, yaitu: UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011 tentang


(34)

35

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; UU No. 24 Tahun 2003 tentang TAP MPR yang mengatur kewenangan menguji UU terhadap UUD dilakukan oleh MK; UU No. 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh MA; maka ketetapan ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

5. TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.

Substansi ketetapan ini adalah ingin mempertegas perlunya kesadaran dan komitmen yang kuat untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional dalam mengahadapi berbagai masalah mencapai tujuan nasional. Amanat dari TAP MPR ini ialah perlu diwujudkannya persatuan dan kesatuan nasional antara lain melalui pemerintahan yang mapu mengelolah kehidupan secara baik dan adil, serta mampu mengatasi berbagai permasalahan sesuai dengan arah kebijakan dan kaidah pelaksanaan dalam TAP MPR No. V/MPR/2000. Hasil kajian, amanat yang terdapat dalam ketetapan ini diperlukan sebagai pedoman dalam penyusunan berbagai kebijakan maupun penyusunan peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Nasional serta menjamin keutuhan Negara Kesatuan RI, maka ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku/validity dan daya guna/efficacy).

6. TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara RI.


(35)

36

Substansi dari tap ini mengamanatkan pemisahan kekuasaan lembaga TNI dan Polri, menentukan peran dan fungsi masing-masing, serta terwujudnya kerjasama dan saling membantu. Amanat dari tap ketetapan ini, memerintahkan pembentukan UU yang terkait dengan pemisahan kelembagaan TNI dan Polri. Hasil kajian, pemisahan kekuasaan TNI dan Polri secara kelembagaan telah diatur dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, namun kerjasama dan saling membantu antara TNI dan Polri masih perlu diatur dengan UU, maka ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku, validity dan daya guna/efficacy).

7. TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.

Substansi dari ketetapan ini ialah mengamanatkan tentang jati diri, peran, susunan, dan kedudukan, tugas bantuan, dan keikutsertaan TNI dan Polri dalam penyelenggaraan negara. Amanat dari ketetapan ini ialah memerintahkan pembentukan UU yang terkait dengan penyempurnaan pasal 5 ayat (4) dan pasal 10 ayat (2) tentang hak memilih dan dipilh TNI dan Polri yang disesuaikan dengan UUD, dan pembentukan UU tentang penyelenggaraan wajib militer dan yang berkaitan dengan tugas bantuan antara TNI dan Polri. Hasil kajian, belum terbentuknya UU mengenai penyelenggaraan wajib militer, dan tugas bantuan antara TNI dan Polri maka ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku/validity dan daya guna/efficacy).


(36)

37

Substansi ketetapan ini ialah, mengamanatkan untuk meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertaqwa, dan berahklak mulia sarta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa. Pokok-pokok etika kehidupan berbangsa mengacu pada cita-cita persatuan dan kesatuan, ketahanan, kemandirian, keunggulan dan kejayaan, serta kelestarian lingkungan yang dijiwai oleh nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Amanat ketetapan ini adalah perlu ditegakkannya etika berbangsa yang meliputi, etika sosial dan budaya, etika politik dan pemerintahan, etika ekonomi dan bisnis, etika penegakan hukum yang berkeadilan dan berkesetaraaan, etika keilmuan dan etika lingkungan untuk dijadikan acuan dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan arahan kebijakan dan kaidah pelaksananya, serta menjiwai seluruh pembentukan UU. Hasil kajiannya, ketetapan ini belum sepenuhnya dijadikan pedoman dalam merumuskan berbagai kebijakan maupun penyusunan peraturan perundang-undangan terutama yang berkaitan dengan etika kehidupan berbangsa dan bernegara maka ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku,validity/dan daya guna,efficacy).

9. TAP MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan. Substansi dari ketetapan ini ialah visi Indonesia masa depan diperlukan untuk menjaga kesinambungan arah penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia melalui visi ideal, visi antara, dan lima tahun. Amanat ketetapan ini adalah perlu diwujudkan masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara


(37)

38

sesuai dengan arah kebijakan dan kaidah pelaksanaan. Hasil kajian, dengan dijadikannya TAP MPR No. I/MPR/2001 tentang Visi Pribadi Indonesia Masa Depan, sebagai salah satu landasan operasional dari UU tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional Tahun 2005-2025, bahkan menjadi sumber inspirasi, motivasi, kreativitas, serta arah kebijakan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara maka ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku, validity dan daya guna/efficacy).

10. TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi.

Substansi dari ketetapan ini ialah mengamanatkan untuk mempercepat dan lebih menjamin efektifitas pemberatasan KKN sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN, serta berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait. Amanat dari ketetapan ini adalah memerintahkan pembentukan UU serta peraturan pelaksananya untuk percepatan dan efektifitas pemberantasan dan pencegahan KKN sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan ini. Hasil kajian, karena amanat dari ketetpan ini belum dilaksanakan dan/atau dituangkan ke dalam UU maka ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku/validity/dan daya guna/efficacy).

11. TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Substansi dari ketetapan ini mendorong pembaharuan agraria melalui proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan,


(38)

39

pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum. Pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di daratan, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan untuk keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Amanat dari ketetapan ini adalah, memerintahkan pembentukan UU untuk mendorong pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang harus dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keutuhan NKRI, HAM supremasi hukum, KESRA, demokrasi, kepatuhan hukum, partisipasi rakyat, keadilan termasuk kesetaraaan gender, pemeliharaan sumber agraria/sumber daya alam, memelihara keberlanjutan untuk generasi kini dan generasi yang akan datang, memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan, keterpaduan dan koordinasi antar sektor dan antar daerah, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat, desentralisasi, keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintahan, masyarakat dan individu sesuai dengan arah kebijakan sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan ini. Hasil kajian dari ketetapan ini diperlukan untuk mendorong percepatan pembentukan dan pengharmonisasian berbagai UU, terutama yang berkaitan dengan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam secara komperhensif. Oleh karena itu ketetapan ini tetap berlaku (memiliki daya laku/validity dan daya guna/efficacy).

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan komponen yang mutlak keberadaannya dalam penulisan. Menurut Soejono Soekanto secara istilah metode berarti jalan


(39)

40

ke.68 Sedangkan menurut Peter R. Senn sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono, “Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang memiliki langkah-langkah yang sistematis.69 Selanjutnya untuk lebih memahami mengenai metode penelitian kita dapat melihat dari peranan metode dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan sebagai berikut : 70

Penelitian yang digunakan untuk skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif atau dengan istilah lain atau penelitian hukum positif. Menurut Harjono. penelitian hukum positif memiki makna yang sama dengan kajian hukum doktriner, kajian hukum normatif, kajian hukum murni (pure legal)

1. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lengkap;

2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui;

3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner; dan

4. Memberikan pedoman untuk mengorganisasikan serta mengintegrasikan pengetahuan mengenai masyarakat.

Dalam pembahasan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

71

68

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2010, hlm. 5.

69

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 46.

70

Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 7.

71

Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang ,2005, hlm. 48.

, pada penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan-perundang undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku


(40)

41

manusia yang pantas.72 Menurut Johny Ibrahim, “Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.”73 Sedangkan, ilmu hukum (normatif) sendiri bertujuan mengubah keadaan atau menawarkan penyelesaian terhadap masalah kongkret.74

2. Pendekatan Permasalahan

Dalam pembahasan skripsi ini akan digunakan beberapa pendekatan, dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya,75 antara lain:76

72

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 118.

73

Johny Ibrahim, Op. Cit., hlm. 47.

74Ibid

., hlm. 53.

75

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 93.

76Ibid

., hlm. 95.

a. Pendekatan Peraturan Perundang-Undangan (Statute Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua UU dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu mencari ratio logis dan dasar ontologis lahirnya UU tersebut sehingga peneliti mampu menangkap kandungan filosofi yang terdapat dalam UU itu dan dapat menyimpulkan mengenai ada atau tidaknya benturan filosofis. Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang telah mempunyai kekuatan tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.


(41)

42

b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin serta UU dengan isu yang dihadapi.

c. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan pendekatan ini peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan sehingga dapat menjadi sandaran bagi peneliti dalam membangun argumentasi hukum terhadap isu yang dihadapi.

3. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan sumber data dari data sekunder, pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Adapun data sekunder memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut:77

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat (ready-made);

b. Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu; dan

c. Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu dan tempat.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan yang disebut dengan data sekunder. Adapun

77

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 24.


(42)

43

data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari peraturan-perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, dokumen-dokumen pemerintah lainnya, buku-buku koleksi pribadi maupun dari Perpustakaan, artikel-arikel yang terdapat dalam jurnal, majalah, buletin yang diambil dari media cetak maupun eletronik.

5. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode mengumpulkan data dan metode deduksi. Metode mengumpulkan data yaitu usaha koleksi data dalam jumlah besar yang menyeluruh atas data yang terdiri dari peraturan-peraturan hukum positif yang berlaku di dalam suatu masyarakat, tidak hanya yang berupa perundang-undangan akan tetapi juga yang berupa keputusan-keputusan lembaga peradilan dalam menyelesaikan perkara in concreto. Metode deduksi dikerjakan untuk menyimpulkan pengetahuan-pengetahuan kongkret mengenai kaidah yang benar dan tepat untuk diterapkan menyelesaikan suatu permasalahan tertentu.78

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Merupakan Bab Pendahuluan. Dalam bab ini akan dibahas mengenai Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan. BAB II : Akan membahas mengenai Kedudukan MPR Sebelum dan

Sesudah Perubahan UUD.

78


(43)

44

BAB III : Akan membahas mengenai Status Hukum TAP MPR dalam Sejarah Perkembangan Hirarki Peraturan Perundang-Undangan. BAB IV : Akan membahas mengenai Kewenangan Pengujian TAP MPR. BAB V : Merupakan Kesimpulan dan Saran berdasarkan hasil pembahasan


(44)

45 BAB II

MPR SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945 A. MPR RI Sebelum Perubahan UUD 1945

Pada awal kemerdekaan RI, lembaga negara pada saat itu baru Presiden dan Wakil Presiden (Lembaga Kepresidenan) yang dibantu oleh sebuah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sebelum lembaga-lembaga negara yang lain terbentuk, segala kekuasaannya dijalankan sepenuhnya oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional sebagaimana diamanatkan oleh Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945.79

Keinginan untuk menjelmakan aspirasi rakyat di dalam bentuk yang berupa perwakilan ialah MPR, pertama kali dilontarkan oleh Bung Karno. dalam pidato yang bersejarah, 1 Juni 1945 dalam pembahasan BPUPKI. Satu prinsip yang mendasari sistem permusyawaratan itu ialah sila ketiga, tentang mufakat atau demokrasi. Di dalamnya terkandung prinsip persamaan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.80

Sejelan dengan konsepsi Soekarno tersebut, M. Yamin ternyata juga mengemukakan prinsip yang mendasari sistem permusyawaratan itu ialah Peri Kerakyatan, yang terdiri dari:81

Demikian juga prinsip musyawarah ini diterapkan sesudah zaman Nabi yang pada dasarnya ialah bersatu untuk mufakat, menurut adat a) Permusyawaratan: dengan mengutip Assyura ayat 38 yang artinya: “dan bagi orang-orang yang beriman, mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan Sholat, sedangkan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagaimana rezeki yang kami berikan kepada mereka.”

79

Riri Nazriyah, Op.Cit., 50

80

Syamsul Wahidin, MPR RI Dari Masa Ke Masa, Bina Aksara, Jakarta, 1986, hlm 69.

81Ibid


(45)

46

perpaduan adat dengan perintah agama. Dalam konteks ini tampak bahwa, musyawarah untuk Indonesia yang dimaksudkan M. Yamin adalah musyawarah yang bersumber dari hukum Islam dan hukum adat. b) Perwakilan: dasar adat yang mengharuskan perwakilan-perwakilan sebagai ikatan masyarakat di seluruh Indonesia. Perwakilan sebagai dasar abadi dari Tata Negara dan c) Kebijaksanaan: Rasionalisme: perubahan dalam adat dan masyarakat, keinginan penyerahan, rasionalisme sebagai dinamika dalam masyarakat. Meskipun apa yang disampaikan itu masih menimbulkan kesangsian sementara pihak, tetapi setidaknya konsepsi yang terdiri dari tiga komponen tersebut, pantas untuk dicatatkan sebagai sumbangan pemikiran tentang MPR. Konsepsi mengenai MPR oleh M. Yamin ditempatkan dalam Bab II Pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut:

“1. MPR terdiri dari atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan UU.

2. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara.

3. Seluruh pemerintah bersama-sama dengan presiden bertanggung jawab kepada MPR.

4. Segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak.”

Ide yang hampir sama juga dikemukakan oleh Soepomo, yang diantaranya juga mendasarkan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah yang diberi istilah “Badan Permusyawaratan”. Perbandingan yang diambil Soepomo, ialah bahwa Indonesia akan berdiri tidak bersistem Individualisme seperti di negara barat, tetapi berdasarkan kepada kekeluargaan. Di dalam negara yang akan berdiri nantinya tidak ada sesuatu yang bersifat orientatif. Baik yang orientatif kepada yang kuat atau orientasi kepada yang banyak. Seluruh sistem dan komponen masyarakat Indonesia akan mempunyai suara yang seimbang. Sistem negara, ialah totaliter. Dalam konteks yang demikian, warga negara adalah sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pemegang kendali kekuasaan di


(46)

47

dalam negara. Dengan istilah yang dipakai: “manunggal anatar kawula dan gusti”.82

Pokok-pokok pikiran yang jelas sekali dikemukakan, ialah mengenai MPR. Kedudukan MPR menurut M.Yamin ialah lembaga kekuasaan yang setinggi-tingginya dalam Negara RI. Lembaga ini merupakan kumpulan permusyawaratan rakyat. Kepada MPR inilah Presiden memberikan pertanggungjawaban. Dengan demikian seluruh komponen yang ada di dalam seluruh negara terwakili dalam Badan Perwakilan yang berupa MPR.

Dalam pembahasan selanjutnya BPUPKI membicarakan UUD itu tahap demi tahap. Satu konsepsi yang menarik juga disampakan oleh M. Yamin di dalam sidang tanggal 1 Juli 1945. Dikemukakan dalam kesempatan tersebut terutama susunan pemerintahan Indonesia yang akan merdeka.

83

Pada tanggal 11 sampai dengan tanggal 13 Juli 1945, juga diadakan Rapat Panitia Perancangan UUD. Diantaranya juga dibicarakan masalah MPR. Di dalam naskah tersebut MPR diletakakkan dalam Pasal 1 ayat (2), yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh badan permusyawaratan rakyat. Penjabaran tentang Badan Permusyawaratan Rakyat dan DPR diatur dalam BAB V, yang berbunyi:84

(1) Badan Perwakilan Rakyat terdiri dari atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golngan-golongan menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan UU.

Pasal 18

(2)Badan Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam 5 Tahun.

82

Riri Nazriyah, Op.Cit. 52.

83

Ibid,. hlm. 53.

84


(47)

48

Pasal 19

“Badan Permusyawaratan Rakyat menetapkan UUD dan Garis-garis Besar dari pada Haluan Negara.”

Setelah hasil rancangan UUD disempurnakan, dibawa ke dalam sidang tanggal 14, 15 dan 16 Juli 1945. Di dalam pengajuan konsepsi dari Lembaga Badan Permusyawaratan itu sudah berubah namanya menjadi MPR.

Pada prinsipnya yang dimaksud oleh BPUPKI mengenai MPR, adalah seperti yang disebutkan di dalam rancangan, yang ternyata tidak mengalami perubahan, hingga ditetapkan di dalam sidang BPUPKI pada tanggal 18 Agustus seperti yang terdapat dalam Pasal 2 UUD 1945:85

(1) MPR tediri atas anggota-anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan UU

(2) MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima Tahun di ibu kota Negara

(3) Segala putusan MPR ditetapkan dengan suara yang terbanyak.

1. Kedudukan MPR Sebelum Perubahan UUD 1945

Sejak keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, landasan struktural pemerintahan Republik Indonesia adalah UUD 1945 dan landasan idealnya ialah Pancasila.86

Masalah Kedudukan MPR sesungguhnya sudah jelas dalam UUD 1945 beserta penjelasan umumnya. Menurut teori ilmu hukum tata negara Indonesia, Dengan keluarnya Dekrit Presiden ini, maka kedudukan MPR kembali seperti semula, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 oleh para pendiri bangsa.

85

Pasal 2 UUD 1945.

86


(48)

49

MPR merupakan satu-satunya lembaga yang mempunyai supremasi, yang mengandung dua prinsip:87

Dalam Pasal 37 UUD 1945 antara lain ditentukan, bahwa MPR memiliki kewenangan untuk mengubah UUD. Akan tetapi di samping mengubah UUD ternyata lembaga tertinggi negara tersebut juga mempunyai kekuasaan untuk menetapkan UUD

“a. Sebagai badan yang berdaulat yang memegang kekuasaan berdasarkan hukum untuk menetapkan segala sesuatu yang telah ditegaskan oleh UUD 1945, disebut “legal power”.

b. No. rival authority, artinya tidak ada suatu otoritas tandingan baik perseorangan maupun badan yang mempunyai kekuasaan untuk melanggar atau mengeyampingkan sesuatu yang telah diputuskan oleh MPR.”

88

Berdasarkan kedua Pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa disatu sisi MPR adalah Konstituante yang membuat UUD. Kekuasaan MPR yang menjelma dalam tugas serta wewenang tersebut bersumber pada Pasal 1 ayat (2): “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Lebih lanjut, berdasarkan penjelasan UUD 1945 bahwa kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR.

, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD 1945 sebagai berikut: “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan negara.”

89

Apabila kedaulatan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dikaitkan dengan macam-macam aspek seperti yang dikemukakan oleh C.F Strong dalam bukunya

87

Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Baru, Jakarta, 1978, hlm. 16.

88

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh UUD 1945, PT. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 185

89

Sri Soemantri, Kedududukan Lembaga-lembaga Negara dan Hak Menguji Menurut UUD 1945, Sinar Grafika Cetakan pertama, Jakarta. 1987, hlm 45.


(49)

50

Sri Soemantri dapat ditarik kesimpulan bahwa pertama-tama kedaulatan tersebut menyangkut kedaulatan ke dalam, dari rumusan di atas, juga dapat disimpulkan bahwa kekuasaan MPR terhadap individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat negara tersebut terbatas dalam batas yurisdiksinya, artinya adalah MPR berkuasa menetapkan bermacam-macam putusan yang ditujukan kepada siapa pun yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan RI.90 MPR adalah lembaga negara yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan yang tertinggi. Kekuasaan yang tidak terbatas dan tidak ditetapkan secara limitatif melainkan enunsiatif yang bersumber pada Pasal 1 ayat (2) itu sendiri. Dengan demikian Majelis mempunyai kedudukan yang tertinggi diantara lembaga-lembaga negara lainnya. MPR inilah yang mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara menurut garis-garis yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah “mandataris” dari Majelis, ia wajib menjalankan putuan-putusan Majelis. Presiden tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis.91

Akan tetapi dalam praktik ketatanegaraan, telah terjadi penyimpangan yang dilakukan terhadap ketentuan UUD 1945, yang menyebabkan MPR tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk merealisasikan hal tersebut dan sebagai tahap awal bagi pelaksanaan demokrasi terpimpin telah dirumuskan

90

Sri Soemantri, Kedudukan Lembaga-Lembaga . . . Op. Cit., hlm 186 .

91


(50)

51

langkah-langkah yang harus diambil sebagaimana dikemukaan oleh Hasan Zaini sebagaimana dikutip olehEddy Purnama92

1. Dibidang kepartaian harus diadakan “penertiban dan pengaturan menurut wajarnya kepartaian.”

, antara lain:

2. Untuk kelancaran roda pemerintahan dan stabilitas politik “golongan-golongan fungsional, yaitu kekuatan-kekuatan potensi nasional dalam masayarakat, yang tumbuh bergerak secara dinamis” harus disalurkan secara efektif dalam perwakilan.

3. Harus diciptakan suatu sistem “yang lebih menjamin kontinuitas dari pemerintah, yang sanggup bekerja melaksanakan program. Namun jika ditilik lebih jauh, maka dengan cara-cara di atas telah berhasil membentuk sebuah konstruksi politik yang menempatkan kekuasaan eksekutif pada posisi yang sangat kuat, yang memiliki kewenangan yang besar tanpa khawatir akan kekuatan politik yang akan menghalang-halanginya. Hal ini dapat dilihat dalam melaksanakan “penertiban dan pengaturan menurut wajarnya kehidupan kepartaian” telah dikeluarkan segala bentuk ketentuan Presiden. Pengaturan tersebut menyangkut syarat-syarat dalam penyederhanaan kepartaian, pengakuan, pengawasan serta pembubaran partai-partai telah menempatkan kekuasaan Presiden sebagai faktor penentu nasib sebuah partai.93

Kekuasaan eksekutif yang berada pada posisi yang sangat kuat, dapat terlihat dari pendapat Budiman Sagala yang mengatakan:94

”Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, ternyata baik pada MPRS masa orde lama maupun orde baru, semua anggotanya diangkat oleh Presiden. Sejak berdirinya MPRS, 610 orang anggota diangkat dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang Pembentukan MPRS. Dari penjelasan Pasal 1 Peraturan Presiden No. 12 Tahun 1959 menyatakan bahwa MPRS hanya berwenang

92

Eddy Purnama, Op. Cit., hlm 174-175 .

93Ibid

., hlm. 174-175

94

Budiman B. Sagala, Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, Ghali Indonesia, Jakarta, 1981, hlm 77.


(51)

52

menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara haluan negara. Ini berarti, bahwa Presiden telah mencampuri bahkan membatasi wewenang MPRS. Ismail Sunny dalam buku Riri Nazriyah menyebutkan, sebagai “wewenang yang terbatas”, urusan-urusan internal Majelis banyak ditentukan oleh Presiden. Semua pimpinan MPRS dalam praktik adalah diangkat oleh Presiden Sendiri, sebagaimana diatur dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 dan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 1959 yang kemudian dilaksanakan dengan surat Keputusan Presiden No. 292 Tahun 1969 tertanggal 9 November 1960. Dari praktik-praktik di atas maka semasa MPRS Orde Lama, Majelis bukan lagi sebagai lembaga negara yang tertinggi, MPRS mempunyai kedudukan di bawah Presiden. Para pemimpin MPRS yang diangkat adalah juga sebagai menteri yang memegang departemen-departemen, ini berarti kekuasaannya jelas berada di bawah Presiden berdasarkan Pasal 17 UUD 1945. Dengan demikian, pada masa MPRS tahun 1960-1965 bukanlah lembaga tinggi negara, tetapi suatu Majelis yang kedudukannya di bawah Presiden.”

Kedudukan MPRS yang demikian disebabkan karena golongan-golongan fungsional yang akan duduk dilembaga perwakilan, Peraturan Presiden No. 12 Tahun 1959 tentang MPRS memberikan hak yang besar sekali kepada Presiden dalam menentukan jumlah dan menentukan golongan dan orang-orang yang akan mewakili golongan, baik di DPR maupun di MPR. Presiden dalam al ini dianggap tidak mengikuti Penjelasan UUD 1945 tetapi telah diperluas. Dari sudut pandang hukum tata negara hal ini merupakan penyimpangan konstitusional, karena telah memosisikan kedua ketentuan, yaitu UUD 1945 dan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 1959 pada posisi yang sejajar.95

Menyadari penyimpangan-penyimpangan UUD 1945 oleh lembaga-lembaga kenegaraan di atas, maka MPRS masa orde baru telah memulai menempatkan Majelis sebagai suatu lembaga negara yang tertinggi, dengan kewenangan-kewenangan yang dapat dilaksanakan pada saat itu. Majelis telah

95


(1)

128

2. Pentingnya pengaturan mengenai judicial review TAP MPR terhadap UUD

NRI Tahun 1945 dan judicial review UU terhadap TAP MPR, untuk menciptakan

harmonisasi hukum dan keselarasan hukum secara holistik, dan kewenangan itu

diberikan kepada MK sebagai The Guardian of Counstitution dan The Interpreter

of Constitution.

3. MK melakukan pengujian TAP MPR melalui kewenangangan sebagai

penafsir konstitusi dan pengawal Konstitusi lewat pendekatan teleologi dan sistematik. Serta memperkokoh kewenangan MK untuk menguji TAP MPR ke dalam Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945. Sebab perubahan UUD bukanlah hal yang haram, melainkan merupakan keniscahyaan. Dengan catatan dalam hal perubahan UUD tersebut didasari kearifan para pembentuk UUD.


(2)

x

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Amini, Aisyah, Pasang Surut Peran DPR-MPR 1945-2004, Yayasan Pancur

Siwah, Jakarta: 2004, Hlm. 36

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja

Grafindo Persada, Jakarta: 2004.

Arto, A. Mukti, Konsepsi Ideal MA. Pustaka Pelajar. Yogyakarta:2001.

Asshiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan

Dalam UUD 1945, FH UII, Yogyakarta: 2003.

______________, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta: 2010

______________, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara.

Sinar Grafika, Jakarta: 2005.

______________, Prihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta: 2010.

______________, Reformasi Hukum dan Konstitusi Mewujudkan Cita Negara

Hukum. Pidato Ilmiah Milad ke-44 Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta: 2010

Attamimi, A. Hamid S, Peran Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Fakultas Pasca Sarjana UI, Jakarta: 2007.

Estu, Himawan, Negara Hukum & TAP MPR, Laksbang Grafika, Yogyakarta:

2014.

Farida, Maria Indrati Soeprapto, Ilmu Peraturan Perundang-Undangan

Dasar-Dasar Pembentukannya, Kanisius, Jakarta: 2012

Gandasubrata, Purwoto S, Renungan Hukum, Ikahi MA, Jakarta: 1998.

Ghoffar, Abdul, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan

UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Kencana, Jakarata: 2009.

Harahap, Krisna, Konstitusi Republik Indonesia, PT. Grafitri Budi Utamai,


(3)

xi

Huda, Ni’matul, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press,

Jakarta: 2008.

Hadjon, Philipus M, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Hak-Hak Asasi

Manusia, Kumpulan Tulisan Dalam Rangka 70 Tahun Sri Soemantri, Media Pratama, Jakarta: 1996.

Ibrahim, Jhony, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia

Publishing, Malang: 2005.

Joeniarto. Selayang Pandang tentang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara di

Indonesia, Liberty, Yogyakarta: 1987.

Lubis, M.Solly, Pembahasan UUD 1945, Alumni, Bandung: 1997.

Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Panduan Permasyarakatan

Undang-Undang Dasar 1945 Sesuai Urutan BAB Pasal Ayat, Sekretaris Jenderal MPR RI, Jakarta, 2005.

Manan, Bagir, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,

Bandung: 1977.

______________, Dasar-Dasar Perauran Perundang-Undangan Indonesia.

Penerbit Ind-Hill-Co. Jakarta: 1992

______________, DPR,DPR dan MPR dalam UUD 1945 Baru. Cet. 1. FH-UII

Press. Yogyakarta: 2003.

______________, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara,

Mandar Maju, Bandung: 1995.

______________, Teori dan politik Konstitusi, FH-UII Press, Yogyakarta: 2001.

Mansoer, Moh. Tholchah, Demokrasi Sepanjang Konstitusi, Bina Cipta, Bandung:

1979.

Marbun, S.F., Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administratif Di

Indonesia, Liberty, Yogyakarta: 1997.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta: 2005.

MK RI, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jendaral dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: 2010.

Nazriyah, Riri, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di Masa


(4)

xii

Padmo, Wahjono, UUD-TAP MPR-UU Masalah Hukum Tata Negara Saat Ini.

Ghalia. Jakarta: 1982.

Palguna, I Dewa Gede, Pengaduan Konstitusional, Sinar Grafika, Jakarta: 2013.

Purbacara, Purnadi dan Soerjono Soekamto, Peraturan Perundang-Undangan dan

Yurisprudensi, Citra Aditya, Bandung: 1995.

Purnama, Eddy, Negara Kedaulatan Rakyat, Penerbit Nusamedia, Bandung:

2007.

Ranawijaya, Usep, Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-Dasarnya, Ghalia

Indonesia, Jakarta: 1983.

Sagala, Budiman B, Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, Ghali Indonesia,

Jakarta: 1981.

Sanusi, Achmad, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia.

Penerbit Tarsito, Bandung: 1977.

Siahaan Maruarar, Hukum Acara Mahakamah Konstitusi Republik Indonesia,

Sinar Grafika, Jakarta: 2010.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press: Jakarta: 2010.

Soemantri, Sri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit P.T.

Alumni, Bandung: 1992.

______________, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang

Tubuh UUD 1945, PT. Alumni, Bandung: 2006.

_______________, Hak Menguji Materiil Di Indonesia, Alumni, Bandung: 1997.

_______________, Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara dan Hak Menguji Materil UUD 1945, Sinar Grafika, Jakarta: 1987.

Sulardi, Menuju Sistem Presidensiil Murni, Setara Press, Jakarta: 2012.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta:

1998.

Sunny, Ismail, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Baru, Jakarta: 1978.

Syahuri, Taufiqurrohman, Tafsiran Konstitusi Sebagai Aspek Hukum, Kencana,


(5)

xiii

Tambunan, A.S.S, MPR Perkembangan dan Pertumbuhannya Suatu Pengamatan

dan Analisis. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 1991.

Wahidin, Syamsul. MPR RI Dari Masa Ke Masa. Bina Aksara. Jakarta: 1986.

B. Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

TAP MPR No. X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Tingkat Daerah Pada Posisi dan Fungsi yang Diatur Oleh Undang-Undang Dasar 1945.

TAP MPR No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.

TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, tentang Pembubaran PKI, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara RI bagi Partai Komunis Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau MengemBangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninnisme.

TAP MPR N0. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.

TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Majelis Permusyawaratan Rakyat sejak tahun 1960-2002.

Undang-Undang No.1 Tahun 1966 tentang Kedudukan MPRS dan DPRGR Menjelang Pemilu, Lembaran Negara Tahun 1966 No. 38, Tambahan Lembaran Negara No. 2813.

Undang-Undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Hukum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Lembaran Negara Tahun 1969 No. 59, Tambahan Lembaran Negara No. 1969.

Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahakamah Konstitusi, Lembaran Negara Tahun 2003, No. 98, Tambahan Lembaran Negara No. 4316.


(6)

xiv

Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Lembaran Negara Tahun 2004 No. 53, Tambahan Lembaran Negara No. 4389.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Tahun 2009 No. 157, Tambahan Lembaran Negara No. 5076. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, Lembaran Negara Tahun 2011 No. 82, Tambahan Lembaran Negara No. 5234.

Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah, Lembaran Negara Tahun 2014 No. 182, Tambahan Lembaran Negara. 5568. Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 01/PMK/2003 tentang Pedoman Pengujian

Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

C. Naskah Akademis dan Risalah Sidang

Putusan MK No. 24/ PUU/ 2013 Tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 [Pasal 6] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Naskah Komperhensif Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

Naskah Rapat Paripurna ke-36 DPR RI Masa Sidang IV Tahun Sidang 2010-2011, 22 Juli 2011.

Risalah Rapat Konsultasi Panitia Khusus DPR RI Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Risalah Rapat Konsultasi Penadapat Umum III Khusus DPR RI Rancanagan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, 27 Januari 2011

Risalah Rapat Konsultasi Panitia Khusus DPR RI Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dengan Mahakamah Konstitusi.

Risalah Sidang Perkara No. 138/PUU-VII/2009 Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.mor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU