Pendahuluan ART 2 JRV 5.1 WATERMARK

18 Jurnal RechtsVinding, Vol. 5 No. 1, April 2016, hlm. 17–31 Volume 5, Nomor 1, April 2016 Jurnal R ech tsVinding BPHN

A. Pendahuluan

Terorisme bagian dari suatu kejahatan yang idak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime dan dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau crime against humanity. 1 Pada tataran yuridis, terorisme merupakan indak pidana terhadap keamanan negara, mengingat kategori yang demikian maka pemberantasannya tentulah idak dapat menggunakan ara-cara yang biasa sebagaimana menangani indak pidana biasa seperi pencurian, pembunuhan atau penganiayaan. Kejahatan terorisme merupakan bentuk perbuatan yang mengancam keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Bahkan, Perserikatan Bangsa Bangsa PBB dalam kongresnya di Wina Austria tahun 2000 mengangkat tema The Prevenion of Crime and The Treatment of Ofenders kemudian mengeluarkan 2 dua buah Resolusi yang berhubungan dengan kejahatan terorisme di Indonesia yaitu Resolusi Nomor 1438 Tahun 2002 yang mengutuk dengan keras peledakan bom di Bali, menyampaikan duka cita dan simpai yang mendalam kepada pemerintah dan rakyat Indonesia serta para korban dan keluarganya, sedangkan Resolusi Nomor 1373 Tahun 2002 berisikan seruan untuk bekerjasama dan mendukung serta membantu pemerintah Indonesia untuk menangkap dan mengungkap semua pelaku yang terkait dengan perisiwa tersebut dan memproses ke pengadilan. Terorisme adalah musuh bersama bangsa Indonesia, musuh kemanusiaan, musuh rakyat Indonesia dan musuh dunia. Ada 2 alasan pening mengapa terorisme menjadi musuh bersama bangsa Insonesia: 2 1. Demokrasi dan kebebasan poliik idak lengkap jika idak merasa aman. Padahal gerakan reformasi bertujuan membuat kita semua merasa lebih aman di rumah sendiri dan lebih nyaman dalam kehidupan bernegara. Kita semua mengambil tanggung jawab memerangi terorisme yang ingin mengambil rasa aman. 2. Terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk gerakan yang terorganisasi. Dewasa ini terorisme mempunyai jaringan yang luas dan bersifat global yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Pemberantasan indak pidana terorisme tentu saja idak cukup dengan menggunakan indakan represif saja, namun juga ada upaya prevenif di dalamnya. Hal ini akan mencegah atau memutus jaringan-jaringan terorisme. Salah satu diantaranya adalah dengan memutusmenghenikan pendanaan indak pidana terorisme. PPATK telah menerima sebanyak 128 Laporan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan Suspicious Transacion ReportSTR yang diduga terkait dengan indak pidana terorisme data per 1 Keterangan Pemerintah tentang diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia tahun, 2002, hlm 8. 2 Susilo Bambang Yudhoyono, Selamatkan Negeri Kita dari Terorisme, cetakan pertama Kementerian Polkam, Oktober 2002, hlm. 4 dan 5. 4 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000, hlm. 83-85. 19 Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme Randy Pradityo Volume 5, Nomor 1, April 2016 Jurnal R ech tsVinding BPHN 31 Desember 2010. Hingga Desember 2010, PPATK telah menyerahkan 35 LaporanInformasi Hasil Analisis terkait Tindak Pidana Terorisme kepada Aparat Penegak Hukum. 3 Sejauh ini ada dua vonis hakim yang menjatuhkan putusan karena melakukan pendanaan teorisme, yaitu kasus Abu Dujana dan Zarkasih. Dalam kasus Abu Dujana pada tanggal 21 april 2008 hakim memvonis Abu Dujana, terdakwa kasus terorisme, dengan pidana hukuman 15 tahun penjara. Menurut majelis hakim, terdakwa Abu Dujana terbuki melakukan indak pidana terorisme dengan menyembunyikan dan menyalurkan senjata api. Barang-barang tersebut dalam penguasaan Abu Dujana, ia terbuki pernah memberikan bantuan kepada ikhwan saudara laki-laki di Moro, Filipina sekitar Rp. 5 juta per bulan. Sehingga, unsur memberikan bantuan atau kemudahan terbuki. Selain menghukum Abu Dujana, majelis hakim menyatakan Al-Jamaah Al-Islamiyah sebagai organisasi terlarang karena telah melakukan indak pidana terorisme, karena itu, majelis menghukum Al-Jamaah Al-Islamiyah selaku korporasi dengan denda Rp. 10 juta. Denda ini dibebankan kapada pengurusnya. Menurut hakim, Al-Jamaah Al- Islamiyah adalah kumpulan orang dan idak berbadan hukum. Sumber keuangan organisasi ini berasal dari iuran sedekah infak dan idak diperoleh kekayaan atas korporasi itu. 4 Dari kasus diatas, terdakwa Abu Dujana, melangar ketentuan pendanaan terorisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Penggani Undang-Undang Perppu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Penggunaan Perppu Nomor 1 tahun 2002 ini dikarenakan undang-undang khusus mengenai indak pidana pendanaan terorisme belum dibuat oleh lembaga legislaif, yang kemudian baru diatur melalui undang-undang khusus pada tahun 2013. Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian disetujui menjadi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mengatur juga mengenai pendanaan teorisme yang diatur dalam pasal 11 dan pasal 12. Tentu saja ini memuat perwujudan ketentuan- ketentuan yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB dalam Convenion Against Terorism Bombing 1997, bahwa penggunaan bahan peledak selain sebagai kejahatan internasional juga merupakan salah satu bentuk kejahatan terorisme 5 serta Convenion on the Suppression of Financing Terorism 1997, yang menerangkan bahwa pendanaan terhadap suatu aksi teror juga dikualiikasikan sebagai salah satu bentuk terorisme. 6 yang telah diraiikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006. Namun dalam penegakan hukum untuk mengusut tuntas masalah pendanaan terorisme masih mengalami kesulitan. Oleh karena itu pada tahun 2013, DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Dengan perimbangan 3 Yunus Husein, Sosialisasi RUU Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Jakarta, 9 Pebruari 2011. 4 Abu dujana divonis 15 tahun penjara, tempo.co, edisi 21 april 2008. http:www.tempo.coread news20080421055121692Abu-Dujana-Divonis-15-Tahun-Penjara diakses 20 Juni 2015. 5 Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009, hlm. 66. 6 Eddy O.S. Hiariej et al., Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Jakarta: Pena, Ilmu dan Amal, 2006, hlm. 153. 20 Jurnal RechtsVinding, Vol. 5 No. 1, April 2016, hlm. 17–31 Volume 5, Nomor 1, April 2016 Jurnal R ech tsVinding BPHN Terorisme merupakan kejahatan luar biasa dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak yang paling dasar, yaitu hak hidup. Dan karena pendanaan merupakan unsur utama dalam seiap aksi terorisme sehingga upaya penanggulangan indak pidana terorisme diyakini idak akan berhasil seperi yang diharapkan tanpa pemberantasan pendanaannya. Upaya pemberantasan indak pidana terorisme yang dilakukan oleh pemerintah terlihat belum maksimal. Upaya pemerintah tersebut hanya terfokus pada upaya penangkapan pelaku dan kurang memberikan perhaian terhadap unsur pendanaan yang merupakan faktor utama dalam seiap aksi teror. Oleh karena itu, upaya penanggulangan indak pidana terorisme dinyakini idak akan opimal tanpa adanya pencegahan dan pemberantasan terhadap pendanaan terorisme. 7 Dari berbagai tahap kebijakan tersebut di atas penulis tertarik untuk mengkaji dan menelii lebih mendalam bagaimana kebijakan hukum pidana dalam upaya penanggulangan indak pidana pendanaan terorisme berdasarkan hukum posiif Indonesia, dan juga bagaimana kebijakan hukum pidana untuk masa yang akan datang.

B. Metode Peneliian