Dialog Kritis Antara Golongan Elit dan Warga Desa Dalam Pembangunan Masyarakat Desa Studi Kasus Kecamatan Situraja Kabupaten Sumedang

BAB 1. PENDAHULUAN
1.I. Latar Belakang

Sepanjang penyelenggaraan Pembangunan Jangka Panjang Tahap I
(PJP I) persoalan pemerataan dan penanggulangan kemiskinan telah
memperoleh perhatian yang cukup besar dari berbagai pihak, termasuk
pemerintah. Perhatian dari pemerintah secara umum ditunjukkan dengan
menyelenggarakan program pembangunan sektoral dan regional. Usaha ini
sejak Pelita VI dipertajam pemerintah dengan menggelar Program lnpres
Desa Tertinggal (IDT). Upaya tersebut, seperti kita ketahui, secara
kuantitatif, telah memberikan hasil yang cukup membesarkan hati, walaupun
sejak terjadi krisis moneter pertengahan tahun 1997 yang berlangsung hingga
saat ini telah menyebabkan kinerja program-program pembangunan secara
keseluruhan harus mengalami kemerosotan tajam.
Sejajar dengan tumbuhnya optimisme yang menyertai usaha-usaha
tersebut, berbagai hasil studi menemukan bahwa masih ada masalah
mendasar yang dapat mempengaruhi kelanjutan dan keberhasilan upaya
pemerataan dan penanggulangan kemiskinan di waktu-waktu mendatang.
Masalah dimaksud berkenaan dengan praktek kehidupan pada institusiinstitusi formal pedesaan yang gejalanya cenderung masih 'meminggirkan'
partisipasi warga desa, termasuk golongan periferi di dalamnya. Gejala
'peminggiran' ini berupa kurang terakomodasikannya aspirasi mereka yang

disebut terakhir itu dalam dinamika yang bekerja pada kelembagaan yang
bersangkutan, baik di aras gagasan maupun pelaksanaan.
Dapat diduga faktor terpenting yang mendorong kinerja institusi formal
desa serupa itu tak lain karena negara mengelolanya ibarat suatu unit
korporasi. Bahkan kuatnya faktor dorongan tersebut oleh sebagian ilmuwan
dinyatakan sebagai refleksi atas pola pikir korporatisme pada para
pengambil keputusan. Pemahamannya merujuk pada rumusan Schmitter,

korporatisme merupakan cara pikir untuk memperlakukan institusi-institusi
formal (desa) sebagai unit perwakilan kepentingan negara, baik sebagian
atau sepenuhnya. Fungsi dan tujuan-tujuan institusi yang bersangkutan
kemudian ditata secara hirarkhis oleh negara dan seringkali bersifat
memaksa. Penataan ini berhubungan dengan kehendak negara untuk
memberikan monopoli perwakilan atas suatu kepentingan. Selanjutnya untuk
menjamin kelancaran atas kepentingan itu, kepada institusi-institusi yang
bersangkutan oleh negara dikenakan suatu syarat, yaitu mereka harus
tunduk kepada pengawasan tertentu dalam pemilihan pimpinan serta dalam
artikulasi tuntutan dan dukungan

'.


lmplikasi yang dapat kita rasakan akibat ciri institusi demikian itu,
dalam konteks kegiatan pembangunan masyarakat desa (untuk selanjutnya
disebut PMD), adalah makin kokohnya cara-cara pendekatan yang
teknokratis dan paternalistik. Dengan pendekatan teknokratis yang dimaksud
adalah pendekatan di rnana sekelompok orang berdasarkan suatu keahlian
atau pengalaman, rnemperlakukan rnasyarakat sebagai sebuah mesin atau
ladang yang dapat mereka tentukan menurut rencana-rencana mereka
sendiri,

tanpa

kesediaan

untuk

membiarkan

rencana-rencana


itu

dipertanyakan, direvisi, atau digagalkan oleh mereka yang terkena.
Sedangkan yang diartikan dengan paternalistik adalah sikap dimana pihak
yang satu (elit) mernperiakukan pihak lainnya (rnasyarakat luas) sebagai
anak kecil atau orang yang belum dewasa '.
Akibat lebih lanjut dari proses korporatisasi adalah munculnya suatu
konfigurasi elit rnasyarakat yang lebih rnerupakan hasil dari hubungan-

I
Philippe Sc-unitter s e w &kut!p Peter W~liarnm,(1989:11), Corporatism in Perspective: An
Introdudcry Guide to Cwporatist Theory, Sage Publications. London.

Lihat pula Mohtar Mas'oed, (1994:123-128)), PoIifik, BiBirdmsi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar,
YoewM.
2

Frans Magnis Suseno (1986:20), K
u
m dan morel, Gmrnedia. Jakarta.


hubungan kekuasaan yang terbatas. Dikatakan terbatas karena hanya
melibatkan pihak-pihak yang memiliki kekuatan dominan saja dalam
dinamika kegiatan ekonomi-politik lokal.
Pada gilirannya, keseluruhan proses tersebut telah menggiring
golongan elit desa sadar atau pun t~dak,untuk lebih memusatkan pikiran dan
tindakannya pada kepentingan

di sekitar diri mereka sendiri. Dengan

demikian golongan elit tidak memiliki kepedulian yang cukup untuk
memperjuangkan

kepentingan warga desa

pada umumnya, terutama

golongan periferi.
Berdasarkan alur pikiran seperti itu menarik untuk mengkaji pokok
masalah; sejauh manakah dalarn penyelenggaraan kegiatan PMD yang

digagas oleh pihak pemerintah atas-desa (untuk selanjutnya disebut PMDformal) masih memberi peluang interaksi yang dialogis antara golongan elit
dan warga desa,

termasuk golongan periferi. Proses dialog yang saya

maknai di sini adalah upaya masing-masing warga desa dari beragam
golongan untuk senantiasa melakukan penjabaran kegiatan PMD-formal
secara kritis-reflektif, dimana kepentingan kolektiif dan terlebih lagi pihak
yang lemah diutamakan. Sebagai konsekuensinya tentu saja golongan elit,
dalam ha1 ini Kepala Desa (untuk selanjutnya disebut Kades) dan jajarannya,
dituntut untuk mengambil prakarsa melakukan cara-cara pendekatan yang
berdampak emansipatif bagi komunitas sosial secara keseluruhan, terutama
warga golongan periferi.
Keberadaan Kades dan jajarannya ini memegang peran sentral
karena mereka adalah figur-figur penggerak kepentingan pengendalian
masyarakat (social engineering), khususnya dalam konteks struktur formal.
Sedangkan

pihak


warga desa termasuk golongan periferi, adalah

penggerak kepentingan pengawasan sosial (social control), atau pengendali
masyarakat dalam konteks struktur informal 3 .
Merujuk pada uraian Susanto-Sunario dikatakan praktek pengendalian
masyarakat (untuk selanjutnya disingkat: PM) dan pengawasan sosial (untuk
selanjut disingkat: PS) merupakan gejala nyata yang senantiasa menyertai
usaha suatu masyarakat mengatur diri dalam kehidupan sosial. Dapat
dinyatakan, makin berciri formal praktek PM maka akan dengan sendirinya
diperlukan dukungan alat bantu yang juga semakin formal, seperti adanya
sangsi hukum dan perangkat kekuasaan 4 .
Sebaliknya PS dimengerti sebagai bentuk PM yang tidak formal
sehingga tidak memiliki alat bantu khas seperti sangsi hukum apalagi
kekuasaan seperti halnya PM formal. Konsep PS mengacu pada perilaku
kelompok (group conduct) yang ditujukan untuk menciptakan keselarasan
(konformitas), solidaritas, dan kelangsungan hidup kelompok dalam
masyarakat. Perilaku kelompok tersebut antara lain dikukuhkan oleh

3 Sepecti kita ketahui kebijaksanaan pernbangunan d Indonesia m r a konstitusional berlandaskan
pada ideologi Pancasila. lddogi ini menyimak dad konteksnya membenkanruang &n bahkan mendwong para

pendukungnya agar se~ntiasamelakukan suatu penjabaran ktitimflektif. Artinya, l
a
c
y
,
individu, golongan
&n lapisan sosial perlu mampu menunjukkan karya yang bedampak pembebasan (emansipatif) bagi entitas
kemasyarakatansecara keselwuhan. Oleh karma itu menurut Poeyxrwardojo (1994:ll) hams dihindarkan agar
ideologi Pancasila tidak bersifat otoriter yang mengekang &n memparsempit n m g hi- manusia.

Sebagai catatan, yang saya maksudkan dengan warga desa adalah orang-orang yang menjad
penduduk desa semra umum.Sementara yang diattikan dengan golongan petifen adalah meraka yang berada
dalam stfata a d paling bawah. Pada bab berikut akan diperlihatkan pembagian strata tersebut bedasarkan
klasifikasi pungutan swadaya, dmana untuk gdongan periferi tidak dikenakan pungutan pancen.

Di wilayah Riangan misalnya, sering golongan periferi atau golongan lemah (miskin) ini dijuluki
dengan 'jelema malaral. Istilah-istilah seperti id biasanya 'bukut' lewat penampilan fisik. antara lain seperti
bentuk rumah, isi pentotan, pengwsaan tanah, dan sumber mata pencaharian dan yang paling jelas seperli
disebutkan d atas adalah bebas dad pungutan pancen. Gdongan m i a l yang menjadi lapisan di atas meraka ,
biasanya masih dikategorikan sebagai 'orang kebanyakan'. 'rahayat' (rakyat atau masyarakat luas), atau warga ,

desa. Oengan kata lain golongan penferi ini hanya meliputi sejumlah orang yang yang lebih sedikit dibandingkan
orang ksbanyakan.
4 Astrid Susanto Sunado (1990), Komunikasi Sebagai Mataranfai Utama Antam Pengendalian
Masyadat dan Pengwasan S d a l Pidab Guru Besar pada Fisipol-UnhedlaaIndonesia. Jakarta.

keberadaan adat-istiadat. Adat istiadat yang diartikan di sini adalah normanorma sosial yang keberlakuannya berada dalam taraf custom, dimana
perilaku-perilaku sepatutnya ditekankan benar, dan sebaliknya pelanggaran
atasnya dapat membawa risiko sangsi.
Perimpitan penuh antara PM yang bersifat formal dengan PS yang
bersifat informal memang tidak pernah akan terjadi, sebab setiap individu
atau kelompok selalu masih memiliki saluran-saluran informalnya yang
terletak dalam kehidupan pra-politik, atau yang dalam ha1 ini saya sebut
sebagai bidanglruang sosial semi-otonom, suatu istilah yang juga dikenal
dalam khazanah kepustakaan antropologi hukum.
Dapat kita catat bahwa kepentingan PM dan PS memang berpotensi
untuk saling bertentangan, apalagi dalam praktek kekuatan PM di aras desa
yang digerakkan oleh Kades dan jajarannya,

sering dipaksa untuk


mengemban missi PMD formal yang sebagian isi dan bentuk kegiatannya
dirumuskan

secara

sepihak

oleh

kekuatan

atas-desa.

Sementara

kepentingan PS tak lain berfungsi sebagai PM informal, sehingga arah yang
ditempuh lebih mengutamakan pencapaian rasa solidaritas, adil,

merata


yang pada gilirannya semua itu mencarminkan arti kemaslahatan sosial.
Sejajar dengan itu dapat kita katakan bahwa secara sosiologis
potensi pertentangan dan persaingan antar warga dari beragam golongan
itu sendiri sejak semula sering sudah ada, karena ha1 itu dipicu oleh sebabsebab: (a) keterbatasan tersedianya sumberdaya, dan (b) keterbatasan
kesempatan kerja, serta (c) keterbatasan volume dalam pemenuhan
kebutuhan dasar, dan (d) keterbatasan akses terhadap proses-proses
pengambilan keputusan. Dengan demikian kita dapat mengatakan antara
kekuatan yang menjalankan kepentingan PM dan PS masing-masing perlu
menjalin proses interaksi yang lebih dialogis, apabila kepentingan mereka
ingin tercapai lebih harmonis. Tentu saja ha1 ini hanya dimungkinkan apabila
para pelaku rnelandasi dirinya dengan norma maral sosial yang sarna, yang

-

dalam ha1 ini mengutamakan kepentingan bersama melalui kerjasama yang
timbali-balik. Norma moral sosial tersebut dalam tulisan ini untuk selanjutnya
akan disebut etos komunal resiprokal.
Dalam konteks pandangan rekayasa sosial (istilah lain yang kurang
lebih sepadan dengan PM) dasar pemikirannya adalah, hubungan-hubungan
sosial rentan terhadap praktek-praktek pengendalian, dimana alat yang

dipergunakan untuk mencapai kendali adalah hukum. Moore menyebut
hukum sebagai suatu istilah ringkas yang lazim untuk menggambarkan suatu
himpunan yang kompleks dari prinsip-prinsip, norma-norma, ide-ide, aturanaturan,

kebiasaan-kebiasaan

dan

kegiatan-kegiatan

dari

alat-alat

perlengkapan negara yang berkenaan dengan perundangan-undangan,
pemerintahan, peradilan dan pelaksanaan putusannya yang didukung
kekuatan politik dan legitimasi '.
Dengan demikian hukum, yang sesungguhnya lebih kompleks dari itu,
kemudian diabstrasikan dari konteks sosial dimana ia berada dan
dibicarakan

seolah-olah merupakan

suatu

kesatuan

yang

mampu

mengendalikan konteks sosial tersebut. Berlawanan dengan arah itu
sebenarnya kita juga dapat menyatakan bahwa: masyarakatlah yang
sesungguhnya menentukan hukum dan bukan sebaliknya.
Namun bagi studi sosiologi, seperti kita ketahui, kedua arah
penglihatan yang kelihatan saling 'bertentangan'

ini sesungguhnya

berimplikasi sama, yaitu hukum dan konteks sosial dimana hukum itu berada
pada dasamya berinteraksi secara dialektis, atau satu sama lain bersifat
saling tarik-menarik. Dalam kaitan ini saya hendak mengajukan rumusan
pendekatan sosiologi atas ruang sosial semi-otonom tersebut. Ruang sosial
semi-otonom dimengerti sebagai suatu analisis atas proses-proses interaksi,

Sally Falk M m (1993: 148149), Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sasal Semi Otonom Sebagai
Suahr Topik Sfudi yang Tepat. dalam T.O. lhromi (ed), Anlmpdogi Hultum, W a h Bunga Rampai, Yayasan

yang di dalamnya berkembang dialog kritis, antar golongan elit dan warga
desa termasuk golongan periferi dalam rangka implementasi kegiatan PMDformal, yaitu kegiatan yang diprakarsai pihak atas-desa. Dialog kritis ini,
dapat kita sebut sebagai upaya masing-masing pihak untuk menghasilkan
kesesuaian pengertian atau bahkan aturan yang lebih adil terutama bagi
kepentingan golongan periferi. Diasumsikan aturan ini dapat muncul apabila
masing-masing pihak melandasi kepentingan dirinya dengan acuan norma
moral sosial yang sama, dalam ha1 ini yang mengutamakan kepentingan
kolektif .
Dalam kaitan ini Suseno menerangkan kata moral sebagai kewajiban
manusia dalam kedudukannya sebagai manusia itu sendiri, sehingga
kewajiban moral dibedakan dengan kewajiban-kewajiban lain. Norma moral
mengikuti lebih lanjut pemikiran Suseno adalah norma untuk mengukur betulsalahnya tindakan manusia sebagai manusia. Dasar keberlakukan norma
normal ini, hanya akan memperoleh keabsahannya jika norma-norma
tersebut disepakati (atau dapat disepakati) oleh semua orang yang menjadi
partisipan dalam wacana yang terbuka dan bebas tekanan6.
Dalam konteks teori kritis, keabsahan norma-norma moral ini tidak
dapat dikembalikan pada penetapan oleh penguasa lewat tindakan strategis,
melainkan hanya dapat lahir dari tindakan-tindakan interaktif di kalangan
warga komunitas itu sendiri yang pada gilirannya mengembangkan wacana
dialogdialog krits (komunikatif)

'.

Berdasarkan pemahaman tersebut kita dapat mengatakan pendasaran
keberlakuan norma moral sosial atau etos komunal resiprokal itu datang dari
sikap kolektif yang mengacu pada adat-istiadat setempat. Lebih jauh dapat
kita mengerti apabila etos seperti itu memberi tekanan kuat agar setiap
6

'

Frans Magnis Suseno (1995: 47-49). Filsafat Sebagai llmu Kritis, Kanisus. Jakarta

Lihat Jurgen Habermas (1984), The Theory of CommunicativeAction: Reason end
Rationalizationof Society ( volume I EL 11). Beacon Press. Boston.

individu

mengambil

sikap

tanggung

jawab

dan

kewajiban

yang

mengutamakan pemenuhan kepentingan bersama yang adil, sehingga pada
gilirannya tercipta suatu kernaslahatan sosial (social utility). Hal terakhir ini
rnengacu pada rasa aman dan nyaman lahir-batin yang mewarnai kehidupan
komunitas secara merata, dan ini terjadi berkat masing-masing individu dari
beragarn golongan sosial mengembangkan proses-proses interaksi yang
menguatkan pemenuhan kepentingan satu sama lain secara timbal-balik.
Singkat kata, pengertian ruang semi-otonom ini menunjuk adanya
suatu fakta bahwa ruang kecil di dalarn lingkup kehidupan desa ini memiliki
kapasitas untuk menghasilkan kesepakatan-kesepakatan, aturan, nilai-nilai,
simbol-simbol yang berasal dari dalam, atau bahkan adat-istiadat sehingga
orang tunduk padanya. Tetapi di pihak lain ruang sosial semi-otonom itu
sendiri sebenarnya juga rentan terhadap aturan-aturan dan desakandesakan kekuasaan yang datang dari dunia luar yang mengelilinginya, dalam
ha1 ini dari pihak kecamatan.
Meskipun kekuatan PM dengan dukungan kekuasaan formalnya dapat
menikmati keadaan dan monopolistik terhadap penggunaan kekerasan,
namun pemaksaan atau bujukan efektif tidaklah dapat terlepas dari ruang
sosial kecil yang terorganisasi ini (semi-otonom) dimana individu atau
golongan warga tertentu berpartisipasi. Di sinilah kita secara nyata dapat
melihat sisi peran PS yang lain, yaitu sebagai kekuatan PM yang bersifat
informal.

1.2. Perurnusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka ada dua ha1 yang
ingin dikaji: pedama, apakah proses korporatisasi pada instittusi-institusi
formal pembangunan desa bentukan pemerintah memang benar mengikuti
penataan yang bersifat hirarkhis dan mernaksa, sehingga artikulasi tuntutan,
dukungan dan proses-proses pengambilan yang keputusan oleh institusi
yang bersangkutan berlaku dalam konteks pengendalian ikatan kekuasaan

-

(power compliance) pihak atas-desa. Kedua, apakah keberadaan norma
moral sosial yang mengutamakan etos komunal resiprokal mampu
menumbuhkan kepekaan sosial yang penting bagi pengembangan proses
interaksi yang dialogis antar warga dari beragam golongan dalam konteks
kegiatan PMD.formal,
Dengan demikian ingin saya katakan, soal krusial yang menentukan
ada atau tidaknya peluang interaksi dialog kritis tanpa tekanan (hegemoni)
antar warga dari beragam golongan pada ruang sosial semi-otonom adalah,
sampai mana masing-masing partisipan melandasi diri dengan norma moral

-

yang sama etos komunal resiprokal.
Mengikuti pendapat ahli antropologi, etos komunal atau etos hidup ini
biasanya sulit dibedakan dengan adat-istiadat yang dikenal dalam kehidupan
komunitas itu sendiri. Hal ini disebabkan suara hati (sikap) seorang individu
atau kelompok individu umumnya belum dapat mengartikulasikan dirinya
secara khas terpisah, karena ia atau mereka tidaklbelum berbeda dengan
suara adat istiadat.
Dengan kata lain sistem normatif pada komunitas Desa Baru,
khususnya yang masih diikat kuat oleh ciri-ciri hubungan primer (face to face
grouping), biasanya belum sampai dipersoalkan orang secara menyeluruh
apakah suatu wewenang normatif berpusat pada suara hati atau pada
ketentuan-ketentuan adat-istiadat .
Etos komunal berciri resiprokal ini tak lain berupaya mencari
keserasian antara individu dan komunitas melalui interdependensi mereka.

-

-

a Frans Magnis Suseno, ibid (1995:30).

Dapat dcatat istilah ' h e g m i ' (hegemony) ditawarkan deh Gramsci untuk
dqan
istiiah 'kekuatan' (force). Jika 'kekuatan' dartikan sebagai penggwraan &ya paksa untuk membuat orang ,
banyak mengikuti dan mematuhi syaratdyarat suatu cam produksi tertentu, maka 'hegemoni' berarli perluasan
dan pelestarian 'kepatuhan aklif dad kelonyak-kelompdc yang ddcininasi deh kelas berkuasa lewat
penggunaan kspemirrpinan intelekhral, moral, &n pditik yang rnewujud &lam bentuk-bentuk kocptasi
insUtusiml dan manipulasi teks dan tafsimya.

Dalam proses inilah biasanya timbul apa yang disebut kepekaan sosial
(social sensitivity) yang merupakan inti suatu PS .
Bertolak dari anggapan di atas muncul pertanyaan berikut pada aras
kehidupan manakah norma moral tersebut berakar kuat sehingga
mengejewantah menjadi sebuah etos. Diduga etos yang berciri resiprokal
ini hidup dan berakar kuat pada kelompok-kelompok kekerabatan, kelompok
teritorial, dan kelompok sosial yang berstruktur sodality
bawah-desa.

Menjelaskan arti kelompok yang

yang eksis di

disebut terakhir

ini

(selanjutnya disebut kelompok sodalis) adalah, suatu kesatuan sosial kecil
yang berdaya hidup dan disertai kuatnya ciri hubungan primer antar warga
pendukungnya, tetapi tanpa ikatan kekeluargaan sebagai ciri khas,
melainkan oleh hubungan kepentingan atau
compliance)

kebutuhan bersama (need

'.

Namun seperti dijumpai Tjondronegoro di pedesaan Jawa Barat dan
Jawa Tengah pada tahun 1980-an sodalis-sodalis ini belum dilibatkan dalam
berbagai kegiatan PMD yang diprakarsai oleh pemerintah atas-desa.
Terlebih lagi kelompok-kelompok berbasis kekerabatan serta teritorial yang
menurut saya juga bernasib sama. Kenyataan ini terjadi karena pihak atas-

9 Lihat Astrid Susanto-Sunario (1977: 7-9), Makna dan Fungsi Kn'tik Sosial dalam Masyarakatdan
Negam, Prisrna no 10. LWES. Jakarta.

Di sini bdiau menguraikan seam terang mengapa e t a komunal dikatakan berciri naturalism
resiprokal. Dikatakanetos ini pada dasarnya tidak &tang bettiasarkan piinsip transendental, melainkan tercipta
deh situasi nyata lingkungan sosial, materi dan nokmateri. B ~ N
sesudah itu sistem n m t i f kolektif (agarna,
kepercalaan alau adat-istiadat) membari sangsi yang lebih tinggi, sehingga orang takut untuk menyimpang
daripadanya. Dengan pengertian ini kiranya menjadi lebih tdihat retevansi penggunaan konsep etos tersebut
dengan kepentingan s M i ini. Mnya, karma kajian ini saya pusalkan pada kmunilas pedesaan dimana
hubungan antar iridividu warganya masih terjalin deh ikalan sosial primer atau naturalistik rnaka etos yang
tabntuk pun mengutamakan kepentingan kdektif . Dalarn tataran praksis etos ini bekerja &lam bentuk-bentuk
niprokal, sepeiti tolong-mendong antar warga dalarn berbagai lapangan kehidiipan.

Mono MP. Tjondronegoro (1984). Sodel OrganizationAnd PlannedDevelopment In Rural Jaw: A
Study of the Ckganizaticftal Phenomenon in Kecamaten Cibadak West Java and Kernmatan Kendal, Central
Java, Oxford University Press, Singam.

desa ini lebih suka mengandalkan basis institusionalnya pada organisasiorganisasi formal bentukannya sendiri. Padahal berbeda dengan kelompokkelompok primer tersebut yang dasar moralnya lebih dilandasi oleh ikatan
kebutuhan (need compliance), pada organisasi formal dasar moralnya lebih
bertumpu pada ikatan pengendalian kekuasaan (power compliance).
Akibatnya dapat diduga penjalinan hubungan antara institusi-institusi formal
dan kelornpok-kelompok sosial yang ada menjadi persoalan tersendiri.
Dalam kaitan itulah keberadaan ruang sosial semi-otonom diharapkan dapat
rnencairkan kemandegan (stagnasi) hubungan tersebut. Sekaligus dengan
ha1 ini program PMD pun dapat diberikan akar lebih kuat pada kenyataan
kebutuhan yang berlaku di lapangan kehidupan, karena antara aspirasi yang
hidup di kalangan warga desa dengan penyelenggaraan kegiatan akan
terjadi peratutan yang fungsional ".
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut di atas pada kajian ini
saya hendak memusatkan persoalan keberadaan dan peranan ruang sosial
semi-otonom pada konteks pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Sejauh manakah korporatisasi negara pada institusi-intistitusi formal desa

mengikuti penataan yang bersifat hirarkhis dan memaksa, sehingga
artikulasi tuntutan, dukungan dan proses-proses pengambilan keputusan
oleh institusi yang bersangkutan berlaku dalam konteks pengendalian
ikatan kekuasaan (power complience).

I Dalam pmpektif stud yang kurang lebih sama namun lebih memwatkan kajiannya pada ams atasdesa, Nico Schulle Noldhdt (1984:14) &lam karanpnnya, C$o Dumeh: Kepemlmpinan M a 1 dalem
Fernbangunan, mengajukan persoalan yang drumuskamya sbb: ada jurang ktitis yang membelah antara
kesatwbkesaluan ekonomipolitik di desa dengan satuan-satuan senpa d atasdesa. Pa& jurang knlis inilah ,
kekuatan PM (pemetintahan) mengambil litik tunpu untuk mengadakan takanan-tekanan, yang kemudian deh
pihak pecwakilan (pmerintahan) d atas kecamatan tekanan-lekanan tersebut dsalurkan kembali ke dalarn
lingkungan badsi yang dwakili deh kepada desa dan staf pemerinI8hannya. Dilihat dad kaitan intmksi mtar
Mabat f m l , maka lnbmgan yang membentenp antara carnal4wah idah yang swing men)& persoalan
lk
ekowni-pdilik lokal
krusid dalarn m h h n kualitas kqiatann-e

Sejajar dengan itu hendak dianalisis sejauhmana etos komunal resiprokal
yang

hidup

mentradisi pada

kelompak-kelompok primer

mampu

menumbuhkan kepekaan sosial pada kalangan warga di lingkup yang
lebih luas (komunitas desa), sehingga mampu menumbuhkan keberadaan
interaksi yang melahirkan dialog kritis antar golongan warga yang
bermanfaat bagi terwujudnya kemaslahatan sosial (social utility).
1.3. Tujuan Penelitian

I.

Mempelajari sejauh mana institusi-institusi formal bentukan pemerintah
berstruktur korporatis, dimana kepentingan berdimensi PM yang
menyertai program-program pembangunan diduga cenderung tampil
monolitik sehingga mengatasi kepentingan kekuatan-kekuatan PS, dalam
ha1 ini yang diartikulasikan oleh warga desa, terutama golongan periferi.

2. Mempelajari sejauhmana tatanan kelompok-kelompok primer yang
berlandaskan etos komunal-resiprokal mampu menguatkan kepekaan
sosial pada kehidupan komunitas lokal.

3. Mempelajari sejauh mana kepekaan sosial tersebut dapat menguatkan
peranan ajang-ajang sosial menjadi ruang sosial semi-otonom yang
menggelar di dalamnya proses dialog kritis antara golongan elit sebagai
kekuatan PM dan warga desa terutama golongan periferi sebagai
kekuatan PS, dalam kepentingan yang mengacu pada pencapaian
kemaslahatan sosial

1.4. Pokok Penelitian, Konsep, dan Metoda Penelitian
Pokok penelitian ini adalah, sejauhmana ajang-ajang sosial yang
tergelar pada kehidupan komunitas Desa Baru mampu memaknai dirinya
sebagai ruang sosial semi-otonom yang berkembang di dalamnya prosesproses dialog kritis antara golongan elit, yang berdiri sebagai kekuatan PM,
dengan warga desa pada umumnya termasuk golongan periferi, yang berdiri
sebagai kekuatan PS, untuk memecahkan persoalan-persoalan PMD atas
dasar etos komunal resiprokal.
Berdasarkan pokok studi tersebut konsep-konsep di dalamnya
dirumuskan sebagai berikut:
Ruang sosial semi-Otonom:
Ruang sosial semi-otonom dimengerti sebagai suatu analisis atas
proses-proses interaksi, yang di dalamnya berkembang dialog kritis, antar
golongan elit dan warga desa termasuk golongan periferi dalam rangka
implementasi kegiatan PMD-formal, yaitu kegiatan yang diprakarsai pihak
atas-desa. Dialog kritis ini, dapat kita sebut sebagai upaya masing-masing
pihak untuk menghasilkan kesesuaian pengertian atau bahkan aturan yang
lebih adil dan merata terutama bagi kepentingan golongan periferi.
Diasumsikan aturan ini dapat muncul apabila masing-masing pihak
melandasi kepentingan dirinya dengan acuan norma moral sosial yang
sama, dalam ha1 ini mengutamakan kepentingan kolektif .
Etos komunal:
Etos adalah kebiasaan, adat, watak, cara berbuat dan beberapa arti
lainnya yang menunjukkan tentang karakter suatu kelompok atas kelompok
lainnya. Etos adalah masalah tentang baik dan buruk, yang bajik dan yang
jahat, yang benar (dalam arti adil) dan yang salah, dan seterusnya. Etos
komunal adalah suatu pleonasme, karena para sosiolog mengartikan etos

sebagai sejumlah perangai budaya, karakteristik yang membedakan satu
keldmpok dengan kelompok lainnya
Pengendalian Masyarakat (PM) dan Pengawasan Sosial (PS):
PM dan PS dipahami sebagai gejala yang menyertai kehidupan sosial
untuk mengatur diri dalam kehidupan berkelompok. Pada komunitas desa
Cijati, yang relatif telah berkembang, bentuk PM berciri lebih formal dengan
segala alat bantu-nya seperti kekuasaan dan perangkat hukum. Hal terakhir
ini

terwujud

dengan

pembentukan

institusi-institusi

formal

desa

(pemerintahan desa dan perangkatnya seperti LKMD). Di samping itu wujud
operasional PM lainnya, yang dalam studi ini akan mendapatkan sorotan
utama, adalah program-program lnpres Bandes yang diturunkan dari atasdesa yang pada kenyataannya telah terstruktur begitu ketat.
Sebaliknya PS dipahami sebagai PM yang berwujud informal karena
ia mengacu pada perilaku kelompok (group conduct) dan sering tidak
memiliki alat bantu khas seperti sangsi hukum apalagi kekuasaan. Sebagai
PM tidak formal yang berbasiskan norma moral etos komunal, maka benartidaknya sikap dan tindakan inividu diukur menurut sikap dan tindakan
kelompok.
PM dan PS dengan demikian harus berusaha mengatasi pertentangan
dan persaingan antar anggotalgolongan masyarakat. Pertentangan ini sering
berasal dari (a) keterbatasan tersedianya sumberdaya, dan (b) keterbatasan
kesempatan kerja, serta (c) keterbatasan volume dalam pemenuhan
kebutuhan dasar, dan (d) keterbatasan akses terhadap proses-proses
pengambilan keputusan.

Golongan Elit, Warga Desa, dan Periferi:
Golongan elit yang dimaksudkan dipusatkan pada Kades dan jajaran
aparat desanya. Sementara yang dimaksudkan dengan warga desa adalah
penduduk desa setempat pada umumnya, sedangkan yang diartikan dengan
golongan periferi adalah mereka berada dalam strata sosial paling bawah. Di
desa setempat kita dapat melihatnya dalam klasifikasi penduduk menurut
besarnya pungutan swadaya pancen. Dalarn bahasa lokal tentu saja ada
istilah-istilah yang spesifik untuk menunjukan status individu atau golongan
tertentu dalam struktur sosial kornunitas yang bersangkutan.
Di wilayah Sumedang misalnya sering golongan periferi atau
golongan lemah (miskin) ini dijuluki dengan sebutan 'jelema malarat'. lstilah
seperti ini biasanya 'diukur' lewat berbagai penampilan fisik, antara lain
seperti bentuk rumah, isi perabotan, penguasaan tanah, surnber mata
pencaharian, dan yang paling jelas seperti telah dikatakan di atas adalah
mereka bebas dari pungutan pancen. Golongan sosial yang menjadi lapisan
di atas mereka biasanya rnasih dikategorikan berturut-turut sebagai 'jelema
biasa' (mayoritas warga) dan 'jelema beunghar' (minoritas orang kaya).
Pembangunan Masyarakat Desa (PMD):
Secara analitis PMD diartikan sebagai seluruh tindakan terpola yang
menyertai perikehidupan warga desa dalam upaya memenuhi kebutuhan
pokok dan peningkatan kesejahteraan hidupnya di aras kornunitas, terrnasuk
bagaimana proses-proses pengambilan keputusan diambil dari berbagai
tingkat kehidupan, dalam ha1 ini di aras bawahdesa (dukuh, RW, RT), desa,
dan antar desa (kewmatan).
Korporatisasi Institusi:
Suatu perlakuan atas institusi-institusi formal (desa) yang cenderung
atau bahkan sepenuhnya dikelola sebagai unit pewakilan kepentingan yang

-

fungsi dan tujuan-tujuannya ditata secara hirarkhis oleh negara dan bersifat
memaksa. Penataan ini berhubungan dengan kehendak untuk memberikan
monopoli perwakilan oleh negara untuk suatu kepentingan. Kepada institusiinstitusi tersebut negara mengenakan pengawasan tertentu dalam pemilihan
pimpinan dan artikulasi tuntutan dan dukungan.
Gambaran Umum Metodologi Penelitian
Studi Kasus Sebagai Strategi Penelitian
Strategi penelitian ini menggunakan studi kasus karena bertujuan
untuk menyoroti secara rinci dan mendalam persoalan 'apa' dan 'mengapa'
yang menyertai penyelenggaraan kegiatan Pembangunan Masyarakat Desa,
khususnya yang dihadapi golongan elit (kepala desa dan jajarannya) dan
warga desa termasuk golongan periferi, di desa Cijati kecamatan Situraja,
kabupaten Sumedang.
Teori Kritis Sebagai Paradigma Utama Penelitian
Sesuai dengan pokok penelitian ini maka paradigma utama studi
berlandaskan pada teori kritis yang diadaptasikan dari gagasan Habermas.
Artinya, dengan teori kritis ini ingin dicapai suatu proses interaksi yang
mampu

membuka

selubung

kepentingan

masing-masing

partisipan

(golongan elit dan warga desa) secara lebih jujur dalam suatu seri dialog
kritis. Secara teknis artinya bagaimana, saya selaku peneliti,

turut

mendorong situasi yang kondusif bagi munculnya daya kekuatan refleksi-diri
pada pihak-pihak yang bersangkutan terhadap praktek penyelenggaraan
PMD dalam arti luas. Dari hasil refleksi tersebut terkandung kepentingan
praksis, yaitu bagaimana mendapatkan jalan ke luar atas persoalan yang
dihadapi masing-masing golongan sosial tersebut dalam konteks dialektika
PM dan PS yang menyertai penyelenggaraan PMD. Secara teknis peneliti
juga akan turut serta mengupayakan agar pemecahan masalah tersebut

muncul sebagai dorongan dari hasil konsensus atau saling pengertian
(mutual understanding) yang mempertautkan segi pengetehuan dan praksis.
Pengetahuan yang dimaksud adalah pandangan hidup yang secara normatif
dianut oleh warga komunitas lokal (etos komunal), sedangkan diartikan
dengan segi praksis adalah perilaku individu-individu warga

yang

bersangkutan yang terejawantah sebagai konsekuensi dari dianutnya
pandangan hidup itu sendiri.
Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Untuk keperluan melengkapi data dan cara menganalisisnya maka
peneliti meiengkapi diri dengan beragam dan metode lain yang bertolak dari
paradigma positivistik (berdasarkan fakta obyektif sehingga kebenaran atau
kesalahannya dapat diverifikasikan), post-positivistik (berdasarkan fakta
gabungan obyektif dan subyektif), dan konstruktivistik (berdasarkan fakta
yang direkonstruksikan secara spesifik dan lokal). Dengan kata lain studi ini
meminjam sejumlah ragam metode dan analisis data dari disiplin lain seperti
antropologi, sejarah, dan psikologi. Semua data ini selain untuk memberikan
gambaran awal tentang situasi lokal seperti Gambaran Umum Desa dan
Kecamatan, juga untuk mendapatkan pemahaman awal mengenai sejumlah
pokok persoalan mengenai bagaimana Pandangan Hidup dan Pola-Pola
Resiprositas pada Kehidupan Warga Desa, bagaimana praktek PM dan PS
Dalam Kepemimpinan dan Pembangunan Masyarakat Desa (PMD), yang
semuanya itu diperlukan sebelum sampai pada pokok penelitian yang
sebenarnya yaitu bagaimana Ruang Sosial Semi-Otonom mengejawantah
untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi golongan elit dan
warga desa dalam PMD. Secara skematis gambaran metode pengumpulan
dan analisis data dapat dilihat sebagai berikut ini:

Pokok Penelitian: Metode dan Analisis Data
Pokok Penelitian
Gambaran Umum Desa & Kecamatan

Pandangan Hidup & Pola-Pola
Resiprositas

Pengendalian Masyarakat

Pengawasan Sosial

Ruang Sosial Semi-Otonom: Dialog Kritis
antar Golongan

.

Metode Pengumpulan & Analisis Data
Pengamatan atas obyek-obyek visual,
seperti: kondisi geografis, fasilitasfasilitas fisik yang ada, transportasi
dan komunikasi ke luar desa,
dokumen-dokumen tertulis, dsb
wawancara: Kades dan jajarannya,
para tokoh desa dan kecamatan, dan
warga biasa.
Pandangan Hidup secara normatif
diacu pada konsep yang diajukan ahli
psikologi sosial Suwarsih Warnaen
yang menggali makna dari ungkapanungkapan tradisional daerah Jabar,
cerita Lutung Kasamng, Sanghyang
Siksa Kandang Karesian, Sawer
Panganten, cerita Roman Pangetan
Komel dan Manfn Jero
Pola-pola resiprositas digali secara
empiris
dengan
melakukan
pengamatan atas pola-pola perilaku
antar kerabat & tetangga, wawancara
mendaiam kepada tokoh dan warga.
Pengamatan atas obyek-obyek visual
(proyek-proyek dan kegiatan PMD
yang
diprakarsai
pemerintah),
dokumen-dokumen tertulis tentang
regulasi formal yang diberiakukan oleh
pemerintah atas-desa, wawancara
mendalam terhadap tokoh (formal &
informal) desa dan kecamatan, serta
kepada warga desa.
Pengamatan atas obyek-obyek visual
(proyek-proyek & kegiatan PMD yang
bersifat swadaya), riwayat hidup
Kades, wawancara mendalam kepada
tokoh (formal & informal). dan analisis
peristiwa.
Pengamatan
terlibat
dan
turut
menfasilitasi proses refleksi-diri pada
ajang-ajang sosial, analisis terhaaap
peristiwa, proses & hasil dialog.

Organisasi Penulisan
Tulisan ini dibagi dalam 7 bab, masing-masing:
Bab I dengan judul Pendahuluan, berisi uraian yang menggambarkan
latar belakang rnasalah, perumusan masalah, dan tujuan penelitian.
Bab II dengan judul Teori dan Metodologi akan dikupas rnengenai
paradigma penelitian, teori, metoda, ajang sosial, dan hipotesis pengarah.
Bab Ill dengan judul Gambaran Umum Desa Coati Kabupaten
Sumedang akan menguraikan mula-mula mengenai gambaran umum
kabupaten Sumedang, dan desa Cijati. Dalam ha1 yang disebut terakhir ini
secara

khusus akan dideskripsikan hubungan kait-mengait

antara

sumberdaya manusia setempat dan kegiatan PMD. Hal ini penting untuk
membawakan pengenalan kita atas siapa dan mengapa golongan elit, warga
desa kebanyakan, dan golongan periferi berpartisipasi mereka dalam
kegiatan PMD.
Bab IV dengan judul Etos dan Pengaturan Kehidupan Kehidupan
Warga Desa Cijati mengulas berturut-turut etos hidup sebagai dasar moral,
pola pandangan hidup orang Sunda, pola-pola resiprositas sosial dalam
kehidupan warga desa, ikatan kekerabatan dekat (baraya deukeut), ikatan
teritorial dan perkumpulan-perkumpulan.
Bab V dengan judul

Pengawasan Sosial dan Pengendalian

Masyarakat Dalam Kepemimpinan dan Pembangunan Masyarakat Desa
ditelaah tentang bagairnana kekuatan PS memainkan peranannya lewat
kelompok-kelompok primer dalam proses rekrutmen Kades. Sebaliknya
dikupas pula mengenai bagaimana kekuatan PM memainkan peranannya
dalam penataan PMD.
Bab VI dengan judul Ruang Sosial Semi-Otonom: Dialog Kritis antara
Golongan Elit dan Warga Desa Termasuk Golongan Periferi dituangkah
menjadi penutup tulisan. Pada bab ini secara khusus diperlihatkan
bagaimana negara

melakukan penetrasi terhadap desa lewat program-program PMD-nya, dan
ditampilkan sejauhmana implikasi yang timbul terhadap kepemimpinan
Kades. Selanjutnya diuraikan apa itu ruang sosial semi-otonom dan
bagaimana dengan peluang dialog kritis yang berkembang di dalamnya.
Berikutnya digambarkan bagaimana dialog-dialog yang tergetar antara
golongan etit dan warga desa termasuk golongan periferi dalam sejumlah
persoalan-persoalan PMD. Akhirnya di bab ini pula peneliti mencoba untuk
menarik kesimpulan atas seluruh hasil penelitian ini.
Bab VII sebagai bab penutup menguraikan tentang desa dan otonomi.
Di sini dipersoalkan mengenai masalah-masalah internal desa yang perlu
mendapatkan perhatian, seperti yang terungkap pada proses-proses dialog
yang mencerminkan makna dirinya sebagai ruang sosial semi-otonom. Lebih
jauh kita juga mengamati adanya masalah dan aspirasi warga yang muncul
dari lingkup antar desa (setara kecamatan). Artinya, masalah dan aspirasi
yang hanya mungkin diakomodasikan dalam skala komunitas dan wilayah
setara kecamatan atau bahkan kewedanaan. Dalam konteks itulah gagasan
pengembangan daerah otonom tingkat Ill akan diletakkan dengan segala
prasyarat yang perlu dipenuhi.

Dalam bab ini pula dituangkan secara

khusus paragraf rangkuman (review) atas pokok penelitian dan hasil-hasil
analisisnya yang telah diuraikan di muka, dan akhirnya ditutup dengan
kesimpulan dan gagasan tentang daerah otonom tingkat Ill lengkap dengan
gambaran skematisnya.

BAB 2

TEORl dan METODOLOGI
2.1. Pengendalian Masyarakat (PM) dan Pengawasan Sosial (PS)

Dalam kenyataan kita senantiasa akan menjumpai bentuk PM dan PS
sebagai gejala yang menyertai kehidupan warga untuk mengatur diri dalam
kehidupan bermasyarakat. Namun sebelurn menguraikan lebih jauh tentang
PM dan PS ini perlu dicatat ada ilmuwan-ilmuwan sosial, termasuk Sajogyo,

yang tidak atau kurang sepakat bahkan menolak penggunaan konsep PM
apabila maknanya disepadankan dengan social engineering (SE) atau
rekayasa sosial khususnya dalam konteks disiplin sosiologi. Hal ini
disebabkan mereka menilai pada konsep tersebut termuat konotasi yang
memperlakukan kelompok sasaran sebagai obyek yang dibodohkan

'.

Dalarn suatu uraian Sajogyo secara analitis mengaitkan soal tersebut
dengan posisi tugas para penyuluh pertanian dalarn konteks pertanyaan
apakah mereka melakukan upaya social engineering, engineering sociology
atau clinical sociology. Dikatakannya di sini ada unsur engineering karena
kita dapat menemukan usaha dinas pertanian yang berkeinginan merobah
sikap dan tingkah laku jutaan petani kepada kemajuan, teknik yang lebih
produktif, usahatani yang lebih efisien, dan sebagainya. Dengan kata lain di
sini ada ciri formal yang menyertai usaha tersebut.
Dalam usaha penyuluhan pertanian itu pula, lanjut Sajogyo, kita
sekaligus dapat menjumpai adanya unsur clinical sociology manakala para
penyuluh pertanian berhadapan dengan para petani yang hendak disuluh di
sawah-sawah dan kampung-kampung tempat tinggal mereka dalam
kelompok-kelompok informal kecil. Singkat kata menurut Sajogyo pada ujung
kesimpulannya, penyuluhan pertanian itu mempunyai momen engineering
Lihat S a y w (1991) , S o s i M T e m p , Pi&to Rwna Baku GUN BBSar IPB,

baik dari segi aplikasi ilmu-ilmu sosial maupun momen clinical sociology,
yaitu pada waktu penyuluh secara langsung membina kelompok-kelompok
petani di desa mencapai kernajuan yang dicita-citakan
Senada dengan itu, Wiradi membahas konsep 'social engineering'
dengan rnenyatakan :

....seperti telah disebutkan, pada tahap awal masuk sosiologi di
Amenka Serikat, suasana di sana sedang diiiputi oleh semangat reformasi.
lstilah 'social reform' sedang populer. Tetapi lama-kelamaan istilah ini pun
ditinggalkan karena dianggap terlalu berlebihan tekanannya kepada
moralitas, dan juga karena lebih bersifat radikal. Karena itu, ketika kemudian
muncul istilah SE, oleh sebagian ilmuwan istilah ini kadang-kadang dipakai
sebagai sinonim dengan 'soc~~al
reform.
Namun sebagian besar ilmuwan menganggapnya berbeda bahkan
bertentangan, sebab 'social reform' mengasumsikan bahwa 'masalah sosial'
itu akarnya terletak pada tata sosial secara keseluruhan, dan karena 'socia/
reform' bertujuan merubah tata-sosial yang ada. Sedangkan SE bertujuan
memecahkan 'masalah-masalah sosial' praktis itu sendin secara pragrmatis,
sehingga dianggap tak menganggu kelestarian tata sosial yang ada.
Dalam konteks ini Lazarfeld dan Reitz mengatakan bahwa istilah SE
sebenarnya hanyalah semacam metafor bagi peranan ilmuwan sosiologi
dalam peransertanya untuk metakukan perbaikan masyarakat. Namun
demikian dalam perkembangan berikutnya yang terjadi dalam kenyataan
justru menjadi berlawanan dengan makna yang melekat padanya. Hal
terakhir ini oleh kedua penulis Lazarfeld dan Reitz dijelaskannya melalui 3
(tiga) tahap yang menyertai perkembangan sosiologi di Amerika Serikat.
Yang hendak dikemukakan di sini adalah perkembangan pada tahap terakhir
yang dicirikan oleh upaya menuju pengembangan sosiologi terapan. Artinya
sebagai ilmu ia berusaha menjadi sintesa baru antara sosiologi sebagai

Sajogyo (1971: 426-429), Penelifian //muSosial dan Aplikasinya, &lam Koentjaraningrat (ed),
Metodd i Penelitian Masyarekat, LIPI. Jakarta
09, Gunawan Wired (1996: 7-81, Rekeyasa SosieI dalam Menghadapi Era lndusln'alisasi Pertanian,
makalah pada seminar nadonal ' Induslrialisasi. Rekayasa Soial, dan Peranan Pemerintah Dalam
Fernbangunan Pertanian, Departemen Pectaniin fU, Jakarta.

sistem pengetahuan dan praktek kerja sosial dalam memecahkan rnasalah
sosial nyata.
Dengan kata lain menuju pembangunan ilmu sosiologi terapan itulah
hakekat usaha pencarian sintesa baru, yaitu menjembatani kesenjangan
(gap) antara ilmuwan (sosial) dan para penentu kebijakan. Peran ilmuwan
sosial sebagai pengelola proses dialektis antara teori dan praktek seperti itu
yang oleh Lazarfeld semula diberi metafor social engineer. Jadi, bukan
perekayasaan pemecahan masalah itu sendiri

.

Terlepas dari masih terdapatnya kontroversi dalam cara memaharni
istilah dan konsep SE dalam kerangka keilmuan, namun seperti telah
disebutkan di atas, di tataran empiris SE atau PM (dan PS) ini adalah suatu
gejala sosial nyata yang senantiasa hadir dalam kehidupan suatu
masyarakat untuk mengatur diri dalam kehidupan berkelompok. PM
merupakan suatu bentuk khas PS, yaitu suatu jenis pengawasan sosial yang
bersifat formal. Makin berkembang suatu masyarakat makin formal pula
bentuk PM dengan segala alat bantu-nya seperti kekuasaan dan hukurn.
Sebaliknya PS adalah PM yang tidak formal dan tidak memiliki alat bantu
khas seperti sangsi hukum apalagi kekuasaan.
Menurut Susanto-Sunario usaha menghimpitkan kepentingan antara
PM dan PS adalah merupakan upaya setiap pemerintah di mana-mana,
karena itu pemerintahan sebagai kekuatan PM perlu selalu mengekang diri
agar sistem pengendaliannya (pemerintahannya) tidak menjurus ke arah
totaliterisme. Belum jelas benar bagi Pound yang mencetuskan istilah SE
pertama kalinya pada tahun 1922, apakah ia memaksudkannya sebagai
pengendalian sistem politik terhadap masyarakat atau sebaliknya sebagai
pengendalian masyarakat terhadap sistem politik, ataupun sebagai suatu
kerja sama antara PM dan PS. Yang penting bagi Pound saat itu hukum yang '

Paul W e l d and JG. Reilz (1975:l-10). An lnbuduction to ApIUed Soddogy , Elsevier, New Yorlc.

adil perlu berpangkal pada kenyataan psiko-sosiologik suatu masyarakat.
Pendekatan di atas bermakna- untuk mernberikan pengamanan atas
keinginan-keinginan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. PM dengan
demikian harus berusaha mengatasi pertentangan dan persaingan antar
anggotalgolongan masyarakat. Pertentangan ini selalu berasal pada (a)
keterbatasan tersedianya sumberdaya, dan (b) keterbatasan kesernpatan,
serta (c) keterbatasan volume pemenuhan-pemenuhan kebutuhan dasar 5 .
2.2. Etos Komunal

Adalah menarik untuk lebih jauh melihat apa beda PS dengan kritik

sosial. Kritik sosial jelas Susanto-Sunario lebih lanjut, biasanya dinilai
sebagai barometer sosial-politik suatu masyarakat Adanya pendapatpendapat yang menginginkan koreksi atau perbaikan dalam masyarakat
menjelaskan adanya gagasan untuk membuka perubahan nilai atau bahkan
sistem nilai apabila berjalan cukup lama dan bersifat pervasif. Sehubungan
dengan adanya pendapat-pendapat yang berbeda dalam masyarakat, maka
seringkali orang menghubungkanfaktor kritik sosial dan PS.
Selanjutnya kritik sosial juga sering dihubungkan dengan pendapat
umum yang biasanya menginginkan sesuatu yang baru, atau ha1 yang lama
telah diketahui untuk segera dilaksanakan. Pertanyaannya kini adalah:
Seberapa jauhkah hubungan-hubungan demikian ini tepat ?. Untuk mencari
'jalan ke luar' dari pertentangan ini dengan mengacu pada pemikiran Huxley
dan Huxley oleh Susanto-Sunario mula-mula dibahas mengenai 3 jenis etos.

Astiid Susanto-Sunario (1989:141), Komunikasi Pengendalian dan Komunikasi Pengawasan, Sidr
Harapan, Jakarta.
Uhat pula Astrid Susantc4unafio (1990:15), Komunikasi Sebagd Matmntd Utama Antara
Pengendalian Masyarakat dan Pengawasan Sosial, Pidato Guru Besar pada Fisjpol-Univemitas I W a ,
Jakarta.

Etos tersebut masing-masing adalah etos intuitif, etos nafuralistik, dan etos
evolusionalistiks .
Namun sebelum menguraikan lebih lanjut ketiga etos tersebut di atas
perlu ditegaskan kembali makna konsep etos. Etos di sini adalah norma
moral yang pendasaran keberlakuannya datang dari budaya

dan sikap

kolektif, yaitu hasil sosialisasi dan internalisasi warga yang bersangkutan.
Pada norma moral ini ada tekanan agar individu-individu warga yang
bersangkutan mengambil sikap tanggung jawab dan kewajiban yang
mengutarnakan pemenuhan kebutuhan bersama secara merata dan adil
(resiprokal). Dalam khazanah kepustakaan ilmu-ilmu sosial. etos ini sering
juga dipahami sebagai kebiasaan, adat, watak, cara berbuat dan beberapa
arti lainnya yang menunjukkan tentang karakter suatu kelompok atas
kelompok lainnya. Etos adalah masalah tentang baik dan buruk, yang bajik
dan yang jahat, yang benar (dalam arti adil) dan yang salah, dan seterusnya.
Etos sosial (dalam studi ini disebut etos komunal) adalah suatu pleonasme,
karena para sosiolog mengartikan etos sebagai sejumlah perangai budaya,
karakteristik yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya

'.

Dalam uraiannya yang rinci Soekito menyebut suatu pernyataan,
manusia itu selalu mengalami alienasi, selama ia hidup selarna itu pula ia
akan tetap mengalami alienasi. Setiap tindak-tanduk manusia yang
menimbulkan ketegangan-ketegangan, membuktikan kekurangan dirinya.
Alienasi itulah kekurangan kita sebagai manusia yang sesungguhnya dapat
kita kurangi tetapi tidak dapat ditiadakan. Jika kita sebagai manusia telah
menyadari

kekurangan

yang

dicerminkan

oleh

tindak-tanduk

atau

tingkahlaku diri kita sehari-hari, maka kita memerlukan orang lain.

'
'

T.H. Huxley dan Julian Hwdey (1947) dalam Asrtrid S. Sunatio, (1977:E-10). Makna dan ~ungsikick'
Sosial dalam Masyarakaf dan Negam, Prisma, LP3ES.
Uhat Wiratmo Soekito (1978:M. 1978) Etos SdaI: Suafu Refleksi, Piisma No 11. LP3ES. Jakatta.
Uhat pula Hsruy Pretl FabhiId and 100 authciiiias ((1976: log), Diclona!y Of Sodology And Related
Sciences, A LittlefieldAdams, New Jersey.

Kekurangan yang kita alami bukanlah sesuatu yang merintangi kita untuk
berusaha rnenyernpurnaKan hidup kita, melainkan justru merupakan
dorongan. Oleh karena itu keberadaan orang lain merupakan faktor positif
jika dilihat dari sudut etos sosial.
Dengan mengembangkan positif

pada orang lain, kita akan lebih

mudah menghayati hak-hak kita, karena kita tidak akan menuntut hak-hak
kita tanpa terlebih dahulu menghormati hak-hak orang lain. Menempatkan
orang-orang sebagai pribadi berarti memperlakukannya sebagai pribadi,
yaitu sebagai seorang yang sebagaimana kita, mempunyai daya-upaya dan
keinginan untuk menyempurnakan hidupnya. Kita harus adil terhadap orang
lain dan kita akan berlaku demikian hanya apabila kita mengakui dalam
perbuatan orang lain terkandung eksistensi berharga. Tanpa pengakuan ini
tidak akan mungkin timbul hidup etis, yang dicerminkan dalam perbuatan
rnembatasi diri dengan sukarela ' .
Kembali pada konsep etos yang di awal paragraf ini hendak kita
hubungkan dengan pertanyaan sejauhmana PS, dalam konteks kepentingan
yang berhadapan dengan PM, dan kritik sosial saling berkaitan maka kita
perlu melihat konsep etos itu secara lebih analitis. Seperti telah disebutkan
terdahulu, pertama-tama kita dapat mulai dengan mengajukan uraian apa itu

etos intuitif Etos ini pada dasarnya hendak menggambarkan apa yang oleh
pribadi dianggap benar. Hal ini disebabkan karena manusia dalarn hidupnya
seringkali akan mengalami konflik mental. Hal ini wajar, sebagai manusia ia
juga akan berusaha untuk mengatasi konflik mental ini dengan akibat bahwa
dalam dirinya akan terbentuk dengan sendirinya dasar dari hati nuraninya
dan kesadaran akan moral, sehingga berkembanglah dalam dirinya suatu

Dalam uraiannya Wiratmo Soekito (ibid. 1978: 57) mengupas pendapatpendapat Ricoeur, Hegel,
dan Man y a y ksmudan masingmasing Qpemadapkan satu sama lain, khususnya tenteng apa itu alienasl.
dan bagaimana mengurangi atau menhbaskan daripadanya untuk kemudan menympmtakan identitas
kemanusiaannya.

sistem etos

0

. Di sini walaupun etos menjadi pedoman manusia dalam

kapasitas individu banyak membantunya dalam membentuk- kesadaran
moralnya, namun ditinjau dari segi makro, etos tidak memberi jaminan
kepada individu, apakah secara

obyektif yang telah

dilakukannya

berdasarkan etos dan hati nuraninya adalah mutlak berada di landasan yang
benar.
Selanjutnya etos naturalistik menurut Huxley lebih ditentukan oleh
evolusi, otoritas, dan tradisi sehingga unsur kesadaran moral lebih
ditentukan oleh unsur biologis-genetik. Tahap dan situasi nyata lingkungan
akan menentukan sifat etos yang dianut suatu kelompok. Etos seperti ini
mirip dengan pendapat para ahli antropologi yang melihat etos tidak terlepas
dari lingkungan dan kelompok. Dalam kondisi naturalistik etos dilandasi
pemikiran prinsip resiprokal karena satu sama lain saling memerlukan, saling
terdorong memberikan kemanfaatan atau kegunaan sehingga tercapai
kemaslahatan sosial.
Etos seperti ini tidak tumbuh pertama-tama oleh prinsip transendental,
melainkan situasi nyata lingkungan sosial, materi dan no