TAJDID BAGI PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
TELAAH PENDIDIKAN
TAJDID BAGI PENDIDIKAN
MUHAMMADIYAH
DESVIAN BANDARSYAH
KADER MUHAMMADIYAH, DOSEN UHAMKA
litm
erg
er.
co
m)
dicita-citakan. Kondisi ini dialami oleh pendidikan
Muhammadiyah sebagai pantulan dari dominasi negara
dalam mengelola kepentingan pendidikan. Muhammadiyah perlu mengambil posisi yang berbeda dengan sebelumnya, melalui pemunculan gagasan baru berupa cetak biru pembaruan pendidikan sebagai bentuk tanggungjawab ideologis dan sosiologis bagi umat, masyarakat, bangsa dan negaranya.
pd
fsp
Misi Pembaruan Pendidikan
Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dalam salah
satu ucapannya mengatakan, bahwa pengetahuan tentang
kesatuan hidup merupakan pengetahuan yang besar
meliputi bumi dan kemanusiaan, dan jika manusia
mengabaikan prinsip kemanusiaan tersebut, maka manusia
akan menjadi hancur dan menghancurkan (Mulkhan,
2010: 108). Pernyataan Ahmad Dahlan secara kontekstual
menuntut Muhammadiyah untuk terus-menerus
merevitalisasikan penyelenggaraan pendidikannya.
Pengetahuan yang ditawarkan pendidikan Muhammadiyah
harus berangkat dari tradisi besar dalam pendidikan, yaitu
pengetahuan yang didasarkan pada penghormatan
terhadap prinsip dan nilai humanitas kemanusiaan universal,
sehingga pendidikan Muhammadiyah dapat menghasilkan
individu-individu yang handal secara moralitas dan
akhlakul karimah, cerdas, kreatif dan inovatif.
Dengan demikian mudah untuk dipahami, bahwa
Muhammadiyah tidak boleh hanya sekedar membantu pemerintah dalam mengelola dan mengembangkan pendidikan, karena sikap semacam ini akan membahayakan Muhammadiyah dan bangsa Indonesia. Pendidikan Muhammadiyah tidak boleh terjebak dalam quo vadis pendidikan
Indonesia yang sekedar berorientasi pada hasil berupa nilai
kelulusan Ujian Nasional siswa dengan angka 5,5 sebagai
dampak dari semakin menguatnya pengaruh Cartesian
dalam konteks pengetahuan dan pendidikan kita.
Pengaruh itu juga, secara sistemik dan kasat mata
terlihat dari mekanisme pasar yang bergerak secara bebas
dalam pendidikan di Indonesia yang mengabdi pada dunia
industri. Tujuan pendidikan yang ideal, sebagaimana yang
tertuang dalam cita-cita dan konstitusi kita “mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan manusia Indonesia
De
mo
(
Vi
sit
htt
p:/
/w
w
w.
M
uktamar Muhammadiyah ke-46 di Yogyakarta
merupakan medium yang sakral bagi
kemunculan gagasan strategis Muhammadiyah
dalam memasuki gelombang kedua dari gerakan
pembaruan yang diusungnya bagi segenap bangsa dan
masyarakat Indonesia.
Salah satu bagian terpenting dari gagasan tajdid (pembaruan) Muhammadiyah adalah penyelenggaraan pendidikan oleh Muhammadiyah yang diyakini sebagai sarana
dalam menjembatani disparitas realitas sosial kebangsaan
Indonesia dengan masyarakat utama yang dicita-citakan
Muhammadiyah sejak berdirinya satu abad lampau.
Dalam konteks nasional gagasan mengenai cita-cita
Muhammadiyah itu sejalan dengan tujuan pendidikan
nasional yang dirumuskan ke dalam pernyataan luhur,
“Membentuk manusia Indonesia yang sempurna, berakhlak mulia, cerdas, kreatif, inovatif…” maka pada tataran
filosofis pragmatisnya perlu dilakukan kajian yang
merefleksikan kebutuhan dan sekaligus tantangan bagi
pendidikan Muhammadiyah ke depan, sekaligus juga
sebagai koreksi Muhammadiyah terhadap pendidikan
nasional yang semakin menjauh dari cita-cita konstitusi.
Bagaimana seharusnya pembaharuan pendidikan
dijalankan Muhammadiyah ?
Secara umum dapat dipahami, kesadaran Muhammadiyah dalam memilih strategi dakwahnya mengambil
jalan kultural mencerminkan keyakinannya bahwa
masyarakat utama hanya dapat diwujudkan melalui kerjakerja strategis berupa pembaharuan dan pemberdayaan
dalam menyelenggarakan dan memajukan pendidikan di
tengah-tengah masyarakat. Atas prinsip dan kesadaran semacam itu, Muhammadiyah perlu memberikan penyegaran
terhadap landasan operasional penyelenggaraan pendidikannya.
Kecenderungan Muhammadiyah yang selama ini diam
dan melakukan kerja-kerja regular semata sebagai respon
atas berbagai kebijakan pendidikan yang diputuskan
pemerintah menyebabkan perkembangan pendidikan
Muhammadiyah berada dalam posisi yang aman. Namun
mengandung resiko berupa kehilangan watak pembarunya, yang dalam tataran ideologis dapat menghambat
terselenggaranya pencapaian masyarakat utama yang
50
7 - 21 SYAWAL 1431 H
TELAAH PENDIDIKAN
pd
fsp
litm
erg
er.
co
m)
merefleksikan nilai-nilai humanistik sebagai dasar
pembentukan karakter dari kodrat manusia.
Keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan yang
semakin meluas juga menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari persoalan kehidupan modern, dan telah menjadi fokus
perhatian pemerintahan di seluruh dunia. Bukan hanya
dampak eksternal, tetapi juga logika kebebasan
perkembangan teknologi dan perkembangan ilmiah akan
saling bertentangan jika bahaya serius dan tak tertahankan
tak dapat dihindari. Humanisasi teknologi tampaknya telah
menyebabkan semakin meningkatnya isu moral dalam
relasi yang kini “sangat instrumental” antara manusia
dengan lingkungan (Giddens, 1990: 170). Dengan
demikian, kesadaran semacam ini
perlu mendorong pendidikan Muhammadiyah untuk lebih memperhatikan, bukan saja persoalan humanisasi terhadap teknologi dan
ilmu-ilmu kealaman, tetapi juga perlu mendorong proses humanisasi
terhadap ilmu-ilmu sosial, dengan
berlandaskan pada kesadaran
bahwa pendidikan untuk menjadikan manusia yang cerdas, terampil,
berakhlak mulia dan berbudi pekerti,
singkatnya menjadi manusia yang
“sempurna”. Seruan Amr ma’ruf
nahi munkar (menyerukan kebaikan dan menolak kemunkaran) sebagai landasan dakwah Muhammadiyah dengan demikian menemukan momentum dan ruang
yang lapang untuk direalisasikan melalui pendidikan.
Itulah misi dan sekaligus tantangan utama pendidikan
Muhammadiyah. Muhammadiyah perlu mengambil
langkah strategis dalam menjalankan pendidikan yang
dapat mengimbangi materialisme ilmu pengetahuan dan
teknologi; pendidikan yang nilai-nilai moralnya bersifat
absolut untuk mengimbangi relativisme Barat; pendidikan
yang prosesi ritualnya berfungsi menghidupkan hati
nurani manusia modern yang kering dari nilai-nilai
spiritualitas dan humanitas; dan pendidikan yang bersifat
rasional dan terhindar dari problema keterasingan jaman.
Maka langkah utama yang perlu dilakukan Muhammadiyah adalah mendesain keilmuan melalui berbagai
produk kebijakan pendidikan agar lebih menawarkan
kemandirian, melalui pengembangan karakter, kesadaran
dan nalar kritis peserta didiknya dengan memfungsikan
kesadaran etis dan estetika yang dimilikinya. Nalar kritis
akan memberikan perspektif keilmuan sekaligus juga
pemahaman etis terhadap kehidupan sosial. Dengan
demikian Muhammadiyah tidak hanya menghindari quo
vadis pendidikan Indonesia, tapi sekaligus menjadi
pelopor dari reorientasi pendidikan Indonesia yang
dirasakan semakin mendesak.l
De
mo
(
Vi
sit
htt
p:/
/w
w
w.
yang berakhlak mulia, cerdas, berbudi pekerti untuk
menjadi insan paripurna” semakin menjauh untuk dicapai
rasanya. Inilah langgam mekanistik-positivistik ala
Cartesian yang diadopsi oleh kita dalam mengelola
pendidikan.
Konsepsi filosofis Cartesian berangkat dari pola berpikir
matematis, dalam konteks itu, baik ilmu alam maupun
ilmu sosial berkembang ke arah mekanisasi ilmu yang
bersifat rigid mekanistik-positivistik, yang menempatkan
ilmu tidak lagi ditujukan untuk kemanusiaan yang
menyejahterakan. Tetapi ilmu ditujukan bagi perkembangan
ilmu dan teknologi semata. Dengan kata lain, di abad
modern ini, ilmu mengabdi untuk industri. Maka tidak
mengherankan, kita menyaksikan
betapa kehidupan semakin keras
dirasakan oleh manusia yang hidup
di dunia ini. Ruang kehidupan
menjadi semakin kompetitif, brutal,
kejam dan tanpa kemanusiaan.
Jika tidak ada terobosan yang
mendasar dalam mengelola pendidikan dengan mengembangkan
konsep filosofis-pragmatis dan
paradigma baru yang lebih manusiawi, maka Masyarakat Utama
sebagai cita-cita Muhammadiyah
sulit untuk diwujudkan. Di sini pentingnya Muhammadiyah melahirkan gagasan pembaruan pendidikan Foto: DIDIK SUJARWO
dalam upaya memperkokoh
dakwahnya pada gelombang pembaruan bagian kedua
yang tidak lama lagi digelutinya.
Gagasan filosofis-pragmatis yang bersifat tajdid
mendesak bagi agenda pembaruan pendidikan, bukan
hanya sebagai jargon Muhammadiyah sebagai pembaru,
tetapi lebih dari itu, sebagai landasan berpijak Muhammadiyah dalam membangun peradaban utama bangsa
Indonesia yang dicita-citakannya. Pendidikan semacam
itu merupakan persoalan dan tuntutan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, sejalan dengan semakin merosotnya kualitas kehidupan manusia dari sisi sosial humanitasnya. Tentunya persoalan di atas perlu dicarikan solusi
melalui refleksi dan perenungan yang mendalam mengenai akar persoalan dan solusi apa yang dapat ditawarkan.
Untuk membebaskan manusia dari segenap krisis
yang sangat kompleks ini, amat mendesak kiranya
Muhammadiyah membuka jalan dan mengkonstruksi
solusi krisis yang tepat dan efektif. Solusi yang diajukan
dan sangat potensial adalah melalui reinventing kemanusiaan hakiki melalui jalur pendidikan. Sebuah optimisme
yang diusung dalam melihat keberadaan pendidikan,
untuk dapat membangkitkan kembali sesuatu yang hilang
dalam arus deras peradaban modernitas, melalui gagasan
pendidikan yang berkarakter, humanis dan kritis yang
SUARA MUHAMMADIYAH 18 / 95 | 16 - 30 SEPTEMBER 2010
51
TAJDID BAGI PENDIDIKAN
MUHAMMADIYAH
DESVIAN BANDARSYAH
KADER MUHAMMADIYAH, DOSEN UHAMKA
litm
erg
er.
co
m)
dicita-citakan. Kondisi ini dialami oleh pendidikan
Muhammadiyah sebagai pantulan dari dominasi negara
dalam mengelola kepentingan pendidikan. Muhammadiyah perlu mengambil posisi yang berbeda dengan sebelumnya, melalui pemunculan gagasan baru berupa cetak biru pembaruan pendidikan sebagai bentuk tanggungjawab ideologis dan sosiologis bagi umat, masyarakat, bangsa dan negaranya.
pd
fsp
Misi Pembaruan Pendidikan
Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dalam salah
satu ucapannya mengatakan, bahwa pengetahuan tentang
kesatuan hidup merupakan pengetahuan yang besar
meliputi bumi dan kemanusiaan, dan jika manusia
mengabaikan prinsip kemanusiaan tersebut, maka manusia
akan menjadi hancur dan menghancurkan (Mulkhan,
2010: 108). Pernyataan Ahmad Dahlan secara kontekstual
menuntut Muhammadiyah untuk terus-menerus
merevitalisasikan penyelenggaraan pendidikannya.
Pengetahuan yang ditawarkan pendidikan Muhammadiyah
harus berangkat dari tradisi besar dalam pendidikan, yaitu
pengetahuan yang didasarkan pada penghormatan
terhadap prinsip dan nilai humanitas kemanusiaan universal,
sehingga pendidikan Muhammadiyah dapat menghasilkan
individu-individu yang handal secara moralitas dan
akhlakul karimah, cerdas, kreatif dan inovatif.
Dengan demikian mudah untuk dipahami, bahwa
Muhammadiyah tidak boleh hanya sekedar membantu pemerintah dalam mengelola dan mengembangkan pendidikan, karena sikap semacam ini akan membahayakan Muhammadiyah dan bangsa Indonesia. Pendidikan Muhammadiyah tidak boleh terjebak dalam quo vadis pendidikan
Indonesia yang sekedar berorientasi pada hasil berupa nilai
kelulusan Ujian Nasional siswa dengan angka 5,5 sebagai
dampak dari semakin menguatnya pengaruh Cartesian
dalam konteks pengetahuan dan pendidikan kita.
Pengaruh itu juga, secara sistemik dan kasat mata
terlihat dari mekanisme pasar yang bergerak secara bebas
dalam pendidikan di Indonesia yang mengabdi pada dunia
industri. Tujuan pendidikan yang ideal, sebagaimana yang
tertuang dalam cita-cita dan konstitusi kita “mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan manusia Indonesia
De
mo
(
Vi
sit
htt
p:/
/w
w
w.
M
uktamar Muhammadiyah ke-46 di Yogyakarta
merupakan medium yang sakral bagi
kemunculan gagasan strategis Muhammadiyah
dalam memasuki gelombang kedua dari gerakan
pembaruan yang diusungnya bagi segenap bangsa dan
masyarakat Indonesia.
Salah satu bagian terpenting dari gagasan tajdid (pembaruan) Muhammadiyah adalah penyelenggaraan pendidikan oleh Muhammadiyah yang diyakini sebagai sarana
dalam menjembatani disparitas realitas sosial kebangsaan
Indonesia dengan masyarakat utama yang dicita-citakan
Muhammadiyah sejak berdirinya satu abad lampau.
Dalam konteks nasional gagasan mengenai cita-cita
Muhammadiyah itu sejalan dengan tujuan pendidikan
nasional yang dirumuskan ke dalam pernyataan luhur,
“Membentuk manusia Indonesia yang sempurna, berakhlak mulia, cerdas, kreatif, inovatif…” maka pada tataran
filosofis pragmatisnya perlu dilakukan kajian yang
merefleksikan kebutuhan dan sekaligus tantangan bagi
pendidikan Muhammadiyah ke depan, sekaligus juga
sebagai koreksi Muhammadiyah terhadap pendidikan
nasional yang semakin menjauh dari cita-cita konstitusi.
Bagaimana seharusnya pembaharuan pendidikan
dijalankan Muhammadiyah ?
Secara umum dapat dipahami, kesadaran Muhammadiyah dalam memilih strategi dakwahnya mengambil
jalan kultural mencerminkan keyakinannya bahwa
masyarakat utama hanya dapat diwujudkan melalui kerjakerja strategis berupa pembaharuan dan pemberdayaan
dalam menyelenggarakan dan memajukan pendidikan di
tengah-tengah masyarakat. Atas prinsip dan kesadaran semacam itu, Muhammadiyah perlu memberikan penyegaran
terhadap landasan operasional penyelenggaraan pendidikannya.
Kecenderungan Muhammadiyah yang selama ini diam
dan melakukan kerja-kerja regular semata sebagai respon
atas berbagai kebijakan pendidikan yang diputuskan
pemerintah menyebabkan perkembangan pendidikan
Muhammadiyah berada dalam posisi yang aman. Namun
mengandung resiko berupa kehilangan watak pembarunya, yang dalam tataran ideologis dapat menghambat
terselenggaranya pencapaian masyarakat utama yang
50
7 - 21 SYAWAL 1431 H
TELAAH PENDIDIKAN
pd
fsp
litm
erg
er.
co
m)
merefleksikan nilai-nilai humanistik sebagai dasar
pembentukan karakter dari kodrat manusia.
Keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan yang
semakin meluas juga menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari persoalan kehidupan modern, dan telah menjadi fokus
perhatian pemerintahan di seluruh dunia. Bukan hanya
dampak eksternal, tetapi juga logika kebebasan
perkembangan teknologi dan perkembangan ilmiah akan
saling bertentangan jika bahaya serius dan tak tertahankan
tak dapat dihindari. Humanisasi teknologi tampaknya telah
menyebabkan semakin meningkatnya isu moral dalam
relasi yang kini “sangat instrumental” antara manusia
dengan lingkungan (Giddens, 1990: 170). Dengan
demikian, kesadaran semacam ini
perlu mendorong pendidikan Muhammadiyah untuk lebih memperhatikan, bukan saja persoalan humanisasi terhadap teknologi dan
ilmu-ilmu kealaman, tetapi juga perlu mendorong proses humanisasi
terhadap ilmu-ilmu sosial, dengan
berlandaskan pada kesadaran
bahwa pendidikan untuk menjadikan manusia yang cerdas, terampil,
berakhlak mulia dan berbudi pekerti,
singkatnya menjadi manusia yang
“sempurna”. Seruan Amr ma’ruf
nahi munkar (menyerukan kebaikan dan menolak kemunkaran) sebagai landasan dakwah Muhammadiyah dengan demikian menemukan momentum dan ruang
yang lapang untuk direalisasikan melalui pendidikan.
Itulah misi dan sekaligus tantangan utama pendidikan
Muhammadiyah. Muhammadiyah perlu mengambil
langkah strategis dalam menjalankan pendidikan yang
dapat mengimbangi materialisme ilmu pengetahuan dan
teknologi; pendidikan yang nilai-nilai moralnya bersifat
absolut untuk mengimbangi relativisme Barat; pendidikan
yang prosesi ritualnya berfungsi menghidupkan hati
nurani manusia modern yang kering dari nilai-nilai
spiritualitas dan humanitas; dan pendidikan yang bersifat
rasional dan terhindar dari problema keterasingan jaman.
Maka langkah utama yang perlu dilakukan Muhammadiyah adalah mendesain keilmuan melalui berbagai
produk kebijakan pendidikan agar lebih menawarkan
kemandirian, melalui pengembangan karakter, kesadaran
dan nalar kritis peserta didiknya dengan memfungsikan
kesadaran etis dan estetika yang dimilikinya. Nalar kritis
akan memberikan perspektif keilmuan sekaligus juga
pemahaman etis terhadap kehidupan sosial. Dengan
demikian Muhammadiyah tidak hanya menghindari quo
vadis pendidikan Indonesia, tapi sekaligus menjadi
pelopor dari reorientasi pendidikan Indonesia yang
dirasakan semakin mendesak.l
De
mo
(
Vi
sit
htt
p:/
/w
w
w.
yang berakhlak mulia, cerdas, berbudi pekerti untuk
menjadi insan paripurna” semakin menjauh untuk dicapai
rasanya. Inilah langgam mekanistik-positivistik ala
Cartesian yang diadopsi oleh kita dalam mengelola
pendidikan.
Konsepsi filosofis Cartesian berangkat dari pola berpikir
matematis, dalam konteks itu, baik ilmu alam maupun
ilmu sosial berkembang ke arah mekanisasi ilmu yang
bersifat rigid mekanistik-positivistik, yang menempatkan
ilmu tidak lagi ditujukan untuk kemanusiaan yang
menyejahterakan. Tetapi ilmu ditujukan bagi perkembangan
ilmu dan teknologi semata. Dengan kata lain, di abad
modern ini, ilmu mengabdi untuk industri. Maka tidak
mengherankan, kita menyaksikan
betapa kehidupan semakin keras
dirasakan oleh manusia yang hidup
di dunia ini. Ruang kehidupan
menjadi semakin kompetitif, brutal,
kejam dan tanpa kemanusiaan.
Jika tidak ada terobosan yang
mendasar dalam mengelola pendidikan dengan mengembangkan
konsep filosofis-pragmatis dan
paradigma baru yang lebih manusiawi, maka Masyarakat Utama
sebagai cita-cita Muhammadiyah
sulit untuk diwujudkan. Di sini pentingnya Muhammadiyah melahirkan gagasan pembaruan pendidikan Foto: DIDIK SUJARWO
dalam upaya memperkokoh
dakwahnya pada gelombang pembaruan bagian kedua
yang tidak lama lagi digelutinya.
Gagasan filosofis-pragmatis yang bersifat tajdid
mendesak bagi agenda pembaruan pendidikan, bukan
hanya sebagai jargon Muhammadiyah sebagai pembaru,
tetapi lebih dari itu, sebagai landasan berpijak Muhammadiyah dalam membangun peradaban utama bangsa
Indonesia yang dicita-citakannya. Pendidikan semacam
itu merupakan persoalan dan tuntutan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, sejalan dengan semakin merosotnya kualitas kehidupan manusia dari sisi sosial humanitasnya. Tentunya persoalan di atas perlu dicarikan solusi
melalui refleksi dan perenungan yang mendalam mengenai akar persoalan dan solusi apa yang dapat ditawarkan.
Untuk membebaskan manusia dari segenap krisis
yang sangat kompleks ini, amat mendesak kiranya
Muhammadiyah membuka jalan dan mengkonstruksi
solusi krisis yang tepat dan efektif. Solusi yang diajukan
dan sangat potensial adalah melalui reinventing kemanusiaan hakiki melalui jalur pendidikan. Sebuah optimisme
yang diusung dalam melihat keberadaan pendidikan,
untuk dapat membangkitkan kembali sesuatu yang hilang
dalam arus deras peradaban modernitas, melalui gagasan
pendidikan yang berkarakter, humanis dan kritis yang
SUARA MUHAMMADIYAH 18 / 95 | 16 - 30 SEPTEMBER 2010
51