a. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 sepuluh
juta rupiah, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara se- bagaimana dimaksud dalam Ayat 1 adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun, dan pidana
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu miliar
rupiah.
Penjelasan Pasal 12B Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lain-
nya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri mau- pun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan
sarana elektronika atau tanpa sarana elektronika.
Pasal 12C: 1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat
1 tidak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling
lambat 30 tiga puluh hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima. 3. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu
paling lambat 30 tiga puluh hari kerja sejak tanggal menerima laporan, wajib menetapkan gratifikasi dapat
menjadi milik penerima atau milik negara. 4. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 3
diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002,
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 16:
Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut :
Komisi Pemberantasan
Korupsi 4
a Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi
formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan
dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi. b
Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat :
1 nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
2 jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara; 3 tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;
4 uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan 5 nilai gratifikasi yang diterima
Penjelasan pasal 16 menyebutkan bahwa Ketentuan dalam Pasal ini mengatur mengenai tata cara pelaporan dan
penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3. Kategori Gratifikasi
Penerimaan gratifikasi dapat dikategorikan menjadi dua kategori yaitu Gratifikasi yang Dianggap Suap dan Gratifikasi yang Tidak
Dianggap Suap yaitu: 1.
Gratifikasi yang Dianggap Suap Yaitu Gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Contoh Gratifikasi yang dianggap suap dapat dilihat pada Contoh 1, 2 dan 3 di halaman 35-37.
2. Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap.
Yaitu Gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan
jabatan dan tidak berlawanan dengan kawajiban atau tugasnya sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 12
B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Komisi Pemberantasan
Korupsi 5
Kegiatan resmi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang sah dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan jabatannya
dikenal dengan Kedinasan. Dalam menjalankan kedinasannya Pegawai
Negeri atau
Penyelenggara Negara
sering dihadapkan pada peristiwa gratifikasi sehingga Gratifikasi
yang Tidak Dianggap Suap dapat dibagi menjadi 2 sub kategori yaitu Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang
terkait kedinasan dan Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang Tidak Terkait Kedinasan
Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang terkait dengan Kegiatan Kedinasan meliputi penerimaan dari:
a. pihak lain berupa cinderamata dalam kegiatan resmi
kedinasan seperti rapat, seminar, workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis;
b. pihak lain berupa kompensasi yang diterima terkait
kegiatan kedinasan, seperti honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan lainnya sebagaimana diatur
pada Standar Biaya yang berlaku di instansi penerima, sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak
terdapat Konflik Kepentingan, atau tidak melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima
3.
Penerima Gratifikasi yang Wajib Melaporkan Gratifikasi
Penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara wajib dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
selambat-lambatnya 30 tiga puluh hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Hal ini sesuai dengan
ketentuan yang tercantum dalam Pasal 12C ayat 2 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 bahwa penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib dilakukan oleh Penerima
Gratifikasi paling lambat 30 tiga puluh hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
1. Penyelenggara Negara
a. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang
menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lainyang fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku Pasal 1 angka 1 UU Nomor 28 Tahun 1999.
Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 28 tahun 1999 di atas menguraikan jabatan-jabatan lain yang termasuk kualifikasi
Penyelenggara Negara, yaitu meliputi:
Komisi Pemberantasan
Korupsi 6
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara.
Saat ini berdasarkan Amandemen ke-4 Undang- undang Dasar 1945 tidak dikenal lagi istilah
Lembaga Tertinggi Negara. Institusi yang dimaksud disini adalah Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku misalnya Kepala Perwakilan RI di Luar
Negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh, Wakil Gubernur
dan BupatiWalikota; dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam
kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang- undangan yang berlaku antara lain:
1 Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural
lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
2 Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan
Badan Penyehatan Perbankan Nasional; 3
Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri; 4
Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia; 5
Jaksa; 6
Penyidik; 7
Panitera Pengadilan; dan 8
Pemimpin dan bendaharawan proyek. Dalam konteks kekinian, Pejabat Pembuat
Komitmen, Pantia Pengadaan, Panitia Penerima Barang termasuk kualifikasi
Penyelenggara Negara
b. Penjelasan Pasal 11 huruf a Undang-undang Nomor
30 Tahun 2002 menambahkan jabatan lain yang masuk kualifikasi Penyelenggara Negara, yaitu:
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pejabat Negara lain yang juga termasuk kualifikasi sebagai Penyelenggara Negara diatur dalam Pasal
122 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara yaitu:
Komisi Pemberantasan
Korupsi 7
1. Presiden dan Wakil Presiden;
2. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat; 3.
Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;Ketua, wakil ketua, dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah; 4.
Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua,
wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;
5. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah
Konstitusi; 6.
Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
7. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
8. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi; 9.
Menteri dan jabatan setingkat menteri; 10. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar
negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
11. Gubernur dan wakil gubernur; 12. Bupatiwalikota dan wakil bupatiwakil
walikota; dan 13. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh
Undang-Undang. Dengan demikian, dasar hukum yang digunakan untuk
menentukan sebuah jabatan termasuk kualifikasi Penyelenggara Negara adalah:
UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dari KKN;
UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara
2. Pegawai Negeri