PRODUKSI BIOGAS DARI RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum) MELALUI PROSES FERMENTASI KERING

ABSTRACT

THE PRODUCTION OF BIOGAS FROM ELEPHANT GRASS (Pennisetum
purpureum) THROUGH THE PROCESS OF DRY FERMENTATION
By
Ayub

This research aimed at understanding the production of biogas from elephant
grass (Pennisetum purpureum) through the process of dry fermentation. This
research was conducted at the Laboratory of Power, Agricultural Machinery,
Faculty of Agriculture, University of Lampung in June until October 2014. The
treatment in this research was a comparison between elephant grass and cow
dung. Comparison of treatment A, B, and C respectively is 3:1; 4:1; and 5:1.
Substrate material used in this research is the fresh, elephant grass chopped to 15
cm length. The substrate is prduction, watered every 2 days using 5 liters of water.
Biogas prduction, reaction, temperature and ambient temperature were measured
every day until the production of biogas stop. The results of this research indicate
that the production of biogas in treatment A, B, and C respectively was 204 L;
258 L; and 241,3 L liters for 25 days with an average yield of treatments A, B,
and C, ie 8,53 L/day; 10,75 L/day; and 10,05 L/day. The repectivaly yield of
biogas treatment A, B, and C in was 12.82 L/kg, 12.95 L/kg, and 10.09 L/kg.

Biogas produced was not burnt. The reaction temperature in treatment A, B, and C
respectively is 31 ºC; 31 ºC; and 32 ºC, while the average of environmental
temperature is 32 ºC. Treatment B is the best for biogas production through dry
fermentation.
Keywords: dry fermentation, elephant grass, biogas, yield.

ABSTRAK

PRODUKSI BIOGAS DARI RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum)
MELALUI PROSES FERMENTASI KERING
By
Ayub
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi biogas dari rumput gajah
(Pennisetum purpureum) melalui proses fermentasi kering. Penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium Daya, Alat, dan Mesin Pertanian, Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2014.
Perlakuan pada penelitian ini adalah perbandingan antara rumput gajah dan
kotoran sapi. Perbandingan perlakuan A, B, dan C secara beruruturut, yaitu 3:1;
4:1; dan 5:1. Bahan isian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan segar,
rumput gajah dicacah sepanjang 15 cm. Bahan isian dilakukan penyiraman setiap

2 hari sekali menggunakan air sebanyak 5 L. Temperatur reaksi dan temperatur
lingkungan diukur setiap hari sampai produksi biogas yang dihasilkan tidak
signifikan lagi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produksi biogas pada
perlakuan A, B, dan C berurut-urut, yaitu 204 L, 258 L, dan 241,3 L selama 25
hari dengan produksi rata–rata perlakuan A, B, dan C, yaitu 8,53 L/hari, 10,75
L/hari, dan 10,05 L/hari, produktivitas biogas perlakuan A, B, dan C berurut–urut
adalah 12,82 L/kg, 12,95 L/kg, dan 10,09 L/kg. Biogas yang dihasilkan tidak
dapat menyala. Temperatur reaksi pada perlakuan A, B, dan C berurut-urut adalah
31 ºC; 31 ºC; dan 32 ºC, sedangkan ratarata temperatur lingkungan sebesar 32
ºC. Perlakuan B adalah perlakuan terbaik untuk produksi biogas melalui
fermentasi kering.
Kata Kunci : fermentasi kering, rumput gajah, biogas, produktivitas.

PRODUKSI BIOGAS DARI RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum)
MELALUI PROSES FERMENTASI KERING

(Skripsi)

Oleh
AYUB


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2014

MOTO

Berjuang terus tanpa henti, demi masa depan
gilang–gemilang penuh harapan

Aku persembahkan karyaku ini kepada
Kedua orangtuaku
Bapakku Rudi Adil dan Mamaku Senti Tiolina Tampubolon
yang telah memberikan doa, kasih sayang, dukungan, motivasi,
didikan dan nasehat selama ini.
Saudara kandungku
Bang Samuel Firman Sahala, Adik Kaleb Setiadi dan Yosia
Terimakasih atas dukungan, perhatian, dan kasih sayangnya
Sampai saat ini

Sahabat–sahabatku yang setia disaat suka maupun duka
Terimakasih atas perhatian, kasih sayang, motivasi, dan doa
Yang telah diberikan selama ini.
Serta Almamater tercinta.

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ayub, dilahirkan di Tulang Bawang
tanggal 7 Februari 1993 dari pasangan Rudi Adil dan
Senti Tiolina Tampubolon yang merupakan anak kedua
dari empat bersaudara. Penulis menyelsaikan SD di SD
Negeri 4 Indraloka II, Kecamatan Way Kenanga, Tulang
Bawang pada tahun 2004. Penulis melanjutkan Sekolah
Menengah Pertama di SMP Negeri 3 Banjar Agung,
Tulang Bawang. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan Sekolah Menengah Atas
di SMA Negeri 1 Banjar Margo yang diselesaikan pada tahun 2010. Selama
duduk di bangku SMA penulis aktif di Kelompok Ilmiah Remaja.

Pada tahun 2010 melalui jalur Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN),
penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian.

Universitas Lampung. Penulis pernah menjadi asisten dosen mata kuliah Energi
Terbarukan pada tahun 2013 dan 2014, serta menjadi asisten dosen mata kuliah
Daya di Bidang Pertanian pada tahun 2013. Penulis memiliki pengalaman Praktik
Umum di Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid di Srandakan, Kabupaten Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta.

SANWACANA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena penyertaan–Nya
karya ilmiah ini dapat diselsaikan.
Skripsi dengan Judul “Produksi Biogas dari Rumput Gajah Penistetum purpureum
melalui Proses Fermentasi Kering” merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelah Sarjana Teknologi Pertanian di Jurusan Teknik Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar–besarya
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku dekan Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung beserta jajaran dekanat Fakultas Pertania,
Universitas Lampung:
2. Bapak Dr. Ir. Agus Haryanto, M.P. selaku Pembimbing Utama atas

kesediaan memberi ilmu, waktu, bimbingan, saran, dan kritik dalam proses
menyelsaikan skripsi ini serta menjadi bapak bagi penulis selama
menyelsaikan studi di Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian ,
Universitas Lampung.
3. Dr. Ir. Sigit Prabawa, M.Sc. selaku pembimbing kedua atas waktu, saran,
bimbingan, dan koreksi yang telah diberikan.

4. Bapak Dr. Ir.Sugeng Triyono, M.Sc. selaku penguji atas saran dan
masukan dalam menyelsaikan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung atas ketulusan memberikan ilmu–ilmu dan
pengalaman yang sangat bermanfaat untuk masa depan penulis.
6. Papaku Rudi Adil dan Mamaku Senti Tiolina Tampubolon yang selalu
memberikan motivasi, semangat, ketulusan, kasih sayang yang tak putus–
putusnya.
7. Abangku Samuel Firman Sahala yang memberikan motivasi dan semangat
bagi penulis dan Adik–adikku Kaleb Setiadi dan Yosia yang telah
menjadi motivasi penulis untuk menjadi contoh yang baik.
8. Rekan–rekan Teknik Pertanian angkatan 2010 yang terus hingga akhir,
terimakasih atas kebersamaan dan pengalaman yang tak terlupakan.

9. Keluarga besar Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) Bandar Lampung
dan Youth GKKD Bandar Lampung yang terus memberi pelajaran,
pengalaman, yang berharga yang tidak penulis dapatkan dari bangku
kuliah.
10. Keluarga Besar Persekutuan Oukumene Mahasiswa Kristen Fakultas
Pertanian Universitas Lampung atas kebersamaan yang telah kita jalani
dan selsaikan bersama–sama.
11. Keluarga Besar PERMATEP atas kebersamaan dan ilmu yang telah
diberikan selama penulis menyelsaikan studi.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis baik selama masa studi
maupun dalam penyelsaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan

satu per satu. Terimakasih banyak untuk semuanya, Akhir kata, penulis
menyadari bahwa tulisan sederhana ini masih jauh dari kesempurnaan,
akan tetapi terselip harapan semoga skripsi ini dapat berguna bagi
masyarakat luas. Amin.

Bandar Lampung, Desember 2014
Penulis


Ayub

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dibiayai melalui program Dipa Penelitian a.n. Dr. Ir. Sigit Prabawa,
M.Si. dengan nomor kontrak 1070.B/UN26/4/DT/2014.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

I. PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Biogas adalah campuran dari 60–70% metana dan 30–40% karbondioksida
dengan beberapa hidrogen sulfida, yang dapat terbakar sama dengan bahan bakar
fosil. Penguraian biogas adalah sistem sederhana yang memproduksi biogas,
melalui dekomposisi anaerobic material organik (Culhane, 2010). Biogas
merupakan energi terbarukan yang dapat menggantikan bahan bakar yang berasal
dari fosil seperti gas alam dan minyak tanah. Produksi biogas melibatkan proses

fermentasi yang membutuhkan kondisi tertentu seperti temperatur, pH, dan
keasaman.

Fermentasi berdasarkan substratnya terbagi menjadi fermentasi basah dan
fermentasi kering. Fermentasi basah adalah proses fermentasi bahan organik yang
membutuhkan kandungan bahan kering (TS) bahan kurang lebih 8% dan
membutuhkan pembuburan bahan. Pada daerah yang susah mendapatkan air,
fermentasi basah sulit untuk diterapkan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
fermentasi basah adalah pengadukan, pH, kontrol temperatur, koleksi gas, posisi
digester dan waktu retensi. Pengadukan sangat diperlukan agar produksi gas tidak
terhalang oleh busa yang terbentuk di permukaan (Haryati, 2006).

2

Fermentasi kering tidak membutuhkan banyak air, hasil kompos pun sudah
kering tidak perlu disterilkan/dikeringkan. Tidak seperti fermentasi basah substrat
organik pada fermentasi kering tidak perlu diaduk secara mekanis. Teknologi
penguraian anaerobic dengan fermentasi kering lebih tepat untuk substrat dengan
kandungan TS tinggi, seperti sampah organik, sampah rumah tangga, sampah
makanan, sampah lingkungan, Rumput Gajah, sampai tandan kosong kelapa

sawit. Penguraian anaerobik menggunakan fermentasi kering memberikan
produk akhir yang sama seperti proses fermentasi basah dan memiliki beberapa
keuntungan sebagai berikut: proses penguraian lebih cepat, sisa penguraian lebih
kecil, hemat energi, hemat pekerja dan penguraian kering lebih mudah dikontrol
(Spmultitech, 2011).

Rumput Gajah (elephant grass) atau disebut juga Rumput Uganda (uganda grass)
memiliki nama latin Pennisetum purpureum. Tinggi Rumput Gajah dapat
mencapai 7 meter, berbatang tebal, berbunga seperti es lilin, dan berdaun panjang.
Rumput Gajah dapat dipanen setiap 40 hari dan peremajaan dilakukan 4–6 tahun
setelah tanam (Rukmana, 2005). Waktu pemanenan Rumput Gajah dilakukan
setiap 42 hari, kecuali pada musim kemarau sebaiknya kurang lebih 60 hari.
Produksi hijauan segar yang diamati selama satu tahun di Bogor adalah 525
ton/ha/tahun atau setara dengan 63 ton/ha/tahun berat kering (Lugiyo dan
Sumarto, 2000). Rumput Gajah dapat bertoleransi hidup pada suhu dan tanah
marjinal. Rumput Gajah mudah kita temukan di mana saja, tidak memerlukan
perlakuan khusus untuk membudidayakannya. Purbajanti dkk. (2009),
menyatakan rata-rata bahan kering Rumput Gajah 18,1%. Pada penelitian tim ini
Rumput Gajah yang diteliti, ditanam pada pot dan ada perlakuan perbedaan


3

volume pemberian air. Sedangkan menurut Gooraho dkk.(2005), dalam
penelitiannya mendapatkan rata–rata bahan kering Rumput Gajah 17%. Penelitian
Gooraho dkk., Rumput Gajah diberikan irigasi normal selama masa tanam 60 hari.

Menurut Murphy dan Power (2008), potensi metana dari Rumput Gajah mencapai
0,35 m3/kg bahan organik. Penelitian yang dilakukan oleh Frederiks (2012),
dengan sistem fermentasi basah memperlihatkan produksi biogas dari Rumput
Gajah 105,6 L/kg dengan persentase CH4 58,5%. Frederiks (2012), menjelaskan
biogas adalah sumber energi yang sangat relevan bagi masyarakat negara
berkembang, karena teknologi biogas relatif tidak rumit untuk diaplikasikan,
dapat diterapkan pada skala rumah tangga maupun skala industri. Biogas dapat
digunakan untuk produksi listrik atau bahan bakar memasak.

Biogas selama ini selalu diidentikkan dengan limbah, padahal biogas dari limbah
memiliki beberapa kendala. Kendala yang pertama adalah dari kontuinyuitas
ketersediaan limbah yang digunakan. Jika limbah yang digunakan untuk produksi
biogas suatu hari memiliki nilai ekonomis, maka produsen limbah tersebut akan
lebih memilih untuk menjual limbah tersebut daripada digunakan untuk produksi
biogas. Kendala berikutnya adalah tidak semua wilayah di Indonesia memiliki
limbah yang dapat digunakan untuk produksi biogas. Oleh karena itu produksi
biogas dari non–limbah perlu dilakukan, seperti Rumput Gajah.

Pembuatan biogas dari Rumput Gajah dengan proses fermentasi basah sudah
pernah dilakukan seperti yang dilakukan oleh Frederiks (2012), sedangkan dengan
proses fermentasi kering belum perlah dilakukan. Oleh karena itu penelitian
produksi biogas dari Rumput Gajah melalui proses fermentasi kering penting

4

untuk dilakukan, sehingga dapat memberikan inovasi sumber pemakaian bahan
bakar.

B.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hasil produksi biogas dari Rumput Gajah
dengan proses fermentasi kering.

C.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai:
1. Informasi ilmiah mengenai produksi biogas dari Rumput Gajah melalui
proses fermentasi kering.
2. Referensi ilmiah bagi penulis lain yang ingin melakukan penelitian di
bidang yang sama.

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Biogas

Prinsip terbentuknya biogas adalah fermentasi anaerob bahan organik yang
dilakukan oleh mikroorganisme, sehingga menghasilkan gas yang dapat dibakar.
Biogas merupakan salah satu jenis yang dapat dibuat dari banyak jenis bahan
buangan dan bahan sisa, jerami, kotoran ternak, eceng gondok, sampah serta
banyak bahan-bahan lainnya. Pemanfaatan biogas merupakan salah satu energi
yang perlu diperhatikan.

Energi yang terkandung di dalam biogas tergantung dari kandungan metan dalam
biogas. Semakin tinggi kandungan metan dalam biogas maka semakin tinggi pula
kandungan energi atau nilai kalor.Biogas memiliki nilai kalor yang cukup tinggi,
yaitu kisaran 4800–6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100%) mempunyai
nilai kalor 8900 kkal/m3 (Sutarto dan Feris, 2007).

Metana dalam biogas, bila terbakar akan relatif lebih bersih daripada batubara,
dan menghasilkan energi yang lebih besar dengan emisi karbon dioksidayang
lebih sedikit. Pemanfaatan biogas memegang peranan penting dalammanajemen
limbah karena metana merupakan gas rumah kaca yang lebih berbahayadalam
pemanasan globalbila dibandingkan dengan karbondioksida.

6

Komponen utama biogas adalah gas metan (CH4) dan karbondioksida (CO2),
sedikit kandungan hidrogen sulfurida (H2S), ammonia (NH3), serta hidrogen (H2)
dan nitrogen yang kandungannya sangat sedikit (Sukmana dan Anny, 2011).
Komposisi biogas dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel1.

Komposisi Biogas

No.
1
2
3
4

Komponen
Methan
Karbondioksida
Nitrogen
Hidrogen

Rumus Kimia
CH4
CO2
N2
H2

Jumlah (%)
54–74
27–75
3–5
0–1

5

Karbonmonoksida

CO

0,1

6

Oksigen

O2

0,1

7
Hidrogen Sulfida
Sumber: Sukmana (2011)

H2S

Sedikit

1. Tahap pembentukan biogas

Pembentukan biogas terjadi pada proses anaerob yaitu kedap udara. Pembentukan
biogas terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap hidrolisis, asifikasi dan metanogenesis.

a)

Tahap hidrolisis

Pada tahap hidrolisis terjadi pemecahan polimer menjadi polimer yang lebih
sederhana oleh enzim dan dibantu dengan air. Enzim tersebut dihasilkan oleh
bakteri yang terdapat dari bahan-bahan organik. Bahan organik bentuk primer
dirubah menjadi bentuk monomer. Contohnya lidnin oleh enzim lipase menjadi
asam lemak. Protein oleh enzim protease menjadi peptide dan asam amino.

7

Amilosa oleh enzim amylase dirubah menjadi gula (monosakarida) (Wahyuni,
2011). Tahapan pembentukan biogas terlihat seperti Gambar 1.

b) Tahap pengasaman (asidifikasi)

Pada tahap pengamasaman, bakteri merubah polimer sederhana hasil hidrolisis
menjadi asam asetat, hidrogen (H2) dan karbondioksida (CO2). Untuk merubah
menjadi asam asetat, bakteri membutuhkan oksigen dan karbon yang diperoleh
dari oksigen terlarut yang terdapat dalam larutan. Asam asetat sangat penting
dalam proses selanjutnya, digunakan oleh mikroorganisme untuk pembentukan
metan (Wahyuni, 2011).

c)

Tahap pembentukan gas metan

Pada tahap ini senyawa dengan berat molekul rendah didekomposisi oleh bakteri
metanogenik menjadi senyawa dengan berta molekul tinggi.
Contoh bakteri ini menggunakan asam asetat, hidrogen (H2) dan karbon dioksida
(CO2) untuk membentuk metana dan karbon dioksida (CO2). Bakteri penghasil
metan memiliki kondisi admosfer yang sesuai akibat proses bakteri penghasil
asam. Asam yang dihasilkan oleh bakteri pembentuk asam digunakan oleh bakteri
pembentuk metan. Tanpa adanya peroses simbiotik tersebut, maka akan
menimbulkan racun bagi mikroorganisme penghasil asam (Wahyuni, 2011).

8

Gambar1. Tahapan Pembentukan Biogas (Wahyuni, 2011)

9

2. Faktor-faktor produksi biogas

Ada banyak faktor yang mempengarui produksi biogas, dibawah ini akan
dijelaskan beberapa faktor utama yang mempengarui produksi biogas. Meliputi
temperatur, C/N, derajat keasaman, dan TS.

a)

Temperatur

Temperatur yang baik untuk perkembangbiakan bakteri metanogen adalah antara
20–40 ºC. Temperatur lingkungan di Indonesia temperatur antara 20–30 ºC
sehingga tidak membutuhkan rekayasa, seperti dinegara beriklim
dingin(Wahyuni, 2011).

b) C/N
C/N yang ideal untuk isian digester adalah 25–30. Jika substrat kekurangan usur
N dapat ditambahkan bahan yang banyak kandungan unsur N misalanya urea,
sedangka untuk unsur C misalnya jerami. C/N harus memenuhi syarat ideal yang
ada agar bakteri bisa berkembang secara baik (Wahyuni, 2011).

c)

Total solid (TS)

Setiap bakteri membutuhkan keadaan air yang sesuai untuk pertumbuhanya,
begitu juga bakteri untuk produksi biogas. Bakteri untuk produksi biogas
mengkehendaki TS 7–9%pada fermentasibasah. Untuk proses fermentasikeringTS
dapatlebihbesardari 15%(Wahyuni, 2011).

d) Derajat keasaman
Bakteri berkembang biak pada pH 6,6–7. Bakteri menghendaki pH asam, akan
tetapi tidak lebih dari 6,2 (Wahyuni, 2011).

10

B. Fermentasi Bahan Organik

Secara umum fermentasi dibedakan menjadi fermentsi basah dan fermentasi
kering. Perbedaan mendasar dari fermentasi basah dan fermentasi kering adalah
kadar air bahan yang akan difermentasikan.

1. Fermentasi basah
Fermentasi basah menggunakan bahan organik yang memiliki kadar air lebih
besar dari 75% dan sistem membutuhkan cairan untuk pergerakan bahan organik.
Fermentasi basah membutuhkan masukan bahan organik yang cenderung basah.
Limbah cair yang dihasilkan dari fermentasi basah sampai dengan 70%, hal ini
membutuhkan energi yang besar untuk men-treatment agar tidak mencemari
lingkungan (BIOFerm Energy Systems, 2009).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam fermentasi basah adalah pengadukan,
kontrol temperatur, koleksi gas, posisi digester dan waktu retensi. Pengadukan
sangat diperlukan agar produksi gas tidak terhalang oleh busa yang terbentuk di
permukaan. Limbah sayuran akan menghasilkan banyak busa daripada kotoran
ternak. Pada daerah yang panas, penggunaan atap perlu untuk melindungi
digester agar tidak menghambat produksi gas. Gas akan mengalir melalui valve
yang berada dibagian atas digester (Haryati, 2006).

Digester memiliki fungsi untuk membuat keadaan anaerob, agar proses
fermentasi berlangsung dengan baik. Digester dapat terbuat dari berbagai jenis
bahan dan berbagai ukuran, disesuaikan dengan kebutuhan. Berikut akan dibahas
beberapa desain digester fermentasi basah yang umum digunakan.

11

a)

Digester floating drum

Jashu Bhai Patel J kebangsaan India pada tahun 1956 mengembangkan digester
bentuk drum. Digester bentuk drum secara cepat menjadi populer di India dan di
dunia. Digester ini terdiri dari dua bagian utama yaitu tempat isian dan tempat
penampungan hasil gas. Tempat isian terbuat dari semendan mortar sedangkan
penampung gas terbuat dari baja ringan. Kekurangan dari digester drum ini adalah
biaya investasi yang mahal.Digester floating drum terlihat pada Gambar 2 (FAO,
1996).
Penampungg
as

Pengeluran Gas

Lubang
pengadukan

Lubang
pengeluran

Pipa masukan

Dinding
pemisah

Gambar 2. Digester FloatingDrum (Nurhasanah dkk., 2006).

b) Fixed dome

Fixed Dome dibangun di Cina pada awal tahun 1936, terbuat dari semen dan batu
bata. Digester ini menghilangkan pemakaian baja ringan yang mahal selain itu
baja mudah terkorosi. Tempat isian dan tempat penampungan gas menjadi satu
bagian. Digester fixed dome terlihat seperti Gambar 3 (FAO, 1996).

12

Gambar 3. Digester Fixed Dome (Nurhasanah dkk., 2006).
c)

Tipe balon

Digester ini dikembangkan di Taiwan pada tahun 1960. Digester balon terbuat
dari plastik dan pipa PVC. Tipe ini memecahkan mahalnya investasi
menggunakan batu bata atau semen. Selain itu pemakaian mudah dan mudah
dipindahkan. Namun berdasarkan hasil studi plastik yang dapat digunakan tidak
tersedia diberbagai tempat, terutama di pedesaaan. Digester tipe balon terlihat
seperti Gambar 4 (FAO, 1996)

Gambar 4.

Digester Tipe Balon (FAO, 1996)

13

2. Fermentasi kering

Fermentasi kering pencernaan anaerobik bahan organik yang memiliki kadar air
kurang dari 75%. Tidak ada perlakuan khusus pada bahan sebelum proses
fermentasi kering lakukan. Fermentasi kering tidak memerlukan penambahan
cairan. Fermentasi kering tidak banyak mengkonsumsi energi, hanya
menggunakan 5% dari energi yang dihasilkan untuk mengoperasikan pabrik
(BIOFerm Energy Systems, 2009).

Penguraian anaerobic menggunakan fermentasi kering memberikan produk akhir
yang sama seperti proses fermentasi basah dan memiliki beberapa keuntungan.
Proses penguraian anaerobic dengan fermentasi kering lebih efisien secara energi
dan kerja. Fermentasi kering tidak membutuhkan bahan untuk dipadatkan dengan
banyak air, hasilnya pun kering tidak perlu disterilkan/dikeringkan. Tidak seperti
fermentasi basah substrat organik difermentasi kering tidak perlu diaduk secara
mekanis atau ditekan melalui pipa dan prosesnya tidak terhambat dengan
gangguan di sistem. Dengan ruangan tertutup dan kepadatan udara tinggi reaktor
penguraian anaerobik dengan fermentasi kering tidak akan mengeluarkan aroma
tidak sedap dan kondisi anaerobik dan termopilis direaktornya akan memastikan
produk yang aman dan tersanitasi untuk digunakan sebagai pupuk.

Fasilitas reaktor anaerobik dengan fermentasi kering dapat didesain sedemikian
rupa sehingga terlihat seperti garasi atau lumbung penempatannya bisa
disesuaikan dan dapat ditambah beberapa reaktor (Spmultitech, 2011).Skema
umum Fermentasi keringdapat dilihat pada Gambar 5.

14

Gambar5. Skema Umum Fermentasi Kering(Spmultitech, 2011).
14

15

Sampai beberapa tahun lalu, produksi biogas umumnya menggunakan fermentasi
basah dengan tank-tank besar dan dengan pengaduk mekanik. Teknologi
penguraian anaerobik dengan fermentasi kering lebih tepat untuk substrat yang
lebih yang lebih kering, seperti sampah organik, sampah rumah tangga, sampah
makanan, sampah lingkungan, sampai tandan kosong kelapa sawit. Teknologi
penguraian anaerobik dengan fermentasi kering, mempunyai beberapa
keuntungan: Sisa penguraian lebih kecil; proses penguraian lebih cepat; hemat
energi; hemat pekerja; penguraian kering lebih mudah dikontrol (Spmultitech,
2011).

Sampah rumah tangga sedang diproses untuk meningkatkan jumlah substrat dan
sampah rumah tangga adalah sumber utama sampah organik yang mengeluarkan
biogas atau gas rumah kaca yang turut memberi efek global warming. Kalau
biogas bisa dipanen dan digunakan untuk membangkitkan listrik maka biogas bisa
menjadi sumber penting untuk energi yang dapat diperbaharui. Biogas bukan
hanya membantu menurunkan emisi gas rumah kaca, tetapi juga bisa membantu
penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik (Spmultitech, 2011).

C. Biogas dari Rumput

Energi yang kembali dari per satuan ukuran tanah adalah ukuran indikator yang
penting dalam menentukan bagaimana Irlandia dapat menyesuaikan dalam
program pembuatan biofuel. Dari seluruh lahan pertanian dibutuhkan 6,3% untuk
mencapai target yang diinginkan. Dari seluruh lahan yang digunakan 70% adalah
lahan yang digunakan untuk menanan gandum. Potensi metana dari rumput gajah

16

0,35 m3/kg, bunga matahari 0,22 m3/kg, kulit kentang 0,31 m3/kg, kacang polong
0,39 m3/kg dan gandum 0,34 m3/kg. Di Irlandia 1,6% dari lahan pertanian dapat
menghasilkan 5,57% bahan bakar trasportasi menggunakan biometan yang
terkompresi yang dihasilkan dari rumput atau limbah tanaman (Murphy dan
Power, 2008).

Pada umumnya rumput diurai dengan cara dicampurkan dengan air dan dengan
bahan pertanian lain menggunakan teknologi penguraian anaerobic pada
umumnya tanpa perlakuan khusus. Walaupun begitu operator biogas melaporkan
beberapa masalah yang berkaitan dengan rumput. Rumput cenderung mengapung
dipermukaan air didalam alat pengurainya dan hal tersebut menambahkan biaya
dalam pengadukan. Pengadukan yang terlalu sering mengakibatkan produksi
biogas gagal. Untuk mengurai kemungkinan kegagalan dapat menggunakan
pengaduk hidrolik atau menggunakan fermentasi kering. Walaupun begitu
masalah teknis dan solusinya masih perlu penelitian lebih lanjut (Prochnow dkk.,
2009).

PenelitianVogel dkk. (2009), bertujuan mengoptimalkan proses fermentasi kering
dengan beberapa parameter sehingga dapat meningkatkan hasil produksi dan
menyingkatkan proses fermentasi. Pengaruh dari parameter yang berhubungan
dengan proses ini akan ditentukan dengan menganalisis substrat sisa fermentasi
dan biogas yang dihasilkan. Pada percobaan fermentasi kering menggunakan
volume 25 liter dan untuk fermentasi basah 10 liter. Agar dapat melihat proses
yang terjadi didalam digunakan tangki yang transparan. Pada saat ini 30% dari
lahan pertanian di Jerman adalah rerumputan. Regulasi peraturan pertanian Eropa

17

menyatakan untuk melestarikan lahan rerumputan yang permanen. Hasil
penelitian menunjukan lebih tinggi dari nilai yang ada pada literatur. Biogas yang
dihasilkan dengan sistem fermentasi kering 540–750 dry organic matter
(dom)/kg, pada fermentasi basah senilai 460–640 dom/kg. Biogas yang dihasilkan
yang didapat dari literatur sebesar 420–540 dom/kg dengan sistem fermentasi
kering.

Menurut Hanson dkk. (2000), limbah lingkungan merupakan sumber dari polusi
udara, polusi air dan polusi tanah. Harus ada alternatif pemprosesan limbah ini
untuk mengurai limbah ini dan meminimalkan efek ke-lingkungan. Sistem bio
fermentasi dua fase yang terdiri dari fase solid dan fase metana, sudah digunakan
untuk mengevaluasi produksi metana dari limbah rumput. Limbah rumput
penyumbang terbesar dari limbah lingkungan. Bahan disirkulasikan melalalui fase
solidsampai tercapai level akumulasi volatilfattyacid (VFA) yang diinginkan di
dalam bahan tersebut. Lalu bahan kimia tersebut ditransfer ke-reaktor metana di
mana VFA diubah menjadi metana. Hasilnya menunjukkan bahwa 67% dari VFA
bisa diubah menjadi chemiloxygendemand yang dapat diubah menjadi cair dalam
enam bulan. Proses ini menghasilkan rata-rata 0,15 m3 metana per 1 kg rumput.
Konsentrasi rata-rata metana yang dihasilkan dalam proses ini adalah 71%. Model
matematika sudah dirancang untuk memprediksi konsentrasi metana dan
karbondioksida difase gas sebagai fungsi dari reaktor pengurai.
Reaktor fase solid terdiri dari wadah besi dengan kapasitas 8 m3 dilapisi dengan
45 ml (1 mm) polyethylene. Reaktor memiliki katub masuk dan katub keluar
untuk bahan dan sistem pengairan sprinkleruntuk sirkulasi bahan kimia. Bahan
organik terdiri dari 155 kg rumput dengan berat jenis 24 kg per m3 di taruh

18

didalam kontainer. Rumput tersebut memiliki kelembapan rata-rata 89% per
satuan beratnya. Fase metan terdiri dari dua reaktor dengan tinggi 3,66 m dan Pipa
PVC 30,5 cm untuk keluar masuk bahan. Agar bakteri dapat berkembangbiak
kolom rektor tersebut dilengkapi dengan media inert. Media inert memiliki
porositas 90% dari 190 liter per kolom. Kolom tersebut didesain beroperasi
seperti penyaringan anaerobicbersirkulasi.

Penelitian yang dilakukan Rooney dkk. (2011),membahas tentang sistem batch
dan continouspada fase mesofilik. Proses continous dilakukan dengan pengurai
Armfield digester dengan jangkauan organicloadingrate(OLR) 0,851–1,77 kg
COD per m3 per hari. Efek dari sirkulasi bahan kimia di alat pengurainya diamati
menggunakan OLR yang berbeda dari liquid yang dihasilkan dari rumput. Hasil
ini menunjukkan bahwa ketika OLR, meningkat maka metan berkurang apabila
menggunakan reaktor tanpa sirkulasi dan bertambah apa bila reaktor
menggunakan sirkulasi. Dua tahap secara terus menerus menyuport reaktor
dimana reaktor ini dioptimalkan untuk memberikan kontrol maksimal terhadap
proses biologi dengan cara memisahkan proses hydrolysis dan acidification dari
tahap acetogenesis dan metanogenesis. Bacth rektor diisi lebih dahulu dengan
bahan fermentasinya dan dibiarkan selama beberapa waktu untuk membuat
substratnya mengalami biodegradasi. Contoh paling simpel untuk reaktor batch
ini adalah sistem laboratorium yang digunakan untuk mengukur potenai metana
dari bahan biologis. Penelitian ini malaporkan bahwa rumput bisa menghasilkan
metan berkualitas tinggi hingga 70% dan 80% dari sistem batch dan continous.

19

Penguraian anaerobik adalah metode biologi yang digunakan untuk mengkonversi
limbah organik agar tidak beracun. Biogas yang diproduksi dapat digunakan
sebagai alternatif sumber energi yang dapat diperbaharui. Fermentasi kering (15%
TS) mempunyai keuntungan lebih dari fermentasi basah (10% TS) karena
fermentsi kering dapat menggunakan rektor yang lebih kecil. Fermentasi kering
mengurangi penggunaan air berlebih dan menghasilkan pupuk yang mudah
dibawa. Penguraian anaerobik dari kotoran ternak atau dicampur dengan rumput
diamati dikondisi kering dan thermophailic (15% TS) dan (55 ºC). Campuran dari
tiga kotoran ternak (kotoran babi, kotoran ayam dan kotoran sapi) yang dicampur
dengan rumput. Diurai menggunakan operasi bacth dengan rektor satu liter.
Kotoran babi menunjukan pengurangan 58% volatilsolid selama 30 hari
percobaan. Kotoran sapi dan ayam menunjukan penguranga volatilsolid masing
masing 24% dan 31%. Selama lebih dari 30 hari penguraian kotoran babi
menunjukkan jumlah metana yang paling tinggi sebanyak 0,229 liter CH4 per
gram volatilsolid. Kotoran sapi menunjukan hasil yang kurang bagus yaitu 0,009
liter CH4, dan untuk kotoran ayam 0,02 liter CH4 per gram volatil solid. Hasil ini
mengindikasi bahwa kotoran babi memiliki potensi produksi biogas yang paling
tinggi diantara ketiga kotoran hewan tersebut (Ahn dan Smith, 2008).

D. Anaerobic Co-Digestion

Anaerobic co-digestion adalah proses pencernaan organik lebih dari satu substrat,
untuk menghasilkan biogas. Anaerobic co-digestion diterapkan secara luas untuk
pemanfaatan limbah padat perkotaan. Limbah dengan kandungan lemak tinggi,
secara teoritis berpotensi menghasilkan metan. Namun demikian, meskipun

20

limbah tinggi kandungan lemak, minyak dan limbah tanaman biasanya dibuang di
tempat pembuangan akhir. Undang-undang Eropa bertujuan untuk mendorong
pemanfaatan yang lebih efektif. Dalam penelitian ini, limbah tanaman sebagai cosubstrat dalam anaerobic digestion limbah padat perkotaan pada kondisi suhu
dibawah (37 ºC) . Percobaan Batch dilakukan pada rasio co-digestion yang
berbeda menunjukkan peningkatan produksi metana yang berhubungan dengan
penambahan limbah tanaman. Saat ini telah ditemukan limbah tanaman yang
dibuang dapat menjadi metan, dicampurkan dengan limbah perkotaan (Martín,
2009).

Jha dkk. (2012), menyebutkan produksi biogas dari kotoran sapi mencapai 44,10
liter/kg. Sedangkan dengan campuran mikroba dapat mecapai 47,56 liter/kg.
Metan yang dihasilkan 25,21 liter/kg dan 26,72 liter/kg pada perlakuan kotoran
sapi dan kotoran sapi dengan campuran. Kotoran sapi yang digunakan memiliki
Total Solid16,28%, Volatil Solid 130,21 gram, dan C/N25%. Reaktor yang
digunakan sistem batch, volume 3,6 liter dengan volume efektif 3 liter. Produksi
biogas sampai dengan 35 hari, dengan suhu rektor 35 ºC.

Li dkk.( 2011), membuktikan bahwa fermentasi kering sudah layak digunakan
untuk sumber penghasil energi terbarukan dan menghasilkan pupukorganik.
Fermentasi kering kotoran sapi murni dan sluge, dalam rasio campuran yang
berbeda dilakukan pada temperatur 35 ºC. Penelitian yang dilakukan skala
laboratoruim selama 63 hari. Produksi biogas diperoleh dengan rasio kotoran sapi
murni dan sluge 1:0, 4:1, 3:2, 2:3, 1:4, dan 0:1 adalah 56,94 liter/kg, 58,51
liter/kg, 61,64 liter/kg, 63,12 liter/kg, 59,30 liter/kg, dan 55,39 liter/kg, dengan

21

komposisi metan 32,01 liter/kg, 33,14 liter/kg, 35,31 liter/kg, 36,91 liter/kg, 34,76
liter/kg, dan 32,63 liter/kg. Hasil menunjukkan dengan pencampuran bahan dapat
meningkatkan gas metan hingga 3,11–13,99%. Hal ini karena pengaruh nutrisi
yang seimbang dan peningkatan kapasitas peyangga.

Ratnaningsih dan Yananto (2009),memanfaatkan sampah organik segar agar
lebih bernilai. Sampah organik segar dicampur dengan kotoran sapi perah menjadi
biogas dalam skala laboratorium, dimasukan dalam reaktor sistem batch. Sampah
organik yang berumur tiga hari dihaluskan lalu dilarutkan denagan aquades
dengan perbandingan 1:1, begitu juga dengan kotoran sapi. Komposisi campuran
kotoran sapi dan sampah organik diberagamkan menjadi lima yaitu (1:0; 3:1; 1:1;
1:3; 0:1) agar mendapatkan komposisi yang terbaik. Volume bahan penelitian 4
liter dan waktu pengamatan selama 24 hari, selanjutnya analisis menggunakan
metode regresi. Parameter yang diamati perhari yaitu: C/N, pH isian, BOD/COD,
TS, serta komposisi gas. Komposisi campuran 1:1 berdasarkan penelitian adalah
campuran terbaik yaitu 1,03 liter biogas per liter bahan 12 L/kg TS (C/N 9,7)
kandungan metanya sebesar 11,57%.

E. Rumput Gajah (Pennisetum purpureum)

Rumput Gajah memiliki beberapa varietas, antara lain varietas Afrika dan
Hawai:
1. Varietas Afrika ditandai dengan daun dan batang kecil, berbunga, tumbuh
tegak dan produksi lebih rendah dari pada varietas Hawai.
2. Varietas Hawai ditandai daun dan batang lebar, pertumbuhan rumpun sedikit
melebar, berbunga dan produksi cukup tinggi (Rukmana, 2005).

22

Produksi bahan kering Rumput Gajah varietas Hawai mencapai 6,3 kg/m2/tahun
atau 63 ton/ha/tahun dan Rumput Gajah varietas Afrika 4 kg/m2/tahun atau 40
ton/ha/tahun (Yohanis dkk., 2013). Karakteristik dari Rumput Gajah dapat dilihat
pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Rumput Gajah
No

Komponen

Satuan

Nilai

1

Kadar air

%

85,97

2

Volatil Solid (VS)

% basis kering

86,96

3

chemcal oxygen demand (COD)

g/kg kering

1,067

4

Karbon

% basis kering

42,3

6

Nitrogen

% basis kering

0,96

9

Sellulosa

% basis kering

35,33

% basis kering

8,86

10
Lemak
Sumber:Nuntiyadkk., 2009.

Rumput Gajah dapat digunakan sebagai tanaman hias, telah banyak ditanam
untuk penahan angin dan masih direkomendasikan sebagai rumput hijauan yang
sangat produktif. Rumput Gajah memiliki tampilan seperti tebu, tetapi memiliki
daun yang lebih sempit.Biji Rumput Gajah dapat disebarkan dengan angin, air,
pakaian, melekat pada bulu, dan kendaraan (DAFF, 2014).

Rumput Gajah sebagian besar dimanfaatkan sebagai pakan ternak, selain itu
sebagai bahan ransum pakan ternak yang memiliki persentasi besar ransum
tersebut (Lugiyo dan Sumarto, 2000).

23

Penelitian yang telah dilakukan oleh Flores dkk. (2012) memperlihatkan C/N
rata–rata dari Rumput Gajah yaitu 37,3. Flores dkk. (2012) memberikan
perlakuan pada penanaman Rumput Gajah yaitu pemberian pupuk nitrogen
sebesar 100 kg/ha dan 0 kg/ha. Pada perlakuan pemberian pupuk nitrogen 100
kg/ha C/N pada varietas Paraiso dan Roxo yaitu 37,0 dan 35,6 sedangkan
pemberian pupuk nitrogen 0 kg/ha varietas Paraiso dan Roxo yaitu 39,1 dan 37,5.

24

III. METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat

Penelitian telah dilakukan pada bulan Juni sampai dengan September 2014.
Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Daya, Alat, dan Mesin Pertanian,
Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Bandarlampung.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rumput Gajah varietas Hawai
yang diperoleh dari Dinas Peternakan Kabupaten Pesawaran.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitudrum plastik ukuran 220 liter yang
digunakan sebagai digester, selang, galon volume 19 liter sebagai penampung gas
hasil produksi, pompa 60 watt, panel buka tutup, timbangan, kamera digital, dan
alat tulis.

C. Prosedur Penelitian

Secara garis besar prosedur penelitian dapat dilihat pada diagram alir berikut:

25

Mulai

Persiapan bahan baku

Persiapan komponen
digester
Pembuatan
digester

Rumput
Gajah

Pencampuran

Proses fermentasi
kering

Biogas

Pengukuran: gas dan
temperatur

Selesai

Gambar1. Diagram Alir Penelitian

Kotoran
sapi

26

a) Drum plastik ukuran 220 liter yang telah disiapkan sebagai tabung digester
dibersihkan terlebih dahulu kemudian dikeringkan.
b) Tutup drum plastik dibuat dengan skema buka tutup agar mudah untuk
memasukkan bahan baku isian.
c) Membuat bak penopang yang berlubang kecil-kecil, yangdiletakkan di atas
plastik PVC penopang setinggi 25 cm dari dasardrum plastik. Diberi
penopang setinggi ini dimaksudkan agar bahan tidak terendam dengan air
yang akan digunakan untuk mempertahankan kelembaban bahan.
d) Membuat lubang pada sisi untuk meletakkan katup, yang akan digunakan
untuk mengalirkan gas hasil produksi, mengalirkan air, dan memompa
keluar kembali air.Digester yang akan dirancang terlihat seperti Gambar 7.

2. Persiapan bahan baku dan memasukkan ke dalam digester

a) Bahan baku berupa Rumput Gajah dan kotoran sapi.
b) Rumput Gajah dicacah kasar agar mudah dimasukkan ke-dalam drum
plastik.
c) Rumput Gajah yang sudah dicacah dicampur dengan kotoran sapi, diadukaduk hingga homogen.
d) Bahan baku yang telah siap digunakan dimasukkan ke-dalam drum plastik
digester.
e) Setelah itu, drum plastikdigester ditutup rapat dan divakumkan.
f) Selang yang untuk pengukur produksi biogas dihubungkan pada galon 19
liter.

27
Katub untuk
mengalirkan gas

Katub untuk
mengalirkan air
Lubang kecil
Bak

65 cm

Bak Penopang
isian
25 cm
Katub untuk
mengeluarkan air
50 cm
Gambar 2. Digester Yang Digunakan pada Penelitian
g) Bahan baku didalam drum plastik disemprot menggunakan air secara
periodik setiap dua hari sekali, air yang digunakan sekali semprot
sebanyak 10 liter. Penyemprotan dimaksudkan untuk mempertahankan
kelembaban bahan, bukan untuk mencairkan bahan. Penyemprotan
menggunakan pompa 60 watt. Skema yang akan digunakan pada
penelitian seperti pada Gambar 8.

28

Pengukur gas
Digester
Pompa 60 watt
Penampung air
Gambar 8. Skema Yang Akan Digunakan pada Penelitian

D. Perlakuan

Pada penelitian ini dilakukan 3 perlakuan dengan tanpa pengulangan dengan
perbandingan antara bahan baku isian dan kotoran sapi seperti pada Tabel 3.

Tabel1.

Perlakuan dan Perbandingan Bahan Baku Isian
Perlakuan
A
B
C

Perbandinganantarabahan baku
isiandankotoran sapi
3:1
4:1
5:1

E. Parameter Pengukuran

Parameter yang dinilai pada penelitian ini adalah:
1. Volume gas harian dan kumulatif
Volume gas diamati setiap hari. Berapa volume gas yang dihasilkan dapat dilihat
dari botol pengukur volume gas. Pengukuran volume gas dimulai dari awal gas
dihasilkan sampai pada gas tidak dihasilkan lagi.

29

2. Lama produksi gas
Lama produksi gas diamati dari gas pertama dihasilkan sampai gas tidak
dihasilkan lagi.

3. Produktivitas gas

Produktivitas gas adalah produksi gas (PG) total yang dihasilkan dibagi dengan
bahan isian. Bahan isian disampaikan berdasarkan bahan basah dan bahan kering
(TS). Produktivitas gas dapat dicari dengan menggunakan persamaan berikut:
PG =

......... (1)

4. Temperatur
Temperatur diamati setiap pagi, siang, dan sore hari. Temperatur yang diukur
adalah temperatur lingkungan dan temperatur reaksi.

5. Uji Nyala
Biogas yang dihasilkan dilakukan uji nyala menggunakan api.

F. Analisis Data

Data-data hasil pengamatan akan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan produksi
biogas dengan perbandingan campuran Rumput Gajah dan kotoran sapi 3:1
(A); 4:1 (B), dan 5:1 (C) berurut-urut yaitu 204 liter, 258 liter, dan 241,3 liter
selama 25 hari dengan produksi rata–rata perlakuan A, B, dan C yaitu 8,53
L/hari, 10,75 L/hari, dan 10,05 L/hari.
2. Perbandingan campuran Rumput Gajah dan kotoran sapi 4:1 (B) adalah
perlakuan terbaik untuk produksi biogas melalui fermentasi kering.

B. Saran

Perlu penambahan bahan yang memiliki nilai nitrogen yang tinggi agar C/N
sesuai untuk produksi biogas, seperti pupuk urea. Hal lain yang dapat dilakukan
adalah dengan menambahkan bahan yang memiliki C/N yang rendah seperti
kotoran unggas atau urin sapi.

DAFTAR PUSTAKA

Ahn, H.K dan M.C. Smith. 2008. Biogas Production Potensial from Switch GrassAnimal Manure Mixture Using Dry Anaerobic Digestion. An ASABE
Meeting Presentation. Rhode Island. June 29–July 2.
BIOFerm Energy Systems. 2009. Dry Fermentation vs. Wet Fermentation.
Madison.
Culhane, T.H. 2010. Biogas Digester. Tamera. Valerio Marazzi. 16 hlm.
Department of Agriculture Fisheries and Forestry (DAFF). 2014.Elephant grass

Pennisetum purpureum. The State of Queensland.
Flores, R. A., S. Urquiaga, B. J. R. Alves, L. S. Collier, and R. M. Boddey. 2012.
Yield and Quality of Elephant Grass Biomass Produced in The Cerrados
Region for Bioenergy. Jaboticabal. 32. 831–839.
Frederiks, B. 2012. Biogas Tests with Elephant Grass (Pennisetum purpureum)
and Guatemala Grass (Tripsacum laxum). FACT Foundation. Netherlands.
Food and Agricultural Organization (FAO). 1996. Biogas Technology : A
Training Manual For Extension. Nepal.
Goorahoo, D., F, Cassel S., D. Adhikari, and M. Rothberg. 2005. Update on
Elephant Grass Research and Its Potential As A Forage Crop. California
Alfalfa and Forage Symposium. Visalia. 12-14 Desember.
Hanson, A., H.W. Yu, Z. Samani, and G. Smith. 2010. Energy Recovery from
Grass Using Two-Phase Anaerobic Digestion. Waste Management. 22. 1–5.
Haryati, T. 2006. Biogas: Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi
Alternatif. Wartazoa. 16. 160–169.
Jha, A. K., J. Li, Q. Ban, L. Jhang, and B. Jhao. 2012. Dry Anaerobic Digestion of
Cow Dung for Methan Production : Effect of Mixing. Pakistan Jurnal of
Biological Sciences. 23. 1111–1118.

40

Li, J., A. K. Jha, D. Jungou, B. QiaoYing, C. Sheng, and W. Peng. 2011.
Assessment of the effects of dry anaerobic co-digestion of cow dung with
waste water sludge on biogas yiled and biodegradability. International
Journal of Physical Sciences. 6. 3679–3688.
Lugiyo dan Sumarto. 2000. Teknik Budidaya Rumput Gajah CV Hawai
(Pennisetum purpureum). Temu Teknis Fungsional non Peneliti. Bogor. 5
September.
Martín, L.G., L.F. Colturato, X. Font, and T. Vicent. 2010. Anaerobic codigestion of the organic fraction of municipal solid waste with FOG waste
from a sewage reatment plant: Recovering a wasted methane potential and
enhancing the biogas yield. Waste Management. 30. 1854–1859.
Murphy, J.D. dan N.M. Power. 2008. An Argument for Using Biomethana
Generated from Grass as a Biofuel in Ireland. Biomass & Bioenergy.33.504512.
Nurhasanah, A., T. W. Widodo, A. Asari, dan E. Rahmarestia. 2006.
Perkembangan Digester Biogas di Indonesia. Balai Besar Pengembangan
mekanisasi Pertanian. Serpong.
Nuntiya, P., A. Nopharatana, and W. Songkasiri. 2009. Bio-Methane Potential of
Biological Solid Materials and AgriculturalWastes. Asian Journal onEnergy
and Environment. 10. 19–27.
Prochnow, A., H. Heiermann, M. Plochl, B. Linke, C. Idler, T. Amon, and P.J.
Hobbs. 2009. Bioenergy from Permanent Grassland – A Review: 1. Biogas.
Bioresource Technology. 100. 4931–4944.
Purbajanti, E., S. Anwar, S. Widyati, dan F. Kusmiyati. 2009. Kandungan Protein
dan Serat Kasar Rumput Benggala (Panicum Maximum) dan Rumput Gajah
(Pennisetum Purpureum ) pada Cekaman Stres Kering. Animal Production.
2. 109–115.
Ratnaningsih, H.W. dan T. Yananto. 2009. Potensi Pembentukan Biogas pada
Proses Biodegradasi Campuran Sampah Organik Segar dan Kotoran Sapi
dalam BatchReaktor Anaerob. Teknologi Ligkungan. 5.1.
Rukmana, R. 2005. Budi Daya Rumput Unggul. Kasinus. Yogyakarta. 84 hlm.
Rooney, D., J.A. Dahrieh, A. Orozco, and E. Groom. 2011. Bacth and Continuous
Biogas Production from Grass Silage Liquor. Bioresource Technology. 102.
10922–10928.
Spmultitech. 2011. Biogas Fermentasi kering Using German Technologi.
Selangor.

41

Sukmana, R.W. dan M. Anny. 2011. Biogas dari Limbah Ternak.Nuansa.
Bandung. 158 hlm.
Sutarto dan F. Feris. 2007.Analisis Prestasi Produksi Biogas (CH4) dari
Polyethilene Biodigester Berbahan Baku Limbah Ternak Sapi. LOGIKA.
4. 1410– 2315.
Vogel, T., M. Ahlhaus, and M. Barz. 2009. Optimisation of Biogas Production
from Grass by Dry-Wet Fermentation. Engineering for Rural Development
Jelgava. 28–29 Mei 2009.
Wahyuni, S. 2011. Menghasilkan Biogas dari Aneka Limbah. PT AgroMedia
Pustaka, Jakarta. 104 hlm.
Yohanis, D.S., B. Santoso, dan M. N. Lekitoo. 2013. Produksi Rumput Gajah
(Pennisetum purpureum) yang dipupuk N, P, K dengan dosis 0,50 dan
100% pada Devoliasi ke–45. Sains Peternakan. 11. 49–55.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi (Urine Dan Feses) Dan Interval Pemotongan Terhadap Produksi Dan Kualitas Rumput Gajah (Pennisetum Purpureum)

13 133 77

PRODUKSI BIOGAS DARI CAMPURAN KOTORAN SAPI DENGAN RUMPUT GAJAH (Pennisetum Purpureum)

0 12 57

Pengaruh Pretreatment Basa pada Produksi Bioetanol dari Rumput Gajah (Pennisetum purpureum)

0 4 14

Pengaruh Asam pada Proses Pretreatment untuk Produksi Bioetanol dari Rumput Gajah (Pennisetum purpureum)

0 3 14

PEMBUATAN ETANOL DARI RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum schumach) MENGGUNAKAN METODE HIDROLISIS ASAM DAN FERMENTASI Saccharomyces cerevsiae.

4 22 20

KARAKTERISTIK KERTAS SENI DARI RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum) DENGAN PENAMBAHAN Karakteristik Kertas Seni Dari Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) Dengan Penambahan Konsentrasi NaOh Dan Pewarna Yang Berbeda.

0 0 15

KARAKTERISTIK KERTAS SENI DARI RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum) DENGAN PENAMBAHAN Karakteristik Kertas Seni Dari Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) Dengan Penambahan Konsentrasi NaOh Dan Pewarna Yang Berbeda.

0 2 13

102 PEMBUATAN MIKROKRISTALIN SELULOSA DARI BATANG RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum Schumach)

0 0 10

PRODUKSI BIOGAS DARI CAMPURAN KOTORAN SAPI DENGAN RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum) [PRODUCTION OF BIOGAS FROM A MIXTURE OF COWDUNG AND ELEPHANT GRASS (Pennisetum purpureum)]

0 0 8

PRODUKSI BIOGAS DARI CAMPURAN KOTORAN SAPI DENGAN RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum) [PRODUCTION OF BIOGAS FROM A MIXTURE OF COWDUNG AND ELEPHANT GRASS (Pennisetum purpureum)]

0 0 8