Pengaruh Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi (Urine Dan Feses) Dan Interval Pemotongan Terhadap Produksi Dan Kualitas Rumput Gajah (Pennisetum Purpureum)

(1)

PENGARUH PEMBERIAN KOTORAN KELINCI

FERMENTASI (URINE DAN FESES) DAN INTERVAL

PEMOTONGAN TERHADAP PRODUKSI DAN

KUALITAS RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum)

SKRIPSI

FHINKA NATALYA SIHOMBING 090306031

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PENGARUH PEMBERIAN KOTORAN KELINCI

FERMENTASI (URINE DAN FESES) DAN INTERVAL

PEMOTONGAN TERHADAP PRODUKSI DAN

KUALITAS RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum)

SKRIPSI

FHINKA NATALYA SIHOMBING 090306031

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Judul Skripsi : Pengaruh Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi (Urine dan Feses) dan Interval Pemotongan terhadap Produksi dan Kualitas Rumput Gajah (Pennisetum purpureum)

Nama : Fhinka Natalya Sihombing

NIM : 090306031

Program Studi : Peternakan

Disetujui oleh: Komisi Pembimbing

(Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt., M.Si) (Ir. Iskandar Sembiring, MM)

Ketua Anggota

Mengetahui,

(Dr.Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si) Ketua Program Studi Peternakan


(4)

ABSTRAK

FHINKA NATALYA SIHOMBING, 2014: “PENGARUH PEMBERIAN KOTORAN KELINCI FERMENTASI (URINE DAN FESES) DAN

INTERVAL PEMOTONGAN TERHADAP PRODUKSI DAN

KUALITAS PENNISETUM PURPUREUM. Dibimbing oleh NEVY

DIANA HANAFI dan ISKANDAR SEMBIRING.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian kotoran

kelinci fermentasi (urine dan feses) terhadap produksi dan kandungan nutrisi

Pennisetum purpureum, melihat pengaruh interval pemotongan terhadap produksi dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum dan melihat interaksi antara interval pemotongan dan kotoran kelinci fermentasi terhadap produktivitas dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum. Penelitian dilaksanakan di Lahan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2013. Rancangan yang dipakai dalam penelitian adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design). Perlakuan terdiri dari 2 faktor yaitu faktor I: Interval Pemotongan (A), yaitu dari A1= 4 minggu dan A2= 6 minggu. Faktor II: Dosis urine dan feses kelinci fermentasi (P), yaitu: P0 = 0 ml , P1: 50 ml (1 ton/ha), P2 = 100 ml (2 ton/ha) dan P3 = 150 ml (3 ton/ha). Parameter yang diteliti adalah tinggi tanaman, jumlah anakan, produksi segar, produksi bahan kering, protein kasar, serat kasar dan energi bruto.

Hasil penelitian diperoleh bahwa perlakuan produksi tertinggi dari anak petak terdapat pada perlakuan P3 yaitu pemberian dosis kotoran kelinci fermentasi 150 ml dengan hasil rataan tinggi tanaman (85,32 cm), jumlah anakan (14,47 rumpun), produksi segar (1212,8 kg/ha) dan produksi bahan kering (11588,8 kg/ha), faktor interval pemotongan sebagai petak utama diperoleh bahwa kandungan nutrisi Pennisetum purpureum yang paling baik adalah pada pemotongan 4 minggu, yaitu protein kasar (10,54%), serat kasar (26,25%) dan energi bruto (4,61 K.cal) dan terdapat interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi terhadap produksi dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum.

Kata kunci: Pennisetum purpureum, Kotoran Kelinci, Fermentasi, Produktivitas, Kualitas


(5)

ABSTRACT

FHINKA NATALYA SIHOMBING, 2014: "EFFECT OF RABBIT

DROPPINGS FERMENTATION (URINE AND FECES) AND CUTTING INTERVAL FOR PRODUCTION AND QUALITY OF PENNISETUM PURPUREUM ". Under supervised by NEVY DIANA HANAFI and

ISKANDAR SEMBIRING.

This study aimed to examine the effect of fermented rabbit droppings ( urine and feces ) on production and nutrient content of Pennisetum

purpureum , looking at the effect of cutting interval on production and nutrient content of Pennisetum purpureum and look at the interaction between cutting intervals and rabbit droppings fermentation on productivity and nutrient content of grass elephant . The experiment was conducted at the Agricultural Faculty, North Sumatera University in August to December 2013. The design used in the study is the design of Compartments Divided ( Split Plot Design ) . Treatment consisted of 2 factors, the first factor : Cutting Interval ( A ) , namely A1= 4 weeks and A2= 6 weeks. Factor II :

Dose rabbit droppings fermentation ( P ) , namely : P0 = 0 ml , P1 = 50 ml (1 t/ha), P2= 100 ml (2 t/ha) and P3 = 150 ml (3 t/ha) . The

parameters studied were plant height , number of tillers , fresh production , production of dry matter , crude protein , crude fiber and gross energy.

The results showed that the highest production of subplot that is contained in P3 treatment dose of 150 ml of fermented rabbit droppings

with the results of the average plant height ( 85.32 cm ) , number of tillers ( 14.47 clumps ) , fresh produce ( 1212.8 kg / ha ) , and production of dry

matter ( 11588.8 kg / ha ) , cutting interval factor as the main plot shows that the nutrient content of Pennisetum purpureum is best at cutting 4 weeks

is crude protein ( 10.54 % ) , crude fiber ( 26.25 % ) and gross energy ( 4.61 K.cal ) and there is interaction between the cutting and dosing

interval rabbit dung fermentation on production and nutrient content of Pennisetum purpureum.

Keywords: Pennisetum purpureum, rabbit droppings, fermentation, productivity, quality


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sidikalang pada tanggal 24 Desember 1989 dari Ayah Jonny Sihombing dan Ibu Bernawati Pasaribu. Penulis merupakan Puteri pertama dari empat bersaudara.

Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sidikalang dan pada tahun 2009 masuk ke Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui ujian tertulis Ujian Masuk Bersama (UMB).

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Peternakan (IMAPET), anggota Ikatan Mahasiswa Kristen Peternakan (IMAKRIP) menjabat sebagai anggota bidang Pendidikan, Pengembangan dan Pelatihan periode 2011-2012, anggota Ikatan Mahasiswa Dairi (IMADA), pemenang juara 1 lomba BIG IDEA COMPETITION SEC USU pada tahun 2011 dan penulis pernah menjadi asisten praktikum Dasar Ternak Perah.

Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Sipiso-piso Desa Situnggaling, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo bulan Juli sampai Agustus 2012.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi (Urine dan Feses) dan Interval Pemotongan terhadap Produksi dan Kualitas Rumput Gajah (Pennisetum purpureum)”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua atas doa, semangat dan pengorbanan materil maupun moril yang telah diberikan

selama ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Nevy Diana Hanafi. S.Pt, M.Si selaku ketua komisi pembimbing

dan Bapak Ir. Iskandar Sembiring, MM selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Juga kepada Bapak Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si dan Bapak Hamdan, S.Pt, M.Si selaku dosen penguji saya yang telah

memberikan berbagai masukan kepada penulis.

Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua civitas akademika di Program Studi Peternakan serta semua rekan mahasiswa yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Hijauan Makanan Ternak ... 5

Deskripsi Tanaman Rumput Gajah ... 6

Kebutuhan Unsur Hara bagi Tanaman. ... 9

Pemupukan ... 11

Kotoran Kelinci (Urine dan Feses) ... 12

Fermentasi Urine... ... 13

Defoliasi dan Interval Pemotongan Rumput ... 15

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

Bahan dan Alat Penelitian ... 18

Bahan ... 18

Alat ... 18

Metode Penelitian ... 18

Parameter Penelitian ... 20

Pertumbuhan Tinggi Tanaman Pennisetum purpureum ... 20

Jumlah Anakan tanaman Pennisetum purpureum ... 20

Produksi Segar Pennisetum purpureum ... 20

Produksi Bahan Kering Pennisetum purpureum ... 21

Kandungan Nutrisi Pennisetum purpureum ... 21

Pelaksanaan Penelitian ... 22


(9)

Fermentasi Kotoran Kelinci ... 23

Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi ... 23

Pemotongan Rumput Gajah ... 24

Pengambilan Data ... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

Produksi Segar Rumput Gajah (kg/ha) ... 25

Produksi Bahan Kering Rumput Gajah (kg/ha) ... 29

Tinggi Tanaman Rumput Gajah (cm) ... 33

Jumlah Anakan Rumput Gajah (Rumpun) ... 37

Protein Kasar Rumput Gajah (%) ... 40

Serat Kasar Rumput Kasar (%) ... 43

Energi Bruto Rumput Gajah (K.cal) ... 45

KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

Kesimpulan ... 48

Saran ... 48


(10)

DAFTAR TABEL

No. ... Hal 1. Analisa Kadar Protein Kasar dan Serat Kasar berbagai Jenis Hijauan

Makanan Ternak ... 7 2. Kandungan Zat Hara Beberapa Kotoran Ternak Padat dan Cair ... 13 3. Rataan Produksi Segar Pennisetum purpureum Selama Penelitian (kg/ha) .... 25 4. Rataan Produksi Bahan Kering Pennisetum purpureum (kg/ha) ... 30 5. Rataan Tinggi Tanaman Pennisetum purpureum Selama Penelitian (cm) ... 34 6. Rataan Jumlah Anakan Pennisetum purpureum Selama Penelitian (anakan) 37 7. Rataan Kandungan Protein Kasar Pennisetum purpureum (%) ... 41 8. Rataan Kandungan Serat Kasar Pennisetum purpureum Selama

Penelitian (%) ... 43 9. Rataan Energi Bruto Rmput Gajah Selama Penelitian (K.cal) ... 46


(11)

DAFTAR GAMBAR

No Hal.

1. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap

Produksi Segar Pennisetum purpureum ... 26 2. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan

Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap Produksi Segar

Pennisetum purpureum ... 27 3. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap

Produksi Bahan Kering Pennisetum purpureum ... 30 4. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan

Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap Produksi Bahan Kering

Pennisetum purpureum ... 32 5. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap

Tinggi Tanaman Pennisetum purpureum ... 34 6. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan

Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap Tinggi Tanaman

Pennisetum purpureum ... 36 7. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap

Jumlah Anakan Pennisetum purpureum ... 38 8. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan

Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap Jumlah Anakan

Pennisetum purpureum ... 39 9. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan

Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap Kandungan Protein

Kasar Pennisetum purpureum ... 42 10.Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan

Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap Kandungan Serat Kasar

Pennisetum purpureum ... 44 11.Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan

Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap Energi Bruto


(12)

ABSTRAK

FHINKA NATALYA SIHOMBING, 2014: “PENGARUH PEMBERIAN KOTORAN KELINCI FERMENTASI (URINE DAN FESES) DAN

INTERVAL PEMOTONGAN TERHADAP PRODUKSI DAN

KUALITAS PENNISETUM PURPUREUM. Dibimbing oleh NEVY

DIANA HANAFI dan ISKANDAR SEMBIRING.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian kotoran

kelinci fermentasi (urine dan feses) terhadap produksi dan kandungan nutrisi

Pennisetum purpureum, melihat pengaruh interval pemotongan terhadap produksi dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum dan melihat interaksi antara interval pemotongan dan kotoran kelinci fermentasi terhadap produktivitas dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum. Penelitian dilaksanakan di Lahan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2013. Rancangan yang dipakai dalam penelitian adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design). Perlakuan terdiri dari 2 faktor yaitu faktor I: Interval Pemotongan (A), yaitu dari A1= 4 minggu dan A2= 6 minggu. Faktor II: Dosis urine dan feses kelinci fermentasi (P), yaitu: P0 = 0 ml , P1: 50 ml (1 ton/ha), P2 = 100 ml (2 ton/ha) dan P3 = 150 ml (3 ton/ha). Parameter yang diteliti adalah tinggi tanaman, jumlah anakan, produksi segar, produksi bahan kering, protein kasar, serat kasar dan energi bruto.

Hasil penelitian diperoleh bahwa perlakuan produksi tertinggi dari anak petak terdapat pada perlakuan P3 yaitu pemberian dosis kotoran kelinci fermentasi 150 ml dengan hasil rataan tinggi tanaman (85,32 cm), jumlah anakan (14,47 rumpun), produksi segar (1212,8 kg/ha) dan produksi bahan kering (11588,8 kg/ha), faktor interval pemotongan sebagai petak utama diperoleh bahwa kandungan nutrisi Pennisetum purpureum yang paling baik adalah pada pemotongan 4 minggu, yaitu protein kasar (10,54%), serat kasar (26,25%) dan energi bruto (4,61 K.cal) dan terdapat interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi terhadap produksi dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum.

Kata kunci: Pennisetum purpureum, Kotoran Kelinci, Fermentasi, Produktivitas, Kualitas


(13)

ABSTRACT

FHINKA NATALYA SIHOMBING, 2014: "EFFECT OF RABBIT

DROPPINGS FERMENTATION (URINE AND FECES) AND CUTTING INTERVAL FOR PRODUCTION AND QUALITY OF PENNISETUM PURPUREUM ". Under supervised by NEVY DIANA HANAFI and

ISKANDAR SEMBIRING.

This study aimed to examine the effect of fermented rabbit droppings ( urine and feces ) on production and nutrient content of Pennisetum

purpureum , looking at the effect of cutting interval on production and nutrient content of Pennisetum purpureum and look at the interaction between cutting intervals and rabbit droppings fermentation on productivity and nutrient content of grass elephant . The experiment was conducted at the Agricultural Faculty, North Sumatera University in August to December 2013. The design used in the study is the design of Compartments Divided ( Split Plot Design ) . Treatment consisted of 2 factors, the first factor : Cutting Interval ( A ) , namely A1= 4 weeks and A2= 6 weeks. Factor II :

Dose rabbit droppings fermentation ( P ) , namely : P0 = 0 ml , P1 = 50 ml (1 t/ha), P2= 100 ml (2 t/ha) and P3 = 150 ml (3 t/ha) . The

parameters studied were plant height , number of tillers , fresh production , production of dry matter , crude protein , crude fiber and gross energy.

The results showed that the highest production of subplot that is contained in P3 treatment dose of 150 ml of fermented rabbit droppings

with the results of the average plant height ( 85.32 cm ) , number of tillers ( 14.47 clumps ) , fresh produce ( 1212.8 kg / ha ) , and production of dry

matter ( 11588.8 kg / ha ) , cutting interval factor as the main plot shows that the nutrient content of Pennisetum purpureum is best at cutting 4 weeks

is crude protein ( 10.54 % ) , crude fiber ( 26.25 % ) and gross energy ( 4.61 K.cal ) and there is interaction between the cutting and dosing

interval rabbit dung fermentation on production and nutrient content of Pennisetum purpureum.

Keywords: Pennisetum purpureum, rabbit droppings, fermentation, productivity, quality


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Makanan yang cukup baik kuantitas maupun kualitasnya diperlukan ternak untuk hidup, berproduksi dan berkembang biak. Kelangsungan penyediaan hijauan makanan ternak sangat diperlukan bagi herbivora pada umumnya dan ternak ruminansia khususnya. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan spesies dan leguminosa untuk hijauan makanan ternak adalah produktivitas, palatabilitas, nilai gizi dan daya adaptasi tanaman terhadap keadaan tanah dan iklim.

Pemupukan yang efektif dapat dilihat dari jumlah dosis pupuk yang diberikan dan unsur hara yang terkandung dalam pupuk. Pemupukan dapat dilakukan dalam bentuk pupuk organik maupun anorganik. Pupuk kandang merupakan salah satu bentuk pupuk organik yang dapat digunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah. Sebagai bahan organik dalam tanah, pupuk kandang selain berperan sebagai unsur hara meskipun dalam jumlah sedikit, juga memperbaiki sifat fisik tanah dan kimia tanah.

Pupuk organik terdiri atas pupuk organik padat yaitu kotoran padat (feses) ternak dan pupuk organik cair yang berasal dari urine ternak tersebut. Pemanfaatan urine ternak masih relatif kurang dalam penggunaannya sebagai pupuk. Pupuk cair mudah disiapkan dan sangat berguna untuk banyak hal, termasuk pembenihan, tumbuhan kecil, tanaman buah - buahan dan tanaman -tanaman besar lainnya. Ini merupakan suatu cara yang baik untuk membuat pupuk kaya akan unsur hara, dari pupuk kandang dan bahan-bahan organik lainnya dalam jumlah kecil. Pupuk cair


(15)

dapat dengan mudah disemprotkan pada lahan -lahan yang luas. Pupuk dapat disimpan dan bertahan lama, dan bisa digunakan untuk areal yang lebih luas. Pupuk cair dapat dibuat dalam wadah ukuran apapun, dari ember hingga drum.

Salah satu jenis pupuk organik cair yang dapat dimanfaatkan adalah urine kelinci. Satu ekor kelinci yang berusia dua bulan atau yang beratnya sudah mencapai 1 kg akan menghasilkan 28,0 g kotoran lunak (urine dan feses) per hari dan mengandung 3 g protein serta 0,35 g nitrogen. Di dalam kotoran lunak kelinci yang berjumlah sedikit tersebut terdapat nilai unsur hara Nitrogen, Posfor dan Kalium yang lebih baik dibandingkan dengan kotoran ternak lainnya yaitu 2,72 % Nitrogen, 1,10 % Posfor dan 0,50 % Kalium. Dengan jumlah yang sedikit akan tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman melalui pemanfaatan nilai unsur hara NPK yang tinggi yang terkandung dalam urine kelinci tersebut.

Pennisetum purpureum merupakan tanaman pakan ternak yang tepat untuk memenuhi kebutuhan hijauan pakan bagi ternak ruminansia. Rumput tersebut termasuk tanaman berumur panjang, dapat beradaptasi pada semua jenis tanah dan palatabilitasnya tinggi (disukai ternak). Salah satu aspek pengelolaan tanaman Pennisetum purpureum adalah pengaturan interval pemotongan. Interval pemotongan berhubungan dengan produksi yang dihasilkan dan nilai gizi tanaman dan kesanggupan untuk bertumbuh kembali. Pemotongan yang terlalu berat dengan tidak memperhatikan kondisi tanaman akan menghambat pertumbuhan tunas yang baru sehingga


(16)

produksi yang dihasilkan dan perkembangan anakan menjadi berkurang. Sebaliknya pemotongan yang terlalu ringan menyebabkan pertumbuhan tanaman didominasi oleh pucuk dan daun saja, sedangkan pertumbuhan anakan berkurang (Ella, 2002).

Proses fermentasi urine dan feses merupakan pemecahan senyawa-senyawa kompleks dan masih sulit diserap oleh tanaman yang terkandung di dalam kotoran kelinci tersebut menjadi senyawa yang lebih sederhana yang dapat diserap oleh tanaman dengan baik. Dengan demikian, proses fermentasi akan memperkaya kandungan bahan kimia ataupun unsur hara dalam urine tersebut yang berguna bagi tanaman dan bau kotoran kelinci tersebut juga sudah tidak menyengat.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pemberian urine kelinci fermentasi dan interval pemotongan terhadap produksi dan kualitas Pennisetum purpureum.

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh interval pemotongan terhadap produksi dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum

2. Mengetahui pengaruh pemberian kotoran kelinci fermentasi (urine dan

feses) terhadap produksi dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum 3. Mengetahui pengaruh interaksi antara pemberian kotoran kelinci

fermentasi dan interval pemotongan terhadap produksi dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum.


(17)

Kegunaan Penelitian

Memberikan pengetahuan bagi masyarakat dan peneliti tentang budidaya hijauan makanan ternak dan kualitas hijauan dengan pemberian kotoran kelinci fermentasi sebagai pupuk dasar dengan perbedaaan interval pemotongan rumput. Penelitian diharapkan sebagai rujukan dalam upaya peningkatan ketersediaan hijauan makanan ternak serta dapat digunakan sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Hipotesis Penelitian

1. Interval Pemotongan meningkatkan produktivitas dan kandungan nutrisi

Pennisetum purpureum

2. Pemberian kotoran kelnici fermentasi (urine dan feses) meningkatkan produktivitas dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum

3. Interaksi pemberian kotoran kelinci fermentasi dan interval pemotongan meningkatkan produktivitas dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Hijauan Makanan Ternak

Pakan hijauan adalah semua bahan pakan yang berasal dari tanaman ataupun tumbuhan berupa daun - daunan, terkadang termasuk batang, ranting dan bunga (Sugeng, 1998). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Nasution (1986) yang menyatakan makanan hijauan adalah semua bahan makanan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun - daunan. Kelompok makanan hijauan ini biasanya disebut makanan kasar. Hijauan sebagai bahan makanan ternak bisa diberikan dalam dua macam bentuk, yakni hijauan segar dan kering. Hijauan sebagai makanan ternak, hijauan memegang peranan sangat penting, sebab hijauan :

- Mengandung hampir semua zat yang diperlukan hewan

- Khususnya di Indonesia, bahan makanan hijauan memegang peranan istimewa,

karena bahan tersebut diberikan dalam jumlah yang besar.

- Sebagian besar pakan ruminansia adalah bahan pakan yang berserat tinggi dengan kecernaan rendah, oleh karena itu harus diusahakan agar ternak sebanyak mungkin mengkonsumsi makanan untuk mencukupi kebutuhannya akan zat - zat makanan (Mc Donald et. al., 1995).

Hijauan memegang peranan penting pada produksi ternak ruminansia, termasuk Indonesia karena pakan yang dikonsumsi oleh sapi, kerbau, kambing, dan domba sebagian besar dalam bentuk hijauan, tetapi ketersediaannya baik kualitas, kuantitas, maupun kontinuitasnya masih sangat terbatas (Reksohadiprodjo, 1995).


(19)

Deskripsi Tanaman Pennisetum purpureum

Pennisetum purpureum mempunyai sistematika sebagai berikut, yaitu Phylum: Spermatophyta; Sub phylum: Angiospermae; Class:

Monocotyledoneae; Ordo: Glumifora; Family: Gramineae; Sub Family:

Panicurdeae; Genus: Pennisetum; Spesies: Pennisetum purpureum.

Pennisetum purpureum secara umum merupakan tanaman tahunan yang berdiri tegak, berakar dalam, dan tinggi dengan rimpang yang pendek. Tinggi batang dapat mencapai 2 - 4 meter (bahkan mencapai 6 - 7 meter), dengan diameter batang dapat mencapai lebih dari 3 cm dan terdiri sampai 20 ruas per buku. Rumput diperbanyak dengan potogan - potongan batang atau rhizoma yang mengandung 3 sampai 4 buku batang (Reksohadiprodjo, 1985).

Pennisetum purpureum disukai ternak, tahan kering, berproduksi tinggi, bernilai gizi tinggi dan merupakan rumput yang sangat baik untuk silase. Pennisetum purpureum (Pennisetum purpureum), sebagai bahan pakan ternak yang merupakan hijauan unggul, dari aspek tingkat pertumbuhan, produktifitas dan nilai gizinya. Produksi Pennisetum purpureum dapat mencapai 20 – 30 ton/ha/tahun (Ella, 2002).

Pennisetum purpureum merupakan tumbuhan yang memerlukan hari dengan waktu siang yang pendek, dengan foto periode kritis antara 13 - 12 jam. Kandungan nutrisi Pennisetum purpureum terdiri atas: 19, 9% bahan kering (BK), 10, 2% protein kasar (PK), 1, 6% lemak, 34, 2% serat kasar, 11, 7% abu dan 42, 3% bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) (Reksohadiprodjo, 1985).


(20)

Kadar protein akan menurun sesuai dengan meningkatnya umur tanaman tetapi selain serat kasarnya semakin tinggi, maka pemotongan hijauan segar sangat erat hubungannya dengan daya cerna serta jumlah konsumsi oleh ternak yang memakannya. Mutu hijauan ditentukan oleh kadar proteinnya. Di daerah tropis, seperti Indonesia dengan curah hujan dan intensitas sinar matahari yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan hijauan relatif cepat daripada di daerah subtropis. Rumput yang lebih cepat menua yang diakibatkan oleh tingginya intensitas sinar matahari akan memiliki nilai gizi

yang rendah. Mutu hijauan erat kaitannya dengan zat gizi yang dikandungnya.

Tabel 1. Analisa Kadar Protein Kasar dan Serat Kasar berbagai Jenis Hijauan Makanan Ternak

Spesies Protein Kasar

3-4 minggu

Rataan

Serat Kasar 3-4 minggu Rataan

Andropogon sp 13.20 7.60 26.90 31.00 Chloris gayana 14.90 8.40 27.40 30.10

Panicum maximum 13.50 8.20 28.30 33.80

Pennisetum sp 14.00 9.20 26.00 30.00

Setaria sp 10.90 6.50 30.80 33.00 Sumber: Mc.Illroy (1981)

Berdasarkan penelitian Adrianton (2010) bahwa hasil analisis nilai gizi tanaman rumput pada gajah bahwa perlakuan interval pemotongan 4 minggu dianggap lebih baik, dengan menghasilkan komposisi kadar air dan kadar protein kasar yang lebih tinggi sebesar (82,79 %) dan (8,86 %) serta lemak kasar dan serat kasar yang lebih rendah sebesar (4,46 %) dan (33,20 %). Sedangkan interval pemotongan 8 minggu dan 10 minggu dianggap tanaman tersebut agak terlalu tua dalam hubungannya dengan analisis nilai gizi. Hal ini sesuai pendapat Lubis (1992), bahwa nilai gizi tanaman Pennisetum purpureum yang dipotong setiap 2 sampai 4 minggu menghasilkan komposisi kadar air dan


(21)

protein kasar sebesar (85,50 %) dan (11,50 %) serta lemak kasar dan serat kasar sebesar (3,20 %) dan (29,3 %).

Berdasarkan penelitian Manurung et.al (1975) yang melakukan pengamatan penggunaan pupuk kandang sapi (urine dan feses) untuk produksi hijauan Pennisetum purpureum, dilaporkan bahwa penggunaan pupuk kandang secara tunggal sebanyak 10 ton/ha/tahun memberikan respons yang sangat baik terhadap produksi hijauan Pennisetum purpureum, jika dibandingkan dengan penggunaan pupuk anorganik ataupun kombinasi pupuk kandang dengan pupuk anorganik. Respon produksi hijauan

Pennisetum purpureum dua kali (184 ton/ha/tahun) lebih tinggi jika dibandingkan dengan produksi Pennisetum purpureum yang tidak mendapat perlakuan pemupukan (kontrol). Pemberian pupuk anorganik N, P dan K baik secara terpisah maupun gabungan dari ketiga unsur tersebut tidak memberikan respon sebaik pemberian pupuk kandang. Pemberian pupuk kandang bersama - sama dengan pupuk buatan (N, P dan K) tidak memberikan respon sebaik pupuk kandang secara tunggal. Bahkan dilaporkan kombinasi pupuk kandang dengan unsur anorganik menunjukkan penurunan produksi hijauan Pennisetum purpureum segar, walaupun perbedaan tersebut secara statistik tidak berbeda nyata.

Pemotongan Pennisetum purpureum dilakukan bila rumput sudah setinggi 1 - 1,5 meter. Apabila lebih tinggi atau lebih tua, proporsi batang sedemikian besarnya sehingga kadar serat kasarnya menjadi tinggi dan nilai makanan ternak menurun. Pemotongan rumput disisakan setinggi 10 – 15


(22)

cm dengan interval pemotongan 6 – 8 minggu (paling baik 6 minggu) (Reksohadiprojo, 1994).

Salah satu aspek pengelolaan tanaman Pennisetum purpureum adalah pengaturan interval pemotongan. Interval pemotongan berhubungan dengan produksi yang dihasilkan dan nilai gizi tanaman dan kesanggupan untuk bertumbuh kembali. Pemotongan yang terlalu berat dengan tidak memperhatikan kondisi tanaman akan menghambat pertumbuhan tunas yang baru sehingga produksi yang dihasilkan dan perkembangan anakan menjadi berkurang. Sebaliknya pemotongan yang terlalu ringan menyebabkan pertumbuhan tanaman didominasi oleh pucuk dan daun saja, sedangkan pertumbuhan anakan berkurang (Ella, 2002).

Dengan melakukan pemotongan, berarti menghilangkan meristem apikal di bagian pucuk tanaman sebagai penghasil auxin sehingga daya aktif auxin akan mengalami gangguan, sehingga akan merangsang perkembangan tunas-tunas lateral (Prawiranata, 1981). Pemotongan dapat mendorong pembentukan tunas-tunas baru, jadi tanaman yang lebih sering mengalami pemotongan akan membentuk tunas yang lebih banyak (Sanchez, 1993).

Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kembali adalah adanya persediaan makanan berupa karbohidrat di dalam akar tanaman yang ditinggal setelah pemotongan. Semakin tinggi interval pemotongan, produksi segar juga meningkat. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa semakin sering rumput dipotong semakin sedikit produksi segar yang diperoleh, hal ini dapat terjadi karena pada rumput yang sering dipotong terjadi pengurasan terus menerus terhadap karbohidrat dalam akar (Nasution, 1991).


(23)

Kebutuhan Unsur Hara bagi Tanaman

Setiap tanaman memerlukan paling sedikit 16 unsur hara untuk pertumbuhan normalnya yang diperoleh dari udara, air, tanah dan garam - garam mineral atau bahan organik. Unsur yang diperoleh dari udara ada 3 jenis, yaitu unsur Carbon (C), Hidrogen (H) dan Oksigen(O), sedangkan 13 unsur lainnya seperti Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Calsium (Ca), Magnesium (Mg), Sulfur (S), Besi (Fe), Mangan (Mn), Seng (Zn), Tembaga (Cu), Boron (B), Molibdenum (Mo) dan Klorin (Cl) diperoleh tanaman dari dalam tanah. Tetapi dari antara 13 unsur hara tersebut, hanya 6 unsur yang amat dibutuhkan dalam porsi yang cukup banyak, yaitu N, P, K, S, Ca dan Mg. Namun dari 6 unsur ini hanya 3 yang mutlak harus ada bagi tanaman yaitu N, P, K (Rosmarkam, 2002).

Nitrogen (N) merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman yang pada umumnya sangat diperlukan untuk pembentukan dan pertumbuhan bagian - bagian vegetatif tanaman, seperti daun, batang dan akar. Fosfor (P) terdapat dalam bentuk phitin, nuklein dan fosfatide; sedangkan kalium bukanlah elemen yang langsung pembentuk bahan organik. Fungsi N bagi tanaman antara lain : meningkatkan pertumbuhan tanaman, menyehatkan pertumbuhan daun, meningkatkan kadar protein dalam tubuh tanaman, meningkatkan kualitas tanaman penghasil daun - daunan, meningkatkan mikroorganisme di dalam tanah. Fungsi P bagi tanaman adalah mempercepat pertumbuhan akar semai, mempercepat serta memperkuat pertumbuhan tanaman muda menjadi tanaman dewasa pada umumnya, mempercepat pembungaan dan pemasakan buah, dapat


(24)

meningkatkan produksi biji - bijian, sedangkan kalium berperan membantu : pembentukan protein dan karbohidrat, mengeraskan batang dan bagian kayu dari tanaman, meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit, meningkatkan kualitas biji/buah. Kebutuhan unsur hara untuk daerah tropis adalah unsur hara makro adalah unsur hara yang diperlukan dalam jumlah banyak (konsentrasi 1000 mg/kg bahan kering). Unsur hara mikro adalah unsur hara yang diperlukan dalam jumlah sedikit (konsentrasi kurang dari atau sama dengan 100 mg/kg bahan kering). Unsur hara makro dibutuhkan tanaman dan terdapat dalam jumlah yang lebih besar, dibandingkan dengan unsur hara mikro bahwa batas perbedaan unsur hara makro dan mikro adalah 0,02 % per mg bahan kering (Sutedjo, 2002).

Pemupukan

Pupuk adalah setiap bahan yang diberikan ke dalam tanah atau disemprotkan pada tanaman dengan maksud menambah unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Pemupukan adalah setiap usaha pemberian pupuk yang bertujuan menambah persediaan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman untuk meningkatkan produksi dan hasil mutu tanaman (Sarief, 1990).

Hardjowigeno (1993) mengemukakan bahwa hal - hal yang perlu diperhatikan pada setiap usaha pemupukan adalah tanaman yang akan dipupuk, jenis tanah, jenis pupuk, dosis, waktu pemupukan dan cara pemupukan yang tepat agar sebagian besar dari pupuk yang diberikan dapat diserap akar tanaman.


(25)

Pemupukan dapat dilakukan dalam bentuk pupuk organik maupun anorganik. Pupuk kandang merupakan salah satu bentuk pupuk organik yang dapat digunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah. Pupuk kandang adalah kotoran padat dan cair dari hewan yang tercampur dengan sisa - sisa pakan dan alas kandang. Nilai pupuk kandang tidak saja ditentukan oleh kandungan nitrogen, asam fosfat, dan kalium saja, tetapi karena mengandung hampir semua unsur hara makro (unsur hara makro seperti Nitrogen (N), Fospat (P2O5), Kalium (K2O) dan Air (H2O) dan mikro (Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Tembaga (Cu), Mangan (Mn), dan Boron (Bo) yang dibutuhkan tanaman serta berperan dalam memelihara keseimbangan hara dalam tanah (Sarno, 2008).

Pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kandang ternak, baik berupa kotoran padat (feses) yang bercampur sisa makanan maupun air kencing (urine), sehingga kualitas pupuk kandang beragam tergantung pada jenis, umur serta kesehatan ternak, jenis dan kadar serta jumlah pakan yang dikonsumsi, jenis pekerjaan dan lamanya ternak bekerja, lama dan kondisi penyimpanan, jumlah serta kandungan haranya (Soepardi, 1983). Pupuk kandang (termasuk urine) biasanya terdiri atas campuran 0,5% N; 0,25% P2O5 dan 0,5% K2O (Tisdale and Nelson, 1965).

Kotoran Kelinci (Urine dan Feses)

Satu ekor kelinci yang berusia dua bulan lebih, atau yang beratnya sudah mencapai 1 kg akan menghasilkan 28,0 g kotoran lunak per hari dan

mengandung 3 g protein serta 0,35 g nitrogen dari bakteri atau setara 1,3 g protein. Urine kelinci memiliki kandungan zat asam amino esensial,


(26)

urine juga mengandung 8 unsur mikro lain, seperti Ca, Mg, K, Na, Cu, Zn, Mn, dan Fe. Hasil penelitian dari Balai Penelitian Ternak Bogor (2005) menyimpulkan bahwa pupuk kandang dari kotoran kelinci berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan maupun produksi rumput P.maximum dan leguminosa S.hamata setelah 6 kali panen (umur 258 hari). Sedangkan dengan penambahan probiotik pada pupuk kelinci interaksinya telah memberikan pengaruh nyata pada tanaman pakan dan meningkatkan produksi hijauan sebesar 34,8 - 38,0% (Rahardjo, 2008).

Telah banyak diketahui bahwa bahan organik seperti limbah tanaman, pupuk hijau dan kotoran ternak dalam sistem tanah - tanaman dapat memperbaiki struktur tanah dan membantu perkembangan mikroorganisme tanah. Kondisi ini sebagai awal proses transformasi N secara biologis dalam tanah dan, menghasilkan konversi bentuk N organik menjadi bentuk anorganik yang tersedia bagi tanaman. Pupuk kandang (termasuk urine) biasanya terdiri atas campuran 0,5% N; 0,25% P2O5 dan 0,5% K2O (Tisdale and Nelson, 1965).


(27)

Tabel 2. Kandungan zat hara beberapa kotoran ternak padat dan cair Nama Ternak Bentuk Kotorannya Nitrogen (%) Fosfor (%) Kalium (%) Air (%)

Kuda Padat 0.55 0.30 0.40 75

Cair 1.40 0.02 1.60 90

Kerbau Padat 0.60 0.30 0.34 85

Cair 1.00 0.15 1.50 52

Sapi Padat 0.40 0.20 0.10 85

Cair 1.00 0.50 1.50 92

Kambing Padat 0.60 0.30 0.17 60

Cair 1.50 0.13 1.80 85

Domba Padat 0.75 0.50 0.45 60

Cair 1.35 0.05 2.10 85

Babi Padat 0.95 0.35 0.40 80

Cair 0.40 0.10 0.45 87

Ayam Padat dan Cair 1.00 0.80 0.40 55

Kelinci Padat dan Cair 2.72 1.10 0.50 55.3

Sumber: Kartadisastra, 2001

Novizan (2002) menyatakan bahwa urine ternak umumnya memiliki kandungan hara yang lebih tinggi dibandingkan kotoran padat, sehingga pada aplikasinya tidak sebanyak penggunaan pupuk organik padat.

Fermentasi Urine

Fermentasi adalah segala macam proses metabolis dengan bantuan dari enzim mikrobia (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu. Fermentasi merupakan proses biokimia yang dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan bahan tersebut (Winarno

et al. ,1990).

Selama proses fermentasi terjadi, bermacam - macam perubahan komposisi kimia. Kandungan asam amino, karbohidrat, pH, kelembaban, aroma serta perubahan nilai gizi yang mencakup terjadinya peningkatan


(28)

protein dan penurunan serat kasar. Semuanya mengalami perubahan akibat aktivitas dan perkembangbiakan mikroorganisme selama fermentasi. Melalui fermentasi terjadi pemecahan substrat oleh enzim – enzim tertentu terhadap bahan yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana (Sembiring, 2006).

Fermentasi urine yang telah dilakukan adalah fermentasi terhadap urine sapi. Fermentasi urine sapi mempunyai sifat menolak hama atau penyakit pada tanaman. Hama atau penyakit bisa saja datang, tetapi langsung pergi, bukan musnah tetapi hanya meyingkir dari tanaman. Pemupukan dengan menggunakan urine sapi yang telah difermentasikan ± 1 bulan dapat meningkatkan produksi tanaman (Phrimantoro, 2002).

Fermentasi urine sapi yang diaplikasi pada tanaman sangat menguntungkan petani karena dari segi biaya murah dan produksi meningkat dibandingkan dengan pupuk kimia. Fermentasi urine sapi dapat diaplikasikan melalui daun (Naswir, 2003) .

Urine dalam pembuatan pupuk cair membutuhkan bakteri pengurai. Bakteri pengurai yang umum digunakan adalah berupa produk EM4 ataupun botani dan molasses sebagai energi yang digunakan oleh bakteri. EM4 merupakan Effective Microorganism 4 yang berguna untuk mempercepat proses pengomposan ataupun pada pembuatan pupuk cair. EM4 mengandung sekitar 80 macam genus mikroorganisme, tetapi hanya ada lima golongan yang paling pokok, yaitu bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp (BAL), Streptomyces sp, ragi (yeast) dan Actinomycetes. Proses pembuatan pupuk cair dari urine sapi dapat berlangsung secara cepat dengan


(29)

bantuan EM4 ini, yaitu sekitar empat sampai tujuh hari. Proses pengolahan yang baik dan benar akan menghasilkan pupuk cair yang tidak panas, tidak berbau busuk, tidak mengandung hama dan penyakit, serta tidak membahayakan pertumbuhan ataupun produksi tanaman (Indriani, 2004).

Secara kimiawi kandungan zat dalam urine kelinci diantaranya adalah sampah nitrogen (ureum, kreatinin dan asam urat), asam hipurat zat sisa pencernaan sayuran dan buah, badan keton zat sisa metabolisme lemak, ion - ion elektrolit (Na, Cl, K, Amonium, sulfat, Ca dan Mg), hormon, zat toksin (obat, vitamin dan zat kimia asing), zat abnormal (protein, glukosa, sel darah Kristal kapur). Zat - zat yang terdapat dalam urine tersebut masih bersifat kompleks yang sulit diserap oleh tanaman, misalnya seperti Na, Cl dan asam urat yang terdapat dalam urine kelinci tersebut. Dengan adanya fermentasi, maka zat - zat kompleks dalam urine tersebut akan dipecah oleh mikroorganisme akan mengalami perubahan bentuk senyawa yang lebih sederhana atau dengan kata lain proses fermentasi akan mengubah senyawa kimia ke substrat organik. Perubahan sifat senyawa dalam urine tersebut akan memperkaya kandungan bahan kimia yang berguna bagi tanaman sehingga lebih mudah dicerna oleh tanaman

Defoliasi dan Interval Pemotongan

Defoliasi adalah pemotongan atau pengambilan bagian tanaman yang ada di atas permukaan tanah, baik oleh manusia ataupun renggutan hewan waktu ternak itu digembalakan. Untuk menjamin pertumbuhan


(30)

kembali (regrowth) yang optimal, sehat dan kandungan gizi tinggi, defoliasi harus dilakukan pada periode tertentu (Nasution, 1997).

Interval pemotongan berpengaruh terhadap produksi hijauan, nilai nutrisi, kemampuan untuk tumbuh kembali, komposisi botani dan ketahanan spesies. Frekuensi pemotongan berlaku pada batas tertentu, frekuensi yang semakin rendah akan mengakibatkan produksi kumulatif bahan kering semakin tinggi dibandingkan produksi kumulatif oleh pemotongan yang lebih sering (Crowder and Cheda, 1982).

Pada saat tanaman rumput dipotong, bagian yang ditinggalkan tidak boleh terlalu pendek ataupun terlalu tinggi. Sebab semakin pendek bagian tanaman yang ditinggalkan dan semakin sering dipotong pertumbuhan kembali tanaman tersebut akan semakin lambat karena persediaan energi (karbohidrat) dan pati yang ditinggalkan pada batang semakin sedikit (Nasution, 1997).

Produksi bahan kering yang tinggi diikuti dengan bertambahnya panjang interval pemotongan dan cenderung menurun dengan semakin singkatnya interval pemotongan. Hal ini disebakan karena adanya perbedaan kapasitas fotosintesis, kemampuan tanaman untuk menyerap zat-zat hara dan persediaan cadangan energi untuk pertumbuhan kembali (Wijaya, 1991). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Susetyo (1980) mengatakan bahwa pemotongan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap produksi bahan segar, bahan kering, jumlah anakan, nilai gizi, daya cerna maupun tingkat konsumsi oleh ternak.


(31)

Semakin lama umur pemotongan pada tanaman akan meningkatkan kandungan serat kasarnya. Kandungan serat kasar erat hubungannya dengan umur tanaman. Semakin tua umur tanaman semakin meningkat kandungan serat kasarnya (Erwanto, 1984).

Pada musim penghujan secara umum Pennisetum purpureum sudah dapat dipanen pada usia 40-45 hari. Sedangkan pada musim kemarau berkisar 50-55 hari. Lebih dari waktu tersebut, kandungan nutrisi semakin turun dan batang semakin keras sehingga bahan yang terbuang (tidak dimakan oleh ternak) semakin banyak. Sedangkan mengenai panen pertama setelah tanam, menurut pengalaman kami dapat dilakukan setelah rumput berumur minimal 60 hari. Apabila terlalu awal, tunas yang tumbuh kemudian tidak sebaik yang di panen lebih dari usia 2 bulan (Admin, 2011).


(32)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan di Lahan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini berlangsung selama 4 bulan akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2013 sampai dengan bulan November 2013.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan

Bahan yang digunakan yaitu bibit Pennisetum purpureum dalam bentuk stek batang sebanyak 60 tanaman. Polybag terdiri dari 24 buah sebagai media tempat penanaman rumput, tanah sebagai media tanam dan urine dan feses kelinci sebagai pupuk cair terhadap Pennisetum purpureum. Starter EM4 dan larutan molasses sebagai bahan fermentasi urine kelinci. Alat

Alat yang digunakan adalah gembor untuk menyiram tanaman, timbangan untuk menimbang berat basah dan berat kering rumput, alat ukur untuk mengukur tinggi tanaman, parang, dan gunting untuk memotong rumput, oven untuk mengeringkan hijauan segar, alat tulis untuk mencatat data penelitian dan amplop sebagai tempat rumput setelah pemotongan.

Metode Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak terbagi (split plot design) dengan dua faktor perlakuan.


(33)

Faktor pertama (petak utama) adalah:

A1 = Interval pemotongan 4 minggu (3 kali pemotongan) A2 = Interval pemotongan 6 minggu (2 kali pemotongan) Faktor kedua (anak petakan) adalah:

P = kotoran kelinci fermentasi (urine dan feses) 0 ml

P1 = kotoran kelinci fermentasi (urine dan feses) 50 ml/polybag (1 ton/ha)

P2 = kotoran kelinci fermentasi (urine dan feses) 100 ml/polybag (2 ton/ha)

P3 = kotoran kelinci fermentasi (urine dan feses) 150 ml/polybag (3 ton/ha)

Maka kombinasi yang diperoleh adalah: A1 A2

Model linear yang akan digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design) dengan model rancangan sebagai berikut:

Yijk =

μ

+Kk+ Ai +

α

ik +Bj + (AB)ij +

ijk Dimana:

Yijk = nilai pengamatan (respons) pada kelompok ke-k yang memperoleh taraf ke- I dari faktor A dan taraf ke- j dari faktor B

µ = nilai rata-rata yang sesungguhnya P0 P1

P2 P3

P0 P1 P2 P3


(34)

Kk = pengaruh aditif dari kelompok ke-k Ai = pengaruh aditif dari taraf ke-I faktor A

α

ij = pengaruh galat yang muncul pada taraf ke- I dari faktor A dalam kelompok ke- K

Bj = pengaruh aditif dari taraf ke- j faktor B

(AB)ij = pengaruh interaksitaraf ke- I faktor A dan taraf ke- j faktor B

∑ijk = pengaruh galat percobaan pada kelompok ke-k yang memperoleh taraf ke- i faktor A dan taraf ke- j faktor B

Data hasil pengamatan dianalisis dengan uji F (analisis ragam). Jika perlakuan berpengaruh nyata, dilakukan uji lanjut dengan Uji Wilayah Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%.

Parameter Penelitian

1. Pertumbuhan tinggi tanaman Pennisetum purpureum

Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi dengan cara menegakkan seluruh daun ke atas sampai tegak lurus, kemudian dilakukan pengukuran secara vertikal pada bagian tanaman yang paling tinggi dari permukaan tanah. Tinggi tanaman diukur setiap 1 minggu sekali.

2. Jumlah anakan tanaman Pennisetum purpureum

Anakan Pennisetum purpureum yang dihitung adalah anakan yang muncul dari dalam tanah atau tumbuh pada rhizoma batang, bukan yang tumbuh ke samping pada buku - buku batang yang tidak terpotong. Pada tanaman yang mempunyai anakan jika telah mempunyai daun, artinya


(35)

daun telah membuka dengan sempurna. Jumlah anakan diukur setiap 4 minggu sekali.

3. Produksi segar Pennisetum purpureum

Produksi segar Pennisetum purpureum diperoleh dengan melakukan penimbangan daun Pennisetum purpureum dalam keadaan segar atau tanpa dilakukan pengeringan pada hasil pemotongan yang dilakukan setiap perlakuan. Penimbangan produksi segar Pennisetum purpureum dilakukan setiap 4 minggu sekali dan 6 minggu sekali.

4. Produksi bahan kering Pennisetum purpureum

Produksi bahan kering diperoleh dari sampel yang diambil sebanyak 250 gram dari setiap perlakuan hasil penimbangan berat segar, kemudian dijemur atau dikering anginkan. Selanjutnya dioven pada suhu 600C selama 48 jam, kemudian ditimbang berat kering rumput tersebut. Produksi berat segar dikonversikan ke dalam berat kering untuk mengetahui produksi berat kering.

5. Kandungan nutrisi Pennisetum purpureum

Kandungan nutrisi Pennisetum purpureum yang akan diteliti adalah serat kasar, protein kasar dan energi yang terkandung dalam Pennisetum purpureum tersebut. Analisa kandungan nutrisi dilakukan dengan cara analisis proksimat dari hasil pemotongan Pennisetum purpureum.

Persentase protein kasar dapat digunakan rumus sebagai berikut:

% PK = volume titrsi- volume blanko x 4.37812 sample


(36)

Keterangan:

Titrasi dengan HCl 0,01 N N = Nomalitas Hcl

Volume blanko diperoleh dengan mendestruksi, mendestilasi dan mentitrasi bahan- bahan tanpa menggunakan sample.

Persentase serat kasar dapat dihitung dengan rumus:

% SK = ( berat C + S setelah oven) – ( berat C + S setelah tanur) x 100%

Berat sample Keterangan:

SK = Serat kasar C = Cawan porselin S = Sample bahan

Energi bruto (EB)

Energi bruto yaitu suatu bahan makanan dapat ditentukan dengan membakar sejumlah bahan tersebut sehingga diperoleh hasil- hasil oksidasi yang berupa karbon dioksida, air, dan gas- gas lainya.


(37)

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Media Pertanaman

Dalam penelitian ini menggunakan areal seluas 10 m2 sebagai areal tempat media tanaman dengan menggunakan polybag. Polybag yang digunakan sebanyak 24 buah polybag yang berukuran 5 kg. Sebelum penanaman, dilakukan analisa tanah dengan mengambil tanah dari suatu lahan sebagai sampel untuk dianalisa di laboratorium. Bibit yang ditanam dalam bentuk pols berjumlah 60 batang dan dalam satu rumpun menggunakan 2 batang anakan. Kemudian diadakan pengacakan blok dan kombinasi perlakuan pada polybag yang tersedia, setelah itu dilakukan penanaman. Pada saat umur tanaman 21 hari, dilakukan pemotongan pertama (trimming) dengan tujuan untuk menyeragamkan pertumbuhan tanaman. Kemudian dilakukan pemotongan sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan. Pemotongan dilakukan 10 cm di atas permukaan tanah.

Fermentasi Kotoran Kelinci

Pembuatan fermentasi kotoran kelinci menggunakan bahan urine kelinci, starter bakteri EM4 dan larutan molasses. Sedangkan alat yang digunakan adalah jerigen sebagai tempat fermentasi.


(38)

Dimasukkan kotoran kelinci ke dalam jerigen sebanyak 10 liter

Dimasukkan starter bakteri EM4 sebanyak 50 mL

Dimasukkan molasses sebanyak 100 mL

Diaduk hingga semua bahan tercampur

Ditutup dengan plastik dan dibiarkan selama 14 hari

Kotoran kelinci fermentasi siap digunakan

Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi

Setelah media tanam selesai dan kotoran kelinci yang telah difermentasi juga dapat digunakan, dilakukan pemberian kotoran kelinci yang difermentasi masing-masing polybag sesuai dengan perlakuan yaitu dengan dosis 0 ml, 50 ml, 100 ml dan 150 ml.

Pemotongan Pennisetum purpureum

Pemotongan Pennisetum purpureum dilakukan dengan interval pemotongan yang telah ditentukan pada perlakuan. Pemotongan dilakukan 3 kali setiap 4 minggu umur tanaman dan 2 kali setiap 6 minggu umur tanaman.


(39)

Pengambilan Data

1. Jumlah anakan Pennisetum purpureum yang tumbuh setiap 4 minggu dan 6 minggu sekali yang dihitung sesuai dengan interval pemotongan. 2. Pertumbuhan tinggi tanaman dilakukan setiap 4 minggu dan 6 minggu

sekali sesuai dengan perlakuan.

3. Produksi segar Pennisetum purpureum setiap 4 minggu dan 6 minggu sekali dan setelah pemotongan dilakuan penimbangan.

4. Produksi bahan kering Pennisetum purpureum setiap 4 minggu dan 6 minggu sekali, dengan mencacah batang dan daun tanaman. Lalu diambil 250 gram sebagai sampel untuk dioven selama 48 jam pada suhu 600C 5. Kandunga nutrisi rumput berupa serat kasar, protein kasar dan energi

dilakukan dengan menggunakan analisis proksimat setelah pemotongan pada 4 minggu dan 6 minggu.


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi Segar Pennisetum purpureum (kg/ha)

Hasil penelitian diperoleh bahwa interval pemotongan, dosis kotoran kelinci fermentasi dan interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap produksi segar Pennisetum purpureum (Lampiran 8). Hasil rataan produksi segar Pennisetum purpureum selama penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3. Rataan Produksi Segar Pennisetum purpureum Selama Penelitian (kg/ha)

Dosis Kotoran Kelinci

Interval Pemotongan

Total Rataan SD

A1 (4 mg)

A2 (6 mg)

P0 135.60 186.70 322.30 161.15a 36.13

P1 374.50 593.30 967.80 483.90b 154.71

P2 586.70 993.30 1580.00 790.00c 287.51

P3 1012.22 1413.30 2425.52 1212.76d 283.61

Total 2109.02 3186.60 5295.62 -

Rataan 527.26a 796.65b - 661.95 190.49

Pemberian pupuk organik cair berupa kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata meningkatkan produksi segar

Pennisetum purpureum. Hal ini dapat dilihat dari kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi terhadap produksi segar Pennisetum purpureum


(41)

Gambar 1. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Produksi Segar Pennisetum purpureum (kg/ha)

Pada kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi menunjukkan bahwa perlakuan pemberian kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh terhadap produksi segar dengan mengikuti kurva linear yaitu semakin tinggi dosis kotoran kelinci fermentasi yang diberikan maka hasil produksi segar Pennisetum purpureum juga akan semakin tinggi.hal ini dapat dilihat dari gambar 4 bahwa titik optimum produksi segar semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya dosis kotoran kelinci fermentasi.

Hasil statistik diperoleh hasil rataan produksi segar Pennisetum purpureum pada perlakuan P3 berbeda sangat nyata dibandingkan dengan perlakuan P0, P1 dan P2 dengan nilai rataan terbaik yaitu 1212,76 kg/ha, sedangkan nilai rataan produksi Pennisetum purpureum terendah terdapat pada P0 yaitu 161,15 kg/ha. Sementara itu, perlakuan interval pemotongan rumput diperoleh bahwa rataan produksi segar pada interval pemotongan 6 minggu (A2) dengan rataan 796,65 kg/ha berbeda sangat nyata dengan


(42)

rataan produksi segar pada interval pemotongan 4 minggu (A1) dengan rataan 527,26 kg/ha.

Untuk mengetahui interaksi perlakuan interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi terhadap produksi segar Pennisetum purpureum dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Produksi Segar (kg/ha)

Dari gambar di atas terlihat bahwa interaksi perlakuan yang sangat nyata adaah pada kombinasi perlakuan A2P3 yaitu kombinasi perlakuan interval pemotongan 6 minggu dan dosis kotoran kelinci fermentasi 150 ml. Hal ini terlihat dari niai rataan produksi segar pada A2P3 tersebut memiliki

rataan tertinggi yaitu 1413,3 kg/ha. Sementara itu rataan produksi segar

Pennisetum purpureum yang paling rendah adalah pada kombinasi perlakuan A1P3 yaitu 1012,2 kg/ha. Produksi rumput dipengaruhi oleh unsur hara yang terdapat di dalam tanah sebagai cadangan makanan bagi tanaman, sehingga pada tanah yang tidak memiliki unsur hara yang cukup tidak dapat menyediakan cadangan makanan untuk tanaman sehingga


(43)

mempengaruhi tingkat produksinya. Oleh karena itu pemupukan dengan menggunakan pupuk organik dapat mempengaruhi mutu tanah dan meningkatkan produksi rumput atau mempercepat pertumbuhan vegetatif tanaman dan akhirnya mempercepat produksi segar hijauan tersebut. Sesuai dengan pernyataan Sarief (1990) bahwa pupuk adalah setiap bahan yang diberikan ke dalam tanah atau disemprotkan pada tanaman dengan maksud menambah unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Pemupukan adalah setiap usaha pemberian pupuk yang bertujuan menambah persediaan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman untuk meningkatkan produksi dan hasil mutu tanaman. Dalam penelitian Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian (2004) dengan menggunakan pupuk kandang domba diperoleh bahwa hasil rataan produksi segar rumput adalah 1061,7 kg/ha. Hal ini menggambarkan bahwa nilai kandungan unsur hara dalam kotoran kelinci masih lebih baik untuk mendorong produksi rumput sebagai hijauan makanan ternak.

Pada hasil penelitian diperoleh bahwa kenaikan produksi segar rumput seiring dengan meningkatnya interval pemotongan. Hal ini disebabkan oleh cadangan makanan semakin tersedia untuk pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman sehingga penyerapan hara mineral semakin baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nasution (1991) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kembali adalah adanya persediaan makanan berupa karbohidrat di dalam akar tanaman yang ditinggal setelah pemotongan. Semakin tinggi interval pemotongan, produksi segar juga meningkat. Oleh karena itu dapat


(44)

diketahui bahwa semakin sering rumput dipotong semakin sedikit produksi segar yang diperoleh, hal ini dapat terjadi karena pada rumput yang sering dipotong terjadi pengurasan terus menerus terhadap karbohidrat dalam akar. Semakin singkat interval pemangkasan mengakibatkan semakin singkat pula waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan cadangan makanan dalam aktifitas pertumbuhan. Interval pemangkasan 8 minggu memungkinkan tanaman membentuk dan mengakumulasi karbohidrat yang cukup yang merupakan hasil reduksi CO2 pada proses fotosintesis. Harjadi (2000) menyatakan fase vegetatif menggunakan sebagian besar karbohidrat, apabila karbohidrat berkurang maka pembelahan sel berjalan lambat sehingga perkembangan vegetatif terhambat. Interval pemangkasan yang lebih singkat (4 dan 6 minggu) diduga menyebabkan pengurangan cadangan makanan akibat pemangkasan yang lebih intensif, sehingga tanaman hanya memiliki waktu singkat untuk membentuk cadangan makanan. Sesuai dengan pernyataan Primandini (2007) bahwa pemangkasan (defoliasi) berat mengakibatkan terhambatnya pembentukan tunas baru dan terkurasnya cadangan makanan.

Produksi Bahan Kering Pennisetum purpureum (kg/ha)

Hasil penelitian diperoleh bahwa interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap produksi bahan kering Pennisetum purpureum. Sedangkan interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap produksi bahan kering.


(45)

Pennisetum purpureum (Lampiran 11). Data produksi bahan kering

Pennisetum purpureum selama penelitian dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Rataan produksi bahan kering Pennisetum purpureum selama penelitian (kg/ha)

Dosis Kotoran Kelinci

Interval Pemotongan

Total Rataan SD

A1 (4 mg) A2 (6 mg)

P0 123.40 172.90 296.30 148.15a 35.00

P1 345.50 558.20 903.70 451.85b 150.40

P2 539.10 878.50 1417.60 708.80c 583.07

P3 960.50 1357.10 2317.60 1158.80d 891.70

Total 1968.50 2966.70 4935.20 - -

Rataan 492.13a 741.68b - 508.84 415.04

Pemberian pupuk organik cair berupa kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata meningkatkan produksi bahan kering Pennisetum purpureum. Kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi terhadap produksi bahan kering Pennisetum purpureum dapat dilihat dari Gambar 3.

Gambar 3. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Produksi Segar Pennisetum purpureum (kg/ha)


(46)

Pada Gambar 3 menunjukkan bahwa perlakuan pemberian kotoran

kelinci fermentasi memberikan pengaruh terhadap produksi bahan kering

Pennisetum purpureum dengan mengikuti kurva yaitu semakin tinggi dosis kotoran kelinci fermentasi yang diberikan maka hasil produksi bahan kering

Pennisetum purpureum juga akan semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 3 bahwa titik optimum produksi bahan kering Pennisetum purpureum semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya dosis kotoran kelinci fermentasi.

Hasil statistik data diperoleh bahwa produksi bahan kering

Pennisetum purpureum pada P3 berbeda sangat nyata dengan perlakuan P0 dengan nilai rataan tertinggi yaitu 1158,8 kg/ha, sedangkan rataan terendah terdapat pada P0 yaitu 148,15 kg/ha. Pada perlakuan perlakuan interval pemotongan diperoleh bahwa pemotongan A2 memberikan pengaruh yang sangat nyata pada P0 terhadap produksi bahan kering rumput yaitu 741,7 kg/ha, sedangkan pada perlakuan pemotongan A1 memiliki nilai rataan yaitu 492,13 kg/ha. Apabila dibandingkan dengan penelitian Riky et. al

(2013) bahwa hasil produksi bahan kering Pennisetum purpureum dengan perlakuan pemberian pupuk organik cair berupa urine sapi bunting menghasilkan produksi segar 1212,8 kg/ha, disebabkan karena level kandungan unsur hara memiliki jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan Pennisetum purpureum. Untuk mengetahui interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi terhadap produksi bahan kering Pennisetum purpureum dapat dilihat pada Gambar 4.


(47)

Gambar 4. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan Dan Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi Fermentasi Terhadap Produksi Bahan Kering Pennisetum purureum (kg/ha)

Pada gambar 4 terlihat bahwa interaksi perlakuan A2P3 memiliki rataan tertinggi yaitu 1357,1 kg/ha, sedangkan pada kombinasi perlakuan A1P3 memiliki rataan produksi 960,5 kg/ha. Hal ini disebabkan oleh karena total cadangan makanan dalam tanaman rendah dimana merupakan gambaran rendahnya unsur hara yang terdapat dalam tanah. Sedikitnya persediaan karbohidrat dalam akar pada tanaman akan mengakibatkan terganggunya proses vegetatif tanaman. Cadangan karbohidrat ini sangat diperlukan untuk energi bagi pertumbuhan kembali setelah pemotongan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setyamidjaja (1986) yang menyatakan bahwa unsur hara dalam tanah berfungsi memacu pertumbuhan akar dan sistem perakaran yang baik terutama pada tanaman muda, yang biasanya terdapat pada bahan organik. Apabila unsur hara yang tersedia terbatas, maka


(48)

terutama karbohidrat yang sangat mempengaruhi bahan kering.

Semakin sering hijauan dipotong maka produksi bahan keringnya semakin rendah, sedangkan pada interval pemotongan yang panjang maka produksi bahan kering semakin tinggi. Hasil berat kering ini berbanding lurus dengan rataan produksi segar yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mc Illroy (1976) bahwa interval pemotongan yang pendek terutama pada fase-fase awal pertumbuhannya disamping menurunkan produksi bahan kering hijauan, juga akan mengurangi ketegaran tanaman dan melemahkan akar. Dilanjut dengan pernyataan Wijaya (2008) menyatakan bahwa produksi bahan kering yang tinggi diikuti dengan bertambahnya panjang interval pemotongan dan cenderung menurun dengan semakin singkatnya interval pemotongan. Hal ini disebakan karena adanya perbedaan kapasitas fotosintesis, kemampuan tanaman untuk menyerap zat-zat hara dan persediaan cadangan energi untuk pertumbuhan kembali.

Tinggi Tanaman Pennisetum purpureum (Pennisetum purpureum)

Hasil penelitian diperoleh bahwa faktor interval pemotongan dan pemberian urine kelinci yang difermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman. Interaksi antara interval pemotongan dan tinggi tanaman juga memberikan pengaruh yang sangat nyata pada pertambahan tinggi tanaman (Lampiran 2) . Data tinggi tanaman selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.


(49)

Tabel 5. Rataan Tinggi Tanaman Selama Penelitian (cm) Dosis Kotoran

Kelinci

Interval Pemotongan

Total Rataan SD

A1 (4 mg) A2 (6 mg)

P0 43.51 51.48 94.99 47.50a 5.64

P1 56.90 59.81 116.71 58.36b 2.06

P2 71.37 72.65 144.02 72.01c 0.91

P3 81.63 89.02 170.65 85.33d 5.23

Total 253.41 272.96 526.37 - -

Rataan 63.35a 68.24b - 65.80 3.46

Pemberian pupuk organik cair berupa kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman. Kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi terhadap tinggi tanaman dapat dilihat dari Gambar 5.

Gambar 5. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Tinggi Tanaman Pennisetum purpureum(cm)

Pada kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi menunjukkan bahwa pemberian kotoran kelinci fermentasi akan memberikan respon positif terhadap pertambahan tinggi tanaman. Hal ini dapat dilihat dari gambar 5 yang menunjukkan bahwa tinggi tanaman


(50)

Pennisetum purpureum akan selalu meningkat jika dilakukan penambahan dosis pemberian kotoran kelinci fermentasi atau dengan kata lain bahwa dengan dosis kotoran kelinci fermentasi lebih dari 150 ml juga akan memberikan hasil yang optimal terhadap tinggi tanaman Pennisetum purpureum.

Analisa data statistik diperoleh bahwa tinggi tanaman Pennisetum purpureum pada perlakuan P3 sangat berbeda nyata dengan perlakuan P0 dengan nilai rataan tertinggi yaitu 85,33 cm. Perlakuan interval pemotongan, interval pemotongan A1 (4 minggu) berbeda sangat nyata dengan interval pemotongan A2 (6 minggu) dengan nilai rataan pada A1 adalah 63,35 cm dan pada A2 yaitu 68,24 cm. Interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi terhadap tinggi tanaman Pennisetum purpureum dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan

dan Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Tinggi Tanaman Pennisetum purpureum (cm)

Gambar 6 diperoleh bahwa kombinasi perlakuan A2P3 menghasilkan rataan tanaman tertinggi yaitu 89,02 cm, dimana perlakuan


(51)

tersebut berbeda sangat nyata dengan perlakuan dosis kotoran kelinci fermentasi fermentasi 150 ml (P3) menunjukkan hasil yang lebih baik yang disebabkan oleh interval pemotongan tanaman yang lebih lama dan volume pupuk organik cair (urine dan feses kelinci) yang lebih banyak yang dibutuhkan oleh tanah untuk pertumbuhan tanaman. Sementara itu hasil interaksi yang paing rendah adalah kombinasi perlakuan A1P0 yaitu rataan tinggi rumput 43,51 cm. Adanya perbedaan tinggi Pennisetum purpureum

yang sangat nyata karena tanaman yang diberi pupuk otomatis pertumbuhannya akan lebih baik jika dibandingkan dengan tanaman tanpa pemberian pupuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Madjid et. al (2011) yang menyatakan bahwa pupuk adalah suatu bahan yang bersifat organik maupun anorganik bila ditambahkan ke dalam tanah atau ke tanaman dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, biologi tanah dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman.

Semakin seringnya tanaman dipotong, maka pertumbuhan tanaman ke atas akan tertekan. Hal ini disebabkan semakin panjang interval pemotongan maka pertumbuhan tinggi tanaman semakin baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nasution (1997) bahwa semakin sering dipotong pertumbuhan kembali tanaman tersebut akan semakin lambat karena persediaan energi (karbohidrat) dan pati yang ditinggalkan pada batang semakin sedikit. Pendeknya interval pemotongan menyebabkan pertumbuhan tanaman lambat dan kesempatan untuk tumbuh juga singkat, sedangkan pada pemotongan lebih lama kesempatan tumbuh lama sehingga tanaman dapat tumbuh optimal. Dalam penelitian Juli (2011), hasil rataan


(52)

tinggi Pennisetum purpureum pada interval pemotongan 40 hari adalah 79,54 cm dengan menggunakan pupuk organik cair yaitu urine sapi fermentasi. Adanya perbedaan pertumbuhan tinggi tanaman Pennisetum purpureum menunjukkan bahwa kandungan unsur hara dalam urine kelinci

lebih baik dibandingkan dengan urine sapi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartadisastra (2001) bahwa urine sapi memiliki nilai N, P dan K yait 1%,

0,5% dan 1,5%, sedangkan kandungan unsur hara dalam kotoran kelinci (urine dan feses) adalah 2,72% N, 1,10% P dan 0,5% K.

Jumlah Anakan Pennisetum purpureum

Hasil penelitian diperoleh bahwa faktor interval pemotongan berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan Pennisetum purpureum. Sedangkan dosis kotoran kelinci fermentasi dan interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah anakan Pennisetum purpureum (Lampiran 5). Rataan jumlah anakan Pennisetum purpureum selama penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 6. Rataan Jumlah Anakan Pennisetum purpureum Selama Penelitian Dosis Kotoran

Kelinci

Interval Pemotongan

Total Rataan SD A1 (4 mg) A2 (6 mg)

P0 2.89 1.83 4.72 2.36a 0.75

P1 4.89 6.50 11.39 5.70b 1.14

P2 7.33 9.33 16.66 8.33c 1.41

P3 17.11 11.83 28.94 14.47d 3.73

Total 32.22 29.49 61.71 - -

Rataan 8.06b 7.37a - 7.71 0.48

Pemberian pupuk organik cair berupa kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata meningkatkan pertumbuhan tinggi


(53)

tanaman. Kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi terhadap tinggi tanaman dapat dilihat dari Gambar 7.

Gambar 7. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Jumlah anakan Pennisetum purpureum

Dari Gambar 7 di atas menunjukkan bahwa pemberian kotoran kelinci fermentasi akan memberikan respon positif terhadap pertambahan jumlah anakan Pennisetum purpureum. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak dosis kotoran kelinci fermentasi yang diberikan maka jumlah anakan Pennisetum purpureum juga akan semakin meningkat yaitu terlihat dari titik pada kurva selalu meningkat seiring dengan meningkatnya penambahan dosis kotoran kelinci fermentasi.

Analisa statistik yang dilakukan diperoleh hasil bahwa jumlah anakan pada perlakuan dosis kotoran kelinci fermentasi P3 memberikan perbedaan yang sangat nyata pada perlakuan P0, yaitu dengan nilai rataan tertinggi 14,47 rumpun. Perlakuan interval pemotongan diperoleh hasil bahwa jumlah anakan pada pemotongan 4 minggu (A1) nilai rataan 8,06, sedangkan pada pemotongan 6 minggu memiliki jumlah anakan sebanyak


(54)

7,37 anakan. Interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi terhadap jumlah anakan Pennisetum purpureum dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Jumlah Anakan Pennisetum purpureum

Pada gambar di atas diperoleh hasil bahwa kombinasi perlakuan A1P3 memiliki nilai interaksi yang berpengaruh sangat nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan interval pemotongan 4 minggu (A1) dan dosis kotoran kelinci fermentasi 150 ml (P3) menunjukkan hasil yang lebih baik karena memiliki nilai rataan jumlah anakan 17,11 anakan, sementara itu pada kombinasi perlakuan A2P3 memperoleh hasil jumlah anakan 11,83 anakan. Tanah yang memiliki nilai kebutuhan hara yang cukup akan menghasilkan nilai produksi yang baik pula terhadap Pennisetum purpureum atau dapat menekan pertumbuhan tunas-tunas Pennisetum purpureum. Salah satu jenis pupuk yang cukup baik, agar sifat fisik tanah dapat dipertahankan adalah pupuk organik (dapat menggunakan kompos


(55)

atau pupuk kandang). Pupuk ini dapat terbentuk dari daun-daunan, jerami atau kotoran hewan yang sudah lapuk/hancur dan berubah menjadi bagian tanah (Murbandono, 1999).

. Pada hasil penelitian dapat dilihat bahwa semakin sering tanaman dipotong maka semakin meningkat jumlah anakannya. Hal ini disebabkan bahwa dengan pemotongan pada rumput akan merangsang berkembangnya tunas-tunas baru. Menurut Kristanto dan Karno (1991) bahwa tinggi pemotongan memberi pengaruh pada laju pertumbuhan kembali karena cadangan karbohidrat cukup untuk mendukung pemunculan dan pertumbuhan tunas baru yang terbentuk. Dilanjut dengan pernyataan Sanchez (1993) bahwa pemotongan dapat mendorong pembentukan tunas-tunas baru. Hal ini akan menggambarkan tanaman yang lebih sering mengalami pemotongan akan membentuk tunas yang lebih banyak. Dalam penelitian Adrianton (2010) bahwa interval pemotongan 4 minggu menghasilkan rataan jumlah anakan Pennisetum purpureum yang paling yaitu 0,46 pols/hari, dimana dalam penelitian ini interval pemotongan 4 minggu juga menghasilkan rataan jumlah anakan paling baik. Hal ini menggambarkan bahwa interval pemotongan 4 minggu memungkinkan tanaman dapat membentuk dan mengakumulasi karbohidrat yang cukup.

Protein Kasar Pennisetum purpureum (%)

Hasil penelitian diperoleh bahwa interval pemotongan, dosis kotoran kelinci fermentasi dan interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata


(56)

terhadap kandungan protein kasar Pennisetum purpureum (Lampiran 14). Hasil rataan kandungan protein kasar dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Protein Kasar Pennisetum purpureum Selama Penelitian (%)

Dosis Kotoran Kelinci Interval Pemotongan Total Rataan SD A1 (4 mg) A2 (6 mg)

P0 9.79 8.07 17.86 8.93a 1.22

P1 10.55 8.75 19.29 9.65a 1.27

P2 10.25 8.05 18.30 9.15a 1.56

P3 11.55 8.56 20.11 10.06ab 2.12

Total 42.14 33.42 75.56 - -

Rataan 10.54b 8.36a - 9.45 1.54

Hasil statistik yang dilakukan diperoleh bahwa diperoleh hasil bahwa perlakuan P3 memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap protein kasar Pennisetum purpureum, dengan nilai rataan yang paling baik yaitu 10,06% dibandingkan dengan perlakuan P0, P1 dan P2 dengan nilai rataan 8,93%, 9,65% dan 9,15%, sedangkan pada perlakuan interval pemotongan A1 memberikan kadar protein tertinggi yaitu 10,54%, sedangkan A2 memiliki nilai protein 8,36%. Untuk mengetahui interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi terhadap kadar protein kasar Pennisetum purpureum adalah pada Gambar 9.


(57)

Gambar 9. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan Dosis kotoran kelinci fermentasi Fermentasi Terhadap Protein Kasar Pennisetum purpureum (%)

Pada gambar di atas terlihat bahwa interaksi yang sangat nyata terhadap kandungan protein kasar adalah kombinasi perlakuan A1P3 atau interaksi dari kombinasi perlakuan interval pemotongan 4 minggu dan dosis kotoran kelinci fermentasi 150 ml. Nilai kandungan protein kasar pada A1P3 yaitu 11,55% lebih baik dibandingkan dengan kombinasi perlakuan A2P3 yaitu 8,56%. Hal ini disebabkan karena pada interval 4 minggu umur tanaman Pennisetum purpureum masih dalam fase pertumbuhan dan menghasilkan kandungan protein kasar yang tinggi dan serat kasar yang rendah. Selain itu, kandungan protein yang tinggi pada P3 dibandingkan dengan perlakuan P0, P1 dan P2 didukung oleh adanya kebutuhan unsur hara yang cukup bagi akar tanaman sebagai cadangan makanan yang diperoleh dari urine kelinci yang telah difermentasi. Interval pemotongan 4 minggu tanaman masih dalam fase-fase awal pertumbuhan sehingga


(58)

pembentukan serat masih rendah dan belum maksimal. Kandungan protein kasar tanaman Pennisetum purpureum yang menurun seiring dengan meningkatnya umur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Djajanegara (1998) bahwa umur tanaman pada saat pemotongan sangat berpengaruh terhadap kandungan gizinya. Umumnya, makin tua umur tanaman pada saat pemotongan, makin berkurang kadar proteinnya dan serat kasarnya makin tinggi. Demikian dengan pendapat Susetyo (1994), bahwa tanaman pada umur muda kualitas lebih baik karena serat kasar lebih rendah, sedangkan kadar proteinnya lebih tinggi. Apabila dibandingkan dengan penelitian Pangihutan (2005) menunjkkan hasil bahwa interval pemotongan 30 hari menunnjukkan nilai protein kasar sebesar 14,20%. Hal ini disebabkan karena pada interval pemotongan 30 hari tanaman masih pada fase-fase awal pertumbuhannya sehingga produksi protein masih rendah.

Serat Kasar Pennisetum purpureum (%)

Hasil penelitian diperoleh bahwa interval pemotongan, dosis kotoran kelinci fermentasi dan interaksi antara kedua perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar serat kasar Pennisetum purpureum (%) (Lampiran 17). Rataan kadar protein kasar Pennisetum purpureum selama penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 8. Rataan Kadar Serat Kasar Pennisetum purpureum Selama Penelitian (%)

Dosis Kotoran Kelinci

Interval Pemotongan

Total Rataan SD A1 (4 mg) A2 (6 mg)

P0 26.72 28.62 55.34 27.67ab 1.35

P1 26.02 27.11 53.12 26.56ab 0.77

P2 26.07 25.86 51.93 25.97a 0.15


(59)

Total 105.01 107.45 212.46 - -

Rataan 26.25a 26.86b - 26.56 0.43

Hasil uji statistik yang dilakukan diperoleh hasil bahwa pada perlakuan dosis kotoran kelinci fermentasi diperoleh bahwa perlakuan P0 tidak berbeda nyata dengan P1, akan tetapi memiliki perbedaan yang nyata pada P2 dan P3. Pada perlakuan interval pemotongan, interval pemotongan 6 minggu (A2) memiliki rataan kandungan serat kasar paling tinggi yaitu 27,28% dibandingkan dengan interval pemotongan 4 minggu (A1) yaitu 26,25%. Untuk mengetahui interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi dapat dilihat pada gambar 10.

Gambar 10. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan Dan Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi Fermentasi Terhadap Serat Kasar Pennisetum purpureum (%)

Pada gambar diperoleh bahwa interaksi yang memiliki serat kasar paling tinggi adalah terlihat pada kombinasi perlakuan A2P0 yaitu 28,68%, sedangkan pada kombinasi perlakuan A2P3 yaitu 25,86%. Hal ini disebabkan semakin lamanya interval pemotongan dan volume pupuk organik atau pupuk kandang yang semakin sedikit akan mempengaruhi


(60)

tingkat kandungan serat kasar Pennisetum purpureum yakni semakin lama pemotongan maka semakin tinggi serat kasar tanaman tersebut. Demikian juga dengan dosis pupuk kandang, jika sedikit unsur hara yang masuk ke dalam tanah maka cadangan karbohidrat untuk akar tanaman semakin sedikit sehingga lignin pada tanaman akan semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Crowder and Chedda (1982), bahwa peningkatan umur tanaman akan diikuti peningkatan bobot total dinding sel dan akan terjadi penurunan terhadap bobot isi sel.

Perbedaan kandungan serat kasar dapat terjadi karena perbedaan umur pemotongan. Umur pemotongan yang lebih lama akan mempengaruhi kandungan serat kasar (semakin tinggi), sedangkan umur pemotongan yang lebih pendek akan terjadi sebaliknya. Menurut Erwanto (1984) bahwa semakin lama umur pemotongan pada tanaman akan meningkatkan kandungan serat kasarnya. Kandungan serat kasar erat hubungannya dengan umur tanaman. Semakin tua umur tanaman semakin meningkat kandungan serat kasarnya. Dalam penelitian Adrianton (2010) menunjukkan hasil bahwa pemotongan rumput Gajah pada interval 4 minggu menghasilkan nilai serat kasar yang rendah yaitu 29,3%, sedangkan pada pemotongan 10 minggu memiliki nilai rataan kandungan serat kasar 33,2%. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tua umur tanaman maka nilai protein kasar akan semakin rendah dan nilai serat kasar semakin tinggi dimana hal itu juga diperoleh dalam hasil penelitian.


(61)

Energi Bruto Pennisetum purpureum (K.cal/gr)

Hasil penelitian diperoleh bahwa interval pemotongan, dosis kotoran kelinci fermentasi dan interaksinya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap energi bruto dalam Pennisetum purpureum (Lampiran 18). Rataan kandungan energi bruto Pennisetum purpureum selama penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 9. Rataan Energi Bruto Pennisetum purpureum Selama Penelitian (K.cal)

Dosis Kotoran Kelinci

Interval Pemotongan

Total Rataan SD A1 (4 mg) A2 (6 mg)

P0 4.61 4.39 9.00 4.50a 0.16

P1 4.52 4.39 8.91 4.45a 0.09

P2 4.45 4.59 9.05 4.52a 0.10

P3 4.56 4.51 9.07 4.53a 0.03

Total 18.14 17.88 36.02 - -

Rataan 4.53a 4.47a - 4.50 0.05

Analisa statistik diperoleh bahwa rataan kandungan energi bruto setiap perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Hal ini terlihat pada rataan kandungan energi bruto dalam Pennisetum purpureum

memiliki nilai energi yang hampir sama. Hal ini disebabkan oleh karena kemampuan akar tanaman menyerap nitrogen dari dalam tanah masih sama. Energi bruto dipengaruhi oleh protein, karena protein berperan sekali dalam pertumbuhan. Tinggi rendahnya energi dipengaruhi oleh kandungan protein, karena protein berperan sekali terhadap pertumbuhan. Nilai energi bruto dari suatu bahan pakan tergantung dari proporsi karbohidrat, lemak dan protein yang dikandung bahan pakan tersebut. Air dan mineral tidak


(1)

Lampiran 7. Data Jumlah Produksi Segar Rumput Gajah (gr) Selama Penelitian

Interval Pemotongan Kelompok Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi Total Rataan

P0 P1 P2 P3

A1

1 13.67 37.00 59.00 102.00 211.67 52.92 2 13.67 37.67 58.67 101.00 211.01 52.75 3 13.33 37.67 58.33 100.67 210.00 52.50 Total 40.67 112.34 176.00 303.67

Rataan 13.56 37.45 58.67 101.22 52.72

A2

1 18.00 59.00 99.00 141.00 317.00 79.25 2 19.50 60.00 100.00 140.50 320.00 80.00 3 18.50 59.00 99.00 142.50 319.00 79.75 Total 56.00 178.00 298.00 424.00

Rataan 18.67 59.33 99.33 141.33 79.67

Lampiran 8. Analisis Sidik Ragam Produksi Segar Rumput Gajah Selama Penelitian

SK DB JK KT Fhit Ftabel

0.05 0.01

Petak Utama:

Kelompok 2 0.40 0.20 - - -

Interval Pemotongan (A) 1 4355.66 4355.66 7782.42** 18.51 98.49

Galat (a) 2 1.12 0.56 - - -

Anak Petak:

Kotoran Kelinci (P) 3 36141.00 12047.00 30716.80** 3.49 5.95 Interaksi (AxP) 3 1295.93 431.98 1101.43** 3.49 5.95

Galat (b) 12 4.71 0.39 - - -

TOTAL 23 41798.82 - - -

Keterangan: ** = sangat nyata

Lampiran 9. Uji Duncan (DMRT) 5% Produksi Segar Rumput Gajah

Interval Pemotongan Rataan Notasi

A1 52.72a A

A2 79.67b B

Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi

P0 16.12 A

P1 48.39 B

P2 79.00 C


(2)

Lampiran 10. Data Jumlah Produksi Bahan Kering Rumput Gajah (gr) Selama Penelitian

Interval

Pemotongan Kelompok

Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi

Total Rataan

P0 P1 P2 P3

A1

1 12.46 34.15 54.22 96.79 197.62 49.41 2 12.42 34.75 53.91 95.84 196.92 49.23 3 12.13 34.76 53.61 95.51 196.01 49.00 Total 37.01 103.66 161.74 288.14

Rataan 12.34 34.55 53.91 96.05 49.21

A2

1 16.67 55.20 87.56 135.39 294.82 73.71 2 18.06 56.60 88.44 134.91 298.01 74.50 3 17.14 55.67 87.56 136.83 297.20 74.30 Total 51.87 167.47 263.56 407.13

Rataan 17.29 55.82 87.85 135.71 74.17 Lampiran 11. Analisis Sidik Ragam Produksi Bahan Kering Rumput Gajah

Selama Penelitian

SK DB JK KT Fhit Ftabel

0.05 0.01

Petak Utama:

Kelompok 2 0.41 0.20 - - -

Interval Pemotongan (A) 1 3737.01 3737.01 5774.75** 18.51 98.49

Galat (a) 2 1.29 0.65 - - -

Anak Petak:

Kotoran Kelinci (P) 3 32943.72 10981.24 123.61** 3.49 5.95 Interaksi (AxP) 3 1066.07 355.36 4.00* 3.49 5.95

Galat (b) 12 4.21 88.84 - - -

TOTAL 23 37752.70 - - -

Keterangan: * = nyata ** = sangat nyata

Lampiran 12. Uji Duncan (DMRT) 5% Produksi Bahan Kering Rumput Gajah

Interval Pemotongan Rataan Notasi

A1 49.21 A

A2 74.17 B

Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi

P0 14.82 A

P1 45.19 B

P2 70.88 C


(3)

Lampiran 13. Data Jumlah Protein Kasar Rumput Gajah (%) Selama Penelitian

Interval Pemotongan Kelompok Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi Total Rataan

P0 P1 P2 P3 Total

A1

1 9.79 10.51 10.30 11.56 42.16 42.16 10.54 2 9.81 10.61 10.22 11.54 42.18 42.18 10.55 3 9.77 10.52 10.23 11.56 42.08 42.08 10.52 Total 29.37 31.64 30.75 34.66 126.42

Rataan 9.79 10.55 10.25 11.55 42.14 10.54

A2

1 8.03 8.73 8.03 8.55 33.34 33.34 8.34 2 8.10 8.80 8.01 8.57 33.48 33.48 8.37 3 8.07 8.71 8.11 8.55 33.44 33.44 8.36 Total 24.20 26.24 24.15 25.67 100.26

Rataan 8.07 8.75 8.05 8.56 33.42 8.36 Lampiran 14. Analisis Sidik Ragam Protein Kasar Rumput Gajah Selama

Penelitian

SK DB JK KT Fhit Ftabel

0.05 0.01

Petak Utama:

Kelompok 2 0.002 0.001 - - -

Interval Pemotongan (A) 1 28.514 28.514 27156.571** 19.00 99.00

Galat (a) 2 0.002 0.001 - 18.51 98.49

Anak Petak:

Kotoran Kelinci (P) 3 4.600 1.533 932.520** 3.49 5.95 Interaksi (AxP) 3 1.530 0.510 310.223** 3.49 5.95

Galat (b) 12 0.020 0.002 - - -

TOTAL 23 34.669 - - - -

Keterangan: ** = sangat nyata

Lampiran 15. Uji Duncan (DMRT) 5% Protein Kasar Rumput Gajah

Interval Pemotongan Rataan Notasi

A1 10.54 A

A2 8.36 B

Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi

P0 8.93 A

P1 9.65 A

P2 9.15 A


(4)

Lampiran 16. Data Jumlah Serat Kasar Rumput Gajah (%) Selama Penelitian

Interval

Pemotongan Kelompok

Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi

Total Rataan

P0 P1 P2 P3

A1

1 26.00 25.96 25.96 26.56 104.48 26.12 2 26.37 26.33 26.31 25.53 104.54 26.14 3 27.79 25.76 25.94 26.52 106.01 26.50 Total 80.16 78.05 78.21 78.61

Rataan 26.72 26.02 26.07 26.20 26.25

A2

1 27.62 28.65 27.11 25.55 108.93 27.23 2 27.58 28.61 27.11 25.52 108.82 27.21 3 27.32 28.61 27.10 26.51 109.54 27.39 Total 82.52 85.87 81.32 77.58

Rataan 27.51 28.62 27.11 25.86 27.27 Lampiran 17. Analisis Sidik Ragam Kadar Serat Kasar Rumput Gajah Selama Penelitian

SK DB JK KT Fhit Ftabel

0.05 0.01

Petak Utama:

Kelompok 2 0.39 0.20

Interval Pemotongan (A) 1 6.27 6.27 208.23** 19.00 99.00

Galat (a) 2 0.06 0.03 18.51 98.49

Anak Petak:

Dosis Kotoran Kelinci (P) 3 5.99 2.00 8.10** 3.49 5.95 Interaksi (AxP) 3 6.65 2.22 8.99** 3.49 5.95

Galat (b) 12 2.96 0.25

TOTAL 23 22.31

Keterangan: ** = sangat nyata

Lampiran 18. Uji Duncan (DMRT) 5% Serat Kasar Rumput Gajah

Interval Pemotongan Rataan Notasi

A1 26.25 A

A2 27.28 B

Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi

P0 27.67 AB

P1 26.77 AB

P2 26.59 A


(5)

Lampiran 19. Data Jumlah Energi Bruto Rumput Gajah (K.cal/gr) Selama Penelitian

Lampiran 20. Analisis Sidik Ragam Energi Bruto Rumput Gajah Selama Penelitian

SK DB JK KT Fhit Ftabel

0.05 0.01

Petak Utama:

Kelompok 2 0.001 0.001

Interval Pemotongan (A) 1 0.025 0.025 456.077** 19.00 99.00

Galat (a) 2 0.000 0.001

Anak Petak:

Kotoran Kelinci (P) 3 0.023 0.008 67.061** 3.49 5.95 Interaksi (AxP) 3 0.107 0.036 312.720** 3.49 5.95

Galat (b) 12 0.001 0.001

TOTAL 23 0.157

Keterangan: ** = sangat nyata

Interval Pemotongan Kelompok

Dosis Kotoran Kelinci

Fermentasi Total Rataan

P0 P1 P2 P3

A1

1 4.62 4.54 4.47 4.56 18.19 4.55 2 4.61 4.51 4.44 4.54 18.10 4.53 3 4.60 4.50 4.45 4.57 18.12 4.53 Total 13.83 13.55 13.36 13.67

Rataan 4.61 4.52 4.45 4.56 4.53

A2

1 4.40 4.40 4.60 4.51 17.91 4.48 2 4.38 4.39 4.58 4.50 17.85 4.46 3 4.38 4.38 4.60 4.52 17.88 4.47 Total 13.16 13.17 13.78 13.53


(6)

Lampiran 21. Uji Duncan (DMRT) 5% Energi Bruto Rumput Gajah

Interval Pemotongan Rataan Notasi

A1 13.60 A

A2 13.41 A

Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi

P0 13.50 A

P1 13.36 A

P2 13.57 A


Dokumen yang terkait

Pengaruh pemberian feses dan urin kerbau lumpur terhadap produksi dan kualitas rumput gajah mini (pennisetum purpureum schamach) dengan interval Pemotongan yang berbeda

0 3 79

Pengaruh pemberian feses dan urin kerbau lumpur terhadap produksi dan kualitas rumput gajah mini (pennisetum purpureum schamach) dengan interval Pemotongan yang berbeda

0 0 10

Pengaruh pemberian feses dan urin kerbau lumpur terhadap produksi dan kualitas rumput gajah mini (pennisetum purpureum schamach) dengan interval Pemotongan yang berbeda

0 0 2

Pengaruh pemberian feses dan urin kerbau lumpur terhadap produksi dan kualitas rumput gajah mini (pennisetum purpureum schamach) dengan interval Pemotongan yang berbeda

0 0 4

Pengaruh pemberian feses dan urin kerbau lumpur terhadap produksi dan kualitas rumput gajah mini (pennisetum purpureum schamach) dengan interval Pemotongan yang berbeda

0 0 11

Pengaruh pemberian feses dan urin kerbau lumpur terhadap produksi dan kualitas rumput gajah mini (pennisetum purpureum schamach) dengan interval Pemotongan yang berbeda

0 0 3

Pengaruh pemberian feses dan urin kerbau lumpur terhadap produksi dan kualitas rumput gajah mini (pennisetum purpureum schamach) dengan interval Pemotongan yang berbeda

0 0 29

Pengaruh Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi (Urine Dan Feses) Dan Interval Pemotongan Terhadap Produksi Dan Kualitas Rumput Gajah (Pennisetum Purpureum)

0 0 8

Pengaruh Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi (Urine Dan Feses) Dan Interval Pemotongan Terhadap Produksi Dan Kualitas Rumput Gajah (Pennisetum Purpureum)

0 0 14

Pengaruh Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi (Urine Dan Feses) Dan Interval Pemotongan Terhadap Produksi Dan Kualitas Rumput Gajah (Pennisetum Purpureum)

0 0 11