EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

ABSTRAK

EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

Oleh

MITTA DESSYANA

Hubungan KPK dangan Kepolisian dan Kejaksaan bersifat partnership yaitu
KPK sebagai penunjang kinerja Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas
tindak pidana korupsi. Sampai tahun 2002 Indonesia masih mengenal Kepolisian
dan Kejaksaan yang merupakan lembaga penegak hukum yang ada dalam Sistem
Peradilan Pidana untuk memberantas tindak pidana di Indonesia. Permasalahan
dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah Eksistensi KPK dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia dan Bagaimanakah Kewenangan KPK dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Pendekatan masalah yang digunakan, Pendekatan yuridis normative dan
pendekatan yuridis empris. Sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data
primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap
penyidik Kepolisian Polda Lampung dan Kasi Eksekusi dan Eksaminasi

Kejaksaan Tinggi Lampung dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
Hasil Penelitian dan Pembahasan bahwa Eksistensi Komisi Pemberantasan
Korupsi Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dapat dilihat dari adanya
Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagai Lembaga Negara KPK
berada diluar Criminal Justice System, namun KPK diatur secara Korelasi yang
dilandasi oleh Undang-Undang, dapat dilihat dari cara kerjanyatanya KPK selalu
berkolerasi dengan Instansi-Instansi didalam Criminal Justice Syste. Kewenangan
supervise oleh KPK juga dimaksudkan untuk meminimalisir penyalah gunaan
kewenangan polisi dan jaksa dalam melaksanakan pemberantasan tindak pidana
krupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi harus tetap melakukan pemberantasan
korupsi tanpa terganggu ada nya isu - isu diluar yang menyudutkan kewenangan
KPK.

Mitta Dessyana
Adapun saran yang diberikan oleh penulis : Baiknya Kepolisian dan Kejaksaan lebih
untuk melakukan kerjasama dan membudayakan harmonisasi antara ketiga Lembaga
Negara yang ditunjuk secara khusus. dalam menangani pidana khusus korupsi. Sebaiknya
menjalankan tugas yang sudah diatur oleh Undang-Undang dan saling mendukung dan
lebih bekerja sebagai sebuah Lembaga Negara bukan sebagai pribadi yang memiliki

“ego” masing-masing ditiap Lembaga yang di pimpin masing-masing Kepala Lembaga
Pemerintahan. yang harus lebih ditekankan adalah KPK harus tetap melakukan
pemberantasan korupsi tanpa terganggu adanya isu-isu diluar yang menyudutkan
kewenangan KPK, KPK harus berani memperbarui kesepakatan untuk benar-benar dan
sepenuhnya bekerja untuk Indonesia yang bersih dari kepentingan politikdan KPK harus
menjadikan semua kasus yang tengah dikerjakan sebagai momentum untuk pembuktian
dan diselesaikan dengan tepat, capat dan pasti untuk mengembalikan citra KPK dimata
masyarakat.

Kata Kunci :Komisi Pemberantasan Korupsi, Sistem Peradilan Pidana
Indonesia

DAFTAR ISI

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................

1


B. Permasalahan dan Ruang Lingkup.....................................................

7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................................

8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual.....................................................

9

E. Sistematika Penulisan ........................................................................

13

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Lembaga Pemberantasan Korupsi.........................................


16

B. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi .....................................

19

C. Fungsi dan wewenang Komisi Pemberantsan Korupsi .....................

21

D. Pengertian Sistem Peradilan Pidana...................................................

22

E. Model proses peradilan pidana Indonesia ..........................................

26

F. Tujuan Sistem Peradilan Pidana ........................................................


27

III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah...........................................................................

31

B. Sumber dan Jenis Data .......................................................................

32

C. Penentuan Narasumber ......................................................................

33

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ..................................

34

E. Analisis Data ......................................................................................


35

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. KarakteristikResponden ....................................................................

36

B. Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia ...........................................................

38

C. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi di Indonesia ...................................................

52

V. PENUTUP
A. Simpulan ...........................................................................................


61

B. Saran..................................................................................................

62

DAFTAR PUSTAKA

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tindak pidana korupsi merupakan permasalahan yang muncul sejak berdirinya
Negara-negara di dunia karena dapat menimbulkan kerugian yang sangat luar
biasa. Khusus di Negara Indonesia, tindak pidana Korupsi sudah ada sejak
masa penjajahan. Semenjak itu upaya pemberantasan korupsi terus digalakan
untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional, meningkatnya korupsi di
Indonesia dapat menjatuhkan sistem pemerintahan Indonesia.

Lembaga Negara dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : Lembaga Tinggi Negara,
Lembaga Negara, dan Lembaga yang berada di Daerah. Lembaga Negara
secara fungsi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: Lembaga Negara yang
harus ada didalam sebuah negara karena merupakan eksistensi sebuah Negara,
ada pula yang bersifat sekunder yaitu Lembaga Negara yang menjalankan
fungsi turunan Negara yang sudah ada atau sebagai lembaga penunjang.
Komisi Pemberantasan Korupsi (Selanjutnya disingkat KPK) sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, apabila dilihat dari kewenanganya maka kewenangan
yang ada pada KPK

merupakan kewenangan yang bersifat turunan dari

kewenangan Lembaga Eksekutif (Presiden) dalam bidang penegakan hukum,

dari sisi kewenangan yang sekarang dimiliki oleh KPK merupakan kewengan
yang sebelumnya berada ditangan Kepolisian dan Kejaksaan. Kewenangan
Kepolisian adalah penyelidikan dan penyidikan dalam tindak pidana korupsi2.
Kewenangan Kejaksaan adalah penuntutan dalam hal tindak pidana Korupsi
yang bersifat limitatif. Kewenangan penuntutan sebelumnya berada di tangan

Kejaksaan, Sekarang kewenangan Kejaksaan yaitu Penuntutan Kecuali Tindak
Pidana Korupsi yang telah Diatur secara Limitatif dalam Undang-undang
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Peraturan Perundang-Undangan Lainya.
Hubungan KPK dangan Kepolisian dan Kejaksaan bersifat partnership yaitu
KPK

sebagai

penunjang

kinerja

Kepolisian

dan

Kejaksaan

dalam


memberantas tindak pidana korupsi3. Pembentukan KPK sebagaimana
Pembentukan state auxiliary institution pada umumnya maka politik hukum
pembentukan KPK tidak terlepas dari politik hukum lembaga penunjang
lainya.
Dasar pembentukan KPK adalah terjadinya delegitimasi Lembaga Negara
yang telah ada. Hal ini disebabkan karena terbuktinya asumsi yang
menyatakan bahwa terjadinya korupsi yang mengakar dan sulit untuk
diberantas4. Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dianggap dinilai gagal dalam
memberantas korupsi. Dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap penegakan hukum maka pemerintah membentuk KPK, sebagai

www.wikipedia.org.go.id/komisi_pemberantasan korupsi.dilihat pada 6 januari 2013 pukul 10.08
WIB
3

Ibid. www.wikipedia.org.go.id/komisi_pemberantasan korupsi.
http://kompasiana.com/ kepastian KPK.. dilihat pada 6 Januari 2013 pukul 10.15WIB

4


2

Lembaga Negara baru yang diharapkan dapat mengembalikan citra penegakan
hukum di Indonesia.
Pembentukan KPK beranjak dari asumsi bahwa tindak pidana korupsi di
Indonesia dianggap sebagai Kejahatan Luar Biasa, sehingga dibutuhkan
lembaga yang luar biasa dengan kewenangan yang luar biasa pula. KPK
dibangun dari pemikiran bahwa Korupsi di Indonesia telah melampaui batas
normal kejahatan pada umumnya.
Menurut Syed Hussein Alatas ciri-ciri korupsi antara lain adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang.
Korupsi pada umumnya dilakukan dengan penuh kerahasiaan.
Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
Korupsi dengan berbagai macam akal berlindung di balik pembenaran
hukum.
Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan keputusan yang
tegas dan mereka yang mampu mempengaruhi keputusan.
Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan publik maupun
pada masyarakat umum.
Setiap bentuk korupsi adalah suatu penghianatan kepercayaan.
Setiap bentuk korupsi melibatkan bentuk ganda yang kontradiktif dari
mereka yang melakukan itu.
Suatu bentuk korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggung
jawaban dalam tatanan masyarakat5.

Undang-Undang yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
yang berlaku di Indonesia saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 adalah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang
dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum di
dalam masyarakat. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tersebut, diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi kebutuhan

Syed Hussein Alatas,1982,sosiologi korupsi : sebuah penjelajahan dengan data kontemporer
Jakarta,hlm 6

3

hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih
efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya.6
Selanjutnya untuk lebih memaksimalkan pelaksanaan pemberantasan korupsi
di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang di dalamnya diatur tentang
pembentukan

sebuah

lembaga

yang

memiliki

tugas

khusus

dalam

menanggulangi dan menyelesaikan masalah korupsi yang terjadi di Indonesia.
Indonesia adalah Negara hukum yang memerlukan penegakan hukum untuk
menjaga keamanan dan ketertiban Negara, salah satunya adalah kepolisian.
Kepolisian berfungsi sebagai salah satu fungsi pemerintahan dibidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman dan pelayanan masyarakat. secara yuridis Kepolisian dan
Kejaksaan merupakan aparat penegak hukum yang secara bersamaan berada
dibawah naungan KUHAP sejak lama.
Tahun 2002 Indonesia masih mengenal Kepolisian dan Kejaksaan yang
merupakan lembaga penegak hukum yang ada dalam Sistem Peradilan Pidana
untuk memberantas tindak pidana di Indonesia.

6

Http://KPK..go.id Undang-Undang Pendukung. Lihat pada 19 februari 2012 pukul 4.25

4

V.N. Pillai Merumuskan sistem Peradilan Pidana sebagai berikut :
Sistem peradilan pidana diartikan dengan kepolisian, penuntut umum
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan yang merupakan komponenkomponen dari pada susunan proses peradilan pidana7.
Kepolisian, Penuntut Umum, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang
masing-masing memiliki tugas dan wewenang yang berbeda, meskipun
demikian tidak berarti bebas anatara satu dengan yang lainya. Apa yang
dilakukan oleh satu badan memberikan pengaruh langsung pada pekerjaan
badan lainya. KPK yang di dirikan pada Tahun 2002 oleh Presiden RI. KPK
berdiri sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk koordinasi dan
supervisi termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
superbody yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Salah satu kewenangan KPK dapat melakukan koordinasi dan supervisi yang
merupakan salah satu kewenangan strategis sebagai pemicu

badan atau

institusi lainya dalam mempercepat pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
KPK tidak di desain untuk menangani semua perkara korupsi dan tidak boleh
memonopoli penanganan perkara korupsi, dapat dilihat dari penjelesan umum
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disebutkan
bahwa :
a.

Dalam menyusun jaringan kerja yang kuat dan memperlakukan institusi
yang telah ada sebagai counterpartner yang kondusif sehingga

Kadri, Husin, 2011. buku ajar Sistem Peradilan Pidana. Universitas Lampung. Lampung, hlm 49

5

b.
c.
d.

pelaksanaan pemberatasan korupsi dapat dilakukan secara efisien dan
efektif.
Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan.
Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada
dalam pemberantasan korupsi.
Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah
ada dalam keadaan tertentu, dapat mengambil alih tugas dan wewenang,
penyelidikan,penuntutan superbody yang sedang dilaksanakan oleh
kepolisian dan kejaksaan.

Pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai
institusi seperti Kejaksaan dan Kepolisian dan badan-badan hukum lainnya
oleh karena itu pengaturan tentang kewenangan KPK dalam Undang-Undang
ini dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan
dengan berbagai institusi tersebut.
Luas nya wewenang KPK yang diberikan oleh Undang – Undang menjadi
daya tarik untuk dilakukan penelitian terhadap lembaga superbody dalam hal
ini KPK dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Dengan kata lain pendirian KPK sebagai Lembaga Negara penunjang berarti,
setelah Kepolisian dan Kejaksaan telah kembali memperoleh kepercayaan
masyarakat maka apakah KPK akan ditiadakan. Namun dalam hal ini tidak
ada parameter yang jelas dari pendirian KPK oleh pemerintah. Apakah
parameter tersebut berdasarkan angka pemberantasan korupsi, tingkat korupsi
di masyarakat atau parameter lain. Berdasarkan uraian di atas penulis
melakukan penelitian dalam bentuk skripsi mengenai “Eksistensi Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia”

6

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti membatasai permasalahan
Agar dapat lebih terarah menyangkut keberadaan Komisi Pemberantsan
Korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, maka permasalah utama
tersebut diperinci dalam rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia?
2. Bagaimanakah Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia?

2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian skripsi ini terbatas pada kajian bidang hukum pidana
khususnya hanya terbatas pada Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi
Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, pengaruh hukumya eksistensi
KPK dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Ruang lingkup penelitian
skripsi ini adalah wilayah hukum daerah Lampung, penelitian dilakukan di
Polda Lampung dan Kejaksaan Tinggi Lampung, Tahun penelitian 2013,
sedangkan lingkup bidang ilmu bagian hukum pidana adalah Sistem Peradilam
Pidana.

7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada pokok bahasan diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mengungkap dan menganalisis eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi
Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indosensia.
b. Untuk mengetahui bagaimanakah kewenangan Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam system peradilan pidana di Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis
maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut :
1. Kegunaan teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan
dan memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu
hukum pidana pada umumnya, dan secara khusus mengenai status
keberadaan KPK dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
2. Kegunaan praktis

Manfaat praktis untuk menambah pngetahuan kepada mahasiswa agar
dapat mengetahui keberadaan, fungsi dan kewenangan KPK Dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia.

8

Secara praktis penelitian ini berguna untuk :
a. Memperluas pengetahuan penulis tentang bagaimana keberadaan KPK
Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
b. Sumbangan pemikiran penulis bagi masyarakat luas agar dapat
mengetahui mengapa dibentuk KPK dalam rangka memberantas tindak
pidana korupsi di Indonesia.

D. Kerangka Teoretis dan Konsepstual

1. Kerangka Teoretis
Kerangka teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk
mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap
relevan oleh peneliti. Pada setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiranpemikiran teoritis. Hal ini karena adanya hubungan timbal balik yang erat
antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan
konstruksi data.8
Pengertian Sistem Peradilan Pidana menurut Ali Said. S.H adalah :
Sistem Peradilan Pidana adalah berarti kita menyetujui pendekatan sistemik
dalam melakukan management dari administrasi peradilan kita. Ini berarti
bahwa unsur-unsur seperti Kehakiman, Kejaksaan, Lembaga Pemasyarakatan,
dan juga masyarakat adalah subsistem dari Peradilan Pidana yang berakibat
perlunya akan keterpaduan dalam rangka dan gerak masing-masing subsistem
kearah tercapainya tujuan bersama9.

8
9

Soerjono Soekanto, 1986,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 124
Kadri Husin,2011.Op.cit, hlm 12

9

Mengenai sistem hukum yang berlaku menurut Lawrence M.Friedman
berisikan tentang tiga komponen, yaitu :
a.

b.

c.

Komponen pertama adalah struktur, yaitu bagian-bagian yang bergerak
dalam suatu mekanisme misalnya pengadilan sebagai suatu contoh yang
jelas dan sederhana. Pengadilan mempunyai Mahkamah Hakim yang
bersidang ditempat tertentu, waktu tertentu, dengan batas yuridisdiksi
yang ditentukan. demikian juga Kejaksaan, Kepolisian merupakan contoh
komponen struktur itu.
Komponen kedua adalah substansi, ketentuan-ketentuan, alasan-alasan
hukum atau kaidah-kaidah hukum, termasuk yang tidak tertulis, yang
merupakan hasil aktual yang dibentuk oleh sistem hukum.
Komponen ketiga adalah sikap publik atau nilai-nilai atau budaya hukum
yang memberikan pengaruh positif atau negatif kepada tingkah laku yang
bertalian dengan hukum atau perantara hukum. Wujud budaya hukum
atau hubunganya dengan sistem hukum mempengaruhi apakah orang
akan mendayagunakan Pengadilan, Polisi atau Jaksa dalam menghadapi
suatu kasus. Disini budaya hukum menentukan apakah komponen
struktur dan komponen substansi dalam sistem hukum mendapat tempat
yang logis, sehingga menjadi milik masyarakat umum10.

Apa yang dikemukakan di atas tidak lain adalah bahwa hukum itu merupakan
suatu sistem dalam oprasionalisasinya, hukum sebagai sistem maka ketiga
komponen itu mampunyai hubungan satu sama lain yang erat sekali. Struktur
dipengaruhi secara timbal balik oleh substansi dan demikian pula struktur dan
substansi dipengaruhi oleh komponen sikap publik dan nilai-nilai.
Adapun dasar pembentukan KPK adalah terjadinya delegitimasi Lembaga
Negara yang telah ada. Hal ini disebabkan karena terbuktinya asumsi yang
menyatakan bahwa terjadinya korupsi yang mengakar dan sulit untuk
diberantas. Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dinilai gagal dalam
memberantas korupsi11.

11

Kadri Husin,2011.ibid, hlm 12-13
Op.cit, http://kompasiana.com.

10

KPK dibentuk dengan dasar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK mempunyai tugas
khusus dalam menanggulangi dan menyelesaikan masalah korupsi, dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya KPK diharapkan dapat bekerja secara
Independent tanpa Interpensi dari pihak manapun.

Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan
Korupsi mempunyai tugas :

1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi;
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

2. Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan
dengan istilah-istilah yang ingin diteliti atau ingin diketahui12. KPK adalah
Lembaga Negara yang bertugas menyelesaikan masalah korupsi di Indonesia
yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan
bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Soerjono, Soekanto, op. cit, hlm. 132

11

Pengertian istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu :
1. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu
koorporasi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara13.
2. Peradilan Pidana adalah suatu proses, yang bekerja dalam suatu jaringan
yang melibatkan Lembaga Penegak Hukum. Kegiatan peradilan pidana
adalah meliputi kegiatan yang bertahap mulai dari penyidikan oleh
kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, pemeriksaan, dipersidangan oleh
hakim dan pelaksanaan pidana oleh lembaga pemasyarakatan14.
3. Sistem Peradilan Pidana adalah tidak lain dari kerja sama anatar lembagalembaga yang terlibat dalam peradilan pidana secara terpadu walaupun
dengan kebhinekaan fungsi dari masing-masing unsur sistem tersebut
dalam penghayatan yang sama tentang tujuan sistem peradilan15.
4. Komisi Pemberantasan Korupsi adalah sebuah Lembaga Negara yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan
bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi16.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi
14
Kadri Husin, 2011.Op.cit hlm 10
15
Kadri Husin, Ibid, hlm 12
16
Op.cit, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002,

12

5. Eksistensi adalah sebuah keberadaan17. Dalam hal ini adalah keberadaan
KPK dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
6. Eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim dalam hal ini pelaksanaan
hukuman badan peradilan.
7. Eksaminasi adalah proses penentuan autentik atau tidak suatu hukuman
yang ditentukan oleh badan peradilan

E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan disajikan untuk mempermudah pemahaman penulisan
skripsi secara keseluruhan. Sistematika penulisanya sebagai berikut :
I.

PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang
ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya, tujuan dan
kegunaan dari penulisan. Kerangka teoritis dan konseptual serta
menguraikan tentang sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini
dijelaskan tentang Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertianpengertian umum suatu pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat
teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara
teori yang berlaku dengan kenyataan yang berlaku dalam praktek. Adapun
Pustaka, Balai. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan kebudayaan,
Jakarta, hlm 253

13

garis besar dalam bab ini adalah menjelaskan pengertian tentang sejarah
Lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia, Kedudukan KPK, Fungsi
dan wewenang KPK, pengertian Sistem Peradilan Pidana dan Tujuan
Sistem Peradilan Pidana.

III. METODE PENELITIAN
Pada bab ini diuraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi
yaitu langkah-langkah atau cara yang dipakai dalam penelitian memuat
pendekatan masalah, serta sumber dan jenis data, pengumpulan dan
pengelolaan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan pembehasan tentang berbagai hal yang terkait langsung
dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu
untuk mengetahui Eksistensi KPK dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia dan status KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia.

V. PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan ini, dalam bab ini dimuat
dan diuaraikan secara singkat kesimpulan serta saran dari penulis dalam
kaitanya dengan permasalahan yang dibahas.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Lembaga Pemberantasan Korupsi Di Indonesia

Orde Lama, Kabinet Djuanda, dimasa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk
badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan
Undang-Undang keadaan bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling
Aparatur Negara (PARAN), badan ini dipimpin oleh A.H.Nasution dan
dibantu oleh dua orang anggota yakni Profesor M.Yamin dan Roeslan
Abdulgani. Kepada PARAN inilah seluruh pejabat harus menyampaikan data
mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan.
Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu
adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin
pertanggungjawaban secara langsung kepada presiden, formulir itu tidak
diserahkan kepada PARAN, tetapi langsung kepada presiden. Diimbuhi
dengan kekacauan politik, PARAN berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya
menyerahkan kembali pelaksaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi didirikan pada Tahun 1963, melalui Keputusan Presiden
Nomor 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang pada
saat itu

15

menjabat sebagai menteri koordinator pertahanan dan kemanan/ KASAB,
dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih
dikenal dengan Operasi Bhudi. kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni
menyeret pelaku korupsi kepengadilan dengan sasaran utama perusahaanperusahaan negara serta Lembaga Negara lainya yang dianggap rawan praktek
korupsi dan Kolusi17.
Lagi-lagi alasan politisi menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama
Pertamina yang bertugas ke Luar Negeri dan direksi lainya menolak karena
belum adanya surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektifitas lembaga
ini. Operasi Budhi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan
ngara kurang lebih Rp.11M. Operasi Budhi ini dihentikan dengan
pengumuman pembubaranya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi
Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAF) dengan presiden
Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad
Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatat bahwa seiring dengan lahirnya
lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama kembali masuk
kejalur lambat, bahkan macet.
Orde Baru, Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato Kenegaraan pada
tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkeritik Orde Lama,
yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan Demokrasi
yang terpusat ke Istana, pidato itu seakan memberi harapan besar seiring
18

Prinst Darwan. 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm

11.

16

dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa
Agung. Namun ternyata, ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan
berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite 4 (empat)
beranggotakan Tokoh-Tokoh Tua yang dianggap bersih dan berwibawa,
seperti Prof.Johanes, I.J.Kasimo, Mr Wilopo, dan A.Tjokroaminoto, dengan
tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT.
Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini menjadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus
korupsi di Pertamina misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah.
Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika
Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi
Tertib dengan tugas antara lain juga memberatas korupsi. Perselisihan
pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top
down dikalangan pemberatas korupsi itu sendiri cenderung semakin
melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Operasi Tertib pun hilang
seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana
Orde Baru18.
Era Reformasi, Di Era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh
B.J. Habibie dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti
Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga
Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim
Prinst, Darwan. Ibid, 2002 hlm 13

17

Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui
Peratuan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. namun, ditengah semangat
menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui
suatu judicial review Mahkamah Agung, Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi akhirnya dibubarkan dengan logikan membenturkanya
ke Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Nasib Serupa tapi tidak sama
dialami oleh KPKPN dengan dibentuknya Komis Pemberantasan Korupsi,
tugas KPKPN melebur masuk kedalam KPK, sehingga KPKPN sendiri
menguap. Artinya, KPK adalah Lembaga Pemberantasan Korupsi Terbaru
yang kian bertahan.19
B. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Seiring berjalannya Reformasi di Indonesia muncul berbagai macam
perubahan dalam sistem Ketatanegaraan, khususnya perubahan pada
Konstitusi Negara Indonesia. Salah satu hasil dari Perubahan Konstitusi
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara
RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya, MPR bukan lagi
lembaga tertinggi negara karena semua Lembaga Negara

didudukkan

sederajat dalam mekanisme checks and balances.
Sementara

itu, konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang

mengatur

dan

membatasi

kekuasaan lembaga-lembaga

Negara.

Perkembangan konsep trias politica juga turut memengaruhi perubahan

19

Prinst, Darwan. Ibid, 2002 hlm 14-15

18

struktur kelembagaan di Indonesia. Di banyak negara, konsep klasik mengenai
pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi
kekuasaan yang ada tidak mampu menanggung
menyelenggarakan pemerintahan.

Untuk

beban

menjawab

negara

tuntutan

dalam
tersebut,

negara membentuk jenis Lembaga Negara baru yang diharapkan dapat lebih
responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara.20 Maka,

berdirilah

berbagai Lembaga Negara yang membantu tugas lembaga-lembaga negara
tersebut yang menurut Prof. Dr Jimly Asshidiqie, SH disebut sebagai
”Lembaga Negara Bantu” dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan,
ataupun otorita, dengan masing-masing tugas dan wewenangnya. Beberapa
ahli tetap mengelompokkan lembaga negara bantu dalam lingkup eksekutif,
namun ada pula sarjana yang menempatkannya tersendiri sebagai cabang
keempat kekuasaan pemerintahan.
Dalam konteks Indonesia, kehadiran Lembaga Negara Bantu menjamur pasca
perubahan UUD Negara RI Tahun 1945. Berbagai Lembaga Negara
Bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam.
Beberapa di antaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula
yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang ataupun keputusan
presiden. Salah satu Lembaga Negara bantu yang dibentuk dengan undangundang adalah KPK. Dibawah perlindungan hukum Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Prinst, Darwan. Ibid, 2002 hlm16

19

Walaupun bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun, KPK
tetap

bergantung

kepada kekuasaan

eksekutif

dalam

kaitan

dengan

masalah keorganisasian, dan memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan
yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara
korupsi.

Kedepannya,

tindak

pidana

kedudukan Lembaga Negara Bantu seperti KPK

membutuhkan legitimasi hukum yang lebih kuat dan lebih tegas serta
dukungan yang lebih besar dari masyarakat.
C. Fungsi Dan Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi

Berkaitan dengan fungsi dan wewenang KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 6
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,

KPK mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut :

1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi;
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Selanjutnya wewenang KPK seperti diatur dalam pasal 7 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah sebagai
berikut :

1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi;
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi;

20

3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
kepada instansi yang terkait;
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi.

D. Pengertian Sistem Peradilan Pidana

Lembaga Pemasyarakatan sebagai suatu sub-sistem dari Peradilan Pidana,
mempunyai tugas dan tanggung-jawab yang sama dengan sub-sistim lainnya,
yaitu : Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Sebagai suatu Lembaga
Pembinaan, posisinya sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari
sistim

Pemasyarakatan,

yaitu:

rehabilitasi,

reedukasi,

resosialisasi,

reintegrasi, terhadap narapidana, bahkan sampai pada penanggulangan
kejahatan. Keberhasilan dan kegagalan pembinaan yang dilakukan oleh
Lembaga Pemasyarakatan akan memungkinkan memberikan penilaian yang
bersifat positif dan negatif. Penilaian positif apabila pembinaan narapidana
mencapai hasil maksimal yaitu narapidana itu menjadi baik kembali dalam
masyarakat, sedangkan penilaian itu negatif apabila, bekas narapidana yang
pernah dibina itu melakukan tindak pidana lagi (residivis)

21

. Sebagai suatu

sistem maka di dalam mekanismenya adanya suatu syarat yang harus dipenuhi
yaitu adanya kerjasama di antara sub sistem.

21

www.Image.Dahwirpane.multiply.com, dilihat, pada12:57 WIB tanggal 13 february 2012

21

Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara, penempatan
pancasila sebagai segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan
Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta
sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara, sehingga setiap materi muatan
Peraturan Perundang-Undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila. Lima Sila dalam Pancasila itu adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Ketuhanan Yang Maha Esa;
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab;
Persatuan Indonesia
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan Perwakilan;
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Mahkamah Agung dan Peradilan di Indonesia adalah penyelenggara
kekuasaan kehakiman yang merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan

peradilan

guna

menegakan

hukum

dan

keadilan

berdasarkan Pancasila, Demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia. Peradilan Negara adalah seluruh peradilan di seluruh wilayah
Negara Republik Indonesia yang menerapkan keadilan berdasarkan Pancasila
jadi pancasila juga menjadi dasar konstruksi dari lembaga peradilan Indonesia.
Untuk itu sebagai perwujudan negara hukum Indonesia hendaklah dibangun
berdasarkan cirri-ciri :
1. Keserasian hubungan antara pemerinath dan rakyat didasarkan atas
kekeluargaan;
2. Hubungan fungsional antara kekuasaan negara yang proposional;

22

3. Prinsip penyelesaian sengketa yang mengutamakan musyawarah dan
peradilan sebagai usaha terakhir;
4. Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban22.

Dalam suatu negara hukum, pemerintah harus menjamin adanya penegakan
hukum dimana dalam penegakan hukum tersebut harus ada tiga unsur yang
selalu mendapat perhatian yaitu: keadilan kemanfaatan hasil guna dan
kepastian hukum23.
Sejarah memberi pelajaran kepada Bangsa Indonsia bagaimana pemberlakuan
dan aktualisasi Pancasila baik dari Era Orde Lama, Orde Baru sampai Era
Reformasi. Dalam Era sekarang adalah Era Globalisasi, Era Reformasi dan
Teknologi bahkan kejahatanpun sekarang mempunyai kecendrungan kejahatan
lintas negara, untuk itu harus dibuat lembaga peradilan yang kuat, yang dapat
mengantisipasi trend Globalisasi namun tetap mempunyai namun tetap
mempunyai nilai-nilai leluhur bangsa Indonesia.
Beberapa prinsip dalam pembentukan peradilan di Indonesia yaitu:
1.
2.
3.

22

Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa;
Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan;
Segala campur tangan dalam urusan pengadilan oleh pihak luar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana
disebut dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
194524.

Marwan Effendi, 2012, sistem peradilan pidana.referensi. Jakarta. hlm 4
Ibid, hlm 4-5
Ibid, hlm 5

23

Istilah Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana menunjukkan
mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan
dasar “pendekatan sistem”. 25
Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi
yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan
hasil tetentu dengan segala keterbatasannya.
Hagan membedakan pengertian Criminal Justice Process dan Criminal Justice
System. Criminal Justice Process adalah : Setiap tahap dari suatu putusan
yang menghadapkan seseorang tersangka ke dalam proses yang membawanya
pada penentuan pidana. Sedangkan Criminal Justice System adalah
interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses
peradilan pidana26.

Penggunaan kata sistem dalam istilah “Sistem Peradilan Pidana” adalah berarti
bahwa kita menyetujui pendekatan sistematik dalam melakukan menegement
dari administrasi peradilan kita. Ini berarti pula bahwa unsur-unsur yang
disebut Kepolisian, kejaksaan, kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, dan
juga masyarakat adalah sub-sub sistem dari peradilan pidana yang berakibat
perlunya akan keterpaduan dalam rangka dan gerak masing-masing subsistem
kearah tercapainya tujuan bersama27.
Sistem hukum yang berlaku menurut Lawrence M. Friedman berisikan tiga
komponen, yaitu :
1.

Komponen pertama adalah struktur, yaitu bagian-bagian yang bergerak
dalam suatu mekanisme misalnya pengadilan sebagai suatu contoh yang

Op.cit. www.Image.Dahwirpane.Multiply.com
Ibid, www.Image.Dahwirpane.Multiple.com
Kadri Husin, op.cit. 2011. hlm 12

24

2.

3.

jelas dan sederhana. Pengadilan mempunyai Mahkamah Hakim yang
bersidang di tempat tertentu, waktu tertentu, dengan batas yurisdiksi yang
ditentukan. Demikian pula kejaksaan, kepolisian merupakan contoh
komponen struktur tersebut.
Komponen kedua adalah substansi, ketentuan-ketentuan, alasan-alasan
hukum atau kaidah-kaidah hukum, termasuk yang tidak tertulis, yang
merupakan hasil aktual yang dibentuk oleh sistem hukum.
Komponen ketiga adalah sikap publik atau nilai-nilai atau budaya hukum
yang memberikan pengaruh positif atau negatif kepada tingkah laku yang
bertalian dengan hukum atau perantara hukum. Wujud budaya hukum
atau hubunganya dengan sistem hukum mempengaruhi apakah orang
akan mendayagunakan Pengadilan, Polisi atau Jaksa dalam menghadapi
suaatu kasus. Disini budaya hukum menentukan apakah komponen
struktur dan komponen substansi dalam sistem hukum mendapat tempat
yang logis, sehingga menjadi milik masyarakat umum28.

E. Model Proses Peradilan Pidana Indonesia
Negara kita yang memiliki falsafah dan pandangan hidup Pancasila, maka
dalam menentukan model dalam proses peradilan pidana kita harus selalu
mengkaitkan model tersebut dengan pancasila baik sebagai dasar Negara
maupun sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa.
Indonesia tidak mungkin menganut system crime control model seperti di
Amerika Serikat yang oleh Jhon Griffthis digambarkan sebagai suatu model
yang bertumpu pada “the proposition that repression of criminal conduct is by
far the most importans funciont to be the criminal process model” ini
merupakan bentuk asli dari adversary model dengan ciri-ciri antara lain
penjahat dianggap sebagai musuh masyarakat yang harus dibasmi atau di
asingkan (extle), effisiensi, ketertiban umum berada diatas segalanya, tujuan
pemidanaan adalah pengasingan.

Kadri Husin, ibid, 2011. hlm 12

25

Menurut Sahetapy,
Baik crime control maupun due process model tidak dapat begitu saja
menampung KUHP. Pertama-tama kita bertumpu atau menganut “adversary
System”. Kedua ada bagian-bagian KUHP seolah-olah masuk dalam crime
control model. KUHP sulit untuk dimasukan atau di sisipkan begitu saja
dalam salah satu model diatas, secara sistematika akan membawa
kesulitan,selanjutnya Sahaetapy mengatakan kita tidak perlu kecewa, sebab
memang kita tidak menganut adversary system29.

Mengenai family model Muladi berpendapat bahwa,
Kita juga tidak dapat menerima sepenuhnya “family model” dari Jhon
Graffiths, yang sampai saat ini dipakai di negeri Belanda, karena tetap kurang
memadai, karena model ini terlalu “offender oriented”, padahal di sisi lain
terdapat korban kejahatan yang juga terdapat korban yang memerlikan
perhatian serius30.

Apabila kita kaitkan dengan sejarah hukum pidana kita, maka kita harus pula
menolak model yang dibangun atas dasar hukum pidana perbuatan yang
mendasarkan diri pada konsep “equal justice”. Kita juga sulit untuk menerima
warisan aliran modern yang bertumpu individual justice sebagai ganti equal
justice, yang lebih menonjolkan pengayoman terhadap ketertiban masyarakat
yang dirumuskkan secara difinitif di dalam hukum pidana sebagai hukum
publik dengan pengayoman terhadap hak individu pelaku pidana.

F. Tujuan Sistem Peradilan Pidana

Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat dikategorikan sebagai
berikut :
1.

Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan
rehabilitasi pelaku tindak pidana.

Kadri Husin, ibid, 2011. hlm 31
Ibid, 2011. hlm 32

26

2.
3.

Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yakni
pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks Criminal Policy.
Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah social
welfare dalam konteks Social Policy31.

Sistem Peradilan Pidana, sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat
bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural Struktural syncronization,
dapat pula bersifat substansial substancial syncronization dan dapat pula
bersifat kultural cultural syncronization. Dalam hal sinkronisasi struktural
keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi
peradilan pidana dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
Dalam hal sinkronisasi substansial maka keserempakan ini mengandung
makna baik vertikal maupun horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif
yang berlaku. Sedang sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu
serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah
yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.
Bertitik tolak dari tujuan Sistem Peradilan Pidana, Mardjono mengemukakan
empat komponen Sistem Peradilan Pidana :
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. diharapkan
dapat bekerjasama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice
System32.

Op.cit, www.Image.Dahwirpane.multiple.com
Ibid, www.Image.Dahwirpane.multiple.com

27

Menurut Mardjono Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan,
diperkirakan akan terdapat tiga kerugian yaitu :
1.
2.
3.

Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masingmasing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama.
Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok di setiap
instansi (sebagai subsistem dari Sistem Peradilan Pidana).
Dikarenakan tanggung jawab setiap instansi sering kurang jelas terbagi
maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh
dari Sistem Peradilan Pidana33.

Secara sederhana Sistem Peradilan Pidana dapat dipahami sebagai suatu usaha
untuk menjawab pertanyaan apa tugas hukum pidana di masyarakat dan bukan
sekedar bagaimana hukum pidana di dalam Undang-Undang dan bagaimana
Hakim menerapkannya. Sistem Peradilan Pidana Indonesia berlangsung
melalui tiga komponen dasar sistem :
1.
2.
3.

Susbtansi. Merupakan hasil atau produk sistem termasuk UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981.
Struktur. Yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
Kultur. Yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan.
Dengan kata lain kultur adalah merupakan penggerak dari Sistem
Peradilan Pidana34.

Berbagai pandangan mengenai Sistem Peradilan Pidana di atas memiliki
dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem
Peradilan Pidana merupakan konstruksi sosial yang menunjukkan proses
interaksi manusia di dalamnya terdapat aparatur hukum, pengacara dan
terdakwa, serta masyarakat, yang saling berkaitan dalam membangun dunia
realitas yang mereka ciptakan.

Ibid, www.Image.Dahwirpane.multiple.com
Http://Triwantoselalu.Blogspot.com dilihat pada 2januari 2012, pukul 14.00 WIB.

28

Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu
open sistem, dalam pengertian Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan
selalu mengalami interface interaksi, interkoneksi dan interdependensi dengan
lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi, politik,
pendidikan dan teknologi serta sub sistem-sub sistem dari Sistem Peradilan
Pidana itu sendiri subsystem of criminal justice system 35.
Sistem Peradilan Pidana bila diterapkan secara konsisten, konsekuen dan
terpadu antara sub sistem, maka manfaat sistem peradilan pidana selain dapat
mewujudkan tujuan Sistem Peradilan Pidana juga bermanfaat untuk :
a.

b.
c.
d.

Menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu
yaitu Polisi. Dengan data statistik kriminal tersebut dapat dimanfaatkan
sebagai sarana dalam menyusun kebijakan kriminal secara terpadu untuk
penanggulangan kejahatan.
Mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam
penanggulangan kejahatan.
Kedua butir 1 dan 2 tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi
pemerintah dalam kebijakan sosial.
Memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun
masyarakat36.

Ibid, www.Image.Dahwirpane.Multiple.com
www.Image.Dahwirpane.Multiply.com

31

III.

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam skripsi ini adalah Pendekatan
yuridis normatif dan pendekatan yuridis empris. Untuk itu diperlukan
penelitian yang merupakan suatu rencana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Pendekatan yuridis normatif adalah penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai
bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap
peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan Eksistensi
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Pendekatan yuridis empiris adalah menelaah hukum sebagai pola perilaku
yang ditujukan kepada penerapan hukum yang berkaitan dengan Eksistensi
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Secara operasional penelitian ini dilakukan dilapangan. Sifat penelitian adalah
eksplorasi dengan dasar pemikiran mengumpulkan bahan dan data untuk dapat
memecahkan permasalahan hukum yang ada.

30

B. Sumber dan Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder
adalah data yang diperoleh dari penelitian pustaka meliputi buku-buku
literatur, Peraturan Perundang-Undangan, dokumen-dokumen resmi, hasilhasil penelitian yang berwujud laporan dan seterusnya dengan mempelajari
hal-hal yang bersifat teoritis konsep-konsep, pandangan-pandangan, doktrin
dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Data
sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder.

Data yang diguanakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang didapat
melalui study pustakan dan data sekunder dari penelitian ini terdiri dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yang berasal
dari:

1.

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.

3.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4.

Undang-Undang

Nomor

30

tahun

2002

tentang

Komisi

Pemberantasan Korupsi.
5.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian

Republik Indonesia.
6.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI

31

7.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan
peraturan Perundang-Undangan.

b. Bahan sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer berupa literatur-literatur yang menjelaskan
penelitian ini. seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian, dan
petunjuk pelaksanaan maupun teknis yang berkaitan dengan permasalahan
yang dibahas dalam skripsi ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, terdiri dari hasil-hasil penelitian, literatur-literatur, media
elektronik, media cetak, petunjuk teknis maupun pelaksanaan yang
berkaitan dengan Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia

B. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan
karakte