Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

(1)

1

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH : EKO PAHALA N

NIM : 110200434

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

(KAJIAN TENTANG KEWENANGAN KPK DAN KEJAKSAAN)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH : EKO PAHALA N

NIM : 110200434

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Mengetahui.

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr.M.Hamdan,S.H.,M.Hum NIP.195703261986011001

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Prof.Dr.Syafruddin Kalo,S.H.,M.Hum. Rafiqoh Lubis,S.H.,M.Hum NIP.1951022061980021001 NIP.197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

NAMA : EKO PAHALA N

NIM : 110200434

DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA

JUDUL SKRIPSI : EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (KAJIAN TENTANG KEWENANGAN KPK DAN KEJAKSAAN)

Dengan ini menyatakan:

1. Bahwa isi skrips yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak

merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah yang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut ciplakan, maka segala

akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, April 2015

EKO PAHALA N 110200434


(4)

i

berkat kasih-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya. Skrips ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universtas Sumatera Utara, Medan. Adapun Judul yag penulis angkat adalah “EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (KAJIAN TENTANG

KEWENANGAN KPK DAN KEJAKSAAN)”. Skripsi ini menjelaskan secara

hukum mengenai Eksistensi dari KPK sebagai penegak hokum tindak pidana korupsi ketika dikaitkan dengan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga yang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana di Indonesia, serta memberikan gambaran bagaimana kedudukan KPK dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, serta memberikan gambaran sistem Kejaksaan dan KPK diberbagai Negara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini banyak tantangan dan hambatan dihadapi, tetapi itu semua dapat diatasi berkat motivasi dan bantuan dari berbagai pihak yang terkait sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara efektif dan efesien sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya serta ,


(5)

ii

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr.O.K.Saidin,S.H.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Mhd Hamdan, S.H.,M.H., selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., Sekretaris Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Prof, Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I

dan Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, atas kesediaan baik waktu maupun tenaga dan kesabarannya membimbing, memberi saran, arahan dan perbaikan untuk skripsi ini.

8. Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

baik yang masih mengabdikan diri ataupun yang sudah pensiun;

9. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

10.Ayahku yang tersayang Lukman Nainggolan dan Ibuku yang tercinta Roya

Silabanyang nenberikan motivasi, doa, serta, dukungan baik secara moral dan materil dalam penulisan skripsi ini.


(6)

iii

berdoa dan memberikan motivasi dalam penulisan skripsi.

12.Paskah Mentari Aprilya Pasaribu yang tanpa lelah terus meberikan bantuan

dan motivasi secara moral dan materil dalam penulisan skripsi ini, dan telah bersedia untuk mendukung serta memberi motivasi dan menemani penulis dalam melawati hari-hari yang indah dengna penuh keceriaan;

13.Perkumpulan Gemar Belajar yang telah memberikan banyak ilmu dan

pengetahuan serta pengalaman kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

14.Komunitas Peradilan Semu (KPS) yang telah memberikan banyak ilmu dan

pengalaman kepada penulis sehingga mampu mengikuti berbagai kompetisi tingakat nasional di bidang hukum

15.Seluruh Rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu. Hidup Mahasiswa!;

16.Para penulis buku-buku dan artikel-artikel yang Penulis jadikan referensi data

guna pengerjaan skripsi ini, dan

17.Seluruh orang yang Penulis kenal dan mengenal Penulis.

Penulis menyadari skripsi ini belum sempurna oleh sebab itu besar harapan penulis kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang konstruktif guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan sempurna, baik dari segi materi maupun cara penulisannya di masa yang akan datang


(7)

iv

bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan hokum Indonesia.

Medan, April 2015 Hormat saya,


(8)

ABSTRAKSI

Eko Pahala N1 Syafruddin Kalo2

Rafiqoh Lubis3

Persoalan yang timbul dan menjadi pertanyaan yang sangat mendasar pada saat proses penyusunan Draft Rancangan Undang-Undang KPK adalah apakah masih relevan untuk membentuk KPK karena lembaga penegakan hukum untuk tujuan yang sama sudah ada sejak lama, yaitu Kejaksaan.Apalagi pengambil alihan wewenang oleh KPK terhadap kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan merupakan hal baru dalam sistem peradilan di Indonesia. Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana eksistensi penyelesaian tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan dan bagaimana Perbandingan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan di bebarapa Negara di dunia

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang menitikberatkan pada data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analitis, yaitu memaparkan tentang peraturan yang berlaku dan kebijakan hukum pidana yang akan diambil dalam menanggulangi dualisme kewenangan KPK dan Kejaksaan dalam manangani tindak pidana korupsi. Analitis data yang digunakan adalah metode analitis kualitatif.

KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang diberikan kewenangan yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis didalam sistem ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945. KPK juga tidak mengambil alih kewenangan lembaga lain, melainkan diberi atau mendapat kewenangan dari pembuat UU bagian dari upaya melaksanakan perintah UUD 1945 di bidang penegakan hukum, peradilan, dan kekuasaan kehakiman. Mengenai fungsi Kejaksaan di bidang peradilan, adalah UU yang memberikan fungsi kepada lembaga itu yang bisa dipangkas atau ditambah oleh pembuat UU itu sendiri. Jadi, ketentuan ini tak dapat dipersoalkan melalui judicial review, sebab pembuat UU itu sudah mengaturnya menjadi seperti itu melalui pengkhususan. Kalau hendak mempersoalkannya, hal itu seharusnya dilakukan melalui legislative review, bukan melalui judicial review. Mekanisme kewenangan KPK yang dianut oleh Indonesia sangat berbeda apabila dibandingkan dengan Negara-negara tetangga seperti Hongkong, Malaysia, Singapura dan Australia. Perbedaan tersebut adalah bahwa KPK berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sedangkan di Negara-negara tetangga hal tersebut hanya dilakukan sebatas kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, karena tugas dan wewenang penuntutan tetap dimiliki oleh pihak Kejaksaan.

1

Mahasiswa Fakultas Hukum USU 2

Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU 3

Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU


(9)

vi

KATA PENGATAR………i

ABSTRAK………..v

DAFTAR ISI………..vi

DAFTAR TABEL………vii

DAFTAR GAMBAR……….ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………...1

B. Perumusan Masalah ………...………..13

C. Tujuan Penulisan ………...13

D. Manfaat Penulisan ……….…………..13

E. Keaslian Penulisan ……….……...14

F. Tinjauan Kepustakaan ……….……....15

1. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi ... 15

2. Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ... 18

3. Sistem Peradilan Pidana dan Penegakan Hukum ... 25

G. Metode Penelitian………40

H. Sistematika Penulisan ………..43

BAB II EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI KAITKANNYA DENGAN KEWENANGAN KEJAKSAAN


(10)

vii

Tindak Pidana Korupsi dari Prespektif Sistem Peradilan

Pidana………..66

C. Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi yang ditangani oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan ………...82

BAB III PERBANDINGAN KEJAKSAAN DAN KOMISI

PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DI BEBARAPA NEGARA DI DUNIA

A. Sistem Penuntutan Di Beberapa Negara………100

B. Sistem Kejaksaan di Beberapa Negara dalam konteks Penyidikan dan

Penuntutan……….101 C. Sistem Komisi Pemberantasan Korupsi di Beberapa Negara……….124 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ……….……….……139 B. Saran ……….…………..…….141


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perbedaan Keweanangan yang Dimiliki oleh KPK dan Kejaksaan dalam

Memberantas Korupsi di Indonesia………77

Tabel 2Indikasi Kerugian Negara Hasil Audit BPKSemester I 2008-Semester I 2010………91

Tabel 3 Sektor Terkorup Di Indonesia………92

Tabel 4 Kasus Korupsi yang Ditangani Kejaksaan……….93

Tabel 5 Daftar Laporan Masyarakat Soal Penegakan Hukum kepada Pengawas Eksternal………...95

Tabel 6 Data Penangan Korupsi oleh KPK……….96

Tabel 7 Modus Korupsi Di Indonesia yang Ditangani KPK………97

Tabel 8 Perbedaan Kejaksaan Indonesia dengan Amerika………122

Tabel 9 Perbandingan Komisi Anti Korupsi di Indonesia dan di Hongkong…….138


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Struktur Organisasi Kejaksaan Republik Indonesia………...66

Gambar 2 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia di Dunia………..88

Gambar 3 Grafik Tingkat Korupsi Secara Nasional Menurut Survei LSI………...90

Gambar 4 Klasifikasi Modus Korupsi Di Indonesia………92

Gambar 5 Survei Integritas Lembaga-Lembaga Penegak Hukum di Idonesia……99


(13)

ABSTRAKSI

Eko Pahala N1 Syafruddin Kalo2

Rafiqoh Lubis3

Persoalan yang timbul dan menjadi pertanyaan yang sangat mendasar pada saat proses penyusunan Draft Rancangan Undang-Undang KPK adalah apakah masih relevan untuk membentuk KPK karena lembaga penegakan hukum untuk tujuan yang sama sudah ada sejak lama, yaitu Kejaksaan.Apalagi pengambil alihan wewenang oleh KPK terhadap kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan merupakan hal baru dalam sistem peradilan di Indonesia. Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana eksistensi penyelesaian tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan dan bagaimana Perbandingan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan di bebarapa Negara di dunia

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang menitikberatkan pada data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analitis, yaitu memaparkan tentang peraturan yang berlaku dan kebijakan hukum pidana yang akan diambil dalam menanggulangi dualisme kewenangan KPK dan Kejaksaan dalam manangani tindak pidana korupsi. Analitis data yang digunakan adalah metode analitis kualitatif.

KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang diberikan kewenangan yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis didalam sistem ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945. KPK juga tidak mengambil alih kewenangan lembaga lain, melainkan diberi atau mendapat kewenangan dari pembuat UU bagian dari upaya melaksanakan perintah UUD 1945 di bidang penegakan hukum, peradilan, dan kekuasaan kehakiman. Mengenai fungsi Kejaksaan di bidang peradilan, adalah UU yang memberikan fungsi kepada lembaga itu yang bisa dipangkas atau ditambah oleh pembuat UU itu sendiri. Jadi, ketentuan ini tak dapat dipersoalkan melalui judicial review, sebab pembuat UU itu sudah mengaturnya menjadi seperti itu melalui pengkhususan. Kalau hendak mempersoalkannya, hal itu seharusnya dilakukan melalui legislative review, bukan melalui judicial review. Mekanisme kewenangan KPK yang dianut oleh Indonesia sangat berbeda apabila dibandingkan dengan Negara-negara tetangga seperti Hongkong, Malaysia, Singapura dan Australia. Perbedaan tersebut adalah bahwa KPK berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sedangkan di Negara-negara tetangga hal tersebut hanya dilakukan sebatas kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, karena tugas dan wewenang penuntutan tetap dimiliki oleh pihak Kejaksaan.

1

Mahasiswa Fakultas Hukum USU 2

Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU 3

Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU


(14)

1

1. Latar Belakang

“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.4

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Norma ini bermakna bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hukum merupakan urat nadi diseluruh aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Hukum sebagai sistem5 dapat berperan dengan baik dan benar di

tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaanya dilengkapi dengan

kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum.6

Penegakan hukum menempati posisi yang strategis dalam pembangunan hukum, lebih-lebih di dalam suatu negara hukum. Menurut Jeremy Bentham, penegakan hukum adalah sentral bagi perlindungan hak azasi manusia. Dalam

4

O. Notohamidjo, Makna Negara Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen,1999), h.27, mengemukakan bahwa “ciri-ciri negara hukum dalam arti materiil adalah (a) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; (b) Diakuinya hak asasi manusia dan dituangkannya dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan; (c) Adanya dasar hukum bagi kekuasaan pemerintahan (asas legalitas); (d) Adanya peradilan yang bebas dan merdeka serta tidak memihak; (e) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

5

Wishu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), h.7. Buku ini merupakan terjamahan dari buku Lawrence M.Friedman yaitu American Law on Introduction, Second Edition. Dalam bukunya tersebut Friedman menyebutkan bahwa sistem hukum itu terdiri dari Struktur, substansi dan budaya hukum. Struktur dari budaya hukum terdiri dari unsur dan jumlah dan ukuran pengadilan dan yurisdiksinya dengan kata lain struktur ini berkaitan dengan bagaimana badan legislatif ditata, berapa banyak anggota yang duduk di Komisi Dagang Federal, apa yang boleh dilakukan oleh presiden, prosedur yang diikuti oleh departemen kepolisian dan sebagainya. Yang dimaksud dengan substansi adalah norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Sementara budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai,pikiran,serta harapan.

6

Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjuan Sosiologis,(Jakarta : BPHN, 1983), h.55. Penegakan hukum adalah proses untuk menguwujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataaan, yang dumaksud dengan keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum.


(15)

penegakan hukum dibutuhkan instrumen penggeraknya yang meliputi unsur Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut KPK), dan Badan Peradilan, di samping penasehat hukum

(Advokat atau Pengacara).7

Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal sampai sekarang adalah tindak pidana korupsi. Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan dengan proses penegakan hukum antara lain adalah mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Menyikapi fenomena ini, pemerintah yang silih berganti selalu menjadikan kalimat pemberantasan korupsi sebagai agenda utama kegiatannya.

Kondisi demikian merupakan konsekuensi logis dari predikat yang di

letakkan pada tindak pidana tersebut sebagai extraordinary crime8 (kejahatan luar

biasa). Sebagai extraordinary crime tindak pidana korupsi mempunyai daya

hancur yang luar biasa dan merusak terhadap sendi-sendi kehidupan suatu negara dan bangsa.

7

Chaerudin.dkk, Tindak Pidana Korupsi; Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum, (Bandung: PT Refika Aditama,2008), h.87.

8

Elwi Daniel, Korupsi; Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya (Depok: PT Rajagrafido Persada,2012), h.61. Korupsi tetap merupakan Extra Ordinary Crime. Dasarnya adalah konsideran menimbang dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa tindak pidana korupsi selama ini terjadi secara meluas tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang peberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Yang perlu digarisbawahi dalam konsideren menimbang tersebut adalah Korupsi merupakan keajahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa, sehingga sangat wajar dalam undang-undang pemberantasan korupsi juga dimungkinkan seorang koruptor dihukum mati (pasal 2 ayat 2 Undang-undang Tipikor). Hal mana hukuman mati juga bisa diterapkan untuk kejahatan Extra Ordinary Crime yang lain misalnya genosida. Selanjutnya Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Artidjo Alkostar bahwa korupsi di Indonesia secara yuridis telah dikualifikasikan sebagai kejahatan yang luar biasa.


(16)

Aktivitas para penegak hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tidak selalu sesuai dengan harapan. Konfigurasi politik suatu negara akan mempengaruhi aktifitas penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum. Hal ini disebabkan penegakan hukum terhadap tindak pidana

korupsi selalu melibatkan penyelenggara negara9 atau pejabat negara10. Hal ini

berbeda apabila para pihaknya adalah orang biasa dimana penegak hukum lebih bebas untuk mengekpresikan kewenangannya dalam menegakkan keadilan dan hukum. Namun dalam hal salah satu pihaknya negara atau pejabat negara, penegak hukum akan ekstra hati-hati dalam menggunakan kewenangannya sehingga akan timbul kesan lambat, tebang pilih dan sebagainya, sehingga kondisi

demikian asas Equality Before the Law11 akan dibuktikan kebohongannya, dan

9

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, pengertian Penyelenggara Negara adalah Pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian di dalam pasal 2 Undang-undang yang sama penyelenggara negara yaitu; pejabat negara pada lembaga tinggi negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat negara yang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dan kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

10

Pasal 1 angka 4 undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, pejabat negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Pejabat negara lainnya ditentukan oleh Undang-undang, sedangkan dalam pasal 11 ayat 1 dijelaskan lebih lanjut yang termasuk kedalam pejabat negara adalah Presiden dan wakil presiden, Ketua/Wakil ketua dan amggota Majalis Permusyawaratan Rakyat, Ketua/Wakil ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua/Wakil Ketua dan Hakim Agung serta Ketua/Wakil ketuadan Hakim pada semua Badan Peradilan, Ketua/Wakil ketua dan Anggota Badan Pemeriksaan Keuangan, Menteri dan jabatan setingkat menteri, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota dan Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang.

11

P.A.F. Lamintang,KUHP dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana. (Bandung,:Sinar Baru, 1984) h.31, mengemukakan bahwa : “Perlakuan yang sama terhadap setiap orang di depan hukum atau gelijkeheid van ieder voor de wet. Ini berarti bahwa hukum acara pidana tidak mengenal apa yang disebut “forum privilegiatum”atau perlakuan khusus bagi pelaku-pelaku tertentu daru suatu tindak pidana, karena harus dipandang sebagai mempunyai sifat-sifat yang lain dari sifat-sifat yang dimiliki oleh rakyat pada umumnya, misalnya sifat karena jabatannya.


(17)

hanya akan dipercaya sebagai sebuah mitos belaka. Berkaitan dengan hal ini Romli Atmasasmita menyatakan dampak negatif dari keadaan di atas adalah

muncul fenomena ambivalensi sikap dan perilaku pejabat pemerintahan dan

bahkan penegak hukum dalam menjalankan kewajibannya menaati hukum dan menegakan hukum. Berbagai kasus korupsi yang menyangkut pejabat tinggi dan mereka yang dekat dengan kekuasaan ditindaklanjuti secara selektif dan menampakkan diskriminasi secara terbuka, resistensi terhadap agenda pemberantasan korupsi mulai tumbuh seperti jamur di musim hujan, mulai dari lontaran keresahan pejabat daerah dan calon pemimpin proyek sampai kepada gagasan untuk membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan mengurangi peranan lembaga negara yang ditugasi melakukan pengawasan terhadap kinerja

pemerintah.12

Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang tidak dapat dilepaskan dari masalah negara, pejabat negara ataupun orang-orang yang mempunyai kedudukan terhormat di dalam masyarakat. Harkristuti Harkrisnowo menyatakan baik korupsi maupun tindak pidana biasa, kedua golongan kasus tersebut sama-sama merupakan tindak pidana terhadap harta benda. Perbedaannya, setidaknya dapat dilihat dari dua aspek yakni pelaku dan korban. Pelaku korupsi terang bukan orang sembarangan karena mereka mempunyai akses untuk melakukan korupsi tersebut yaitu dengan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan-kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya, Sedangkan pelaku tindak pidana

12

Romli Atmasasmita. Arah Pembangunan Hukum di Indonesia, dalam Komisi Yudisial dan Keadilan Sosial. (Jakarta: Komisi Yudisial.,2008), h. 116


(18)

jalanan umumnya adalah anggota masyarakat dari strata bawah yang tidak mempuyai akses kemana-mana, juga tidak memiliki tingkat pengetahuan dan pendidikan yang tinggi. Korban korupsi memang tidak kasat mata dan bukan individu melainkan negara, sehingga publik kebanyakan tidak merasakan bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang membahayakan warga (setidaknya secara langsung). Lain halnya dengan tindak pidana jalanan jauh lebih tinggi dibanding dengan tindak pidana korupsi, demikian persepsi masyarakat yang sulit untuk

diubah karena kasat matanya tindak pidana jalanan.13

Pembicaraan penegakan hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi ini akan semakin menarik lagi ketika dikaitkan dengan reformasi. Reformasi merupakan sebuah gerakan yang dipelopori mahasiswa yang berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Tuntutan gerakan reformasi telah di akomodasi oleh Lembaga tertinggi Negara waktu itu yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Beberapa tuntutan tersebut adalah:

a) Amandemen UUD 1945;

b) Penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI;

c) Penegakan supremasi hukum penghormatan hak asasi manusia (HAM);

d) Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN);

e) Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi);

f) Mewujudkan kebebasan pers; dan

13

Harkristuti Harkrisnowo, Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia,(Yogyakarta: Cipta Karya, 2009), h 67.


(19)

g) Mewujudkan kehidupan demokrasi. 14

Masalah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan salah satu agenda yang harus direalisasikan oleh pemegang kekuasaan pada era reformasi ini. Hal ini menunjukkan permasalahan penegakan hukum maupun pemberantasan korupsi merupakan hal yang sangat menggelisahkan kehidupan bangsa dan negara pada masa rezim Suharto, sehingga muncul sebagai salah satu agenda dari gerakan reformasi disamping agenda-agenda yang lain.

Barda Nawawi Arief ketika berbicara tentang fungsionalisasi hukum pidana terhadap tindak pidana ekonomi menyamakan antara pengertian penegakan hukum dengan fungsionalisasi. Beliau mengatakan fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat terwujud secara konkret. Jadi istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada

hakekatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana.15

Berkaitan dengan sistem peradilan pidana Muladi juga mengungkapkan bahwa sistem penegakan hukum identik dengan sistem peradilan. Sebagaimana dikatakan olehnya, sistem peradilan pada hakeketnya identik dengan sistem penegakan hukum, karena proses peradilan pada hakekatnya suatu proses

menegakkan hukum. Jadi hakekatnya identik dengan “sistem kekuasaan

kehakiman” karena “kekuasaan kehakiman” pada dasarnya merupakan

14

Sekretariat Jenderal MPR. Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.(Jakarta: MPR RI, 2003)

15

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005). h.157.


(20)

“kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum”. Apabila difokuskan dalam bidang

hukum pidana, dapatlah dikatakan bahwa “Sistem Peradilan Pidana” (dikenal

dengan istilah SPP atau Criminal Justice System/CJS) pada hakekatnya

merupakan “Sistem Peradilan Pidana” yang pada hakekatnya juga identik dengan “Sistem KekuasaanKehakiman di bidang Hukum Pidana” (SKK-HP).16

Kejaksaan RI merupakan lembaga penegak hukum yang memiliki kedudukan sentral dalam upaya penegakan hukum di Indonesia, kejaksaan

merupakan salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana di Indonesia.17

Tugas dan kewenangan Kejaksaan dalam lingkup peradilan semakin dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu sebagai lembaga penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Dalam perkara pidana korupsi, kejaksaan diberikan kewenangan untuk menyidik dan melakukan penuntutan terhadap perkara tersebut.

Kejaksaan juga dianggap sebagai pengendali proses perkara dikarenakan hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan suatu kasus dapat dilimpahkan ke pengadilan atau tidak. Disamping itu kejaksaan juga merupakan satu-satunya

institusi pelaksana putusan pidana.18 Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Nomor

16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, salah satu poinnya

16

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), h.20.

17

Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana; Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di beberapa Negara (Yogyakarta: Pusaka Yustisia, 2013),h.147, Dalam prespektif sistem peradilan pidana, proses kekuasaan penegakan hukum dibidang hukum pidana mencakup seluruh kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana yang dilakukan melalui kekuasaan penyidikan oleh kepolisian, kekuasaan penuntutan oleh kejaksaan kekuasaan mengadili oleh pengadilan dan kekuasaan pemasyarakatan oleh lembaga pemasyarakatan

18

Yeswil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana: Konsep, Komponen, dan Pelaksanaan dalam Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), h.64, kejaksaan memiliki tugas pokok menyaring kasus yang layak diajukan ke pengadilan, mempersiapkan berkas penunututan, melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan


(21)

mengatur bahwa di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Dikaitkan dengan penjelasan Pasal 284 ayat (2), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu salah satunya adalah undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Agar adanya kesatuan pendapat maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP pada Pasal 17 disebutkan bahwa penyidik menurut ketentuan khusus sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Oleh karena kelambanan dalam penanganan tindak pidana korupsi dan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap instansi penegak hukum yang telah ada dalam pemberantasan korupsi, maka eksekutif dan legislatif membentuk

Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat menjadi KPK19. KPK adalah salah

satu lembaga negara baru yang dibentuk dengan semangat reformasi20 hukum

dalam penegakan pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dibentuk melalui

19

Surachmin, Strategi dan Teknik Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.136

20

Sutikno Martokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Mandar Maju, 2000), h.189, Reformasi secara gramatikal diartikan sebagai membentuk, menyusun, dan mempersatukan kembali, secara lebih sederhana reformasi berarti perubahan format, baik pada struktur maupun aturan main (rule of the games) kearah yang lebih baik. Pada kata reformasi terkandung pula dimensi dinamika berupa upaya perombakan dan penataan yakni perombakan tatan lama yang korup dan tidak efisien (dismantling the old regime) dan penatan suatu tatanan baru yang lebih demokratik, efisien dan berkeadilan sosial (reconstructing the new regime).


(22)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK, merupakan suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan secara lebih dalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Tujuan dibentuknnya KPK tidak lain adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak Pidana Korupsi. KPK berwenang menindak siapapun yang dipersangkakan melakukan tindak Pidana Korupsi. Secara tegas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan bahwa , KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tunduk kepada hukum acara yang berlaku. KPK dapat dikategorikan sebagai badan khusus yang berwenang untuk melakukan penanganan kasus-kasus korupsi tertentu seperti yang diisyaratkan oleh Pasal 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK, yaitu: (a) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. (b) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat (c) Menyangkut kerugian

Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).21 KPK sebagai

lembaga baru yang notabene aparaturnya mengambil dari instansi penegak hukum

21


(23)

yang telah ada,22 tentu akan mengalami ketidaksempurnaan dalam pelaksanaan tugasnya, dikarenakan kesempurnaan sebuah lembaga dapat tercipta ketika lembaga tersebut melakukan pembenahan didasari dari pengalamannya. Dengan kata lain segala kelemahan lembaga tersebut dapat diketahui setelah mengalami perjalanan di dalam pelaksanaan tugasnya.

Disisi lain dengan aparaturnya yang terbatas dan pertimbangan biaya yang sangat besar, keberadaan KPK tidak sampai ke daerah-daerah. Hal ini jelas dapat menghambat tugas pemberantasan korupsi secara menyeluruh yang akan dilakukan oleh KPK. KPK dalam pelaksanaan tugasnya tidak semudah yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan baik yang sudah terjadi atau baru

diprediksikan akan terjadi.23 Kendala tersebut antara lain, KUHAP mengatur

bahwa proses penyidikan dan penuntutan merupakan tugas kejaksaan akan tetapi hal ini diatur juga di dalam Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan, adanya Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur bahwa KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kejaksaan. Dilihat dari hal tersebut maka KPK dengan kejaksaan akan selalu

22

Johan Budi, KPK Butuh 80 Penyidik Independen (m.hukumomline.com/berita/baca/ lf505c32fa1e25a/kpk-butuh-80-penyidik-independen, diakses pada 11 Maret 2015, Pukul 15.30 WIB), Menjelaskan, bahwa pada Pasal 45 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disebutkan bahwa, penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Ia tidak menampik jika KUHAP terdapat klausula khusus mengeanai penyidik, yakin yang terdapat pada Pasal 1 KUHAP yang meyebutkan bahwa, penyidik adalah pejabat polisi negara RI atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan.

23

KPK Krisis Tenaga Penyidik, 14 Oktober 2014 (www.kpk.go.id/berita.berita-sub2243-kpk-krisis-tenaga-penyidik diakses pada Tanggal 13 Maret Pukul 12.00), KPK hanya memiliki 60 Penyidik, itu sangat jauh dari target KPK sejak berdiri yakni 300 Penyidik


(24)

mempunyai hubungan koordinasi24, baik dalam penanganan perkara korupsi, tetapi dengan adanya dualisme kewenangan tersebut maka hubungan kejaksaan dengan KPK cenderung dapat menjadi kurang harmonis.

Kendala lainnya terlihat dengan adanya perlawanan balik oleh pelaku korupsi mengharuskan pemerintah maupun legislatif untuk lebih berhati-hati dalam membentuk undang-undang pemberantasan korupsi karena ketidakpastian hukum yang timbul dari undang-undang yang dibentuk akan menjadikan celah untuk pelaku korupsi dalam melawan balik upaya pemerintah dalam

pemberantasan korupsi, hal ini terlihat ketika adanya pengajuan beberapa judicial

review oleh pelaku korupsi. Judicial review mengenai Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengenai pemberian kewenangan

kepada KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan25 yang

ditafsirkan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Kepastian hukum26

menuntut ketegasan berlakunya suatu aturan hukum yang mengikat secara tegas dan tidak meragukan dalam pemberlakuannya”, sebab kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan adalah sudah merupakan tugas kejaksaan sebagai

24

Hendra Nugraha Pelaksanaan Tugas Supervisi Oleh KPK terhadap Instansi yang Berwenang Melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Skripsi, Bandung, 2009, h.4,

Berkaitan dengan kordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan instansi yang berwenang dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, maka KPK diberikan tugas supervise yakni berwenang melakukan pengawasan, penelitian, dan penelahan terhadap instansi yang berwenang sebagaimana diatur dalam pasal 6 huruf b dan pasal 8 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK.

25

Binziad Kadafi, Prospektif Hukum ala Mahkamah Konstitusi: Catatan terhadap putusan MK Nomor 069/PUU-II tentang Yudicila Review UU KPK, Jurnal Hukum JANTERA edisi Juni 2005-Korupsi, h.5.

26

Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Djambatan, 2001), h.70, Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mangutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.


(25)

bagian dari sistem peradilan pidana tetapi dengan adanya KPK menimbulkan dualisme kewenangan yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Persoalan yang timbul dan menjadi pertanyaan yang sangat mendasar pada suatu penyusunan draft Rancangan Undang-Undang KPK adalah apakah masih relevan untuk membentuk KPK, karena lembaga penegakan hukum untuk tujuan yang sama sudah ada sejak lama, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Apalagi

pengambilalihan wewenang oleh KPK27 terhadap kewengan yang dimiliki oleh

Kepolisian dan Kejaksaan merupakan hal yang baru dalan sistem peradilan di Indonesia. Mekanisme kewenangan KPK yang dianut oleh Indonesia sangat berbeda apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Hongkong, Malaysia, Singapura. KPK memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sedangkan di negara tetangga hal tersebut hanya dilakukan sebatas kewenangan untuk melakukan penyelidikan, karena tugas dan

wewenang penuntutan tetap dimiliki oleh pihak Kejaksaan.28

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul: EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

27

Ihza Mahendra, Mencari Keadilan (Yogyakarta: Pusaka Belajar, 2002), h.22, Kewenangan lain yang lebih luas dari KPK adalah mengambil alih wewenang penyidikan dan penuntutan dari pihak kepolisian atau kejaksaan dengan prinsip trigger mechanisme dan take over mechanism sebagaimana diatur dalam pasal 8 dan 10 Undang-undang KPK. Pengambilalihan wewenang ini dapat juga dilakukan jika terdapat indikasi unwillingness dari institusi terkait dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Indikasi unwillingness tersebut berdasarkan pasa pasal 9 Undang-undang KPK, yaitu: (i) adanya laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi yang tidak ditindaklanjuti, (ii) adanya unsur nepotisme yang melindungi pelaku nepotisme, (iii) proses penanganan tindak pidana korupsi yang berlarut-larut, (iv) adanya campur tangan pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif, (v) alasan-alasan lain yang meyebabkan penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan.

28

Romli Atmasasmita.Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Percetakan Negara RI, 2002), h.18-19.


(26)

(KAJIAN TENTANG KEWENANGAN PENUNTUTAN YANG DI MILIKI KPK DAN KEJAKSAAN ).

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun

permasalahan yang akan dibahas, antara lain:

1. Bagaimana eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam

penyelesaian Tindak Pidana Korupsi jika dikaitkan dengan kewenangan Kejaksaan?

2. Bagaimana perbandingan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan

Kejaksaan di beberapa negara di dunia?

3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini, antara lain:

1. Untuk mengetahui eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam

penyelesaian tindak pidana korupsi jika dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan.

2. Untuk mengetahui perbandingan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan


(27)

4. Manfaat Penulisan

1. Secara teoritis, kiranya kehadiran skripsi ini mampu memberikan

sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum pidana khususnya mengenai penegakan tindak pidana korupsi dalam kajian tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan. Kiranya skripsi ini juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para pihak yang ingin ataupun sedang mendalami pengetahuan mengenai Penegakan tindak pidana korupsi, baik itu mahasiswa, akademisi, maupun masyarakat luas.

2. Secara praktis, manfaat dari skripsi ini dapat memberikan informasi hukum

kepada semua kalangan, terutama dalam hal penegakan hukum tindak pidana korupsi, jika dikaitkan dengan kewenangan Komisi Pemberatasan

Korupsi (KPK) dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan, dan

membandingankannya dengan beberapa negara di dunia serta memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan di bidang penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, dalam hal pembentukan dan penerapan undang-undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi agar lebih baik di kemudian hari.

5. Keaslian Penulisan

Untuk mengetahui orisinalitas penulisan, sebelum melakukan penulisan

skripsi berjudul Eksistensi Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) Dalam


(28)

Kewenangan Penuntutan yang dimiliki KPK dan Kejaksaan ), penulis terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Perpustakaan29 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat

tertanggal 12 Januari 2015 (terlampir) menyatakan tidak ada judul yang sama. Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran Penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

6. Tinjauan Kepustakaan

1. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi

Istilah korupsi30 berasal dari Bahasa Latin “corupptio”,”corrupption”

(Inggris) dan “coruuptie”(Belanda), arti harfiahnya menunjuk pada perbuatan

29

Dalam penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan studi kepustakaan, perpustakaan merupakan lembaga yang paling banyak berperan dalam proses penelitian tersebut. (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 11 maret 2015, pada pukul 20.00 WIB), Perpustakaan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah 1 tempat, gedung, ruang yang disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku dsb; 2 koleksi buku, maajalah, dan bahan kepustakaan lainnya yang disimpan untuk dibaca, dipelajari, dan dibicarakan.

30

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictioanary, (Six Edition, St.Paul Minesota : West Group, 1990) Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan


(29)

yang rusak, busuk, dan tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan.31 Dalam pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai berikut :

Corupption exist individual illicity puts personal interest above those of the people and ideals he or she is pledged to serve. It comes in many forms and can renge from trivial to monumental. Corupptio can involve the misuse of policy instruments, tariffs, and credit, irrigation system and housing policie, the enforecement of laws and rules regarding public safety, the observance of contracts, and the repayment of loans or of simple procedures. It can occur in the private sector or public one of the often occurs in both simultaneously. It can be rare or widespread; in some developing countries, corruption has became systemic. Corupption can involve promises, threats, or both; can be initiated by a public servant or an interested client; can entail acts of omission or commission; can involeve illicit or licit services; can be inside or outside the public organization. The boundaries of corruption are hard to define and depend on local lwas customs. The first task of policy analysis is to disagggregat the type of corrupt and illicit behaviours in the situation at hand and look at concrete examples.(Korupsi ada apabila seorang secara tidak sah meletakkan kepentingan pribadi diatas kepentingan masyarakat dan sesuatu yang dipercayakan kepadanya untuk dilaksanakan. Korupsi muncul dalam berbagai bentuk dan dapat bervariasi dari hal yag kecil sampai monumental. Korupsi dapat melibatkan penyalahgunan perangkat kebijaksanaan, ketentuan tarip dan perkreditan, kebijakan sistem irigasi dan perumahan, penegakan hukum dan peraturan berkaitan dengan keselamatan umum, pelaksanaan kontrak dan pelunasan pinjaman atau melibatkan prosedur yang sederhana. Hal itu dapat terjadi pada sektor swasta atau sektor public dan sering terjadi dalam kedua sektor tersebut secara simultan. Hal itu dapat jarang atau meluas terjadinya; pada sejumlah negara yang sedang berkembang, korupsi telah menajdi sistemik. Korupsi dapar melibatkan janji; ancaman atau keduanya; dapat dimulai oleh seorang pegaawai negeri atau masyarakat yang berkepentingan, dapat mencakup perbuatan tidak melakukan atau melakukan; dapat melibatkan pekerjaan yang sah maupun yang tidak sah; dapat di dalam atau diluar organisasi publik. Batasan-batasan korupsi yang sulit didefenisikan dan tergantung pada hukum lokal dan adat kebiasaan. Tugas pertama dari analisis kebijakan adalah untuk mengelompokkan tipe-tipe kebiasaan korupsi dan tidak sah dalam situasi yang nyata dan melihat pada

contoh-contoh yang konkrit)32.

jabatannya atau karakternya untuk mendapat suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.

31

Sudarto, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1976) h.11

32

Kimberly Ann Elliot, Corruption and The Global Economy, terjemahan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h.11.


(30)

Dilihat dari peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi, yaitu berawal dari keluarnya Peraturan No. PRT/PM 06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi dan PRT/PERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda dari Kepada Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat, kemudian secara berturut-turut mengalami perubahan 4 (empat) kali, yaitu :

1. Perpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, penuntutan, dan

Pemeriksaan Perbuatan Korupsi yang menjadi Undang-undang berdasarkan Undag-undang Nomor 24 Tahun 1961.

2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

3. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

4. undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.33

Dalam pengertian yuridis, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberatasan Tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, memberikan batasan yang dapat dipahami dari bunyi teks pasal-pasal, kemudian mengelompokkannya kedalam beberapa

33

Indrianto Seno Adji, Tindak Pidana Suap: Kearah Hukum Pidana yang Ekstensif, dalam Gagasan dan Pemikiran tentang Pembaharuan Hukum Nasional-Vol II (Jakarta: Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2003),h.5.


(31)

rumusan delik34. Jika dilihat dari kedua Undang-undang diatas, dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara (Pasal 2,3, Undang-undang Nomor 32 Tahun 1999).

2. Kelompok delik penyupan, baik aktif (yang menyuap) ataupun pasif (yang

menerima suap) (Pasal 5,11,12,12B Undang-udang Nomor 20 Tahun 2001)

3. Kelompok delik penggelapan (Pasal 8, 10 Undang-undang Nomo 20 Tahun

2001).

4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (Pasal 12e dan f Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001).

5. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir, dan

rekanan (Pasal 7 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).35

2. Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan

negara, khususnya di bidang penuntutan.36 Sebagai badan yang berwenang dalam

penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya

34

Soejono Dirdjosisworo, Fungsi Perundang-undangan Pidana Penaggulangan Korupsi Di Indonesia, (Bandung: Sinar Baru,2001), h.23 Dengan pengelompokan diatas penting artinya bagi apparat penegak hukum, dengan memahami hal tersebut diharapkan segala tindakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi kan terwujud, baik dalam bentuk pencegahan (preventif) maupun tindakan (represif), pembetantasan korupsi tidak hanya memberikan efek jera (deterrence effect) bagi pelaku, tetapi juga berfingsi sebagai daya tangkal (prevency effect)

35

Chaerudin.dkk, op.cit.,h.4

36

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pasal 19 ayat (1)


(32)

dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang

tidak dapat dipisahkan.37

Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan

kekuasaan negara di bidang penuntutan38 harus melaksanakan fungsi, tugas, dan

wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan

pengaruh kekuasaan lainnya.39

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah

37

Ibid. Pasal 18

38

Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, (Jakarta: LP3S, 1999), h.37, Penuntutan dalam artu luas merupakan penyerahan berkas perkara si tersangka kepada hakim dan sekaligus supaya diserahkan kepada sidang pengadilan (ferwijzing naar de terechtizitting)

39

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, op.cit., Pasal 2 ayat (2)


(33)

suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.

Perlu ditambahkan, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi

pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara

pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan

pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.40

Kejaksaan dalam kurun waktu sebelum berdirinya negara Republik Indonesia, yaitu :

1. Kejaksaan di zaman sebelum penjajahan

Diawali pada zaman kerajaan Hindu-Jawa khususnya pada zaman kerajaan Majapahit yang menunjukkan ada beberapa jabatan di negara tersebut yang dinamakan Dhyaksa (Hakim Pengadilan), Adhyaksa (Hakim Tertinggi), dan

DarmaDhyaksa mempunyai tiga arti 41:

a. Pengawas tertinggi dari kerajaan suci.

b. Pengawasan tertinggi dalam hal urusan kepercayaan c. Ketua pengadilan

2. Kejaksaan di zaman penjajahan

a. Kejaksaan di zaman VOC b. Zaman pemerintahan Daendels

40

Ibid. Pasal 30 ayat (2)

41

Kusumadi Poedjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Aksara, 1971), h.49


(34)

c. Zaman Rafless

d. Zaman Hindia Belanda

e. Zaman pemerintahan bala tentara pendudukan Jepang 3. Kejaksaan di zaman Republik Indonesia merdeka

Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang di perjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) No.2/1945 sejak berdirinya Kejaksaan RI secara Yuridis-Formal adalah bertepatan dengan saat mulai berdirinya negara RI ialah tanggal 17 Agustus 1945.Dengan demikian, maka perihal penempatan Kejaksaan dalam lingkungan Departemen Kehakiman yang diputuskan dalam rapat PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 cukup memiliki dasar.

Istilah Kejaksaan secara resmi digunakan oleh UU pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942 yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Sejak tahun 1946 hingga tahun 1968 kantor Kejaksaan Agung tercatat lebih dari 6 kali berpindah tempat, terakhir pada tanggal 22 Juli 1968 dari Jalan Imam Bonjol 66 Jakarta ke gedungnya yang permanen di Jalan Sultan Hasanuddin No.1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Pada gedung yang baru ini peletakan batu pertamanya pada tanggal 10 November 1961 dilakukan oleh Jaksa Agung ke VI adalah Mr. Goenawan yang diresmikan pada tanggal 22 Juli 1968 oleh Jaksa Agung ke IX adalah Soegih Arto. 4. Kejaksaan di zaman Republik Indonesia Serikat

Di zaman Republik Indonesia Serikat, dari tanggal 29 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950. Untuk memenuhi ketentuan pasal 159 KRIS mengenai pengaturan pengadilan di lingkungan ketentaraan dikeluarkan UU Darurat


(35)

No.6/1950 yang mulai berlaku tanggal 31 Maret 1950. Dilihat sepintas nampak bahwa UU No.5/1950 tidak banyak berbeda dengan PP No.37/1948 sebagaimana

telah diubah dan ditambah yang pernah berlaku di negara RI.42

5. Kejaksaan di zaman Republik Indonesia kesatuan

Setelah dibubarkannya RIS dan berdirinya negara kesatuan tidak segera terjadi perubahan dalam peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang berlaku bagi penegakan hukum dan disiplin dalam lingkungan ketentaraan di zaman RIS. Dengan demikian maka kedudukan jaksa serta peranannya dalam badan-badan peradilan ketentaraan tidak berubah pula.

Perubahan-perubahan baru terjadi pada tahun 1954 dan 1958 dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada pengadilan ketentaraan dengan Undang-unangU No.29/1954 tentang pertahanan negara RI dan Undang-Undang Darurat No.1/1958.

6. Kejaksaan di zaman setelah dekrit

Pada tanggal 22 Juli 1960, kabinet dalam rapatnya memutuskan bahwa kejaksaan menjadi departemen dan keputusan tersebut dituangkan dalam surat Keputusan Presiden RI tertanggal 1 Agustus 1960 No.204/1960 yang berlaku sejak 22 Juli 1960. Dengan demikian tanggal 22 Juli ini merupakan pancangan tonggak sejarah yang mempunyai nilai penting bagi Kejaksaan, sebab bukan hanya secara formal dan material saja Kejaksaan menjadi departemen tersendiri, tetapi lebih jauh dari pada itu mempunyai dasar yang bernilai spiritual.

7. Kejaksaan di zaman orde baru

42

KPK, POLRI, dan Kejaksaan Sebagai Penegak Hukum Tindak Pidana Korupsi(http://ardhie.info/wp-content/uploads/2009/10/KPK--POLRI--KEJAKSAAN, diakses pada tanggal 20 Desember 2014 pada pukul 23 WIB).


(36)

Situasi dan kondisi nasional pada umumnya dan bidang penegakkan hukum pada khususnya telah banyak mengalami perubahan setelah diundangkannya

Undang-undang U Pokok Kejaksaan tanggal 30 Juni 196143, terutama setelah

kelahiran orde baru pada tanggal 11 Maret 1966 dan khususnya setelah Sidang Umum IV MPRS, yang kemudian disusul dengan tersusunnya DPR pada tahun 1972, 1977 dan 1982 serta MPR pada tahun 1973, 1978 dan 1983. Melalui kerangka yang telah dipaparkan diatas merupakan perspektif dari lembaga penegak hukum yang ada di Indonesia khususnya KPK dan Kejaksaan RI.

Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi44

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto

43

Daniel S.Lev, Hukum dan Politik Indonesai, Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta: LP3SE, 1990), h.6.

44

Romli Atmasasmita, Pembentukan Komisi Idependen Anti Korupsi: Paradigma Baru dalam Pemberantasan Koruspi, makalah yang disampaikan dalam sosialisasi persiapan Pembentukan Komisi Pemeberantasan Korupsi, Kerja Sama Bank Pembanguan Asia Departemen Kehakiman dan HAM RI, Bandung,2000, h.2


(37)

untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog,

CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.45

Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin

menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru46

Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK

45

Indriayanto Seno Haji, Problematika Korupsi dan Antisipasi Melalui Sistem Hukum (Pidana): Media Hukum, Vol.2 No.8 tanggal 22 November 2003 (Jakarta: Persatuan Jaksa RI, 2003), h.60

46


(38)

akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke

dalam KPK.47

3. Sistem Peradilan Pidana dan Penegakan Hukum

Romli Atmasasmita mengartikan sistem peradilan pidana48 sebagai suatu

istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penaggulangan kejahatan

dengan menggunakan pendekatan sistem.49 Sebagai sistem, peradilan pidana

mengenal tiga pendekatan, yaitu pendekatan normatif 50, administratif, dan

sosial.51 Pendekatan normatif memandang unsur aparatur penegakan hukum

47

Daniel S,Lev., op.cit.,h.10

48

Mardjono Reksodipoetra, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: melihat kepada kejahatan dan penegakan hukum dalam batasan-batasan toleransi ,(Dalam Pidato Pengukuhan pada upacara Penerimaan Jabatan Gurubesar pada Fakultas Hukum di Indonesia, 30 Oktober 1993), Bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah suatu sistem masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.

49

Romli Atmassamita, Sistem Peradilan Pidana: Prespektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme, (Bandung: Putra Abardin, 1996), h.14

50

Packer Herbert, The Limits of The Criminal Sanction –terjemahan (Inggris : Stanford University Press, 1986) Packer membedakan pendekatan tersebut dalam dua medol yaitu crime control model dan due process model, pecker mengemukan bahwa, suatu pendekatan pragmatis atas pertanyaan mendasar mengenai tujuna baik dengan adanya hukum pidana memerlukan suatu penyelidikan secara umum tentang apakah suatu proses peidana merupakan suatu kendali sosial yang memili kecepatan tinggi atau rendah dan penyelidikan lanjut dan bersifat khusus mengenai kemampuannya untuk mengatasi perilaku anti-sosial, bertitik tolak dari kedua prasyaratan tersebut memerlukan suatu pemahaman mengenai “criminal process”. Satu-satunya cara untuk melaksanakan tugas tersebut adalah dengan mengabstraksikan kenyataan dan membangun sebuah model. Model yang hendak dibangun adalah: (1) yang memliki kegunaan sebagai indek dari suatu pilihan masa kini tetang bagaimana suatu sisem diimplementasikan (2) dan sebuah model yang terbentuk dari usaha untuk membedaka secara tajam hukum dalam buku teks dan mengungkapakan seakurat mungkin apa yang sedang terjadi dalam kehidupan nyata sehari-hari, dan (3) sebuah model yang dapat dipergunakan untuk mengenali secara ekplisit pilihan nilai yang melandasi rincian suatu “criminal proses ”. bentuk model yang cocok untu mencapai ketiga hal tesebut adalah model-model normatif. Packer menegaslan bahwa aka nada lebih dari dua model saja. Kedua model tersebut merupakan antinomy yang normative dari lubuk trdalam hukum pidana. Kedua model tersebut, the due process model dan crime control model.

51


(39)

(Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat), sebagai institusi pelaksanaa peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan sistem peradila pidana, termasuk didalamnya adalah peraturan perundang-udangan itu sendiri. Pendekatan administratif memandang para aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi menajemen yang memiliki mekansime kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun bersifat vertikal sesuai dengan struktrur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut, dalam artian proses dalam menjalankan fungsi masing-masing. Sedangkan pendekatan sosial memandang aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan sari suatu sistem sosial, sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari para aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya, diterjemahkan sebagai proses pengawasan terhadap jalannya proses penegakan hukum.

Sebelum berlakunya KUHAP, sistem peradilan52 pidana Indonesia

dilandaskan pada Het Herzine Inlaands Reglement (HIR) stbld. 1941 nomor 44.

Sejak Tahun 1981, namun dengan berlakunya KUHAP telah membawa perubahan yang fundamental baik secara konsepsional maupun implementasi terhadap tata

cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia.53

52

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.9, Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP KUHAP merupakan “sistem terpadu” (integrated criminal justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan diatas landasan prinsip “diferensiasi fungsional” di antara aaprat penegak hukum sesuai dengan tahapan proses kewengangan yang diberikan Undang-undang kepada masing-masing, berdasarkan kerangka landasn yang dimaksud aktivis pelaksanan criminal justice sytem, merupakan fungsi gabungan (collection of fuction) dari: legislator, polisi, jaksa, pengadilan, dan penajara, serta badan yang berkaitan baik yang ada dilingkungan pemerintahan atau diluarnya.

53


(40)

Melalui KUHAP, sistem peradilan yang dianut mengakibatkan adanya perubahan dalam cara berfikir, yang kemudian mengakibatkan perubahan dalam sikap dan cara bertindak para apparat penegak hukum secara menyeluruh. Perubahan cara berpikir ini memang sanga penting artinya, sebab kaitan dan konsekusensinya terhadap cara bersikap dan bertindak. Suatu Undang-undang yang secara konseptual baik, dan konstektual terkadang bukan hanya tidak efektif, tetapi sekaligus menjadi tidak memiliki nilai-nilai (values) yang dianggap baik dan adil, apabila tidak didukung oleh penghayatan yang baik atas nilai yang

terkandung pada konsep Undang-undang yang dimaksud.54

Sebutan KUHAP untuk Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana disebut bukan tanpa alasan. Sebutan kitab tidak ditujukan pada undang-undang melainkan ditujukan pada sifat kodifikasinya. Di dalam KUHAP secara lengkap meliputi pengertian keseluruhan acara pidana dari tingkat penyidikan sampai pelaksanan putusan hakim, bahkan sampai peninjauan kembali (herzeining).55 Hal ini dapat diartikan, bahwa keseluruhan proses dalam sistem peradilan pidana di Indonesia secara garis diatur dalam KUHAP melainkan juga diatur dalam Undang-undang yang lain di luar KUHAP yang berkaitan dengan proses sistem peradilan di Indonesia.

Undang-Undang di luar KUHAP yang berkaitan dengan sistem peradilan

pidana di Indonesia56 :

1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ;

54

Hendrastanto Yudowidagdo, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 145

55

Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Petusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), h.145

56


(41)

2. Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;

3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik

Indonesia;

5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudusial

6. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia;

7. Undang-undang Nomor 3 Tentang 2002 tentang Pertahanan Negara

8. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberanatsan

Tindak Pidana Korupsi;

9. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan Militer;

10. Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak pidana

Korupsi;

11. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Adapun Barda Nawawi Arief menjelaskan makna Sistem Peradilan Pidana, pada dasarnya adalah identik dengan Sistem Penegakan Hukum, sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan dari Sistem Peradilan Pidana adalah terciptanya

penegakan hukum (law enforcement). Sedangkan Hulsman mengungkapkan

bahwa Sistem Peradilan Pidana pada hakekatnya merupakan masalah sosial (social problem), dengan alasan:57

1. the criminal justice system inflicts suffering; (sistem peradilan pidana menimbulkan penderitaan)

57

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995), h.9


(42)

2. the criminal justice system does not work in term of its own declared aims; (sistem peradilan pidana tidak dapat bekerja dari tujuan yang dinyatakannya sendiri)

3. fundamental uncontrolability of criminal justice system; (kelemahan dalam mengontrol prinsip dasar dari sistem peradilan pidana)

4. criminal justice approach is fundamentally flawed. (Pendekatan peradilan pidana secara fundamental cacat)

Komponen dari Sistem Peradilan Pidana menjadi 2 (dua) unsur besar, yaitu:

1. Unsur Primer, yang dalam pandangan akademis pada tingkat penal policy

adalah Pembentuk Undang-Undang, yaitu Presiden bersama DPR. Penyusunan unsur primer ini didasarkan kepada pandangan bahwa bekerjanya Sistem Peradilan Pidana, sangat bergantung dengan bagaimana suatu negara menetapkan sistem hukum yang valid. Sistem hukum yang dianut suatu negara akan mewarnai bagaimana Pembentuk Undang-Undang

melakukan perancangan peraturan perundang-undangan.58 Peraturan

perundang-undangan di suatu negara merupakan suatu bagian integral atau sub sistem dari suatu sistem hukum di negara tersebut. Sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dalam sistem hukum suatu negara peraturan perundang-undangan tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari sistem hukum

58

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 2. Unsur Pembentuk Undang-Undang dimasukkan ke dalam komponen Sistem Peradilan Pidana, dalam ruang lingkup criminal policy, didasarkan kepada pendapat Nagel. Namun Nagel tidak memasukkan Kepolisian sebagai salah satu komponen Sistem Peradilan Pidana


(43)

negara tersebut.59 Oleh karena itu, pembentukan peraturan perundang-undangan mengenai Sistem Peradilan Pidana, sangat bergantung bagaimana

Pembentuk Undang-Undang mengimplementasikan politik hukum

Indonesia ke dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. Bahwa sangat dimungkinkan adanya pengaruh sistem hukum negara lain dalam menjabarkan politik hukum ke dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut nampak pada penyusunan RKUHAP, dimana tim RKUHAP banyak melakukan kunjungan ke negara-negara lain, baik yang memiliki kesamaan sistem hukum maupun yang berbeda sistem hukumnya. Pembentukan peraturan perundang-undangan pidana merupakan

bagian dari kebijakan legislatif 60 hukum pidana (penal policy) menjadi

salah satu syarat utama dalam membentuk pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diungkapkan oleh Hans Kelsen yang menjelaskan bahwa pembentukan hukum adalah rangkaian awal dari penegakkan hukum yang sangat penting untuk

59

Setio Sapto Nugroho, Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, 2014, (http://jdih.ristek.go.id/?q=system/files/dokumentasi/586130112.pdf., diunduh tanggal 12 Maret 2015), h. 1.

60

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 283, Menurut Jimly Asshiddiqie, sebagaimana mengutip pendapat dari Montesquieu, bahwa pembentukan hukum dilakukan oleh kekuasaan legislatif. Montesquieu membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang kekuasaan yaitu: kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan Yudikatif. Dimana kekuasaan Legislatif sebagai pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif yang melaksanakan undang-undang dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan menghakimi atau menyelesaikan sengketa/konflik. Pembatasan kekuasaan pada tiga cabang kekuasaan diatas berkaitan erat dengan teori pemisahan kekuasaan. Dimana konsep awal mengenai pemisahan kekuasaan negara ini adalah kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya.


(44)

diperhatikan.61 Dalam praktek pembentukan hukum dikenal beberapa karakter diantaranya karakter-karakter yang dikemukan oleh Moh. Mahfud

MD yaitu:62

a. Proses pembentukan hukum partisifatit/responsif adalah

pembentukan hukum yang memberikan peranan besar dan partisispasi penuh kelompok sosial atau individu didalam masyarakat Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan keolmpok sosial atau individu dalam masyarakat. Pembentukan hukum dengan partisipasi masyarakat akan mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Pembentukan hukum seperti ini dilakukan pada produk hukum yang responsif/populistik.

b. Pembentukan Hukum non partisipatif atau berlawanan dengan

hukum responsif, adalah produk hukum ortodoks lebih tertutup

terhadap tuntutan–tuntutan kelompok maupun individu-individu

didalam masyarakat. Dalam pembuatan hukumnya peranan dan

partisipasi masyarakat relatif kecil. Produk hukum

konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah bersifat positivis-instrumentalis yakni menjadi alat

pelaksanaan ideologi dan program negara.63

61

Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, (Jakarta:BEE Media Indonesia,2007), h.163.

62

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2006), h.25.

63

CFG. Sunarjati Hartono, Mencari Bentuk dan Sistem Hukum Perjanjian Nasional Kita, (Bandung: Alumni, 1974), h. 57, Bahwa Setelah 17 Agustus 1945, idealnya politik hukum yang berlaku adalah politik hukum nasional, artinya telah terjadi unifikasi hukum (berlakunya satu


(45)

2. Unsur Sekunder (Sub-System)

Unsur Sekunder ini lebih dikenal dalam berbagai literatur mengenai Sistem Peradilan dengan istilah “sub-sistem”. Secara umum, pada dasarnya institusi yang digolongkan ke dalam unsur kedua ini adalah:

1. Kepolisian;

2. Kejaksaan;

3. Pengadilan; dan

4. Lembaga Pemasyarakatan.

Jika diperhatikan perkembangan perjalanan institusi-institusi aparatur penegak hukum, telah terjadi pengembangan guna memenuhi kebutuhan praktek akan penegakan hukum yang efektif dan efesien. Dimana, di dalam ranah kekuasaan penyidikan telah dikembangkan satu lembaga yang sejenis, yaitu Komisi

Pemberantas Korupsi (KPK), dan 1 (satu) institusi partikelir 64, yaitu profesi

Advokat. Namun demikian, berdasarkan pendapat Romli Atmasasmita, terkait dengan pandangannya bahwa pendekatan terhadap Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem kemasyarakatan dari sudut pandang ilmu sosial, maka masyarakat dibebankan kewajiban untuk ikut bertanggungjawab atas keberhasilan

dari suatu Sistem Peradilan Pidana.65 Maka bisa dikatakan bahwa Masyarakat

harus diasumsikan sebagai suatu bagian dari sub-sistem dari Sistem Peradilan

sistem hukum di seluruh wilayah Indonesia), karena sistem hukum nasional harus dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945.

64

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (http://kbbi.web.id/partikelir, diakses pada Tanggal 12 Maret 2015 pada pukul 12.00 WIB), yang dimaksud dengan „partikelir‟ adalah bukan untuk umum; bukan kepunyaan pemerintah; bukan (milik) dinas; swasta.

65


(1)

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembanguna, Studi Banding Tentang Tata cara Pemberantasan Praktek Korupsi di Singapura dan Malaysia”, Jurnal Laporan hasil kunjugan Tim BPKP ke Singapura dan Malaysia dalam rangka penyiapan proyek Development of Indonesia Secktor Auditor, (Jakarta, Juli 2005).

---, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional , Edisi Maret, (Jakarta, 2005).

Badan Pemeriksa Keuangan RI, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I (Jakarata, 2007.

Binziad Kadafi, Prospektif Hukum ala Mahkamah Konstitusi: Catatan terhadap putusan MK Nomor 069/PUU-II tentang Yudicila Review UU KPK, Jurnal Hukum Jantera, edisi Juni, (Jakarta, 2005)

Campbell Black,Henry, Black’s Law Dictioanary, (Six Edition, St.Paul Minesota : West Group, 1990).

Hamzah, Andi, Kamus Hukum, cetakan pertama (Jakarta: Ghalia Indnesia, 1986)

---,Penyampaian Masukan Rencana Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Badan Legislasi DPR RI, (Jakarta, tanggal 9 Februari 2011)

Huda, Ni‟matul, Sengketa Lembaga Negara (MK dan KY), artikel dalam majalah keadilan, ed 1/XXII/2007.


(2)

Nugraha, Hendra, Pelaksanaa Tugas Supervisi Oleh KPK terhadap Indatansi yang Berwenang Melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Skripsi, (Bandung, 2009).

Reksodipoetra,Mardjono, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: melihat kepada kejahatan dan penegakan hukum dalam batasan-batasan toleransi ,Dalam Pidato Pengukuhan pada upacara Penerimaan Jabatan Gurubesar pada Fakultas Hukum di Indonesia, (Jakarta 30 Oktober 1993).

Seno Haji, Indriayanto, Problematika Korupsi dan Antisipasi Melalui Sistem Hukum (Pidana): Media Hukum, Vol.2 No.8 tanggal 22 November 2003 (Jakarta: Persatuan Jaksa RI, 2003).

Suradijaya ,M., Natasondjana, Pengisian Jabatan Wakil Presiden dalam Teori dan Praktik, skripsi program sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Depok, 1992),

TIM FH-UI, Sinkronisasi Ketentuan Perundang-undangan Mengenai Sistem Peradilan Pidana Terpadu Melalui Penerapan Asas-Asas Umum, Jurnal Mahasiswa (Depok, 2001).

Trianggara Paonganan , Rangga, Kewenangan Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi Dan Kejaksaan Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Jurnal Lex Crimen Vol.II, No.1 Edisi Januari-Maret 2013 (Manado: Universitas Sam Ratulangi)

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945.


(3)

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Peubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian,

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana);

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2010

Putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006

D. Website

A. Findley, Keith, Toward A New Paradigm of Criminal Justice: How the Innocence Movement Merges Crime Control and Due Process, (http: //www.law.wisc.edu/m/dfknm/ findley_new_paradigm-10-10-08.pdf, (diakses Tanggal 20 Maret 2015, pukul 02.00 WIB)

Atmasasmita , Romli, Memahami Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi, (http:// www. Hukumonline .com/ berita/ baca/ lt4b0a444f23252/ UU%20KPK, diakses Tanggal 16 Maret 2015, pukul 03.15 WIB).


(4)

Budi, Johan, KPK Butuh 80 Penyidik Independen, m.hukumomline.com/berita/baca/ lf505c32fa1e25a/kpk-butuh-80-penyidik-independen, (diakses pada 11 Maret 2015, Pukul 15.30 WIB).

Dugaan Korupsi Beasiswa GDOTA Kabupaten Talaud ke Penyidikan,

http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=5114&l=dugaan-korupsi-beasiswa-gdota-kabupaten-talaud-ke-penyidikan, (diakses pada tanggal 16 Maret 2015, pukul 03.40 WIB)

Hukum Online, Kapan dan Bagaimana Hakim Melakukan Penemuan Hukum?, ,http:// www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f0aa8449485b/kapan-dan-bagaimana-hakim-melakukan-penemuan-hukum?, (diakses Tanggal 19 Maret 2012 pada Pukul 10.30 WIB)

Jaksa Agung: Tidak Masalah Kewenangan Penuntutan Dipegang Satu Lembaga, http://sp.beritasatu.com/home/jaksa-agung-tidak-masalah-kewenangan-penuntutan-dipegang-satu-lembaga/5205, (diakses tanggal 16 Maret 2015 pada pukul 01.40 WIB).

Just Deserts Theory, (http:// www.sagepub.com/ hanserintro/ study/ materials/ reference/ ref3.1.pdf., diakses pada tanggal 10 April 2014 pada pukul 02.00WIB).

Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/partikelir, (diakses pada Tanggal 12 Maret 2015 pada pukul 12.00 WIB)

Korupsi Dana Bencana Alam: Dua Pejabat Talaud Ditahan Kejaksaan, http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=5689&l=korupsi-dana-bencana-alam-duapejabat-talaud-ditahan-kejaksaan, (diakses Tanggal 16 Maret 2015, pukul 03.30 WIB)


(5)

KPK Krisi Tenega Penyidik, www.kpk.go.id/berita.berita-sub2243-kpk-krisis-tenaga-penyidik, (diakses pada Tanggal 13 Maret Pukul 12.00).

KPK, POLRI, dan Kejaksaan Sebagai Penegak Hukum Tindak Pidana Korupsi,

(http://ardhie.info/wp-content/uploads/2009/10/KPK--POLRI--KEJAKSAAN, diakses pada tanggal 20 Desember 2014 pada pukul 23 WIB).

Lasmadi, Sahuri, Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Presspektif Sistem Peradilan Pidana, http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8& cad=rja&uact=8&ved=0CFYQFjAH&url=http%3A%2F%2Fonlinejournal.u nja.ac.id%2Findex.php%2Fjimih%2Farticle%2Fdownload%2F200%2F177 &ei=FiQHVbOdB9DbuQTu2oKgBA&usg=AFQjCNGOLIYifbdwtWqLuX p9t6B2gN8DdA&sig2=cizYIEdPj4VXjX1ZGFTXJw&bvm=bv.88198703,d .c2E, diakses Tanggal 16 Maret 2015, pukul 02.15 WIB.)

Mulyadi, Lilik, Menuju Sistem Peradilan Pidana Kontemporer Tanpa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan Berita Acara Sidang (BAS), Jakarta Utara, 2012, http:// pn- kepanjen.go.id/ index. php? option = com content & task = view & =169, (diakses tanggal 11 Maret 2015 pada pukul 13.20 WIB)

Models of Criminal Justice, http://compass.port.ac.uk/UoP/file/ca5197e4-09f7-4d83-844b-323d9d240078/1/criminal_justice_IMSLRN.zip/page_05.htm, (diakses pada tanggal 5 April 2014 pada pukul 13.50 WIB).

Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I., Studi tetang Implementasi Kekuasaan

Penuntutan Di Negara Hukum Indonesia, 2008 ,

www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan, (diakses Tanggal 16 Maret 2015 pada Pukul 18.50 WIB)


(6)

Sapto Nugroho , Setio, Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, 2014, http:// jdih.ristek.go.id/? q=system/ files/ dokumentasi/ 586130112.pdf., (diunduh tanggal 12 Maret 2015 pada pukul 12.00 WIB).

Suara Pembaharuan, Jaksa Agung: Tidak Masalah Kewenangan Penuntutan di Pegang satu Lembaga, Sp.beritasatu.com/home/jaksa-agung-tidak-masalah-kewenangan-penuntutan-dipegang-satu-lembaga/5205, (diakses Tanggal 19 Maret 2015, pada pukul 09.00 WIB)

Web Resmi Kejaksan, Jaksa Agung dari Masa ke masa, (http:// www.kejaksaan.go.id/ tentang_kejaksaan.php?id=12, di akses Tanggal 19 Maret 2015, pukul 02.00 WIB)

Weigend, Thomas Prosecution: Comparative Aspects-Who-Prosecutes?, http://law.jrank.org/pages/1853/Prosecution-Comparative-Aspeects-Who-prosecutes.html, (diakses tanggal 19 Maret 2015, pukul 19.30)


Dokumen yang terkait

Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

3 82 190

Evaluasi Program Pencegahan Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Studi Tentang Rencana Strategis KPK Tahun 2008-2011)

2 54 232

PERANAN KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM MELAKUKAN PERANAN KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 4 13

PENDAHULUAN PERANAN KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 3 12

PENUTUP PERANAN KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 2 4

PERANAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

0 0 9

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 2 13

b. Pembagian kekuasaan negara secara vertikal, yaitu pembagian - Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 55

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 44

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 12