Penggunaan Gen Chromo Helicase DNA Binding (CHD) Sebagai Marker Penentu Jenis Kelamin pada Aves

RINGKASAN
Eka Sari. D14080071. 2012. Penggunaan Gen Chromo Helicase DNA Binding
(CHD) sebagai Marker Penentu Jenis Kelamin pada Aves. Skripsi. Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
Pembimbing Anggota : Maria Ulfah, S. Pt., M.Sc.Agr.
Jenis kelamin merupakan informasi yang penting dalam budidaya unggas dan
penangkaran burung. Penentuan jenis kelamin pada sebagian burung sulit dilakukan
karena memiliki ciri-ciri fenotipik yang sangat mirip antara jantan dan betina, bahkan
setelah mencapai dewasa kelamin (monomorfis). Hal ini menjadi suatu permasalahan
bagi para breeder karena mereka belum yakin dengan jenis kelamin burung yang
mereka identifikasi. Identifikasi jenis kelamin sejak dini sangat bermanfaat dalam
pengembangbiakan serta menekan biaya perawatan untuk proses reproduksi di
penangkaran. Penentuan jenis kelamin secara molekuler merupakan suatu solusi
efektif bagi para breeder karena dapat dilakukan sejak dini dan dideteksi dari DNA
sehingga hasilnya lebih akurat. Penentuan jenis kelamin secara molekuler dilakukan
berdasarkan gen Chromo Helicase DNA Binding (CHD) dengan menggunakan
primer P2 dan P8. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi jenis kelamin
Aves menggunakan primer P2 dan P8 berdasarkan DNA dari hasil ekstraksi darah
dan bulu.

Jenis-jenis Aves yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ayam kampung,
puyuh, itik, merpati, beo nias, kakatua molukan dan kakatua kecil jambul kuning
yang seluruhnya berjumlah 21 sampel. Sampel penelitian diperoleh dari darah dan
bulu yang kemudian diekstraksi untuk mendapatkan DNA total. Sampel darah
diekstraksi dengan menggunakan metode konvensional (phenol-chloroform),
sedangkan bulu diekstraksi dengan menggunakan kit ekstraksi. DNA total
diamplifikasi dengan menggunakan primer P2 dan P8 dan dielektroforesis pada gel
agarose. Genotyping dilakukan dengan melihat jumlah pita yang dihasilkan yaitu satu
pita menunjukkan jantan dan dua pita menunjukkan betina.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas DNA darah lebih tinggi
dibandingkan dengan bulu. Gen CHD berhasil diamplifikasi menggunakan primer P2
dan P8 dengan ukuran berkisar 300-400 bp. Hasil amplifikasi gen CHD
menunjukkan bahwa primer P2 dan P8 berhasil mengidentifikasi jenis kelamin pada
merpati, beo nias, kakatua molukan dan kakatua kecil jambul kuning dengan
elektroforesis pada gel agarose 2%. Namun primer P2 dan P8 tidak berhasil
mengidentifikasi jenis kelamin pada ayam, puyuh dan itik dengan gel agarose 2%
karena perbedaan ukuran fragmen spesifik CHD-Z dan CHD-W yang kecil sehingga
pita Z dan W tidak terpisah pada gel agarose 2%.
Kata-kata kunci: penentuan jenis kelamin, gen CHD, Aves


i

ABSTRACT
The Application of Chromo Helicase DNA Binding (CHD) Gene as A
Marker for Avian Sex Determination
Sari, E., C. Sumantri, and M. Ulfah
Many avian spesies are difficult to distinguish between male and female based on
their morphology. Male and female must be kept in the same cage for reproduction.
DNA-based sex identification provides a solution. CHD genes are preserved within
avian Z and W sex chromosomes. The aim of this research was to determine avians
sex based on CHD gene using P2 and P8 primers. DNA was extracted from avians
blood and feather. The Polymerase Chain Reaction (PCR) with a single of primers
P2 and P8 on a 2% agarose gel was used to decide the avian sex of chickens, quails,
ducks, rock pigeons, common hill myna, yellow-crested cockatoos, and salmoncrested cockatoos. Sex identifification of avian spesies based on bands the Z and W,
males had a single band (ZZ), and females had two (ZW) on a agarose gel. The CHD
gene amplified by the P2 and P8 primers had the fragment size of 300-400 bp. P2
dan P8 primers had no success for sex identification in chickens, quails and ducks.
However, the primers could be used to identify the sex of rock pigeons, common hill
myna, yellow-crested cockatoos and salmon-crested cockatoos.
Keywords : sex determination, CHD gene, avians.


ii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jenis kelamin merupakan informasi yang penting dalam budidaya unggas dan
penangkaran burung. Penentuan jenis kelamin pada sebagian burung sulit dilakukan
karena memiliki ciri-ciri fenotipik yang sangat mirip antara jantan dan betina, bahkan
setelah mencapai dewasa kelamin (monomorfis). Namun, proses perkawinan di suatu
penangkaran dilakukan dengan menyatukan jantan dan betina dalam satu kandang.
Hal ini menjadi suatu permasalahan bagi para breeder karena mereka belum yakin
dengan jenis kelamin burung yang mereka identifikasi. Identifikasi jenis kelamin
sejak dini sangat bermanfaat dalam pengembangbiakan serta menekan biaya
perawatan untuk proses reproduksi di penangkaran.
Secara umum identifikasi jenis kelamin dapat dilakukan berdasarkan dari
morfologi, kondisi hormonal dan molekuler. Identifikasi berdasarkan morfologi dan
kondisi hormonal hanya dapat dilakukan setelah mengalami dewasa kelamin.
Penentuan jenis kelamin secara molekuler merupakan suatu solusi efektif bagi para
breeder karena dapat dilakukan sejak dini dan dideteksi dari DNA sehingga hasilnya
lebih akurat. Sumber DNA untuk identifikasi jenis kelamin Aves dapat berasal dari

darah dan bulu. Penggunaan bulu dapat menghindari rasa sakit saat koleksi sampel
sehingga mengurangi stres yang terjadi pada burung. Penangkar burung biasanya
menggunakan jasa identifikasi jenis kelamin dengan sumber DNA dari bulu dan
mengirim sampel tersebut ke luar negeri karena masih terbatasnya jasa sexing burung
di Indonesia.
Gen Chromo Helicase DNA binding (CHD) merupakan suatu gen penanda
jenis kelamin pada Aves. Gen CHD berada di kromosom Z dan W, yang terdiri dari
CHD-Z (berada pada kromosom Z) dan CHD-W (berada pada kromosom W)
(Dubiec dan Zagalska-Neubauer, 2006). Gen CHD ini diamplifikasi dengan
menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) yang membutuhkan primer
yang spesifik sehingga didapatkan hasil yang optimal. Primer sexing yang sering
digunakan yaitu primer P2 dan P8. Griffits et al. (1998) membuktikan bahwa primer
P2 dan P8 ini dapat menentukan jenis kelamin pada 27 spesies burung dari 23
Familia. Oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan primer P2 dan P8 untuk

1

mengidentifikasi jenis kelamin burung endemik Indonesia seperti kakatua kecil
jambul kuning, kakatua molukan dan beo nias.
Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis kelamin pada kelas Aves
berdasarkan gen Chromo Helicase DNA Binding (CHD) menggunakan primer P2
dan P8. Selain itu, penelitian ini untuk mengetahui kualitas DNA dari hasil ekstraksi
darah dan bulu.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Aves (Bangsa Burung)
Burung atau aves adalah hewan yang memiliki bulu, tungkai atau lengan
depan termodifikasi untuk terbang, tungkai belakang teradaptasi untuk berjalan,
berenang dan hinggap, paruh tidak bergigi, jantung memiliki empat ruang, rangka
ringan memiliki kantong udara, berdarah panas, tidak memiliki kandung kemih dan
bertelur (Welty, 1982). Burung diklasifikasikan dalam kingdom Animalia, filum
Chordata, subfilum Vertebrata, dan kelas Aves.
Alikondra (2010) menjelaskan bahwa domestikasi adalah suatu urutan proses
pembentukan spesies dalam suatu populasi yang semakin lama semakin disesuaikan
dengan keadaan tidak liar, melalui mekanisme-mekanisme penjinakan dari banyak
generasi untuk mendekati/mencapai tuntutan kebutuhan manusia. Berdasarkan proses
domestikasi kelas Aves terbagi menjadi unggas dan burung.

Unggas
Unggas merupakan jenis (spesies) burung yang telah mengalami domestikasi
dan mempunyai manfaat utama sebagai penghasil pangan (Donham dan Haase,
1980). Beberapa jenis unggas seperti ayam Kampung, itik, puyuh dan merpati
dijelaskan dibawah ini:
Ayam Kampung. Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) memiliki kekerabatan
yang dekat dengan dua sub spesies dari ayam hutan merah (G. gallus spadiceus) di
China dan ayam hutan merah (G. gallus gallus) di Thailand (Sulandari dan Zein,
2009). Ayam kampung didefinisikan sebagai ayam yang tidak mempunyai ciri-ciri
khas tertentu, dengan kata lain penampilan fenotipenya masih sangat beragam. Sifatsifat kualitatif seperti warna bulu, warna kulit dan bentuk jengger yang sangat
bervariasi (Sartika dan Iskandar, 2007; Sartika, 2000). Ayam kampung jantan
memiliki bulu ekor sama panjang dengan panjang tubuh dan berpenampilan gagah,
sedangkan betina bulu ekor lebih pendek dari panjang tubuh, memiliki ukuran badan
dan kepala lebih kecil (Gambar 1).
Itik. Itik merupakan salah satu ternak unggas yang dikenal sebagai penghasil telur
dan daging. Itik jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan

3

itik betina (Brahmantiyo et al., 2003). Itik liar mengalami perubahan morfologi yang

bervariasi sesuai dengan tempat berkembangnya setelah mengalami domestikasi
seperti itik alabio, itik tegal, itik mojosari dan lain-lain (Srigandono, 1997). Pola
warna bulu itik mojosari sebagian besar didominasi oleh warna lurik-coklat gelap.
Variasi warna diantaranya adalah kombinasi warna lurik dengan belang putih pada
daerah leher dan bagian dada. Dari sebagian kecil dari populasi itik mojosari muncul
warna bulu putih polos (Suparyanto, 2003) (Gambar 1).
Puyuh. Puyuh merupakan jenis Aves yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif
kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan penghasil daging dan telur sehingga
sering dipelihara oleh masyarakat (Minvielle, 2004). Puyuh jantan dan betina dapat
dibedakan dari pola warna. Ciri-ciri puyuh jantan yaitu pada bagian bulu kepala
sampai ke bagian belakang terdapat warna putih yang berbentuk garis melengkung
tebal, bulu leher, dan dadanya yang berwarna cokelat muda (cinamon) tanpa ada
bercak kehitaman, bulu punggung berwarna campuran cokelat gelap, abu-abu dengan
garis putih dan bulu sayap seperti bulu punggung dengan belang kehitaman. Ciri-ciri
puyuh betina yaitu warna bulu pada kerongkongan dan dada bagian atas berwarna
cokelat muda lebih terang (sawo matang) dengan bercak cokelat tua atau kehitamhitaman (Kasiyati, 2009) (Gambar 1).
Merpati. Merpati termasuk dalam Familia Columbidae dari Ordo Columbiformes.
Merpati termasuk dalam kelas unggas yang telah lama dikenal di Indonesia dengan
sebutan burung dara. Merpati Indonesia merupakan jenis merpati lokal yang berasal
dari merpati liar (Columba livia) yang telah lama dibudidayakan dan asal

penyebarannya dari Eropa (Antawidjaja, 1988). Merpati merupakan salah satu
plasma nutfah di Indonesia. Para hobies menjadikan merpati sebagai hewan
kesayangan untuk dijadikan merpati balap (Darwati et al., 2010). Merpati dapat
dibedakan jenis kelaminnya setelah dewasa kelamin. Merpati betina biasanya lebih
kecil dan tidak terlalu ribut sewaktu kawin, sedangkan merpati jantan tubuhnya lebih
besar, lebih kasar, lehernya lebih tebal dan saat sedang kawin, jantan membuat
gerakan melingkar, memekarkan bulu ekor dan merebahkan bulu sayapnya (Blakely
& Bade, 1994) (Gambar 1).

4

Burung
Burung merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup di dalam ekosistem
alam dengan jumlah populasi yang tinggi. Fimbel et al (2001) menyebutkan bahwa
fungsi ekologis burung yaitu sebagai pollinator, penyebar dan pemangsa benih.
Indonesia memiliki kekayaan hayati berupa burung yang berlimpah. Populasi burung
saat ini mengalami penurunan karena meningkatnya populasi manusia sehingga
habitat asli burung menjadi terganggu. Tingginya permintaan pasar juga salah satu
faktor yang menyebabkan menurunnya populasi burung endemik Indonesia di alam.
Hal ini menyebabkan perlunya pengembangbiakan yang diharapkan mampu

meningkatkan populasi dan kelestariannya dengan upaya penangkaran. Alikondra
(2010) menyebutkan bahwa penangkaran satwa liar adalah perkembangbiakan dan
pemeliharaan satwa liar dalam keadaan terkurung oleh manusia untuk mencapai
sasaran tertentu. Beberapa jenis burung yang saat ini populasinya menurun akibat
tingginya permintaan pasar yaitu kakatua kecil jambul kuning, kakatua molukan dan
beo Nias.
Kakatua Kecil Jambul Kuning dan Kakatua Molukan. Burung kakatua merupakan jenis burung yang sangat dekat dan banyak digemari oleh masyarakat karena
perilaku yang khas, lucu, riang dan suka menirukan suara. Burung kakatua
merupakan spesies endemik Indonesia (Gambar 1). Indonesia memiliki 77 spesies
dari burung paruh bengkok (Ordo: Psttaciformes, Family: Pssittacidae) yaitu 61
spesies diantaranya masuk ke dalam daftar perdagangan pasar internasional sejak
tahun 1983-1999. Hal ini menyebabkan populasi burung ini mendekati kepunahan
akibat permintaan pasar yang tinggi. Semua burung paruh bengkok Indonesia
terdaftar dalam Appendix CITES yaitu Appendix I (terancam punah) sebanyak 4
spesies dan Appendix II (genting) sebanyak 73 spesies. Salah satu spesies yang
termasuk dalam Appendix I yaitu kakatua molucan (Cacatua moluccensis)
(Soehartono dan Mardiastuti, 2002).
Beo Nias
Burung beo merupakan burung yang paling pintar berbicara di dunia. Burung
ini dapat menirukan suara yang didengarnya dengan cermat (Gambar 1). Burung beo

memiliki sebutan yang berbeda-beda di setiap daerah di Indonesia dan dalam bahasa

5

Inggris disebut Mynah (Campbell dan Lack, 1985). Burung beo adalah burung
monomorfik yaitu sulit dibedakan antara jantan dan betina. Hampir semua jenis
burung beo terancam kelestariannya akibat penangkapan dari habitat alaminya.
Burung beo termasuk daftar burung paruh bengkok yang popular dalam pedagangan
burung internasional (Soehartono dan Mardiastuti, 2002).

Gambar 1. Beberapa Jenis Aves: Ayam Kampung Jantan (A.1) dan Betina (A.2)1,
Puyuh Jantan (B.1) dan Betina (B.2)2, Itik Jantan (C.1) dan Betina (C.2)3,
Merpati (D)4, Beo Nias (E)5, Kakatua Molukan (F)6, dan Kakatua Kecil
Jambul Kuning (G)7.
Sumber: 1(Candrawati, 2007)
2
(www.cybex.deptan.go.id)
3
(www.litbang.deptan.go.id)
4

(www.karantina.deptan.go.id)
5
(Shepherd, 2006)
6
(Harrison, 2005)
7
(Harrison, 2005)

Penentuan Jenis Kelamin pada Aves
Penentuan jenis kelamin pada aves dapat dilakukan dengan beberapa cara
yaitu secara non molekuler dan secara molekuler. Penentuan jenis kelamin secara
non molekuler diantaranya yaitu autosexing, vent sexing, karyotyping, steroid sexing
pada feses dan laparoskopi. Penentuan jenis kelamin secara molekuler umumnya
menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan menggunakan
penanda genetik khusus jenis kelamin (Cerit dan Avanus, 2007a). Cara-cara untuk
menentukan jenis kelamin secara non molekuler ini memiliki beberapa kelemahan.
Cara penentuan jenis kelamin secara non molekuler yaitu sebagai berikut:
6

Autosexing. Penentuan jenis kelamin day old chick (DOC) merupakan pekerjaan
yang sangat penting dalam reproduksi di suatu pembibitan. Fakta menarik mengenai
jenis kelamin DOC yang baru menetas dapat diketahui dari bulu menggunakan gen
marker K-k yang berlokasi pada kromosom sex Z. Saat menetas jantan dilihat dari
pertumbuhan bulu primer yang lambat, sementara itu betina diketahui dari
pertumbuhan bulu primer yang lebih cepat. Hal ini menjadi cara yang mudah, tingkat
akurasi yang tinggi dan cepat dalam menentukan jenis kelamin pada ayam sehingga
sering digunakan di pembibitan unggas skala industri (Mincheva et al., 2012).
Autosexing ayam diketahui dari warna bulu akibat mutasi yang terpaut kelamin.
Jantan dan betina dapat diidentifikasi saat penetasan melalui warna bulunya yang
unik (Elbrecht dan Smith, 1992).
Vent Sexing. Vent sexing merupakan metode yang dipopulerkan oleh seorang
profesor Jepang, Kiyoshi Masui pada tahun 1930. Metode ini mengidentifikasi jenis
kelamin berdasarkan area kloaka untuk melihat keberadaan alat kelamin jantan.
Metode itu membutuh orang yang terlatih dan banyak pengalaman. Vent sexers yang
sangat terlatih dengan mudah mengidentifikasi jenis kelamin day old chick (DOC)
dengan tingkat keberhasilan hingga 95%. Seorang ahli juga dapat mengalami
kesalahan dalam mengidentifikasi burung yang monomorfik (Bramwell, 2003).
Laparoskopi (Pembedahan). Karakteristik saluran reproduksi dapat langsung
dilihat dengan menggunakan laparoskopi. Gonad burung dewasa lebih mudah
divisualisasi dibandingkan dengan anakan. Metode ini dilakukan dengan penyayatan
kecil pada sisi kiri tubuh burung sehingga memiliki resiko yang tinggi yaitu cedera
pada organ vital burung yang dibedah. Pemeriksaan ini dapat berbahaya dan bahkan
mematikan burung tersebut (Swengel, 1996; Cerit dan Avanus, 2007a).
Steroid Sexing pada feses. Metode ini didasarkan pada tingkat hormon
estrogen/testosterone (E/T) dalam kotoran burung. Kotoran burung betina memiliki
rasio E/T yang tinggi daripada burung jantan. Hasil terbaik dapat diperoleh dari
burung-burung dewasa selama musim kawin dan dilakukan pada feses segar
(Swengel, 1996; Cerit dan Avanus, 2007a).

7

Karyotyping. Sumber untuk isolasi kromosom dan penentuan kariotipe dapat
diperoleh dari kultur sel yang umumnya berasal dari bulu atau sel darah. Sebagian
besar kromosom spesies burung adalah mikrokromosom sehingga sulit untuk
menghitung mikrokromosom ini secara akurat. Kromosom Z memiliki ukuran yang
lebih besar dibandingkan dengan kromosom W (Archawaranon, 2004). Kelemahan
dari metode ini yaitu prosedur yang memakan waktu lama (Cerit dan Avanus, 2007a)
Gen CHD (Chromo Helicase DNA Binding)
Gen Chromo Helicase DNA binding (CHD) merupakan suatu gen penanda
jenis kelamin pada Aves. Gen CHD berada di kromosom Z dan W, yang terdiri dari
CHD-Z (berada pada kromosom Z) dan CHD-W (berada pada kromosom W)
(Dubiec dan Zagalska-Neubauer, 2006). Gen CHD (chromo helicase DNA binding)
merupakan gen pertama yang berlokasi di kromosom W (CHD-W) pada aves
(Griffiths and Tiwari, 1995). CHD-Z berlokasi pada kromosom Z (Griffiths and Korn
1997), yang ada pada dua jenis kelamin (ZZ dan ZW). Struktur protein dari CHD-Z
dan CHD-W diketahui memiliki perbedaan yang sangat sedikit (Fridolfson dan
Ellergen, 1999). Sejauh ini hanya sedikit gen yang terdapat pada kromosom W untuk
mengidentifikasi jenis kelamin pada Aves, namun gen yang paling umum digunakan
yaitu gen CHD.
Aves mempunyai kromosom sex yang berbeda dibandingkan dengan
mamalia. Sifat heterogametik pada burung dimiliki oleh betina (ZW) sedangkan
jantan merupakan homogametik (ZZ) (Ellergren, 1996). Gen CHD

(Chromo

Helicase DNA binding) dapat menunjukkan perbedaan antara alel Z dan W pada
betina (Griffiths et al., 1996). Perbedaan ini terjadi karena adanya keterpautan
(linkage) antara posisi gen CHD dengan kromosom kelamin pada Aves (kromosom Z
dan W) (Griffith dan Korn, 1997).
Sejak ditemukannya perbedaan pada gen jenis kelamin CHD-Z dan CHD-W
pada kebanyakan jenis burung, kemudian gen ini diamplifikasi dengan PCR
(Griffiths et al., 1998; Kahn et al., 1998; Fridolfsson dan Ellegren, 1999). Banyak
primer yang telah didesain untuk mengenali ukuran intron yang berbeda pada gen
CHD. Namun primer yang paling sering digunakan untuk mengidentifikasi jenis
kelamin pada Aves yaitu P2 dan P8 (Griffiths et al., 1998).
8

Isolasi DNA Total
Teknik PCR memerlukan suatu DNA cetakan (DNA template) yang nantinya
akan diperbanyak secara in vitro. DNA cetakan didapatkan dari hasil ekstraksi dan
purifikasi suatu sel, jaringan atau organ. Sebagian besar DNA pada sel hewan
terdapat di dalam inti dan sebagian yang lain terdapat di organel seperti mitokondria.
Ekstraksi dan purifikasi DNA pada prinsipnya adalah suatu cara atau metoda untuk
memisahkan DNA total dari komponen sel lainnya (Sulandari dan Zein, 2003).
Setiap sel atau jaringan yang memiliki DNA memungkinkan untuk dilakukan
ekstraksi DNA. Namun kualitas dan jumlah DNA yang diperoleh dapat bervariasi
tergantung asal jaringan, metode penyimpanan, dan cara ekstraksi. Ekstraksi DNA
dari fosil, rambut atau bulu, dan feses biasanya lebih sulit dilakukan (Taberlet et al.
1996).
Prinsip metode purifikasi pada semua jaringan hewan tidak jauh berbeda,
yaitu terdiri atas tiga tahapan utama. Tiga tahapan tersebut secara berurutan adalah
penghancuran (lisis) membran sel, pemisahan material DNA dari material organik sel
lain, dan pemisahan DNA dari larutannya (presipitasi) (Sambrook et al. 1989).
Secara umum dalam studi molekuler burung, DNA total didapatkan dari hasil
ekstraksi dan purifikasi darah lengkap (whole blood). Inhibitor (penghambat) yang
terdapat pada beberapa jaringan memerlukan perlakuan khusus dalam proses
ekstraksi sehingga hasilnya akan sulit untuk di PCR. Ekstraksi DNA dapat dilakukan
secara manual ataupun menggunakan DNA extraction kit (kit). Ekstraksi DNA
dengan menggunakan kit umumnya menghasilkan DNA dengan kualitas yang lebih
baik (Schill, 2007).
Bulu merupakan struktur khusus sebagai penciri dalam kelas Aves. Bulu
burung mempunyai prospek menjadi sumber DNA karena pada pangkal bulu
(calamus) banyak mengandung sel epitel. Bulu dapat diperoleh secara langsung
(pada saat mabung) maupun tak langsung (dicabut) dengan tingkat resiko kecil pada
burung tersebut. Namun karena pada bulu banyak mengandung unsur keratin dan
sudah mengeras, maka sulit untuk didapatkan DNAnya. Komponen bulu terdiri dari
α dan β-keratin yang tersusun oleh bermacam-macam asam amino (Harrap dan
Woods, 1964).

9

Seleksi Menggunakan Penanda Molekuler
Metode seleksi sederhana berdasarkan informasi fenotipe telah banyak
dilakukan untuk perbaikan produktivitas ternak, namun terdapat beberapa
keterbatasan seperti perbedaan jenis kelamin dan sifat-sifat yang sulit atau mahal
untuk diukur dan diamati (Vischer et al., 2000). Salah satu metode untuk mengatasi
kelemahan tersebut adalah dengan melakukan seleksi menggunakan penanda
molekuler.
Poymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu reaksi in vitro untuk
menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan DNA baru yang
berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim dan
oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler. Panjang target DNA
berkisar antara puluhan sampai ribuan nukleotida yang posisinya diapit sepasang
primer. Primer yang berada sebelum daerah target disebut sebagai primer forward
dan yang berada setelah daerah target disebut primer reverse. Enzim yang digunakan
sebagai pencetak rangkaian molekul DNA baru dikenal sebagai enzim polymerase.
Untuk mencetak rangkaian tersebut dalam teknik PCR, diperlukan juga dNTPs
(deoxynucleoside triphosphat) yang mencakup dATP (nukleotida berbasa Adenine),
dCTP (Cytosine), dGTP (Guanine) dan dTTP (Tymine) (Muladno, 2002).
Proses PCR terdiri dari tiga tahapan yaitu : (1) Denaturasi, yaitu perubahan
struktur DNA utas ganda menjadi utas tunggal, (2) Annealing, yaitu penempelan
primer pada sekuens DNA komplementer yang akan diperbanyak, dan (3) Ekstensi,
yaitu pemanjangan primer oleh DNA polymerase. PCR biasanya berlangsung dalam
35-40 siklus (Muladno, 2002). Tahap denaturasi DNA berlangsung dalam suhu 94 ºC
sehingga DNA untai ganda dapat terpisah menjadi utai tunggal. Tahap yang paling
menentukan adalah tahap penempelan primer, karena setiap pasang primer memiliki
suhu penempelan primer yang spesifik. Tahap pemanjangan primer berlangsung pada
suhu 27 ºC. Pada tahap ini enzim taq polymerase, buffer, dNTP, dan Mg2+ memulai
aktifitasnya memperpanjang primer (Viljoen et al., 2005). Proses PCR disajikan pada
Gambar 2.

10

Gambar 2. Proses Poymerase Chain Reaction (PCR)
(Nicholas, 2004)

Polymerase Chain Reaction-Single Strand Comformation Polymorphism
(PCR-SSCP) merupakan salah satu metode analisis lebih lanjut yang memanfaatkan
produk PCR. Metode ini merupakan pemisahan asam nukleat rantai tunggal (single
stranded nucleic acids) hasil amplifikasi PCR dengan elektroforesis melalui gel
poliakrilamid dan berdasarkan pada perbedaan berat model pasangan basa, sehingga
dapat menghasilkan perbedaan struktur sekuen gen (Orita et al., 1989). Prinsip yang
mendasari metode analisis SSCP adalah perbedaan asam nukleotida yang akan
mempengaruhi bentuk fragmen DNA untai tunggal (Bastos et al., 2001) akan
menyebabkan pola migrasi pada saat elektroforesis dalam gel poliakrilamid (Baroso
et al., 1999) walaupun perbedaannya hanya satu nukleotida saja (Nataraj et al.,
1999).
Elektroforesis
Elektroforesis adalah proses bergeraknya molekul bermuatan pada suatu
medan listrik. Kecepatan molekul yang bergerak pada medan listrik tergantung pada
muatan, bentuk dan ukuran molekulnya. Prinsip kerja dari elekroforesis yaitu
berdasarkan pergerakan partikel-partikel bermuatan negatif yang bergerak menuju
kutub positif (Klug & Cummings, 1994). Proses elektroforesis membutuhkan agar
atau gel sebagai medium untuk pemisahan DNA. Ada dua tipe gel dalam proses
elektroforesis yaitu agarose dan poliakrilamid. Gel agarose adalah koloid alami yang
11

diekstrak dari rumput laut. Gel agarose memiliki pori berukuran besar dan kegunaan
utamanya untuk memisahkan molekul yang sangat besar dengan berat molekul lebih
dari 200 kiladalton (Sambrook et al., 1989). Posisi molekul yang terseparasi dapat
dilihat dengan pewarnaan gel. Untuk mendeteksi potongan-potongan DNA berupa
larik DNA pada gel agarose digunakan pewarna yang mengandung fluorescen
dengan konsentrasi rendah seperti ethidium bromide (EtBr) (Fatchiyah, 2006).
Resolusi optimal dalam separasi fragmen DNA akan didapatkan apabila
pemilihan konsentrasi gel tepat. Besar kecilnya pori-pori pada agarose ditentukan
oleh konsentrasinya, makin tinggi konsentrasi agarose, maka makin kecil pori yang
terbentuk. Pori-pori ini berfungsi sebagai saringan molekul, dimana migrasi fragmen
DNA yang besar akan lebih lambat daripada fragmen yang lebih kecil (Fatchiyah,
2006).
Gel

poliakrilamida

terbentuk

tanpa

pemanasan,

melainkan

dengan

pencampuran larutan akrilamida dengan ammonium sulfat dan TEMED (N,N,N’,N’tetramethylethylenediamine). Pencampuran ini akan mengakibatkan monomer
akrilamida mengalami polimerisasi menjadi rantai panjang. Penambahan senyawa
lain N,N’-methylene bis-akrilamida (bis-akrilamida) di dalam proses polimerisasi,
terbentuk cross-linker antar rantai panjang sehingga terbentuk gel yang tingkat
porositasnya ditentukan oleh panjang rantai dan derajat penyilangan antar rantai
(cross-link). Panjang rantai polimer akrilamida ditentukan oleh konsentrasi
akrilamida di dalam reaksi polimerisasi (antara 3.5% dan 20%). Senyawa bisakrilamida yang berfungsi sebagai cross-linker ditambahkan dengan perbandingan
1:29 terhadap akrilamida (Muladno, 2002).
Elektroforesis gel poliakrilamida dilakukan pada posisi vertikal. Gel
poliakrilamida memiliki tiga keuntungan yaitu: (1) resolusi dalam pemisahan
molekul DNA jauh lebih tinggi sehingga panjang molekul DNA yang berbeda hanya
satu nukleotida dapat dideteksi, (2) gel poliakrilamida dapat menampung jumlah
DNA yang lebih besar daripada gel agarose dan (3) DNA yang diekstrak dari gel
poliakrilamida bersifat sangat murni dan dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut
(Muladno, 2002). Karakteristik dari gel agarose dan poliakrilamid ditampilkan pada
Tabel 1.

12

Tabel 1. Karakteristik Gel Agarose dan Poliakrilamid
Jenis Gel

Agarose

Poliakrilamid

Konsentrasi Gel Agarose (%)
0,2
0.4
0,6
0,8
1,0
1,5
2,0
3,0
3,5
5,0
8,0
12,0
15,0
20,0

Kisaran ukuran DNA (pb)
5000-40000
5000-30000
3000-10000
1000-7000
500-5000
300-3000
200-1500
100-1000
1000-2000
80-500
60-400
40-200
25-150
6-100

Sumber: (Sambrook et al., 1989)

13

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012. Koleksi
sampel darah unggas dilakukan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor. Koleksi sampel bulu dilakukan di Penangkaran Burung
“Megananda Bird Orchid Farm”, Ciluer, Bogor. Analisis identifikasi jenis kelamin
Aves dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan
Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Materi
Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 16 sampel darah unggas
yang terdiri dari ayam kampung, puyuh, itik dan merpati serta 5 sampel bulu burung
yang terdiri dari kakatua kecil jambul kuning, kakatua molukan dan beo nias
(Gambar 3). Identitas sampel penelitian ditampilkan pada Tabel 2.
Pengambilan Sampel
Bahan-bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel adalah alkohol
70%, kapas dan EDTA. Alat yang digunakan adalah jarum venojeck, tabung
eppendorf 1,5 ml dan pipa kapiler.
Ekstraksi DNA
Bahan yang digunakan untuk ekstraksi DNA darah yaitu sampel darah, RBC
lisis buffer, 1 x STE (5M NaCl, 2M tris HCl, 0,2M EDTA), SDS 10% (sodium
dodesil sulfat), Proteinase-K 5 mg/ml, fenol, CIAA, NaCl 5M, EtOH absolut, buffer
TE 80% (tris EDTA) dan tissue. Peralatan yang digunakan adalah tabung eppendorf
1,5 ml, satu set mikro pipet dan tip, gunting, vortexmixer, sentrifuge, rotary mixer,
inkubator, refrigerator, dan freezer. Ektraksi DNA dari bulu dan feses menggunakan
kit extraction (ekstraksi kit) dengan menggunakan bahan yang with urea, ProteinaseK 10 mg/ml, PB Buffer dan EB buffer. Alat yang digunakan yaitu tabung spin,
sentrifuge, inkubator, dan rotary mixer.

14

Tabel 2. Identitas Sampel Penelitian
Ordo
Galliformes

Family
Phasianidae

Spesies
Nama Latin
Gallus gallus domesticus

Nama Inggris
Chicken

Nama Indonesia
Ayam Kampung

Asal Sampel
Laboratorium

Jenis

Jumlah

Jenis kelamin

Sampel

Sampel

yang diketahui

Darah

4

2♂ & 2♀

Darah

4

2♂ & 2♀

Darah

4

2♂ & 2♀

Darah

4

2♂ & 2♀

lapang
Galiformes

Phasianidae

Coturnix c. Japonica

Quail

Puyuh

Laboratorium
lapang

Anseriformes

Anatidae

Anas plathyrynchos

Duck

Itik

Laboratorium
lapang

Columbiformes

Columbidae

Columba livia

Rock Pigeon

Merpati

Laboratorium
lapang

Passeriformes

Sturnidae

Gracula religiosa robusta

Common Hill Mynah

Beo nias

Penangkaran

Bulu

1

-

Psittaciformes

Psittacidae

Cacatua moluccensis

Salmon-crested Cockatoo

Kakatua molukan

Penangkaran

Bulu

2

-

Psittaciformes

Psittacidae

Cacatua sulphurea

Yellow-crested Cockatoo

Kakatua kecil

Penangkaran

Bulu

2

-

jambul kuning

15
15

Gambar 3. Jenis Sampel: Ayam Kampung Jantan (A.1) dan Betina (A.2), Puyuh
Jantan (B.1) dan Betina (B.2), Itik (C), Merpati (D), Beo Nias (E),
Kakatua Molukan (F), dan Kakatua Kecil Jambul Kuning (G).
Sumber : Dokumentasi pribadi

Primer Sexing
Primer merupakan molekul oligonukleotida yang berukuran pendek (sekitar
18-24 pasang basa) yang akan menempel pada DNA cetakan di tempat spesifik.
Pasangan primer yang digunakan untuk mengamplifikasi gen CHD berdasarkan
Griffiths et al. (1998) dengan runutan primer forward 5’- TCT GCA TCG CTA AAT
CCT TT-3’, dan primer reverse 5’- CTC CCA AGG ATG AGR AAY TG-3’ dengan
produk hasil amplifikasi sepanjang 300-400 bp. Sekuen gen CHD pada spesies
didapatkan dari genBank, yaitu ayam (CHD-Z: Nomor Akses AF006659 dan CHDW: Nomor Akses AF006660), puyuh (CHD-Z: Nomor Akses HQ175997 dan CHDW: Nomor Akses HQ175998) dan merpati (CHD-Z: Nomor Akses GU289184 dan
CHD-W: Nomor Akses GU289183).

16

Amplifikasi DNA
Amplifikasi DNA menggunakan bahan-bahan yaitu sampel DNA, buffer,
MgCl2, dNTP (deoxy Nukleotida Triposfat), enzim Taq Polymerase, destilated water
(DW) dan pasangan primer. Alat-alat yang digunakan dalam amplifikasi DNA yaitu
satu set mikropipet dan tip, mesin thermocycler, sentrifuge, rak, vortex dan tabung
eppendorf.
Elektroforesis
DNA yang telah diamplifikasi dielektroforesis menggunakan gel agarose
konsentrasi 2%. Bahan yang digunakan untuk elektroforesis gel agarosa adalah
produk PCR, agarose, loading dye, marker 100 bp, 0,5 x TBE, dan Ethidium
Bromide. Alat yang digunakan adalah tip pipet, mikropipet 10 P Gilson, gelas kimia,
gelas ukur, stirrer, microwave, gel tray, pencetak untuk sumur (comb), power supply
electrophoresis 100 volt, alat foto UV trans iluminator, dan sarung tangan.
Prosedur
Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA dilakukan dari darah dan bulu. Prosedur ekstraksi DNA darah
mengikuti metode phenol-chloroform (Sambrook et al., 1989) dan ekstraksi DNA
dari bulu dilakukan dengan menggunakan kit ekstraksi.
Ekstraksi DNA Darah. Sampel darah diambil sebanyak 50 µl dipindahkan ke dalam
tabung 1,5 ml dan ditambahkan 800 µl RBC lisis buffer kemudian dihomogenkan
menggunakan vortex selama ± 5 menit. Campuran tersebut kemudian disentrifugasi
dengan kecepatan 8000 rpm (rotation per minutes) selama 5 menit dan bagian
supernatannya dibuang. Bagian sel darah yang diperoleh ditambahkan dengan 40 µl
SDS 10%, 10 µl Prot K 5 mg/ml dan 300 µl 1 x STE, dikocok pelan dalam inkubator
pada suhu 55 ºC selama 2 jam. Molekul DNA dimurnikan dengan cara penambahan
larutan fenol sebanyak 400 µl, 400 µl CIAA dan 40 µl NaCl 5M, kemudian dikocok
pelan pada suhu ruang selama 1 jam.
Molekul DNA yang larut dipisahkan dari fase phenol dengan alat sentrifugasi
pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Bagian DNA (bening) sebanyak ± 400
µl dipindahkan dengan menggunakan pipet ke tabung 1,5 ml baru dan ditambahkan
800 µl EtOH absolut serta 40 µl NaCl 5M, kemudian dibekukan selama satu malam.

17

Molekul DNA kemudian dipisahkan dari EtOH absolut dengan disentrifugasi pada
kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit kemudian dibuang bagian supernatan sehingga
diperoleh endapan molekul DNA. Endapan tersebut didiamkan dalam keadaan
terbuka hingga kering dan disuspensikan dalam 100 µl TE (tris-EDTA) 80% dan
disimpan dalam freezer sampai akan digunakan.
Ekstraksi DNA Bulu. Ekstraksi DNA dari bulu dilakukan dengan kit ekstraksi.
Sampel calamus dipotong kecil lalu diletakkan di tabung effendorf 1,5 ml, kemudian
ditambahkan “yang with urea” 1000 µl, dan prot K 10 mg/ml kemudian diinkubasi
sambil digoyang pada suhu 38 ºC selama satu malam. Sampel diberi prot K 10
mg/ml 20 µl dan diinkubasi pada suhu 55 ºC selama 2 jam lalu disentrifugasi dengan
kecepatan 2000 rpm selama 5 menit. Sampel sebanyak 500 µl ditambahkan 2500 µl
PB buffer, kemudian sampel diambil 750 µl dan dipindahkan ke tabung spin lalu
disentrifugasi dengan kecepatan 13000 rpm selama satu menit dan diulangi hingga
semua campuran sampel dan PB buffer habis. Tabung ungu dipindahkan ke tabung
1,5 ml, ditambahkan 100 µl EB, didiamkan selama 5 menit dan disentrifugasi dengan
kecepatan 13000 rpm selama satu menit. Sampel DNA akan tertampung di tabung
1,5 ml.
Kualitas DNA
Kualitas

DNA

dapat

diketahui

dengan

cara

spektrofotometer

dan

elektroforesis. Sampel 3 µl dan 597 µl destilated water (DW) dan blanko kemudian
dispektrofotometer untuk mengetahui kualitas DNA dari sampel. Selain itu sampel
5 µl dicampurkan dengan loading dye kemudian dielektroforesis pada gel agarose
1,5 %.
Amplifikasi Gen CHD
Amplifikasi gen CHD secara in vitro menggunakan teknik PCR dengan
mesin

thermocycler.

Pereaksi

PCR

terdiri

dari

sampel

DNA

1

µl,

destilated water (DW) 18,9 µl, primer 0,3 µl, dNTP 0,2 µl, MgCl2 1 µl, dream taq
buffer 2,5 µl, enzim taq Polymerase 0,1 µl dengan volume akhir 23 µl. Campuran
tersebut kemudian diamplifikasi secara in vitro dalam mesin thermocycle dengan
kondisi pra-denaturasi 95 ºC selama lima menit, tahapan selanjutnya terdiri dari 35
siklus dengan masing-masing siklus terdiri dari denaturasi 95 ºC selama 30 detik,
18

anneling pada suhu 60 ºC selama 45 detik, dan elongasi pada suhu 72 ºC selama satu
menit. Kemudian tahap terakhir adalah elongasi akhir 72 ºC selama lima menit.
Elektroforesis
Produk PCR sebanyak 5 µl dicampurkan dengan loading dye (bromothymol
blue 0,01%, xylene cyanol 0,01%, dan gliserol 50%) sebanyak 1 µl dengan
menggunakan mikropipet lalu dimasukkan dalam sumur-sumur gel dan satu sumur
gel dimasukkan marker sebanyak 2 µl yang digunakan sebagai penanda. Kemudian
gel ditempatkan ke dalam gel tray elektroforesis yang sudah berisi larutan buffer dan
dialiri listrik 100 volt selama 30 menit, molekul DNA yang bermuatan negatif pada
pH netral akan bergerak (bermigrasi) ke arah positif. Gel agarose yang telah selesai
dielektoforesis kemudian diambil untuk melihat panjang pita DNA dengan
menggunakan sinar ultraviolet dalam trans illuminator. Panjang pita DNA dapat
diketahui dengan cara menarik garis lurus masing-masing pita sampel DNA dengan
posisi pita DNA marker.
Rancangan dan Analisis Data
Genotyping
Jenis kelamin setiap individu ditentukan berdasarkan pita-pita yang muncul
pada gel agarosa dan poliakrilamid. Jenis kelamin jantan menghasilkan satu pita dan
betina dua pita (Griffith et al., 1998). Penentuan genotipe dari setiap individu
ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 4. Penentuan Genotipe Gen CHD pada Aves
(Griffith et al., 1998)

19

HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi DNA
Sumber DNA pada Aves biasanya berasal dari darah. Selain itu bulu juga
dapat dijadikan sebagai alternatif sumber DNA. Hal ini karena pada sebagian jenis
Aves memiliki pembuluh darah yang kecil seperti kakatua (Psittacidae) dan beo
(Sturnidae) sehingga ekstraksi DNA dari darah sulit dilakukan. Selain itu
penggunaan bulu dapat mengurangi stres pada burung dan mempermudah
pengambilan sampel pada jenis Aves yang ukuran tubuhnya kecil (Bello et al.,
2001). Cerit dan Avanus (2007b) menambahkan bahwa penggunaan bulu dapat
menghindari rasa sakit pada burung dan menurunkan resiko kontaminasi sehingga
biaya yang dibutuhkan lebih rendah.
Metode ekstraksi DNA dari sampel harus ditentukan dengan tepat. Ekstraksi
DNA pada penelitian ini dilakukan secara konvensional dan menggunakan extraction
kit (kit). Ekstraksi DNA yang berasal dari darah dilakukan dengan menggunakan
metode konvensional atau phenol chloroform, sedangkan ekstraksi DNA yang
berasal dari bulu dilakukan dengan menggunakan kit. Hal ini karena darah
merupakan sumber DNA yang paling umum digunakan sehingga dapat digunakan
metode phenol chloroform untuk efisiensi biaya. Dubiec dan Zagalska-Neubaurer
(2005) menjelaskan bahwa ekstraksi DNA dengan metode phenol chloroform
(Sambrook et al., 1989) menghasilkan kualitas dan kuantitas DNA yang optimal
dengan biaya lebih murah. Hickman et al. (1984) menyatakan bahwa sumber DNA
pada bulu didapat dari pangkal bulu (calamus) yang banyak mengandung sel epitel
dan mengandung penghambat (inhibitor) yaitu keratin sehingga proses ekstraksi
menjadi cukup sulit. Hasil ekstraksi DNA dengan menggunakan kit menghasilkan
kualitas DNA yang lebih baik, namun penggunaaan kit akan meningkatkan biaya.
Kualitas DNA
Kualitas DNA berkorelasi dengan kemurnian dan intensitas molekul dari
DNA. Pengujian kemurnian dan konsentrasi DNA hasil ekstraksi dapat diketahui
dengan menggunakan alat spektrofotometer dan intensitas molekul DNA dapat
diketahui dengan melihat intensitas cahaya dari pita DNA pada gel (Muladno, 2002).

20

Pengukuran jumlah DNA dengan spektrofotometer didasarkan pada prinsip
iradiasi sinar ultraviolet yang diserap oleh nukleotida dan protein dalam larutan.
Analisis asam nukleat umumnya dilakukan untuk penentuan konsentrasi rata-rata dan
kemurnian DNA yang terdapat dalam sampel. Jumlah dan kemurnian tertentu
diperlukan untuk kinerja optimal sampel DNA yang digunakan. Asam nukleat
menyerap sinar ultraviolet dengan pola tertentu. Sampel ditembus sinar ultraviolet
dan fotodetektor cahaya pada 260 nm, semakin besar cahaya yang diserap sampel,
maka semakin tinggi konsentrasi asam nukleat dalam sampel (Sambrook & Russel
2001). Hasil kemurnian dan konsentrasi DNA darah disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Kemurnian dan Konsentrasi DNA Darah
Sumber DNA

Kemurnian (A260/A280)

Konsentrasi (µg/µl)

Ayam 1
Ayam 2
Ayam 3
Ayam 4
Puyuh 1
Puyuh 2
Puyuh 3
Puyuh 4
Itik 1
Itik 2
Itik 3
Itik 4
Merpati 1
Merpati 2
Merpati 3
Merpati 4

1,546
1,438
0,965
1,741
1,417
1,417
1,391
1,100
1,100
1,200
1,433
1,611
1,571
1,667
1,429
1,500

1670
230
5640
1010
340
170
320
110
110
60
2020
580
110
100
100
150

Rataan

1,408

795

Konsentrasi DNA yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 50 μg/ml,
adapun untuk sampel yang memiliki konsentrasi DNA di atas 50 μg/ml dilakukan
pengenceran dengan menambahkan air destilata. Penggunaan sampel dengan
konsentrasi DNA yang sama dilakukan agar keberhasilan amplifikasi seragam. Tabel
3 menunjukkan konsentrasi DNA darah hasil ekstraksi memiliki nilai yang bervariasi
antara 60 sampai 5640 μg/ml. Hal ini disebabkan sampel darah yang diekstraksi
berasal dari sumber yang berbeda sehingga memiliki pengotor DNA yang berbeda.

21

Adanya bahan pengotor pada sumber DNA akan mempengaruhi konsentrasi DNA
yang diperoleh.
Hasil rasio absorbansi pada panjang gelombang 260/280 nm menunjukkan
tingkat kemurnian dari DNA. Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata kemurnian DNA
darah sebesar 1,408 yang berarti DNA yang dihasilkan tidak terlalu murni. Sambrook
et al. (1989) menjelaskan DNA dapat dikatakan murni apabila rasio absorbansi pada
panjang gelombang 260/280 nm dalam kisaran 1,8 – 2,0. Hal ini disebabkan oleh
adanya pengotor yang terdapat pada darah seperti protein sehingga menjadi sumber
kontaminan pada DNA. Selain itu enzim proteinase tidak bekerja secara optimal saat
proses ekstraksi DNA darah yang dilakukan dengan metode konvensional. Sambrook
et al, (1989) menjelaskan bahwa rasio A260/A280 akan semakin besar atau kecil dari
nilai 1,8-2,0 jika ditemukan kontaminasi dari protein atau fenol. Secara umum DNA
darah hasil ekstraksi dapat digunakan untuk proses amplifikasi.
Bulu burung merupakan suatu modifikasi dari jaringan kulit yang menanduk.
Bulu dapat dijadikan sebagai alternatif sebagai sumber DNA. Hasil kemurnian dan
konsentrasi DNA bulu disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai Kemurnian dan Konsentrasi DNA Bulu
Sumber DNA

Kemurnian (A260/A280)

Konsentrasi (µg/µl)

Beo nias
Kakatua molukan 1
Kakatua molukan 2
Kakatua kecil jambul kuning 1
Kakatua kecil jambul kuning 2

1,429
1,273
1,643
1,250
1,400

200
280
230
200
210

Rataan

1,399

224

Nilai konsentrasi DNA bulu hasil ekstraksi memiliki hasil yang seragam
dengan kisaran antara 200 sampai 280 μg/ml (Tabel 4). Hal ini disebabkan oleh
metode ekstraksi pada bulu dilakukan dengan menggunakan kit ekstraksi. Hasil
rasio absorbansi pada panjang gelombang 260/280 nm menunjukkan tingkat
kemurnian dari DNA. Rata-rata kemurnian DNA bulu yaitu 1,399 yang berarti DNA
yang dihasilkan berada dibawah kisaran DNA murni yaitu 1,8 – 2,0. Hal ini karena
bulu banyak mengandung protein (keratin) yang dapat menjadi pengotor DNA
maupun penghambat (inhibitor) saat ekstraksi (Schill, 2007).

22

Pengujian kualitas DNA dengan menggunakan gel ditentukan oleh intensitas
cahaya dari pita DNA pada media gel. Penilaian kualitas DNA dilakukan dengan
elektroforesis pada gel agarose 1,5% dengan tegangan 100 volt selama 45 menit.
Hasil uji kualitas DNA pada gel agarose 1% disajikan pada Gambar 5.
Darah

Bulu

M

Gambar 5. Elektroforesis DNA Hasil Ekstraksi pada Gel Agarose 1,5%
Pita DNA darah lebih terang daripada pita DNA bulu pada gel agarose 1,5%
(Gambar 5). Hal ini disebabkan oleh konsentrasi DNA darah yang lebih tinggi
dibandingkan konsentrasi DNA bulu. Hasil ekstraksi darah pada gambar terlihat ada
bagian smear. Smear merupakan bagian DNA yang terdegradasi sehingga
menghasilkan DNA dalam berbagai ukuran. Sampel DNA yang berkualitas baik,
tidak mengandung DNA yang terdegradasi. Tebalnya smear yang terlihat pada
gambar dapat disebabkan oleh kurangnya TE (Tris-EDTA) ketika melarutkan sampel
DNA.
Amplifikasi Gen Chromo Helicase DNA Binding (CHD)
Penelitian ini menggunakan gen Chromo Helicase DNA Binding (CHD)
untuk mengidentifikasi jenis kelamin pada Aves dengan metode Polymerase Chain
Reaction (PCR). Primer spesifik yang digunakan pada penelitian ini yaitu primer P2
dan P8 karena primer ini yang paling sering digunakan untuk identifikasi jenis

23

kelamin pada Aves. Griffith et al. (1998) membuktikan bahwa primer P2 dan P8 ini
berhasil mengamplifikasi 27 jenis dari 28 spesies burung yang diteliti.
Amplifikasi gen Chromo Helicase DNA Binding (CHD) dilakukan pada
mesin thermal cycler dengan suhu annealing 60 ºC. Penentuan jenis kelamin dengan
primer P2 dan P8 dilakukan dengan melihat jumlah pita hasil elektroforesis. Jantan
memiliki satu pita dan betina memiliki dua pita. Hal ini karena Aves memiliki
kromosom sex yang berbeda dengan mamalia. Sifat heterogametik pada burung
dimiliki oleh betina (ZW) sedangkan jantan merupakan homogametik (ZZ)
(Ellergren, 1996). Gen CHD (Chromo Helicase DNA binding) dapat menunjukkan
perbedaan antara alel Z dan W pada betina (Griffiths et al,. 1996). Perbedaan ini
terjadi karena adanya keterpautan (linkage) antara posisi gen CHD dengan
kromosom kelamin pada Aves (kromosom Z dan W) (Griffith dan Korn, 1997).
Sebanyak 21 sampel Aves telah berhasil diamplifikasi dengan menggunakan
primer P2 dan P8. Hasil amplifikasi gen CHD menggunakan primer P2 dan P8
disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Hasil Amplifikasi Gen CHD Menggunakan Primer P2 dan P8 pada Ayam
Kampung (A), Puyuh (B), Itik (C), Merpati (D), Beo Nias (E), Kakatua
Molukan (F) dan Kakatua Kecil Jambul Kuning (G) dengan
Elektroforesis Gel Agarose 2%.
Gambar 6 menunjukkan bahwa pola pita pada ayam, puyuh dan itik tidak
berbeda antara jantan dan betina yaitu sama-sama memiliki pita tunggal pada gel
agarose 2%. Berbeda halnya pada merpati, beo nias, kakatua molukan dan kakatua
kecil jambul kuning yang memiliki pola pita berbeda antara jantan dan betina pada

24

gel agarose 2%. Penelitian ini menggunakan sembilan spesies Aves yang berbeda
sehingga setiap spesies memiliki ukuran fragmen yang berbeda pula karena memiliki
urutan basa yang berbeda. Panjang produk hasil amplifikasi gen CHD pada
penelitian ini dengan menggunakan primer P2 dan P8 berkisar antara 300-400 bp.
Hal ini sesuai dengan Griffiths et al. (1998) yang menemukan panjang produk hasil
amplifikasi gen CHD menggunakan primer P2 dan P8 dengan kisaran yang sama.
Fridolfsson & Ellergen (1999) dan Jensen et al. (2003) menjelaskan bahwa
perbedaan ukuran antara fragmen spesifik Z dan W pada primer P2 dan P8 sekitar
10-80 bp.
Hasil amplifikasi gen CHD pada ayam kampung (Gallus gallus domesticus)
tidak menunjukkan pola pita yang berbeda antara jantan dan betina pada gel agarose
2% (Gambar 6). Sekuen gen CHD yang ditemukan dari genBank berasal dari ayam
hutan (Gallus gallus) memiliki panjang fragmen spesifik Z dan W yaitu 345 bp dan
362 bp yang diketahui dari sekuen gen CHD-Z (GenBank Nomor Akses AF006659)
dan CHD-W (GenBank Nomor Akses AF006660) sehingga memiliki perbedaan
fragmen Z dan W sebesar 17 bp (Gambar 7). Sekuen gen ini dapat dijadikan sebagai
acuan untuk ayam kampung dengan perbedaan fragmen yang tidak jauh berbeda
dengan ayam hutan (Gallus gallus).
Hasil amplifikasi gen CHD pada puyuh yang tidak menunjukkan pola pita
yang berbeda antara jantan dan betina (Gambar 6). Hal ini disebabkan oleh
perbedaan ukuran pita Z dan W yang tipis yang mengakibatkan pita Z dan W
berimpit. Hal ini terbukti dengan panjang fragmen spesifik Z dan W adalah 385 dan
379 dari sekuen gen CHD-Z (GenBank Nomor Akses HQ175997) dan CHD-W
(GenBank Nomor Akses HQ175998) (Gambar 7). Perbedaan ukuran fragmen hanya
6 bp yang mengakibatkan pita Z dan W tidak terpisah pada gel agarose 2%. Morinha
et al. (2011) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa primer P2 dan P8 tidak
berhasil membentuk pola pita yang berbeda antara jantan dan betina di gel agarosa,
namun mendapat hasil yang berbeda dengan menggunakan resolusi gel yang sangat
tinggi yaitu PCR-SSCP pada Coturnix c. japonica.
Hasil amplifikasi gen CHD pada itik tidak menunjukkan pola pita yang
berbeda antara jantan dan betina (Gambar 6). Hal ini diduga bahwa perbedaan
ukuran pita Z dan W yang relatif sedikit sehingga tidak dapat dipisahkan pada media

25

gel agarose 2%. Informasi mengenai sekuen gen CHD-Z dan CHD-W pada itik
belum ditemukan sehingga perbedaan ukuran fragmen spesifik Z dan W belum dapat
diketahui.
forward (P8)
Cl_CHD-Z

: CTCCCAAGGATGAGGAACTGTGCAAAACAGGTGTGTCTTGGTTCTGATTGACTTGTGCTTTTGTGTTGCT

Cl_CHD-W

: CTCCCAAGGATGAGGAACTGTGCAAAACAGGTATCTCTGGGTTTTGACCAACTAACTTCTTGTTGTTGTG

Ccj_CHD-Z

: CTCCCAAGGATGAGGAACTGTGCAAAACAGGTACCTCTGGGTTTTGACTGTATTGTGTTTTTATTTTGAT

Ccj_CHD-W : CTCCCAAGGATGAGGAACTGTGCAAAACAGGTATCGTTGGGTTTTGACTGATTTTTTTTCTTTGATACTT
Gg_CHD-Z

: CTCCCGAGGATGAGAAACTGTGCAAAACAGGTACCTCTGGGTTTTGACTGTCTTGCGTCTTTATGTTGAT

Gg_CHD-W : CTTCCAAGAATGAGAAACTGTGCAAAACAGGTATCTCTGGGTTCTGACTGATTTTTTTCTTTGATACTTC
Cl_CHD-Z

: GTTGGTTTAGTTTGTTGGGGATTGTTGTTGGGTTTTGTTTTTTTAGGGTTTTTTCCGTTTTCTGAACACG

Cl_CHD-W

: TTTCTTTGTTTTTTCATTACTGTTGTTTTTGGCTTGTACTTTTCACCCCCCATTTTTGACAGGCTAGATA

Ccj_CHD-Z

: ATTTTGATTTTGGTTTTTGCCTTCGTGTTTTGTTTTGTTTTGTTTTTTGTTTGTTTTTTGGTTTTTTTCT

Ccj_CHD-W : CCATTGCTGATGTTTTGGCTTGTACTTTTGTGTTGCGTGGTTTTCATCTGTTTTCCCCCCCAAATATTTT
Gg_CHD-Z

: ATTTTCATTTGAGTTTTTGCCTTTTTTCCCCCTTCTCTGAATTCATATTTTTGTCAGGCTAGATAAGACT

Gg_CHD-W : TATTGCTGATGTTTTGACTTGTACTTTTGTGTTGTGTGGTTTTCGTGTGTTTTTCCCCCAAAATATTTTT
Cl_CHD-Z

: TATTTTTGACAGGTTAGGCAAAACTTGACCTGTGTTTGTCAATCGCATAGCTTTGAACTACTTATTCTGA

Cl-CHD-W

: GCACATTATTAAAATGTTTTAGTCACATAGCTTTGAACTACTTAATCTGAAATTCCAGATCAGCTTTAAT

Ccj_CHD-Z

: CCTTCTCTGAATTCATATTTTTGTCAGGCTAGATAAGACTTTACTGTGTGTGAGTAAATCATGTAGTTTT

Ccj_CHD-W : TAATGGACAACATTAAAACACGTGACTTAAACAACACATAAGTTGTTTTAGTCACGTAGCTTTGAACTAG
Gg_CHD-Z

: TTACTATGTTTGAGATAATCATGTGGTTTTGAATTCTCATGCTGAAATTCCAGATCAGCTTTAATGGGAG

Gg_CHD-W : ATGGACTAGGTAACACATAAATAAAATGTTTTAGTCATGTAGCTTTGAACTAGTTACTCTGAAATTCCAG
Cl_CHD-Z

: AATTCCAGATCAGCTTTAATGGAAGTGAAGGAAGGCGCAGTAGGAGCAGAAGATACTCTGGATCTGATAG

Cl_CHD-W

: GGAAGTGAAGGGAAATGCAGTAGAAGCAGAAGATATTCTGGATCTGATAGTGACTCCATGTCAGAAAGAA

Ccj_CHD-Z

: GAATTCTTATTCTGAAATTCCAGATCAGCTTTAATGGAAGTGAAGGAAGACGTAGTAGGAGCAGAAGATA

Ccj_CHD-W : TTACTCTGAACTTCCAGATCAGCTTTAATGGAAAGGAAGGGAGATGCAGTAGGATCAGAAGATATTCTGA
Gg_CHD-Z

: TGAAGGAAGACGCAGTAGGAGCAGAAGATATTCTGGATCTGATAGTGACTCCATCACAGAAAGAAAACGG

Gg_CHD-W : ATCAGCTTTAATGGAAATGAAGGGAGATGCAGTAGGAGCAGAAGATATTCTGGATCTGATAGTGATTCCA
Cl_CHD-Z

: TGACTCCATATCAGAAAGAAAACGGCCAAAAAAACGTGGAAGACCA

Cl_CHD-W

: AACGACCAAAAAAACGTGGACGACCACGAACTATTCCTCGAGAAAA

Ccj_CHD-Z

: TTCCGGATCTGATAGTGACTCCATCACAGAAAGAAAACGGCCAAAA

Ccj_CHD-W : ATCTGATAGTGATTCCATCTCAGAAAGAAAACGACCAAAAAAACGT
Gg_CHD-Z

: CCAAAAAAGCGTGGAAGACCTCGAACCATTCCTCGAGAAAATATTA

Gg_CHD-W : TCTCAGAAAGAAAACGACCAAAAAAACGTGGACGACCACGAACTAT
Cl_CHD-Z
Cl_CHD-W
Ccj_CHD-Z
Ccj_CHD-W
Gg_CHD-Z
Gg_CHD-W

: CGAACCATTCCTCGAGAAAATATTAAAGGATTTAGCGATGCAGA

(370)
(350)
: AAGCGTGGGAGACCTCGAACTATTCCTCGAGAAAATATTAAAGG