Efektivitas Kinerja Pemberantasan Korupsi Dalam Bidang Penindakan

KATA PENGANTAR
Bismillahirahmaanirahim
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat
serta anugrah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Efektivitas

Kinerja

Komisi

Pemberantasan

Korupsi

Dalam

Bidang

Penindakan.” Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhamad
SAW, yang telah mengenalkan tentang tujuan hidup yang sebenarnya.
Selanjutnya, dalam kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih

yang tak terhingga kepada :
1.

Dr. Asep Saefuddin Jahar, MA selaku Dekan fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Jakarta.

2.

Drs. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH selaku ketua program studi Ilmu
Hukum, Ibu Euis Nurlaelawati, MA., Ph.D selaku Dosen Pembimbing
Akademik atas segala petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.

3.

Drs. H.A Basiq Djalil, SH., MA dan Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag selaku dosen
pembimbing skripsi, yang telah membimbing dan mengarahkan hingga selesai
penulisan skripsi ini.

4.


Segenap Dosen serta staf karyawan fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5.

Segenap staf Perpustakaan Fakultas syariah dan hukum, staf Perpustakaan
Utama UIN syarif Hidayatullah Jakarta serta staf yang telah memberikan
fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
vi

6.

Ayahanda Sayyid Abdul Muthalib Alaydrus dan Ibunda Munira Syihab yang
selalu berusaha dan berdoa memberikan yang terbaik untuk penulis., semoga
Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan Iman Islam dan mengasihi
keduanya.

7.

Permata hatiku kedua Putri ku Shahzanan dan Aqila serta adik-adik ku,

Farwah, Hanunah, Jawad, Qaswar, dan Zahira serta keluarga besar yang selalu
memberikan doa untuk kesuksesan penulis.

8.

Habib Alidien Assegaf dan semua anggota Majlis pengkajian atas segala doa
dan bantuannya.

9.

Keluarga besar Sayyid Ali bin Hassan Alkaff untuk segala doa dan dukungan
untuk penulis.

10.

Keluarga besar Habib Rizieq bin Hussein Syihab dimana telah memberikan
petunjuk serta amanah untuk penulis supaya melanjutkan pendidikan dalam
bidang ilmu hukum.

11.


Sahabat spesial saya Ahmad Farobi, Irfan Kamil Siregar, Benu Pangestu, Ali
Abubakar Alattas,Ahmad Zaki Alattas, Ibrahim Alattas, Ahmad Yusuf
Alaydrus, Abdullah Umar Alkaff yang telah memberikan semangat dan
waktunya untuk memberikan dukungan moril bagi penulis.

12.

Sahabat Ilmu Hukum angkatan 2008, 2009, 2010, terutama Jajang Indra,
Mustafa Bintoro, Hadi Nurfakar, Miki Firmansyah,serta sahabat–sahabat lain
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

vii

Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya
dan segenap para akademisi dan masyarakat pada umumnya.
Jakarta

Maret 2015


Muhammad Syafiq Ridho

viii

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................

i

PERSETUJUAN PEMBIMBING..................................................................

ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI..........................................................

iii

LEMBAR PERNYATAAN............................................................................

iv


ABSTRAK.......................................................................................................

v

KATA PENGANTAR....................................................................................

vi

DAFTAR ISI....................................................................................................

ix

DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................

xi

BAB I

PENDAHULUAN …………………………………………….


1

A.

Latar Belakang Masalah ……………………………….

1

B.

Pembatasan Dan Perumusan Masalah ………………...

4

C.

Tujuan Dan Manfaat Penelitian ……………………….

4


D.

Metode Penelitian ……………………………………..

5

E.

Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ………………….

9

BAB II

NEGARA HUKUM, DEMOKRASI, dan PEMBERANTASAN
KORUPSI ……………………………………………………...

BAB III


13

A.

Pengertian Negara Hukum.. ……………………………… 13

B.

Pengertian Demokrasi………….. ………………………… 18

C.

Pengertian dan Pemberantasan Korupsi ...…………………20

D.

Peradilan Tindak Pidana Korupsi ……………………...

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI …………………..
ix


26
31

BAB IV

A.

Latar Belakang Berdirinya …………………………

31

B.

Tugas dan Wewenang ………………………………….

37

C.


Struktur Organisasi …………………………………….

42

EFEKTIVITAS KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)
DALAM PENINDAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI……..
A.

Larangan Korupsi dalam Al-Qur’an dan Hadits..........

B.

Penindakan Tindak Pidana Korupsi Oleh KPK Menurut Sistem
Hukum Indonesia.............................................................

C.

49

50

Efektivitas Penindakan Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi ……………………

BAB V

49

55

PENUTUP
A.

Kesimpulan …………………………………………

68

B.

Saran ………………………………………………..

69

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

x

DAFTAR LAMPIRAN

1. Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi
2. TEMPO, Edisi 4 Januari 2009
3. Al-Qur’an

xi

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah
Salah satu masalah yang sangat serius terjadi di Indonesia adalah masalah
korupsi. Korupsi telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai momok
yang dapat membawa kehancuran bagi perekonomian Negara. Diakui atau tidak,
praktik korupsi yang terjadi dalam bangsa ini telah menimbulkan banyak kerugian
tidak saja bidang ekonomi, maupun juga dalam bidang politik,sosial budaya,maupun
keamanan.1
Untuk menanggulangi masalah korupsi ini, pemerintah membuat sebuah
Badan Anti Korupsi yang independen. Kemandirian Badan Anti Korupsi sangat
diperlukan untuk memungkinkan badan tersebut melaksanakan fungsi-fungsinya
secara efektif dan mandiri.2
Ide pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya diawali
oleh Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan itu mengamanatkan
kepada DPR dan pemerintah untuk lebih progresif dalam menciptakan pemerintahan
yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.3
1

Deni Setyawati, KPK Pemburu Koruptor, Cet I, (Yogyakarta: Pustaka Timur 2008), hal. 1

2
Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Cet.1, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005), hal.6.

1

2

Amanat pembentukan KPK termuat dalam aturan peralihan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Cikal bakal KPK semakin jelas dengan disahkannya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.4
Sepanjang 2013, jumlah laporan pengaduan masyarakat yang telah ditelaah,
dilakukan tindak lanjut ke pihak-pihak terkait. Pertama, terdapat 581 laporan
masyarakat yang diteruskan ke Internal KPK. Kedua, 222 laporan masyarakat yang
diteruskan dengan penyampaian surat kepada instansi berwenang. Ketiga, 1.737
laporan masyarakat yang disampaikan kembali ke pelapor untuk dimintakan
keterangan tambahan dan berkas-berkas yang masih dalam proses telaah dan
perbaikan hasil telaah.5
Kegiatan penyelidikan KPK pada tahun 2013 dilaksanakan terhadap 81 kasus.
Sementara itu, kegiatan penyidikan dilaksanakan sebanyak 102 perkara, yang terdiri
dari perkara sisa tahun 2012 sebanyak 32 perkara dan perkara tahun 2013 sebanyak
70 perkara. Kegiatan penuntutan dilaksanakan sebanyak 73 perkara, yang terdiri dari
perkara sisa tahun 2012 sebanyak 32 perkara dan perkara 2013 sebanyak 41 perkara.6
Jika kita mengacu pada data di atas, maka dari 581 laporan yang diteruskan ke
3

Selanjutnya penulis akan menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi dengan singkatan KPK.

4

Selanjutnya penulis akan menyebut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan singkatan UU PTPK.
5

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahun 2013, (Jakarta: Komisi Pemberantasan
Korupsi, 2014), hal.68.
6

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahun 2013, hal.68.

3

internal KPK, hanya 41 perkara yang sampai pada proses penuntutan. Ini berarti
hanya sekitar 7% perkara yang dapat ditangani KPK sampai ke tahap penuntutan.
Sistem pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK terus mengalami
kemajuan yang signifikan, terutama dalam hal sasaran pelaku korupsinya. Hal
tersebut dapat dilihat dari banyaknya para kader partai politik pengusung pemerintah
yang menjadi tersangka kasus korupsi, seperti yang terjadi pada para kader partai
yang memenangi pemilu 2009. Hal tersebut merupakan penerapan semangat anti
korupsi yang digalakan oleh pemerintah periode 2009 sampai 2014, dimana fokus
pemberantasan korupsi menjadi hal yang paling utama.
Setelah pergantian pemerintahan, kembali terjadi friksi antara dua lembaga
yang seharusnya saling bahu membahu untuk melakukan pemberantasan korupsi,
yaitu lembaga Polisi Republik Indonesia dan KPK itu sendiri. Dilatarbelakangi oleh
pemilihan calon Kapolri, dimana calonnya ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK.
yang kemudian merembet kepada penetapan wakil pimpinan KPK serta Ketua KPK
sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Kegaduhan tersebut telah menimbulkan
melunturnya semangat pemberantasan korupsi.
Melihat keadaan demikian patut diamati bagaimana pejalanan lembaga KPK
dalam menangani kasus korupsi kedepannya. Karena seharusnya semua lembaga
Negara saling mendukung untuk melaksanakan semangat pemberantasan korupsi
guna terciptanya kesejahteraan bangsa. Dari permasalahan di atas, maka penulis
tertarik untuk meneliti efektifitas KPK dalam penindakan, dengan mengangkat judul :

4

“Efektivitas

Kinerja

Komisi

Pemberantasan

Korupsi

Dalam

Bidang

Penindakan”
B.

Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.

Pembatasan Masalah
Untuk menghindari kekeliruan dalam memahami masalah yang dibahas, maka

penulis akan membatasi permasalahan yang sesuai dengan judul skripsi ini.
Pembahasan dalam skripsi ini hanya mengenai penelitian seputar efektivitas KPK
dalam bidang penindakan hingga ke peradilan Tipikor, serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
2.

Rumusan Masalah
Dalam praktek di lapangan, ada beberapa keputusan maupun kasus yang

masih dalam penyelidikan KPK tidak dapat berjalan dengan maksimal. Hal ini terjadi
karena ada beberapa faktor baik dari internal KPK maupun eksternal KPK itu sendiri.
Penanganan kasus korupsi seringkali mengalami jalan buntu (dead lock)
karena terjadi perebutan antar instansi, padahal kewenangan KPK jelas diatur dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 semestinya kasus-kasus yang ditangani KPK
bisa terselesaikan dengan baik tanpa hambatan apapun.
Untuk menjelaskan secara detail permasalahan yang akan dibahas dan tepat
pada jalur pembahasan, maka rumusan tersebut penulis rangkum dalam beberapa
pertanyaan sebagai berikut :
a.

Apa saja wewenang KPK dalam penindakan tindak pidana korupsi?

b.

Bagaimana efektivitas KPK dalam penindakan tindak pidana korupsi?

5

c.

Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kinerja KPK
dalam bidang penindakan tindak pidana korupsi?

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.

Tujuan Penelitian
Sejalan dengan batasan dan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka penelitian ini bertujuan:
a.

Untuk mengetahui wewenang KPK dalam penindakan tindak pidana
korupsi.

b.

Untuk mengetahui efektivitas KPK dalam penindakan tindak pidana
korupsi.

c.

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas
kinerja KPK dalam bidang penindakan tindak pidana korupsi.

2.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk:
a.

Secara teoritis, memberikan penjelasan tentang sejauh mana
keefektivan KPK dalam menyelesaikan tindak pidana korupsi.

b.

Secara

praktis,

memberikan

masukan

kepada

para

praktisi

ketatanegaraan mengenai formulasi KPK yang ideal. Penelitian ini
juga diharapkan dapat meningkatkan kinerja KPK.
c.

Secara akademis, penelitian ini merupakan syarat untuk meraih gelar
Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum di Universitas

6

Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Selain itu, penelitian ini juga dapat
menjadi bahan untuk meneletian lanjutan.
D.

Metode Penelitian
1.

Tipe Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan tipe penelitian hukum normatif

(normative legal reseach). Penelitian ilmiah ini dimaksudkan untuk menentukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Metode ini
sering disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen, yakni
menggunakan peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum dan pendapatpendapat sarjana hukum terkemuka.7
2.

Pendekatan Penelitian
Beberapa pendekatan yang dilakukan di dalam penelitian ini, antara lain

sebagai berikut:
a.

Pendekatan Perundang-undangan
Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan

perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum
yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Pendekatan ini
dilakukan untuk meneliti peraturan-peraturan yang aturan penormaannya
menjelaskan tentang KPK.8
b.
7

8

Pendekatan Konsep

Afif Fauzi Abbas, Metode Penelitian, (Ciputat: Adelia Press, 2010), hal.157

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet.IV, (Malang: Bayumedia,
2008), hal.303.

7

Ide tentang sebuah Badan Anti Korupsi yang efektif diharapkan dapat
terwujud dengan adanya pendekatan konsep. Pendekatan ini berfungsi untuk
memahami konsep dan ide membentuk Badan Anti Korupsi yang ideal
dengan melihat poin positif dan negatif dari lembaga tersebut.
c.

Pendekatan Sejarah
Pendekatan sejarah dapat membuat peneliti memahami hukum secara

lebih mendalam. Dengan mengetahui latar belakang dan sejarah suatu
lembaga, maka dapat diketahui permasalahan apa saja yang dihadapai dan
mempengaruhi kinerja atau efektivitas lembaga tersebut.9
3.

Sifat penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yang berarti mengungkapkan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang
menjadi objek penelitian. Selain itu juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam
masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian.10
4.

Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer data

sekunder serta data pendukung lainnya atau tersier. Data primer adalah data yang
diperoleh langsung oleh pengumpul data dari objek risetnya, sedangkan data sekunder

9

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, hal.318.

10

Zainuddin Ali, Metode penelitian Hukum, Cet II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 105.

8
adalah semua data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek yang diteliti.11
Kedua sumber data tersebut adalah:
a.

Data primer, yaitu data yang diperoleh dari sumbernya, baik melalui
wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak
resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.

b.

Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen
resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil
penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan
peraturan perundang-undangan.

c.

Data Tersier
Data tersier merupakan data yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap data primer dan sekunder, seperti
kamus hukum, Black’s Law Dictionary, Ensiklopedia, Kamus Besar
Bahasa Indonesia dan lain sebagainya.

5.

Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data

kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil
penelitian.12

11

Sonny Sumarno, Metode Riset Sumber Daya Manusia, Cet.I, (Yogyakarta: Graha Ilmu), hal. 69

12

Zaenuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, hal.107.

9

6.

Metode analisis data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa hasil studi literer

(kepustakaan). Oleh karena itu penelitian ini dapat dikatagorikan sebagai
penelitian hukum
kegiatan

untuk

normatif, pengolahan
mengadakan

data pada

sistematisasi

terhadap

hakikatnya

merupakan

bahan-bahan

hukum.

Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut
untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.13
7.

Pedoman penulisan
Adapun sebagai pedoman dalam penulisan proposal penelitian ini,

penulis mempergunakan buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
E.

Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Penelitian mengenai kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi
merupakan isu yang cukup banyak dan menarik untuk dibahas secara lebih
mendalam. Untuk menghindari kesamaan dalam pembahasan mengenai isu yang akan
diangkat dalam skripsi ini, terutama dalam hal penindakan oleh KPK maka penulis
menyajikan beberapa penelitian yang berkaitan, antara lain:
Penelitian dengan Judul Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik
Indonesia dan Independent Commision Againts Corruption (ICAC) Hongkong (Studi
Komparasi Kinerja dalam Bidang Penindakan) yang ditulis oleh Hadi Nur Pakar.14

13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.I, (Jakarta: UI Pres, 1986), hal.251.

10

Dalam penelitian ini dihasilkan kesimpulan bahwa Secara umum kinerja KPK di
bidang penindakan tindak pidana korupsi cukup baik, sedangkan kinerja ICAC secara
keseluruhan sangat baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja KPK dan ICAC adalah
kerangka hukum, visi dan misi, kualitas pimpinan, kohesi antara pencegahan dan penindakan,
dan dukungan dana.

Buku dengan judul Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi
yang ditulis oleh Akil Mochtar, S.H.,M.H.15
Permasalahan yang menjadi fokus utama dalam buku ini adalah mengenai
penerapan ketentuan pembalikan beban pembuktian berdasarkan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, serta mengenai kosep pembuktian
pembalikan beban pembuktian dalam pembentukan sistem hukum pembuktian pada
masa yang akan datang.
Hasil penelitian dalam buku ini adalah penerapan ketentuan pembalikan beban
pembuktian berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan korupsi, diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
belum efektif karena belum diperkuat oleh hukum acara tersendiri sehingga dalam
proses persidangan perkara korupsi, hakim belum dapat menerapkan ketentuan
tersebut.

14
Hadi Nur Pakar, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia Dan Independent
Commision Againts Corruption (ICAC) Hongkong (Studi Komparasi Kinerja dalam Bidang Penindakan) (Jakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarifhidayatullah Jakarta, 2012)
15

Akil Mochtar, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009)

11

Konsep pembalikan beban pembuktian dalam sistem hukum pembuktian pada
masa yang akan datang harus sejalan dengan konvensi anti korupsi PBB 2003
(Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006) dan konvensi kejahatan transnasional
terorganisir tahun 2000 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009) serta harus dapat
digunakan

sebagai

sarana

hukum

untuk

mempercepat

proses

pemulihan

kerugian/perekonomian Negara (asset recovery) dengan menjangkau aset terdakwa
hasil korupsi yang disembunyikan dinegara lain, dan memudahkan pembuktian dalam
delik gratifikasi serta kasus-kasus korupsi yang besar.
Dalam buku dengan Judul Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi), yang ditulis oleh Ermansjah Djaja, menjelaskan tentang
identifikasi tindak pidana korupsi dalam kajian yuridis normatif Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 versi undangUndang Nomor 30 Tahun 2002. Komisi pemberantasan Korupsi meliputi kajian
yuridis normatif Undang-undang Nomor. 30 Tahun 2002 tentang KPK, kajian yuridis
normatif Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang sistem Manajemen
Sumber Daya Manusia KPK, kajian yuridis normatif Peraturan KPK Nomor 05
Peraturan KPK Tahun 2002 tentang Kode Etik Pegawai, badan-badan pemberantasan
korupsi sebelum KPK. Serta pembahasan mengenai sistem pembuktian dalam
peradilan tindak pidana korupsi dan pembahasan mengenai Komisi Pemberantasan
Korupsi di berbagai Negara. 16

16

Ermansjah Djaya, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), (Jakarta:
Sinar Grafika, 2008)

12

Tesis dengan judul Sinergi antara Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia yang disusun oleh Hendar Rasyid Nasution. 17
Penelitian menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap
permasalahan yang telah dikemukakan dengan membatasi kerangka studi kepada
suatu analisis terhadap hukum dan peraturan mengenai wewenang dan peran KPK,
Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Sangat penting untuk membangun koordinasi yang baik antara KPK,
Kejaksaan dan Kepolisian. Selain itu, kesepahaman antar lembaga tersebut penting
untuk menghindari rivalitas yang negatif. Jika hal ini tidak segera diselesaikan, maka
agenda pemberantasan Korupsi kemungkinan akan terbengkalai. Apalagi selama ini
penanganan kasus korupsi seringkali mengalami jalan buntu (dead lock) karena
terjadi perebutan antar instansi.
Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa bahasan mengenai Efektivitas
Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Bidang Penindakan, belum ada yang
membahas secara spesifik mengenai kewenangan penindakan yang dimiliki oleh
KPK.

17

Hendar Rasyid Nasution, Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan Dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, (Medan: Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, 2010)

BAB II
NEGARA HUKUM, DEMOKRASI, dan PEMBERANTASAN KORUPSI
A.

Negara Hukum
Negara merupakan organisasi tertinggi di antara satu kelompok atau beberapa
kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu hidup di dalam daerah
tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.1
Terdapat beberapa pengertian yang diberikan oleh para sarjana sebagaimana
dikutip oleh Max Boli Sabon, dkk sebagai berikut :
a.

Aristoteles, negara (polis) adalah persekutuan dari keluarga dan desa
guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya.

b.

Jean Bodin, suatu persekutuan keluarga-keluarga dengan segala
kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang
berdaulat.

c.

Hugo Grotius, negara adalah suatu persekutuan yang sempurna dari
orang-orang yang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum.

d.

Bluntschi, negara adalah diri rakyat yang disusun dalam suatu
organisasi politik di suatu daerah tertentu.

e.

Hans Kelsen, negara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama
dengan tata paksa.

1

M. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Edisi Revisi), (Jakarta: Penerbit
Renaka Cipta, 2000), hal. 64.

13

14

f.

Woodrow Wilson, negara adalah rakyat yang terorganisir untuk
hukum dalam wilayah tertentu.

g.

Diponolo, negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat
yang dengan tata pemerintahan melaksanakan tata tertib atau suatu
umat di suatu daerah tertentu.2

Keberadaan Negara memiliki tugasnya tersendiri terutama untuk melindungi
setiap kepentingan dan hak-hak dari para warga Negara tersebut. Selain itu Negara
harus mampu untuk mengimbangi antara kepentingan pemerintahan dan kepentingan
Negara untuk rakyat. Tidak dibenarkan mengorbankan salah satu dari kepentingan
tersebut, karena pada dasarnya setiap kepentingan merupakan bentuk dari usaha
untuk kesejahteraan rakyat.
Tugas negara menurut faham modern sekarang ini (dalam suatu Negara
Kesejahteraan atau Social Service State), adalah menyelenggarakan kepentingan
umum untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya
berdasarkan keadilan dalam suatu Negara Hukum.3
Guna memfasilitasi serta membatasi setiap perilaku penyelenggara Negara
dalam menjalankan tugasnya maka diperlukan sebuah pedoman untuk menjadi
sebuah dasar. Secara umum pedoman dasar tersebut dikenal sebagai hukum, dan
memungkinkan menjadikan Negara tersebut sebagai Negara hukum.
2
Max Boli Sabon, dkk, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1992), hal. 25
3
Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum
Administrasi, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 110.

15

Profesor Utrecht membedakan antara Negara Hukum Formil atau Negara
Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materiil atau Negara Hukum Modern. Negara
Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu
dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu
Negara Hukum Materiil yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di
dalamnya. 4
Negara hukum ialah negara dimana pemerintah dan semua pejabat-pejabat
hukum mulai dari Presiden, hakim, jaksa, anggota-anggota legislatif, semuanya
dalam menjalankan tugasnya di dalam dan di luar jam kantornya taat kepada hukum.
Taat kepada hukum berarti menjunjung tinggi hukum, dalam mengambil keputusankeputusan jabatan menurut hati nuraninya, sesuai dengan hukum. 5
Negara hukum ialah negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh
Undang-Undang yang telah ditetapkan semula dengan bantuan dari badan pemberi
suara rakyat.6
Unsur-unsur Negara Hukum menurut Freidrich Julius Stahl yang diilhami
oleh Immanuel Kant adalah :
a.

Berdasarkan dan menegakkan hak-hak asasi manusia

b.

Untuk dapat melindungi hak asasi dengan baik maka penyelenggaraan
negara harus berdasarkan trias politica

4

Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Jakarta, 1962), hal. 9.

5

O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970), hal. 36.

6

Sudargo Gautama, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1973), hal. 13.

16

c.

Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang

d.

Apabila pemerintahan yang berdasarkan Undang-Undang masih dirasa
melanggar

hak

asasi

maka

harus

diadili

dengan

peradilan

administrasi.7
Arief Sidharta, merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan asas-asas
Negara Hukum itu secara baru, yaitu meliputi lima hal sebagai berikut:
a.

Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang
berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity).

b.

Berlakunya asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan
menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat.
Hukum bertujuan untuk mewujudkan

c.

Berlakunya Persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law)
Dalam Negara Hukum, Pemerintah tidak boleh mengistimewakan
orang atau kelompok orang tertentu, atau memdiskriminasikan orang
atau kelompok orang tertentu.

d.

Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan
yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk
mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan.8

7

Astim Riyanto, Teori Konstitusi, (Bandung: Yapemdo, 2006), hal. 274.

8
B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal Hukum),
“Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II, November 2004, hal.124125

17

Muhammad Tahir Azhary, memberikan sebuah penggambaran mengenai
Negara hukum dengan pandangan dari sistem hukum Islam yang dikenal sebagai
Nomokrasi Islam yang memiliki cirri-ciri ataupun prisip sebagai berikut:
a.

Prinsip kekuasaan sebagai amanah;

b.

Prinsip musyawarah;

c.

Prinsip keadilan;

b.

Prinsip persamaan;

c.

Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;

d.

Prinsip peradilan yang bebas;

e.

Prinsip perdamaian;

f.

Prinsip kesejahteraan;

g.

Prinsip ketaatan rakyat.9

Selain itu, menurut Bagir Manan menjelaskan mengenai unsur-unsur
terpenting dari negara hukum, yang terdiri dari :
a.

Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara
pemerintah dan warganya.

b.

Ada pembagian kekuasaan (machtenscheiding) yang secara khusus
menjamin suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka.

c.

Ada pemencaran kekuasaan negara atau pemerintah (spreiding van de
staatsmacht).

9

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 85

18

d.

Ada jaminan terhadap hak asasi manusia.

e.

Ada jaminan persamaan dimuka hukum dan jaminan perlindungan
hukum.

f.

Ada asas legalitas, pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus
didasarkan atas hukum (undang-undang).10

Negara hukum memberikan sebuah perlindungan yang nyata terhadap
kepentingan individu rakyatnya agar tidak berbenturan dengan kepentingan Negara.
Salah satu bentuk jaminan kepentingan serta kebabasan individu dalam Negara
hukum adalah demokrasi. Bukan demokrasi yang kebablasan dengan kehendak
kebebasan, tetapi demokrasi yang menjungjung tinggi cita Negara hukum itu sendiri.
B.

Demokrasi
Demokrasi merupakan konsep keterbukaan sebuah pemerintahan dalam
Negara. Demokrasi memberikan peluang sebesar-besarnya bagi partisipasi dari setiap
unsure Negara, terutama dari rakyat. Menjungjung tinggi asas kesamaan bagi setiap
rakyat untuk menetukan masa depan negaranya. Tidak hanya bertumpu kepada kaum
mayoritas, bangsawan, ataupun kaum lain yang memiliki pengaruh besar.
Secara umum pelaksanaan demokrasi harus berpegang kepada prinsip-pris
yang telah ditentukan. Hal tersebut merupakan kehendak agar demokrasi berjalan
sesuai dengan apa yang telah dicitakan sebelumnya. Prinsip-prinsip dalam asas
demokrasi itu antara lain, yaitu:
10

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994), hal.35

19

a.

Adanya mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang
bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang
diselenggarakan secara berkala;

b.

Pemerintah bertanggung jawab dan dapat dimintai pertanggung
jawaban oleh badan perwakilan rakyat;

c.

Semua warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang
sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik
dan mengontrol pemerintah;

d.

Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional
oleh semua pihak;

e.

Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat;

f.

Kebebasan pers dan lalu lintas informasi;

g.

Rancangan

undang-undang

harus

dipublikasikan

untuk

memungkinkan partisipasi rakyat secara efektif.
Demokrasi yang dinamis diimbangi oleh hukum yang menjamin kepastian.
Tetapi, menurut Brian Tamanaha, sebagai “a procedural mode of legitimation”
demokrasi juga mengandung keterbatasan-keterbatasan yang serupa dengan “formal
legality”. Seperti dalam “formal legality”, rezim demokrasi juga dapat menghasilkan
hukum yang buruk dan tidak adil. Karena itu, dalam suatu sistem demokrasi yang
berdasar atas hukum dalam arti formal atau rule of law dalam arti formal sekali pun,
tetap dapat juga timbul ketidakpastian hukum. Jika nilai kepastian dan prediktabilitas

20

itulah yang diutamakan, maka praktek demokrasi itu dapat saja dianggap menjadi
lebih buruk daripada rezmi otoriter yang lebih menjamin stabilitas dan kepastian. 11
Semangat demokrasi untuk menjamin kepasatian hukum dalam sebuah
Negara sangat berkaitan erat dengan sistem pemberantasan korupsi. Dimana,
pemerintahan yang cenderung tertutup dan jauh dari pirinsip demokrasi
memungkinkan untuk menjadi pemerintahan yang korup. Maka dengan adanya
demokrasi dan keterbukaan dalam pemerintahan dapat menjamin keberlangsungan
semangat pemberantasan korupsi.
C.

Pemberantasan Korupsi
1.

Pengertian Korupsi
Menurut Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan

kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolute. Dengan maksud dan tujuan
untuk mengingatkan bahwa di manapun dibelahan bumi ini kekuasaan selalu sangat
rentan terhadap tindak pidana korupsi.12
Perbuatan korupsi dapat dipengaruhi oleh perilaku buruk para pelakunya,
dengan dimaksudkan busuk atau rusak adalah moral atau akhlak dari oknum yang
melakukan perbuatan korupsi tersebut.13.

11

Marjanne Termoshuizen-Artz, “The Concept of Rule of Law”, Jurnal Hukum Jentera, Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan (PSHK) Jakarta, edisi 3-Tahun II, November 2004, hal. 83-92.
12

Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Mandar Maju, 2010), hal.

13

Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Pengakan Hukum, (Jakarta : Kompas, 2001), hal.67

19

21

Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek bergantung
daripada disiplin ilmu yang dipergunakan sebagaimana yang dikemukakan oleh
Benveniste, korupsi didefinisikan 4 jenis :
a.

Discretionary corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya
bersifat sah, bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para
anggota organisasi. Contoh : seorang pelayanan perizinan tenaga kerja
asing, memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada “calo”, atau
orang yang bersedia membayar lebih

b.

Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan
regulasi tertentu. Dengan memanipulasi aturan yang didukung oleh
kelemahan undang-undang dengan memanfaatkan keadaan darurat
dari pada proses pegadaan barang dan jasa untuk Negara.

c.

Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang
dimaksud

untuk

memperoleh

keuntungan

pribadi,

melalui

penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Contoh : dalam sebuah
persaingan tender, seorang panitia lelang memiliki kewenangan untuk
meluluskan peserta tender. Untuk itu, secara terselubung atau terangterangan ia mengatakan bahwa untuk memenangkan tender, peserta
harus bersedia memberikan uang “sogok” atau “semir” dalam jumlah
tertentu.

22

d.

Ideological

corruption,

ialah

jenis

korupsi

illegal

maupun

discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.
Contoh : Penjualan asset BUMN untuk mendukung pemenangan
pemilihan umum dari partai politik tertentu adalah contoh dari jenis
korupsi ini.14
Seperti halnya hukum bagi para pencuri, Islam juga mengenal hukum untuk
larang melakukan perbuatan korupsi. Bentuk dan macam korupsi dijelaskan pula
dalam pandangan hukum Islam antara lain :
a.

Sariqah, yaitu orang yang mengambil sesuatu secara sembunyisembunyi dari tempat yang dilarang mengambil dari tempat tersebut
atau pencuri. Jadi syaratnya harus ada unsur mengambil yang bukan
haknya, secara sembunyi-sembunyi, dan juga mengambilnya pada
tempat yang semestinya. Kaitannya dengan pencurian uang Negara
adalah tidak boleh, karena uang negara tersebut adalah untuk
kesejahteraan umum.

b.

Ghulul, yaitu penyalahgunaan jabatan, misalnya menerima hadiah,
komisi, atau apapun namanya yang tidak halal dan tidak semestinya
dia terima.

c.

Riswah, (risywah) atau suap yang bisa membungkam seseorang dari
kebenaran. Suap bisa terjadi apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi.

14

Suyatno. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 17

23

Unsur-unsur suap meliputi, pertama, yang disuap (Al-Murtasyi);
kedua, penyuap (Al-Rasyi); dan ketiga, suap (Al-Risywah).15
2. Tindak Pidana Korupsi
Istilah korupsi masuk dalam istilah yuridis di Indonesia dimulai pada tahun
1957 saat tindak pidana korupsi diatur dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor
PRT/PM/06/1957, Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957, Peraturan
Penguasa Militer Nomor PRT/PM/011/1957, Peraturan Penguasa Perang Pusat
Kepala Staf Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958, dan Peraturan
Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal
17 April 1958.16
Peraturan militer ini muncul karena militer mengganggap tidak ada kelancaran
dalam dalam usaha memberantas perbuatan yang merugikan keuangan dan
perekonomian negara sehingga perlu ada tata kerja yang dapat menerobos kemacetan
usaha pemberantasan korupsi. Tujuan diadakannya peraturan penguasa perang ini
agar perbuatan korupsi yang saat itu merajalela dapat diberantas dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya. Berdasarkan penjelasan atas bagian I Umum dari UndangUndang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United
Nation Convention Against Corruption yaitu :
15
“Korupsi dan Pemberantasannya Dalam Perspektif Hukum Islam”. Artikel diakses dari
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/korupsi-dan-pemberantasannya-dalam-perspektif-hukum-islam-studi-kasusindonesia
16

Topo Santoso, Urgensi Pembenahan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Mewujudkan Good
Governance, (Jakarta: Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia-Badan Pembinaan Hukum Nasional
PUSLITBANG, 2011), hal.3.

24

“Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip
demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan
iritegritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena
korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan
pembangunan

berkelanjutan

sehingga

memerlukan

langkah

langkah

pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan
berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat intemasional.
Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan
yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-aset
yang berasal dari tindak pidana korupsi”.
Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia sebenarnya
sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(Wetboek van Stafrecht) sebagai salah satu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi
semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordasi dan diundangkan dalam
Staatblad 1915 Nomor 752, tanggal Oktober 1915.17
Dalam Undang-Undang anti korupsi terkini khususnya dalam Pasal 1 angka 1
Bab Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan tentang pengertian tindak pidana
korupsi :
17

hal. 8

Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Balikpapan : Sinar Grafika, 2008),

25

“Tidak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun
1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.”
Ditambah lagi dengan tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
yang menyatakan bahwa:
“setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang tersebut sebagai
tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini”.
Kemudian pengertian tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juga
terdapat di dalam Pasal 1 angka 3 Bab Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 :
“Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi,
supervisi, monitor, penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Mengenai pembatasan, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberikan batasan tentang
pengertian Tindak Pidana Korupsi dengan cakupan yang lebih luas sehingga meliputi

26

berbagai tindakan termasuk tindakan ”penyuapan”, yang dapat dipahami dari bunyi
teks pasal-pasalnya, kemudian mengelompokannya ke dalam beberapa rumusan
delik.
D.

Peradilan Tindak Pidana Korupsi
Ada sejumlah lembaga yang memiliki peran dalam pencegahan dan
penanggulangan korupsi, antara lain: Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan
Korupsi, Pengadilan, Badan Pemeriksaan Keuangan, serta BPKP, dan juga
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Berikut ini beberapa unsur yang menjadi bagain dalam Peradila Tindak
Pidana Korupsi menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang
Peradilan Tindak Pidana Korupsi, antara lain:
a.

Hakim adalah Hakim Karier dan Hakim ad hoc.

b.

Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan
tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak
pidana korupsi.

c.

Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan
persyaratan yang ditentukan dalam Undang- Undang ini sebagai
hakim tindak pidana korupsi.

d.

Penuntut Umum adalah penuntut umum sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.

27

Mengenai kedudukannya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan
pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum.18 Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. 19 Sementara
itu, khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
berkedudukan di setiap kotamadya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum
pengadilan negeri yang bersangkutan.20
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi
dimana kewenangannnya adalah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara :
a.

Tindak pidana korupsi;

b.

Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah
tindak pidana korupsi; dan/atau

c.

Tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan
sebagai tindak pidana korupsi.21

Begitupun dengan keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga memiliki kewenang memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tindak pidana korupsi seperti yang tertuang dalam pasal 6, dimana
18

Pasal, 2 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tindak Pidana Korupsi

19

Pasal 3, Ibid.

20

Pasal 4, Ibid.

21

5 dan 6, Ibid.

28

merupakan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia di
luar wilayah negara Republik Indonesia.22
Seperti peradilan umum lainnya, Peradilan Tindak pidana Korupsi memiliki
susunan yang sama. Susunan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas
pimpinan, Hakim, dan panitera.23
Di dalam Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi juga diatur tentang hukum acara yang dalam beberapa hal berbeda
dengan hukum acara umum. Dalam Pasal 25 dinyatakan bahwa:
“Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan
berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang ini.”
Mengenai Masa waktu dalam proses penanganan perkara tindak pidana
korupsi diatur pula dalam pasal 29 Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yaitu perkara diperiksa, diadili, dan diputus oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama paling lama 120 hari kerja sejak
tanggal pelimpahan perkara ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.24
Proses banding dalam hal lanjutan guna menanggapi putusan pengadilan
sebelumnya diatur dalam Pasal 30 hingga Pasal 32 yang mengatur mengenai batasan

22

Pasal 7, Ibid.

23

Pasal 8, Ibid.

24

Pasal 29 Undang-Undang No. 46 Tahun 2009

29

waktunya. Seperti berbunyi pada Pasal 30 Undang-Undang No. 46 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bahwa pemeriksaan tingkat banding
dalam masa 60 hari kerja dihitung sejak tanggal berkas perkara dterima Pengadilan
Tinggi dapat diperiksa dan diputuskan.
Lalu pada pasal 31 disebutkan pada pemeriksaan tingkat kasasi dapat
diperiksa dan diputus dalam waktu 120 hari kerja sejak tanggal berkas perkara
diterima oleh Mahkamah Agung . Serta ditegaskan lagi pada Pasal 32 jika putusan
pengadilan dimintakan peninjuan kembali, pemeriksaan perkara diperiksa dan diputus
paling lama 60 hari kerja sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah
Agung.
Di luar Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang
No. 46 tahun 2009) di atas, kita juga harus melihat ketentuan dalam Undang- Undang
Komisi Pemberantasan Korupsi (Undang-Undang No. 30 Tahun 2002). Di dalam
upaya penanggulangan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi didukung dengan
ketentuan yang bersifat strategis antara lain:
a.

Perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian
terbalik;

b.

Wewenang untuk penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya
selaku pejabat negara.

Mengenai hukum acara dalam memproses perkara tindak pidana korupsi
secara lebih luas diatur di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-

30

Undang No. 31 Tahun 1999. Khusus mengenai alat bukti, menurut undang-undang
ini, alat bukti petunjuk mengalami perluasan, yaitu di samping yang diperoleh dari
keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain
yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada
data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail),
telegram, teleks, dan faksmili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan
atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun
selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki
makna.

BAB III
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
A.

Latar Belakang Berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi
Jika kita lihat kembali lembaran sejarah Indonesia, ternyata berbagai
peraturan telah dikeluarkan dan berbagai lembaga telah dibentuk oleh pemerintah
untuk memberantas korupsi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Tabel 3.1.
1.

Pemberantasan Korupsi dari Masa ke Masa

Tahun
1957

Produk Hukum

Lembaga

Keterangan

Peraturan Penguasa Militer
No. PRT/PM/061957

1958

Peraturan

Pemberantasan

Korupsi Penguasa Perang
Pusat
No.PRT/Peperpu/013/1958
1960

UU No. 24/Prp/1960 tentang
pemberantasan korupsi

1967

Keppres

No.228/1967 Tim

tanggal 2 Desember 1967

Tugas:

Membantu

Pemberantasan

pemerintah memberantas

Korupsi

korupsi (pencegahan dan

31

32

penindakan)
1970

Keppres No.12/1970 tanggal Komisi
31 Januari 1970

Empat Tugas:

(Januari

menghubungi

Mei pejabat

1970)

atau

instansi,

swasta sipil atau militer;
memeriksa

dokumen

administrasi
dan

pemerintah

swasta;

bantuan

meminta

aparatur

pusat

dan daerah.
Komite

Anti Tugas: kegiatan diskusi

Korupsi

(2 dengan pemimpin partai

bulan)

politik

dan

bertemu

presiden.
1977

Inpres No.9/1977

Operasi

Tugas:

Penertiban

pungutan liar, penertiban

(1977-1981)

uang siluman, penertiban
aparat

pembersihan

pemda

dan

departemen.
1982

Tim

TPK dihidupkan kembali

Pemberantasan

tanpa keluarnya Keppres

Korupsi

yang baru.

33

1998

Tap MPR No.XI/MPR/1998
tentang Pemerintahan yang
bersih dan bebas KKN.
UU No. 31/1999 tentang
Penyelenggaraan

Negara

yang bersih dan bebas KKN.
Keppres No.27/1999

Komisi

Tugas:

pemeriksaan

Pemeriksa

kekayaan pejabat negara.

Kekayaan

Lembaga ini

Penyelenggara

menjadi

Negara

pencegahan dalam Komisi

sub

kemudian
bagian

Pemberantasan Korupsi.
2000

PP No. 19/2000

Tim

Gabungan Tugas:

Pemberantasan

mengungkap

kasus-kasus korupsi yang

Tindak

Pidana sulit ditangani Kejaksaan

Korupsi

(2000- Agung.

2001)

Berdasarkan

putusan hak uji materiil
(judicial
review/toetsingrecht)
Mahkamah

Agung

TGPTPK terpaksa bubar.

34

2002

UU No.30/2002

Komisi

Tugas: Menyelidiki kasus

Pemberantasan

korupsi yang nilainya di

Korupsi

( atas Rp 1 Milyar dan

Desember 2003) menarik

perhatian

masyarakat;

melakukan

koordinasi,
penegak

supervisi

hukum

penanganan

dalam
korupsi;

memonitor
penyelenggaraan negara;
melakukan penyelidikan,
penyidikan,

penuntutan

kasus korupsi; melakukan
upaya

pencegahan

korupsi.
2004

Keppres No. 59/2004

Pengadilan

Wewenang:

Tipikor

dan

memeriksa

memutus

korupsi
penuntutannya

kasus
yang
diajukan

oleh KPK
2005

Keppres 11/2005

Tim KoordinasiTugas:

Koordinasi

35

Pemberantasan

penyelidikan, penyidikan,

Tipikor

penuntutan kasus korupsi
yang ditangani kejaksaan;
menelusuri,
mengamankan
korupsi
pengembalian

aset
untuk
kerugian

negara secara optimal.1

2.

Dasar Hukum Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi
Dalam pembentukan sebuah lembaga Negara secara umum membutuhkan

dasar hukum sebagai dasar pembentukannya. Seperti halnya Mahkamah Konstitusi
yang langsung diamanatkan pembentukannya oleh hasil dari pada amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka KPK juga
memiliki dasar hukum dalam pembentukannya, yaitu :
a.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,Kolusi,dan Nepotisme dalam
Pasal 2 angka 6 huruf a, yaitu :
“Arah kebijakan pemberantasan korupsi,kolusi dan nepotisme adalah
membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk

1

Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: Komisi Pemberantasan
Korupsi, tt), hal.27.

36

membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan
pencegahan korupsi yang muatannya meliputi Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi”.2
b.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 43 ayat 1
disebutkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak berlaku dibentuklah
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini
mulai berlaku,diben