Silaturahim kebangsaan

Silaturahim Kebangsaan
Oleh Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Idul Fitri merupakan momentum ”wisuda universitas Ramadhan” sekaligus
reformasi iman, ilmu dan amal shalih. Idul fitri bukan sekadar ritual ”kegembiraan” tanpa
makna, melainkan merupakan manifestasi teologis atas kesucian asal usul jati diri kita
yang bertauhid dan cinta Tuhan.
Mulai 1 Syawal para lulusan universitas Ramadhan harus mampu menindaklanjuti
kedekatan vertikal dengan Allah dan kedekatan horizontal dengan sesama) dalam bentuk
amal shaleh, akhlak terpuji, dan silaturrahmi. Lulusan Ramadhan harus mampu
menunjukkan perilaku penuh keadaban, perdamaian, persaudararan, kebersamaan dan
silaturrahmi kebangsaan. Itulah esensi makna kembali ke fitrah dalam dimensi sosial
politik.
Jika pada akhir shalat kita diperintahkan mengucapkan salam dengan menengok
ke kanan dan kiri, pada hari raya Idul Fitri ini kita diwajibkan memperhatikan
kemiskinan ekonomi dan sosial di sekitar kita. Kita diwajibkan berpartisipasi
mengentaskan kemiskinan dan penderitaan yang dialami oleh sebagian saudara kita yang
belum beruntung melalui zakat fitri. Tujuan utama zakat fitri ini tidaklah sekadar
membersihkan harta kita yang menjadi hak orang lain, melainkan juga mengingatkan kita
agar terus-menerus berjuang menegakkan keadilan sosial.
Zakat fitri yang dibagikan kepada fakir miskin ketika mengakhiri puasa ini juga

mengingatkan kita bahwa ibadah kepada Allah harus melahirkan sikap dan perilaku
kemanusiaan yang peduli terhadap nasib sesama. Tauhid individual tidak akan pernah
berarti tanpa dibarengi dengan tauhid sosial. Kesalehan individual perlu diintegrasikan
dengan kesalehan sosial. Tauhidul ibadah baru akan melahirkan masyarakat yang
harmonis, adil dan sejahtera jika ditindaklanjuti dengan tauhidul ummah (penyatuan
umat).
Sedemikian pentingnya integrasi ibadah ritual (seperti shalat) dan ibadah sosial
(seperti zakat), sehingga Nabi SAW dalam salah satu pesannya sebelum dipanggil oleh
Allah menyatakan: "Wahai umat manusia, tunaikanlah zakat hartamu. Ketahuilah,
barang siapa tidak menunaikan zakat, maka shalatnya tidak sempurna. Ketahuilah,
barang siapa tidak sempurna shalatnya, berarti tidak sempurna agamanya, tidak
sempurna puasanya, dan tidak sempurna jihadnya." (HR. Muslim).
Sejarah membuktikan bahwa pada masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq orangorang yang tidak mau membayar zakat yang disponsori oleh Musailamah al-Kadzdzab
diperangi, karena mereka membahayakan stabilitas sosial-ekonomi umat Islam.
Sedemikian pentingnya perang melawan kemiskinan, sampai-sampai Abu Bakar
menyatakan: "Demi Allah, saya akan memerangi orang-orang yang memisahkan antara
shalat dan zakat (melaksanakan shalat tetapi tidak berzakat) karena zakat itu keharusan
kekayaan dan menjadi hak faqir miskin.
Kemenangan
Idul Fitri juga merupakan momentum penting yang sangat dinantikan oleh setiap

Muslim setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Peristiwa religius ini sangat

mengesankan karena di hari yang fitri itu umat Islam merayakan sebuah kemenangan.
Yaitu kemenangan dalam jihad al-nafsi (jihad mengendalikan nafsu, jihad melawan diri
sendiri) dan memerdekakan diri dari: nafsu birahi, perut, serakah, dan sebagainya.
Menurut Imam al-Ghazali (w. 1111 M), melalui pendidikan Ramadhan, Muslim yang
berpuasa mengalami transformasi spiritual dari manusia yang berwatak abdul
hawa (budak nafsu) menjadi abdullah (hamba Allah).
Dalam hidupnya, manusia seringkali ”dijajah” dan menjadi budak nafsu karena,
pada dasarnya, dalam setiap aliran darah manusia itu terdapat aliran bujuk rayu setan (HR
an-Nasa'i). Menurut Imam al-Ghazali ada dua nafsu yang menjadikan manusia
terperangkap dalam budak nafsu, yakni: nafsu ammarah dan nafsu lawwamah.
Jika yang menjajah manusia nafsu ammarah, maka ia akan memperlihatkan watak
sabu'iyyah yang mencerminkan sifat-sifat kebinatangan seperti: mudah marah,
pendendam, dan serakah. Sedangkan jika manusia didominasi nafsu lawwamah, maka ia
memunculkan watak bahimiyyah yang memperlihatkan watak kebinatangan yang rakus,
tidak mengenal halal dan haram. Sementara kombinasi nafsu ammarah dan lawwamah
akan memunculkan watak syaithaniyyah dalam diri manusia, sehingga ia cenderung
berperilaku takabur, iri, dengki, pendendam, tamak, korup, dan serakah.
Idul fitri pada hakikatnya merupakan aktualisasi jati diri manusia menuju

fitrahnya yang cinta Allah dan cinta sesama manusia. Karena itulah, sebelum
merayakannya, setiap jiwa yang mampu wajib mengeluarkan zakat fitri sebagai simbol
kepedulian sosial. Dan ketika idul fitri dirayakan, takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil
dikumandangkan sebagai tanda syukur dan peneladanan sifat-sifat ketuhanan
yang mengharuskan manusia berperilaku rendah hati, tidak sombong, empati, dan
senantiasa mengingat Allah (QS al-Baqarah [2]: 185). Dengan demikian, Idul fitri
merupakan jalan kemenangan yang mengantarkan kita kepada kebahagiaan personal dan
kebahgiaan sosial.
Manifestasi dari sikap dan sifat moral yang luhur di hari raya adalah kesediaan
meminta maaf dan memaafkan kesalahan orang lain. Maaf dan memaafkan adalah
lambang kembalinya jati diri manusia, dan terajutnya tali silaturrahmi. Silaturrahmi
kebangsaan di hari Idul Fitri idealnya dapat ditindak-lanjuti dengan silatulqalbi (sambung
rasa, hati), silatulfikri (sambung pemikiran), kemudian silatulamali (sambung aksi).
Sesama Muslim seringkali hanya baru berjabat tangan, tetapi belum berjabat hati,
berjabat pemikiran, dan berjabat perbuatan, sehingga satu sama lain masih diliputi rasa
curiga dan tidak saling percaya. Karenanya, energi umat Islam belum dapat diwujudkan
dalam menampilkan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin.
Hakikat idul fitri bukanlah mudik dari kota ke desa, tetapi mudik dan merdeka
dari perbudakan nafsu menuju penyucian diri (tazkiyatun nafsi). Kedaraan mudiknya
bukan pesawat terbang, kapal laut, bus, kereta api, atau kendaraan pribadi, tetapi

kesucian hati, ketulusan memberi (zakat fitri dan zakat harta), keterbukaan sikap dalam
meminta maaf dan memaafkan orang lain, dan kejujuran untuk mewujudkan kedamaian
dan keadilan sosial. Bahan bakarnya juga bukan bensin atau solar, tetapi keikhlasan,
kejujuran, kesabaran, kejernihan pikiran, kesungguhan berdoa dan beriktikaf. Sementara
jalan yang dilaluinya bukan jalan tol, tetapi jalan istiqamah (konsistensi) menuju pakaian
kemenangan taqwa.
Pesan moral lainnya dari Idul Fitri adalah penyadaran manusia terhadap
pentingnya kembali kepada eksistensinya yang paling asasi, yaitu sebagai makhluk

religius yang selalu memihak kepada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran (QS ar-Rum
[30]: 30). Salah satu bentuk komitmen dan aktualisasi nilai-nilai kebaikan dan kebenaran
adalah mengembangkan hubungan cinta kasih terhadap sesama, baik melalui "mudik
fisik":pulang kampung untuk bersilaturrahmi dan berbagi keberkahan maupun "mudik
mental spiritual": memulangkan kesucian jiwa dan pikiran menuju persaudaraan sejati.
Oleh sebab itu, jika kita telah beragama, dalam arti kita telah beriman dan
beribadah, namun kita lalai, enggan dan mengabaikan kewajiban menegakkan keadilan
sosial dengan memperhatikan dan memberdayakan kaum miskin, maka Allah dalam surat
al-Ma'un menilai kita sebagai pendusta dalam beragama Islam, bohong dalam beriman,
palsu dalam beribadah.
Tahukah engkau (wahai Muhammad), siapa yang mendustakan agama?

Pendusta agama itu adalah orang yang mengabaikan nasib anak yatim, dan yang
tidak dengan tegas membela nasib orang miskin (alias tidak mau menyisihkan
sebagian rezkinya untuk memberi makan kepada faqir miskin).
Maka celakalah mereka yang melaksanakan shalat itu!
Yaitu mereka yang melupakan shalat mereka sendiri.
Mereka yang suka pamrih, dan yang enggan memberi pertolangan.
Spirit al-Ma’un
Jati diri muttaqin yang fitri adalah kebenaran dan keadilan. Orang bertaqwa yang
dikehendaki oleh surat al-Ma'un tersebut adalah orang taat beragama sekaligus dinamis
berjuang membela kebenaran dan menegakkan keadilan sosial. Oleh karena itu, Islam
yang kita anut bukanlah semata-mata agama doktrin dan ibadah ritual, melainkan agama
yang sangat menekankan gerakan keadilan dan amal sosial.
Gara-gara surat al-Ma'un tersebut, KHA. Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pernah
diprotes oleh murid-muridnya lantaran beliau tidak memberikan pelajaran baru atau tidak
pindah ke surat al-Qur’an yang baru. Konon, para murid beliau itu sudah jemu, mengapa
surat al-Ma'un terus-menerus yang tiap hari dibaca, dihafal dan dipelajari isi
kandungannya.
Mereka tampaknya ingin pindah mempelajari surat lain. Salah seorang di antara
mereka bertanya kepada sang Kyai: "Pak Yai mengapa kita belajar surat itu terus,
padahal kita hafal di luar kepala?" Menjawab pertanyaan tadi, Pak Yai balik bertanya:

"Sudahkah kalian mengamalkan isinya?" Mereka terdiam sambil merenung, dan
menyadari bahwa selama ini mereka belum mewujudkan pesan moral surat tersebut.
Spirit integratif dari KH. Ahmad Dahlan inilah yang seharusnya dapat kita maknai
sebagai integrasi antara kesalehan personal, spiritual, moral, dan sosial. Ilmu dan
pemahaman tentang ajaran Islam menghendaki adanya pengalaman nyata dan memberi
makna bagi umat dan bangsa.
Dengan spirit al-Ma'un itulah, Kyai Dahlan dan murid-muridnya kemudian
membentuk sebuah gerakan dan aksi sosial dalam wadah organisasi dakwah amar ma'ruf
nahi munkar yang berupa panti-panti asuhan, PKS (Pusat Kesejahteraan Sosial), rumahrumah sakit dan sebagainya. Intinya adalah bahwa kita semua perlu terus-menerus
belajar, memahami dan mengamalkan ajaran agama secara integral, tidak parsial, dengan
penuh komitmen dan kesungguhan serta tanggung jawab.

Dengan demikian, nilai-nilai agama idealnya menjadi ruh (spirit) dan benteng
moralitas bangsa. Sayangnya, pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan kita
masih cenderung berhenti pada tataran kognitif-verbalistik, dan belum efektif menjadi
ruh transformasi sikap (afektif), perilaku (psikomotorik), dan karakter (akhlak/moral)
menuju manusia Indonesia yang sadar akan nilai-nilai moral dan memilih hidup mulia
dan bermartabat terhormat.
Seiring dengan ajaran salam itu, pada hari raya Idul Fitri ini, kita umat Islam juga
diperintahkan untuk melakukan silaturrahmi (menyambung dan mempererat tali

kekerabatan dan persaudaraan) sambil saling bermaaf-maafan. Sungguh luar biasa indah
ajaran Islam ini. Di saat menyadari dan kembali ke asal kejadian kita yang fitri, kita
diingatkan pentingnya berkomunikasi sosial dan bermitra-horizontal dengan sesama.
Shilaturrahmi memang merupakan manifestasi dan langkah awal menuju tegaknya
keadilan sosial dimaksud karena melalui shilaturrahmi ini kita bukan sekedar bertemukangen, berbagi rasa, melainkan juga dapat membuat perencanaan dan program-program
bersama demi perbaikan masa depan kita.
Dalam silaturrahmi, kita tidak hanya berusaha merajut kembali tali kekerabatan
dan kekeluargaan kita, melainkan juga kita dituntut mampu melakukan shilatul al-qalb
(kontak/komunikasi hati): merasa senasib sepenanggungan, merasa bahwa kita satu
keluarga, yaitu keluarga besar Indonesia, satu sama lain adalah bersaudara, bersahabat,
dan bermitra. Setelah itu, kita pun perlu mewujudkan shilatul al-fikr (kontak/komunikasi
pemikiran): menyatukan visi, memikirkan secara bersama-sama agenda ke depan,
merancang hari esok yang lebih baik secara bersama dan saling mengisi satu sama lain.
Seterusnya, kita juga perlu mengembangkan shilatul `amal (karya bersama, kerja
kolektif, gerakan sosial), bukan kerja sendiri-sendiri: merancang masa depan bersama
secara lebih baik dan lebih maju. Dengan shilatul amal, kita misalnya dapat berkomitmen
untuk memerangi dan mengikis budaya korupsi, kolusi, premanisme, anarkisme,
terorisme, dan neokolonialisme yang berkedok “demokratisasi dan pemberantasan
terorisme internasional”.
Sumber: artikel ini pernah dimuat dalam OPINI Republika, 20 Juli 2015