Bahjatu tanwir li syaikh 'Abdul bashir al-dharuri: dirasah filologi

(S.S.)

.(standar)

3

.Nabilah

Lubis, Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi, (Jakarta:

Puslitbang Departemen Agama RI, 2007), cet. 4, hal 25.

1

2

3

6

. Henry Chambert-Loir dan Oman Fathurrahman, Khazanah Naskah:


Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia – World Guide to
Indonesian Manuscript Collections, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), h
13.

4

Bugis

Rappang

5

6

Pedo a Pe ulisa “kripsi Bahasa da
Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2007

7


8

9

10

11

12

13

.1
.2
.3
.4
.5

15


16

.

.
.
.

.

17

.

.

.

.


.

.

.

18

.

.

.

.

19

.

.
.

.

.

.

20

.

.
.

.
.

.

.

21

.
.

.

.

.

22

.

.
.


.

23

.

.

.

24

.

25

.

.47


.

.

26

.

.

.

.

.

.

.


27

.

.

.

.

.

28

.

.

.


.

29

30

.

.

.

.

31

.

.


32

.
.

.

.

33

.

34

.

35

81

.

.

.

36

.

.
.

.

37

.

.

.

.

.92

.

38

. 95
.

39

.

.

.

. 100
. 101
.

.

.

40

.
.
.

41

.

.

42

.

.

.

.

43

.

.
.

44

.

.

.

45

.
.

46

.

47

.

.

.

48

.

.

.

.

.

49

.

.

.

50

.

.

.

‫‪51‬‬

‫‪.‬ا‬

‫‪.‬‬

‫‪.‬‬

52

.

.

53

.

.

54

55

.

.

.

56

.
.

57

58

.

59

.

60

.

61

.

.
.
.
.

62

.
.
.
.

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. KepadaNyalah kami memohon pertolongan.segala puji bagi Allah
yang telah meletakkan kebaikan di dalam jiwa-jiwa yang terbuka dan yang
memberikan cahaya terang di dalam hati-hati yang bersih. Shalawat serta salam
selalu tercurahkan ke junjungan kita nabi besar Muhammad SAW pemilik
kebenaran. Dan kebaikan selalu tercurahkan kepada keluarganya dan para sahabat
pilihan dari golongan Muhajirin (orang-orang yang hijrah dari Makkah ke
Madinah) dan Anshar (penduduk Madinah yang sudah masuk Islam dan ikut
membantu kaum Muahajirin tersebut) Amma ba‟du.
Risalah ini menjelaskan dengan ringkas tentang kalimat-kalimat dan
uangkapan-ungkapan serta hal-hal Al-Mukasyifaat tentang hakekat keadaan Ahlu
llaahi dan perbuatan-perbuatannya dalam shalat. Dinamakanlah risalah ini dengan
Bahja At-tanwiiri (cahaya nan indah) dalam penjelasan faedah-faedah yang
terlihat dari tabi‟at „Arif kepada Allah Ta‟laa dalam keberadaan ketika
menghadirkan hatinya kepada Allah di dalam shalat. Dan kalimat-kalimat serta
ungkapan-ungkapan indah ini tidak dijelaskan kecuali atas dasar pertanyaan
saudara kami

Fakhruddin Abdul Jaliil Sulthon Al-Mankasari. Semoga Allah

senantiasa merahmati atas diri beliau. Kami memohon kepada Allah SWT agar
beliau dapat memeberikan manfa‟at atas dirinya dan para pengikut Tuhan semesta
alam.
Ketahuilah bahwasanya shalat adalah pegangan yang disukai bagi
golongan-golongan „Aarifiin dan merupakan ritual bermunajat bagi golongangolongan yang mendekatkan diri dan perjalanan bagi orang-orang yang
menenmpuh jalan spiritualitas (As-saalikiina) dan merupakan dasar ataupun
pangkal bagi golongan orang-orang yang beriman dan belenggu atau penjara bagi
orang-orang munafik dalam mendekatkan diri kepada Tuhan pencipta alam.
Dinamakan

„uruus

(pegangan

yang

disukai)

karena

apabila

golongan

Muwahhidiina jika dalam keadaan shalat mendapatkan atau menemukan
kebahagiaan di dalam batinnya, seperti kebersamaan pasangan pengantin yang

15

64

senantiasa selalu beribadah kepada Allah SWT. Dengan kegembiraannya atas
tercapainya hakekat dari keberadaan Allah SWT dan tidak menyekutukan ibadah
kepada selainNYA dengan apapun. Dan dinamakan dengan perjalanan karena
orang-orang „Aarifiina jika sedang melaksanakan sholat, seakan-akan naik ke
hadirat Allah SWT dan para malaikat pun naik serta ikut mendampinginya menuju
keharibaanNYA. Dan dinamakan dengan Al-Munajat karena dengan sholatlah
dapat menguatkan suatu permohonan kepada Tuhannya di dalam bacaan shalat,
pujiannya, dan do‟anya dengan ucapan “ Kepada Engkaulah kami menyembah
dan kepada Engkaulah

kami memohon pertolongan. Dan tunjukkanlah kami

menuju jalan yang lurus” (QS: Al-Fatihah: 5-6). Dan Allah SWT dengan segala
kalamNYA di setiap bacaan , tetapi Dia berbicara dengan lisan atau ucapan sesuai
kadar seorang hamba dari makna-makna dan wahyu dan Dia amat dekat dengan
ataupun amat jauh kepadamu tergantung dari dirimu sendiri. Dan kamu
mengharapkan agar Allah SWT selalu berada di sisi mu agar kamu bisa
merasakan segala kebesaranNYA melalui panca inderamu.
Dan dinamakan dengan puncak akhir karena para As-Saalikiina mencapai
batas akhir derajatnya di dalam sholat karena mereka adalah hamba yang
menyembah kepada Allah SWT semata dan bukan kepada yang lainnya. Dan
dinamakan dengan dasr atau pangkal pelindung bagi para golongan AlMu‟taqidiina (yang beriman kepada Allah SWT) ketika sedang dalam keadaan
sholat. Dan dinamakan sebagai belenggu atau penjara bagi golongan orang-orang
Munafik jika dalam keadaan sholat, itu seperti penyembah matahari yang hanya
beribadah sebagai rutinitas belaka. Ibarat seekor burung dalam sangkar. Maka
pegangan („Uruus) di sini adalah bagi Ahlu Al-Mahabbah kepada Allah SWT,
seperti di dalam firmanNYA: “Adapun orang yang berimana sangat cinta kepada
Allah” ( QS: Al-Baqarah: 165). Dan perjalanan di sini bagi Ahlu Al-Walhi
sebagai penambahan peningkatan kepada hakikat peribadatan seperti firman Allah
SWT: “ Dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagiaan yang
lain

beberapa derajat” (QS: Az-Zukhruf: 32). Dan bermunajat (meminta

permohonan)di sini bagi golongan yang mendekatkan diri tertuang dalam firman
Allah SWT: “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS:

65

Qaaf: 16). Dan puncak penghabisan bagi Ahlu Al-Wushul di dalam firman Allah
SWT: “Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan( segala sesuatu)” (QS:
An-Najm: 42).Dan merupakan asal atau pangkal bagi Ahlu At-Tatswiib dari
golongan Al-Mu‟taqidiina tertera dalam firman Allah SWT: “Dan orang-orang
yang beriman dan beramal saleh (berada) di dalam taman-taman surga, mereka
memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang demikian itu
adalah karunia yang besar.” (QS: Asy-Syuura: 22). Dan mendekatkan diri kepada
Allah SWT Tuhan semesta alam dari golongan Ahlu Al-„Asyqi dan Ahlu AlMahabbah dalam beribadah kepada Tuhannya.
Ketahuilah bahwasanya shalat mempunyai karakter yang berbeda-beda
bagi masing-masing hamba. Shalat bagi golongan Ahlu Al-Farqi yang lebih suka
shalat secara individual tanpa berjama‟ah bahwasanya di hanya melakukan
rutinitas garakan ruku‟ dan sujud saja, maka tidak akan bisa melihat untuk
menghadap Allah SWT sejauh mata memandang dan tidak bisa melihat ataupun
merasakan kebesaran Allah SWT di dalamnya kecuali dari segi pelindung dalam
hal kepercayaan saja. Dan itu adalh sholatnya orang awam dari golongn Ahlu AlBu‟di (golongan yang jauh terhadap Allah SWT). Dan pelindung adalah pengikat
bagi hati

yang membutuhkannya, dan barang siapa yang membutuhkan

sekedar pelindung saja maka dia telah melakukan syirik kecil (riya) dan Allah
SWT tidak menyukai hati orang yang melakukan syirik dan tidak akan
dima‟afkan, sesuai firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dari dosa selain dari (syirik) itu”
(QS: An-Nisaa’: 48). Dan juga bagi yang membutuhkan imbalan atau pamrih ,
keluar dari peribadahan kepada Allah SWT, bahwasanya ia berada di golongan
Ahlu Al-Ujroh yang jauh dari hakekat kekhusyu‟an hati sebagai pendekat kepada
Ilahi Rabbi. Dan yang meyakini dengan cara melakukan perbuatan-perbuatan
riya‟ dalam shalat bukan untuk beribadah untuk ridha Ilahi atau yang tidak
bersungguh-sungguh/ tidak khusyu‟ dari dalam hatinya ketika melakukan hukumhukum yang syar‟i yang terlihat (dzohir) dan juga dari hukum-hukum yang
bersifat batinah atau segi rohani kejiwaan, maka semua itu adalah diharamkan
untuk menghadap Allah SWT Azza Wa Jalla dan Dia tidak menerima atau
memerintah atas pembebanan untuk memikul sesuatu terhadapnya, seperti tidak

66

menerima hal-hal haram menjadi halal setelah Takbiiratu Al-Ihram, maka setiap
hal yang halal seutuhnya akan menjadi haram setelah Takbiiratu Al-Ihram, dan
hubungan ketika Takbir adalah hubungan kepada Allah Azza Wa Jalla semata
dengan ucapan kepadaNYA “Allahu Akbar”, bukan kepada selainNYA

.

Maka hubungan yang sesuai hakikat kebenaran tidak mungkin terdapat
pembebanan atas sesuatu di dalamnya seperti tidak memungkinkannya bagi
seseorang yang melakukan ihram untuk membawa bekal makanan dan minuman
dan selainnya yang termasuk sesuatu yang halal untuk dilakukan di dalam shalat,
maka pahamilah. Dan tidak diterima shalatnya bagi siapa saja yang masih
memikirkan atau terikat dengan urusan-urusan duniawi di dalam hatinya dan tidak
dianggap shalatnya walaupun benar dalam bilangan rukun kecuali dari segi
maghfirah dari Allah SWT. Karena dia telah keluar dari kekhusyu‟an untuk
menghdap Allah SWT, dan bagi orang yang sedang beada dalam shalat maka ia
berada dalam keadaan menghadap Allah SWT. Maka keluarnya ia dari keadaan
menghadap Allah SWT tidak dianggap sholat yang haqiqi karena arti shalat yang
haqiqi adalah hubungan antara Tuhan dan hambaNYA. Dan barang siapa yang
memutuskan hubungan antara dirinya dengan Tuahannya maka dia termasuk
golongan orang bodoh dan lalai, maka tidak benar shalatya walaupun benar dalam
bilangan huku syar‟i (rukun) dan semoga Allah SWT senantiasa melindungi dari
hal-hal tersebut. Dan Ahlu Al-Hadhroti (orang yang khusyuk) diharamkan aatas
ketidak khusyu‟an ketika shalat dan diharamkan untuk berpaling seperti
diharamkannya hal yang halal ketika takbir, seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Maka ini dinamakan sebagai takbir, yaitu Takbiiratu Al-Ihram.
Dan Muhammad Al-Ghazali rahmatullahi „alaihi suatu hari melaksanakan
shalat sendiri terus-menerus di antara shaf-shaf atau barisan di belakang Imam
Ahmad Al-Ghazali rahmatullahi „alaihi, dan beliau adalah seorang hakim di
zamannya. Maka kemudian warga masyarakat memperhatikan atas apa yang
diperbuatnya dan menjadi bahan pembicaraan di kalangan masyarakat
terhadapnya. Kemudian beliau (imam Ahmad Al-Ghazali) memanggil saudaranya
itu, dan dia pun berkata kepadanya: “kenapa kamu melakukan ini wahai
saudaraku dan kenapa kamu tidak melakukan ini?, jangan kau lakukan itu, dan

67

jika kamu melakukannya juga, maka aku akan melaporkan hal ini kepada sang
raja sehingga beliau akan marah kepadamu ata bahkan membunuhmu”. Dan
ketika seorang muadzin mengumandangkan adzan sewaktu ashar, berdirilah sang
imam dan shalat bersama para jama‟ah dan kemudian Muhammad menjadi
makmum. Ketika sang imam ruku‟, Muhammad pun ikut ruku‟ bersamanya, dan
ketika sang imam berdiri untuk i‟tidal, kemudian Muhammad pun membatalkan
shalatnya. Lalu ia berkata: “Astaghfirullah”. Lalu ia pun shalat sendiri. Dan
ketika shalat telah selesai, sang imam pun sangat marah kepada saudaranya itu.
Muhammad pun berkata: “sabarlah wahai tuanku, aku akan bertanya kepadamu
tentang suatu hal”. Dan dia pun mengatakan: “tanyalah padaku apa yang ingin
kamu tanyakan”. Muhammad pun berkata: “jika terdapat najis di pakaian
ataupun badan apakah shalat menjadi sah atau tidak?”. Sang Imam pun berkata:
“itu tidak sah”. Muhammad pun berkata: “inilah dia penjelasan bagaimana
shalat itu menjadi sah jikalau hati dalam keadaan kotor, dan aku ingin
mempertanyakan apakah shalatmu sudah benar dalam hal kekhusyu’an dan
kesuciannya”. Maka terkejutlah hati sang imam terhadap saudaranya itu. Maka
kemudian masuklah ia ke tengah-tengah kerumunan masyarakat dan berkata:
“Rasululullah SAW bersabda: bahwa sesungguhnya Allah SWT tidak melihat
kepada bentuk (rupa) kamu dan bukan kepada amalan-amaln kamu, tetapi
melainkan Dia hanya melihat kepada hati-hati kamu dan niat kamu sekalian”.
Dan syaikh Ibnu „Athoo‟illah mengatakan yang suci perbuatannya dan disertai
dengan keikhlasan di dalam hatinya.
Ketahuilah bahwasanya Takbiiratu Al-Ihram tidak lengkap kecuali dengan
perjalanan dari „Alam As-Syahaadah ke „Alami Al-Jabaruuti,kemudian ke „Alam
Al-Malakuuti, lalu ke „Alam Al-Lahuuti

. Dan dari tingkatan ini kemudian

menuju kepada Nama-nama dan Sifat-sifat. Dan dari tingkatan atau derajat ini
mulai dari yang awal yang rendah menuju ke puncak Keesaan Dzat, dan itu
merupakan penghabisan yang lengkap yang merupakan batas akhir, sehingga
berada dalam keberadaan bersama Allah SWT. Maka katakanlah: “Allahu
Akbar”. Dan huruf Alif adalah isyarat kepada ke-Esaan Dzat. Dan laam yang
pertama adalah isyarat kepada kesempurnaan. Dan huruf haa‟ adalah isyarat

68

kepada kasih sayangNYA. Maka pahamilah. Dan Allah SWT memberikan
hidayah kepada siapa saja yang dikehendakinNYA menuju jalan yang lurus.
Dan shalat bagi Ahlu Al-Jam‟i adalah dia meringankan atau memendekkan
ruku‟ ataupun memanjangkannya adalah sebagai kesaksian atas kebesaran Allah
„Azza Wa Jalla, seakan-akan ruhnya atau jiwanya pergi dari jasadnya untuk
melihat

dan

menyaksikan

tanda-tanda

kebesaran

Allah

SWT.

Dan

ketidakmampuan untuk memanjangkan ataupun memendekkan ruku‟ serta sujud
adalah merupakan ibadah shalat dari golongan terendah yang mana tidak
mengetahui proses dalam kesaksian untuk merasakan tanda-tanda kebesaran Allah
SWT di dalam ruku‟ dan sujud atas dasar kelemahan mereka. Lain halnya dengan
banyaknya kecintaan dari golongan Al-„Aasyiqiina dan Ar-Roogibiina kepada
kebesaran Allah SWT. Seperti contohnya memanjangkan tuma‟niinah ketika
ruku‟ untuk proses merasakan

kebesaran dan keagungan Allah SWT ketika

menghadap qiblat di dalam sujud sampai merasa sedekat mungkin dengan
kehadirat Allah SWT seperti wirid (bacaan-bacaan do‟a) dan sebagian golongan
Al-„Ashoogiri menghadirkan kebesaran dan keagungan Allah SWT di dalam
ruku‟ dan sujud dan seakan-akan ruhnya pun keluar dari jasadnya. Dan ketika
berdiri

dari

ruku‟

maupun

dari

sujud

dengan

tergesa-gesa

tanpa

memanjangkannya, maka yang demikian itu seperti dalam keadaan perang yang
dilakukan dengan cara tergesa-gesa, dan bukan dengan cara yang tenang atau
tuma‟niinah.
Barang siapa yang ingin bisa merasakan seluruh panca inderanya bisa
khusyu‟ ke hadirat Allah SWT, maka kumpulkanlah seluruh hajat atau
keinginannya ketika sujud dan hadirkanlah seutuhnya pikiran, serta jiwa raganya
dengan melupakan sejenak segala sesuatu kecuali dengan hanya terfokus
keharibaan Allah SWT dan tidak menghadirkan di dalam hatinya kecuali keEsaan
Allah SWT.
Dan Rasulullah SAW kadang-kadang memanjangkan i‟tidal dan kadangkadang pula memendekkannya, mempercepat di karenakan keadaan yang lemah
dari ummatnya ataupun keadaan yang kuat dari mereka. Dan di dalam hadist
bahwa Rasulullah memanjangkan i‟tidal dari sujud sampai berkata telah lupa dan
kadang-kadang memendekkannya sampai seakan-akan ketika Beliau melempar

69

. Dan juga ketika membaca do‟a sewaktu duduk sejenak bahwa

jumroh

sesungguhnya terkadang cepat dan setelahnya pun demikian di karenakan keadaan
yang kuat maupun yang lemah dari ummatnya.
Demikanlah keadaan ruh ketika mencintai dan menyayangi Tuhannya.
Dan sesungguhnya ruh dan panca indera tidak berpaling kepada hal lain kecuali
hanya kepada Allah SWT dengan kecintaan yang dalam di lautan kekhusyu‟an.
Dan di situlah keberadaan Allah SWT. Barang siapa yang memasuki lautan itu
maka ia tidak akan merasakan sesuatu apapun kecuali hanya merasakan kehadiran
Allah SWT yang telah hadir di dalam dirinya atas kemampuannya untuk khusyu‟,
atas penyatuan wujud dalam keAgungan Allah SWT. Dia tertarik diantara
keAgungan yang tertinggi dan hal itu adalah merupakan puncak penghabisan
seperti yang sudah kami sebutkan kami terdahulu ketika takbir, dan sebagian
rukun-rukun yang terkadang lupa ketika melaksanakan shalat, maka diwajibkan
qadha jika sedang dalam perjalanan dan mengetahui hubungan hal-hal yang
tampak dari sisi luar dan hal-hal yang tidak tampak dari sisi dalam, dan bukanlah
hal yang tampak tanpa hal yang tidak tampak begitupula sebaliknya

. Maka

jika dari segi batiniah adalah batal dan jika dari segi dzohir maka dibiarkan, dan
diceritakan bahwa seorang lelaki dari golongan Al-Ashoogiri dan ahlu AlDhuafaai melakukan sholat dengan cepat ketika hadirnya sang kholifah,
sesungguhnya

ia

melihat

kebesarannya

dan

kewibawaannya,

sehingga

meruntuhkan rukun-rukunnya dikarenakan dipercepatnya ibadah shalatnya. Dan
ketika khalifah itu telah selesai dari shalatnya berkatalah ia kepada lelaki itu: “Ya
fulaan, kenapa kamu shalat seperti ini? Perbaikilah shalatmu dan jika kamu
melakukan hal seperti itu lagi, aku akan membunuhmu dengan pedangku dengan
pedangku”. Dan ia pun melepas pedangnya. Kemudian berdirilah Al-Walhu dan
dia shalat memanjangkan ruku‟ dan sujud sebaik-baik urutan dari shalatnya
manusia. Dan ketika selesai dari shalatnya , berkatalah sang khalifah: “Ya fulaan,
kamu itu sesungguhnya mengetahui shalat, dan kenapa kamu shalat seperti orang
yang sedang

ketakutan sehingga tanpa tuma’niinah?”. Dia pun berkata:

“shalatku adalah sesuai dengan perintahmu dan aku takut akan pedangmu, dan
shalatku yang pertama aku berdiri masih dalam keadaan khusyu’ diantara

70

keberadaanku dengan Tuhanku dan aku tidak merasakan apapun kecuali
kehadiranNYA”

. Kemudian sang khalifah berkata: “ini adalah karunia

Allah SWT yang telah Dia berikan padamu, dan ini bukan pembebanan dari suatu
ilmu pengetahuan dan hasil usaha, melainkan semata-mata atas dasar karunia
dari Allah SWT dengan kelengkapan kehadiran jiwa raganya”. Dan barang siapa
yang menyerupai seperti itu dengan mengikuti hawa nafsunya dan membanggakan
diri sendiri maka dia termasuk golongan orang munafik yang mana di hatinya
hanya mementingkan urusan duniawi, seperti harta atau materi maka dia termasuk
pembohong dari segi kelakuannya agar dipandang oleh ummat manusia.
Dan Rasulullah SAW pun mengisyaratkan bagi para ahli duniawi yang
hanya mementingkan materi akan memperoleh adzab dari Allah SWT yang mana
adzab itu tidak akan diberikan kepada selain mereka

. Karena perbuatan

seperti itu bukan merupakan ibadah keTuhanan dan bukan dari hukum-hukum
syar‟i dan bukan merupakan ajaran dari sunnah Rasul. Dan Rasulullah SAW
pernah bersabda: “segala macam perbuatan yang bukan merupakan perintah dari
kami maka hal itu adalah ditolak”. Dan di sebuah hadist juga disebutkan
bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda: “ tidak dianggap lengkap
shalatnya kecuali bahwasanya ia dalam keadaan tidak mampu dengan
memanjangkan shalatnya ketika ruku’ dan sujud”. Dan itu berlaku bagi golongan
Al-Ashoogiri. Dan apabila ruh atau jiwa raganya tidak senantiasa menghadap
kepada keEsaan Tuhan maka shalatnya bukanlah shalat yang haqiqi dan dianggap
rusak.
Sedangkan bagi golongan Ahlu Al-Farqi yang melakukan shalat
berjama‟ah dan itu merupakan shalatnya golongan Al-Aqwiyaa‟u dari kaum-kaum
besar, maka shalatnya benar dan diterima dengan memanjangkan ruku‟ dan sujud
dengan kekhusyu‟an yang lengkap untuk menghadap keEsaan Allah SWT dari
berpindahnya rukun-rukun shalatnya yang selalu bisa merasakan kebesaran Allah
SWT

dan keEsaaNYA di dalam ruku‟nya dan sujudnya dan ia menjadi

saksi bahwasanya ia adalah yang melakukan ruku‟ dan sujud secara benar atau
haqiqi dan yang berarti serta tidak bisa digambarkan karena kelengkapannya
untuk bisa merasakan hakekat dari kebenaran terhadap ciptaan Allah SWT dan

71

kesaksiannya tanpa halangan. Inilah keadaan kejiwaan dari para pembesar
golongan Al-„Aarifiina terhadap Allah SWT. Dan kesaksian di antara dua
kedudukan ini adalah atu hal dan satu hakekat, dan hakekat Allah SWT adalah
berdiri sendiri, begitulah hakekat pemahaman dari orang yang berilmu dari
golongan kaum sufi, karena hakekat Allah SWT adalah berdiri sendiri dan
seorang yang „aalim (orang yang berilmu) adalah bersandar kepada Allah SWT.
Dan para Aqwiyaa‟u (para pembesar) keadaannya seperti halnya keadaan Ahlu
Ad-Dhuafaa‟I dari para golongan Al-Ashoogiri seperti yang telah dijelaskan
terdahulu bahwasanya mereka bukan tidak berproses di

dalam kesaksian

mereka dari pertama kalinya mereka berdiri sampai akhir shalat, tetapi mengalami
peningkatan dalam kesaksian mereka setelah berpindah-pindah. Maka diharuskan
kepadamu untuk memahami tingkatan keadaan-keadaan di dalam kesaksianmu
tentang perbuatan menuju puncaknya. Maka berdirinya kamu yang kedua
diharuskan lebih utama dan lebih baik dari berdirinya kamu yang pertama. Dan
sujud kedua kamu lebih utama dan lebih baik dari sujudnya kamu yang pertama,
dan sujud kamu yang ketiga lebih utama dan lebih baik dari dua sujud kamu
sebelumnya. Dan dari naiknya kamu yang kedua lebih utama dan lebih baik dari
naiknya kamu yang pertama. Di sinilah kebersamaan jiwa bersama Allah SWT
dari proses-proses perpindahan perbuatan-perbuatan menuju kesempurnaa shalat.
Dan jika orang yang melakukan shalat mengetahui keberadaan Allah SWT di
dalam shalatnya dengan merasakan kebesaran dan keweibawaan Allah SWT
dengan kekhusyu‟annya dan kerendahan hatinya di antara Tuhannya, dengan
keridhoan kepadaNYA ataupun denganNYA, dan ia tidak melihat DzatNya yang
.

hilang

Beginilah keadaan shalat yang haqiqi bagi mereka yang mengetahui atau
merasakan keberadaan Tuhannya, sesuai sabda Rasulullah SAW yang mengatakan
bahwasanya Allah SWT tidak melihat kepada bentuk rupa kita, maupun
pekerjaan,

melainkan

hanya

melihat

kepada

niat

kita

masing-masing.

Sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu. Dan jika kamu berkata bagaimana
jika hari kiamat datang nanti?, aku berkata: “Jika sudah tetaplah imannya maka
baginya ada alasan yang kuat jika Allah SWT menginginkan untuk mengadzabnya

72

atau

menginginkan

untuk

mengampuninya

maka

Allah

SWT

akan

mengampuninya”. Dan shalatnya golongan orang-orang lalai (Al-Ghoofiliina)
diibaratkan seperti manusia yang berdiri tanpa jiwa atau roh dan duduk tanpa jiwa
ataupun roh, tidak bisa berbicara ataupun diajak berbicara selamanya. Seperti
hewan yang berbicara dan tidak bermanfaat. Maka sesungguhnya ia akan mati
dalam keadaan yang lalai. Maka dari itu diperintahkan untuk bertaubat atas segala
hal yang telah diwajibkan. Sesuai firman Allah SWT: “karena sesungguhnya sapi
itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami Insya Allah akan mendapat
petunjuk (untuk memperoleh sapi itu”. (QS:Al-Baqarah 70). Dan shalat adalah
saatnya atau waktunya bermunajat (memohon), bersaksi, dan menghadirkan diri
kepada Allah SWT. Seperti yang telah disabdakan Rasulullah SAW: “jika
sesungguhnya di antara kamu ada yang sedang mendirikan

shalat, maka

seseungguhnya ia sedang memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya
Tuhannya berada di antara dirinya dan kiblat (keadaan yang dekat)”. Dan
bermunajat itu hanya bagi golongan orang yang mendekatkan diri (AlMuqorrobiina).
Beginilah keadaan shalat bagi golongan Al-„Aarifiina kepada Allah SWT.
Maka pahamilah perkataan ini yang mana akan senantiasa membawa kepada
kebahagiaan tingkat tinggi dan akan mencapai derajat yang tinggi pula, dan
perkataan ini seluruhnya bersifat rahasia, baik secara lisan maupun tulisan kecuali
hanya melalui kecintaan dari Allah SWT. Dan tidak dianggap shalat kecuali hanya
bagi mereka yang hidup. Dan arti kematian di sini adalah kelalaian. Dan orang
yang lalai jika melaksanakan shalat di dalam hati atau jiwanya tidak merasakan
kehadiran Allah SWT dan tidak mengetahui atas apa yang telah ia ucapkan untuk
Tuhannya. Seperti firman Allah SWT: “ dan sesungguhnya sapi itu masih samar
bagi kami”(QS: Al-Baqarah: 70). Maka pahamilah dan Allah SWT akan
memberikan petunjuk bagi siapa saja yang dikehendakinNYA menuju jalan yang
lurus. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali hanya bagi Allah SWT yang Maha
Tinggi dan Agung.
Dan arti sebuah pengawasan adalah bahwa sesungguhnya Allah SWT
selalu melihat atau mengawasi kamu jika sedang berada di majlis atau

73

tempat berkumpul dengan niat untuk shalat jum‟at ataupun sekedar berkumpul
ataupun ingin shalat. Maka janganlah kamu keluar dari niat, semata-mata
niatkanlah hanya karena Allah SWT. Dan kamu harus selalu berada dengan niat
untuk selalu berada di jalan Allah SWT. Dari Allah SWT dan kepada Allah SWT
ketika kamu berjalan. Dan ketika kamu berada di suatu majlis maka ucapkanlah “
Allahu Akbar”, disertai rasa akan kehadiran Allah SWT dari dalam hatimu atau
dalam jiwa dan ragamu, dan Allah SWT adalah yang Maha Besar dan Agung dari
suatu apapun karena tidak ada yang menyamainNYA. Dan beginilah seharusnya
kamu berkeingina. Dan jika kamu berkeinginan untuk masuk ke dalam masjid
maka ucapkanlah salam. Barang siapa yang duduk di dalam masjid maka
malaikat, jin, dan manusia semuanya berbaris di dalam masjid sampai para
malaikat pun berbaris di pintu seperti yang telah diriwayatkan di dalam hadist.
Kemudian berusahalah sebisa mungkin untuk senantiasa berada dalam
barisan pertama dalam shalat, Karena shaf awal atau pertama itu adalah keadaan
terdekat dengan keAgungan Tuhan .Dan begitulah halnya yang menjadi maksud
para golongan Al-„Aarifiina yaitu kekhusyu‟annya untuk berada dekat dengan
Allah SWT

. Maka ketahuilah hal itu dan lakukanlah, dan Allah SWT

memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendakinya menuju jalan yang
lurus. Sebagai pengingat dalam proses perpindahan untuk bisa terus mengawasi
dalam kekhusyu‟an seperti yang telah kami sebutkan terdahulu. Dan afdholnya
proses perpindahan dalam setiap urusan ataupun keadaan itu adalah seorang
„Aarif yang mengetahui keberadaan Allah SWT dalam setiap keadaan dan
perbuatannya dan tidak berpaling dari perasaannya akan Keagungan dan kebaikan
Allah SWT.dan jika sesungguhnya ketika kamu berjalan dari satu tempat ke
tempat lainnya, bahwasanya pindahnya kamu yang kedua lebih baik dan utama
dari berpindahnya kamu yang pertama, dan begitu pula pindahnya kamu yang
ketiga dan keempat lebih baik dan utama dari dua perpindahan kamu sebelumnya.
Beginilah terus dalam proses kehadiran Allah SWT seperti yang telah kami
sebutkan terdahulu di dalam shalat. Seperti firman Allah SWT: “Yang mereka itu
tetap mengerjakan shalatnya”. (QS: Al-Ma’aarij). Rasa bahwa setiap malamku
adalah malam yang indah atau mulia, dan jika bisa bertemu setiap hari dengan
hari jum‟at maka ketahuilah itu dengan melalui cerita nabi Adam AS. Seperti

74

firman Allah SWT: “Dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka
tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud

sebagai penghormatan”. (QS:

Al-Hijr). Dan Allah SWT menyuruh kepada para malaikat untuk bersujud kepada
nabi Adam AS. Maka bersujudlah semua malaikat kecuali iblis yang tidak
bersujud karena takut akan kedekatan kepada nabi Adam AS. Maka jika dalam
kedekatan itu muncul maka rusaklah akibat dari hal tersebut (di karenakan watak
nabi Muhammad SAW di benak nabi Adam AS di dalam sifat keEsaan Tuhan).
Maka ketahuilah hal tersebut, dan bagi para pembesar, khalifah selalu menyertai
karena Allah SWT dalam setiap bimbingan, hukuman, dan mengurus para ummat
manusia dan perbaikan mereka agar menjadi sang khalifah Allah SWT.
Bahwasanya Allah SWT adalah pembimbing, penunjuk kepada kebenaran, dan
hakim kepada yang haqiqi, sabda nabi Muhammad SAW: “Sultan adalah sebagai
pemimpin (pengasuh) di dunia”. Dan seorang khalifah itu bukanlah seorang
pengasuh bagi alam ini kecuali hanya Allah SWT semata dan dialah yang
menciptakan sebaik-baik ciptaan, maka ketahuilah hal itu. Dan khalifah itu
sebagai pengasuh di bawah bimbingan Allah SWT, maka ketahuilah hal tersebut.
Dan bagi para „ulama

dan para pembesar dinamakan seorang yang „aalim

(yang mengetahui) selalu menghadirkan hakekat dari Allah SWT.
Dan untuk ka‟bah sendiri bahwa Allah SWT menjadikannya sebagai
sarana manusia (kaum muslim) untuk beribadah kepada Allah SWT. Seperti
firman Allah SWT: ”Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram” (QS: AlBaqarah: 144). Maka Rasulullah SAW menghadapkan badannya ke ka‟bah sesuai
perintah Tuhannya, seperti halnya para malaikat yang bersujud untuk nabi Adam
AS, sujud untuk menghormati atas seizin Tuhannya, bukan sujud atas dasr ibadah
atau menyembah. Dan Adam itu seperti ka‟bah, dan dua hal itu merupakan hal
untuk memuliakan Allah SWT, maka ketahuilah hal tersebut. Dan untuk berhala
disembah orang kafir, dan mereka menyembah kepada selain Allah SWT, maka
ketahuilah hal tersebut. Dan bagi orang-orang kafir yang bodoh bisa menjadi sesat
ataupun mendapatkan hidayah sesuai kehendak Allah SWT, maka ketahuilah hal
tersebut. Sedangkan bagi para pengrajin kayu dan besi dan lain-lain bahwasanya
Allah SWT memberikan suatu keilmuan. Dan mempunyai ilmu untuk mengetahui

75

sesuatu

lebih baik daripada tidak tahu (bodoh terhadap sesuatu) maka

ketahuilah hal tersebut.
Dan kebiasaan-kebiasaan, baik dari segi hal-hal fardhu, sunnah, haram,
dan hal yang fardhu bagi Al-„Aarifiina adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan,
dan untuk sunnah seperti seseorang yang mempunyai keinginan untuk berbahagia
(berpasangan). Dan untuk yang haram bagi para pelaku maksiat dan orang bodoh
dengan mengikuti hawa nafsunya dari godaan syetan. Maka ketahuilah hal
tersebut. Dan bagi orang-orang yang kaya maka mereka bisa dinamakan kaya
bukan karena harta mereka, tapi karena mereka tetap merasa miskin di hadapan
Allah SWT, yang sesuai firman Allah SWT: “Hai manusia, kamulah yang
berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak
memerlukan seusatu) lagi Maha Terpuji”. (QS: Faatir: 15). Dan Rasulullah SAW
pun bersabda: “Barang siapa yang rendah hati akan kekayaannya maka telah
hilanglah 3 hal dari kesempitannya (yang merendahkannya)”. Dan Rasulullah
SAW pun bersabda: “ Sejelek-jeleknya orang fakir adalah yang menyombongkan
diri di golongan orang kaya, dan senikmat-nikmatnya orang kaya adalah yang
rendah hati di hadapan orang fakir”. Maka ketahuilah hal tersebut.
Begitu pula dengan api dan angin yang merupakan tanda-tanda kebesaran
Allah SWT, dan

bagi para golongan yang meninggalkan urusan duniawi

dan bagi orang yang tersiksa dengan segala siksaannya dan bagi orang yang
bersedih dengan segala kesedihannya dan begitu pula dari semua kemuliaankemuliaan dan keindahan-keindahan yang tampak adalah bukan dari hal lain
kecuali kemuliaan dariNya dan keindahanNya mencakup setiap keindahan, maka
janganlah melakukan syirik dengan segala keindahan itu, maka jika kamu
menyaksikan segala hal itu, bersujudlah dan jangan melakukan hal berdosa. Maka
ketahuilah hal tersebut dari segala tanda-tanda kebesaran Allah SWT, maka
masuklah segala sesuatunya itu, karena sesungguhnya yang berhasil masuk
kepada tanda-tanda kebesaran Allah SWT akan menjadi manusia yang lengkap
(utuh).
dan sebagian para pembesar (Al-Awliyaa‟u) memohon kepada Tuhannya
dengan ucapannya bahwasanya ia bisa merasakan semua keAgungan dan

76

keBesaran Allah SWT dari setiap hal yang dilihatnya. Maka pahamilah dari hal
tersebut segala bentuk warna, pandangan, dan bentuk dalam setiap gambaran
alam. Dan setiap makhluk seperti tumbuhan pun semuanya bertasbih kepada Allah
SWT karena segala sesuatu memiliki pasangan, maka tidak akan bertasbih
kepadaNya kecuali dengan jiwanya, sesuai firman Allah SWT: “Dan tak ada
suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi

kamu sekalian

tidak mengerti tasbih mereka”. (QS: Al-Israa’: 44). Maka ketahuilah hal tersebut.
Dan telah diketahui bahwa segala seseuatu tidak berpaling dari segala
macam kebesaran Allah SWT. Beginilah kesaksian para „Aarifiina terhadap Allah
SWT karena mereka bisa melihat tanda-tanda kebesaran Allah SWT di atas segala
sesuatu. Dan kalian semua meninngikan Allah SWT maka Dia tidak akan
meninggalkan dalam segala macam perbuatan kalian, dan kalian akan
mendapatkan derajat yang tinggi jika kalian termasuk orang-orang yang benar,
maka ketahuilah hal itu. Dan juga di dalam jiwanya, raganya, kesaksiannya dalam
mencari ilmu pengetahuan selalu menghadirkan dengan itu semua kesadaran akan
kehadiran Allah SWT maka akan menjadi manusia yang utuh atau lengkap.
Adanya ilmu pengetahuan adalah bukti adanya Allah SWT seperti yang sudah
kami sebutkan dari kitab kami (Al-A‟yaani Al-Tsaabitah) dan bagi yang telah
mengerti tentang hikmah untuk bisa menyadari kebesaran Allah SWT maka ia
akan mendapatkan kepuasan dalam hidup dan bisa wafat dengan berarti

,

dengan di dalam hal dan dengan berbagai macam hal.

Maka ketahuilah hal tersebut.
Dan bahwasanya Syaikh Junaidi Al-Baghdadi yang telah Allah SWT
sucikan dan telah diberikan hidayah, bahwasanya jika telah diterima dari seorang
hamba amalnya yang hidup seribu tahun kemudian tiba-tiba ia berpaling dari
Allah SWT maka apa yang telah hilang darinya lebih banyak dari apa yang telah
ia dapatkan dan Allah SWT memberi petunjuk atau hidayah bagi siapa saja yang
Dia kehendaki menuju jalan yang lurus. Ini merupakan peringatan agar tidak lalai
terhadap perintahNya dari setiap perbuatan dan keadaan, baik semua pergerakan

77

atau diamnya di setiap keadaan untuk menambah kekhusyu‟an jiwa dalam
beribadah seperti di dalam shalat. Maka sesungguhnya kamu akan selalu bersama
Allah SWT, maka jika kamu melakukan pergerkan yang kedua haruslah lebih baik
dan utama dari pergerakan kamu yang pertama dan diamnya kamu yang kedua
lebih baik dan utama dari diamnya kamu yang pertama dan berpindahnya kamu
yang kedua lebih baik dan utama dari yang pertama dan harimu sekarang lebih
baik dan utama dari kemarin dan malammu yang kedua lebih baik dan utama
dari yang pertama dan jangan sampai lalai dalam setiap keadaan. Maka dari
itu, seorang „Aarif mengatakan bahwa setiap malamku adalah malam yang suci
seperti semua hari ibaratnya bertemu dengan hari jum‟at.
Hal inilah yang menambah ketaqwaan bagi As-Saalik. Dikatakan bahwa
matahari pada siang hari dan terbenam ketika menjelang malam hari dan cahaya
hati tidak akan terbenam untukmu. Diceritakan bahwasanya sebagian orang-orang
sholeh dari saudaranya ada yang meninggal (mati suri) kemudian dia melihat
dalam tidurnya atas apa yang Allah SWT perbuat padanya. Dan ia pun berkata
padanya: “apa yang Allah SWT telah lakukan padamu?”, ia pun berkata: “Allah
SWT memasukkan aku ke surga. Aku makan, minum, dan menikah”, maka ia pun
berkata lagi: “bukan itu yang ku tanyakan padamu, apakah kamu melihat
Tuhanmu?”, kemudian ia berkata: “aku tidak melihatnya kecuali bagi mereka
yang mengetahui saja”. Maka setiap yang kami katakan terhadap kebenaran
haqiqi dari shalat sesuai firman Allah SWT: “Yang mereka itu tetap mengerjakan
shalatnya” (QS: Al-Ma’aarij: 23).
Dan untuk puasa, membayar dzakat, dan pergi haji

semuanya

adalah kepatuhan, serta kejujuran, memuliakan tamu, bersilaturahmi, menjenguk
orang sakit dan ziarah kubur dan melakukan perdamaian sesama kaum muslim
serta dzikir dan do‟a dan hal-hal bermanfaat bagi kaum muslimin adalah
kepatuhan. Serta memberi makan orang yang berpuasa, membebaskan budak atau
hamba sahaya , penerang kegelapan dan lain-lain dari setiap hal baik adalah
kepatuhan. Dan setiap hal yang diperintahkan oleh Allah SWT dari setiap
perintahNya dalam beragama adalah rahmat. Maka makna dasar dari shalat adalah
suatu bentuk kepatuhan dalam beragama terhadap perintah Allah SWT. Di dalam

78

hadist disebutkan:

dan dikatakan pula dalam hadist riwayat

Maka ketahuilah hal ini sebaik mungkin. Dan

Anas:

jangan diteliti kecuali oleh para ahlinya. Rasulullah SAW bersabda: “janganlah
diantara kalian memberikan nasehat (pemahaman yang dalam tentang Al-Qur’an
dan Sunnah) kecuali oleh para ahli, maka jika para ahli mendzolimi nasehat
tersebut, maka mereka akan mendzolimi mereka (yang diberi nasehat)”. Dan
juga: “Ucapkanlah atau ajarilah para manusia itu sesuai dengan kadar
kemampuan mereka”. Dan Allah SWT berfirman: “Dan barang siapa yang
dianugerahi Al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang
banyak”. (QS: Al-Baqarah: 269).
Setiap ilmu pasti ada yang mempelajarinya dan setiap orang yang
mempelajarinya ada tempat baginya dan bukanlah di setiap tempat. Maka
ketahuilah hal itu. Dan Allah SWT akan menambah petunjuk untukmu dan Dia
akan memberikan petunjuk menuju jalan yang benar, sebagai peringatan kepada
suatu pengetahuan bahwasanya Allah SWT merupakan penyatuan dari dua hal,
yaitu kesucian (tak ada yang menyerupai) dan penyerupaan (terdapat
kebesaranNya di semua ciptaannya), dan bukan hanya kesucianNya saja ataupun
penyerupaanNya saja. Dan jika seseorang hanya meyakini kesucianNya saja maka
orang itu adalah golongan Atheis. Dan jika hanya meyakini penyerupaanNya saja
maka ia hanya mempercayai hal yang tampak oleh secara kasat mata (materiil).
Dan dua hal ini adalah perbuatan kafir, dan jika kamu mengetahui bahwa
kesucianNya adalah dapat dilihat melalui keserupaanNya, dan keserupaanNya
dapat dilihat melalui kesucianNya, maka kamu adalah orang yang mengetahui
keesaanNya secara haqiqi. Dan juga Dia adalah penyatuan antara yang pertama
dan yang akhir, antara yang dzoohir dan yang baathin. Dan pertamanya adalah
dilihat atau terdapat pada akhirNya dan akhirNya adalah terdapat di
permulaanNya. Dan juga cahayaNya tampak dalam kesamaranNya, dan
kesamaranNya terdapat dalam cahayaNya. Dan Dia adalah yang paling utama
dalam cahaya keberadaanNya, dan Dia adalah yang terakhir atas segala hal

79

ataupun segala urusan. Dan Dia adalah cahaya terang bagi orang-orang kafir dan
bodoh. Dan Dia adalah yang pertama dan yang terakhir dan merupakan cahaya
yang terlihat secara lahiriah maupun bathiniah dan Dia Maha Mengetahui atas
segala

sesuatu. Ditanyakan kepada Abi Sa‟id Al-Jarroziimi: “apakah kamu

mengetahui tentang Allah SWT?”, kemudian dikatakan dengan menyatukan dari
dua hal yang berlawanan tersebut. Demikianlah pengetahuan Sayyidinaa dan
Mu‟taqidiina Muhammad SAW dan para Nabi-nabi, para alim „ulama, dan para
pewaris ajaran Rasulullah SAW. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan
rahmat dan manfaat kepada kita semua dengan keberkahan mereka , dan
menjadikan kita sebagai bagian dari golongan mereka, amien.
Dan cara ini tidak bisa didapat hanya dengan cara berdiam diri, kecuali
dengan usaha yang sungguh-sungguh dan merendahkan hati serta menjaga dari
hawa nafsu dan lain-lain dari berbagai macam kesungguhan suatu usaha di dalam
sunnah-sunnah dan keimanan dalam beribadah atas hal-hal wajib, walaupun hal
itu adalah hal yang jarang dan Allah SWT memberikan petunjuk atau hidayah
kepada siapa saja yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus. Dan barang siapa
yang mengetahui segala hal itu dengan keyakinan yang haqiqi, maka orang itu
dinamakan seorang mu‟min yang sufi, dan jika memasuki dengan cara
mempelajari hingga paham dengan kepercayaan dan keyakinan, maka Allah SWT
akan memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Maka dari itu Rasulullah SAW
bersabda: “Barang siapa yang mati dan dalam keadaan tidak

berilmu,

maka ia telah mati dalam keadaan yang hina”. Dan dikatakan pula: “barang
siapa yang tidak mempunyai guru (orang yang dijadikan panutan) maka setan
adalah guru baginya”.
Dan Syaikh Abdu Al-Wahhab Sya‟rowiiAl-Mishriyi Al-Askandari yang
dimuliakan oleh Allah SWT mengatakan: “Barang siapa yang tidak mengetahui
para ayah dan kakeknya maka dia termasuk orang yang buta. Dan seandainya
mengaku-ngaku mempunyai ayah selain ayahnya, maka orang itu termasuk dalam
sabda Rasulullah SAW: “Allah SWT akan melaknat golongan manusia yang
menasabkan (keturunan) kepada selain ayahnya”. Dan Umar Ibn Al-Faarid AlHazami Al-Abnaati yang dimuliakan oleh Allah SWT mengatakan bahwasanya

80

mengaku-ngaku adalah dekat dengan hawa nafsu. Dan ada di antara kita yang
mengaku-ngaku sebagai anak dari ayah kita yang lebih mementingkan ikatan
batin daripada fisik, dan barang siapa yang seperti itu maka ia dinamakan dengan
anak pungut tanpa orang tua asli (kandung) yang berada di jalanan, dan
berlindung kepada Allah SWT dari hal itu.
Dalam keterangan tentang faedah-faedah dzikir, bahwasanya dzikir adalah
permulaan dan akhir, maka permulaannya adalah ganbaran akhirnya, dan akhirnya
adalah gambaran permulaannya. Ditanyakan kepada Junaidi Rahmatullaahi; “apa
arti dari sebuah akhir atau penghabisan?”, maka dikatakan: “kembali kepada
permulaan”. Ditanyakan juga: “apakah amal perbuatan yang meningkat akan
menjauhi kematian atau tidak?”, maka dijawab: “meningkatkan suatu amal
perbuatan tidak menjauhkan dari kematian”. Dan suatu ilmu yang meningkat
akan menjauhi dari kematian dengan banyak mengucapkan Laa Ilaa Ha Illallaahi
(tidak ada Tuhan selain Allah) bagi para Ahlu dzikri, tetap hidup walaupun sudah
wafat. Orang yang selalu berdzikir dengan orang yang lalai diibaratkan seperti
orang yang hidup atau mati. Seperti rumah yang selalu dihiasi dengan dzikir dan
rumah yang tidak pernah dihiasi dengan dzikir diibaratkan dengan hidup dan mati.
Allah SWT menyebutkan bagi orang-orang yang lalai seperti dahan di pohon yang
kering, juga seperti yang hidup di tengah-tengah kematian. Dan sesungguhnya
malaikat kematian meminta izin terlebih dahulu kepada Ahlu Dzikri ketika akan
mencabut nyawanya. Dalam hadist disebutkan: “jika kalian sedang melewati
ladang surga (majlis dzikri) maka berkumpullah di dalamnya”. Kemudian
dikatakan: “Ya Rasulullah, apa itu ladang surga?”, Rasulullah pun menjawab:
“Majis Ad-Dzikri, masuklah ke dalam majlis-majlis dzikir itu, karena
sesungguhnya itu adalah ladang surga, berdirilah, bertasbihlah di dalamnya ,
dan berangkatlah dari rumahmu menuju padanya”. Dan bagi para ahli surga,
tidak ada yang lebih menyedihkan dalam suatu waktu kecuali tidak berdzikir
kepada Allah SWT. Dalam hadist: “tidak ada suatu amalan bagi seorang hamba
yang dapat menghindari dari adzab Allah SWT selain dzikrullaah”.
Dan jika memasuki suatu rumah, maka seperti: “saya sendiri, tidak ada
selain saya”. Dan itu merupakan arti dari kata Laa Ilaa Ha Illallaahi (tidak ada
Tuhan selain Allah SWT) yang jika dalam keadaan gelap, maka cahaya ungkapan

81

itu akan menerangi, dan jika di dalamnya terdapat cahaya, maka akan terdapat
cahaya yang terang di dalam cahaya. Dzikir itu mengucapkan kata bahwa tiada
Tuhan selain Allah, yang mana dzikir itu dapat membersihkan diri atau tubuh dari
hal yang bersifat haram dan syubhat dan memusnahkannya. Maka jika hal yang
buruk telah dimusnahkan, dan yang tersisa hanya hal yang baik, kekhusyu‟an
dalam berdzikir bisa seakan-akan mendengar suara gemericik air, hembusan
angin, suara api menyala jika membakar sesuatu, suara dahan-dahan pepohonan
jika terkena hembusan angi, dan bahwa sesungguhnya sifat-sifat manusia itu
berasal dari unsur-unsur itu, seperti debu, air, api, udara, bumi, dan langit dan apaapa yang ada di antara keduanya. Dan jika telah mendengar sesuatu dari suarasuara tersebut, maka dia telah bertasbih kepada Allah SWT dan mensucikanNya
dengan setiap ucapan, dan itu adalah hasil dari dzikir dengan segenap kemampuan
yang ada dan seorang hamba yang semula diam dari dzikir, lalu tergeraklah hati di
dalam dada seperti geraknya seorang anak di dalam perut ibunya, berdzikir
dengan kekhusyu‟an pada akhirnya akan membawa sampai alam Ketuhanan yang
merupakan alam

yang tertinggi, seperti yang dikatakan Ibrahim AS:

“sesungguhnya aku pergi kepada Tuhanku yang akan memberiku petunjuk
kepadaku”.
Dan puncak kekhusyu‟an akan membawa kepada alam yang tertinggi, dan
dapat menghayati nama-nama dan sifat-sifat yang dapat memperlihatkan
keAgungan dari Allah SWT”. Kemudian kepada sunnah dan terlihat pada
keAgungan dari Allah SWT. Perbuatan itulah yang terwujud, dan tidak
membedakan antara yang melakukan dan yang dilakukan di hadapan Allah SWT.
Seperti firman Allah SWT: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tentang
tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar” (

QS:

Fushshilat: 53). Maka ketahuilah hal itu. Maka sesungguhnya kamu pergi menuju
Tuhanmu, dan Dia adalah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan Dia adalah
lebih dekat kepadamu. Ketahuilah hal itu dan jangan kau nodai dan Allah SWT
memberikan petunjuk ke jalan yang lurus bagi siapa saja yang dikehendakiNya.
Dan kemudian aku pun ingat sebagian dari jenis-jenis dzikir dan macammacamnya yang dapat memberikan kebahagiaan dalam diri mereka masing-

82

masing. Dan dimulai dengan mengucapkan

melalui hati seakan-akan kamu

keluar dari hal-hal selain kekhusyu‟an untuk menghadap kepada Alah SWT, dan
juga menggerakkan kepala ke kanan maupun ke kiri dengan ucapan
melalui hati seakan-akan telah masuk sesuatu di dalamnya segala hal dari berbagai
cahaya Allah SWT, dan terlihat dari dua hal atau kelompok antara tenggorokan
dan kepala. Bahwasanya golongan yang pertama di antara dua kelompok itu
mencakup di dalam hari pembalasa, dan keduanya terdapat ketetapan akan
KeEsaan Allah SWT yang tertanam di dalam hati ataupun menerangi dengan
suara dari dalam hati dengan ucapan kalimat

, dan ketika mengucapkan

kalimat itu di dalam hati, upayakanlah hal itu dalam setiap keadaan ketika
berdzikir, seakan-akan ketika kamu berdzikir, kamu merasakan kehadiran Allah
SWT, dan Dia melihatmu, dan janganlah lalai ketika berdzikir, hadirkan hati
dengan kekhusyu‟an untuk menghadap kepada Allah SWT.Dan juga dimaksudkan
dalam berdzikir untuk menahan diri sebisa mungkin karena hal itu mempunyai
pengaruh yang besar.
Jika kamu mengucapkan melalui lisan kalimat

kamu

mengatakan dalam hati untuk tidak memohon kepada selain Allah SWT,
kemudian memunculkan ikatan yang kuat dari dalam hati dengan ucapan
dengan penekanan yang kuat dengan harapan munculnya pengaruh yang kuat di
dalam hati dan sampai hawa dzikir itu ke dalam hati pula, dan ketika berdzikir
mengucapkan

, agar menekankan dengan kuat yang bermula dengan

menengok ke kanan kemudian ke kiri, kemudian ke depan, lalu menghadap ke
langit, kemudian menuju ke hati. Dan dari hal itu mengucapkan nama dari Dzat
yaitu Allah SWT. Dan jika kamu telah mengucapkan dengan nama Dzat melalui
lisan, maka ucapkanlah dalam hati KeEsaan Tuhan yang kekal abadi. Dan dariNya

83

mengucapkan kalimat itu dengan pertama kali menghadap ke kanan dengan
memfathahkan al-waawi (

) kemudian menghadap kiri dan depan, dan

diatas itu kemudian menuju ke hati dengan (
dan untuk dzikir ini terdiri dari lima macam. Diantaranya dzikir untuk
menarik diri dan mengirimkannya, dan hal itu adalah jawaban dari atas apa yang
dikatakan bahwa sesungguhnya manusia bernafas setiap hari dan malam dengan
dua puluh empat ribu orang maka kemudian ditanyakan kepada masing-masing
individu dua pertanyaan. Yang pertama adalah sesungguhnya kamu atas apa yang
telah diambil oleh seorang manusia. Dan yang kedua adalah atas apa yang telah
dikirim. Dan jawabannya adalah sesungguhnya aku mengingatkanmu dengan
ucapan sesuai diri kamu dan mengirimkannya, dan darinya itu adalah dzikir atas
kebesaran Dzat yang diambil dari Allah SWT dengan membuang alif dan laam
dan menyisakan al-haa terhadap harakat yang tiga. Maka kamu mengucapkan di
sisi kanan ini yang berfathah dan sisi kiri dan yang berkasrah kemudian
ditekankan ke dalam hati dengan dia berdhommah dan darinya untuk menjaga hati
di setiap tempat dan dia berkata terlebih dahulu: “Yaa Rabbii”. Sebanyak dua
puluh satu kali setelah kamu duduk kemudian kamu berkata di sisi kanan: “Yaa
Subbuuh”. Yang merupakan sifat Allah SWT dan di sisi kiri: “Yaa Qudduus”.
Dengan lidah dan di dalam hati: “Yaa Ruuh”. Kemudian menekankan dalam hati
dengan pemilik jiwa dan bersuarakan: “Ya Tuhanku tekankan padaku hati ini”.
Dan bimbinglah serta ikatkanlah hatimu dengan jiwamu kepada jiwa yang
menuntut yang menemuimu dan menanyakannya atas apa yang kamu inginkan.
Dan kemudian adalah dzikir di dalam ucapan kaum hindia dan dia tertuju kepada
Syaikh Al-Madzkuuri Al-Majuusi Farid Al-Haqq yang benar dalam syar‟i dan
agama yang telah Allah Swt sucikan jiwanya dengan rukun-rukun agama yang
lima, kamu berkata Dia Dia dan sisi kiri Dia Dia dan dari sisi depan Dia Dia serta
dari sisi atas Dia Dia dan dari hati Dia Dia. Dan di antaranya dzikir dengan lidah
(ucapan). Dan dia juga tertuju kepada Syaikh Al-Madzkuuri Rahmatullaahi‟alaihi
dan dia adalah duduk dan kamu mengangkat wajahmu dan matamu ke langit dan
kemudian kamu berkata Dia Dia sebanyak seribu kali, maka kemudian terasa di

84

sekitarmu di seluruh tubuhmu yang memenuhi seisi rumah. Kemudian terasalah
dalam keadaanmu setelah diamnya kamu untuk berdzikir yang di antaranya adalah
dzikir untuk mengendalikan jiwa dengan mengucapkan: “Yaa Syaikh” sebanyak
seribu kali dan menggambarkan di dalam hati. Maka roh Syaikh akan menemuimu
dan Allah SWT lebih mengetahui.
Ketahuilah bahwasanya cahaya yang telah diberikan Allah SWT bisa
membuatmu bahagia. Bahwasanya Aku mengingatkanmu cahaya-cahaya yang
memperlihatkan keadaan dzikir. Jika cahaya itu keluar dari sisi kanan, maka
ketahuilah bahwasanya itu adalah cahaya dari Syaikh Al-Mursyid, dan jika cahaya
itu berasal dari sisi kiri, maka cahaya itu adalah cahaya iblis, Maka berhatihatilah. Jika cahaya itu berasal dari bawah ataupun dari atas maka itu adalah
cahaya malaikat yang menjagamu. Dan jika terlihat pertemuan antara jiwa dan
raga maka itu adalah cahaya diri, dan jika terlihat dari atas jiwa atau hati dengan
berwarna putih maka itu adalah cahaya hati, dan jika dengan berwarna merah
dengan putih maka itu juga cahaya roh atau jiwa. Dan jika terlihat tanpa arah dari
berbagai macam arah yang enam dan tidak berwarna dan tidak bercirikan maka itu
adalah cahaya Allah „Azza wa Jalla. Kemudian jika kamu menginginkan syari‟atsyariat di dalam dzikir maka katakanlah:

sebanyak mungkin seperti yang telah diingatkan. Sesungguhnya para
pendzikir dan yang lalai akan dzikirnya para golongan orang-orang lalai kemudian
membaca istighfar dengan lengkap sebanyak tiga kali, yaitu:

dan kemudian berharap untuk
bertaubat dan mendapatkan ampunan, maka telah sesuai dengan tuntunan di dalam
kitab karangan dari seorang hamba yang lemah dan faqir (Syaikh „Abdul Bashiir
Ad-Dhoruuri) yang mana beliau bukanlah orang yang mempunyai gaya berbicara
layaknya kaum Arab. Dan yang diharapkan adalah semata-mata seperti yang