Antibodi anti-idiotipe sebagai kandidat vaksin rabies

ANTIBODI ANTI-IDIOTIPE SEBAGAI
KANDIDAT VAKSIN RABIES

SAYU PUTU YUNI PARYATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Antibodi Anti-idiotipe
sebagai Kandidat Vaksin Rabies adalah karya saya sendiri dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Desember 2006


Sayu Putu Yuni Paryati
NIM. B161020061

ABSTRAK
SAYU PUTU YUNI PARYATI. Antibodi anti-id iotipe sebagai kandidat vaksin
rabies. Di bawah bimbingan I WAYAN TEGUH WIBAWAN, RETNO
DAMAYANTI SOEJOEDONO dan FACHRIYAN HASMI PASARIBU.
Serum anti rabies (SAR) yang diproduksi pada kuda, disebut antibodi 1
(Ab1) digunakan untuk mengimunisasi ayam. Imunoglobulin ayam (IgY) anti-Ab1
merupakan antibodi anti-idiotipe (Ab2) terhadap rabies, dipanen dari darah ayam
setiap minggu selama 10 minggu. Rata-rata titer Ab2 tertinggi diperoleh pada
minggu ketiga dan keempat pasca vaksinasi. Pemurnian IgY (Ab2) dilakukan
melalui pengendapan dengan amonium sulfat jenuh konsentrasi 60% dan 50%,
dilanjutkan dengan dialisis menggunakan PBS pH 8,0 selama 24 jam pada suhu 2
– 8 oC. Pemurnian tahap berikutnya dengan kolom kromatografi afinitas spesifik
terhadap IgY, menghas ilkan protein dengan berat molekul 185.000, 95.000 dan
49.000 dalton. Sebanyak 3 ekor kelinci New Zealand White diimunisasi dengan
Ab2 dan 3 ekor kelinci lainnya sebagai kelompok kontrol. Pemeriksaan serum
kelinci (Ab3) dengan teknik Agar Gel Presipitation Test (AGPT), menunjukkan
Ab3 bereaksi homolog dengan Ab 2 dan virus rabies. Reaksi juga memperlihatkan

pola reaksi identitas sebagian (partial identity) antara Ab2 dan virus, menunjukkan
bahwa tidak semua dari Ab 2 yang terbentuk dari responnya terhadap Ab 1
mengandung internal image yang dapat menginduksi antibodi spesifik terhadap
antigen aslinya. Pengujian serum terhadap kadar antibodi rabies menunjukkan
bahwa Ab 2 mampu menginduksi respon antibodi lebih dari 0,5 IU/ml mulai
minggu pertama sampai keempat pasca vaksinasi.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini, yaitu antibodi anti-id iotipe mampu
menginduksi tingkat antibodi protektif terhadap virus rabies, sehingga Ab 2 dapat
digunakan sebagai antigen pengganti dalam imunisasi rabies.

Kata kunci : antibodi, vaksin anti-idiotipe, rabies

ABSTRACT
SAYU PUTU YUNI PARYATI. Anti-idiotype Andibody as A Rabies Vaccine
Candidate. Under the direction of I WAYAN TEGUH WIBAWAN, RETNO
DAMAYANTI SOEJOEDONO dan FACHRIYAN HASMI PASARIBU.
Anti rabies serum (ARS) called antibody 1 (Ab1) was used as the antigen
to immunize laying chickens. Anti-Ab1 chicken immunoglobulins (IgY), the antiidiotype antibodies against rabies (Ab 2) was isolated from chicken blood every
week for ten weeks. The highest titer of Ab2 was found at the third week after the
last immunization. Immunoglobulin Y was separated by means of ammonium

sulfate precipitation, then dialyzed using PBS pH 8.0 for 24 hours at 2 – 8 oC and
purified using affinity chromatography column for IgY lead the proteins molecules
with 185,000; 95,000 and 49,000 dalton in weigth. Purified IgY was used to
immunize New Zealand White rabbit and the antibody response (Ab3) was
detected using Agar Gel Precipitation Test (AGPT). The Ab3 showed specific
reaction with Ab2 as well as rabies virus. Interestingly, Ab2 and rabies virus
express partial identity reaction. This lead the insight, that not all parts of Ab 2 are
internal image of rabies virus. The efficacy of Ab 3 was detected using enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA) and indicated that the level of Ab 3 titer is
protective according to WHO standard (more than 0.5 IU/ml).
The conclusion of this study is the anti-idiotype antibody can induce
protective immune response against rabies virus and can be used as an alternative
for rabies anti-idiotype vaccine.

Key words : anti-id iotype vaccine, antibody, rabies

ANTIBODI ANTI-IDIOTIPE SEBAGAI
KANDIDAT VAKSIN RABIES

SAYU PUTU YUNI PARYATI


Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

Judul Disertasi : Antibodi Anti-idiotipe sebagai Kandidat Vaksin Rabies
Nama
: Sayu Putu Yuni Paryati
NIM
: B161020061

Disetujui
Komisi Pembimbing


Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
Ketua

Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS.
Anggota

Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi
Sains Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS.

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

Tanggal Ujian : 23 Januari 2006


Tanggal Lulus

:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waça,
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah dan rahmatNya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan disertasi sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan
pendidikan program doktor di Program Studi Sains Veteriner pada Sekolah
Pascasarjana IPB. Dalam penelitian ini, penulis mengambil judul : Antibodi Antiidiotipe sebagai Kandidat Vaksin Rabies”.
Penulis menyampaikan penghargaan dan hormat serta terima kasih yang
tulus kepada dosen pembimbing, yaitu Bapak Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan,
MS., Ibu Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS. dan Bapak Prof. Dr. drh. Fachriyan
H. Pasaribu yang telah membantu, membimbing, memberikan pengarahan dan
semangat kepada penulis mulai dari rencana mengikuti pendidikan, selama
mengikuti pendidikan, persiapan dan pelaksanaan penelitian hingga penyusunan
disertasi ini.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Pimpinan Proyek BPPS Dikti,
Departemen Pendidikan Nasional RI yang telah memberikan beasiswa kepada

penulis selama mengikuti pendidikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga
kepada Ibu drh. Lia Siti Halimah, M.Si. dan staf di laboratorium Uji Hewan PT.
Bio Farma Bandung, atas segala bantuan yang telah diberikan. Demikian juga
kepada Bapak drh. I Dewa Made Ngurah Dharma, M.Sc., Ph.D. selaku Kepala
Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) di Gunung
Sindur, Bogor beserta staf, penulis menyampaikan terima kasih atas bantuan dan
kesempatan yang diberikan untuk menggunakan fasilitas laboratorium.
Kepada Ibunda dan Ayahanda I Gusti Kayan Suparta (alm.), Ibunda dan
Ayahanda I Gusti Ngurah Mecutan, adik-adik tercinta serta seluruh keluarga,
penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan
yang setinggi-tingginya atas doa, bimbingan, serta dorongan semangat yang tak
pernah berhenti diberikan dalam kehidupan penulis dengan suasana penuh cinta.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada
suami tercinta, Ir. I Gusti Ngurah Sudira, MSAe., yang dengan penuh rasa kasih,
sabar dan penuh pengertian, selalu mendoakan, memberikan dorongan, berkorban
dan mendampingi penulis, sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan,
menyelesaikan penelitian dan disertasi ini. Terima kasih pula untuk anak -anak
tercinta, Gusti Ayu Sinta Deasy Andani dan Gusti Ngurah Dananjaya Gandhewa,
yang senantiasa memberikan warna serta dorongan dalam kehidupan penulis.
Penulis menyadari, bahwa karya ilmiah ini belum sempurna. Oleh karena

itu, dengan rendah hati penulis mohon maaf dan berharap semoga karya kecil ini
dapat bermanfaat.

Bogor, Desember 2006

Sayu Putu Yuni Paryati

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Juni 1965 di Tabanan, Bali, sebagai putri
pertama dari empat bersaudara, dari ayah I Gusti Kayan Suparta (alm.) dan ibu Ni
Putu Daning. Pendidikan sarjana dan profesi dokter hewan ditempuh di Program
Studi Kedokteran Hewan Universitas Udayana, lulus tahun 1990.
Tahun 1999, penulis memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan
program magister di Program Studi Sains Veteriner pada Program Pascasarjana
IPB dan menamatkannya pada tahun 2002. Pada tahun dan perguruan tinggi yang
sama, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor.
Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional melalui Biaya Pendidikan Program
Pascasarjana (BPPS).
Sejak tahun 1991, penulis mengabdikan diri sebagai staf pengajar di

Akademi Medis Veteriner Puragabaya Bandung dan tahun 1993 diangkat menjadi
staf pengajar Kopertis Wilayah IV Jawa Barat yang dipekerjakan di Akademi
Medis Veteriner Puragabaya Bandung hingga sekarang dan menjadi anggota
Himpunan Dokter Hewan Indonesia.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL

......................................................................................

vii

...................................................................................

viii

...............................................................................

ix


DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN
Latar Belakang
.................................................................................
Rumusan Masalah .............................................................................
Maksud dan Tujuan ..........................................................................
Manfaat Penelitian
...........................................................................
Hipotesis ...........................................................................................

1
3
4
4
4

TINJAUAN PUSTAKA

Antibodi ..............................................................................................
Idiotipe ................................................................................................
Antibodi Anti-idiotipe .........................................................................
Antibodi Anti-idiotipe sebagai Vaksin ...............................................
Produksi Antibodi Anti-idiotipe pada Ayam .......................................
Virus Rabies ........................................................................................
Patogenesis dan Imunitas Rabies ........................................................
Vaksin dan Vaksinasi Rabies ..............................................................
Evaluasi Hasil Vaksinasi Rabies .........................................................

5
6
7
11
12
14
15
18
19

BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian ...............................................................
Bahan dan Peralatan ............................................................................
Metode ..................................................................................................
Karakterisasi Serum Kuda Anti Rabies (SAR) ...............................
Reidentifikasi Serum Kuda Anti Rabies (SAR) ..............................
Pemotongan Imunoglobulin dan Purifikasi Fragmen F(ab)2 ............
Uji Potensi Ab 1 ...............................................................................
Produksi Antibodi Anti-idiotipe (Ab 2) ...........................................
Pengendapan Imunoglobulin Ayam dengan Amonium Sulfat ……
Pemurnian IgY dengan Kolom Kromatografi Afinitas …………..
Karakterisasi Antibodi Anti-idiotipe ...............................................
Pengukuran Konsentrasi Antibodi Anti-idiotipe (Ab 2 ) ...................
Imunisasi Kelinci dengan Antibodi Anti-idiotipe (Ab 2) ................
Pengujian Antibodi Kelinci terhadap Virus Rabies dengan
Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) ........
Kalkulasi dan Interpretasi Hasil Uji ELISA ...................................
Analisis Data ...................................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi Serum Kuda Anti Rabies ...............................................
Reidentifikasi SAR ................................................................................
Pemotongan Imunoglobulin Kuda Anti Rabies ....................................
Uji Potensi Ab 1 .....................................................................................

21
21
23
23
23
23
24
25
26
26
27
28
28
29
30
31
32
32
32
34

Produksi Antibodi Anti-idiotipe (Ab 2) pada Ayam .............................
Purifikasi dan Karakterisasi Imunoglobulin Ayam (IgY) .......….....…
Pengukuran Konsentrasi Antibodi Anti-id iotipe (Ab2 ) ........................
Imunisasi Kelinc i dengan Antibodi Anti-idiotipe (Ab 2) .....................
Pengujian Serum Kelinci dengan metode AGPT ................................
Pengujian Antibodi Kelinci terhadap Virus Rabies dengan
Metode ELISA .............................................................................

35
38
44
45
46
50

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ................................................ ........................................ 56
Saran ................................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

57

LAMPIRAN

63

....................................................................................................

DAFTAR TABEL
Halaman
1. End-point proteksi 50% populasi mencit dari SAR …………………….

34

2. End-point proteksi 50% populasi mencit dari Serum Referensi ……….

34

3. Titer antibodi anti-idiotipe pada serum ayam diuji dengan AGPT

.........

36

4. Hasil pengukuran kandungan imunoglobulin yang telah dimurnikan …..

44

5. Hasil pengujian serum kelinci (Ab 3) terhadap antibodi rabies yang
diuji dengan metode ELISA ....................................................................

52

6. Hasil pengujian serum kelinci (Ab 3) terhadap antibodi rabies dengan
metode ELISA .......................................................................................

53

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Skema antibodi dengan det erminan isotypic, allotypic dan idiotypic ......

5

2. Skema kaskade idiotipe (Hiernaux 1988) …………………………......

10

3. Perbedaan struktur IgY dan IgG (Anonim 2002)

..................................

13

………………………………..

16

5. Skema penyebaran virus rabies (Baron et al. 2004) …………………...

17

6. Garis presipitasi pada uji imunodifusi (AGPT) menunjukkan adanya
reaksi homolog antara serum anti rabies (Ab1) dengan vaksin rabies ...

32

7. Skema pemotongan imunoglobulin (A) dengan enzym pepsin,
menghasilkan fraksi Fc (B) dan fraksi F(Ab)2 (C) ..................................

33

8. Garis presipitasi (tanda panah) pada uji imunodifusi (AGPT)
menunjukkan adanya reaksi homolog antara antiserum ayam (Ab2)
dengan SAR (Ab1) .................................................................................

35

9. Grafik Titer Antibodi terhadap Ab 1 pada Serum Ayam ..........................

37

10. Proses pengendapan protein dengan amonium sulfat (A),
diperoleh endapan berwarna putih (B) ……………………………….

38

11. Proses dialisis larutan protein menggunakan PBS pH 8,0

……………

39

12. Pemurnian dengan kromato grafi afinitas spesifik, IgY terdeteksi pada
panjang gelombang 280 nm. …………………………………………...

40

13. Profil pita protein yang dimurnikan dengan kromatografi afinitas
(1 dan 2) dan hasil pengendapan dengan amonium sulfat (3)
dibandingkan dengan marker (M) …………………………………….

41

14. Pemekatan larutan IgY menggunakan tabung dialisis dan PEG 6000
di sekeliling tabung ……………………………………………………

42

15. Pembentukan abses steril di tempat penyuntikan pada kelinci yang
diimunisasi dengan Ab 2 yang diemulsikan dalam CFA ........................

46

16. Serum kelinci (Ab 3) bereaksi spesifik dengan virus rabies (V) dan
Ab 2, ditunjukkan dengan garis presipitasi (tanda panah) yang
membentuk pola reaksi identitas sebagian (tanda lingkaran) antara
Ab 2 dan virus rabies ................................................................................

47

17. Ilustrasi pembentukan Ab3, dimana hanya sebagian Ab 3 saja yang
mempunyai spesifisitas sama dengan serum asal .................................

49

18. Pola nilai OD serum kelinci terhadap titer antibodi rabies yang diuji
dengan metode ELISA ...........................................................................

50

19. Grafik kadar antibodi spesifik terhadap virus rabies pada serum kelinci..

54

4. Patogenesis Rhabdovirus (Hunt 2004)

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Prosedur kerja pada uji potensi serum anti rabies ......................................

64

2. Contoh perhitungan uji potensi serum kuda anti rabies (SAR) ..................

66

3. Reagensia untuk kromatografi afinitas (Fast Protein Liquid
Chromatography = FPLC) ........................................................................

67

4. Reagensia untuk ELISA

68

............................................................................

5. Perhitungan berat molekul protein

...................................................... .....

69

6. Tabel 10. Berat molekul protein pada serum ayam ....................................

70

7. Tabel 11. Rekapitulasi hasil pembacaan nilai OD Ab3 antibodi rabies pada
serum kelinci yang diuji dengan metode ELISA .. ...................
8. Tabel 12 Hasil pembacaan ELISA OD serum kontrol (+) dan (-)
pemerikasaan serum kelinci kontrolpada panjang gelombang
414 nm ........................................................................................
9. Kurva standar serum kontrol ......................................................................

71
71

10. Tabel 13 : Hasil pembacaan ELISA serum kelinci kontrol (diimunisasi
dengan NaCl fisiologis) dibandingkan OD serum kontrol (+)
dan (-) pada panjang gelombang 414 nm ..................................

71

11. Tabel 14 : Hasil pembacaan ELISA OD serum kontrol (+) dan (-)
pemeriksaan serum kelinci yang diimunisasi dengan Ab2 pada
panjang gelombang 414 nm ......................................................

72

71

12. Kurva standar serum kontrol .................................................................... 72
13. Tabel 15: Hasil pembacaan ELISA serum kelinci yang diimunisasi dengan
Ab2 dibandingkan OD Serum Kontrol (+) dan (-) pada panjang
gelombang 414 nm .....................................................................

72

14. Tabel 16 Hasil pembacaan ELISA OD serum kontrol (+) dan (-) pemeriksaan
serum kelinci yang diimunisasi dengan vaksin rabies pada panjang
gelombang 414 nm .................................................................
73
15. Kurva standar serum kontrol ............................................................ ….....

73

16. Tabel 17. Hasil pembacaan ELISA serum kelinci yang diimunisasi dengan
vaksin rabies dibandingkan OD serum kontrol (+) dan (-) pada
panjang gelombang 414 nm........................................................... 73
17. Tabel 18. Kadar antibodi spesifik terhadap rabies (Ab 3) serum kelinci yang
diperiksa dengan metode ELISA. ................................................ 74
18. Tabel 19. Rekapitulasi kadar antibodi spesifik terhadap rabies (Ab 3) serum
kelinci yang diperiksa dengan metode ELISA ...........................

75

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Banyak agen penyakit bersifat sangat infeksius dan sulit dibiakkan,
menyebabkan penggunaannya sebagai vaksin dan reagen serologis menjadi tidak
aman karena dapat menjadi virulen apabila digunakan sebagai vaksin. Agen
penyakit yang sulit dibiakkan juga merupakan salah satu kendala dalam produksi
vaksin. Contohnya, adalah dalam produksi vaksin rabies. Penyakit rabies
merupakan salah satu penyakit zoonosis yang paling ditakuti dan dapat
mengganggu ketenteraman hidup masyarakat, menular akut pada susunan saraf
pusat dan dapat menyerang semua hewan berdarah panas, terutama anjing, kucing
dan kera, juga manusia. Apabila gejala klinis sudah timbul, selalu diikuti dengan
kematian.
Pencegahan rabies terutama dilakukan dengan vaksinasi menggunakan
vaksin dari virus rabies yang telah diinaktifkan. Namun, apabila vaksin ini dibuat
dari virus virulen, maka terdapat kemungkinan di antara sekian juta dosis vaksin
yang dipakai ada yang mengandung virus virulen yang justru dapat menimbulkan
kasus penyakit. Kelemahan ini dapat diatasi dengan pemakaian vaksin unit
struktur atau vaksin subunit, yang terdiri dari antigen netralisasi virus dan
adjuvan. Dengan vaksin ini, resiko seperti pada vaksin hidup dan vaksin inaktif
tidak ada, tetapi biasanya vaksin subunit tidak begitu imunogenik. Sedangkan
antigen protein yang didapat melalui sintesa kimia atau kloning gen mungkin
gagal melipat sesuai konfigurasi molekul asli sehingga struktur epitop antigenik
tidak sesuai dengan antigen asli.
Virus rabies adalah virus yang sulit dibiakkan. Untuk pembuatan vaksin
inaktif, pengembangbiakan virus umumnya dilakukan dengan menyuntikkan virus
pada otak domba atau mencit sehingga vaksin yang dihasilkan masih mengandung
jaringan otak dari hewan -hewan tersebut. Hal ini dapat menimbulkan berbagai
reaksi neurologik pasca vaksinasi, seperti myelitis, meningoencephalitis,
meningoencephalomyelitis dan paralysis. Selanjutnya, vaksin diproduksi pada
biakan sel diploid manusia, embryo ayam, bebek, sel Vero, jaringan fibroblas
paru-paru monyet dan ginjal hamster, sehingga resiko seperti pada penggunaan sel
otak atau sel saraf dapat dikurangi. Namun, pembuatan vaksin pada sel kultur jauh

2

lebih sulit dan membutuhkan biaya yang sangat mahal (Singh dan Kumar 2004).
Penggunaan bahan -bahan kimia seperti beta propiolacton untuk inaktivasi virus
juga dapat menimbulkan efek samping berupa reaksi alergi (WHO 2002).
Vaksinasi pada hewan yang rentan terhadap rabies, termasuk hewan liar
yang dapat berperan sebagai penyebar rabies, merupakan strategi penting untuk
menekan kasus rabies. Oleh karena itu, pengembangan vaksin yang aman, efektif
dan protektif merupakan tantangan di masa depan. Salah satu alternatif yang dapat
dilakukan adalah dengan pengembangan vaksin antibodi anti-idiotipe.
Penggantian antigen dengan antibodi anti-idiotipe dapat menghasilkan
imunitas spesifik untuk mencapai tujuan imunisasi. Laporan pertama mengenai
antibodi anti-idiotipe yang protektif dalam suatu vaksinasi telah dilaporkan
menggunakan mencit yang diinfeksi dengan Trypanosoma. Beberapa kasus
penggunaan antibodi anti-id iotipe dalam vaksinasi telah pula dicoba pada berbagai
penyakit bakterial, viral dan neoplastik. Thanavala et al. (1985) telah
mengidentifikasi dua jenis antibodi anti-idiotipe monoklonal yang menyerupai
antigen permukaan hepatitis B dan mempunyai kemampuan mengikat antibodi
terhadap hepatitis B pada berbagai spesies. Selain untuk imunisasi aktif, antibodi
anti-id iotipe juga dapat menekan pertumbuhan tumor dan mencegah terjadinya
kanker (Qian et al. 1997 ; Benvenuti 2000).
Penggunaan anti-id iotipe sebagai reagen pada pemeriksaan serologis
memiliki kelebihan, yaitu : dapat menanggulangi masalah yang ditimbulkan dari
sifat patogen agen bagi peneliti dan petugas lapangan; memudahkan produksi
reagen secara kontinyu;

meningkatkan kualitas uji dan standardisasi; dan

meningkatkan spesifisitas uji (Zhou dan Huang 1995). Antibodi anti-idiotipe yang
memiliki karakteristik serologis internal image (Perosa dan Dammaco 1994),
sangat potensial digunakan sebagai imunogen (Fields et al. 2002) dan antigen
dalam serodiagnostik, preparasi vaksin (Thanavala et al. 1985 ; Greenspan dan
Bona; 1993; Qian et al. 1997), modulasi respon imun untuk mengontrol infeksi
(Zhou et al. 1994) dan imunoterapi (Luo et al. 2000) termasuk terapi penyakit
autoimun (Rico dan Hall 1988). Menurut Suartha (1999), antibodi anti-idiotipe
mampu memberikan perlindungan 88,8% terhadap serangan bakteri Streptococcus
Group C (SGC) ganas. Anti-idiotipe juga dapat digunakan sebagai prekursor awal

3

sistem imun inang terhadap agen infeksius. Pemberian anti-idiotipe pada simpanse
sebelum pemberian antigen HBs mampu meningkatkan titer antibodi terhadap
HBs dibandingkan dengan tanpa pemberian anti-idiotipe (Kennedy et al. 1984).

Rumusan Masalah
Sampai saat ini, vaksinasi rabies pada hewan umumnya menggunakan
vaksin virus inaktif yang dapat beresiko adanya virus virulen, sangat infeksius dan
ganas. Pada manusia, telah pula digunakan berbagai vaksin asal biakan sel
manusia maupun hewan serta beberapa vaksin sub unit dan rekombinan, namun
masih ditemukan berbagai kendala, seperti adanya efek samping dan biaya
produksi yang mahal.
Banyak agen penyakit yang sulit ditumbuhkan atau dibiakkan secara
buatan untuk kepentingan pembuatan vaksin menyebabkan produksi vaksin juga
dapat terhambat atau membutuhkan biaya yang sangat mahal. Anti-idiotipe
merupakan alternatif yang baik untuk vaksin karena dapat mengatasi kesulitan
mendapatkan jumlah antigen yang memadai. Hal ini biasa dijumpai pada agen
penyebab penyakit yang sangat infeksius yang sulit ditumbuhkan dalam jumlah
besar. Antibodi anti-idiotipe yang memiliki karakteristik serologis internal image
dapat diproduksi dalam jumlah banyak dan tidak mengandung resiko adanya agen
infeksius.
Selain itu, penggunaan vaksin aktif yang dilemahkan berpotensi tinggi
untuk kembali menjadi virulen. Anti-idiotipe yang hanya bereaksi terhadap epitop
tunggal agen infeksius mampu memberikan perlindungan protektif terhadap
antigen yang memiliki beragam epitop dan dapat mencegah timbulnya autoimun
yang akan merusak jaringan inang dan komponen tubuh yang lain apabila
digunakan agen penyakit yang memiliki determinan antig enik yang mirip dengan
jaringan. Kemampuan meniru sifat antigenik pada antibodi anti-idiotipe
digunakan sebagai pertimbangan pen ggunaannya sebagai imunogen untuk
menimbulkan respon imun yang spesifik terhadap agen infeksius.

4

Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan penelitian ini adalah :
1. Mempelajari prospek penggunaan antibodi anti-idiotipe sebagai
kandidat vaksin untuk pencegahan rabies yang aman, efektif dan
protektif.
2. Membandingkan tingkat kekebalan yang dihasilkan oleh vaksin
antibodi anti-idiotipe terhadap rabies dengan vaksin virus.

Manfaat Penelitian :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu metode pengembangan
antibodi anti-idiotipe yang dapat digunakan sebagai vaksin dan reagen
pemeriksaan serologis yang aman, efektif dan protektif.

Hipotesis
1. Antibodi anti-id iotipe rabies merupakan mimikri dan mengandung
internal image dari virus rabies.
2. Antibodi anti-id iotipe rabies bersifat imunogenik dan menginduksi
terbentuknya antibodi yang mampu berikatan secara homolog dengan
antigen virus rabies.
3. Antibodi anti-idiotipe rabies mampu menginduksi tingkat kekebalan
yang lebih tinggi dibandingkan vaksin virus rabies.
4. Antibodi anti-idiotipe rabies dapat digunakan sebagai kandidat vaksin
untuk pencegahan rabies.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Antibodi
Jika hewan terpapar oleh suatu antigen, maka respon imun akan terjadi
pada tubuh hewan tersebut. Respon humoral yang terjadi menghasilkan antibodi.
Struktur molekul antibodi terdiri dari empat rantai protein berbentuk seperti huruf
“Y” yang dihubungkan oleh ikatan d isulfida. Satu molekul antibodi terdiri dari
dua pasang rantai polipeptida berat (heavy = H) dan ringan (light = L), masingmas ing mempunyai daerah variabel (V H dan VL) dan daerah konstan (CH dan CL).
Daerah variabel (V) tersusun dari sekitar 110 sampai 130 asam amino, merupakan
gugus NH2 sebagai tempat ikatan antara rantai H dan L. Daerah konstan C pada
rantai H meliputi daerah aktivasi komplemen dan molekul reseptor Fc dari
berbagai jenis sel.

Allotypic,
variasi asam amino
pada lokus yang sama
Idiotypic,
variasi dihubungkan
dengan spesifisitas
ikatan antigen

Isotypic, variasi
rantai berat ?, µ, e, a atau d
dan rantai ringan ? atau ?

Gambar 1. Skema antibodi dengan determinan isotypic, allotypic dan
idiotypic.
Terdapat tiga kelas determinan antigenik yang diekspresikan oleh daerah
V dan C, yaitu : (1) determinan isotypic, membedakan rantai ringan menjadi dua
klas, yaitu kappa (?) dan lamda (?), sedangkan rantai berat mempunyai lima
isotipe berbeda yang membagi imunoglobulin menjadi lima klas yang berbeda
dengan fungsi yang berbeda-beda pula (pada manusia, IgG, IgM, IgA, IgE, IgD)
(Saldanha 2000) ; (2) determinan allotypic, dibedakan dari produk gen pada lokus
yang sama (IgG1, IgG2a, IgG2b ) ; dan (3) determinan idiotypic, dihubungkan
dengan spesifisitas ikatan antigen (Gambar 1).

6

Daerah variabel (V) selanjutnya dibagi menjadi daerah hipervariabel (HV)
dan daerah framework (FR). Pada rantai berat dan ringan, ditemukan tiga daerah
HV (HV1, HV2 dan HV3) dan empat daerah FR yang memiliki rangkaian asam
amino yang lebih stabil. Daerah HV juga disebut complementarity determining
region (CDR) karena daerah ini merupakan bagian yang mengalami kontak
langsung dengan permukaan antigen, mempunyai panjang dan rangkaian asam
amino berbeda pada antibodi yang berbeda (Anonim 2000). Hal ini menyebabkan
antibodi mempunyai spesifisitas dan afinitas yang berbeda-beda pula terhadap
penanda target (target marker) pada antigen. Daerah spesifik untuk berikatan
dengan antigen ini disebut paratop dan mengekspresikan beberapa kumpulan
idiotop yang mampu meningkatkan produksi antibodi.

Idiotipe
Idiotope adalah determinan antigen (antigenic marker) tunggal pada
daerah hipervariabel molekul antibodi yang dapat ditemukan pada sel B dan T
(Kennedy et al. 1983; Zhou et al. 1991; Mayer 2004). Idiotope berlokasi pada
atau di dekat sisi pengikat antigen (antigen combinating site), pada rantai berat
maupun rantai ringan antibodi, namun kebanyakan idiotop terletak pada rantai
berat (Ban et al. 1994) yang berpengaruh terhadap determinan idiotipik dari suatu
antibodi (Sollazzo et al. 1990). Variasi idiotipe pada individu terletak di seluruh
bagian hipervariabel antibodi dan dikode oleh gen. Bagian hipervariabel 1 (HV1)
dan hipervariabel 2 (HV2) antibodi dikode langsung oleh gen segmen V pada
garis benih (germ line), sedangkan HV3 dibentuk dari kombinasi segmen ke 3 gen
V, gen D (dari rantai berat) dan gen J. Rekombinasi ini terjadi secara acak
sehingga terjadi variabilitas. Ini bertanggung jawab terhadap tempat pengikatan
antigen yang berbeda-beda dan meny ebabkan bagian variabel antibodi suatu
individu memiliki struktur yang mirip dengan individu lain (Male et al. 1987).
Idiotipe digunakan untuk menerangkan hubungan antara asal usul gen daerah V
dan C. Gen ini dipertahankan selama masa evolusi dari hewan dan
perkembangannya tergantung kondisi lingkungan (Kennedy et al. 1983). Cara lain
untuk memperoleh lebih banyak variasi repertoire germ-line adalah dengan

7

rekombinasi batas segmen V, D dan J untuk menghasilkan berbagai sekuens
junctional (Roitt et al. 1993).
Diversitas antibodi juga dapat terjadi dengan adanya insersi nukleotida
pada daerah N dari segmen D dan J, suatu proses yang berhubungan dengan
ekspresi terminal deoxynucleotidyl transferase. Cara ini sangat meningkatkan
repertoire gen ? dan d reseptor-T. Sistem imun mempunyai mekanisme
pembentukan diversitas lebih lanjut, yaitu pada saat dua rantai yang berbeda
digunakan untuk pengenalan molekul. Pada saat ini terjadi kombinasi yang
menghasilkan variabilitas baru. Bila satu rantai berat berpasangan dengan rantai
ringan yang berbeda, spesifisitas akhir antibodi akan berubah (Roitt et al. 1993).

Antibodi Anti-idiotipe
Kumpulan beberapa idiotop disebut dengan idiotipe (Ab 1) yang mampu
menginduksi antibodi anti-idiotipe (Ab 2) (Lin dan Zhou 1995). Apabila Ab 1 murni
disuntikkan kepada hewan lain, maka Ab1 akan dikenali sebagai antigen asing dan
menimbulkan respon kebal Ab 2 yang kuat (Harlow dan Lane 1988; Vizcaino
2004). Antibodi Ab 2 dapat mengenali daerah pengikatan antigen pada Ab 1 dan
dapat berikatan dengan Ab 1 sebagaimana halnya Ab 1 berikatan dengan antigen
(Field et al. 2002), menunjukkan bahwa Ab 2 memiliki struktur yang mirip dengan
antigen. Selanjutnya, Ab 2 dapat menginduksi terbentuknya Ab 3 yang dapat
mengenali Ab 2 dan seterusnya, sehingga pada akhirnya dapat menginduksi
terbentuknya serangkaian autoantibodi yang dapat saling mengenali satu sama lain
membentuk suatu jaringan idiotipik (Jerne 1985).
Interaksi

determinan

idiotipe

dan

antibodi

anti-id iotipe

dapat

mempengaruhi modulasi respon imun, mengaktivasi atau menekan respon imun
humoral dan selular (Shoenfeld 2004). Pemberian anti-id iotipe dapat menekan
ekspresi idiotipe dan memacu pembentukan idiotipe spesifik limfosit T
suppressor. Mekanisme supresif dapat terjadi karena dua hal: pertama, antiidiotipe memblok reseptor idiotipe pada sel B primer dan hanya merangsang
pembentukan non-idiotipe; kedua, anti-idiotipe hanya menginduksi idiotipe
spesifik sel T suppressor. Pada kondisi lain, anti-idiotipe meningkatkan ekspresi
idiotipe dan pembentukan antigen spesifik limfosit T helper. Mekanisme aktivasi

8

yang terjadi seperti antigen asing yang merangsang pembentukan respon imun
(Nisonoff 1991).
Teori jaringan idiotipik Jerne (1985) juga menjelaskan, bahwa imunisasi
dengan suatu antigen dapat menginduksi bukan hanya antibodi spesifik terhadap
antigen (Ab1), tapi juga antibodi yang dapat mengenali Ab 1. Hal ini terjadi karena
struktur khas (idiotipe) pada daerah pengikatan antigen dari Ab1 mampu
menginduksi sistem imun untuk membentuk Ab 2 yang meniru struktur antigen
eksternal dan bahkan terjadi terhadap antigen sendiri (self antigen ) (Roitt et al.
1993 ; Vogel et al. 2000). Melalui mekanisme yang sama, akan terbentuk Ab3.
Ab1 dan Ab3 mempunyai kemampuan berikatan yang sama dan dalam beberapa
kasus, mempunyai susunan asam amino yang sama pada daerah pengikatan
antigennya (Roitt et al. 1993).
Anti-idiotipe yang hanya mengenali satu antibodi saja dikatakan
mengenali idiotop pribadi (IdI) dan menyokong pendapat bahwa tiap antibodi
mempunyai struktur yang unik. Sering juga molekul antibodi mempunyai struktur
asam amino yang sangat mirip satu sama lain sehingga mempunyai idiotipe yang
sama. Ini dikenal sebagai idiotipe public (umum) atau idiotipe cross reacting
(IdX). Idiotipe umum juga sering disebut dengan common dan share idiotope.
Respon kebal Ab2 yang terbentuk dapat digolongkan berdasarkan
topografi target idiotipe menjadi kelompok yang tidak mampu menghambat
antigen (antigen -noninhibitable group) (Ab 2a) dan

kelompok yang mampu

menghambat antigen (antigen -inhibitable group ) (Ab2ß).

Kelompok ketiga

disebut dengan Ab 2 ?, merupakan antibodi anti-idiotipe yang mengenali
combinating site id iotop di dekat daerah pengikatan antigen dan mampu
menghambat pengikatan antigen dengan pengaruh sterik, tetapi tidak membentuk
struktur yang mirip dengan antigen asli. Jadi, hanya Ab 2ß dan Ab 2? yang dapat
menghambat ikatan Ab1 dengan antigen (Ban et al. 1994).
Karakteristik Ab 2a disebut juga noninternal image karena ikatan antibodi
dengan anti-idiotipe terjadi di luar paratop, sehingga tidak menghalangi ikatan
antigen dengan paratop dari antibodi (Male et al. 1987 ; Guancheng et al. 2001).
Zhou et al. (1990) menyatakan, bahwa reaksi Ab2a dengan idiotipe berlokasi di
luar antigen -binding site dan tidak dihambat oleh antigen. Kemampuan Ab 2a

9

terbatas dalam peningkatan respon imun pada spesies berbeda (Kennedy et al.
1986). Jika Ab 2 berikatan di dekat paratop dari antibodi dan reaksinya dapat
dihambat oleh antigen karena pengaruh sterik dan allosterik, maka Ab 2 ini disebut
dengan Ab 2? (Guancheng et al. 2001).
Sejumlah Ab 2 yang terbentuk akibat responnya terhadap Ab1 dapat
mengekspresikan determinan idiotipe yang meniru antigen aslinya, disebut Ab 2ß.
Antibodi anti-idiotipe Ab 2ß mengandung internal image dari antigen eksternal,
sehingga disebut juga antibodi internal image (Guancheng et al. 2001). Interaksi
antigen dengan Ab 1 dapat dihambat oleh Ab 2ß, demikian juga interaksi Ab 2ß
dengan Ab 1 dapat dihambat oleh antigen. Antibodi Ab2ß mampu menimbulkan
respon antibodi terhadap antigen asli pada hewan lain. Hal ini merupakan indikasi
bahwa Ab2 yang dihasilkan mengenali IdX yang berlokasi pada atau dekat antigen
combinating site Ab1 (Zhou

et al. 1994). Baik antigen maupun antibodi anti-

idiotipe mempunyai tempat ikatan yang sama dan dapat berikatan secara
kompetitif dengan idiotipe (Bentley et al. 1990).
Antibodi

Ab 2ß memiliki struktur idiotipe yang menunjukkan internal

image terhadap epitop antigenik yang dikenali dari Ab 1 dan mempunyai
kemampuan meniru struktur tiga dimensi determinan antigen atau epitop
berdasarkan atas kemiripan struktur kimia hapten dan lekukan idiotop di atas
permukaan imunoglobulin. Meskipun merupakan struktur tiga dimensi dari asam
amino, namun antibodi internal image juga dapat meniru epitop protein,
karbohidrat atau lemak (Ban et al. 1994). Struktur tiga dimensi Ab2ß
menunjukkan, bahwa mimikri asam amino terletak pada lekukan antigen binding
site dari daerah hipervariabel rantai berat (Luo et al. 2000). Ab 2ß meniru struktur
antigen melalui proses saling melengkapi (complementary) dan homobodies (R ico
dan Hall 1989; Kennedy dan Attanasio 1990). Struktur antigenik yang potensial
akan ditiru dan disajikan kembali dengan struktur yang mirip (internal image)
oleh idiotipe (Zhou et al. 1991).
Imunisasi dengan Ab 1 tidak hanya menghasilkan subset Ab2ß, tetapi juga
menginduksi Ab 2a dan

Ab 2?. Antibodi Ab 2 dengan beragam subset, dapat

menginduksi terbentuknya anti-anti-idiotipe Ab3 yang sangat kompleks. Hal ini
terjadi terutama bila digunakan Ab 2 poliklonal yang mengandung beragam subset

10

(Ab2a, Ab 2ß dan Ab 2?). Pada Gambar 2 dapat dilihat skema kaskade idiotipe
(Hiernaux 1988). Epitop dari suatu antigen asing menginduksi respon imun yang
ditandai dengan terbentuknya antibodi Ab1. Selanjutnya, Ab 1 menginduksi
terbentuknya Ab 2 yang mengandung tiga subset, yaitu subset Ab 2a , Ab2ß dan
Ab2?. Setiap subset dari Ab 2 akan menginduksi anti-anti-idiotipe Ab 3 yang sangat
kompleks dan beragam.

Gambar 2. Skema kaskade idiotipe (Hiernaux 1988).

Suatu molekul antibodi internal image yang tepat dapat menginduksi
respon imun yang sama dengan yang ditimbulkan oleh antigen eksternal, sehingga
Ab2 merupakan alternatif yang baik untuk vaksin. Antidodi anti-id iotipe yang
dihasilkan dari antibodi spesifik terhadap suatu antigen dapat menginduksi respon
imun selular (cell-mediated immune response) dan humoral (Kennedy et al.
1987). Respon imun selular ditandai dengan adanya proliferasi limfosit T yang
dapat mengenali antigen yang berada pada permukaan molekul major
histocompatibility complex (MHC) (Guancheng et al. 2001).
Suatu subpopulasi limfosit T disebut sel T helper akan mengenali dan
mengikat suatu gabungan antigen dengan molekul MHC kelas II pada permukaan
makrofag dan menghasilkan berbagai faktor yang larut dalam cairan tubuh yang
disebut sitokin, misalnya ?-interferon dan faktor pengaktif makrofag lainnya yang

11

mengaktifkan mekanisme mikrosidal dari makrofag. Di pihak lain, kelompok sel
T sitotoksik hanya mengenali antigen dalam keadaan bergabung dengan molekul
MHC kelas I. Melalui pengenalan terhadap antigen permukaan ini, sel-sel T
sitotoksik menyerang dan membunuh sasarannya. Sel T sitotoksik juga
melepaskan ?-interferon yang membantu memperkecil penyebaran virus ke sel-sel
lainnya yang berdekatan (Roitt et al. 1993).

Antibodi Anti-idiotipe sebagai Vaksin
Antibodi anti-idiotipe (Ab2 ) mampu meniru struktur antigenik yang
potensial dan memiliki internal image id iotop yang berbeda-beda (Zhou et al.
1991), sehingga dapat digunakan sebagai antigen pengganti dalam pemeriksaan
serologis dan mendeteksi antibodi dari spesies hewan berbeda. Jika Ab 2
digunakan sebagai imunogen, akan mengakibatkan peningkatan respon antibodi
spesifik (Ab 3). Idiotipe Ab 1 identik dengan Ab 3 (Clark et al. 1996). Kekhasan
reaksi idiotipe-anti-idiotipe ini digunakan sebagai dasar untuk menghasilkan
reagen anti-imunoglobulin spesifik (Harlow dan Lane 1988).
Respon Ab 2 yang hanya bereaksi terhadap epitop tunggal agen infeksius
mampu memberikan perlindungan protektif terhadap antigen yang memiliki
beragam epitop dan dapat mencegah timbulnya autoimun yang akan merusak
jaringan inang dan komponen tubuh yang lain apabila digunakan agen penyakit
yang memiliki determinan antigenik yang mirip dengan jaringan inang (Kennedy
dan Attanasio 1990).
Antibodi anti-idiotipe memiliki karakteristik serologis internal image
(Perosa dan Dammaco 1994), sangat potensial digunakan sebagai imunogen
(Fields et al. 2002) dan antigen dalam serodiagnostik, preparasi vaksin (Thanavala
et al. 1985 ; Greenspan dan Bona; 1993; Qian et al. 1997), modulasi respon imun
(Zhou et al. 1994; Mittelman et al. 1995), imunoterapi (Luo et al. 2000) termasuk
terapi penyakit autoimun (Ric o dan Hall 1988). Selain itu, Ab 2 juga dapat
digunakan sebagai antigen pengganti pada imunisasi dengan antigen yang sulit
didapat dalam jumlah banyak (Roitt 2003). Menurut Suartha (1999), Ab2 mampu
memberikan perlindungan 88,8% terhadap serangan bakteri Streptococcus Group

12

C (SGC) ganas dan dapat digunakan sebagai prekursor awal sistem imun inang
terhadap agen infeksius. Pemberian Ab 2 pada simpanse sebelum pemberian
antigen HBs mampu meningkatkan titer antibodi terhadap HBs dibandingkan
dengan tanpa pemberian Ab 2 (Kennedy et al. 1984).
Perkembangan anti-id iotipe yang mampu meniru antigen asli sebagai
vaksin memiliki keuntungan : (1) vaksin anti-idiotipe dapat meningkatkan respon
kebal dari vaksin konvensional yang semula tidak efektif atau lemah (Huang et al.
1988); (2) anti-idiotipe dapat diproduksi dengan mudah dalam jumlah yang
banyak; (3) kesulitan yang berhubungan dengan tenaga, biaya dalam penyediaan
antigen dari agen penyakit dapat dieliminasi; (4) bahaya penyebaran agen
infeksius dalam pelaksanaan di lapangan dapat dihindari (Lin dan Zhou 1995); (5)
vaksin idiotop merangsang klon imun yang toleran dan tersembunyi (McNamara
et al. 1984); (6) dapat digunakan pada pasien immunocompromise yang tidak
memberikan respon terhadap vaksin hidup; (7) vaksin anti-idiotipe mampu
memberikan kekebalan protektif pada sistem imun prematur (Huang et al. 1988);
(8)

protektif

menghambat

penyebaran

secara

vertikal

infeksi

suatu

mikroorganisme (Kennedy et al. 1996); (9) mengurangi efek klinis yang
merugikan dari penggunaan vaksin konvensional (Clark et al. 1996).

Produksi Antibodi Anti -idiotipe pada Ayam
Secara umum sistem imun pada ayam menyerupai sistem imun pada
mamalia. Imunoglobulin pada ayam diberi nama imunoglobulin Y (IgY),
merupakan salah satu kelas antibodi dalam serum dan kuning telur kelompok
amfibi, reptil dan aves. Kemiripan struktur antara IgY dan IgG mamalia
menyebabkan IgY disetarakan dengan IgG (Narat 2003).
Perbedaan utama antara IgG dan IgY terletak pada jumlah regio konstan
(C) rantai berat. Imunoglobulin G mempunyai tiga regio konstan, yaitu C?1 –
C?3, sedangkan IgY mempunyai empat regio konstan, yaitu Cv1 – Cv4. Pada IgY
terdapat penambahan satu regio tambahan, yaitu antara Cv1-Cv2 dan Cv2-Cv3
yang mengandung residu proline dan glysine (Gambar 3). Regio tambahan ini
menyebabkan fleksibilitas IgY terbatas (Narat 2003).

13

regio
hinge

Gambar 3. Perbedaan struktur IgY dan IgG (Anonim 2002).

Pemilihan ayam untuk produksi Ab 2 memiliki beberapa kelebihan, di
antaranya adalah karena antibodi ayam (IgY) mempunyai afinitas dan aviditas
yang lebih tinggi terhadap protein mamalia; tidak berikatan dengan faktor
rheumatoid dan reseptor Fc mamalia; tidak mengaktifkan sistem komplemen
mamalia dan tidak berikatan dengan protein A dan G dari Staphylococcus aureus
(Anonim 2004). Hal ini disebabkan karena perbedaan secara struktural pada
daerah Fc antara IgY dan IgG, karena fungsi biologi imunoglobulin diaktivasi
oleh regio Fc.
Sistem imun ayam sangat responsif terhadap protein asing atau
mikroorganisme yang memaparnya, baik sebagai akibat vaksinasi ataupun infeksi
alam. Carlander (2002) menyatakan, ayam memiliki sensitivitas tinggi terhadap
protein asing, sehingga dengan jumlah sedikit dapat memberikan respon
pembentukan antibodi. Keberadaan kelenjar Hadrian di daerah nasotrakheal dan
Bursa Fabricius memungkinkan unggas sangat responsive terhadap berbagai
protein asing (Coleman 2000). Secara filogenik, antara ayam dan mamalia
mempunyai jarak yang jauh menyebabkan aviditas antibodi ayam lebih tinggi
terhadap protein mamalia dibandingkan aviditas antibodi mamalia terhadap
protein mamalia. Antibodi ayam dapat mengenali lebih banyak epitop antigenik
pada antigen mamalia. Produksi Ab2 pada ayam juga sangat menguntungkan
karena respon imun unggas (ayam) terbukti persisten. Antigen mamalia yang

14

disuntikkan pada ayam mampu menginduksi titer IgY yang tinggi dan bertahan
lama pada telur (Gassmann et al. 1990).
Selain itu, IgY dapat diperoleh dari telur tanpa harus menyakiti hewan dan
jumlah antibodi yang dihasilkan lebih banyak. Ayam biasanya bertelur 5 sampai 6
butir per minggu dan sebutir kuning telur yang mempunyai volume 15 ml rata-rata
mengandung 50 – 100 mg IgY, dimana 2% sampai 10% adalah antibodi spesifik
(Schade et al. 1996).

Keunggulan lainnya, karena pemeliharaan ayam lebih

mudah dan murah.

Virus Rabies
Rabies atau penyakit anjing gila dikenal juga dengan nama Lyssa
(Inggris), Rage ( Perancis ), Tolwut ( Jerman ) dan Hydrophobia, adalah infeksi
viral akut pada susunan

saraf yang ditandai dengan kelumpuhan yang progresif

dan berakhir dengan kematian. Penyakit ini menyerang hewan berdarah panas dan
manusia. Secara umum, anjing merupakan penular terpenting kasus rabies pada
manusia yang biasanya terjadi melalui gigitan hewan terinfeksi rabies (WHO
2002).
Penyebab penyakit ini adalah virus keluarga Rhabdoviridae, berbentuk
peluru, berukuran 180 X 75 nm. Struktur virus tersusun dari inti riboprotein
(RNA), lemak dan karbohidrat. Genom RNA mengandung 5 jenis protein, yaitu
nucleoprotein (N), phosphoprotein (P), matrix protein (M), glycoprotein (G) dan
polymerase (L). Virus rabies stabil pada pH 3 – 11 dan dapat hidup beberapa
tahun pada suhu –70 0C atau dalam keadaan beku kering yang disimpan pada suhu
–4 0C (Baer 1991). Pada jaringan yang disimpan dalam gliserin, virus tahan
beberapa minggu pada suhu kamar dan berbulan -bulan pada suhu 4 0C dan dapat
diinaktifkan dengan cepat melalui pengawetan dengan cara dikeringkan,
pemberian sinar ultra violet dan sinar X, sinar matahari, tripsin, b-propriolakton,
ether dan detergen (Wunner 1991).
Semua hewan berdarah panas, termasuk manusia rentan terhadap rabies.
Di Indonesia, hewan yang pernah dilaporkan terserang rabies selain anjing, kucing
dan kera adalah hewan peliharaan kerbau, sapi, kambing, kuda, leopard, meong

15

congkok dan musang. Tetapi yang paling potensial menyebarkan rabies adalah
anjing (90%), kucing (6%) dan kera (3%) (Ghosh 1998).

Patogenesis dan Imunitas Rabies
Masa inkubasi rabies pada anjing dan kucing berkisar antara 3 sampai 8
minggu dengan variasi 10 hari sampai 6 bulan . Sedangkan pada ternak seperti
sapi, kuda, babi, domba dan kambing, masa inkubasinya berkisar antara 1 sampai
3 bulan dan pada manusia 9 hari sampai beberapa tahun. Masa inkubasi pada
manusia berkisar antara 10 hari sampai 3 tahun, dengan rata-rata 1 sampai 3
bulan. Masa inkubasi ini tergantung kepada : 1) jumlah virus yang masuk melalui
luka, dapat dilihat dari parah atau tidak serta banyaknya luka; 2) letak luka
gigitan, semakin dekat ke otak, semakin pendek masa inkubasinya; 3) persarafan
luka gigitan, misalnya gigitan di jari atau genital biasanya diikuti masa inkubasi
yang pendek, dan 4) virulensi dari virus rabies (Baer 1991).
Penularan virus rabies biasanya terjadi dari air ludah hewan tertular ke
hewan lain. Beberapa cara penularan yang dilaporkan, meliputi kontaminasi
membran mukosa seperti mata, hidung dan mulut, melalui udara (aerosol) dan
cangkok kornea (Baer 1991). Alves et al. (2003) melaporkan, bahwa virus rabies
yang diinokulasikan per oral pada marmut dapat menyebabkan terjadinya infeksi
virus pada berbagai organ, seperti otak, paru-paru dan lambung, namun tidak
ditemukan adanya antibodi yang mampu melindungi hewan dari tantangan virus.
Infeksi virus rabies juga pernah dilaporkan menyebabkan viraemia dengan titer
virus rendah, memberikan gambaran awal proses terjadinya penyebaran virus ke
berbagai organ (Acha dan Szyfres 1986).
Bila virus bereplikasi secara lokal pada otot ditempat luka gigitan atau
pada jaringan ikat, biasanya tidak terlihat adanya gejala klinis. Tetapi, seringkali
infeksi yang terjadi disertai dengan invasi ke ujung-ujung saraf tepi kemudian
menyebar ke axon saraf menuju susunan saraf pusat (SSP) dan mengakibatkan
berbagai tingkatan encephalitis yang dapat berakibat fatal (Anonimus 1997). Pada
Gambar 4 dapat dilihat rute perjalanan dan patogenesis Rhabdovirus.
Virus menuju ke susunan saraf pusat melalui saraf tepi, khususnya melalui
saraf sensoris dan motoris di tempat infeksi, kemudian berkembang di sel-sel saraf

16

terutama di hypocampus, sel-sel Purkinye dan kelenjar ludah. Di dalam saraf
pusat, virus mengalami replikasi perpindahan progeni virus dari sel ke sel yang
lain. Penyebaran virus di dalam saraf pusat terjadi dengan cepat, diikuti dengan
penyebaran virus ke saraf tepi dan jaringan -jaringan lain, termasuk kelenjar ludah
(Baer 1991). Pada anjing, 3 sampai 5 hari sebelum terlihat gejala klinis, kelenjar
ludah sudah mengandung virus dan terus infektif selama hewan sakit.

5. Infeksi pada otak

4.Virus bereplikasi
pada ganglion tulang
belakang dan
menuju ota k

1. Infeksi virus melalui
gigitan hewan

6. Virus menyebar
dari otak melalui
saraf menuju
berbagai jaringan,
seperti mata, ginjal,
glandula salivarius.

3.Virus menginfeksi
saraf pada sistem
saraf tepi .
Penyebaran virus
terjadi secara
retrograde
2. Virus bereplikasi
pada jaringan otot di
tempat gigitan

Gambar 4. Patogenesis Rhabdovirus (Hunt 2004).

Protein G pada virus memegang peran sangat penting untuk dapat masuk
ke dalam sel inang. Protein G merupakan paku (spike) berbentuk trimerik dan
supaya dapat berikatan secara kuat dengan sel inang, spike harus memiliki daerah
hidrofobik.