Islamisasi Ilmu Pengetahuan; Basis Epistimologi Sains Modern

Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016

ISBN:978-602-361-048-8

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN; BASIS EPISTIMOLOGI SAINS MODERN
Farkhani, Elviandri2 dan Sigit Sapto Nugroho3
Dosen Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga dan Mahasiswa Program Doktor
Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
farkhani_76@yahoo.com
2
Dosen Fakultas Hukum Univesritas Muhammadiyah Riau dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
elviandri.2010@gmail.com
3
Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
sigit.nugroho26@gmail.com
1

Abstract

The Islamization of knowledge was initiated by al-Attas and al-Faruqi departing from different
prepositions. Al-Attas is departing from rampant Westernization of science which is separated from
religion and morality and also consumed and developed consciously or unconsciously by most
muslim scholars. And al-Faruqi is departing from the malaise of Muslims in general and he wanted
to raise his project of the Islamization of knowledge. This idea is to bring change in the world of
science and scientific institutions of Islam. But the changes must still be stepped towards its practical
dimension worldwide, spawned indigeneuos knowledge that comes from the Islamic roots and
thought, and the result is a product and product identity that the world knew it as a worldly
contribution of Islamic scientists in the modern era.
Abstrak
Islamisasi pengetahuan yang digagas oleh al-Attas dan al-Faruqi berangkat dari preposisi berbeda.
al-Attas berangkat dari westernisasi ilmu pengetahuan Barat yang lepas dari agama dan moralitas,
dikonsumsi dan ikut dikembangkan secara sadar atau tidak sadar oleh sebagian cendikia muslim.
Sedangkan al-Faruqi berangkat dari kondisi malaise umat Islam secara umum dan ingin
membangkitkannya lewat proyek Islamisasi pengetahuan. Gagasan ini membawa perubahan positif
di dunia keilmuan dan lembaga keilmuan Islam. Namun perubahan itu masih harus terus digali
menjadi basis epistimologi sains modern yang mendunia, melahirkan ilmu yang indigeneous berasal
dari akar dan pemikiran Islam dengan hasil akhirnya adalah produk dan identitas produk yang dunia
mengenalnya sebagai sumbangsih ilmuan Islam terhadap dunia di era modern.
Keywords: epistimologi, islamisasi, ilmu pengetahuan


PENDAHULUAN
Peradaban Barat menjadi lebih berbeda dan lebih kuat dibandingkan dengan peradaban-peradaban lain
disebabkan adanya seri perubahan revolusioner. Revolusi keilmuan, revolusi Prancis, revolusi industri,
profesionalisme ilmu, interaksi antara ilmu dan teknologi dan revolusi-revolusi abad 20 yang saling
berkesinambungan. Pada akhirnya tidak hanya mempengaruhi Barat itu sendiri, tetapi juga seluruh dunia. Jika
kita perhatikan, faktor-faktor yang paling penting dari deretan revolusi itu adalah teknologi dan ilmu (sains).
Sebelum revolusi ilmiah dan teknologi serta revolusi industri, sains (ilmu pengetahuan) merupakan subyek
yang timbul tenggelam secara bergantian dalam peradaban-peradaban yang berbeda.14
Ilmu pengetahuan (sains) kejayaannya selalu berganti. Kita mengenal kejayaan peradaban Mesir Kuno,
Babilonia, Yahudi, Funesia, Persia, India atau China. Semua itu datang jauh sebelum kejayaan Yunani Kuno
mendapatkan gilirannya. Kejayaan sebuah peradaban memiliki keterkaitan, baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan peradaban yang telah jaya pada waktu sebelumnya. Kejayaan peradaban Yunani diklaim
sebagai peradaban yang lahir dari kegeniusan bangsa Yunani sendiri, sebuah kejayaan yang tidak tersentuh
dan tercemar oleh budaya bangsa lain. Menurut pandangan Eurocentric, filsafat dan sains Yunani-yaitu
pemikiran rasional dan penyelidikan teratur terhadap alam semesta adalah ciptaan bangsa Yunani semata-mata,
Cemil Akdokan, “Asal-Usul Sains Modern dan Kontribusi Muslim” dalam Majalah Islamia Vol. I no.4/JanuariMaret 2005, hlm. 93.
14

22


Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016

ISBN:978-602-361-048-8

merupakan sumbangan terbesar bangsa Eropa kepada bangsa-bangsa yang lain yang “kurang maju” di dunia.15
Pandangan tersebut diutarakan secara sadar oleh Julian Maria, “...pandangan baru ini (peradaban Yunani, pen)
muncul di Yunani untuk pertama kali dalam sejarah, dan dari detik itu munculah sesuatu yang benar-benar
baru di dunia, yaitu sesuatu yang melahirkan filsafat.”16
Peradaban Yunani dijadikan representasi kejayaan Eropa. Pada akhirnya, mengikuti juga aras hukum alam
(sunatullah), Eropa merasakan zaman kegelapan. Kegelapan Eropa yang terjadi pada abad pertengahan itu
menjadi masa keemasan peradaban Islam. Melalui kejayaan Islam yang terpancarkan, Eropa secara perlahan
mendapatkan cahaya dan bangkit kembali dari keterpurukan akibat absolutisme penguasa-penguasa Eropa dan
perselingkuhannya dengan gereja.
Eropa dan Barat menjadi yang terdepan kembali dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Realitanya, standar keberhasilan manusia atau suatu bangsa diukur dari seberapa hebat penguasaannya
terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat empiris, kasat mata, terukur, rasionalis dan bahkan
individualis.
AC. Zubair sampai mengatakan bahwa manusia didesain seolah-olah tidak mungkin melepaskan diri dan

hidup tanpa teknologi. Bahkan dalam banyak hal teknologi seolah-olah sudah “mencampuri” urusan yang
dimasa lalu dianggap sebagai hak Allah dalam penciptaan. Ilmu pengetahuan (eksakta) dan teknologi berfungsi
selaku “sang penebus dan sang pembebas”. Ia menebus dan membebaskan manusia dari kebodohan,
keterbelakangan dan kemiskinan, walaupun pada kenyataannya yang terjadi adalah kebalikannya, jarak antara
si kaya dan si miskin, kaum terpelajar dan kaum awam semakin tajam.
Ilmu pengetahuan yang dikembangkan Barat bercorak materialisme dan sekularisme tersebar keseluruh
belahan dunia, dikonsumsi dan dikembangkan oleh kaum terpelajar, termasuk sarjana muslim. Islam sebagai
sebuah peradaban yang pernah berjaya dan turut memberikan fondasi dan formulasi pengembangan ilmu
pengetahuan, dipandang oleh sebagian para sarjananya (ilmuan) harus kembali memberikan warnanya pada
semua bidang ilmu pengetahuan yang bersifat sangat sekularistik. Islam sebagai agama yang good any values
harus memberikan corak pada ilmu pengetahuan yang kehilangan ruhnya. Maka kemudian muncul kesadaran
dari sebagian cendikiawan muslim untuk memberikan nilai Islam dalam semua ilmu pengetahuan yang
dikembangkan manusia dengan gagasan dan gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan.
Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan pertama kali dikenalkan dan disebarluaskan di dunia Islam pada
awal tahun 1970-an oleh Syed Naquib al-Attas, pada Konferensi Dunia Pendidikan Islam yang pertama di
Mekkah pada tahun 1977, konsep tersebut antusias didiskusikan
oleh para cendikiawan dan
mengaktualisasikannya pada berbagai cabang ilmu pengetahuan.17 Kemudian diperkokoh oleh seorang sarjana
muslim asal Pakistan yang bermukim di Amerika Serikat, Ismail Raji al-Faruqi. Paling tidak dua cendikiawan
itulah yang memulai dan menyebarkan ide Islamisasi ilmu pengetahuan. Untuk memahami lebih mendalam,

ada baiknya kita melihat apa yang menjadi landasan epistimologis dari wacana tersebut dan seberapa jauh
wacana itu mewarnai pengembangan ilmu pengetahuan, paling tidak di dunia pengembangan ilmu oleh
cendikiawan muslim mutakhir. Tulisan ini akan membahas, Epistimologi Islamisasi Ilmu Pengetahuan agar
menjadi pijakan epistimologi sains modern dengan hasil kelahiran ilmu pengetahuan yang indigeneous Islam
pada produk dan identitas produknya.
AKAR SEJARAH IDE ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Menurut Wan Mohd Nor, Naquib al-Attas adalah orang pertama yang memformulasikan, menjabarkan
dan mendefinisikan ide Islamisasi ilmu secara sistematis dan mendalam. Setelah Konferensi Dunia tentang
Pendidikan Muslim yang kedua di Islamabad, Pakistan pada tahun 1980, Naquib al-Attas mendirikan
International Institute of Islamic Thoughts and Civilization (ISTAC) tahun 1981 sebagai basis untuk
mewujudkan islamisasi ilmu pengetahuan.18

Adi Setia, “Melacak Ulang Asal-Usul Filsafat dan Sains Yunani Kuno” dalam Majalah Islamia vol. III. No. I,
2006, hlm. 105.
16
Julian Maria, dalam bukunya History of Philosophy, (New York: Dover Publications, 1967) hlm. 4.
17
Ahmad Bazlie Shafie, “Konsep Islamisasi Ilmu al-Attas dan al-Faruqi, Evaluasi terhadap Sebuah Analisa
Perbandingan” dalam Majalah Islamia Vol. II No. 3/Desember 2005.
18

Al-Attas mendirikan International Institute of Islamic Thoughts and Civilization (ISTAC) yang berbasis di
Malaysia dengan tujuan: pertama, untuk mengkonseptualisasi, menjelaskan dan mendefinisikan konsep-konsep penting
yang relevan dalam masalah-masalah budaya, pendidikan, keilmuan dan epistimologi yang dihadapi muslim pada zaman
sekarang ini. Kedua, Untuk memberikan jawaban Islam terhadap tantangan-tantangan intelektual dan kultural dari dunia
modern dan berbagai kelompok aliran-aliran pemikiran, agama, dan ideologi. Lihat Imron Rossidy dalam bukunya An
15

23

Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016

ISBN:978-602-361-048-8

Ismail Razi al-Faruqi pada suatu pertemuan memperkenalkan juga konsep Islamisasi ilmu.19 Berawal dari
konferensi itu pulalah orang menganggap bahwa al-Faruqi adalah pelopor Islamisasi ilmu kemudian tersebar
ke seluruh penjuru dunia muslim. al-Faruqi menyebarkan gagasannya lewat International Institute of Islamic
Thoughts (IIIT) yang berbasis di Washington DC, Amerika Serikat.20
Sebelum al-Attas mendefinisikan dan mengembangkan konsep Islamisasi ilmu, Sir Muhammad Iqbal
telah memperkenalkan problem ini pada tahun 1930-an, yakni melalui diskursus bahwa ilmu pengetahuan yang

dikembangkan oleh Barat bersifat atheis dan perlu di-Islam-kan, namun Iqbal tidak mendefinisikan lebih lanjut
tentang Islamisasi.
Jauh sebelum Iqbal, al-Attas dan al-Faruqi, filosuf muslim al-Farabi, al-Ghazali dan Quthb al-Din alSyirazi telah memperbincangkan persoalan ini pada titik yang lebih fundamental yang menjadi dasar atau
konten dari Islamisasi ilmu. Mereka bertiga memperbincangkannya dalam hierarki ilmu. Al-Farabi
menyebutnya ilmu yang berdasarkan pada wahyu (ilmu wahyu) sebagai ilmu yang tertinggi, al-Ghazali
menggunakan istilah ilmu religus, sedangkan al-Syirazi memperkenalkannya dengan istilah ilmu nonfilosofis.21
Adapun agenda Islamisasi ilmu yang sekarang tersebar dan popular dikalangan aktivis muslim dan
sejumlah ilmuan adalah Islamisasi ilmu yang disebarkan oleh al-Faruqi dan IIIT. Konsep Islamisasi ilmu dari
al-Faruqi inilah yang mengundang kritik tajam dari berbagai ilmuan termasuk dari para ilmuan yang tergabung
dalam IIIT.22
BASIS EPISTIMOLOGI ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Setelah kejayaan Islam dalam berbagai bidang berakhir ditandai dengan keruntuhan kekhilafahan Turki
Utsmani, penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh para cendikia muslim sampai
saat ini belum begitu menggembirakan walaupun sudah ada beberapa ide atau gagasan ataupun penemuan di
bidang teknologi dan ilmu pengetahuan. Kaum muslimin lebih banyak disibukkan oleh problematika umat
terutama konflik sekterian, pertikaian, perebutan kekuasaan antar faksi, dan atau kekuatan lain dari luar yang
sebenarnya tidak lebih sekedar mencari kesempatan untuk pemenuhan keinginan mereka menguasai berbagai
sumber daya yang ada di negara-negara muslim.
Kondisi umat Islam yang demikian disebut oleh al-Faruqi sebagai malaise yang mendera umat. Beliau
menjelaskan bahwa umat Islam saat ini berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Pada abad ini, tidak

ada kaum lain yang mengalami kekalahan atau kehinaan seperti yang dialami oleh kaum muslimin. Kaum
muslimin dikalahkan, dibantai, dirampas negeri dan kekayaannya, dirampas kehidupan dan harapannya, ditipu,
dijajah, diperas, dan dipaksa untuk menganut agama-agama lain. Kaum muslimin juga disekulerkan,
diweternisasikan, dideislamisasikan oleh agen-agen musuh Islam dari dalam dan luar bahkan lebih dari itu
dunia Islam difitnah dan dijelek-jelekkan dihadapan seluruh bangsa-bangsa. Melalui media raksasa dunia,
negara Eropa dan Barat, seakan berhasil membangun realitas media bahwa kaum muslimin dikatakan agresif,
destruktif, teroris, biadab, fanatik, fundamentalis, kuno dan menentang zaman. 23 Lebih lanjut al-Faruqi
mengatakan bahwa Islam dan kaum muslimin adalah sasaran empuk kebencian orang-orang non muslim, baik
yang telah maju dan terbelakang, kapitaslis ataupun Marxis, orang Barat ataupun Timur, yang beradab maupun
yang biadab.24
Eropa dan Barat terus melakukan berbagai upaya pengembangan dan penemuan ilmu pengetahuan dan
teknologi baru dengan berbagai fasilitas yang diberikan oleh negara masing-masing. Sementara itu, faktanya
produk ilmu pengetahuan yang ditemukan, dikembangkan dan diaplikasikan dalam kehidupan manusia banyak
menimbulkan kekacauan karena minim nilai humanisme, nihil nilai ilahiyah dan full nilai ekonomiAnalysis of al-Attas’ and al-Faruqy Conseptions of Islamization of Knowladge: Implication for Muslim Education,
(Kualalumpur: Internazional Islamic University, 1998).
19
Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya Islam and Scularism, (Kualalumpur: ISTAC, 1993).
20
IIIT mendefinisikan dirinya sebagai sebuah “yayasan intelektual dan kultural” yang tujuannya mencakup:
pertama, menyediakan wawasan Islam yang koprehensif melalui penjelasan prisnsi-prinsip Islam dan

menghubungkannya dengan isu-isu yang relevan dari pemikiran kontemporer. Kedua, Meraih kembali identitas
intelektual, kultural dan peradaban umat, lewat Islamisasi humanitas dan ilmu-ilmu sosial.
21
Lihat Osman Bakar dalam bukunya Hierarki Ilmu membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut al-Farabi,
al-Ghazali, Quthb al-Din al-Syirazi, (Bandung: Mizan, 1997).
22
Ahmad Bazli Syafie, op.cit.
23
Ismail Razi al-Faruqi dalam bukunya Islamisasi Pengetahuan terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1984),
hlm. 1.
24
Ibid, hal 2..

24

Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016

ISBN:978-602-361-048-8


kapitalisme. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan lebih banyak didiorong untuk kepentingan industrialisasi.
Walau juga harus diakui bahwa pengembangan ilmu dari Barat juga ada yang memberikan sumbangsih positif
bagi kehidupan manusia.
Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa kebingungan dan skeptisisme. Barat telah
mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi.
Peradaban Barat juga memandang keragu-raguan sebagai suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan
istimewa untuk mengejar kebenaran. Tidak hanya itu, pengetahuan Barat juga telah membawa kekacauan pada
dinamisasi kehidupan alam yaitu hewan, nabati dan mineral.25
Wan Mohd Noor menyatakan bahwa sifat ilmu yang dikembangkan oleh Barat merupakan sumber krisis
peradaban manusia modern saat ini, krisis dalam keilmuan dan pemikiran. Krisis dalam keilmuan dan
pemikiran ini berakar dari krisis epistimologi. Hal ini terjadi karena konsep ilmu yang dikembangkan Barat
meniadakan wahyu sebagai sumber ilmu, dan memisahkan ilmu dari agama. Lebih lanjut beliau mengatakan
bahwa implikasi dari sifat ilmu Barat yang dikembangkan di dunia modern saat ini menyebabkan krisis
kemanusiaan yang memilukan, yaitu rusaknya akhlak manusia dan hilangnya adab dari kehidupan manusia
yang pada akhirnya meruntuhkan peradaban manusia itu sendiri. Diantara fenomena yang menunjukkan hal
ini adalah munculnya fenomena yang disebut “bangsa-bangsa yang gagal”.26
Sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang sangat berharga pada peradaban Barat dalam bidang
pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa sumber asalnya juga
berasal dari Barat sendiri, yakni dari para filosuf Yunani. Namun berkat kegigihan usaha para sarjana dan
cendekiawan muslim di masa klasik, warisan Yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan. Bahkan,

pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat manusia, setelah dilakukan usahausaha secara ilmiah melalui penelitian dan percobaan. Barat mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut
dari dunia Islam. Pengetahuan dan semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas
kembali untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam suatu dualisme
menurut pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai kebudayaan serta peradaban Barat. Menurut al-Attas,
dualisme tidak mungkin diselaraskan karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan, keyakinan, filsafat,
agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan27.
Singkatnya, ilmu pengetahuan yang dikembangkan Barat saat ini sangat sekular dan liberal, dan dua nilai
tersebut sangat hegemonik dalam berbagai ilmu pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan manusia.
Lihatlah pada konsep-konsep besar dan mendasar dalam kehidupan manusia, seperti demokrasi (politik), hak
asasi manusia dan hukum. Bidang pertama yang mendapat serangan dari sekularisasi adalah bidang politik,
karena memang tujuan utama dari sekularisasi adalah memisahkan agama dan gereja dari ilmu pengetahuan.
Walaupun kita dapat memahami bahwa awal atau latar belakang dari gerakan ini adalah kerena begitu kuatnya
dominasi lembaga-lembaga keagamaan dan para pemangkunya terhadap para cendikia di Barat saat itu. Oleh
karenanya kita begitu mudah mendapatkan kasus tidak adanya fatsun (etika, akhlak dan moral) dalam politik
dan berpolitik sekarang ini. Begitu pula dengan hukum, hukum yang berkembang saat ini sangat positifistik,
memisahkan hukum dari norma moral dan agama.
Kondisi inilah kiranya yang mendorong Zainudin Sardar mengemukakan tesis bahwa ilmu tidak bebas
nilai, Sir Mohammad Iqbal mendorong untuk “meng-Islam-kan” ilmu pengetahuan yang berkembang.
Selanjutnya Naquib al-Attas dengan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan dan dipopulerkan oleh Ismail Razi
al-Faruqi.
Islamisasi ilmu yang digagas oleh al-Attas dan al-Faruqi mendapatkan sambutan dari sebagian besar
cendikia muslim, namun ada pula yang memandang tidak perlu ada upaya tersebut. Wacana yang sempat
mencuat tersebut, dalam dasa warsa ini mulai meredup. Namun demikian, tidak ada kata putus asa untuk
menggelorakan kembali ruh islamisasi ilmu pengetahuan untuk merebut kembali masa keemasan kaum
muslimin yang pernah berjaya selama tujuh abad.
Posisi gerakan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai sebuah “kontra-hegemoni” sekaligus “ideologi
perlawanan” terhadap upaya dominasi peradaban Barat yang mencengkeram baik lewat kolonialisme, neokolonialisme maupun “invasi pemikiran”, jelas sangat penting.
Lebih tegas, ia adalah sesuatu yang sah secara intelektual maupun politis. Bahkan merupakan hak dunia
Islam, yang sayangnya, memang sebagian besar berada di dunia ketiga sebagaimana entitas kebudayaan dan
peradaban lainnya-untuk mempertahankan identitas maupun jatidiri kebudayaan dan peradabannya dengan
25

Al-Attas, op.cit.
http://mthalhah.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 9 Mei 2016.
27
Al-Attas, op.cit.
26

25

Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016

ISBN:978-602-361-048-8

merujuk pada akar tradisinya sendiri. Sebagai pijakan awal untuk menggelorakan maksud tersebut, maka
memahami epistimologi terhadap Islamisasi ilmu perlu dipahamkan kembali dan dikembangkan serta
disebarluaskan.
Epistemologi merupakan cabang ilmu filsafat yang mengkaji tentang sumber-sumber ilmu pengetahuan
dan bagaimana manusia memperolehnya. Dalam dunia sains atau cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya,
posisi epistemologi sangat fundamental. Sebab, teori-teori pengetahuan dibangun asasnya di atas epistemologi.
Sehingga, problematika ilmu pengetahuan dapat ditelusuri dari epistemologinya. Dalam Islam, epistimologi
diasaskan pada pandangan alam Islam (Islamic worldview).28
Amin Abdullah secara singkat menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan epistimologi adalah teori
tentang pengetahuan, dimana teori itu terkait; pertama, kerja akal keras akal dalam upaya memperolah
pengetahuan; kedua, kekuatan akal untuk menembus struktur fundamental dari realitas, dan ketiga, ketepatan
dalam merumusakan ide dan konsep fundamental dari realitas tersebut.29
Dalam kajian ini terdapat dua tokoh cendikiawan muslim yang diyakini dan memiliki misi Islamisasi ilmu
pengetahuan; Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Razi al-Faruqi, oleh karenanya mengungkap basis
epistimologi yang dipergunakan oleh dua cendikia tersebut menjadi keharusan.
Naquib al-Attas, dalam preposisi tentang ilmu pengetahuan yang berkembang adalah adanya westernisasi
ilmu yang bersumber pada akal dan panca indera belaka yang melahirkan berbagai macam faham pemikiran
seperti rasionalisme, empirisme, matrealisme, skeptisisme, relatifisme, ateisme, agnotisme, humanisme,
sekularisme, eskistensialisme, sosialisme, kapitalisme dan liberalisme. Westernisasi ilmu itulah yang
menceraikan hubungan antara alam dengan Tuhan dan melenyapkan wahyu sebagai sumber ilmu.30
Sebagai langkah awal untuk membangun Islamisasi ilmu, al-Attas terlebih dahulu mendefiniskan ilmu
pengetahuan. Baginya pendefinisian ilmu adalah bagian penting dalam persoalan ini, karena ini juga
merupakan salah satu problem umat Islam, yakni ketidakmampuan mendefinisikan sebuah konsep dengan
benar. Menurutnya, ilmu adalah sebuah makna yang datang ke dalam jiwa bersamaan dengan datangnya jiwa
kepada makna dan menghasilkan hasrat serta kehendak diri. Hadirnya makna ke dalam jiwa berarti Tuhan
sebagai sumber pengetahuan, sedangkan hadirnya jiwa kepada makna menunjukkan bahwa jiwa sebagai
penafsirnya. 31 Dari definisi tersebut unsur yang terpenting dalam ilmu adalah jiwa, makna sifat-sifat dan
kegunaan ilmu.
Al-Attas menjadikan jiwa sebagai unsur terpenting dan ia sebagai entitas spiritual yang aktif untuk
mempersiapkan diri dalam menerima makna. Menurut al-Attas, jiwa memiliki dua aspek dalam hubungan
penerima dan pemberi efek. Pada saat menerima efek, dia berhubungan dengan apa yang lebih tinggi dari
“derajat” dirinya. Jiwa akan berperan sebagai pemberi efek pada saat ia berhubungan dengan sesuatu yang
lebih rendah sehingga timbul prinsip etis sebagai petunjuk bagi tubuh untuk menentukan mana yang baik dan
buruk. Sedangkan pada saat jiwa berhubungan dengan realitas yang lebih tinggi maka pada saat itulah ia akan
menerima ‘pengetahuan’.32
Makna harus melibatkan pengakuan terhadap tempat segala sesuatu di dalam sistem sehingga ilmu
pengetahuan sejati terdiri atas pengakuan terhadap ‘tempat yang tepat’ bagi Allah swt dalam urutan “being”
dan eksistensi. Al-Attas menegaskan bahwa “tempat” merujuk kepada letaknya yang wajar dalam sistem, yaitu
sistem pemikiran dalam al-Qur’an yang diuraikan secara sistematis melalui tradisi para nabi dan dituturkan
oleh agama sebagai suatu pandangan alam (worldview) sehingga menghantarkan kepada pengenalan terhadap
Tuhan Semesta Alam.
Sifat dan kegunaan ilmu pengetahuan menurut al-Attas diantaranya; ilmu pengetahuan yang sejati
mungkin untuk dicapai manusia karena ciri atau sifat ilmu pengetahuan dalam Islam memiliki ketegasan
langsung pada manusia dan tidak bisa menunda keputusan terhadap kebenaran pengetahuan tersebut di masa
mendatang. Ilmu yang benar dapat meyakinkan dan memahamkan secara nyata dan merupakan sifat yang
akan menghapuskan kejahilan, keraguan dan dugaan. Ilmu Pengetahuan sejati merupakan pengetahuan yang
mengenali batas kebenaran dalam setiap obyeknya melalui kebijaksanaan. Kebijaksanaan tersebut pada
gilirannya akan menghantarkan manusia menjadi seseorang yang beradab. Ilmu pengetahuan tersebut
Kholili Hasib “Prinsip Epistemologi Sebagai Asas Islamisasi Ilmu Pengetahuan”, dalam Inpasonline.com,
diakses pada tanggal 10 Mei 2016.
29
M. Amin Abdullah dalam bukunya Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 117.
30
Kholili Hasib, op.cit.
31
Bahrul Ulum, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Syed M. Naquib al-Attas” dalam Inpasonline.com,
diakses pada tanggal 10 Mei 2016.
32
Bahrul Ulum, ibid.
28

26

Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016

ISBN:978-602-361-048-8

diperoleh manusia melalui hidayah Allah swt dan bukan diawali oleh keraguan sebagaimana epistemologi
Barat. Ilmu pengetahuan menurut al-Attas bersifat tidak netral atau tidak bebas nilai karena ia dipengaruhi oleh
nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia sebagai subyek ilmu.33
Al-Attas menegaskan bahwa ilmu yang dimaksudnya tidak bersifat netral sehingga ilmu tidak bebas nilai
tetapi sarat nilai. Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk
masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan
adalah pengetahuan yang dilandasi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat. Pengetahuan yang
disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati (the
real) sehingga manusia yang mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang
sejati. Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk dikonsumsi sebelum
diseleksi terlebih dahulu.34
Pandangan kebenaran dan realitas dari ilmu Barat tidak didasarkan pada pemahaman atau pengetahuan
terhadap wahyu dan keyakinan, melainkan an sich berdasar atas budaya dengan dukungan premis-premis
(minor dan mayor) filsafat yang spekulatif atau hasil kontemplasi terhadap kehidupan duniawi yang
antroposentris yang mengagungkan rasionalisme. Kontemplasi filsafat tidak akan menghasilkan keyakinan,
keraguan yang justru muncul dipenghujung kerjanya. Berbeda bila mendasarkan pada wahyu yang nilai
kebenarannya tidak dapat diragukan dan diyakini sebagai kebenaran yang tidak ada keraguan didalamnya.35
Intinya, menurut al-Attas, ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat gersang spiritualitas-religiusitas,
kering dari nilai etik dan moralitas. Berdasar pada worldview pada Islam, beliau merumuskan Islamisasi ilmu
yang pada awal konsepnya adalah Islamisasi pada seluruh bidang yang berasal dari Barat, baik dari budaya
maupun peradabannya yang penuh dengan tradisi magis, mitologi, animisme, dan sekularisme.
Paradigma al-Attas di atas, dapat dipahami bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan menurutnya adalah
mengungkap landasan pijak (filosofis), kandungan nilai yang terdapat dalam ilmu pengetahuan kemudian
membebaskannya dari makna-makna dan penafsiran-penafsiran ideologi sekuler selanjutnya memberikan cara
pandang (worldview) Islam pada ilmu sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para ilmuan Islam pada masa
kejayaannya. Islamisasi bukan proses evolusi penanaman nilai-nilai Islam tetapi sebagai sebuah upaya
pengembalian ilmu pada fitrah semula (original nature).
Untuk memperteguh basis epistimologis Islamisasi ilmu yang digagasnya, al-Attas memantapkan
konsepnya dengan memberikan rambu-rambu agar Islamisasi ilmu yang digagasnya menuju tujuan yang
diharapkan. Langkah yang pertama dan utama dari proyek ini adalah penggunaan istilah (bahasa) Arab (Islam)
dalam berbagai cabang ilmu. Karena menurut penggunaan istilah-istilah Islam akan dapat mempersatukan
bangsa-bangsa muslim, bukan semata-mata karena kesamaan ideologi akan tetapi karena memang istilahistilah dalam Islam tidak dapat diterjemahkan secara tepat dalam bahasa apapun secara memuaskan. 36
Penerjemahan kepada bahasa lain biasanya sekedar simplikasi mendekatkan pada makna tetapi belum
menyentuh pada kandungan makna sesungguhnya yang sarat dengan nilai-nilai ruhiyah-nubuwah atau ruhiyah
ilahiyah.
Langkah-langkah dalam proses Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Attas sebagai berikut;
a. Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat.
Unsur-unsur tersebut terdiri dari;
1) Dominasi akal untuk membimbing kehidupan manusia.
2) Sikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran (The concept of dualism which involved of reality
and truth).
3) Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler (secular worldview).
4) Membela doktrin humanisme (the doctrine of humanism).
5) Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi
kemanusiaan.37
Setelah isolasi, kemudian dihilangkan dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern, teruma dari ilmuilmu humaniora dan selanjutnya ilmu-ilmu lain. Isolasi yang dimaksud mencakup metode, konsep, praduga
33

Ibid.
Abdullah Ahmad Na’im, dkk. dalam bukunya Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003),
hlm. 338.
35
Al-Attas, op.cit.
36
Al-Na’im dkk, op.cit.
37
Lihat dalam http://Inpasonline.com, diakses pada tanggal 10 Mei 2016
34

27

Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016

ISBN:978-602-361-048-8

dan simbol dilanjutkan pada aspek-aspek empiris dam rasional yang berdampak pada nilai dan etika, penafsiran
historisitas, bangunan teori ilmunya, rasionalitas proses-proses ilmiah, teori yang berhubungan dengan alam
smesta, klasifakasi, batasan dan keterkaitannya dengan ilmu lain dan hubungannya dengan kehidupan sosial
harus diperiksa dengan teliti.38
b. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu
pengetahuan saat ini yang relevan. Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam
mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Konsep utama Islam tersebut yaitu;
konsep agama (ad-din), konsep manusia (al-insan), konsep pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah),
konsep kearifan (al-hikmah), konsep keadilan (al-‘adl), konsep perbuatan yang benar (al-‘amal) dan
konsep universitas (kulliyyah jami’ah).39
Rosnani Hashim menyimpulkan bahwa tujuan Islamisasi ilmu dalam pandangan al-Attas adalah
untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar dan menyesatkan serta menimbulkan
kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu hakiki yang dapat membangunkan
pemikiran dan pribadi muslim dalam rangka menambah keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu
akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman. Adapun yang menjadi obyek
Islamisasi bukan obyek yang berada diluar pikiran yang terdapat dalam jiwa atau pikiran seseorang.
Pendekatannya adalah pendekatan dalam Islam yang berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar
Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu (revelation tradition), akal (reason),
pengalaman (experience) dan intuisi (intuition).40
Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme
dan empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber kebenaran tentang sesuatu yang tidak
dapat dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi meskipun dalam aspek rasionalitas dan
metodologi pencarian kebenaran dalam Islam memiliki beberapa kesamaan dengan pandangan filsafat
Yunani, namun secara mendasar dibedakan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview).41
Adapun Islamisasi ilmu yang diinisiasi oleh Ismail Razi al-Faruqi memiliki acuan basis
epistimologi yang agak berbeda dengan al-Attas dalam penggunaan istilah dan konseptualisasinya.
Islamisasi ilmu yang ditawarkan al-Faruqi langsung menukik pada ide tanpa didahului dengan ide
yang lebih makro. Sementara al-Attas, mengawalinya dengan Islamisasi secara umum bagi kehidupan
umat Islam yang kemudian mengerucut pada Islamisasi ilmu.
Langkah yang dilakukan al-Faruqi dapat dipahami, karena ide yang diusungnya setelah al-Attas
menawarkannya terlebih dahulu pada awal tahun 70-an, dan mulai diperbincangankan dalan medio
thaun 70-an. Sementara ide Islamisasi al-Faruqi mulai didengar pada awal tahun 80-an dan tersebar
lewat bukunya yang berjudul Islamization of Knowladge pada tahun 1982 dan ditopang oleh lembaga
IIIT yang didirikannya. Mungkin karena sebab inilah ide Islamisasi ilmu pengetahuan lebih dikenal di
dunia akademik sebagai ide dari al-Faruqi, dan konsep Islamisasi yang tersebar ke penjuru dunia
adalah konsep yang dibuat oleh al-Faruqi.
Berbeda dengan proposisi al-Attas, ide Islamisasi ilmunya lebih menukik pada persoalan
westernisasi ilmu, sedangkan al-Faruqi berdiri pada preposisi yang lebih umum, yakni keterpurukan,
keterbelakangan, kemunduran umat Islam global dibandingkan dengan kemajuan yang dipertontonkan
oleh Barat. Kemudian al-Faruqi merincinya dalam aspek-aspek penting kehidupan bermasyarakat;
politik, ekonomi dan religio-kultural. Ironi kondisi umat Islam yang sedemikian rupa itu disebut oleh
al-Faruqi sebagai malaise umat Islam.42
Konsep Islamisasi ilmu al-Faruqi berlandasakan pada nilai esensi dan urgensi dari ajaran Islam,
tauhid, yang memiliki makna bahwa ilmu harus dapat membimbing pemahaman kaum muslimin pada
kemurniaan tauhid dan mengandung nilai kebenaran, ilmu tidak bebas nilai.
Guna menunjang proyek Islamisasi ilmu pengetahuan, al-Faruqi memaparkan prinsi-prinsip
metodologi Islam guna mencari jalan keluar dari malaise yang sedang melanda umat Islam serta jalan
untuk melangkah pada proyek Islamisasi ilmu yang dimaksudnya, Menurutnya Islamisasi pengetahuan

38

Ibid.
Ibid.
40
Rosnani Hasim dalam artikel Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan,
dan Arah Tujuan (Jurnal Islamia THN II NO. 6, Juli-September 2005).
41
Ibid.
42
Lihat al-Faruqi, op.cit, hal. 2-11.
39

28

Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016

ISBN:978-602-361-048-8

harus mengamati sejumlah prinsip merupakan esensi Islam. Semua teori-teori, metode, prinsip dan
tujuan harus tunduk pada:
a. Keesaan Allah (tauhid)
Al-Faruqi menegaskan ciri konsep Islamisasi pengetahuannya pada ketauhidan, rujukan
utamanya kalimat tauhid yang terdapat dalam rukun Islam. Ini adalah nilai absolitisme dan
universalisme dalam segala pengetahuan dalam Islam.
Pengetahuan dalam Islam memandang setiap obyek pengetahuan sebagai penyempurnaan tujuan
kehendak Allah, atau membantu untuk tercapainya tujuan lain yang dikehendaki, sehingga hierarki
kausal dalam alam semesta dalam waktu bersamaan adalah hierarki tujuan dimana puncaknya adalah
kehendak Allah. Pengetahuan Islam mengatakan bahwa tidak ada kehidupan, tidak ada kebenaran, dan
tidak ada nilai di luar rangkaian dan kompleks dimana Allah adalah yang asal dan akhir. Nilai di luar
pertalian dengan Allah adalah non-eksisten, palsu atau tidak bebas nilai atau salah.43
Selanjutnya, bagi al-Faruqi, konsep tauhid menjadi ilham bagi prinsip-prinsip dibawahnya:
b. Kesatuan alam semesta
c. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan
Kesatuan kebenaran yang dimaksud oleh al-Faruqi yaitu; kebenaran wahyu tidak boleh
bertentangan dengan realitas. Pernyataan-pernyataan yang diajarkan wahyu adalah benar, tetapi harus
berhubungan dan sesuai dengan realitas karena Allah tidak bodoh dan tidak mungkin mendustai atau
menyesatkan makhluknya. Kebenaran yang dirumuskan oleh nalar tidak boleh ada kontradiksi dengan
wahyu, perbedaan atau beda variasi dengan wahyu. Kesatuan kebenaran sifatnya tidak terbatas dan
tidak ada akhir. Karena pola dari Allah tidak terhingga, oleh karena itu diperlukan sifat yang terbuka
terhadap segala sesuatu yang baru.44
d. Kesatuan hidup dan;
e. Kesatuan umat manusia
Pada poin ini, terlihat tujuan Islamisasi pengetahuannya adalah dapat dinikmati oleh seluruh umat
manusia, Islam atau non Islam. Itulah “Pancasakti” yang menjadi basis epsitimologi Islamisasi
pengetahuan al-Faruqi, agar idenya itu dapat dipahami oleh orang lain. Tidak berhenti disitu, al-Faruqi
juga menyusun dua belas langkah sistematis untuk mewujudkan Islamisasi pengetahuan; pertama,
penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern. Kedua, peninjauan disiplin ilmu modern. Ketiga,
penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa ontologi. Keempat, penguasaan ilmu warisan Islam yang
berupa analisis. Kelima, penentuan relevansi Islam yang spesifik untuk setiap disiplin ilmu. keenam,
penilaian kritis terhadap disiplin modern. Ketujuh, penilaian krisis terhadap khazanah Islam.
Kedelapan, survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Kesembilan, survei mengenai
problem-problem umat manusia. Kesepuluh, analisa dan sintesis kreatif. Kesebelas, merumuskan
kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Dan kedua belas,
penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan.45
Selain langkah tersebut di atas, untuk mempercepat Islamisasi ilmu pengetahuan adalah dengan
mengadakan konferensi-konferensi, seminar dan berbagai lokakarya yang melibatkan berbagai ahli di bidang
keillmunya dalam merancang pemecahan masalah antar disiplin ilmu. Para ahli yang terlibat harus diberi
kesempatan untuk berkomunikasi atau berdialog dengan akdemisi yang lainnya untuk menjajaki persoalan
metode yang diperlukan.46
Berdasarkan deskripsi tersebut dapat dipahamai bahwa, islamisasi ilmu pengetahuan menurut aI-Faruqi
berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra,
dan sains-sains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap
disiplin ilmu harus dituangkan kembali sehingga prinsip-prinsip Islam dalam metodologi, strategi, data-data
dan problem-problemnya dapat diwujudkan. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga
mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan pada tauhid.47
Karena tulisan ini bukan dalam rangka untuk memperbandingkan dua konsep Islamisasi pengetahuan dari
dua tokoh cendikiawan muslim era modern, maka penulis tidak mempermasalahkan konsep yang berbeda itu
43

Ibid, hlm. 58.
Ibid, hlm. 69-72.
45
Lihat Ibid, hlm. 99-118.
46
Ibid, hlm. 118.
47
Ibid.
44

29

Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016

ISBN:978-602-361-048-8

serta menunjukkan kelemahannya. Yang jelas wacana Islamisasi pengetahuan adalah ide brilian, namun
disayangkan tidak berlanjut dan menghasilkan produk genuin dari umat Islam yang menunjukkan bahwa
proyek Islamisasi pengetahuan itu berhasil.
Basis epistimologi Islamisasi pengetahuan dari kedua tokoh tersebut cenderung sama, yaitu; pertama,
memasukkan konsep-konsep Islam tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai luhur ajaran Islam dengan visi
dan misi yang sama; kedua, membebaskan umat Islam dari belenggu ilmu pengetahuan Barat yang gersang
spiritual dan kering dari norma akhlak, etik dan moral; ketiga, mengajak kaum muslimin bangkit dan berkarya
dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak menjauhkan umat Islam dari agamanya dan Tuhannya.
JANGAN BERHENTI DI EPISTIMOLOGI
Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan menumbuhkan gairah keilmuan dan keberagamaan dalam umat
Islam. Kesadaran dan semangat untuk bangkit mulai muncul walaupun berat dan banyak rintangan. Dalam
bidang ekonomi, mulai ada perbaikan walaupun tidak terlalu besar, muncul industri kreatif yang berlandaskan
pada budaya Islam. Lembaga pendidikan tradisonal yang mengintegrasikan sains modern bermunculan dan
berkembang pesat serta pendidikan tinggi Islam mulai berubah dan berbenah pada aras yang lebih baik dengan
mendasarkan pada epistimologi islamisasi ilmu pengetahuan.
Hemat penulis, jangan berhenti sampai disitu. Yang kita inginkan dari Islamisasi ilmu pengetahuan adalah
munculnya sains dan pengetahuan baru yang betul-betul indigeneous dari akar pemikiran Islam, ilmuan, dan
cendikiawan muslim. Berdasarkan epistimologi Islamisasi ilmu pengetahuan itu dunia akan mengetahui dan
mengakui bahwa itu merupakan kontribusi sarjana muslim dan berlandaskan pada ajaran Islam yang sangat
menjunjung tinggi ilmu.
Temuan-temuan yang ada sekarang, lahir dari para schoolar muslim yang lahir di abad modern. Teoriteorinya terinspirasi dari nilai-nilai ajaran Islam yang mulia, namun tidak dikenal sebagai temuan sarjana
muslim yang memberikan sumbangsih terhadap dunia modern. Temuan-temauan yang ada hanya dikenal
sebatas temuan pribadi sarjananya tanpa ada sangkut pautnya dengan agama dan sistem nilai yang ia tuangkan
dalam temuan itu. Teori crack progression (faktor Habibie), hanya dikenal sebagai temuan BJ. Habibie yang
orang Indonesia, penemuan Electrical Capacitance Volume Tomography (EVCT) dan Electro-Capacitive
Cancer Therapy (ECCT) oleh Warsito P Taruno, penemuan 4G di yang digunakan pada mobile phone oleh
Khoirul Anwar, hanya dikenal nama penemunya tanpa sangkut paut dengan agama dan sistem nilai agama
yang dianutnya, paling tinggi asal negaranya.
Tentunya akan lebih baik apa bila, setiap ilmuan muslim menampakkan identitas keislamannya,
memasukkan nilai Islam dalam ilmu atau temuannya sehingga ia dikenal oleh dunia sebagai ilmuan muslim
yang berkontribusi pada dunia, sebagaimana ilmuan muslim seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Maimun,
Ibnu Khaldun, al-Farabi, al-Gazali dan lain-lain. Jadi, seharusnya Islamisasi ilmu pengetuan pengetahuan
menjadi basis epistimologi sains modern yang melahirkan produk dan identitas produk serta pengakuan dunia
terhadap produk dan identitas tersebut.
SIMPULAN
Dua tokoh cendikiawan muslim modern pengusung ide Islamisasi pengetahuan memang berangkat dari
preposisi berbeda. al-Attas berangkat dari westernisasi ilmu pengetahuan Barat yang lepas dari agama dan
moralitas, dikonsumsi dan ikut pula dikembangkan secara sadar atau tidak sadar oleh sebagian cendikia
muslim. Sedangkan al-Faruqi berangkat dari kondisi malaise umat Islam secara umum dan ingin
membangkitkannya lewat proyek Islamisasi pengetahuan.
Basis epsitimologis dapat dikatakan sama, yakni memasukkan konsep-konsep Islam tentang ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai luhur ajaran Islam dengan visi dan misi yang sama; membebaskan umat Islam dari
belenggu ilmu pengetahuan Barat yang gersang spiritual dan kering dari norma akhlak, etik dan moral.
Namun, hendaknya direspon tidak sebatas wacana saja melainkan dengan melahirkan ilmu yang
indigeneous berasal dari akar dan pemikiran Islam dengan hasil akhirnya produk dan identitas produk yang
dunia mengenalnya sebagai sumbangsih ilmuan Islam terhadap dunia di era modern.

30

Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016

ISBN:978-602-361-048-8

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. 2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Akdokan, Cemil. 2005. “Asal-Usul Sains Modern dan Kontribusi Muslim” dalam Majalah Islamia Vol. I
no.4/Januari-Maret.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Scularism, Kualalumpur: ISTAC.
Al-Faruqi, Ismail Razi. 1984. Islamisasi Pengetahuan terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka.
Bakar, Osman. 1997. Hierarki Ilmu membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut al-Farabi, al-Ghazali,
Quthb al-Din al-Syirazi, Bandung: Mizan.
Hasib, Kholili. 2006. “Prinsip Epistemologi Sebagai Asas Islamisasi Ilmu Pengetahuan”, dalam
Impasonline.com, diakses pada tanggal 10 Oktober 2015.
Hasim, Rosnani. 2005. “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan
Arah Tujuan”, dalam Islamia, THN II NO.6, Juli-September.
Marias, Julian. 1967. History of Philosophy, New York: Dover Publications.
Na’im, Abdullah Ahmad dkk. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela.
Rossidy, Imron 1998. An Analysis of al-Attas’ and al-Faruqy Conseptions of Islamization of Knowladge:
Implication for Muslim Education, Kualalumpur: Internazional Islamic University.
Setia, Adi. 2006. “Melacak Ulang Asal-Usul Filsafat dan Sains Yunani Kuno” dalam Majalah Islamia, vol.
III. No. I.
Shafie, Ahmad Bazlie. 2005. “Konsep Islamisasi Ilmu al-Attas dan al-Faruqi, Evaluasi terhadap Sebuaj
Analisa Perbandingan” dalam Majalah Islamia vol. II No. 3/Desember
Ulum, Bahrul. 2016. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Syed M. Naquib al-Attas” dalam
Inpasonline.com. diakses pada tanggal 10 Mei 2016.
http://mthalhah.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 9 Mei 2016.
http://Inpasonline.com, diakses pada tanggal 10 Mei 2016.

31