Peran dan Koordinasi Lembaga Lintas Sektoral dalam Konservasi Sumber Daya Air (Studi Kasus DAS Gumbasa Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah)

(1)

(STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA

PROVINSI SULAWESI TENGAH)

MUH. ANSAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peran dan Koordinasi Lembaga Lintas Sektoral dalam Konservasi Sumber Daya Air (Studi Kasus DAS Gumbasa Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis.

Bogor, Januari 2009

Muh. Ansar NRP. A352060011


(3)

MUH. ANSAR. Role and Coordination of Cross Sectoral Institutions in Water Resource Conservation (Case Study in Gumbasa Watershed Donggala Regency Center Sulawesi Province). Under Academic Supervision of SURIA DARMA TARIGAN as chairman, and DWI PUTRO TEJO BASKORO as member of advisory committee.

Watershed management consists of multi stakeholders. Therefore, institutional aspect for regulating interaction among stakeholders is very important to be taken into consideration in watershed management. Watershed management will only be efficient if institutional aspect functioning in harmony. Objective of this research is to study role and coordination of cross sectoral government institutions in management of water resource conservation. In this research five elements of water resource conservation were analized, there are: 1) involved organizations, 2) related regulations, 3) management function performance (planning, execution, and controlling), 4) coordination aspect, and 5) priority instrument. Each of those elements was sub-divided into sub-elements according to analysis model used in this research. Two models were used in this analysis. Those are Interpretative Structural Modelling (ISM) and Analytical Hierarchy Process (AHP). Base on the analysis it is concluded that Big Agency of Lore Lindu National Park (BBTNLL), Agency of Watershed Management (BPDAS) Palu-Poso, and Forestry and Plantation Service of Donggala Regency were the most influencial organizations in planning, execution, and controlling water resources conservation. Role of those organizations in the management activities were mainly regulated in the respectives regulations. Coordination among acting organization is stell weak due so the sectoral-ego and lack of qualified human resources.


(4)

MUH. ANSAR. Peran dan Koordinasi Lembaga Lintas Sektoral dalam Konservasi Sumber Daya Air (Studi Kasus DAS Gumbasa Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah). Dibimbing oleh SURIA DARMA TARIGAN sebagai ketua, dan DWI PUTRO TEJO BASKORO sebagai anggota komisi pembimbing.

Perambahan hutan yang sangat intensif untuk dikonversi menjadi lahan pertanian oleh masyarakat di dalam Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), khususnya di DAS Gumbasa sejak tahun 1999 hingga sekarang telah menyebabkan penurunan fungsi hidrologi yang signifikan, sehingga dapat mengancam keseimbangan dinamika sumber daya air di taman nasional tersebut. Selain indikator ekologi, indikator yang penting untuk dipantau dan dievaluasi adalah kelembagaan DAS. Koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplikasi dalam kelembagaan DAS perlu dipertimbangkan sebagai kriteria-kriteria dalam pemantauan dan evaluasi DAS, karena pengelolaan DAS melibatkan multi

stakeholders. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis untuk mengetahui kondisi aktual peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam manajemen program konservasi sumber daya air dengan ruang lingkup studi kasus di DAS Gumbasa. Dalam penelitian ini ditetapkan sebanyak lima elemen yang dianalisis berkaitan dengan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, yaitu: 1) Organisasi yang berperan; 2) peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan; 3) kinerja fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan), 4) fungsi koordinasi; dan 5) instrumen prioritas. Setiap elemen dijabarkan atas sejumlah sub elemen berdasarkan model Interpretative Structural Modelling (ISM) dan model Analytical Hierarchy Process (AHP). Berdasarkan analisis kondisi aktual peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL), Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Palu-Poso, dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala adalah organisasi pemerintah yang berperan penting. Peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan kuat adalah UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, dan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kinerja fungsi koordinasi antar organisasi pemerintah lintas sektoral termasuk kategori lemah yang dipengaruhi oleh faktor sifat multisektor/multidisiplin dan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Penerapan sistem teknologi informasi dan basis data, penerapan teknologi konservasi, pengefektifan penyuluhan lapangan, peningkatan partisipasi masyarakat, dan peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani merupakan instrumen prioritas kunci yang perlu dikembangkan. Sedangkan penyebab utama ketidakberhasilan program konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa dari segi fungsi manajemen adalah lemahnya kinerja perencanaan.


(5)

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

(STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA

PROVINSI SULAWESI TENGAH)

MUH. ANSAR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(7)

Judul Tesis : Peran dan Koordinasi Lembaga Lintas Sektoral dalam Konservasi Sumber Daya Air (Studi Kasus DAS Gumbasa Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah)

Nama : Muh. Ansar NRP : A352060011

Program Studi : Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(8)

(9)

Untuk yang tercinta:

Istriku Ummi Kalsum, SP.

Putriku Nadhifa Raihanah Ansar

Ibunda St. Humrah

Ayahanda Sofyan Said

Ibunda Mertua Hj. St. Rada


(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan hasil penelitian ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan April sampai September 2008 ini adalah “Peran dan Koordinasi Lembaga Lintas Sektoral dalam Konservasi Sumber Daya Air (Studi Kasus DAS Gumbasa Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah)”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, dan Bapak Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. selaku penguji luar komisi pada ujian tesis, atas kesediaannya memberikan bimbingan pada pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih penulis juga ucapkan kepada Bapak Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. dan Bapak/Ibu Dosen pengajar pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Kepada Pimpinan Proyek BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, terima kasih atas bantuan dana pendidikan yang telah diberikan. Kepada Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. penulis mengucapkan terima kasih bantuan biaya yang telah diberikan pada pelaksanaan penelitian ini.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan ayahanda Sofyan Said, ibunda St. Humrah, ibunda mertua Hj. St. Rada, istriku tercinta Ummi Kalsum, SP, putriku tersayang Nadhifa Raihanah, serta seluruh keluarga atas kesabaran, keikhlasan, doa restu dan kasih sayangnya.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2009


(11)

Penulis dilahirkan di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Mei 1973 dari ayah Sofyan Said dan ibu St. Humrah. Penulis merupakan putra bungsu dari tiga bersaudara.

Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri I Bulukumba dan lulus ujian seleksi masuk Universitas Hasanuddin pada tahun 1993 melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), selesai tahun 1997. Penulis memilih Program Studi Ilmu Tanah, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian dan Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi Asisten Dosen pada mata kuliah Dasar-Dasar Ilmu Tanah pada tahun 1994/1997, mata kuliah Hidrologi pada tahun 1995/1997, dan mata kuliah Konservasi Tanah dan Air pada tahun 1996/2000.

Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin sejak tahun 2001. Mata kuliah yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Hidrologi, dan Konservasi Tanah dan Air.


(12)

Latar Belakang

Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu usaha untuk mengatur sumber daya alam utama, yaitu hutan (vegetasi), tanah dan air. Pengelolaan DAS diperlukan untuk meminimumkan kerusakan-kerusakan lahan yang terdapat di dalam suatu DAS. Tujuan pengelolaan DAS adalah: 1) penggunaan sumber daya lahan secara rasional untuk mencapai produksi optimum yang lestari; 2) menekan kerusakan menjadi seminimal mungkin; 3) distribusi air yang merata sepanjang tahun dan tersedianya air pada musim kemarau; serta 4) mampu mempertahankan DAS yang bersifat lentur (resilient) serta adanya peningkatan pendapatan masyarakat di dalam DAS (Sinukaban 2007a). Pengelolaan DAS yang tidak tepat akan mengakibatkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Oleh karena itu, perlu diwujudkan dalam suatu perencanaan pengelolaan DAS yang baik, sehingga tujuan tersebut menjadi lebih jelas dan mudah dilaksanakan.

Dengan diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, masalah pengelolaan sumber daya air menjadi lebih kompleks mengingat Satuan Wilayah Sungai (SWS) atau Daerah Aliran Sungai (DAS) secara teknis tidak dibatasi oleh batas-batas administratif tetapi oleh batas-batas fungsional. Oleh karena itu, masalah koordinasi antar daerah otonom yang berada dalam satu SWS atau DAS menjadi sangat penting. Di era otonomi daerah saat ini, terjadi banyak pelanggaran aturan dalam kegiatan pengelolaan DAS, sehingga kawasan lindung yang seharusnya dikonservasi menjadi rusak.

Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) merupakan daerah konservasi lingkungan di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah yang mempunyai luas 217.991 ha yang telah menarik perhatian dunia dalam kaitannya dengan fungsinya sebagai daerah resapan air, suaka keanekaragaman hayati, penyimpanan karbon dalam bentuk tegakan hutan, pendidikan lingkungan, penelitian, dan konservasi budaya masyarakat di sekitarnya, serta daerah tujuan wisata lokal dan mancanegara. Dalam peranannya mendukung kelestarian hutan, tanah, dan pemanfaatan sumber daya air bagi masyarakat di sekitarnya, TNLL telah memberikan sumbangan finansial setara dengan 89,9 milyar rupiah setiap tahun (Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam et al. 2001).

Salah satu DAS yang berada dalam kawasan TNLL adalah DAS Gumbasa yang terletak di bagian Utara kawasan TNLL, dengan kepadatan penduduk yang


(13)

tidak merata, antara 4 sampai 570 jiwa/km2, dan laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, yaitu 6,28 %/tahun (BPS 2006). Mata pencaharian utama masyarakat di DAS Gumbasa adalah sebagai petani yang menyebabkan kebutuhan lahan untuk pengembangan pertanian merupakan masalah mendasar di daerah tersebut.

DAS Gumbasa merupakan salah satu dari 22 DAS super prioritas, yang ditetapkan melalui surat keputusan bersama tiga menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum dengan Nomor 19 Tahun 1984; Nomor 059/Kpts-II/1984; dan Nomor 124/Kpts/1984, tanggal 4 April 1984, tentang Penanganan Konservasi Tanah dalam Rangka Pengamanan Daerah Aliran Sungai Prioritas. Dasar penetapan prioritas DAS tersebut adalah atas kriteria: 1) Daerah tersebut memiliki hidro-orologis kritis, ditandai oleh besarnya angka perbandingan antara debit maksimum (musim hujan) dan debit minimum (musim kemarau) serta kandungan lumpur (sediment load) yang berlebihan; 2) di daerah tersebut akan dibangun bangunan vital dengan investasi besar, berupa bendungan dan jaringan irigasinya; 3) daerah dengan tingkat kesadaran masyarakat terhadap usaha konservasi tanah dan air masih rendah; 4) daerah perladangan berpindah atau daerah dengan penggarapan tanah yang merusak tanah dan lingkungan; dan 5) daerah dengan kepadatan penduduk tinggi dan tingkat penutupan vegetasi yang rendah.

Perambahan hutan yang sangat intensif untuk dikonversi menjadi lahan pertanian oleh masyarakat di dalam Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), khususnya di DAS Gumbasa sejak tahun 1999 hingga sekarang telah menyebabkan penurunan fungsi hidrologi yang signifikan, sehingga dapat mengancam keseimbangan dinamik sumber daya air di taman nasional tersebut. Hasil penelitian Thaha (2001) dan Widjajanto et al. (2003) menunjukkan bahwa erosi tanah yang tinggi dan laju pengangkutan sedimen melayang (suspended load) pada Sungai Gumbasa bagian Hulu sekitar 14.000-20.000 ton/hari, hal ini berarti bahwa ekosistem DAS tersebut telah mengalami gangguan. Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinukaban et al. (2006) menunjukkan bahwa konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian tanaman coklat rakyat, tanaman pertanian semusim (jagung dan kacang tanah), semak belukar dan kebun vanili di DAS Nopu Hulu yang merupakan salah satu Sub DAS Gumbasa yang berada dalam wilayah TNLL telah menyebabkan terjadinya peningkatan erosi dan aliran permukaan yang sangat nyata dan menurunkan fungsi hidrologi DAS.


(14)

Permasalahan

Pada tahun 1984, Pemerintah membangun bendungan pada outlet Sungai Gumbasa dan jaringan irigasinya dalam rangka peningkatan produksi pangan, khususnya beras (Ponulele 1988), dengan sistem irigasi teknis yang dapat mengairi sawah seluas ± 12.000 ha di Lembah Palu. Pada waktu itu, debit maksimum Sungai Gumbasa yang dibendung adalah 1.250 m3/detik dan debit minimum adalah 30 m3/detik. Jaringan irigasi Gumbasa membutuhkan suplai air dari Sungai Gumbasa, debit air yang diperlukan pada saluran induk kanan adalah 19,67 m3/detik atau 620 juta m3/tahun, sedangkan pada saluran induk kiri adalah 1,02 m3/detik atau 32 juta m3/tahun. Namun, hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdullah et al. (2005) menunjukkan bahwa data debit tahunan dari Sungai Gumbasa pada tahun 2004 hanya bisa memenuhi 48 % kebutuhan jaringan irigasi Gumbasa atau setara dengan 376 juta m3/tahun atau 12 m3/detik dari kebutuhan jaringan irigasi Gumbasa sebesar 779 juta m3/tahun atau 24,7 m3/detik. Selama musim kemarau, yaitu sekitar 70-80 hari (bulan September sampai Oktober) dalam setahun, seluruh air dari Sungai Gumbasa masuk ke saluran induk irigasi Gumbasa dengan debit rata-rata 6-8 m3/detik. Suplai air tersebut jauh di bawah kebutuhan air normal untuk daerah irigasi Gumbasa, yaitu 17 m3/detik atau 536 juta m3/tahun. Sungai Gumbasa telah bergeser dari kritis dengan Qmaks/Qmin sebesar 42 pada tahun 1984 menjadi sangat kritis dengan Qmaks/Qmin antara 156-208 pada tahun 2004.

Efektivitas pengelolaan DAS hanya dapat dicapai apabila ada kerjasama lintas sektor yang harmonis. Prinsip ”One Plan Strategy” merupakan paradigma yang penting untuk dikembangkan dalam sistem pengelolaan DAS dan konservasi tanah di Indonesia. Konsep pengembangan sumber daya lahan (hutan, tanah dan air) yang didasarkan atas pertimbangan DAS sebagai satuan pemantauan dan evaluasi dalam perencanaan pengembangan sumber daya akan memudahkan bagi seseorang perencana untuk membuat prakiraan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi di masa depan dan masalah ketidakpastian dalam perencanaan pengembangan sumber daya lahan dapat ditekan sekecil mungkin. Menurut Kartodihardjo et al. (2004), selain indikator ekologi, indikator yang penting untuk dipantau dan dievaluasi adalah kelembagaan DAS. Koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplikasi dalam kelembagaan DAS perlu dipertimbangkan sebagai kriteria-kriteria dalam pemantauan dan evaluasi DAS, karena pengelolaan DAS melibatkan multi stakeholders.


(15)

Fokus dan Ruang Lingkup Penelitian

Dipandang perlu melakukan penelitian yang difokuskan pada evaluasi kondisi aktual peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam konservasi sumber daya air dengan ruang lingkup studi kasus di DAS Gumbasa yang sebagian besar wilayahnya berada dalam kawasan TNLL.

Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini akan dilakukan kajian terhadap komponen lembaga dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa yang sebagian besar wilayahnya berada dalam kawasan TNLL, yaitu: peran organisasi, landasan peraturan perundang-undangan, fungsi koordinasi, instrumen prioritas, dan kinerja fungsi manajemen. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis kelembagaan untuk mengetahui kondisi aktual peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam manajemen program konservasi sumber daya air dengan ruang lingkup studi kasus di DAS Gumbasa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam membenahi model konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa dan kawasan TNLL oleh organisasi pemerintah atau pihak-pihak lain yang terkait.

Degradasi Sumber Daya Air Di DAS Gumbasa

Konservasi Sumber Daya Air:

Perencanaan bersifat top down, Pelaksanaan tidak terkoordinasi, dan Pengawasan/kontrol yang lemah

Organisasi:

Pemerintah (Pusat dan Daerah), Non Pemerintah (LSM), Independen (Perguruan Tinggi, Pusat-Pusat Studi)

Pengelolaan Sumber Daya Air yang Tidak Optimal

Koordinasi Lintas Sektoral

Elemen yang Dikaji:

1. Organisasi yang berperan dalam konservasi sumber daya air.

2. Peraturan perundang-undangan yang melandasi konservasi sumber daya air.

3. Fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan) dalam konservasi sumber daya air. 4. Fungsi koordinasi dalam konservasi sumber daya air.

5. Instrumen prioritas dalam konservasi sumber daya air.

Kebijakan:

UU, PP, Kepmen, Permen, Perda Provinsi, Perda Kabupaten

Ketersediaan dan Akses Terhadap Data/Informasi dan Teknologi Konservasi

Sumber Daya Air

Mengetahui kondisi aktual peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam konservasi sumber daya air dengan ruang lingkup studi kasus di DAS Gumbasa


(16)

Daerah Aliran Sungai (DAS) Pengertian DAS

Suatu alur yang panjang di permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal dari hujan di sebut alur sungai dan perpaduan antara alur sungai dengan aliran yang di dalamnya disebut sungai (Sosrodarsono et al. 1985). Sungai adalah torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan penyalur air hujan secara alamiah dan material yang dibawanya dari bagian hulu ke bagian hilir suatu daerah pengaliran ke tempat yang lebih rendah dan akhirnya bermuara ke laut (Soewarno 1991).

Daerah aliran sungai (DAS) mempunyai karakter yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur-unsur utamanya, seperti: jenis tanah, topografi, geologi, geomorfologi, vegetasi dan tata guna lahan (Seyhan 1977). Karakteristik DAS dalam merespon curah hujan yang jatuh ditempat tersebut dapat memberi pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, aliran permukaan, kandungan air tanah dan aliran sungai.

Dalam mempelajari ekosistem DAS, daerah aliran sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lebih besar (15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakai air ditentukan oleh pola drainase. Sementara daerah hilir DAS dicirikan sebagai berikut: merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai sangat kecil (< 8%), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan). Daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua keadaan DAS yang berbeda tersebut di atas (Asdak 2004).

Definisi DAS menurut UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.


(17)

Menurut Sinukaban (2007b), dari segi erosi dan sedimentasi, DAS dapat dianggap sebagai suatu ekosistem, di mana perubahan yang terjadi di suatu bagian akan mempengaruhi bagian lain dalam DAS tersebut. Berbagai kegiatan dalam pengembangan DAS yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas air, yang pada gilirannya kualitas seluruh lingkungan hidup, adalah antara lain: penebangan hutan, penambahan permukiman, pembangunan pabrik, perubahan penggunaan lahan, penerapan teknik konservasi tanah dan air, perkembangan pertanian lahan kering termasuk tanaman pangan, tanaman perkebunan seperti tebu, karet, kelapa sawit, dan perubahan agroteknologi.

Definisi DAS untuk keperluan kajian institusi, yaitu: DAS dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa stock dengan ragam pemilikan (private, common, state property), dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan/atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan/atau kelompok masyarakat. Definisi DAS secara teknis yang memberikan pemahaman terhadap faktor-faktor biofisik DAS biasanya akan mengantarkan para pengambil keputusan dan/atau para peneliti untuk mencari solusi masalah-masalah DAS dari sudut pandang teknologi. Sedangkan definisi DAS dari sudut pandang institusi akan mengantarkan pengambilan keputusan menunjuk pada hak-hak terhadap sumberdaya di dalam DAS, batas yurisdiksi pihak-pihak yang berada dalam DAS maupun bentuk-bentuk aturan perwakilan yang diperlukan dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, wacana yang digunakan dalam pengambilan keputusan bukan seputar cara-cara yang digunakan (teknologi), melainkan bagaimana para pihak mempunyai kapasitas dan kemampuan untuk mewujudkan aturan main di antara mereka, termasuk kesepakatan dalam penggunaan teknologi itu sendiri, sehingga masing-masing pihak mempunyai kepastian hubungan yang sejalan dengan tujuan yang telah ditetapkan (Kartodihardjo et al. 2004)

Pengelolaan DAS

Pengelolaan DAS berarti pengelolaan sumber daya alam yang dapat pulih (renewable), seperti hutan, tanah dan air dalam sebuah DAS dengan tujuan untuk memperbaiki, memelihara dan melindungi keadaan DAS agar dapat menghasilkan hasil air (water yield), dan adanya peningkatan pendapatan masyarakat di dalam DAS. Menurut Kartodihardjo et al. (2004), pengelolaan DAS adalah pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang ada di dalam DAS secara rasional


(18)

dengan tujuan mencapai keuntungan maksimum dalam waktu yang tidak terbatas dengan risiko kerusakan lingkungan seminimal mungkin.

Mangundikoro (1985) mengemukakan bahwa untuk mencapai tujuan akhir dari pengelolaan DAS, yaitu terwujudnya kondisi yang optimal dari sumber daya hutan, tanah dan air, maka kegiatan pengelolaan meliputi empat upaya pokok, yaitu: 1) pengelolaan lahan melalui upaya konservasi tanah dalam arti yang luas; 2) pengelolaan air melalui pengembangan sumber daya air; 3) pengelolaan hutan, khususnya pengelolaan hutan yang memiliki fungsi perlindungan terhadap tanah dan air; dan 4) pembinaan kesadaran dan kemampuan manusia dalam penggunaan sumber daya alam secara bijaksana melalui usaha penerangan dan penyuluhan.

Hufschmidt (1986) dalam Asdak (2004), kerangka pemikiran pengelolaan DAS melibatkan tiga dimensi pendekatan analisis (standar). Ketiga dimensi pendekatan analisis pengelolaan DAS tersebut adalah: 1) pengelolaan DAS sebagai proses yang melibatkan langkah-langkah perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah tetapi erat berkaitan; 2) pengelolaan DAS sebagai sistem perencanaan pengelolaan dan sebagai alat implementasi program pengelolaan DAS melalui kelembagaan yang relevan dan terkait; dan 3) pengelolaan DAS sebagai serial aktivitas yang masing-masing berkaitan dan memerlukan perangkat pengelolaan yang spesifik. Kombinasi ketiga unsur utama tersebut diharapkan memberikan gambaran yang menyeluruh tentang proses dan mekanisme pengelolaan DAS.

Pengelolaan sumber daya alam DAS adalah kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Karena itu masyarakat sebagai

social capital harus diperhitungkan. Contoh keterkaitan sumber daya alam (natural capital) dan jumlah penduduk (social capital) dikemukakan oleh Helweg (1985), antara lain ketepatan mengestimasi kebutuhan air sangat bergantung pada keakuratan proyeksi jumlah penduduk. Di sinilah pentingnya pemahaman karakteristik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pada suatu DAS.

Permasalahan DAS adalah permasalahan lingkungan dan penyelesaiannya dapat ditempuh dalam dua versi. Pertama, penyelesaian permasalahan melalui solusi-solusi konkrit, misalnya masalah erosi dan sedimentasi harus diselesaikan melalui paket teknologi anti erosi dan anti sedimentasi. Kedua, pandangan yang mengarah pada solusi-solusi menyangkut tatanan sosial, ekonomi dan budaya. Artinya, penangananan masalah lingkungan DAS tidak selamanya mengarah pada aspek fisik, melainkan juga pada tatanan sosial yang dianggap mampu


(19)

menyelesaikan persoalan lewat aplikasi yang bersifat sosial, ekonomi dan budaya (William 1995).

Menurut Widjajanto (2006), faktor-faktor penting yang mempengaruhi penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian di DAS Gumbasa adalah tipe penggunaan lahan, kesesuaian lahan, pendapatan petani, kerjasama lintas sektoral dalam pengelolaan DAS, konservasi tanah dan teknologi pasca panen. Faktor-faktor penting yang mempunyai pengaruh tinggi dan ketergantungan tinggi adalah tipe penggunaan lahan, kesesuaian lahan, pendapatan petani, kerjasama lintas sektoral dalam pengelolaan DAS. Sedangkan faktor-faktor penting yang mempunyai pengaruh tinggi dan ketergantungan rendah adalah konservasi tanah dan teknologi pasca panen.

Sumber Daya Air Pengertian sumber daya air

Definisi dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menyebutkan bahwa air adalah semua air yang terdapat pada, di atas maupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Sedangkan Kodoatie dan Sjarief (2005) mengemukakan bahwa air merupakan bagian dari sumber daya alam, juga bagian dari ekosistem secara keseluruhan.

UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa pendayagunaan sumber daya air harus ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pengertian yang terkandung di dalam amanat tersebut adalah bahwa negara bertanggungjawab terhadap ketersediaan dan pendistribusian potensi sumber daya air bagi seluruh masyarakat Indonesia, dan dengan demikian pemanfaatan potensi sumber daya air harus direncanakan sedemikian rupa sehingga memenuhi prinsip-prinsip kemanfaatan, keadilan, kemandirian, kelestarian dan keberlanjutan. Sumber daya air adalah kemampuan dan kapasitas potensi air yang dapat dimanfaatkan oleh kegiatan manusia untuk kegiatan sosial ekonomi. Terdapat berbagai jenis sumber air yang umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti air laut, air hujan, air tanah, dan air permukaan. Dari keempat jenis air tersebut, sejauh ini air permukaan merupakan sumber air tawar yang terbesar digunakan oleh masyarakat.

Menurut Lier et al. (1994), sumber daya air mempererat hubungan antara perlindungan sumber daya alam dengan pengembangan daerah pertanian pada masa yang akan datang. Sehubungan dengan itu, pengelolaan sumber daya lahan,


(20)

tanah dan air dalam sebuah DAS harus dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan fungsi ganda sumber daya tersebut (ekologis, ekonomi, dan sosial), secara terpadu dengan menggunakan pendekatan integrated watershed management yang meliputi bagian hulu sampai hilir (SMERI-UNDP 1997).

Pengelolaan sumber daya air

Grigg (1996) mendefinisikan pengelolaan sumber daya air sebagai aplikasi dari cara struktural dan non struktural untuk mengendalikan sistem sumber daya air alam dan buatan manusia untuk kepentingan/manfaat manusia dan tujuan-tujuan lingkungan. Pengelolaan sumber daya air terpadu (integrated water resources management) adalah sebuah proses yang mempromosikan koodinasi pengembangan dan pengelolaan air, tanah dan sumber-sumber terkait dengan tujuan untuk mengoptimalkan resultan ekonomis dan kesejahteraan sosial dalam perilaku yang cocok tanpa mengganggu kestabilan dari ekosistem-ekosistem penting (Global Water Pertnership Technical Advisory Commitee 2001 dalam

Kodoatie dan Sjarief 2005).

Mengingat keberadaan air di suatu tempat dan di suatu waktu tidak tetap, artinya bisa berlebih atau kurang, maka air harus dikelola dengan bijak dengan pendekatan terpadu dan menyeluruh. Terpadu mencerminkan keterikatan dengan berbagai aspek, berbagai pihak (stakeholders) dan berbagai disiplin ilmu. Menyeluruh mencerminkan cakupan yang luas (broad coverage), melintas batas antar sumber daya, antar lokasi, hulu dan hilir, antar para pihak. Dengan kata lain pendekatan pengelolaan sumber daya air harus holistik dan berwawasan lingkungan. Semua aspek dan ilmu, antara lain: sosial, budaya, ekonomi, teknik, lingkungan, hukum dan bahkan politik terlibat dan saling bergantung. Semua pihak harus terlibat dan diperhitungkan baik langsung maupun tak langsung.

Kebanyakan persoalan sumber daya air berkaitan dengan waktu dan penyebaran aliran air. Kekeringan dan banjir adalah dua contoh klasik yang kontras tentang perilaku aliran air sebagai akibat perubahan kondisi tata guna lahan dan faktor meteorologi. Pengelolaan vegetasi, khususnya vegetasi hutan dapat mempengaruhi waktu dan penyebaran aliran air. Penebangan hutan yang meluas di hutan tropis Indonesia dapat memberikan kemungkinan yang lebih besar dalam meningkatkan debit aliran. Hal ini terutama berkaitan dengan kenyataan bahwa sumber air hujan yang jatuh di hutan tropis Indonesia sebagian besar berasal dari penguapan air laut, bukan dari hasil evapotranspirasi vegetasi hutan tropis di tempat tersebut. Oleh karenanya, berkurangnya kapasitas simpan


(21)

tajuk (canopy storage capacity) sebagai akibat penebangan hutan akan meningkatkan debit aliran di daerah tersebut karena besarnya masukan curah hujan relatif tidak berubah (Asdak, 2004).

Hubungan kondisi hutan dan hasil air

Perubahan tata guna lahan pada kawasan konservasi menjadi kawasan terbangun dapat menimbulkan banjir, tanah longsor dan kekeringan. Banjir adalah aliran/genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan menyebabkan kehilangan jiwa (Asdak 2004). Aliran/genangan air ini dapat terjadi karena adanya luapan-luapan pada daerah di kanan atau kiri sungai akibat alur sungai tidak memiliki kapasitas yang cukup bagi debit aliran yang lewat (Sudjarwadi 1988). Hal tersebut terjadi karena pada musim penghujan air hujan yang jatuh pada daerah tangkapan air (catchments area) tidak banyak yang dapat meresap ke dalam tanah melainkan lebih banyak melimpas sebagai debit air sungai. Jika debit sungai ini terlalu besar dan melebihi kapasitas tampung sungai, maka akan menyebabkan banjir.

Hutan mempunyai peranan sangat penting dalam pengendalian besar limpasan permukaan, terutama sekali fungsi hutan dalam intersepsi dan infiltrasi. Gerakan air tampungan di dalam tanah dipengaruhi oleh ukuran butiran tanah, bahan-bahan organik dan flora dan fauna tanah. Perubahan penggunaan lahan mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap laju dan kapasitas infiltrasi tanah. Apabila suatu kawasan hutan alam dengan lapisan mulsa tebal dikonversi menjadi lahan pertanian, menyebabkan kehilangan vegetasi penutup di atasnya dan dapat menimbulkan kerusakan tanah. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena meningkatnya temperatur tanah yang meningkatkan kegiatan mikroba tanah. Akibatnya proses pelapukan bahan organik berlangsung lebih cepat. Laju infiltrasi menurun cepat setelah pembukaan hutan. Hal ini disebabkan oleh karena pengaruh gaya pukul butir-butir hujan yang langsung menimpa permukaan tanah, sehingga merusak struktur tanah di permukaan (Harto 1993).

Sinukaban et al. (2000) telah mempelajari perubahan sistem hidrologi di DAS Way Besay sebagai akibat perubahan penggunaan lahan hutan menjadi areal budidaya pertanian. Berkurangnya luas hutan sejak periode 1975-1998 menyebabkan meningkatnya debit sungai yang melebihi kriteria lebih besar dari 15, 25, dan 35 m3/detik. Perubahan tersebut disebabkan karena berkurangnya


(22)

tajuk pohon, berkurangnya evapotranspirasi, dan kerusakan struktur tanah lapisan atas (top soil) sebagai akibat terjadinya erosi tanah.

Menurut Priyono (2002), pembukaan lahan karena penebangan hutan alam juga akan mempengaruhi kecepatan dekomposisi bahan organik, aktivitas mikroba dan fauna tanah di samping mempengaruhi karakteristik infiltrasi tanah dan erodibilitas tanah. Pengertian umum bahwa kompleks tanah hutan, perakaran dan serasah maupun mulsa akan berfungsi seperti spon yang menyerap air selama musim hujan dan melepaskannya kembali pada musim kemarau. Meskipun tanah hutan umumnya mempunyai laju dan kapasitas infiltrasi yang tinggi dibandingkan dengan tanah yang bahan organiknya rendah, tetapi lebih banyak kandungan air ini dikonsumsi kembali oleh hutan daripada untuk kontinuitas aliran. Hal inilah yang menyebabkan adanya vegetasi hutan bisa mengurangi hasil air di sungai. Di sisi lain penyerapan curah hujan oleh tajuk hutan melalui intersepsi dapat mencapai 35% dari curah hujan, yang kemudian diuapkan kembali ke atmosfer.

Kondisi penutupan vegetasi akan mempengaruhi kondisi hidrologi suatu DAS, atau dengan kata lain kondisi vegetasi dalam suatu DAS akan menggambarkan tingkat kondisi DAS yang bersangkutan. DAS dengan kondisi vegetasi yang terbuka (jelek) dapat memberikan gambaran bahwa kondisi hidrologi DAS yang bersangkutan sangat kritis, sebaliknya DAS dengan kondisi penutupan vegetasi yang baik dapat memberikan gambaran bahwa hidrologi DAS yang bersangkutan dalam kondisi yang baik pula (Ngadiono 2004).

Sinukaban (2006) mengemukakan bahwa dampak kerusakan DAS terhadap kondisi sumber daya air dapat menyebabkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Penyebab banjir karena sebagian besar dari air hujan yang jatuh ke bumi, tidak masuk ke dalam tanah mengisi aquifer, tetapi mengalir di atas permukaan tanah lalu masuk ke sungai dan mengalir sebagai banjir ke bagian hilir. Hal ini dapat terjadi disebabkan karena kapasitas infiltrasi tanah sudah menurun. Faktor utama penyebab kerusakan DAS yang mengakibatkan menurunnya infiltrasi adalah: 1) alih fungsi lahan yang menyebabkan hilang/rusaknya penutupan vegetasi permanen/hutan di bagian hulu; 2) penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya; dan 3) teknologi pengelolaan lahan/DAS yang tidak memenuhi syarat yang diperlukan.


(23)

Menurut Sinukaban (2007b), apabila ada kegiatan di bagian atas suatu DAS, maka kegiatan tersebut dapat mempengaruhi aliran air di bagian hilir, baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif. Penebangan hutan secara sembarangan di daerah hulu suatu DAS dapat mengganggu distribusi aliran di bagian hilir. Pada musim hujan jumlah air akan terlalu banyak, bahkan sering menimbulkan banjir, tetapi di musim kemarau jumlah air akan sangat sedikit (kering). Di samping itu kualitas air sungai pun akan menurun, karena sedimen yang terangkut akibat meningkatnya erosi. Perubahan penggunaan lahan atau penerapan agroteknologi yang tidak cocok pun dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas air yang mengalir ke bagian hilir.

Berkaitan dengan hasil sedimen dalam suatu aliran air, hasil-hasil penelitian menyimpulkan bahwa ada atau tidaknya vegetasi hutan alam akan sangat menentukan jumlah sedimen dalam aliran air sungai sebagai hasil erosi permukaan. Terjadinya gerakan tanah yang dangkal juga akan meningkat dengan hilangnya vegetasi hutan alam. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka disarankan untuk tidak melakukan konversi hutan alam menjadi penggunaan lahan yang lainnya.

Kelembagaan Pengelolaan DAS Pengertian kelembagaan

Menurut Kartodihardjo et al. (2000), kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang mana masyarakat tersebut telah mengakses kesempatan-kesempatan yang tersedia, bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggungjawab yang harus mereka lakukan. Kesempatan yang tersedia adalah kesempatan dalam lingkungan, tergantung dari aturan-aturan yang digunakan, baik yang bersifat formal seperti aturan pemerintah, maupun non formal seperti kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat, dan sebagainya.

Menurut Tajuddin (1999), kelembagaan adalah seperangkat tata nilai, aturan main, dan aspirasi yang bersifat unik dalam dimensi ruang dan waktu, di mana secara formal kelembagaan itu sendiri harus bersifat dinamis dalam arti adaptif terhadap perubahan. Berdasarkan pandangan sebagai aturan main, dapat dipahami


(24)

adanya perbedaan pengertian antara kelembagaan sebagai institusi dan kelembagaan sebagai organisasi.

Hayami dan Kikuchi (1987) mengemukakan bahwa kelembagaan sebagai aturan main (rule of the game) dalam interaksi interpersonal diartikan sebagai seperangkat aturan, baik formal, maupun informal tentang tata hubungan manusia dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan tanggung jawab. Sedangkan kelembagaan dalam konteks organisasi lebih mengarah kepada mekanisme administrasi dan kewenangan.

Kelembagaan sebagai aturan main berarti memberikan kesempatan sekaligus kendala (tergantung darimana kita melihatnya) bagi perkembangan perilaku masyarakat terhadap sumber daya alam, misalnya tata air. Sedangkan sebagai organisasi, dapat merupakan potensi atau sebaliknya, tergantung apakah organisasi itu bersifat adaptif atau inovatif (Pakpahan 1997).

Dalam pengelolaan DAS, apakah kelembagaan itu dipandang sebagai aturan main atau organisasi juga diuraikan oleh Danida (1998), yaitu untuk mengembangkan perencanaan pengelolaan sumber daya DAS dengan merangkum seluruh pihak-pihak terkait yang multi sektor/multi disiplin, melalui kerjasama untuk mendorong partisipasi masyarakat secara langsung dalam pengelolaan DAS. Berdasarkan pengertian ini, berarti aturan main yang sesuai dengan tujuan yang seharusnya dicapai akan memberikan kesempatan kepada stakeholders untuk berperilaku yang mendukung tercapainya tujuan.

Menurut Pasaribu (1996), status kelembagaan sebagai suatu organisasi, di mana suatu organisasi dapat dikatakan melembaga apabila organisasi tersebut telah mendapatkan status khusus dan pengakuan (legitimate) dari masyarakat, karena mereka telah mendapatkan kepuasan atas kebutuhan mereka. Kebijakan tidak akan berjalan jika tidak ditunjang oleh wadah organisasi yang melembaga di masyarakat. Gejala ketidakmelembagaan suatu organisasi merupakan salah satu bukti lemahnya fungsi pengorganisasian (regulative institution) yang ada di dalamnya.

Didu (2001) mengemukakan bahwa dalam kelembagaan terdapat tiga komponen utama, yaitu: 1) organisasi, 2) fungsi, dan 3) aturan main. Komponen yang ketiga, yaitu aturan main yang mengatur organisasi (pemerintah/swasta) dan individu, agar dapat berperan melakukan tugas sesuai dengan kewenangan


(25)

masing-masing. Oleh karena itu, kelembangaan merupakan suatu sistem yang mengatur apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya dilakukan oleh organisasi dan/atau individu. Sebagai suatu sistem, di dalamnya terdapat tiga aturan yang sangat mendasar, yaitu: 1) batas kewenangan (yurisdictional boundary), 2) hak kepemilikan (property right), dan 3) aturan perwakilan (rules of representation).

Batas kewenangan adalah menentukan siapa, dan apa yang tercakup dalam suatu organisasi (Kartodihardjo et al. 2000). Sedangkan Anwar (2000) mengemukakan bahwa batas kewenangan terhadap sumber daya, dana, dan tenaga dalam suatu organisasi, termasuk mengatur laju pemanfaatan dan pendistribusian manfaat sumber daya sehingga dapat diperoleh keberlanjutan.

Hak kepemilikan adalah mengatur seluruh aktivitas untuk mencapai keteraturan interaksi antara manusia dan lingkungannya, sehingga mencerminkan kedua prinsip umum, yaitu spesifikasi sosial dan lingkup ekosistem. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa hak kepemilikan adalah hak sosial yang dimiliki baik secara individu, kelompok, dan atau masyarakat umum atas sumber daya tertentu yang diatur oleh aturan, baik secara formal, non formal (adat kebiasaan) yang berlaku dan mengatur hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan. Hak kepemilikan yang berlaku di masyarakat seperti dikemukakan oleh Kartodihardjo (1999), misalnya adanya perbedaan bentuk kepemilikan terhadap lahan, yaitu: 1) pemilikan individu (private property), 2) pemilikan kelompok (common property), dan 3) pemilikan negara (state property). Aturan representasi (rules of reprecentation), mengatur siapa saja yang boleh dan tidak boleh ikut berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Aturan representasi mengatur siapa saja yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, keputusan apa yang akan diambil, dan apa akibatnya terhadap keragaan (performance) yang ditentukan oleh aturan perwakilan atau representasi yang digunakan dalam pengambilan keputusan.

Peranan kelembagaan dalam pengelolaan DAS

Apabila kelembagaan diartikan sebagai aturan main dalam pengelolaan DAS, maka dapat dipastikan bahwa kelembagaan tersebut sangat menentukan kelangsungan fungsi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, khususnya dalam pengelolaan sumber daya air dan kehutanan. Kartodihardjo et al. (2000)


(26)

mengemukakan bahwa terdapat dua faktor yang menghambat, sehingga fungsi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan tidak berjalan, yaitu: 1) aspek kebijakan (policy), seperti lemahnya koordinasi antar instansi terkait dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS; 2) aspek teknis pelaksanaan pengelolaan DAS, seperti kurangnya program peningkatan SDM, rendahnya inovasi teknologi dan belum tersedianya standar pelaksanaan kegiatan dan standar hasil. Kedua faktor ini sudah merupakan masalah umum kelembagaan, khususnya dalam kelembagaan pengelolaan DAS.

Menurut Darajati (2001), pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat pada umumnya memiliki empat faktor pokok beban/tanggung jawab dalam pengelolaan DAS, yaitu: 1) pengelolaan lahan; 2) pengelolaan air; 3) pengelolaan vegetasi; dan 4) pengelolaan aktivitas manusia dalam menggunakan sumber daya alam. Keempat faktor tersebut merupakan kegiatan utama dalam pengelolaan DAS yang harus melibatkan berbagai organisasi/kelompok dan individu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk melibatkan berbagai organisasi, diperlukan koordinasi dan ini merupakan faktor yang sangat penting, bahkan menjadi kunci keberhasilan pengelolaan DAS. Lemahnya koordinasi sering menjadi kendala utama, sehingga hubungan antar komponen dalam sistem pengelolaan DAS menjadi tidak stabil.

Terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kelembagaan pengelolaan DAS, yaitu: 1) lemahnya koordinasi sektor-sektor pemerintah daerah sebagai unsur institusi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, padahal mereka adalah tenaga teknis dan fasilitator yang paling dekat dengan wilayah DAS; 2) perencanaan pengelolaan DAS belum sepenuhnya terintegrasi dalam perencanaan pembangunan daerah serta masih rendahnya partisipasi masyarakat; 3) adanya situasi yang kurang kondusif bagi peningkatan produktivitas yang diperlukan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan sebagai usaha pelestarian keseimbangan lingkungan; 4) adanya sikap yang kurang responsif terhadap upaya pembangunan jangka panjang demi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan sumber daya alam lestari; 5) pembangunan pertanian dan pembangunan pada umumnya lebih terkonsentrasi pada daerah hilir (low land), sehingga daerah hulu (up land), tidak merasa diuntungkan oleh program-program


(27)

yang didanai oleh pemerintah; dan 6) rendahnya produktivitas pertanian di berbagai daerah, sehingga lahan tidak dapat dijadikan satu-satunya penopang kehidupan masyarakat miskin di pedesaan.

Timbulnya masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi sebagai akibat adanya fungsi perencanaan dan analisis strategi yang tidak kondusif. Kartodihardjo et al. (2000) mengemukakan bahwa hal ini disebabkan oleh lemahnya aspek kebijakan dan teknis pelaksanaan. Demikian pula menurut Bastaman (2000) bahwa permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan DAS berkaitan dengan ketiadaan ikatan koordinatif yang kuat dalam pencapaian tujuan, sehingga kebijakan pengelolaan DAS sering tidak sejalan dengan kebijakan masing-masing sektor.

Lemahnya koordinasi juga telah dikeluhkan oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Diperlukan adanya penataan kelembagaan dan penegakan hukum dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kegiatan pokok yang perlu dilakukan antara lain adalah: 1) menata institusi dan aparatur pengelola sumber daya alam dan lingkungan di provinsi dan kabupaten/kota; 2) menetapkan peraturan yang mengatur kewenangan dan tanggung jawab daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; 3) menguatkan institusi pengendalian dampak lingkungan di daerah; 4) menyusun undang-undang dan perangkat hukum di bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; 5) meningkatkan peranserta dan pengakuan atas hak/kepemilikan masyarakat lokal dan adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan; dan 6) mengembangkan kelembagaan pendanaan pengelolaan sumbedaya alam dan lingkungan hidup melalui insentif/disinsentif mekanisme pasar. Sehubungan dengan hal tersebut, Sudradjat dan Yustina (2002) mengharapkan adanya satu lembaga yang bisa menghubungkan antara kepentingan pusat, provinsi dan kabupaten serta seluruh stakeholder terkait dalam pemecahan masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan secara sendiri-sendiri dalam bentuk forum kerjasama.

Untuk mewujudkan realisasi kebijakan yang belum terwujud dalam penyusunan rencana strategi daerah (Renstrada) masing-masing dinas di provinsi dan kabupaten/kota, maka kapabilitas individu (personil) merupakan faktor penting. Kapabilitas individu yang dimaksudkan tidak hanya sebatas kemampuan


(28)

intelektual, tetapi juga kemampuan kerjasama dalam tim, meliputi aspek psikososial, seperti kemampuan memahami pendapat orang lain, menghargai kesepakatan dan gagasan yang berbeda-beda, serta bermoral tinggi. Pakpahan (1997) mengemukakan bahwa kapabilitas individu bergantung pada pengetahuan intelektual maupun nilai-nilai moral yang mampu mewarnai perilakunya. Oleh karena itu, pengembangan institusi tanpa diikuti pengembangan sikap dan nilai-nilai moral sebagai basis peningkatan kapabilitas individu akan kurang bermakna, bahkan sebaliknya kelembagaan yang ada akan melahirkan beban sosial baru bagi masyarakat.

Menurut Kartodihardjo et al. (2000), berkaitan dengan kelembagaan pengelolaan DAS dapat dinilai efisien tetapi tidak efektif, di satu sisi pemerintah pusat sangat kuat dalam hal penetapan kebijakan, tetapi pada sisi lainnya tidak berdaya dalam hal pelaksanaan dan pengendaliannya. Pemerintah dan juga masyarakat mengetahui bahwa kinerja administrasi kurang dapat menggambarkan realita di lapangan, tetapi hal tersebut masih tetap dilakukan. Sepanjang kinerja administrasi belum dapat dibenahi, akan semakin banyak kebijakan yang hanya mampu berperan sebagai kebijakan birokrasi, yang pertanggungjawabannya hanya sebatas laporan-laporan berkala yang tidak sesuai dengan realita di lapangan.

Permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan DAS bukan hanya sebatas permasalahan seberapa banyak kebijakan yang telah dan akan dirumuskan. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kebijakan yang dihasilkan dapat diterapkan dan diadopsi oleh masyarakat. Di sinilah perlunya keterpaduan antara pemangku kepentingan, mulai dari aparat pemerintah hingga ke masyarakat petani sebagai pelaksana kunci di lapangan. Untuk merubah perilaku kelembagaan ke dalam suatu kondisi yang diharapkan, harus dimulai dari perubahan tatanan nilai-nilai, sikap dan moral individu antar sektor maupun masyarakat umum.

Barlowe (1986) mengemukakan bahwa faktor kelembagaan yang berpengaruh terhadap pola penggunaan lahan selain aturan dan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah, juga faktor-faktor yang terkait dengan sosial budaya masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sys and Debaveye. (1991) bahwa selain sumber daya fisik, sumber daya manusia dan sumber daya modal juga merupakan sumber daya utama yang mempengaruhi penggunaan lahan.


(29)

Kedua pendapat tersebut memberikan konsep pemikiran bahwa bagaimanapun kelembagaan itu dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang dinilai bagus, tetapi jika tidak sinkron dengan sosial ekonomi dan budaya masyarakat, maka mustahil akan teradopsi oleh sektor-sektor terkait dalam masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, kelembagaan yang baik adalah adanya suatu lembaga yang mampu melahirkan kebijakan-kebijakan yang dapat mengatur fungsi dan aktivitas sumber daya manusia dan penggunaan modal ke arah terwujudnya penggunaan lahan yang rasional serta mampu menekan laju kerusakan sumber daya air dan kehutanan.

Konflik kelembagaan pengelolaan DAS dapat diidentifikasi dengan mencermati berbagai paradoks, seperti diuraikan oleh Kartodihardjo et al. (2000), misalnya: 1) lahan kritis digunakan sebagai lahan pertanian dengan hasil jangka pendek yang rendah, meskipun diketahui jika ditanami tanaman jangka panjang akan memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi; 2) pelaksanaan reboisasi dan penghijauan lebih berhasil di wilayah hilir, sedangkan sebenarnya yang lebih diperlukan adalah di wilayah hulu; dan 3) pelaksanaan reboisasi dan penghijauan hanya berhasil sampai tahun ke empat, sedangkan manfaat yang diharapkan adalah tujuan jangka panjang. Hal ini merupakan bukti bahwa peran kelembagaan selama ini belum seperti yang diharapkan, sehingga kebijakan yang dihasilkanpun belum memuaskan pihak masyarakat dan pemerintah.

Selama periode orde baru dan era reformasi, perumusan kebijakan pengelolaan DAS didasarkan pada masalah-masalah yang menyangkut kondisi fisik DAS, yaitu: 1) luas dan semakin meluasnya lahan kritis; 2) semakin berkurangnya tutupan hutan permanen; 3) erosi dan sedimentasi yang semakin meningkat; 4) semakin besarnya fluktuasi debit air sungai; dan 5) terjadinya peristiwa banjir dan kekeringan yang silih berganti. Kondisi yang tidak diinginkan tersebut langsung diatasi melalui berbagai kebijakan, baik berupa perintah untuk melakukan sesuatu, atau pelarangan yang disertai petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Kartodihardjo et al. (2000) mengemukakan bahwa dari pengalaman-pengalaman masa lalu, pendekatan tersebut terbukti tidak dapat lagi digunakan sebagai titik tolak perumusan kebijakan. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi permasalahan melalui


(30)

pendekatan yang dianggap lebih akurat dalam merumuskan kebijakan yang sesuai, yaitu kebijakan yang mampu merubah perilaku masyarakat, termasuk dunia usaha. Perencanaan tidak berarti selesai setelah dihasilkannya dokumen rencana, tetapi sebagai proses yang berulang dan mengait aktivitas-aktivitas pengelolaan DAS. Langkah-langkah penyusunan pengelolaan DAS, yaitu: 1) identifikasi karakteristik DAS; 2) identifikasi masalah; 3) perumusan tujuan dan sasaran; 4) identifikasi dan evaluasi alternatif kegiatan, penyusunan rencana indikatif dan kegiatan, serta legitimasi dan sosialisasi rencana. Hal tersebut yang dimaksudkan oleh Rustiadi et al. (2007) bahwa proses perencanaan dilakukan dengan menguji berbagai arah pencapaian tujuan, mengkaji berbagai ketidakpastian, mengukur kemampuan (kapasitas) yang kita miliki, kemudian memilih sasaran yang terbaik dan menentukan langkah-langkah untuk mencapai tujuan. Dalam memilih sasaran terbaik dan menentukan langkah-langkah untuk mencapai tujuan, dibutuhkan sejumlah pengetahuan yang komprehensif. Oleh karena itu, pendekatan rasional dapat juga disebut pendekatan yang komprehensif.

Perencanaan, kebijakan dan strategi tidak dapat dipahami secara terpisah, karena kebijakan dan strategi adalah bagian dari perencanaan. Hal tersebut dijelaskan oleh Swastha dan Sukotjo (2000) bahwa perencanaan dapat dilihat dari enam sudut pandang, yaitu: 1) tujuan (objective); 2) kebijakan (policy); 3) strategi; 4) prosedur; 5) aturan (rule); dan 6) program. Kebijakan adalah suatu pernyataan atau pengertian untuk menyalurkan pikiran dalam mengambil keputusan terhadap tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan, sedangkan strategi adalah tindakan penyesuaian dari rencana yang telah dibuat akibat dari adanya berbagai reaksi.

Perbedaan antara kebijakan dan strategi juga dikemukakan oleh Didu (2001) bahwa kebijakan adalah rangkaian konsep dan dasar yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan dan lebih bersifat makro. Sedangkan strategi lebih mengarah pada aturan-aturan yang menyangkut perencanaan dan pelaksanaan secara teknis dalam skala jangka pendek dan lebih bersifat mikro.

Jika dipandang dari kepentingan fungsi-fungsi manajemen pembangunan, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, maka yang terpenting adalah fungsi perencanaan. Menurut David (1998), semua aktivitas manajemen untuk mendukung upaya pencapaian tujuan pembangunan harus dilaksanakan setelah fungsi perencanaan dilaksanakan lebih dahulu.


(31)

Waktu dan Lokasi Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan April-September 2008 di DAS Gumbasa yang memiliki luas 126.617 ha, di mana 49.178 ha (38,84 %) berada di luar kawasan TNLL dan 77.439 ha (61,16 %) dalam kawasan TNLL. DAS ini terletak di bagian Utara kawasan TNLL yang berada sekitar 60 kilometer sebelah Selatan Kota Palu dan secara geografis terletak antara 01°08’ - 01°54’ LS dan 119°58’ - 120°16’BT. DAS Gumbasa merupakan salah satu sub DAS dari DAS Palu yang terletak di Kecamatan Palolo, Kecamatan Gumbasa, dan Kecamatan Konservasi Lindu, Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Bahan dan Peralatan

Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner, literatur, alat tulis, tape recorder, kamera, komputer PC, perangkat lunak model ISM VAXO, Microsoft Office 2003 dan ArcView 3.3.

DAS Gumbasa Hilir DAS Lindu DAS Sopu


(32)

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan melalui pendekatan sistem pakar (expert system approach) dengan menggunakan metode survei. Dalam penelitian ini digunakan kombinasi antara model Interpretative Structural Modelling (ISM) dan model

Analytical Hierarchy Process (AHP).

Tahapan Penelitian

Penelitian dibagi ke dalam empat tahap kegiatan, yaitu: 1) persiapan penelitian dan studi pustaka; 2) pengumpulan data lapangan; 3) pengolahan data dan analisis data; dan 4) pembahasan hasil penelitian tentang kondisi aktual peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. Tahapan kegiatan penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 3.

Penetapan sampel/responden

Penetapan sampel dilakukan melalui teknik purposive sampling, di mana sampel atau responden ditentukan oleh peneliti dengan ketentuan mewakili personil pada bidang atau lembaga masing-masing. Menurut Saaty (1986) dan Eriyatno (1998), penelitian dengan model analisis ISM dan AHP tidak membutuhkan jumlah sampel yang besar. Jumlah ahli/praktisi yang dijadikan sebagai sampel yang disyaratkan cukup beberapa orang dengan prioritas yang memiliki tingkat pemahaman, penguasaan, dan terlibat langsung dalam bidang tugas konservasi sumber daya air. Untuk memenuhi kebutuhan data yang dapat menunjang pencapaian tujuan dalam penelitian ini, ditetapkan sejumlah responden yang terdiri atas pakar/praktisi yang terdistribusi pada instansi pemerintah, perguruan tinggi dan tokoh masyarakat adat/pendatang serta petani, seperti tersaji pada Tabel 1.

Jenis dan sumber data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder (dokumentasi) seperti disajikan pada Tabel 2. Data primer yang digunakan adalah data kualitatif berupa informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dan diskusi dengan responden atau stakeholder yang terlibat langsung dalam perumusan dan implementasi konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan melalui penelusuran berbagai pustaka yang tersedia, baik di instansi pemerintah dan swasta, publikasi hasil penelitian, dan berbagai kajian, serta peta-peta yang mendukung.


(33)

Gambar 3. Tahapan Penelitian

Sumber:

Survei melalui wawancara dengan responden terdiri dari stakeholder yang mengetahui permasalahan dan kondisi sumber daya air dalam DAS Gumbasa dan kawasan TNLL dari berbagai organisasi pemerintah terkait, perguruan tinggi, masyarakat pendatang dan masyarakat adat di dalam dan di sekitar DAS Gumbasa dan kawasan TNLL.

Sumber:

1. Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) 2. Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Palu-Poso 3. Balai Wilayah Sungai Sulawesi III (BWSS III) 4. Badan Pertanah Nasional (BPN)

5. Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan 6. Dinas Kehutanan

7. Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah 8. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 9. Dinas Tata Ruang

Tujuan Penelitian

Pengolahan dan Analisis Data: Interpretative Structural Modelling (ISM)

Analytical Hierarchy Process (AHP) Identifikasi Permasalahan

Telah terjadi penurunan fungsi hidrologi DAS dan peningkatan beban erosi tanah di

DAS Gumbasa Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah

Data Primer Data Sekunder

Studi Pustaka

Pengumpulan Data:

Organisasi, peraturan perundang-undangan,

fungsi koordinasi, instrumen Prioritas, dan fungsi manajemen

Pembahasan Hasil Penelitian:

Kondisi Aktual Peran dan Koordinasi Lembaga Lintas Sektoral dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa

Kondisi Umum Wilayah DAS Gumbasa


(34)

Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Organisasi Pemerintah dan Masyarakat

No. Organisasi Pemerintah dan Masyarakat Responden Keterangan 1. Seksi Program Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Palu-Poso 1 Kuisioner

2. Seksi Kelembagaan Balai Pengelolaan DAS (BPDAS)

Palu-Poso 1 Kuisioner

3. Seksi Pelaksanaan Jaringan Pemanfaatan Air Balai Wilayah

Sungai Sulawesi III (BWSS III) 1 Kuisioner 4. Bidang Teknis Konservasi Balai Besar Taman Nasional

Lore Lindu (BBTNLL) 1 Kuisioner

5. Bidang Sumber Daya Air Bappeda Provinsi Sulawesi

Tengah 1 Kuisioner

6. Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Bappeda

Provinsi Sulawesi Tengah 1 Kuisioner 7. Bidang Lingkungan Hidup Bappedalda Provinsi Sulawesi

Tengah 1 Kuisioner

8. Bidang Pemantauan dan Pemulihan Bappedalda Provinsi

Sulawesi Tengah 1 Kuisioner

9. Subdin Penatagunaan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi

Sulawesi Tengah 1 Kuisioner

10. Subdin Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi

Sulawesi Tengah 1 Kuisioner

11. Subdin Pengembangan Sumber Daya Air Dinas Kimpraswil

Provinsi Sulawesi Tengah 1 Kuisioner 12. Subdin Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian,

Perkebunan dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tengah 1 Kuisioner 13. Subdin Prasarana Dinas Pertanian, Perkebunan dan

Peternakan Provinsi Sulawesi Tengah 1 Kuisioner 14. Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSL) Universitas Tadulako 1 Kuisioner

15. Bidang Fisik dan Prasarana Bappeda Kabupaten Donggala 1 Kuisioner 16. Subdin Rehabilitasi Lahan dan Perlindungan Hutan Dinas

Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala 1 Kuisioner 17. Seksi Irigasi Dinas Prasarana Wilayah Kabupaten Donggala 1 Kuisioner

18. Bapedalda Kabupaten Donggala 1 Kuisioner 19. Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kantor BPN

Kabupaten Donggala 1 Kuisioner

20. Subdin Sarana Prasarana dan Agribisnis Dinas Pertanian,

Peternakan dan Perikanan Kabupaten Donggala 1 Kuisioner 21. Badan Koordinasi Penyuluh Pertanian, Perikanan dan

Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah 1 Kuisioner 22. Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kanwil BPN

Provinsi Sulawesi Tengah 1 Kuisioner 23. Tokoh Adat dan Pendatang dalam wilayah DAS Gumbasa 2 Lisan

24. Masyarakat dalam wilayah DAS Gumbasa 4 Lisan Jumlah Responden 28


(35)

Tabel 2. Data Primer dan Sekunder yang Digunakan Dalam Penelitian

No. Jenis Data Kegunaan Data Sumber Data Datar Primer:

1. Informasi tentang organisasi yang berperan dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.

Untuk mengidentifikasi organisasi yang berperan utama dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.

Wawancara dengan Responden 2. Informasi tentang peraturan

perundang-undangan yang melandasi konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.

Untuk Mengidentifikasi peraturan perundang-undangan yang melandasi konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.

Wawancara dengan Responden

3. Informasi tentang fungsi koordinasi dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.

Untuk menganalisis fungsi koordinasi dalam konservasi sumber daya air di DAS

Gumbasa.

Wawancara dengan Responden 4. Informasi tentang instrumen

prioritas dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.

Untuk menganalisis Informasi tentang instrumen prioritas dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa

Wawancara dengan Responden 5. Informasi tentang kinerja fungsi

manajemen (perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan) dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.

Untuk menganalisis fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan, dan

pengawasan) dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.

Wawancara dengan Responden

Data Sekunder:

1. Biofisik : - Penggunaan lahan - Status hutan

Mendeskripsikan luas dan sebaran geografis jenis penggunaan lahan DAS Gumbasa

BPDAS BTNLL BPN DISHUT 2. Sosial Ekonomi

- Kependudukan - Mata Pencaharian - Pengusahaan Lahan

- Tekanan dan kebergantungan penduduk terhadap lahan

- Mendeskripsikan penyebaran penduduk DAS Gumbasa

- Mendeskripsikan jenis mata pencaharian penduduk DAS Gumbasa.

- Mendeskripsikan perbedaan luas lahan garapan penduduk DAS Gumbasa. - Mendeskripsikan kemampuan lahan

dalam mendukung kehidupan penduduk DAS Gumbasa.

- Mendeskripsikan pengaruh sektor pertanian terhadap kehidupan ekonomi penduduk DAS Gumbasa.

BPDAS BTNLL BPS

3. Perangkat Kelembagaan - Kelembagaan formal - Kelembagaan masyarakat

Mendeskripsikan keberadaan dan kegiatan organisasi pemerintah dan sosial/

kemasyarakatan di DAS Gumbasa.

BPDAS BBTNLL


(36)

Pengumpulan data

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dirinci sebagai berikut:

a) Penetapan elemen dan sub elemen

Elemen adalah unsur penelitian yang ditetapkan dengan mengacu pada tujuan penelitian. Dalam penelitian ini ditetapkan sebanyak lima elemen yang akan dianalisis, yaitu: 1) Organisasi yang berperan dalam konservasi sumber daya air; 2) Peraturan perundang-undangan yang melandasi konservasi sumber daya air; 3) Kinerja fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan) dalam konservasi sumber daya air; 4) Fungsi koordinasi dalam konservasi sumber daya air; dan 5) Instrumen prioritas dalam konservasi sumber daya air.

Setiap elemen dijabarkan atas sejumlah sub elemen berdasarkan pertimbangan: 1) tujuan penelitian yang ingin dicapai; 2) model analisis yang akan digunakan, yaitu : model Interpretative Structural Modelling (ISM) dan model Analytical Hierarchy Process (AHP); dan 3) hasil konsultasi pakar atau pejabat lembaga yang berkaitan dengan penanganan masalah sumber daya air.

Identifikasi organisasi yang berperan dalam konservasi sumber daya air dianalisis dengan menggunakan model Interpretative Structural Modelling (ISM), ada 33 sub elemen sebagai organisasi yang diduga berperan, terdiri atas organisasi pemerintah di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan organisasi lokal seperti disajikan pada Kuisioner Seri I (Lampiran 6).

Peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan konservasi sumber daya air dianalisis dengan menggunakan model Interpretative Structural Modelling (ISM), ada 25 sub elemen yang diduga menjadi landasan, seperti disajikan pada Kuisioner Seri II (Lampiran 7).

Fungsi koordinasi dalam konservasi sumber daya air dianalisis dengan menggunakan model Interpretative Structural Modelling (ISM), ada 18 sub elemen sebagai faktor dugaan yang terdiri atas kebijakan, pengorganisasian, dan kelembagaan, seperti disajikan pada Kuisioner Seri III (Lampiran 8).

Instrumen prioritas dalam konservasi sumber daya air dianalisis dengan menggunakan model Interpretative Structural Modelling (ISM), ada 11 sub elemen sebagai kegiatan dugaan yang terdiri atas kegiatan pengembangan basis data, teknologi konservasi, dan pengembangan fungsi sosial kemasyarakatan, seperti disajikan pada Kuisioner Seri IV (Lampiran 9).


(37)

Sedangkan kinerja fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan) dalam konservasi sumber daya air dianalisis dengan menggunakan model Analytical Hierarchy Process (AHP), ada 12 sub elemen yang terdiri atas tiga level, seperti disajikan pada Kuisioner Seri V (Lampiran 10).

b) Penyusunan kuisioner

Kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas lima seri sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Kuisioner yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 3, sedangkan bentuk kuisionernya dapat dilihat pada Lampiran 6-10.

Tabel 3. Jumlah Pertanyaan Setiap Seri Kuisioner Berdasarkan Model Analisis yang Digunakan

Seri Jumlah Sub Elemen Jumlah Pertanyaan Model Analisis

I 33 528 ISM

II 25 300 ISM

III 18 153 ISM

IV 11 55 ISM

V 12 66 AHP

c) Wawancara

Wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang diwawancarai (interviewee) atau responden. Wawancara adalah metode pengumpulan data yang amat populer, karena itu banyak digunakan di berbagai penelitian (Irianto dan Bungin 2001).

Menurut Sudikan (2001), sebelum mengumpulkan data di lapangan dengan metode wawancara, peneliti sebaiknya menyusun daftar pertanyaan sebagai pedoman di lapangan. Namun, daftar pertanyaan bukanlah sesuatu yang bersifat ketat, tetapi dapat mengalami perubahan sesuai situasi dan kondisi di lapangan. Hubungan yang komunikatif antara pewawancara dengan responden sangat menentukan kualitas data. Karena itu, sebelum memulai wawancara, perlu dilakukan sosialisasi yang baik terhadap responden.


(38)

Pengolahan data

Pengolahan data dimulai dengan memeriksa (editing) kelengkapan, kejelasan, konsistensi dan kesesuaian jawaban responden, apakah ada kesalahpahaman responden atau kesalahan pencatatan pada saat wawancara.

Kuisioner yang datanya akan dianalisis melalui model ISM, menggunakan kode jawaban : V, A, X, dan O (Eriyatno 1998), yang bermakna:

V, jika eij = 1, dan eji = 0 (elemen i lebih penting daripada j) A, jika eij = 0, dan eji = 1 (elemen i tidak lebih penting daripada j) X, jika eij = 1, dan eji = 1 (elemen i dan j sama penting)

O, jika eij = 0, dan eji = 0 (elemen i dan j sama tidak penting)

Kuisioner yang datanya akan dianalisis dengan model AHP, menggunakan skala penilaian kuantitatif perbandingan elemen berpasangan yang dikemukakan oleh Saaty (1986), disajikan pada Tabel 5. Skala penilaian kuantitatif pada kolom 2 dalam Tabel 4, digunakan langsung dalam pengisian kuisioner.

Berdasarkan data yang sudah diedit, kemudian dilakukan proses (processing) data, yaitu melakukan penghitungan sesuai dengan model analisis yang digunakan, yaitu model Interpretative Structural Modelling (ISM) dan model Analytical Hierarchy Process (AHP).

Tabel 4. Skala Penilaian Perbandingan Elemen Berpasangan (Saaty 1986)

Kategori Perbandingan Skala Kuantitatif Kedua elemen sama berpengaruh ... 1 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya

(moderate) ... 3 Elemen yang satu jelas lebih penting daripada elemen lainnya

(strong) ... 5 Elemen yang satu sangat jelas lebih penting daripada elemen

lainnya (very strong) ... 7 Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada elemen lainnya

(extreme) ... 9 Apabila ragu-ragu antara dua nilai elemen berdekatan ... 2, 4, 6, 8 Kebalikan kepentingan ... 1/(1-9)

Analisis data

a) Model Interpretative Structural Modelling (ISM)

Untuk menganalisis data atau informasi tentang: 1) Organisasi yang berperan dalam konservasi sumber daya air; 2) Peraturan perundang-undangan yang melandasi konservasi sumber daya air; 3) Fungsi koordinasi dalam


(39)

konservasi sumber daya air; dan 4) Instrumen prioritas dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa digunakan model Interpretative Structural Modelling

(ISM) dengan menggunakan perangkat lunak ISM VAXO, seperti yang digunakan oleh Eriyatno (1998). Tahapan utama model ISM disajikan pada Gambar 4, yaitu: 1) Menyusun structural self interaction matrix (SSIM) dengan menggunakan

agregat pendapat para responden.

2) Menyusun tabel reachability matrix dengan mengganti simbol-simbol V, A, X, O dengan angka 1 dan 0.

3) Menyusun matrix driver power – dependence (DP-D) yang terdiri dari empat sektor seperti disajikan pada Gambar 5.

4) Menyusun model struktural atau tingkat level setiap sub elemen.

Gambar 4. Diagram Alir Teknik Analisis Model Interpretative Structural Modelling (ISM) (Eriyatno 1998)

PROGRAM

Uraikan program menjadi perencanaan program

Uraikan elemen jadi sub elemen

Tentukan hubungan kontekstual antar sub elemen

Susun SSIM untuk setiap sub elemen

Bentuk RM setiap sub elemen

Uji matriks dengan aturan transivity

OK Tidak Modifikasi SSIM Ya

Uraikan RM jadi format Lower Tringular RM Tentukan level melalui

pemilihan

Tentukan DP dan D setiap sub elemen

Susunlah diagram dari Lower Tringular RM

Susunlah ISM dari setiap elemen

Tentukan Rank dan Hierarki dari sub elemen

Tetapkan Driver Dependence Matriks

Plot sub elemen pada empat sektor

Klasifikasi sub elemen pada empat peubah kategori


(40)

1,0 0,9 0,8 0,7 0,6

0,5

0,4

0,3

0,2

0,1

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0

Gambar 5. MatrixDriver Power-Dependence (DP-D) Relatif

Berdasarkan ke empat sektor yang dimaksudkan pada Gambar 5, dapat ditetapkan posisi setiap sub elemen yang perlu diterapkan berdasarkan bobot

Driver Power (DP)-Dependence (D) relatif masing-masing, yaitu:

1) Posisi Autonomous, menunjukkan bahwa sub elemen yang ada di kuadran ini tidak berkaitan dengan sistem atau hubungannya sangat kecil, meskipun keterkaitannya mungkin saja kuat.

2) Posisi Dependent, menunjukkan bahwa sub elemen yang ada di kuadran ini adalah tidak bebas, artinya semua variabel yang ada merupakan akibat dari tindakan terhadap variabel lainnya.

3) Posisi Linkage, menunjukkan bahwa sub elemen yang ada di kuadran ini sangat penting dan harus dikaji secara hati-hati, karena hubungan dengan variabel lainnya tidak stabil. Setiap tindakan terhadap sub elemen tersebut akan memberikan dampak terhadap sub elemen lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar atau menimbulkan dampak yang baru. Dengan kata lain, setiap tindakan pada sub elemen tersebut akan menghasilkan sukses, sebaliknya lemahnya perhatian terhadap kegiatan tersebut akan menyebabkan kegagalan program.

4) Posisi Independent, menunjukkan bahwa sub elemen di kuadran ini merupakan variabel bebas, artinya merupakan kekuatan penggerak (driver power) yang besar, tetapi kebergantungan terhadap sub elemen lainnya kecil.

Dependence(D) Relatif

Independent Linkage

Autonomou

Drive

r Po

we

r

(DP)

Relatif


(41)

b) Model Analytical Hierarchy Process (AHP)

Model Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah model analisis yang digunakan untuk melakukan analisis data atau informasi tentang kinerja fungsi manajemen, sehingga dapat diidentifikasi yang mana di antara ketiga fungsi manajemen, apakah perencanaan, pelaksanaan, atau pengawasan sebagai penyebab ketidakberhasilan program konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.

Penggunaan model AHP, secara operasional melalui tahapan-tahapan seperti diuraikan pada Gambar 6 (Saaty 1986).

Terdapat lima tahapan secara umum, sebagai berikut:

1) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan atau analisis kebutuhan.

2) Menyusun struktur hierarki berdasarkan urutan mulai dari tujuan utama atau fokus, aktor, kriteria, dan solusi atau alternatif seperti yang disajikan pada Gambar 7.

3) Melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Bila vektor pembobotan sub elemen operasi A1, A2, A3, ..., An dinyatakan sebagai vektor w = w1, w2, w3, ..., wn dapat dinyatakan sebagai bobot perbandingan A1 terhadap A2, yaitu w1/w2 yang sama dengan A12. Matrik perbandingan antar sub elemen dikemukakan pada Tabel 5, yang disusun dengan menggunakan data yang diperoleh dari kuisioner seri V.

4) Menyusun matriks perbandingan berpasangan yang dimaksudkan untuk menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan setingkat.

5) Menghitung matriks pendapat responden, pengolahan horizontal, vektor prioritas atau vektor ciri (eigen vector), akar ciri atau nilai ciri (eigen value) maksimum, dan pengolahan vertikal.

Tabel 5. Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Elemen

Vektor A1 A2 A3 ... An A1 w1/w1 w1/w2 w1/w3 ... w1/wn A2 w2/w1 w2/w2 w2/w3 ... w2/wn A3 w3/w1 w3/w2 w3/w3 ... w3/wn ... ... ... ... ... ...


(42)

31

Gambar 6. Diagram Alir Proses Analisis Hierarki pada Model Analytical Hierarchy Process (AHP) (Saaty 1986)

Gambar 7. Struktur Kriteria Analisis yang Mempengaruhi Pelaksanaan Program Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa.

Analisis Kebutuhan

Penyusunan Hierarki

Pengolahan Horizontal: 1. Perkalian sub elemen 2. Perhitungan vektor prioritas 3. Perhitungan nilai eigen 4. Perhitungan indeks konsistensi 5. Perhitungan rasio konsistensi

CI dan CR

CI, CR memenuhi Revisi Pendapat

Penyusunan Matriks Gabungan

Perhitungan Vektor Prioritas Gabungan Tidak

Ya

CI, CR memenuhi Revisi Pendapat Ya

Tidak

Pengolahan Vertikal

Perhitungan Vektor Prioritas Sistem

Kinerja Fungsi Manajemen

Tingkat Pusat Tingkat Provinsi Tingkat Kabupaten

Koordinasi Antar Sektor

Tumpang Tindih Tugas dan Kewenangan

Sifat Multisektor

Peran Stakeholders Penegakan

Hukum

Kebijakan

Top down

Perencanaan Pelaksanaan Pengawasan Level 1 : Fokus

Level 2 : Aktor

Level 3 : Kriteria


(43)

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

DAS Gumbasa dengan luas ± 126.617 ha adalah bagian dari DAS Palu bagian hulu yang menjadi bagian integral DAS Palu. DAS Gumbasa terbagi dalam tiga sub DAS, yaitu DAS Lindu seluas 57.575 ha (45 %), DAS Sopu seluas 45.654 ha (36 %) dan DAS Gumbasa Hilir seluas 23.389 ha (18 %). Kawasan ini cukup terkenal selain karena adanya Danau Lindu, kawasan ini juga memiliki kekayaan alam yang tak ternilai harganya berupa keanekaragaman hayati flora dan fauna, termasuk keragaman sosial budaya masyarakat yang bermukim di dalamnya. Kawasan DAS Gumbasa juga memiliki nilai strategis karena letaknya di bagian hulu DAS Palu, sehingga memiliki fungsi perlindungan dan pelestarian, antara lain sebagai pengatur tata air terhadap seluruh bagian DAS, utamanya Sungai Palu yang bermuara di Kota Palu yang merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Oleh karena itu, pengelolaan DAS Gumbasa menjadi fokus perencanaan mengingat adanya keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi antara daerah hulu dan hilir DAS Palu (BPDAS Palu-Poso 2007).

Kondisi Fisik DAS Gumbasa

Kondisi fisik DAS Gumbasa saat ini terindikasi mengalami degradasi, baik lingkungan fisik maupun biotik yang ditunjukkan antara lain oleh besarnya fluktuasi debit air pada musim penghujan dan kemarau. Ada kecenderungan penurunan debit di musim kemarau pada outlet Sungai Gumbasa yang sekaligus menjadi sumber air utama bagi bendung Irigasi Gumbasa yang terletak di Desa Pandere Kecamatan Gumbasa, sehingga kebutuhan air pada areal Irigasi Gumbasa tidak terpenuhi pada musim kemarau. Laju erosi dan sedimentasi yang tinggi, ditengarai sebagai akibat tingginya tekanan terhadap lahan dan sumber daya alam lainnya, antara lain berupa pembalakan liar (illegal loging), perambahan hutan terutama pada wilayah-wilayah yang berlereng bergelombang sampai bergunung yang rawan untuk pembukaan lahan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Pada wilayah DAS Gumbasa juga terjadi penurunan jumlah populasi dan spesies dari flora dan fauna yang ada akibat perburuan dan penangkapan secara berlebihan terhadap berbagai jenis flora dan fauna di wilayah ini, termasuk yang sifatnya endemik di wilayah ini.

Geomorfologi

Di DAS Gumbasa terdapat lima unit geomorfologi yang didominasi oleh unit geomorfologi perbukitan metamorf terkikis (25,41 %), sedangkan yang


(1)

Lanjutan Lampiran 7. Kuisioner Seri II

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25


(2)

Fungsi Koordinasi dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa

Sub elemen atau fungsi koordinasi yang diduga berpengaruh adalah :

1 = Adanya kebijakan yang top down

2 = Lemahnya pengorganisasian

3 = Ketidakterlibatan lembaga dalam perencanaan 4 = Lemahnya fungsi oprasional institusi

5 = Lemahnya fungsi regulasi institusi 6 = Rendahnya kualitas SDM

7 = Adanya sikap sektoralisentris 8 = Konflik vertikal

9 = Konflik horisontal

10 = Sifat multisektor/multidisiplin 11 = Lemahnya kontrol vertikal

12 = Ketidakjelasan lembaga koordinator 13 = Ketergantungan pada juklak/juknis

14 = Kesenjangan kebijakan pengelolaan DAS dan kebijakan sektor 15 = Lemahnya dukungan insentif

16 = Lemahnya komitmen aparat pemerintah 17 = Kurangnya pembinaan

18 = Lemahnya kontrol sosial

Petunjuk Pengisian :

Isilah kolom bebas arsir dengan huruf V, A, X, dan O untuk menunjukkan sub elemen yang lebih berpengaruh :

V, jika eij = 1, dan eji = 0 (elemen i lebih penting daripada j) A, jika eij = 0, dan eji = 1 (elemen i tidak lebih penting daripada j) X, jika eij = 1, dan eji = 1 (elemen i dan j sama penting)

O, jika eij = 0, dan eji = 0 (elemen i dan j sama tidak penting)

Contoh : Mana yang lebih berpengaruh antara Adanya kebijakan yang top down (A) dibanding Lemahnya pengorganisasian (B) terhadap lemahnya fungsi koordinasi konservasi sumberdaya air di DAS Gumbasa? Jika A tidak lebih berpengaruh daripada B, maka pada kolom A-B diisi dengan huruf A.


(3)

Lanjutan Lampiran 8. Kuisioner Seri III

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18


(4)

KUISIONER Seri IV

Instrumen Prioritas dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa

Sub elemen atau Instrumen yang diduga menjadi prioritas adalah :

1 = Penerapan sistem teknologi informasi dan basis data 2 = Penerapan teknologi konservasi

3 = Penerapan teknologi pasca panen 4 = Pengefektifan penyuluhan lapangan

5 = Pelestarian dan pengembangan kearifan budaya masyarakat 6 = Pengembangan sistem pertanian konservasi

7 = Peningkatan pengetahuan dan keterampilan aparat 8 = Pengefektifan peran lembaga pemerintah

9 = Peningkatan partisipasi masyarakat 10 = Legitimasi dan sosialisasi program

11 = Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani

Petunjuk Pengisian :

Isilah kolom bebas arsir dengan huruf V, A, X, dan O untuk menunjukkan sub elemen yang lebih diprioritaskan :

V, jika eij = 1, dan eji = 0 (elemen i lebih penting daripada j) A, jika eij = 0, dan eji = 1 (elemen i tidak lebih penting daripada j) X, jika eij = 1, dan eji = 1 (elemen i dan j sama penting)

O, jika eij = 0, dan eji = 0 (elemen i dan j sama tidak penting)

Contoh : Mana yang lebih diprioritaskan antara instrumen Penerapan sistem teknologi informasi dan basis data (A) dibanding Penerapan teknologi koservasi (B) dalam program konservasi sumberdaya air di DAS Gumbasa ? Jika A dan B sama berperan, maka pada kolom A-B diisi dengan huruf X.

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11


(5)

Lampiran 10.

KUISIONER Seri V

Kinerja Fungsi Manajemen (Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan) dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa

Petunjuk Pengisian :

Isilah kotak yang telah disediakan pada setiap nomor pertanyaan, dengan menuliskan angka sebagai berikut :

A. Jika sub elemen pertama sama penting dengan sub elemen yang kedua ... 1

B. Jika sub elemen yang pertama sedikit lebih penting dari yang kedua ... 3

C. Jika sub elemen yang pertama jelas lebih penting dari yang kedua ... 5

D. Jika sub elemen yang pertama gangat jelas lebih penting dari yang kedua ... 7

E. Jika sub elemen yang pertama mutlak jelas lebih penting dari yang kedua ... 9

F. Jika ragu-ragu antara A dan B ... 2

G. Jika ragu-ragu antara B dan C ... 4

H. Jika ragu-ragu antara C dan D ... 6

I. Jika ragu-ragu antara D dan E ... 8 J. Jika kebalikan dari A, B, C, D, dan E ... 1/3 – 1/9 Penilaian Sub Elemen Level 2

Sehubungan dengan penerapan fungsi manajemen terhadap program konservasi sumberdaya air di DAS Gumbasa, mana yang lebih berperan antara :

1. Tingkat Pusat dan Tingkat Provinsi ... 2. Tingkat Pusat dan Tingkat Kabupaten ... 3. Tingkat Provinsi dan Tingkat Kabupaten ... Penilaian Sub Elemen Level 3

Sehubungan dengan aktor tingkat pusat, mana lebih berpengaruh antara :

1. Koordinasi antar sektor dan Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan ... 2. Koordinasi antar sektor dan sifat multisektor ... 3. Koordinasi antar sektor dan kontrol/penegakan hukum ... 4. Koordinasi antar sektor dan arah kebijakan ... 5. Koordinasi antar sektor dan keterlibatan stakeholders ... 6. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan sifat multisektor ... 7. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan kontrol/penegakan hukum ... 8. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan arah kebijakan ... 9. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan keterlibatan stakeholders ... 10. Sifat multisektor dan kontrol/penegakan hukum ... 11. Sifat multisektor dan arah kebijakan ... 12. Sifat multisektor dan keterlibatan stakeholders ... 13. Kontrol/penegakan hukum dan arah kebijakan ... 14. Kontrol/penegakan hukum dan keterlibatan stakeholders ... 15. Arah kebijakan dan keterlibatan stakeholders ... Sehubungan dengan aktor tingkat provinsi, mana lebih berpengaruh antara :

1. Koordinasi antar sektor dan Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan ... 2. Koordinasi antar sektor dan sifat multisektor ... 3. Koordinasi antar sektor dan kontrol/penegakan hukum ... 4. Koordinasi antar sektor dan arah kebijakan ... 5. Koordinasi antar sektor dan keterlibatan stakeholders ... 6. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan sifat multisektor ... 7. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan kontrol/penegakan hukum ... 8. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan arah kebijakan ... 9. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan keterlibatan stakeholders ...


(6)

12. Sifat multisektor dan keterlibatan stakeholders ... 13. Kontrol/penegakan hukum dan arah kebijakan ... 14. Kontrol/penegakan hukum dan keterlibatan stakeholders ... 15. Arah kebijakan dan keterlibatan stakeholders ... Sehubungan dengan aktor tingkat kabupaten, mana lebih berpengaruh antara :

1. Koordinasi antar sektor dan Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan ... 2. Koordinasi antar sektor dan sifat multisektor ... 3. Koordinasi antar sektor dan kontrol/penegakan hukum ... 4. Koordinasi antar sektor dan arah kebijakan ... 5. Koordinasi antar sektor dan keterlibatan stakeholders ... 6. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan sifat multisektor ... 7. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan kontrol/penegakan hukum ... 8. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan arah kebijakan ... 9. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan keterlibatan stakeholders ... 10. Sifat multisektor dan kontrol/penegakan hukum ... 11. Sifat multisektor dan arah kebijakan ... 12. Sifat multisektor dan keterlibatan stakeholders ... 13. Kontrol/penegakan hukum dan arah kebijakan ... 14. Kontrol/penegakan hukum dan keterlibatan stakeholders ... 15. Arah kebijakan dan keterlibatan stakeholders ... Penilaian Sub Elemen Level 4

A. Sehubungan dengan kriteria koordinasi antar sektor, mana lebih berpengaruh terhadap kegagalan program antara :

1. Perencanaan program dan pelaksanaan program ... 2. Perencanaan program dan pengawasan program ... 3. Pelaksanaan program dan pengawasan program ... B. Sehubungan dengan kriteria Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan, mana lebih

berpengaruh terhadap kegagalan program antara :

1. Perencanaan program dan pelaksanaan program ... 2. Perencanaan program dan pengawasan program ... 3. Pelaksanaan program dan pengawasan program ... C. Sehubungan dengan kriteria sifat multi sektor, mana lebih berpengaruh terhadap

kegagalan program antara :

1. Perencanaan program dan pelaksanaan program ... 2. Perencanaan program dan pengawasan program ... 3. Pelaksanaan program dan pengawasan program ... D. Sehubungan dengan kriteria kontrol/penegakan hukum, mana lebih berpengaruh

terhadap kegagalan program antara :

1. Perencanaan program dan pelaksanaan program ... 2. Perencanaan program dan pengawasan program ... 3. Pelaksanaan program dan pengawasan program ... E. Sehubungan dengan kriteria arah kebijakan, mana lebih berpengaruh terhadap

kegagalan program antara :

1. Perencanaan program dan pelaksanaan program ... 2. Perencanaan program dan pengawasan program ... 3. Pelaksanaan program dan pengawasan program ... F. Sehubungan dengan kriteria keterlibatan stakeholders, mana lebih berpengaruh

terhadap kegagalan program antara :

1. Perencanaan program dan pelaksanaan program ... 2. Perencanaan program dan pengawasan program ... 3. Pelaksanaan program dan pengawasan program ...