Pengembangan Ekowisata di Kawasan Trianggulasi Taman Nasional Alas Purwo.

PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KAWASAN
TRIANGGULASI TAMAN NASIONAL
ALAS PURWO

MONA ANNISA MATONDANG

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan
Ekowisata Di Kawasan Trianggulasi Taman Nasional Alas Purwo adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Mona Annisa Matondang
NIM E34110114

ABSTRAK
MONA ANNISA MATONDANG. Pengembangan Ekowisata di Kawasan
Trianggulasi Taman Nasional Alas Purwo. Dibimbing oleh TUTUT
SUNARMINTO dan HARNIOS ARIEF.
Kawasan Trianggulasi terdapat di Resort Rowobendo Taman Nasional
Alas Purwo. Daya tarik ekowisata di Trianggulasi sangat beragam, namun saat ini
pihak pengelola belum memanfaatkan dan mengelola potensi-potensi tersebut
secara optimal sehingga kondisinya tidak terpelihara. Tujuan utama dari penelitian
ini adalah untuk merumuskan strategi pengembangan ekowisata di kawasan
Trianggulasi berdasarkan aspek permintaan dan aspek penawaran. Penelitian
dilakukan dengan metode pengumpulan data berupa observasi lapang, penyebaran
kuesioner, wawancara dan studi pustaka. Strategi pengembangan ekowisata di

kawasan Trianggulasi dapat dilakukan dengan membuat produk ekowisata sesuai
permintaan
pengunjung,
mendorong
pihak
WWAH
agar
segera
mengoperasionalkan ruang usaha yang telah disewa, pemberdayaan masyarakat,
melakukan perbaikan sarana dan prasarana sebagai penunjung kegiatan ekowisata,
optimalisasi pemasaran dan promosi pada target pasar, memberikan himbauan
agar dapat meminimalisir dampak kerusakan lingkungan akibat kegiatan
ekowisata, pengaturan kunjungan dan peningkatan kualitas SDM.
Kata kunci: ekowisata, strategi pengembangan, taman nasional Alas Purwo,
trianggulasi
ABSTRACT
MONA ANNISA MATONDANG. The Development of Ecotourism in
Trianggulasi Alas Purwo National Park. Supervised by TUTUT SUNARMINTO
and HARNIOS ARIEF.
Trianggulasi placed in Resort Rowobendo, Alas Purwo National Park.

Trianggulasi attraction of ecotourism are diverse, due to the manager could not
utilize and manage optimally, it became unmaintained. The main purpose of this
research was to formulated development strategy of ecotourism in Trianggulasi
based aspects of demand and aspects of supply. The research was conducted with
data collection methods such as observation, questionnaires, interviews and
literature. Development strategy of ecotourism in Triangulasi work by creating
ecotourism products on visitors demand, encouraging parties to immediately
operationalize WWAH business space that has been leased, community
empowerment, repairing facilities and infrastructure, optimization of marketing
and promotion on target market, provide advices to minimize the impact of
environmental damage caused by ecotourism, arrangement for visitors and
improving the quality of human resources.
Keywords: Alas Purwo national park, ecotourism, development strategy,
trianggulasi

PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KAWASAN
TRIANGGULASI TAMAN NASIONAL
ALAS PURWO

MONA ANNISA MATONDANG


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Febuari - Maret 2015 ialah
ekowisata, dengan judul Pengembangan Ekowisata di Kawasan Trianggulasi
Taman Nasional Alas Purwo.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Tutut Sunarminto, MSi

dan Bapak Dr Ir Harnios Arief, MScF selaku pembimbing yang telah banyak
memberi masukan selama pengerjaan skripsi. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada seluruh staff Taman Nasional Alas Purwo yang telah
menerima penulis dengan baik dan membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terimakasih secara khusus disampaikan pada Mama, Amang, Adikadik, sahabat-sahabat terdekat, kelompok PKLP TNAP, teman seperjuangan Fast
Track MEJ dan teman-teman KSHE 48 atas doa dan motivasi yang telah
diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

Mona Annisa Matondang

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR


vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan


2

Manfaat

2

Kerangka Pemikiran

2

METODE

3

Waktu dan Lokasi

3

Alat dan Obyek


4

Jenis Data

5

Metode Pengumpulan Data

6

Analisis Data

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Kawasan Trianggulasi

7
8


Potensi Ekowisata di Trianggulasi

10

Penilaian Potensi Wisata

16

Karakteristik, Persepsi, Preferensi dan Harapan Pengunjung

17

Masyarakat

23

Persepsi dan Kesiapan Pengelola dalam Mendukung
Pengembangan Ekowisata

23


Pengembangan Ekowisata di Trianggulasi

24

SIMPULAN DAN SARAN

30

Simpulan

30

Saran

31

DAFTAR PUSTAKA

31


LAMPIRAN

33

vii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Jenis, sumber dan metode pengumpulan data
Matriks SWOT
Aksesibilitas menuju kawasan Trianggulasi
Karakteristik pengunjung di Kawasan Trianggulasi
Persepsi pengunjung terhadap sediaan wisata di kawasan
Trianggulasi
Preferensi pengunjung terhadap kegiatan ekowisata di Trianggulasi
Matriks SWOT pengembangan ekowisata di kawasan Trianggulasi

5
8
9
18
21
22
25

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

10
11
12
13

Kerangka Pemikiran Pengambangan Ekowisata di Kawasan Trianggulasi
Peta lokasi penelitian
Sarana dan prasarana yang tidak terawat (a) Pondok peneliti; (b) Toilet
Cekakak jawa (Halcyon cyanoventris)
Monyet ekor panjang
Gejala alam di Kawasan Trianggulasi (a) Matahari terbenam; (b) Kondisi
surut air laut
Sungklon ombo
Pasir gotri
Prosesi Pagerwesi (a) Melasti dan mendak tirta; (b) Iring-iringan tirta
suci; (c) Sembahyang bersama dan bhakti pakelem; (d) Tarian sakral
rejang dewa
Alur penentuan potensi unggulan Pantai Triangulasi
Asal daerah pengunjung
Persepsi pengunjung terhadap media promosi
Akses jalan yang rusak

3
4
10
11
12
13
14
14
15

17
19
19
20

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Potensi flora
Hasil penilaian potensi unggulan ekowisata di Trianggulasi

33
34

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Taman Nasional Alas Purwo merupakan salah satu taman nasional di
Indonesia yang terletak di ujung timur Pulau Jawa dengan luas 43.420 Ha. Banyak
lokasi obyek dan daya tarik wisata di dalam Taman Nasional Alas Purwo,
diantaranya beberapa pantai yang unik dan potensial seperti ombak yang cocok
untuk olah raga surfing, pantai tempat peneluran penyu, pantai yang berpasir putih,
terumbu karang serta laguna yang dipenuhi burung migran pada musim-musim
tertentu. Trianggulasi merupakan salah satu lokasi obyek wisata yang memiliki
pantai berpanorama indah dengan pasir putih dan menjadi tempat bertelur empat
jenis penyu. Trianggulasi terdapat di Resort Rowobendo dan berada di dalam zona
pemanfaatan seluas 47 Ha.
Keindahan alam pantai disempurnakan dengan formasi hutan pantai yang
masih lengkap serta keragaman flora dan fauna yang tinggi. Ekosistem hutan
pantai memanjang kurang lebih 3 km dengan lebar pantai ke daratan berkisar 250300 m (Taman Nasional Alas Purwo 2013). Selain memiliki keindahan alam dan
keanekaragaman hayati, Trianggulasi merupakan pantai yang digunakan untuk
kegiatan keagamaan umat Hindu, yaitu Pagerwesi. Namun saat ini pihak
pengelola belum memanfaatkan dan mengelola potensi-potensi tersebut secara
optimal sehingga banyak obyek-obyek wisata yang berpotensi untuk
dikembangkan menjadi terabaikan dan tidak tertata atau terpelihara. Begitu pula
dengan sarana dan prasarana yang kondisinya rusak berat, menyebabkan
kunjungan wisatawan ke kawasan Trianggulasi cenderung rendah.
Strategi pengembangan ekowisata yang tepat dibutuhkan agar potensi
sumberdaya dapat dimanfaatkan dan dikelola secara berkelanjutan. Terkait
pengembangan ekowisata, dibutuhkan penelitian untuk mengetahui supply dan
demand di kawasan Trianggulasi. Pengembangan ekowisata tersebut diharapkan
mampu mensejahterakan masyarakat, memberi kepuasan pengunjung serta
mendorong upaya pelestarian demi terwujudnya kawasan ekowisata di
Trianggulasi sebagai obyek wisata andalan di Taman Nasional Alas Purwo.

Perumusan Masalah
Trianggulasi menyajikan keanekaragaman hayati berupa flora dan fauna
khas hutan pantai, panorama alam yang menghadirkan sunrise dan sunset yang
indah serta dilengkapi dengan ombak pantai yang berasal dari Samudera Hindia.
Hal tersebut merupakan sumber daya alam yang berpotensi sebagai obyek dan
daya tarik wisata alam. Saat ini pihak pengelola belum memiliki perencanaan
pengembangan ekowisata yang matang, sehingga potensi sumber daya alam yang
dapat dijadikan sebagai obyek dan daya tarik wisata belum dikelola secara optimal.
Pengembangan ekowisata di kawasan Trianggulasi perlu diarahkan pada
konsep wisata yang berkelanjutan dengan memperhatikan keseimbangan ekologi,
ekonomi, sosial dan budaya. Menurut Muntasib (2012), ekowisata digambarkan
sebagai primadona dengan peluang yang terbuka luas, juga manfaat yang sangat

2
luas dan strategis, merupakan bisnis atau industri hijau dapat meningkatkan
pendapatan negara dan daerah, penciptaan lapangan kerja serta ditambah dengan
efek berganda yang tinggi. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang
akan dijawab melalui penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana potensi sumberdaya wisata di kawasan Trianggulasi?
2. Bagaimana permintaan pengunjung, kesiapan masyarakat dan pengelola
terhadap ekowisata di kawasan Trianggulasi?
3. Bagaimana strategi pengembangan ekowisata di kawasan Trianggulasi, Taman
Nasional Alas Purwo?
Tujuan
Tujuan penelitian Pengembangan Ekowisata di kawasan Trianggulasi,
Taman Nasional Alas Purwo, yaitu:
1. Menilai potensi sumberdaya wisata berupa keanekaragaman hayati dan gejala
alam di kawasan Trianggulasi.
2. Menganalisis permintaan pengunjung, kesiapan masyarakat dan pengelola
terhadap ekowisata di kawasan Trianggulasi.
3. Merancang strategi pengembangan ekowisata di kawasan Trianggulasi, Taman
Nasional Alas Purwo.
Manfaat
Memberikan rekomendasi kepada pengelola Taman Nasional Alas Purwo
dalam pengembangan ekowisata di kawasan Trianggulasi dari segi potensi yang
ada dan sesuai dengan minat pengunjung serta kesiapan masyarakat sekitar.

Kerangka Pemikiran
Daerah pantai merupakan daerah perbatasan antara ekosistem laut dan
ekosistem darat. Hempasan gelombang dan hembusan angin menyebabkan pasir
dari pantai membentuk gundukan ke arah darat. Setelah terbentuknya gundukan
pasir tersebut biasanya terdapat hutan yang dinamakan hutan pantai. Trianggulasi
memiliki ekosistem hutan pantai dengan fungsi ekologi menjaga stabilitas
ekosistem pesisir, melindungi pantai dari abrasi, mencegah intrusi air laut dan
sebagai habitat berbagai satwa. Fungsi sosial ekonomi Trianggulasi, yaitu sebagai
sumber mata pencaharian dan tempat rekreasi. Permintaan wisata pada kawasan
Trianggulasi tergolong tinggi, namun kondisi ekologi pantai rawan akan terkena
dampak negatif akibat kegiatan wisata. Berdasarkan uraian tersebut, maka
dibutuhkan strategi pengembangan ekowisata yang tepat agar dapat menjaga
stabilitas ketiga fungsi tersebut.
Pengembangan ekowisata dihasilkan dari identifikasi potensi supply,
demand dan supporting ekowisata. Pendekatan supply dengan melihat aspek
keanekaragaman flora dan fauna, gejala alam dan spiritual. Pendekatan demand
dengan mengidentifikasi permintaan perlu memperhatikan persepsi dan preferensi
pengunjung, sedangkan pendekatan supporting melihat aspek SDM pengelola dan
masyarakat lokal. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.

3

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Pengambangan Ekowisata di Kawasan
Trianggulasi

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, yaitu 21 Februari – 21 Maret
2015 di kawasan Trianggulasi, Resort Rowobendo, Taman Nasional Alas Purwo.
Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan pada potensi sumber daya alam
sebagai obyek dan daya tarik wisata yang belum berkembang dan keberadaan
Taman Nasional Alas Purwo sebagai salah satu triangle diamond (wisata
unggulan) Banyuwangi. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.

4

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

Alat dan Obyek
Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain alat tulis, recorder,
kamera digital, laptop, panduan wawancara dan panduan pengenalan jenis flora
fauna (fieldguide). Obyek penelitian adalah kawasan Trianggulasi. Subyek
penelitian adalah pengunjung, masyarakat dan pengelola.

5
Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan dan diolah secara
langsung dari sumbernya oleh pengguna data. Data sekunder adalah data yang
telah diolah dan dipublikasikan oleh pihak lain (Kusmayadi 2000). Data primer
diperoleh melalui obervasi, wawancara responden, dan penyebaran kuesioner di
lokasi penelitian, sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka.
Jenis data primer berupa potensi sumberdaya alam pada kawasan Pantai
Trainggulasi, sarana dan prasarana, aksesibilitas, pengunjung, masyarakat dan
pengelola TNAP. Jenis data sekunder yang dikumpulkan adalah kondisi umum
dan peta kawasan. Jenis, sumber, dan metode pengumpulan data mengenai kondisi
umum kawasan Trianggulasi disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis, sumber dan metode pengumpulan data
Jenis Data

Metode
Pengumpulan
Data

Data yang Dikumpulkan

Sumber Data

Flora, fauna, gejala alam
dan spiritual
Jenis sarana dan
prasarana
Kondisi sarana dan
prasarana
Kondisi jalan
Jarak tempuh
Karakteristik
Motivasi
Persepsi
Preferensi
Harapan
Karakteristik
Persepsi
Kesiapan
Kebijakan
Strategi pengelolaan

Data di lapang

Observasi

Data di lapang

Observasi

Data di lapang

Observasi

Pengunjung

Kuesioner

Masyarakat

Wawancara

Pengelola
TNAP

Wawancara

Peta lokasi
Letak dan luas lokasi

Pengelola
TNAP

Studi pustaka

1. Data Primer
a. Potensi
ekowisata
a. Sarana dan
prasarana
b. Aksesibilitas
c. Pengunjung

d. Masyarakat

f.

Pengelola

2. Data Sekunder
g. Kondisi
umum

6
Metode Pengumpulan Data
Studi literatur
Studi literatur merupakan langkah awal untuk mengetahui kondisi umum
lokasi penelitian dan data umum potensi kawasan. Studi literatur diperoleh dari
berbagai sumber, seperti skripsi, dokumen, buku atau laporan dari pihak pengelola
dan institusi yang terkait dengan ekowisata di Trianggulasi.
Wawancara
Wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara.
Wawancara terstruktur berisi pertanyaan yang telah dirumuskan sebelumnya
dengan cermat dan biasanya secara tertulis (Nasution 2007). Wawancara
terstruktur dilakukan kepada pihak pengelola Taman Nasional Alas Purwo dan
masyarakat Desa Kalipait.
Pengelola
Wawancara terhadap pengelola bertujuan untuk mengetahui kebijakan dan
kesiapan dalam mengembangkan ekowisata di kawasan Trianggulasi. Wawancara
dilakukan kepada Kepala Taman Nasional Alas Purwo, Kepala Seksi I, Kepala
Resort Rowobendo, dua orang anggota urusan pemanfaatan dan dua orang
anggota urusan konservasi sumberdaya alam hayati.
Masyarakat
Pemilihan responden masyarakat diperoleh dengan pengambilan atau
penarikan contoh secara acak (random) sebanyak 30 orang. Random
Sampling artinya suatu metode atau cara pengambilan contoh dimana peluang
setiap anggota populasi untuk terpilih menjadi contoh ialah sama.
Kuesioner
Kuesioner disajikan dalam bentuk close ended yakni pada setiap pertanyaan
yang terdapat pada kuesioner sudah disediakan pilihan jawaban sehingga responden
hanya memilih dari jawaban yang sudah ada. Hal ini bertujuan agar jawaban yang
diberikan oleh responden tidak meluas dan fokus pada kegiatan penelitian.
Pengunjung
Kuesioner digunakan untuk pengunjung. Jenis data yang dikumpulkan
adalah karakteristik, persepsi, preferensi dan harapan pengunjung tentang
pengembangan ekowisata di kawasan Trianggulasi. Pengambilan data dan
informasi pengunjung dilakukan dengan menggunakan metode random sampling
dengan jumlah responden sebanyak 30 orang. Menurut Walpole (1982)
pengambilan sampel secara statistik yaitu minimal sebanyak 30 sampel. Hal ini
didasarkan dari perhitungan Tabel T (statistik), perhitungan dengan jumlah 30
tidak berbeda nyata dengan jumlah yang lebih besar dari 30, sehingga 30
responden sudah cukup dalam penelitian sosial.

7
Assessor
Kuesioner juga digunakan untuk penilaian potensi obyek wisata.
Kuesioner ini ditujukan kepada assessor. Penilaian potensi wisata terfokus pada
variabel flora, fauna, spiritual dan gejala alam. Penilaian dilakukan dengan
menilai tujuh aspek nilai yang terkait dan berasosiasi menurut Avenzora (2008)
yaitu keunikan, kelangkaan, keindahan, seasonalitas, aksesibilitas, sensitivitas dan
fungsi sosial. Penilaian tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem scoring
dengan skala 1 sampai 7. Pemaknaan skala yaitu “1” berarti “sangat tidak setuju”
dan “7” berarti “sangat setuju”, namun pola pemaknaan dan setiap nilai tersebut
dapat diubah sesuai dengan kebutuhan.
Observasi
Observasi merupakan metode periset yang diharuskan mengamati langsung
obyek yang diteliti (Kriyantono 2009). Observasi dilakukan untuk pencocokan
(verifikasi) data sekunder yang didapat dari studi pustaka dengan data di lapang.
Terdapat beberapa aspek dalam pengambilan data yang terdiri dari kondisi umum,
potensi ekowisata, pengunjung serta pengelolaan kawasan Trianggulasi.
Analisis Data
Analisis deskriptif
Data yang didapat dari hasil wawancara, observasi, studi pustaka dan
penyebaran kuisioner diolah dengan cara tabulasi data dan dianalisis dengan
menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil analisis deskriptif kemudian
dianalisis lebih detail dengan analisis SWOT.
Analisis SWOT
Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan
ancaman eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki (Rangkuti 2006). Analisis dengan pendekatan SWOT
dalam penelitian ini dilakukan untuk menyusun strategi pengembangan ekowisata
yang akan dilakukan di kawasan Trianggulasi, Taman Nasional Alas Purwo.
Analisis dengan pendekatan SWOT dilakukan pada hasil analisis deskriptif terkait
observasi lapangan, studi pustaka, dan wawancara, dengan tahapan penentuan
faktor internal dan eksternal dalam kegiatan pengembangan ekowisata dan
perumusan alternative strategi pengembangan.
Identifikasi faktor internal meliputi data pengelolaan, sumberdaya
masyarakat di luar kawasan, potensi obyek wisata dan sarana prasarana.
Identifikasi faktor eksternal meliputi data mengenai kebijakan yang berlaku dan
aksesibilitas menuju kawasan. Selanjutnya penyusunan strategi berdasarkan faktor
eksternal dan faktor internal tersebut dibuat dalam matriks SWOT yang disajikan
pada Tabel 2. Analisis dengan pendekatan SWOT dapat menghasilkan empat
strategi yaitu strategi SO, ST, WO, dan WT sebagai pengembangan ekowisata di
kawasan Trianggulasi, Taman Nasional Alas Purwo.

8
Tabel 2 Matriks SWOT
Faktor
Internal
Faktor Eksternal
Peluang
(Opportunity)
Daftar Peluang
Ancaman (Threat)
Daftar Ancaman

Kekuatan (Strengths)
Daftar Kekuatan
Strategi S-O
Menggunakan kekuatan yang
dapat memanfaatkan peluang
Strategi S-T
Menggunakan kekuatan
untuk menghindari ancaman
yang ada

Kelemahan (Weakness)
Daftar Kelemahan
Strategi W-O
Meminimalkan
kelemahan dengan
memanfaatkan peluang
Strategi T-W
Meminimalkan
kelemahan serta
menghindari ancaman.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Kawasan Trianggulasi
Trianggualasi adalah pantai yang berada pada kawasan Taman Nasional
Alas Purwo di Desa Tegaldlimo yang berjarak ± 75 Km dari Banyuwangi.
Trianggulasi diambil dari nama titik ikat dalam pengukuran dan pemetaan yang
terletak ± 500 meter dari utara pantai. Fungsi dari tugu trianggulasi adalah
penanda untuk keperluan pemetaan yang berada di pantai ini. Trianggulasi
merupakan salah satu pantai yang mempunyai formasi hutan pantai yang masih
lengkap sehingga mempunyai keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna
yang berlimpah, sehingga dapat dijadikan sebagai obyek dan daya tarik wisata
alam (ODTWA). Pendit (1999) mendefinisikan daya tarik wisata sebagai segala
sesuatu yang menarik dan bernilai untunk dikunjungi dan dilihat. Definisi tersebut
disempurnakan oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009
tentang kepariwisataan, yang mendefinisikan daya tarik wisata sebagai segala
sesuatu yang memiliki keunikan, kemudahan dan nilai yang berupa
keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi
sasaran atau kunjungan wisatawan.
Aksesibilitas
Kawasan Taman Nasional Alas Purwo dapat ditempuh dari Banyuwangi
atau Jember. Untuk menuju lokasi Trianggulasi dapat ditempuh menggunakan dua
alternatif jalan seperti disajikan pada Tabel 3.

9
Tabel 3 Aksesibilitas menuju kawasan Trianggulasi
Lokasi
Alternatif 1
Banyuwangi – Kalipait
Kalipait - Pasaranyar
Pasaranyar - Rowobendo
Rowobendo - Pura Giri Salaka
Rowobendo - Trianggulasi
Alternatif 2
Jember - Benculuk
Banyuwangi - Benculuk
Benculuk - Grajagan
Grajagan - Plengkung
Plengkung - Trianggulasi

Jarak
Tempuh
(Km)

Waktu
(menit)

Sarana

59
3
10

120 Kendaraan bermotor
5 Kendaraan bermotor
60 Kendaraan bermotor

1
2

Kendaraan bermotor
5
10 Kendaraan bermotor

80
30
18
x
12

120
45
30
30
90

Kendaraan bermotor
Kendaraan bermotor
Kendaraan bermotor
Speed boat
Kendaraan bermotor

Sarana dan prasarana
Potensi atau daya tarik kawasan harus diikuti dengan pengembangan dan
pengelolaan yang baik serta tersedianya sarana dan prasarana penunjang yang
cukup dalam mendukung kegiatan ekowisata, karena pada umumnya pengunjung
tidak hanya datang untuk menikmati daya tarik saja tetapi juga ingin menikmati
fasilitas yang mampu memberikan kepuasan. Namun saat ini, fasilitas pendukung
pada kawasan Trianggulasi jumlahnya masih terbatas dan belum dimanfaatkan
secara maksimal. Beberapa fasilitas yang telah ada di dalam tapak pesanggrahan
adalah kantor pengelola, wisma tamu, penginapan, toilet, ruang genset, gazebo,
dan dapur. Sementara bangunan eksisting di tepi pantai adalah pendopo terbuka,
dan dua pondok peneliti yang semuanya dalam kondisi rusak berat.
Pesanggrahan di Trianggulasi awalnya dikelola oleh Koperasi Makmur
Sejahtera sampai akhirnya pada tahun 2012 tidak boleh dikomersilkan lagi. Saat
ini berdasarkan peraturan yang berlaku, tapak pesanggrahan Trianggulasi hanya
digunakan sebagai sarana untuk tamu dinas atau peneliti saja. Kegiatan tersebut
cenderung jarang dilakukan, maka penggunaan dan perawatan sarana prasarana di
dalam tapak juga tidak intensif. Menurut kepala Balai TNAP, tidak adanya
pemeliharaan pada kawasan Trianggulasi dikarenakan keterbatasan biaya. Pihak
TNAP mengalokasikan sebagian besar dana tersebut untuk pemeliharaan pada
kawasan Rowobendo, Bedul dan Plengkung terlebih dahulu karena merupakan
gerbang masuk utama TNAP. Bila diibaratkan, Trianggulasi merupakan kamar
sedangkan Rowobendo, Bedul dan Plengkung merupakan pintu masuk sehingga
pihak TNAP merasa perbaikan dan pemeliharaan pada pintu masuk perlu
didahulukan. Akibatnya hampir seluruh sarana prasarana yang ada di kawasan
Trianggulasi dalam kondisi rusak (Gambar 3).

10

(a)

(b)

Gambar 3 Sarana dan prasarana yang tidak terawat (a) Pondok peneliti; (b) Toilet

Potensi Ekowisata di Trianggulasi
Flora
Kawasan Taman Nasional Alas Purwo merupakan lansekap ekosistem
yang terdiri dari beberapa tipe hutan yaitu hutan dataran rendah, hutan pantai,
hutan bambu, hutan mangrove, hutan tanaman dan padang rumput. Beragamnya
habitat yang ada menjadikan TNAP memiliki potensi flora yang beragam.
Terdapat sedikitnya 584 jenis tumbuhan yang terdiri dari rumput, herba, semak,
liana dan pohon yang tersebar sesuai tipe habitat yang ada (Balai Taman Nasional
Alas Purwo 2011).
Kawasan Trianggulasi merupakan bagian dari TNAP yang mewakili tipe
habitat hutan pantai. Hutan pantai merupakan salah satu tipe hutan penting di
Indonesia yang tumbuh pada lahan kering di kawasan pesisir. Tipe ekosistem
hutan pantai terdapat di daerah-daerah kering tepi pantai dengan kondisi tanah
berpasir atau berbatu dan terletak di atas garis pasang tertinggi. Di daerah seperti
itu pada umumnya jarang tergenang oleh air laut, namun sering terjadi angin
kencang dengan embusan garam. Apabila dilihat perkembangan vegetasi yang ada
di daerah pantai (litoral), maka akan sering dijumpai dua formasi vegetasi, yaitu
formasi Pescaprae dan formasi Barringtonia.
Hasil observasi mencatatat 48 jenis tumbuhan khas hutan pantai yang
disajikan pada Lampiran 1. Beberapa tumbuhan yang mendominasi antara lain
waru laut (Hibiscus tiliaceus), keben (Barringtonia asiatica), bogem
(Barringtonia stovia), nyamplung (Callophylum inophylum) dan ketapang
(Terminalia catapa). Tumbuhan pantai memiliki peran penting dalam menjaga
stabilitas ekosistem pesisir, misalnya melindungi pantai dari abrasi, mencegah
intrusi air laut, dan sebagai habitat berbagai satwa (Kusmana 2004). Selain
memiliki fungsi ekologis beberapa flora penyusun hutan pantai juga memiliki
daya tarik estetika dari morfologinya.
Salah satu tumbuhan yang memiliki daya tarik estetika adalah Ketapang.
Pohon ketapang mempunyai bentuk cabang dan tajuk yang khas. Habitat yang

11
disukai oleh tumbuhan asli Asia Tenggara ini adalah daerah dataran rendah
termasuk daerah pantai hingga ketinggian 500 mdpl. Pohon ini menggugurkan
daunnya hingga dua kali dalam setahun namun mampu bertahan menghadapi
bulan-bulan yang kering. Ketapang telah menjadi tumbuhan multiguna sejak
dahulu. Pepagan (kulit luar) dan daunnya berguna untuk menyamak kulit,
pewarna kulit, dan sebagai tinta. Selain itu, cabangnya mendatar dan tajuknya
bertingkat-tingkat mirip struktur pagoda sehingga sangat cocok berada pada
kawasan wisata pantai karena dapat menaungi pengunjung yang ingin beristirahat
sambil menikmati pemandangan.
Fauna
Habitat yang beragam di TNAP menyediakan berbagai sumber pakan dan
tempat tinggal yang beragam bagi berbagai jenis fauna. Sebanyak 236 jenis
burung diantaranya merak hijau (Pavo muticus), ayam hutan (Gallus spp), dan
tiga jenis kerabat burung rangkong yaitu julang mas (Rhyticeros undulatus),
kangkareng perut-putih (Anthracoceros albirostris conpexus) dan rangkong badak
(Buceros rhinoceros silvetris) menjadi penghuni habitat di TNAP (Taman
Nasional Alas Purwo 2013).
Beberapa jenis burung yang dapat dijumpai di kawasan Trianggulasi
berdasarkan observasi adalah elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster),
gagak hutan (Corvus enca), cica daun besar (Chloropsis sonneratii) dan cekakak
jawa (Halcyon cyanoventris) yang memiliki warna bulu cerah dan indah. Cekakak
jawa merupakan burung endemik pulau jawa yang khas dengan paruh merah
besarnya (Gambar 4). Berbagai jenis burung air juga sering dijumpai di hutan
pantai, yaitu kuntul besar (Egreta alba), camar (Stercorarius pomarius), pecuk
ular asia (Anhinga melanogaster), trinil pantai (Actitis hypoleucos), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), cekakak sungai (Halcyon cloris).
Selain memiliki fungsi ekologis, berbagai jenis fauna juga memiliki daya
tarik dari morfologi, keindahan warna dan perilaku. Burung termasuk jenis fauna
yang menarik untuk diamati, karena memiliki warna dan perilaku yang unik.
Selain itu, burung dapat dijadikan sebagai obyek kegiatan wildlife photography.
Keberadaan jenis burung yang cukup beragam di Trianggulasi menjadi potensi
untuk kegiatan ekowisata yang dapat memberikan edukasi serta kepuasan hobi.

Gambar 4 Cekakak jawa (Halcyon cyanoventris)

12
Berbagai jenis mamalia dan primata dengan total 31 jenis diantaranya
banteng (Bos javanicus), anjing hutan (Cuon alpinus), macan tutul (Panthera
pardus), babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak) dan rusa (Cervus
timorensis), lutung (Presbitis cristata) dan monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis) masih dapat dijumpai di kawasan TNAP.
Mamalia merupakan jenis fauna yang cukup sulit dijumpai karena cukup
sensitif dengan kehadiran manusia. Dapat berjumpa dengan suatu jenis mamalia,
mengamati perilakunya dan mengabadikan gambarnya akan menjadi kepuasan
tersendiri mengingat cukup sulitnya bertemu mamalia di alam liar. Jenis mamalia
yang ada di Trianggulasi seperti, kancil (Tragulus kanchil), babi hutan (Sus
scrofa) dan rusa (Cervus timorensis) cukup mudah dijumpai di sekitar
Trianggulasi. Hal tersebut tentunya menjadi keunggulan dan potensi untuk
dilakukan kegiatan pengamatan fauna. Rusa timor (Cervus timorensis) adalah
salah satu yang paling menarik karena merupakan salah satu rusa asli Indonesia
selain rusa bawean, sambar dan manjangan. Morfologi rusa timor yang indah serta
keberadaannya mudah dijumpai di kawasan Trianggulasi sangat cocok untuk
dijadikan obyek pengamatan satwa dan wildlife photography.
Primata yang dapat dijumpai di Trianggulasi adalah monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis) dan lutung jawa (Trachypithecus auratus). Monyet ekor
panjang merupakan satwa yang mudah dijumpai di kawasan Trianggulasi.
Perilaku unik dari monyet ekor panjang dapat dijadikan sebagai atraksi wisata
yang menarik, namun satwa tersebut sudah mengalami perubahan perilaku yang
dapat mengganggu kenyamanan serta membahayakan keselamatan pengunjung
(Gambar 5).

Gambar 5 Monyet ekor panjang
Selain memiliki potensi fauna terestrial, Trianggulasi juga menjadi tempat
singgah atau bertelur bagi penyu belimbing (Dermocheyls coriacea), penyu jenis
abu-abu (Lepidochelys olivecia), penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu
hijau (Chelonia mydas) yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di laut.
Keempat jenis penyu tersebut termasuk jenis fauna yang dilindungi dan hanya
memilih pantai tertentu untuk disinggahi atau bertelur. Hal tersebut menjadi daya
tarik tersendiri karena pengunjung berpeluang untuk melihat langsung jenis penyu
yang dilindungi sedang singgah atau bertelur di alam. Sejauh ini kegiatan

13
pengamatan penyu sudah dilakukan oleh pihak TNAP yang dikenal dengan istilah
lalar penyu.
Lalar penyu merupakan salah satu bentuk kegiatan patroli dengan cara
menyusuri pantai untuk mencari telur penyu atau penyu yang sedang singgah.
Lalar penyu dilakukan dini hari atau sebelum subuh karena bertepataan dengan
waktu penyu singgah atau bertelur di pantai. Hal tersebut dilakukan untuk
mencegah terjadinya pengambilan telur penyu secara ilegal oleh masyarakat.
Singgah atau bertelurnya penyu ke pantai Trianggulasi biasanya berlangsung pada
bulan April-November. Terbukti selama masa penelitian di bulan Februari-Maret
tidak ditemukan penyu yang singgah atau bertelur ketika dilakukan lalar penyu
disepanjang pantai.
Kegiatan lalar penyu sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai kegiatan
ekowisata. Karena kegiatan ekowisata pada prinsipnya merupakan kegiatan
rekreasi di alam bebas atau terbuka, yang di dalamnya terdapat juga kegiatan
konservasi yang diharapkan dapat menjadi alternatif solusi bagi beberapa
permasalahan seperti ancaman berupa gangguan habitat peneluran penyu ataupun
pengambilan telur-telur penyu secara ilegal. Kegiatan ekowisata diharapkan dapat
memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat dan menumbuhkan
rasa memiliki agar kelestarian penyu tetap terjaga.
Gejala alam
Pantai adalah perbatasan antara daratan dan laut, sedangkan laut adalah
kumpulan air dalam jumlah banyak yang membagi daratan atas benua-benua dan
pulau-pulau. Wisata pantai dapat diartikan sebagai wisata yang memanfaatkan
potensi sumber daya alam pantai beserta komponen pendukungnya, baik alami
maupun buatan atau gabungan keduanya itu (John O Simond 1978). Panorama
pantai menjadi daya tarik bagi pengunjung di Trianggulasi. Menikmati
pemandangan indah di saat matahari terbit maupun terbenam dan berjalan
menyusuri pantai dapat menjadi kegiatan wisata pada kawasan ini seperti tersaji
pada Gambar 6. Selain itu, panorama pantai juga dapat dijadikan sebagai obyek
yang menarik untuk kegiatan fotografi.

(a)

(b)

Gambar 6 Gejala alam di Kawasan Trianggulasi (a) Matahari terbenam; (b)
Kondisi surut air laut

14
Terdapat dua buah sungai di kawasan Trianggulasi, yaitu Sungklon Ombo
(Gambar 7) dan Sungai Pancur. Sungai tersebut saling berhubungan dan mengalir
di bawah kompleks perbukitan atau lipatan kapur (daerah karst). Selain sebagai
obyek wisata, Sungai Pancur yang mengalir dari sungai bawah tanah Gua Istana
juga dimanfaatkan untuk keperluan pengelolaan Trianggulasi (Taman Nasional
Alas Purwo 2013).

Gambar 7 Sungklon ombo
Umumnya pantai berpasir terdapat di seluruh dunia dan lebih dikenal dari
pada pantai berbatu. Hal ini disebabkan pantai berpasir merupakan tempat yang
dipilih untuk melakukan berbagai aktivitas rekreasi (Nybakken 1992). Daya tarik
lain yang dapat dinikmati pengunjung ketika menyusuri pantai pasir putih
Triangulasi ke Plengkung adalah ditemukannya daerah pasir gotri. Pasir tersebut
berwarna kuning kecoklatan, berbentuk bulat dan berdiameter lebih besar dari
pasir biasanya (Gambar 8).

Gambar 8 Pasir gotri
Spiritual
Daya tarik ekowisata di Trianggulasi sangat beragam. Bukan hanya
keindahan alam dan keanekaragaman hayati yang dimiliki, kawasan Trianggulasi
juga dianggap mistis sehingga menjadi magnet bagi peziarah untuk melakukan
berbagai ritual. Pengunjung dengan tujuan wisata spiritual ini biasanya menginap

15
beberapa hari untuk melakukan ritual di sekitar pantai, maka tidak jarang
ditemukan dupa dan sesajen di sekitar kawasan Trianggulasi. Selain itu,
Trianggulasi merupakan salah satu pantai yang digunakan untuk kegiatan
keagamaan umat Hindu.
Pagerwesi merupakan upacara keagamaan yang sakral dan sangat artistik
sehingga menjadi daya tarik bagi pengunjung. Hari Raya Pagerwesi jatuh setiap
210 hari sekali atau setiap 6 bulan dalam kalender Hindu. Puncak perayaan hari
raya Pagerwesi dipusatkan di Pura Luhur Giri Selaka. Upacara diawali dengan
melasti dan mendak tirta di Pantai Trianggulasi (Gambar 9a). Selama proses, umat
Hindu menari tarian tradisonal diiringi gamelan balegajur sambil mengikuti iringiringan. Satu julen simbol pelinggih Ida Betara Alas Puwo diusung dengan
rangakian kain putih memanjang (Gambar 9b).
Setibanya di pantai, umat Hindu menggelar upacara pecaruan. Pecaruan
atau mecaruan bagi umat Hindu di Bali diambil dari konsep Tri Hita Karana yang
terbagi menjadi tiga, yaitu Parhyangan (harmonisasi hubungan antara manusia
dengan tuhan), Pawongan (harmonisasi hubungan manusia dengan manusia), dan
Palemahan (harmonisasi hubungan manusia dengan alam sekitarnya). Fungsi
pecaruan atau mecaru adalah untuk mengharmonisasikan manusia dengan alam
sekitarnya. Pecaruan dapat dilakukan dengan berbagai macam metode. Pecaruan
di Pantai Trianggulasi dilaksanakan dengan cara memotong hewan kurban lalu
dihanyutkan ke laut untuk dipersembahkan ke dewa atau bhutakala.
Selanjutnya umat Hindu mengambil air suci di pinggir pantai. Upacara
dilanjutkan dengan sembahyang bersama dan bhakti pakelem (Gambar 9c). Bhakti
pakelem merupakan persembahyangan yang dilakukan oleh lima perwakilan
agama dijati pak-pak daerah Banyuwangi untuk memohon keselamatan. Hari
Raya Pagerwesi di Pantai Trianggulasi lebih menarik dan berbeda dari biasanya
karena dapat memanggil lima perwakilan agama untuk berdoa bersama. Adapun
lelanguan (persembahan) yang digunakan adalah bebek dan setumpuk banten
besar. Ritual ditutup dengan membasuh wajah bersama di pantai. Tirta yang
disucikan kemudian diarak menuju pura. Kegembiraan umat Hindu kembali
diluapkan dengan menari tarian tradisional sepanjang perjalanan. Tiba di pura,
tirta yang diusung disambut tarian sakral rejang dewa yang ditarikan penari dari
Bali seperti yang disajikan pada Gambar 9d.

(a)

(b)

16

(c)

(d)

Sumber foto: tnalaspurwo.org

Gambar 9 Prosesi Pagerwesi (a) Melasti dan mendak tirta; (b) Iring-iringan tirta
suci; (c) Sembahyang bersama dan bhakti pakelem; (d) Tarian sakral
rejang dewa
Penilaian Potensi Wisata
Identifikasi dan analisis potensi wisata pada kawasan Trianggulasi perlu
dilakukan agar menghasilkan potensi unggulan. Penilaian potensi wisata
dilakukan dengan cara menilai 7 indikator penilaian yang terkait dan berasosiasi
dalam suatu potensi wisata, yaitu keunikan, kelangkaan, keindahan, seasonality,
sensitivitas, aksesibilitas dan fungsi sosial. Agar berbagai unspeakable expression
of values (nilai yang tak terucapkan) dan subjektifitas berbagai nilai yang ada
terhadap suatu obyek atau event wisata dapat dengan mudah ditelusuri dan
dimengerti serta dipercaya oleh pengunjung, maka dalam metode ini suatu nilai
adalah diwakili oleh satu indikator. Dengan demikian, maka agregat dari
indikator-indikator yang terpenuhi oleh suatu obyek atau event wisata adalah
sekaligus menjadi final values obyek tersebut atas aspek yang dinilai (Avenzora
2008). Potensi wisata yang dinilai yaitu potensi wisata alam yang terdiri dari
variabel flora, fauna, spiritual, dan gejala alam. Berbagai indikator penilaian
potensi obyek wisata yang telah dilakukan oleh assessor disajikan pada Lampiran
2, sedangkan bagan alur penentuan potensi unggulan Kawasan Trianggulasi
disajikan pada Gambar 10.

17

Gambar 10 Alur penentuan potensi unggulan Pantai Triangulasi
Karakteristik, Persepsi, Preferensi dan Harapan Pengunjung
Pengunjung atau wisatawan merupakan orang yang mengunjungi tempat
wisata dengan tujuan tertentu terutama untuk tujuan rekreasi (Goeldner et al.
2000). Pengunjung pada suatu obyek wisata memiliki karakteristik, persepsi
maupun harapan yang berbeda. Hal ini perlu menjadi pertimbangan bagi penyedia
wisata sehingga dalam menyediakan produk dapat sesuai dengan minat dan
kebutuhan pengunjung. Menurut Douglas (1969) terdapat lima faktor dasar yang
mempengaruhi permintaan untuk rekreasi alam terbuka, yaitu manusia yang
terdiri dari jumlah populasi suatu daerah, lokasi tempat tinggal, umur dan
pendidikan, uang yang terdiri dari pendapatan dan kemewahan, waktu yang terdiri
dari pekerjaan dan perpindahan, komunikasi yang terdiri dari media dan pribadi,
serta permintaan yang terdiri dari prasarana dan aksesibilitas.
Karakteristik
Hasil kuesioner menunjukkan bahwa pengunjung yang terdapat di
kawasan Trianggulasi terdiri dari 77% laki-laki dan 23% perempuan. Pengunjung
yang terdapat di kawasan ini cenderung berkelompok dan didominasi oleh lakilaki. Terdapat 23% pengunjung berusia (16-20) tahun, 30% pengunjung berusia
(21-25) tahun, dan 47% pengunjung lebih dari 26 tahun. Latar belakang
pendidikan pengunjung yang paling tinggi sebesar 67%, yaitu pada tingkat SMA.
Pengunjung kawasan Trianggulasi terdiri dari berbagai jenis pekerjaan
yang didominasi oleh mahasiswa sebanyak 27%. Beragam jenis pekerjaan
pengunjung menunjukkan bahwa kawasan Trianggulasi dikunjungi oleh semua
lapisan masyarakat di sekitarnya. Secara jelas dan terperinci, karakteristik
pengunjung terlampir pada Tabel 4.

18
Tabel 4 Karakteristik pengunjung di Kawasan Trianggulasi
Parameter
Jenis Kelamin

Usia

Pendidikan
Terakhir

Kriteria
Laki-laki

77

Perempuan

23

(16-20) tahun
(21-25) tahun
> 26 tahun

23
30
47

Tidak sekolah

4

SD
SMP
SMA
Magister
Pekerjaan

Jumlah Pengunjung (%)

Pelajar
Mahasiswa
PNS
Wiraswasta
Marketing
Swasta
Guide
Buruh

3
23
67
3
14
27
4
10
3
7
3
3

Pegawai koperasi

3

Petugas pura
Sales
Petani
Pendarung

7
3
7
3

Ibu rumah tangga

3

Tidak bekerja

3

Kawasan Trianggulasi dapat dicapai melalui Banyuwangi dan Jember. Hasil
kuesioner menunjukkan bahwa jarak antara daerah asal pengunjung dan tempat
rekreasi berhubungan nyata dengan permintaan rekreasi karena sebagian besar
pengunjung berasal dari Banyuwangi (Gambar 11).

19
3%
3% 3% 3%

Banyuwangi
Cianjur

3%
4%

Sidoarjo
Surabaya
Pesanggaran

10%
7%

64%

Riau
Rembang
Purworejo
Purwokerto

Gambar 11 Asal daerah pengunjung
Persepsi
Saat ini Taman Nasional Alas Purwo masih sangat identik dengan
Plengkung, Bedul atau Situs Kawitan sebagai wisata unggulan, sedangkan
Trianggulasi belum banyak diketahui oleh masyarakat di luar Banyuwangi.
Promosi dari mulut ke mulut merupakan suatu cara promosi yang paling baik
untuk mempengaruhi konsumen dalam memasarkan suatu produk dan jasa karena
dalam promosi ini terdapat rekomendasi dari kerabat atau teman dekat yang
dijadikan sebagai sumber informasi yang dapat dipercaya. Hal tersebut sejalan
dengan hasil penelitian bahwa media promosi dari teman/keluarga memiliki nilai
paling tinggi. Persepsi pengunjung terhadap media promosi di Trianggulasi
disajikan pada Gambar 12.
7
6
5
4
3
2
1
0
Kerabat atau
Media cetak
Media sosial
teman
(koran, majalah,
(twitter,
leaflet,
facebook, dll)
brosur,dll)

Media
elektronik
(television,
radio, dll)

Gambar 12 Persepsi pengunjung terhadap media promosi

20
Potensi atau daya tarik yang khas sangat menentukan tingkat kunjungan
pada kawasan tertentu. Sebagian besar pengunjung menyatakan bahwa pantai
merupakan potensi wisata yang menarik di kawasan Trianggulasi dengan nilai
total sebesar 6,7. Hasil Kuesioner menunjukkan, pengunjung merasa kondisi
sumber daya alam di Trianggulasi indah dan dapat mereka nikmati dengan nilai
rataan total sebesar 6,2. Hal tersebut didukung dengan persepsi lainnya yang
menyatakan bahwa kejernihan air di pantai Trianggulasi tergolong baik dan
kondisi pasirnya tergolong sangat baik. Pengunjung menilai bahwa kejernihan air
tergolong baik (skor 5,7) karena kondisi air pantai terlihat tidak sampai dasar.
Hasil skoring sebesar 6,7 menyatakan bahwa pengunjung merasa pasir pantai
tergolong sangat baik karena kondisi pasir pantai pada kawasan ini berwarna putih
kecoklatan. Persepsi pengunjung mengenai kenyamanan di Trianggulasi
mendapatkan nilai rataan total sebesar 5,7. Hal tersebut bermakna bahwa kondisi
di Trianggulasi tergolong nyaman untuk kegiatan wisata.
Sistem model kepariwisataan sarat dengan aspek-aspek ekonomi yang
mengemukakan keterkaitan antara sisi sediaan (supply) dengan permintaan
(demand) serta faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya. Untuk
memuaskan permintaan pasar, sebuah negara, wilayah atau masyarakat harus
menyediakan beragam pembangunan dan pelayanan (sisi sediaan). Kesesuain
antara sisi sediaan dengan sisi permintaan adalah kunci keberhasilan dalam
pengembangan kepariwiataan yang benar (Gunn 2002).
Hasil kuesioner menunjukkan bahwa secara umum sediaan wisata masuk
pada kategori biasa saja dengan nilai rataan total sebesar 3,6. Bila dilihat dari
setiap jenis sediaan wisata yang ada, aksesibilitas mendapatkan nilai rataan
terkecil sebesar 3,6 dan masuk pada kategori agak tidak baik. Hal ini dikarenakan
jarak Taman Nasional Alas Purwo yang relatif jauh dari Banyuwangi dan akses
jalan yang rusak (Gambar 13).

Gambar 13 Akses jalan yang rusak

21
Aspek pengelolaan termasuk pada kategori biasa saja dengan nilai 3,6.
Menurut pengunjung hal ini disebabkan kurangnya pusat informasi dan pemandu
wisata pada kawasan Trianggulasi. Menurut Lascurain (1996), pembangunan
fasilitas dalam kawasan lindung selain harus memperhatikan konsumen, juga
harus sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan (design guidelines), khususmya
dalam kawasan lindung. Sedangkan aspek sarana dan prasarana mendapatkan nilai
sebesar 3,8 dan tergolong pada kategori biasa saja, sehingga dapat disimpulkan
bahwa pengunjung belum cukup puas dengan ketersediaan sarana dan prasaranan
di kawasan Trianggulasi karena tidak adanya tempat ibadah, tempat istirahat yang
layak, penginapan dan lain sebagainya. Identifikasi mengenai sediaan wisata di
Kawasan Trianggulasi secara jelas dan terperinci disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Persepsi pengunjung terhadap sediaan wisata di kawasan Trianggulasi
Parameter Sediaan
Wisata
- Sarana dan Prasarana
Fasilitas
Drainase
Air Bersih
Pembuangan sampah
Listrik
Akomodasi
Komunikasi
Jalur interpretasi
Papan interpretasi
Tempat ibadah
Kesehatan
- Aksesibilitas
Kondisi jalan
Kemudahan pencapaian
lokasi
Jarak dari pusat kota
Penunjuk arah
Biaya transportasi
- Pengelolaan
Tingkat keamanan
Sumber informasi
Tingkat kebersihan
Pelayanan pengelola
Ketersediaan informasi
Pemandu
wisata/interpreter

Nilai

Ratarata

Kategori

3,5
4,2
5,6
3,3
3,2
3,6
3,5
3,6
3,7
3,4
3,9

biasa saja
biasa saja
baik
agak tidak baik
agak tidak baik
3,8
biasa saja
biasa saja
biasa saja
biasa saja
agak tidak baik
biasa saja

3,4

agak tidak baik

4
2,6
3,4
3,7

3,4 baik
agak tidak baik
agak tidak baik
biasa saja

4
3,7
3,3
4,1
3,6

biasa saja
biasa saja
3,6 kurang baik
biasa saja
biasa saja

2,9

kurang baik

Ratarata

3,6

Kategori

biasa
saja

22
Preferensi
Preferensi adalah pilihan suka tidak suka oleh seseorang terhadap produk
(barang atau jasa) yang dikonsumsi. Preferensi dapat menunjukkan kesukaan
pengunjung dari berbagai pilihan kegiatan ekowisata yang akan dikembangkan.
Hasil penilaian preferensi pengunjung terhadap kegiatan yang diinginkan dalam
ekowisata di Trianggulasi telah disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6 Preferensi pengunjung terhadap kegiatan ekowisata di Trianggulasi
No
1
2
3
4
5
6
7

Kegiatan
Melihat pemandangan alam
Jelajah alam di hutan pantai
Bird watching
Pendidikan atau penelitian
Menyaksikan ritual keagamaan
Wildlife photography
Pengamatan penyu

Nilai
6,2
5,6
5,5
5,4
5,6
5,9
6,4

Harapan
Kawasan Trianggulasi saat ini masih belum memiliki pengelolaan
ekowisata sehingga pengunjung hanya memanfaatkan kawasan ini dengan sarana
dan prasarana yang seadanya. Hasil kuesioner menunjukkan sebagian besar (87%)
pengunjung merasa puas dengan keindahan dan potensi sumberdaya alam yang
disajikan kawasan ini namun masih mengeluhkan keterbatasan fasilitas yang
tersedia. Menurut pengunjung, kawasan Trianggulasi memiliki kelebihan, seperti
pantai dan pemandangannya yang indah, udaranya sejuk, ombaknya besar,
suasananya yang tenang, pasir pantai yang putih, masih terdapat hutan dan satwa
liar, aura gaibnya masih sangat terasa untuk ritual, baik untuk melakukan meditasi
dan refleksi serta dapat melihat hamparan laut yang luas. Disisi lain terdapat
beberapa kekurangan kawasan Trianggulasi menurut pengunjung, seperti
kebersihan yang kurang terjaga, kurangnya pengamanan dan perawatan kawasan,
kesadaran pengunjung untuk membuang sampah pada tempatnya masih lemah,
toilet kotor, sarana prasarana kurang memadai, kawasan belum dikelola dengan
baik, serta kurangnya maksimalisasi pelayanan pihak pengelola karena tidak
adanya pos jaga di kawasan tersebut.
Pengunjung berharap adanya penambahan sarana dan prasarana pada
kawasan Trianggulasi seperti toilet, pendopo, kantin, akses jalan, tempat duduk,
lahan parkir yang lebih luas, mushola berikut petugas kebersihannya, pos jaga,
papan penunjuk arah, sign board, pusat informasi, dan homestay. Pengunjung
berharap kawasan Trianggulasi kelestariannya tetap terjaga, akomodasinya lebih
baik, penataannya lebih rapih dan dilakukan kegiatan penanaman pohon. Selain
itu, pengunjung juga berharap pihak pemerintah daerah ikut dalam
menginvestasikan dana untuk pembangunan jalan maupun fasilitas.

23
Masyarakat
Desa Kalipait merupakan termasuk salah satu desa penyangga Taman
Nasional Alas Purwo. Sebagian besar masyarakat desa penyangga memiliki
interaksi dengan kawasan, baik langsung maupun tidak langsung. Interaksi
masyarakat merupakan wujud dari aktivitas sosial ekonomi masyarakat sekitar
kawasan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup serta kegiatan yang berkaitan
dengan kebudayaan dan religi. LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan)
merupakan salah satu bentuk kerjasama masyarakat dengan Taman Nasional Alas
Purwo. Dengan adanya organisasi tersebut, pihak taman nasional dapat
menyalurkan dana CSR dari IPPA yang terdapat di kawasan untuk kegiatan
pemberdayaan masyarakat agar kesejahteraannya meningkat dan tidak merambah
hutan.
Persepsi
Masyarakat Desa Kalipait merasa potensi ekowisata pada kawasan
Trianggulasi tergolong baik dan mereka menyetujui pentingnya keberadaan
satwaliar di kawasan tersebut. Dengan adanya kesadaran masyarakat tersebut,
dampak negatif terhadap lingkungan, maupun flora fauna diharapkan dapat
diminimalisir. Hal ini juga dapat memberikan kemudahan bagi pihak pengelola
untuk menjalankan fungsi pengelolaannya dalam meningkatkan kesadaran
terhadap misi pelestarian lingkungan sehingga memberi nilai tambah pada
kepentingan edukatif dan apresiasi lingkungan. Hal tersebut diperkuat oleh
Robbins (2005) yang menyatakan bahwa persepsi individu mengenai
lingkungannya akan diawali dengan sikap dan kepribadian yang mereka miliki,
kemudian mempengaruhi perilaku terhadap lingkungan melalui berbagai faktor
(motivasi, pembelajaran dan kemampuan) yang saling berhubungan dan terjadi
secara terus-menerus.
Kesiapan masyarakat dalam mendukung pengembangan ekowisata
Tanggapan masyarakat mengenai pengembangan ekowisata pada kawasan
Trianggulasi sangat positif, ini dapat dilihat dari antusiasme seluruh masyarakat
(100%) yang ingin berpartisipasi. Dukungan dan partisipasi masyarakat menjadi
penting karena wisatawan akan berinteraksi terlebih dahulu dengan masyarakat
sebelum memasuki kawasan Trianggulasi. Masyarakat Desa Kalipait dapat
diikutsertakan dalam pengelolaan ekowisata sehingga manfaat ekowisata dapat
dirasakan oleh masryarakat. Modal yang telah dimiliki masyarakat Desa Kalipait,
yaitu kemampuan menjadi pemandu wisata, kesediaan menjadikan rumahnya sebagai
homestay, penyedia jasa transportasi dan kemampuan membuat kerajinan tangan yang
dapat dijadikan souvenir. Namun kesiapan tersebut dapat ditingkatkan dengan
pelatihan dan pendidikan, mengingat masih minimnya pengetahuan masyarakat
mengenai ekowisata.
Persepsi dan Kesiapan Pengelola dalam Mendukung Pengembangan
Ekowisata
Kawasan Trianggulasi pernah mengalami masa jayanya kurang lebih
sampai tahun 2012. Beberapa program wisata yang pernah dilaksanakan di
kawasan Trianggulasi adalah pengamatan burung di jalur Trianggulasi-Sunglon

24
Ombo-Sadengan, pengamatan di lintasan satwa, pengamatan lalar penyu, serta
susur pantai. Kegiatan wisata bagi umat selain Hindu adalah meny