Pengaruh Infeksi HIV terhadap Mortalitas Pasien TB Paru di Puskesmas Kampung Bali Jakarta Pusat Periode 2007-2011

LAPORAN PENELITIAN

PENGARUH INFEKSI HIV TERHADAP
MORTALITAS PASIEN TB PARU
DI PUSKESMAS KAMPUNG BALI J AKARTA PUSAT
PERIODE 2007-2011
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :
Mohammad Zul Hazmi
NIM: 109103000021

PROGRAM STUDI PENDIDIK AN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J AKARTA
TAHUN 1433 H/2012 M

KATA PENGANTAR


Assala mu’a laikum Wa rahma tullahi Wabara ka tuh…

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membuka
wawasan umat manusia dari zaman Jahiliyah ke zaman Islamiyah yang penuh
dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat ini.
Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian
yang berjudul, “Pengaruh Infeksi HIV terhadap Mor talitas Pasien TB Par u di
Puskesmas Kampung Bali J akar ta Pusat Periode 2007-2011”sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam

menyelesaikan

laporan

penelitian


ini,

penulis

tentunya

mendapatkan banyak kendala dan hambatan. Untuk mengatasi kendala dan
hambatan tersebut penulis mendapat bantuan, dukungan, dan pengarahan dari
berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Pembimbing riset penulis, dr. Rachmania Diandini, MKK dan dr. Yanti
Susianti, SpA yang telah mengarahkan dan memberi perhatian kepada penulis
dalam menyelesaikan penelitian ini.
2. drg. Laifa Annisa Hendarmin, PhD selaku penanggung jawab riset Program
Studi Pendidikan Dokter 2009.
3. dr. Marta dan Bu Murni yang telah memberi izin dan melayani penulis dalam
mengambil data untuk sampel penelitian di Puskesmas Kampung Bali.
4. Orang tua penulis, Ayahanda Amonk Darwin Chaldun dan Ibunda Nailul
Fauziyah yang selalu memberi semangat dan mendukung penulis dalam
menempuh pendidikan di kedokteran.


v

5. Sahabat dan teman-teman beserta seluruh staf pengajar dari Program Studi
Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang ikut membantu dan memberi dukungan dalam
penelitian ini.
6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini
yang tidak mungkin disebutkan satu per satu.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga laporan penelitian ini
dapat bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan,
dapat dijadikan pelajaran bagi adik-adik penulis selanjutnya serta dapat
menambah pengetahuan kita semua.
Jakarta, September 2012

Penulis

vi

ABSTRAK

Mohammad Zul Hazmi. Program Studi Pendidikan Dokter. Pengaruh Infeksi HIV
terhadap Mortalitas Pasien TB Paru di Puskesmas Kampung Bali, Jakarta Pusat
Periode 2007-2011. 2012
Tuberkulosis merupakan penyebab penting kematian pada pasien yang
terinfeksi HIV. Prevalensi HIV pada pasien TB paru adalah 2.8%. Desain
penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Puskesmas Kampung
Bali. Kajian dilakukan dari kartu pengobatan dan catatan medis dari semua pasien
TB yang terdaftar dari Januari 2007 hingga Desember 2011 dan menerima terapi
standar pengobatan anti-tuberkulosis. Analisis dilakukan dengan membandingkan
data dari pasien TB tanpa infeksi HIV dan yang terinfeksi HIV. Terdapat
hubungan bermakna antara status HIV pasien TB terhadap hasil pemeriksaan
sputum BTA (OR=3.23; IK95%, 1.35-7.75, P=0.006). Terdapat hubungan
bermakna antara status HIV pasien TB terhadap tingkat mortalitas (OR=12,41;
IK95%, 4.69-32.81, P 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tdk dibantu.
b. Untuk daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa > 1% atau
prevalensi HIV diantara pasien TB > 5%, pasien suspek TB yang belum
diketahui status HIV-nya maka perlu ditawarkan untuk tes HIV. Untuk
pasien suspek TB yang telah diketahui status HIV-nya maka tidak lagi
dilakukan tes HIV.
c. Untuk daerah yang tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak diketahui

(misalnya pasien menolak untuk diperiksa) tetapi gejala klinis mendukung
kecurigaan HIV positif.

11

d. BTA positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif;

BTA

negatif = bila 3 sediaan hasilnya negatif.
e. PPK = Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksazol.
f. Termasuk penentuan stadium klinis (clinica l staging ), perhitungan CD4
(bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV.
g. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara
bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat
dikurangkan sehingga mempercepat penegakkan diagnosis.
h. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluoroquionolone) untuk mengatasi
typical & atypica l bacteria .
i.


PCP = Pneumocystis ca rinii pneumonia atau dikenal juga Pneumonia
pneumocystis jirovecii

j.

Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.16

2.5.4. Diagnosis TB MDR
Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan M. tuberculosis. Semua suspek TB MDR diperiksa dahaknya dua kali,
salah satu diantaranya harus dahak pagi hari. Uji kepekaan M. tuberculosis harus
dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi untuk uji kepekaan. Sambil
menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek TB MDR akan tetap meneruskan
pengobatan sesuai dengan pedoman pengendalian TB Nasional.16
2.6. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena:
1) Tuberkulosis paru

adalah tuberkulosis yang


menyerang jaringan

(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, perikardium, kelenjar limfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kemih, alat kelamin, dan
lain-lain.16

12

b. Klasifikasi berdasar kan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, keadan ini
ter utama ditujukan pada TB Par u:
1) Tuberkulosis paru BTA positif.
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.

d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi
pasien dengan HIV negatif.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.16

c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe
pasien, yaitu:
1) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif.
2) Kasus yang sebelumnya diobati
a) Kasus kambuh adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan
atau kultur).

13

b) Kasus setelah putus berobat adalah pasien yang telah berobat dan putus
berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
c) Kasus setelah gagal adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya
tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan.
3) Kasus pindahan adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
4) Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas,
seperti:
a) Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya.
b) Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya.
c) Kembali diobati dengan BTA negatif.16

2.7. Pengobatan TB

Kemoterapi bertujuan:
a. Mengobati pasien dengan sedikit mungkin mengganggu aktivitas hariannya,
dalam periode pendek, tidak memandang apakah dia peka atau resisten
terhadap obat yang ada.
b. Mencegah kematian atau komplikasi lanjut akibat penyakitnya.
c. Mencegah kambuh.
d. Mencegah munculnya resistensi obat.
e. Mencegah lingkungannya dari penularan.17
Obat-obatan TB dapat diklasifikasi menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat
lapis pertama dan lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke penghentian
pertumbuhan basil, pengurangan basil dorman, dan pencegahan terjadinya
resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari isoniazid (INH), rifampisin,
pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat-obatan lapis kedua mencakup
rifabutin, etionamid, sikloserin, PAS (pa ra a mino sa licylic acid ), klofazimin,
aminoglikosid di luar streptomisin, dan quinolon.17

14

Isoniazid (INH) mempunyai kemampuan bakterisidal TB yang terkuat.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat cell wall biosynthesis pa thway. INH

dianggap sejenis obat yang aman. Efek samping utamanya antara lain hepatitis
dan neuropati perifer karena interferensi fungsi biologi vitamin B6 atau
piridoksin.17
Rifampisin juga merupakan obat anti-TB yang ampuh, menghambat
polymerase DNA dependent ribonucleic a cid (RNA) M. tuberkulosis. Efek

samping yang sering diakibatkannya antara lain hepatitis, flu-like syndrome’s, dan
trombositopenia. Rifampisin meningkatkan metabolisme hepatik kontrasepsi oral
sehingga dosis kontrasepsi oral harus ditingkatkan.17
Pirazinamid merupakan obat bakterisidal untuk organisme intraseluler dan
agen anti tuberkulos ketiga yang juga cukup ampuh. Pirazinamid hanya diberikan
untuk 2 bulan pertama pengobatan. Efek samping yang sering diakibatkan adalah
hepatotoksisitas dan hiperurisemia.17 Etambutol satu-satunya obat lapis pertama
yang mempunyai efek bakteriostatik, tetapi bila dikombinasikan dengan INH dan
Rifampisin terbukti bisa mencegah terjadinya resistensi obat. 17
Streptomisin merupakan salah satu obat anti tuberkulosis pertama yang
ditemukan. Streptomisin ini suatu antibiotik golongan aminoglikosida yang harus
diberikan secara parenteral dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme
ekstraseluler. Kekurangan obat ini adalah efek samping toksik pada saraf kranial
VIII yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan atau hilangnya
pendengaran. Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil
adalah isoniazid, rifampisin, dan etambutol. Obat lapisan kedua dicadangkan
untuk pengobatan kasus-kasus resisten multi obat.17
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar
dapat mencegah perkembangan resistensi obat. Oleh karena itu, WHO telah
menerapkan strategi DOTS

(Directly Observed Trea tment Shortcourse) oleh

petugas kesehatan tambahan atau keluarga yang berfungsi secara ketat mengawasi
pasien minum obat untuk memastikan kepatuhan minum obat secara rutin.16,17

15

Tabel 2.1 Pengelompokan OAT 16
Golongan dan Jenis
Golongan-1 (lini pertama)

§ Isoniazid (H)
§ Ethambutol (E)

Golongan-2 (obat suntik;
lini kedua)
Golongan-3
(Floroquinolone)

§ Kanamycin (Km)

Golongan-4 (bakteriostatik
lini kedua)

§ Ethionamide (Eto)
§ Prothionamide (Pto)
§ Cycloserine (Cs)
§ Clofazimine (Cfz)
§ Linezolid (Lzd)
§ Amoxilin-Clavulanate
(Amx-Clv)

§ Ofloxacin (Ofx)
§ Levofloxacin (Lfx)

Golongan-5 (belum
terbukti efikasinya dan
tidak direkomendasikan
WHO)

Obat
§ Pyrazinamide (Z)
§ Rifampicin (R)
§ Streptomycin (S)
§ Amikacin (Am)
§ Capreomycin (Cm)
§ Moxifloxacin (Mfx)
§ Para amino salisilat
(PAS)
§ Terizidone (Trd)
§ Thioacetazone (Thz)
§ Clarithromycin (Clr)
§ Imipenem (Ipm)

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

Tabel 2. 2 J enis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama 16
Jenis OAT

Sifat

Isoniazid (H)
Rifampicin (R)
Pyrazinamide (Z)
Streptomycin (S)
Ethambutol (E)

Bakterisid
Bakterisid
Bakterisid
Bakterisid
Bakteriostatik

Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Harian
3x seminggu
5 (4-6)
10 (8-12)
10 (8-12)
10 (8-12)
25 (20-30)
35 (30-40)
15 (12-18)
15 (12-18)
15 (15-20)
30 (20-35)

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA
positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Tahap lanjutan penting
untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama.16

16

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia:
a. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia:
1) Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3.
2) Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
3) Paduan obat sisipan: HRZE
4) Kategori Anak: 2HRZ/4HR
5) Obat yang digunakan dalam tata laksana pasien TB resistan obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,
Levofloxa cin, Ethiona mide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu

pirazinamid dan etambutol.
b. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa
obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT-KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
c. Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid,
Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan
pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.16
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.16
Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya:
a. Paduan OAT kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) diberikan untuk pasien baru:
1) Pasien baru TB paru BTA positif.
2) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif.
3) Pasien TB ekstra paru.16

17

Tabel 2. 3 Dosis paduan OAT-KDT Kategori 116
Tahap Intensif
Tiap hari selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

Berat Badan
30 – 37 kg
38 – 54 kg
55 – 70 kg
≥ 71 kg

Tahap Lanjutan
3x seminggu selama 16 minggu
RH (150/50)
2 tablet 2KDT
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

Tabel 2. 4 Dosis OAT-Kombiak Kategor i 1 16
Dosis per hari / kali
Tablet
Kaplet
Tablet
Isoniazid
Rifampisin
Pirazinamid
@ 300mg
@450mg
@500mg
Intensif
2 Bulan
1
1
3
Lanjutan
4 Bulan
2
1
Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011
Tahap
Pengobatan

Lama
Pengobatan

Tablet
Etambutol
@250mg
3
-

Jumlah
hari
menelan
obat
56
48

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
1) Pasien kambuh
2) Pasien gagal
3) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 2. 5 Dosis untuk paduan OAT-KDT Kategor i 216
Berat
Badan
30 – 37 kg
38 – 54 kg
55 – 70 kg
≥ 71 kg

Tahap intensif (tiap hari)
RHZE (150/75/400/275) + S
Selama 56 hari
Selama 28 hari
2 tab 4KDT
2 tab 4KDT
+ 500 mg Streptomisin inj.
3 tab 4KDT
3 tab 4KDT
+ 750 mg Streptomisin inj.
4 tab 4KDT
4 tab 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
5 tab 4KDT
5 tab 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

Tahap lanjutan (3x seminggu)
RH (150/150) + E (400)
Selama 20 minggu
2 tab 2KDT
+ 2 tab Etambutol
3 tab 2KDT
+ 3 tab Etambutol
4 tab 2KDT
+ 4 tab Etambutol
5 tab 2KDT
+ 5 tab Etambutol

18

Tabel 2. 6 Dosis paduan OAT-Kombipak Kategor i 216
Tahap
Pengobatan

Lama
Pengobatan

Tablet
Isoniazid
@ 300
mg

Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg

Etambutol
Tablet
Tablet
@ 400
@ 250
mg
mg

Tablet
Pirazinamid
@ 500 mg

Tahap
intensif
2 bulan
1
1
3
(dosis
1 bulan
1
1
3
harian)
Tahap
lanjutan
4 bulan
2
1
(dosis 3x
seminggu)
Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

Streptomisin
injeksi

Jumlah
hari
menelan
obat

3
3

-

0,75 gr
-

56
28

1

2

-

60

c. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 2.7 Dosis KDT untuk Sisipan 16
Tahap intensif (tiap hari) selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
2 tab 4KDT
3 tab 4KDT
4 tab 4KDT
5 tab 4KDT

Berat Badan
30 – 37 kg
38 – 54 kg
55 – 70 kg
≥ 71 kg

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

Tabel 2. 8 Dosis OAT-Kombipak untuk Sisipan 16
Tahap
Pengobatan

Lama
Pengobatan

Tablet
Isoniazid
@ 300 mg

Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg

Tablet
Pirazinamid
@ 500 mg

Tablet
Etambutol
@ 250 mg

Jumlah
hari
menelan
obat

Tahap
intensif
(dosis
harian)

1 bulan

1

1

3

3

28

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan quinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru
tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada
OAT lini pertama. Penggunaan OAT lini kedua dapat meningkatkan risiko
terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.16

19

2.8. Pengobatan Tuberkulosis dengan infeksi HIV/AIDS
Tata laksana pengobatan TB pada ODHA adalah sama seperti pasien TB
lainnya. Pada prinsipnya pengobatan TB diberikan segera, sedangkan pengobatan
ARV dimulai berdasarkan stadium klinis HIV atau kadar CD4. Pengobatan TB
pada ODHA perlu diperhatikan apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan
ARV atau tidak. Bila pasien tidak dalam pengobatan ARV, segera mulai
pengobatan TB. Pemberian ARV dilakukan dengan prinsip:
a. Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk mulai
pengobatan ARV bila CD4 < 350/mm3 tapi harus dimulai sebelum CD4 turun
di bawah 200/mm3.
b. Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB dengan CD4 <
350/mm3 harus dimulai pengobatan ARV.
c. Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan ARV tanpa
memandang kadar CD4.
Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB tidak
dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata I), Pasien tersebut dirujuk ke
RS rujukan pengobatan ARV.16
Tabel 2.9 Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB16
Obat ARV
Lini
pertama

Paduan pengobatan ARV
pada waktu TB didiagnosis
2 NRTI + EFV
2 NRTI + NVP

Lini kedua 2 NRTI + PI

Pilihan obat ARV
Teruskan dengan 2 NRTI + EFV
Ganti dengan 2 NRTI + EFV atau
Ganti dengan 2 NRTI + LPV/r
Ganti ke atau teruskan (bila sementara
menggunakan) paduan mengandung LPV/r

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

2.9. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB
a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam
memantau kemajuan pengobatan.

Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan

20

untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk
memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua
kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua
spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif,
hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.16 Tindak lanjut hasil
pemriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel 2.10.
Tabel 2.10 Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak 16
Tipe pasien
TB

Tahap
pengobatan

Akhir tahap
intensif

Pasien baru
dengan
pengobatan
kategori 1

Hasil
pemeriksaan
dahak
Negatif

Positif

Negatif
Pada bulan
ke-5
pengobatan

Positif
Negatif

Akhir
pengobatan

Positif
Negatif

Pasien baru
BTA
positif
dengan
pengobatan
ulang
kategori 2

Akhir tahap
intensif

Pada bulan
ke-5
pengobatan
Akhir
pengobatan

Positif

Negatif
Positif
Negatif
Positif

Tindak lanjut
Tahap lanjutan dimulai
Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1
bulan.
Jika setelah sisipan masih tetap positif:
§ Tahap lanjutan tetap diberikan
§ Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes
resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR
Pengobatan dilanjutkan
Pengobatan diganti dengan OAT kategori 2
mulai dari awal. Jika memungkinkan, lakukan
biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan
TB-MDR
Pengobatan dilanjutkan
Pengobatan diganti dengan OAT kategori 2
mulai dari awal. Jika memungkinkan, lakukan
biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan
TB-MDR
Teruskan pengobatan dengan tahap lanjutan
Beri sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan
masih tetap positif:
§ Tahap lanjutan tetap diberikan
§ Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes
resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR
Pengobatan diselesaikan
Pengobatan dihentikan, rujuk ke layanan TBMDR
Pengobatan diselesaikan
Pengobatan dihentikan, rujuk ke layanan TBMDR

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

21

b. Tatalaksana Pasien yang berobat tidak teratur
Tabel 2.11 Tatalaksana pasien yang berobat tidak ter atur 16
Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan:
§ Lacak pasien
§ Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur
§ Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai
Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan:
Tindakan-1
Tindakan-2
Bila hasil BTA
Lanjutkan pengobatan sampai seluruh
negatif atau TB
§ Lacak pasien
dosis selesai
ekstra paru
§ Diskusikan dan
cari penyebab
Lama pengobatan Lanjutkan
masalah
sebelumnya
pengobatan
§ Periksa 3 kali
kurang dari 5
sampai seluruh
dahak (SPS) dan
bulan
dosis selesai
Bila satu atau
lanjutkan
§ Kategori-1:
lebih hasil BTA
pengobatan
mulai kategori 2
positif
Lama pengobatan
sementara
§ Kategori-2:
sebelumnya lebih
menunggu
rujuk, mungkin
dari 5 bulan
hasilnya
kasus TB
resisten obat
Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih dari 2 bulan (Default):
§ Periksa 3 kali
Pengobatan dihentikan, pasien
Bila hasil BTA
dahak (SPS)
diobservasi bila gejalanya semakin
negatif atau TB
§ Diskusikan dan
parah perlu dilakukan pemeriksaan
ekstra paru
cari penyebab
kembali (SPS dan atau biakan)
masalah
Kategori-1
Mulai kategori-2
§ Hentikan
Bila satu atau
pengobatan
lebih hasil BTA
Rujuk, kasus TB
sambil menunggu
Kategori-2
positif
resisten obat
hasil pemeriksaan
dahak
Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

c. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif
1) Sembuh
Pasien

telah

menyelesaikan

pengobatannya

secara

lengkap

dan

pemeriksaan apusan dahak ulang (follow-up ) hasilnya negatif pada AP dan
pada satu pemeriksaan sebelumnya
2) Pengobatan

Lengkap

adalah

pasien

yang

telah

menyelesaikan

pengobatannya secara lengkap tetapi tidak tidak ada hasil pemeriksaan
apusan dahak ulang pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.

22

3) Meninggal adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena
sebab apapun.
4) Putus berobat (default) adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturutturut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
5) Gagal adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
6) Pindah (tra nsfer out) adalah pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan
pelaporan (register ) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
7) Keberhasilan pengobatan (treatment success) adalah jumlah pasien yang
sembuh dan pengobatan