peran DPR dalam hal pengangkatan duta besar sebelum sesudah amandemen Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PERAN DPR DALAM HAL PENGANGKATAN DUTA BESAR
SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
Hary Restu Himawan
Nim: 109048000006

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M


ABSTRAK

Hary Restu Himawan NIM 109048000006. PERAN DPR DALAM HAL
PENGANGKATAN DUTA BESAR SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2014 M. x +
84 halaman + halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui Peran DPR Dalam Hal Pengangkatan Duta
Besar Sebelum dan Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Deskriptif Analitis/Yuridis
Normatif dengan menggunakan sistem studi pustaka, serta menggunakan bahan-bahan
lainnya seperti makalah, jurnal, Disertasi, Thesis dan Skripsi terdahulu.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
memberikan kewenangan yang cukup besar kepada DPR untuk mengawasi jalannya
Pemerintahan. Dengan di Amandemennya Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 telah memberikan kewenangan kepada DPR untuk
melakukan Pertimbangan terhadap proses pengangkatan duta besar. Hal ini dilakukan agar
proses pengangkatan duta besar tidak lagi mengabaikan aspek kualitas dan kepentingan
diplomasi, mengingat pada masa lalu pengangkatan duta besar dilakukan secara tertutup

oleh Presiden. Secara yuridis sifat pertimbangan DPR terhadap proses pengangkatan duta
besar tidaklah mengikat, namun Presiden sangat dianjurkan untuk memperhatikan
pertimbangan yang diberikan oleh DPR mengenai Proses Pengangkatan duta besar.

iv

Kata kunci: Peran DPR Dalam Hal Pengangkatan Duta Besar Sebelum dan Sesudah
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pembimbing I

: Dedy Nursamsi, SH, M.Hum
NIP. 196111011993031002

Pembimbing II

: Drs. Subarkah, SH, M.H
NIP.

Daftar Pustaka


: Tahun 1957 s.d. Tahun 2012

v

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahirobbil’alamin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan limpahan rahmat serta nikmatnya, sehingga pada akhirnya penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “ PERAN DPR DALAM
HAL PENGANGKATAN DUTA BESAR SEBELUM DAN SESUDAH
AMANDEMEN

UNDANG-UNDANG

DASAR

NEGARA

REPUBLIK


INDONESIA TAHUN 1945 ” ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penulisan ini, penulis banyak sekali mendapat bimbingan,
bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, oleh

sebab itu pada kesempatan ini

penulis mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA Selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Djawahir Hejazziey, SH, MA dan Arip Purkon, SH.I,
MA. Selaku Kepala dan Sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang sudah
memberikan luang waktu, saran dan masukan terhadap kelancaran proses
penyusunan skripsi ini.

vi

3. Bapak Dedy Nursyamsyi, SH, M.Hum Selaku dosen Pembimbing 1 yang

dengan sabar telah memberikan arahan dan masukan. Untuk waktu serta
bimbingan terhadap proses penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Drs. Subarkah, SH, M.H. Selaku dosen Pembimbing 2 yang
dengan ikhlas memberikan ide, gagasan dan masukan serta arahan
terhadap proses penyusunan skripsi ini.
5.

Ayahanda Indratno

dan Ibunda Saptanti Juli Astuti yang penulis

sayangi dan hormati, terima kasih yang tak terhinga atas kasih sayang,
doa, bimbingan, nasihat, se rt a materi yang telah diberikan. Skripsi ini
penulis persembahkan untuk Ayah dan Ibu.
6. Kepada kedua adik tercinta, Andy Prabowo Priambodo dan Intan Tri
Wulandari yang selama ini memberikan dukungan serta semangat, juga
untuk kasih sayang kalian kepada penulis.
7.

Keluarga besar


Hoemam dan kepada saudara-saudara yang tidak bisa

disebutkan satu persatu, yang selalu

memberikan motivasi, semangat,

dan nasihat kepada penul i s . Terimakasih atas doanya semoga Allah
selalu melindungi kalian.
8. Kepada wanita yang selalu mendampingi penulis, Tri Kusuma Astuti, S.S
disaat senang maupun susah, yang telah memberikan suntikan semangat,
terima kasih atas semua waktu, kasih sayang, dan perhatian yang telah
engkau berikan.
vii

9. Sahabat-sahabat prodi Ilmu Hukum khususnya angkatan 2009, terima kasih
sudah membantu, memotivasi, dan selalu menghibur . May Allah bless us!
10. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.
Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta

membalas kebaikan mereka (Amien).
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi
ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan
bagi para pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr, Wb.

Jakarta, Januari 2015

Penulis

viii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK.............................................................................................................iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI……………………………………………………………………....ix

BAB I

PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.

BAB II

Latar Belakang ............................................................................
Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ...........................
Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................
Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu..........................................
Metode Penelitian........................................................................

Analisis Data ...............................................................................
Sistematika Penulisan .................................................................

1
5
6
7
8
11
11

TINJAUAN UMUM DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
SEBAGAI LEMBAGA PERWAKILAN
A. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Sebelum Perubahan
UUD NRI Tahun 1945 ................................................................
1. Fungsi Legislasi ...................................................................
2. Fungsi Anggaran ..................................................................
3. Fungsi Pengawasan ..............................................................
B. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Sesudah Perubahan
UUD NRI Tahun 1945……………………… ............................

1. Fungsi legislasi ………………………………………….. ..
2. Fungsi anggaran ...................................................................
3. Fungsi pengawasan ..............................................................
C. Prinsip Checks and Balance Antara Presiden dan DPR ..............
ix

16
17
19
19
20
22
23
23
30

BAB III

TUGAS DAN KEDUDUKAN PERWAKILAN DIPLOMATIK
A. Pengertian Perwakilan Dilomatik ...............................................

B. Perwakilan Diplomatik Dalam Konvensi Wina Tahun 1961 ......
1. Berlakunya € Hubungan€ Diplomatik .................................
2. Tugas dan Fungsi Perwakilan Diplomatik ...........................
3. Kekebalan dan Keistimewaan Perwakilan Diplomatik ........
4. Berakhirnya Fungsi Perwakilan Diplomatik ........................
C. Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia ...............................
1. Perwakilan Diplomatik Menurut Undang-Undang Nomor
37
Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri ......................
2. Perwakilan Diplomatik Menurut Keputusan Presiden
Nomor 108 Tahun 2003 Tentang Organisasi Perwakilan
Republik Indonesia di Luar Negeri ......................................
D. Pengangkatan Duta Besar Sebelum Perubahan UUD NRI
Tahun
1945 .............................................................................................
E. Kedudukan Perwakilan Diplomatik Dalam Struktur
Pemerintahan RI ..........................................................................

BAB 1V

49

51

54
58

ANALISIS PERAN DPR DALAM PENGANGKATAN DUTA
BESAR SESUDAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
A. Menguatnya Kekuasaan DPR Dalam Fungsi Pengawasan .........
B. Pengangkatan Duta Besar Setelah Perubahan UUD NRI Tahun
1945 .............................................................................................
C. Mekanisme Pertimbangan DPR Dalam Pengangkatan Duta
Besar ............................................................................................
D. Implikasi Hukum Pertimbangan DPR Dalam Pengangkatan
Duta
Besar Oleh Presiden ....................................................................
1. Aspek Politik ...................................................................
2. Aspek Historis .................................................................
3. Aspek Hukum .................................................................

BAB V

33
34
35
38
44
48
49

66
69
72

76
77
77
78

PENUTUP
A. KESIMPULAN ...........................................................................
B. SARAN .......................................................................................
x

84
86

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................

xi

88

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Suasana perpolitikan nasional setelah tumbangnya rezim orde baru
disambut oleh semua kalangan sebagai masa kebebasan dalam berekspresi,
keadaan ini semakin bertambah seiring dengan dilakukannya perubahan terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 yang di anggap turut melindungi kekuasaan otoriter
tersebut selama 32 tahun dan kerap melahirkan kekuasaan tanpa batas.
Nuansa kehidupan demokratis semakin terasa ketika para elit politik
kembali melakukan peran dan fungsinya masing-masing, sentralisasi kekuasaan
yang menumpuk pada lembaga eksekutif di masa lalu berubah menjadi
pemerataan kekuasaan dengan saling kontrol antar lembaga negara. Hal ini pula
yang memulihkan kembali peran lembaga perwakilan, lembaga yang merupakan
simbol dari keluhuran demokrasi di mana didalamnya terdapat orang-orang
pilihan yang dijadikan wakil rakyat yang memiliki integritas, tanggung jawab,
etika serta kehormatan yang kemudian dapat diharapkan menjadi perangkat
penyeimbang dan pengontrol terhadap kekuasaan eksekutif sebagai penggerak
roda pemerintahan.
Bagi negara yang menganut kedaulatan rakyat, keberadaan lembaga
perwakilan

hadir

sebagai

suatu

keniscayaan.

Adalah

tidak

mungkin

membayangkan terwujudnya suatu pemerintah yang menjujung demokrasi tanpa

1

2

kehadiran institusi tersebut. Karena melalui lembaga inilah kepentingan rakyat
tertampung kemudian tertuang dalam berbagai kebijakan umum yang sesuai
dengan aspirasi rakyat.
Untuk itu menurut kelaziman teori-teori ketatanegaraan, lembaga ini
berfungsi dalam tiga wilayah, yaitu wilayah legislasi atau pembuat peraturan
perundang-undangan, wilayah penyusunan anggaran, serta wilayah pengawasan
terhadap jalannya pemerintahan.1 Dalam UUD 1945 setelah perubahan,
pengaturan terhadap lembaga perwakilan di Indonesia ini dapat kita lihat pada
Pasal 1 ayat (2) dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri dari
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).2
Pada Pasal 20A ayat (1), DPR sendiri memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan. Selanjutnya dalam melaksanakan fungsinya,
sebagaimana dijelaskan pada Pasal 20A ayat (2), DPR mempunyai hak
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Selain itu setiap anggota
DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, hak menyatakan usul dan
berpendapat sekaligus hak imunitas. kedudukan DPR sendiri sangat kuat, karena
presiden tidak dapat membekukan ataupun membubarkan DPR sebagai mana
tertera pada Pasal 7C.
Namun demikian keberadaan lembaga perwakilan tersebut belum dapat
berfungsi penuh sebagai mana mestinya, karna masih perlu di tindaklanjuti
1

C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia , Jakarta, Bumi Aksara, Cetakan
kedelapan, 1995, h. 213
2

Bintan.R.Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Jakarta,
Gaya Media Pratama, 1988, h. 115

3

dengan kesepakatan undang-undang yang akan menjadi payung hukum lembaga
tersebut. Sejalan dengan perubahan struktur sistem kelembagaan negara dengan
diamandemennya UUD 1945 serta perubahan dinamika perpolitikan yang terus
melangkah maju dengan kemudian menata kearah perpolitikan yang sehat dan
demokratis, maka pengamatan terhadap DPR sebagai salah satu lembaga
perwakilan dan sebagai lembaga politik sangatlah penting. Kenyataan yang
berkembang menunjukan adanya fenomena baru terhadap peran lembaga
perwakilan tersebut. Peran DPR seakan di sulap dari yang tak berdaya tatkala
berhadapan dengan pemerintah, mengalami perubahan menjadi lembaga yang
kuat terutama dalam fungsinya mengawasi lembaga eksekutif.
Secara legal formal peran DPR terlebih dalam fungsi pengawasan
mengalami Perubahan besar setelah di lakukan amandemen terhadap UUD 1945
yang dilakukan sejak Sidang Umum MPR 1999. Dengan fungsi pengawasan yang
dimiliki legislatif misalnya, menjadikan setiap kebijakan pemerintah yang akan di
buat maupun akan dilaksanakan harus terlebih dahulu mendapat persetujuannya.
Hak prerogatif yang dimiliki presiden semakin sempit, karena di sisi lain DPR
menempatkan diri sebagai lembaga penentu kata-putus dalam betuk memberi
persetujuan dan beberapa pertimbangan terhadap agenda-agenda pemerintah.3
Dalam pembuatan

undang-undang, presiden kini hanya memiliki kekuasaan

mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU).

3

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif , Jakarta, Aksara Baru, 1977, h. 45

4

Kekuasaan untuk menetapkan suatu RUU menjadi Undang-Undang ada
di tangan DPR. Terkait hal pengangkatan duta, Presiden harus terlebih dahulu
memperhatikan pertimbangan DPR. Dalam Undang-undang No 37 Tahun 1999
tentang hubungan luar negeri, terdapat beberapa hak prerogatif presiden yang
harus melibatkan persetujuan atau pertimbangan dari DPR. Pasal 6 Undangundang No 37 Tahun 1999 menyatakan bahwa kewenangan penyelenggaraan
hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri pemerintah Republik
Indonesia berada ditangan presiden. Sedangkan dalam hal menyatakan perang,
membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain diperlukan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Mengenai fungsi pengawasan DPR terlihat pula dalam pengangkatan Duta
Besar Republik Indonesia (RI).4 Pasal 13 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan,
menyebutkan

“Dalam

hal

pengangkatan

duta,

Presiden

memperhatikan

pertimbangan DPR”. Menurut ketentuan yang baru tersebut menunjukkan bahwa
dalam pengangkatan Duta Besar (Dubes) tidak hanya merupakan hak prerogratif
Presiden namun juga melibatkan peran DPR untuk memberikan pertimbangan.5
Hal ini bertujuan supaya DPR sebagai lembaga perwakilan dilibatkan
dalam proses pengangkatan duta besar. Ini merupakan cerminan daripada fungsi
pengawasan DPR kepada Presiden, walaupun dalam hal ini DPR hanya
4

Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta, Liberty,
2000, h. 57
5

Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945,
Bandung, Fokus Media, 2007, h. 85

5

memberikan suatu bentuk pertimbangan, tetapi disini presiden sangat dianjurkan
untuk memperhatikannya secara seksama. Tujuan dari pertimbangan yang
diberikan DPR ini memiliki fungsi yang cukup penting, supaya duta besar yang
terpilih benar-benar mampu untuk membawa kepentingan Indonesia di kancah
internasional.
Sebelum diamandemennya Pasal 13 UUD 1945, ketentuan mengenai
pengangkatan duta besar merupakan hak prerogatife presiden yang mandiri. Dalam
hal ini presiden mengangkat duta besar tanpa perlu memperhatikan petimbangan
dari DPR selaku lembaga legislatif. Ini merupakan konsekuensi dari kedudukan
presiden sebagai kepala negara.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam berkenaan dengan hal ini,
sekaligus juga sebagai pemenuhan tugas akhir guna memperoleh gelar sarjana
strata satu (S1) dengan mengangkat judul skripsi tentang “ Peran DPR Dalam
Hal Pengangkatan Duta Besar Sebelum Dan Sesudah Amandemen UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini penulis memberikan batasan masalah hanya pada
ruang lingkup mengenai proses pengangkatan duta besar pada era orde baru
dan peran DPR dalam memberikan pertimbangan kepada presiden dalam hal

6

pengangkatan duta besar sesudah amandemen Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Perumusan Masalah
Agar penelitian ini berjalan dengan sistematis, maka perlu dibuat
perumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana peran duta besar dalam hubungan diplomatik ?
b. Bagaimana mekanisme DPR dalam memberikan pertimbangan kepada
presiden tentang pengangkatan duta besar ?
c. Apa dampak hukum pertimbangan DPR dalam proses pengangkatan duta
besar oleh presiden ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berkenaan dengan pokok permasalahan diatas, maka tujuan penelitian
dapat dirumuskan sebagai berikut untuk :
a. Menjelaskan peran dari duta besar dalam hubungan diplomatik.
b. Menganalisis mekanisme DPR dalam memberikan pertimbangan kepada
presiden tentang pengangkatan duta besar.
c. Memahami dampak hukum dari pertimbangan DPR dalam proses
pengangkatan duta besar oleh presiden.
2. Manfaat Penelitian
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan manfaat
dari segi akademis dan praktis, yaitu :

7

Secara akademis: dapat menjadi aspek pendukung dalam ilmu hukum
kelembagaan Negara, agar penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi
dan peningkatan wawasan akademis para akademisi di bidang hukum,
khususnya mengenai peran DPR dalam hal pengangkatan duta besar sebelum
dan sesudah amandemen Undang-undang Dasar tahun 1945.
Secara Praktis: memberikan informasi bagi para akademisi dan
masyarakat luas mengenai peran DPR dalam memberikan pertimbangan
kepada presiden dalam hal pengangkatan duta besar sebelum dan sesudah
amandemen Undang-undang Dasar Tahun 1945.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Review kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian
yang sudah dilakukan, baik yang berupa skripsi, tesis, ataupun penelitianpenelitian lainnya yang pernah membahas seputar kewenangan DPR sebagai
lembaga perwakilan pasca amandemen undang-undang dasar Negara republik
Indonesia tahun 1945, yaitu:
1. “Hubungan Antara Dewan Perwakilan Rakyat Dengan Presiden Pasca
Amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.” Skripsi ini ditulis oleh Hadi Utomo dari Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Malang. Dalam skripsi ini penulis memaparkan mengenai
hubungan koordinasi antara DPR dengan Presiden pasca amandemen Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mulai dari Bidang
Perancangan Undang-Undang, Penyusunan anggaran pendapatan dan belanja

8

Negara, dan memberikan rekomendasi kepada presiden dalam mengangkat
pejabat tinggi Negara.
2.

“Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan Undang-Undang
Dasar 1945.” Buku ini ditulis oleh Abdy Yuhana S.H, M.H, buku ini
dterbitkan pada tahun 2010. Dalam buku ini penulis membahas tentang sistem
perwakilan yang dianut di republik Indonesia dari perspektif ilmu hukum
ketatanegaraan. Dimana dibahas lebih lanjut mengenai tugas dan kedudukan
lembaga perwakilan di Indonesia pasca perubahan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

E. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum kepustakaan.6 Penelitian hukum normatif didefinisikan sebagai
penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Disebut juga
penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data
sekunder.7 Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui

6

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, h. 23
7

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta,
Ghalia Indonesia, 1998, h. 10

9

penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori
atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu
yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa
peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

2. Sumber Data
Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data sekunder adalah berupa bahan hukum, yang terdiri dari :
Bahan hukum primer, terdiri dari peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum peran DPR dalam memberikan pertimbangan
kepada presiden dalam pengangkatan duta besar republik Indonesia, yaitu:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 Tentang
Hubungan Luar Negeri;
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
d. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2003 Tentang
Organisasi Perwakilan Republik Indonesia Di Luar Negeri;
e. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2014 Tentang Tata Tertib;

10

f. Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor 02/A/OT/VIII/2005/01 Tahun
2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Luar Negeri dan
Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor 01/A/OT/I/2006/01 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor
02/A/OT/VIII/2005/01 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Luar Negeri;
g. Keputusan

Menteri

Luar

Negeri

Republik

Indonesia

Nomor

SK.06/A/OT/VI/2004/01 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia di Luar Negeri.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan
penjelasan tentang bahan hukum primer, antara lain adalah tulisan berupa
pendapat para pakar Hukum Tata Negara yang terdapat dalam buku-buku,
tesis, makalah, jurnal hukum.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan
informasi lebih lanjut terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder antara lain kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, majalah,
artikel, koran dan lainnya.8
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, “Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat,” Jakarta, Rajawali Pers, 1995, h. 33
8

11

peneliti adalah teknik dokumentasi. Pada tahap dokumentasi, penulis
mengumpulkan buku-buku, majalah, artikel-artikel dan lain-lain untuk
memudahkan penulis dalam mencari teori-teori yang berkaitan dengan judul
skripsi.
F. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu setelah
data diklasifikasikan sesuai aspek data yang terkumpul lalu diinterpretasikan
secara logis.9 dengan melihat data-data yang diperoleh penulis melalui observasi
dan dokumentasi setelah itu dianalisis kemudian disusun dalam laporan
penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Buku pedoman yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah buku
pedoman skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, terbitan tahun 2012.
Untuk Mempermudah pemahaman dan memperoleh gambaran yang jelas
mengenai keseluruhan dari penulisan skripsi ini, berikut sistematikanya:
adalah Pendahuluan dengan uraian mengungkapkan latar belakang

BAB I

masalah kajian skripsi ini, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan kepustakaan, dan sistematika penulisan.

9

http://www.google.co.id/tanya/thread?tid=342186c09aff08b4.
Tanggal 15 desember 2013

diakses

pada

12

BAB II

adalah tinjauan umum tentang DPR sebagai lembaga perwakilan di
Indonesia. Pada bab ini penulis memaparkan mengenai kewenangan
DPR sebelum dan sesudah amandemen Undang-Undang Dasar NRI
1945, baik dalam bidang legislasi, bidang anggaran, dan bidang
pengawasan. Penulis juga mencantumkan penerapan prinsip check
and balance antara DPR dan Presiden.

BAB III

adalah mengenai tugas dan kedudukan duta besar berdasarkan
Konvensi Wina dan Keputusan Presiden No 108 Tahun 2003, serta
kedudukan seorang duta besar dalam struktur Pemerintahan
Republik Indonesia.

BAB IV

adalah merupakan bab pembahasan, pada bab ini penulis akan
berbicara mengenai mekanisme yang dilakukan oleh DPR dalam
memberikan pertimbangan kepada presiden tentang pengangkatan
duta besar sesudah amandemen Undang-undang Dasar 1945 serta
implikasi hukum dari proses pertimbangan DPR kepada Presiden
tentang pengangkatan duta besar.

BAB V

bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran dari penulis.

BAB II
TINJAUAN UMUM DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEBAGAI
LEMBAGA PERWAKILAN

Dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip kedaulatan rakyat
adanya lembaga perwakilan rakyat merupakan suatu keharusan. Gagasan awal
terbentuknya badan perwakilan rakyat adalah ketika tidak dimungkinkan nya
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan persoalan rakyat dalam sebuah negara
yang mempunyai jumlah penduduk banyak dan letak geografis negara yang luas,
sehingga muncul pemikiran agar diwakilkan kepada sejumlah orang melalui lembaga
yang dibentuk lalu disebutlah lembaga tersebut sebagai lembaga perwakilan rakyat.
International Comission of Jurist merumuskan sistem politik yang demokrasi
sebagai suatu bentuk pemerintah dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan
politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh
mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan
yang bebas.10 Lembaga perwakilan rakyat dipandang sebagi suatu keniscayaan dalam
menjalankan system pemerintahan yang demokratis. Lembaga negara ini merupakan
badan yang berwenang sebagai pelaksana kekuasaan negara dalam hal menentukan
kebijakan umum yang mengikat seluruh rakyat.11

10

PSHK, Semua harus terwakili; Studi mengenai reposisi MPR, DPR, dan lembaga
Kepresidenan di Indonesia, Jakarta, PSHK, 2000, h. 339
Abdy Yuhana, “Sistem Ketatanegaraan Indonesia : Pasca Perubahan UUD 1945”
(Bandung: Fokusmedia, 2013), h. 57
11

13

14

Secara fungsional, perwakilan (politik) yang berlaku dalam system
ketatanegaraan tidaklah terpisah dengan lembaga perwakilan sebagai suatu lembaga
yang dibangun dengan fungsi merealisasikan kekuasaan rakyat kedalam bentuk suatu
aspek lembaga dan proses pemerintahan.12 Lembaga perwakilan merupakan suatu
wadah terhimpunnya aspirasi rakyat, dimana didalamnya terdapat proses interaksi
antara wakil rakyat dengan rakyatnya. Dengan perwakilan itulah demokrasi tidak
langsung atau demokrasi perwakilan dilaksanakan.
Lembaga perwakilan rakyat, seperti yang tersebut dalam kepustakaan
mempunyai dua padanan terminologi yang berbeda, yaitu parlemen (Parliament) atau
legislatif (legislative). Kedua terminologi itu sebetulnya mempunyai pengertian yang
sama, yaitu sebagai tempat dimana para wakil rakyat menyampaikan aspirasi rakyat
dan kehendak rakyat. Perbedaan nya hanya terletak pada pemakaian terminologinya
yang dipadukan dengan sistem pemerintahan yang dianut oleh sebuah negara.13
Negara yang menganut sistem permerintahan parlementer lembaga perwakilan
rakyatnya disebut parlemen sedangkan negara yang sistem pemerintahan presidensiil
disebut legislatif.
Umumnya fungsi lembaga perwakilan ataupun lembaga legislatif diberbagai
negara berbeda-beda, meskipun dalam garis besarnya sama saja, yaitu:14
Dahlan Thaib, “DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” (Yogyakarta:
Liberty,2000), h.2
12

I Gde Pantja Astawa, “Identifikasi Masalah Atas Hasil Perubahan UUD 1945 Yang
Dilakukan Oleh MPR dan Komisi Konstitusi”, Seminar Fakultas Hukum UNPAD bekerjasama
dengan PERSAHI, 2004, h. 105
13

Bintan R. Saragih, “Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia”, ( Jakarta :
Gaya Media Pratama, 1988), h. 56
14

15

1. Menentukan Undang-undang;
2. Di beberapa negaranya seperti Inggris misalnya, juga berwenang untuk
mewujudkan perubahan terhadap konstitusi;
3. Menempatkan dan mengawasi jalannya pemerintahan dengan hak interpelasi,
mosi, hak angket, dan sebagainya;
4. Menetapkan anggaran (keuangan) negara dengan menentukan cara-cara
memperoleh dan menggunakan dana serta melakukan pengawasan terhadap
anggaran tersebut (melalui Badan Pemeriksa Keuangan);
5. Di beberapa negara juga memberikan rekomendasi (mengusulkan) bagi jabatanjabatan penting negara, seperti anggota Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa
Keuangan, dan sebagainya;
6. Menentukan hubungan dengan negara-negara lain, termasuk juga menentukan
perang dan damai.
Secara teoritis, hak istimewa Presiden atau disebut dengan hak Prerogatif
Presiden adalah hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden yang bersifat mandiri
dan mutlak, dalam arti tidak dapat diganggu gugat oleh lembaga lain.15 Dalam
sistem pemerintahan negara-negara modern, hak ini dimiliki oleh kepala negara
baik raja ataupun presiden dan kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu
yang dinyatakan dalam konstitusi.
Kekuasaan
15

presiden

sebagai

kepala

negara

hanyalah

kekuasaan

PSHK, Semua harus terwakili; Studi mengenai reposisi MPR, DPR, dan lembaga
Kepresidenan di Indonesia, Jakarta, PSHK, 2000, h. 321

16

administratif, simbolis, dan terbatas yang merupakan suatu kekuasaan disamping
kekuasaan utamanya sebagai kepala pemerintahan. Di Indonesia, kekuasaan
presiden sebagai kepala negara diatur dalam UUD tahun 1945 pasal 10.
Kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan di Indonesia diatur dalam Pasal
4 ayat (1) UUD tahun 1945. Kekuasaan sebagai kepala pemerintahan sama
dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan kekuasaan yang membatasi
kekuasaan pemerintahan secara sempit pada pelaksanaan peraturan hukum yang
ditetapkan lembaga legislatif.
Kekuasaan eksekutif diartikan sebagai kekuasaan pelaksanaan pemerintahan
sehari-hari berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Kekuasaan ini terbatas pada penetapan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan
politik yang berada dalam ruang lingkup fungsi administrasi, keamanan, dan
pengaturan yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundangundangan. Dalam pelaksanaannya, kekuasaan ini tetap besar dan mendapat
pengawasan dari badan legislatif atau badan lain yang ditunjuk oleh konstitusi
untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dalam UUD tahun 1945 fungsi
pengawasan pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh DPR.

A. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Sebelum Perubahan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Menurut Undang-undang Dasar 1945 sebelum perubahan, peran dan fungsi
DPR hanya terbatas pada hak mengajukan rancangan Undang-undang. Peran DPR

17

selama 32 tahun tidak lebih sebagai alat legitimasi dan sebagai corong eksekutif
khususnya dalam setiap rancangan Undang-undang yang diajukan oleh
pemerintah. Pengalaman DPR selama orde baru menunjukkan bahwa eksekutif
begitu dominan terhadap legislatif, sehingga DPR mandul dan tidak berdaya.
Berdasarkan Undang-undang dasar 1945, lembaga DPR memiliki tiga fungsi
utama yakni, fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.16
Pelaksanaan ketiga fungsi ini mengalami proses pasang surut sesuai dengan
sistem dan situasi politik secara nasional. Pada masa Presiden Soekarno misalnya
konstituante dibubarkan karena dinilai tidak mampu menyusun Undang-undang
Dasar. Sedangkan pada era pemerintahan

Presiden Soeharto, DPR berada

dibawah dominasi eksekutif sehingga ketiga fungsinya tidak dapat berjalan secara
efektif.
Berikut ini diuraikan dinamika peran dan fungsi DPR sebelum amandemen
Undang-undang Dasar 1945 :
1. Fungsi Legislasi
Sebelum amandemen Undang-undang Dasar 1945, rumusan pasal 5 ayat
(1) Undang-undang Dasar 1945 dan penjelasannya tentang kekuasaan untuk
membentuk Undang-undang, telah menimbulkan persoalan mengenai
siapakah sebenarnya yang memegang kekuasaan menyusun dan menetapkan
Undang-undang. Ketentuan pasal tersebut bukan saja membingungkan tetapi
mengandung anomali. Presiden adalah pemegang dan pelaksana kekuasaan
Sri Soemantri, “Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945”, ( Bandung :
Citra Aditya Bakti, 1993), h. 27
16

18

eksekutif. Dalam sistem ketatanegaraan demokratis umumnya kekuasaan
menetapkan Undang-undang berada pada badan perwakilan rakyat sebagai
pemegang kekuasaan legislatif.17
Selama periode orde baru, fungsi legislasi dipegang oleh Presiden
sementara DPR hanya memberikan persetujuan. Dalam hal ini A. Hamid S.
Attamimi berpendapat, apabila ditafsirkan secara harfiah, ketentuan pasal 5
ayat (1) yang menyatakan bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, Presidenlah
yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang, sedangkan DPR
memberi (atau tidak memberi) persetujuan terhadap pelaksanaan kekuasaan
yang berada pada presiden tersebut.18
Dengan menggunakan teori kekuasaan R. Kranenburg, A. Hamid S.
Attamimi menambahkan, “memegang kekuasaan” dalam ketentuan Pasal 5
Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 haruslah diartikan “memegang
kewenangan”, karena suatu kekuasaan (macht), dalam hal ini kekuasaan
membentuk undang-undang (wetgevendemacht), memang mengandung
kewenangan membentuk undang-undang.19 Karena argumentasi itu, dengan

T.A. Legowo, M. Djadijono, Dkk , “Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan
Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945”, (Jakarta: FORMAPPI, 2005), h. 81.
17

A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan”, (Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, Jakarta, 1990), h. 146.
18

19

Ibid. h. 151

19

menggunakan makna semantik, A. Hamid S. Attamimi menafsirkan
“bersama-sama”

dalam

melaksanakan

legislative

power,

Presiden

melaksanakan kekuasaan pembentukannya dan DPR melaksanakan
(pemberian) persetujuan dengan berbarengan, serentak, bersama-sama.20
Dengan demikian menjadi jelas, tambah Attamimi, kewenangan
pembentukan undang-undang tetap pada Presiden, dan kewenangan
memberikan persetujuan tetap pada DPR. Agar undang-undang dapat
terbnetuk, kedua kewenangan tersebut dilaksanakan secara berbarengan.21
2. Fungsi Anggaran
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, fungsi anggaran dari DPR
tidak berjalan sebagaimana mestinya, sama seperti fungsi-fungsi DPR yang
lainnya. Anggaran Negara yang dikehendaki pemerintah tidak mendapat
reaksi apapun dari DPR. Mereka hanya memberikan persetujuan terhadap
rencana anggaran yang diajukan oleh pemerintah. Singkatnya fungsi anggaran
DPR hanya sekedar formalitas.22
3. Fungsi Pengawasan
Fungsi pengawasan DPR selama orde baru dapat dilihat melalui tiga
memorandum. Ketiga memorandum itu mencakup tentang masalah Taman

20

Ibid. h. 153

21

Ibid.

22

T.A. Legowo, M. Djadijono, Dkk , Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan
Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945”, (Jakarta: FORMAPPI, 2005), h. 82.

20

Mini Indonesia Indah dan hari depan generasi muda Indonesia, Penetapan
harga gula hasil panenan pada tahun 1972 dan rencana ekspor gula pada tahun
1974, serta memorandum tentang masalah beras.23
Sempat muncul hak interpelasi DPR tentang penerapan Normalisasi
Kehidupan Kampus (NKK) oleh pemerintah dan hak angket mengenai kasus
korupsi di pertamina. Meskipun hak angket ini ditolak oleh Fraksi Karya
Pembangunan dan Fraksi ABRI. Hanya sebatas itu lah potret fungsi
pengawasan yang dilakukan oleh DPR terhadap pemerintahan ORBA.
Mengenai proses pengangkatan duta besar sebelum amandemen sama sekali
tidak melibatkan peran DPR selaku lembaga legislatif. Pada masa itu
pengangkatan duta besar merupakan hak prerogatif presiden yang mandiri.
Sebagaimana yang termaktub pada pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 37
Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri “Duta Besar Luar Biasa dan
Berkuasa Penuh adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden Selaku Kepala Negara”.
B. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Setelah Perubahan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif tidaklah
dinyatakan secara tegas, hanya di sebutkan bahwa DPR memegang Kekuasaan
membentuk Undang-undang (Pasal 20 Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara

23

Opini@Net, Kumpulan Aspirasi Masyarakat, yang disampaikan melalui www.mpr.go.id,
diakses pada tanggal 18 Agustus 20014.

21

Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Pertama),24 kemudian dalam pasal
20A Ayat (1) muncul ketentuan mengenai fungsi-fungsi anggaran dan control
disamping fungsi legislasi. Sehubungan dengan hal ini Bagir Manan berpendapat
bahwa ketentuan Pasal 20A Ayat (1) ini bukan saja overlapping tetapi juga
menimbulkan kerancuan, dalam hal penyebutan legislasi tidak konsisten dengan
kekuasaan membentuk Undang-undang.25 Pengertian (begrib) legislasi lebih luas
dari pengertian Undang-undang, kekuasaan membentuk Undang-undang adalah
satu-satunya fungsi DPR.
Perkembangan setelah Perubahan Undang-undang Tahun 1945, DPR sebagai
lembaga legislatif, tetapi bisa juga disebut sebagai penasehat Presiden. Dewan
Perwakilan Rakyat dapat dikatakan sebagai penasehat Presiden, oleh karena
Presiden dapat meminta pertimbangan DPR dalam hal-hal tertentu, seperti
berikut:
a. Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR
(Pasal 13 Ayat 2 UUD 1945 Perubahan Pertama), pada penggunaan istilah
“memperhatikan pertimbangan”.
b. Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan
pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat 3 UUD 1945 Perubahan Pertama), pada
penggunaan istilah “memperhatikan pertimbangan”.

24

I do esia, UUD 1945 Perubahan Pertama”, Pasal 20 ayat 1

Bagir Manan, “ DPD, DPR, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru” (Yogyakarta: FH UII
Press, 2003), h. 33
25

22

c. Presiden

memberikan

amnesti

dan

abolisi

dengan

memperhatikan

pertimbangan DPR (Pasal 14 ayat 2 UUD 1945 Perubahan Pertama), pada
penggunaan istilah “memperhatikan pertimbangan”.

1. Fungsi Legislasi
Salah satu pilar pemerintah yang demokratis adalah menjunjung tinggi
supremasi hukum. Supremasi hukum dapat terwujud apabila didukung oleh
perangkat peraturan perundang-undangan yang dihasilkan melalui proses
legislasi. Oleh karena itu, fungsi legislasi DPR dalam proses demokrasi
sangatlah penting.
Menurut ketentuan konstitusi, rancangan Undang-undang (RUU) yang
akan dibahas di DPR dapat berasal dari pemerintah dan dapat pula berasal dari
DPR sebagai RUU usul inisiatif. Untuk masa yang akan datang jumlah RUU
yang berasal dari inisiatif DPR diharapkan semakin banyak. Hal ini
merupakan bagian penting dari komitmen reformasi hukum nasional dan
pemberian peran yang lebih besar kepada DPR secara konstitusional dalam
pembuatan Undang-undang.
Peningkatan peran tersebut merupakan hasil dari perubahan Undangundang Dasar Tahun 1945. Dalam naskah Undang-undang Tahun 1945
sebelum perubahan hak membuat Undang-undang berada pada tangan
Presiden, “ Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang ” (
Pasal 5 ayat 1). Setelah perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945 hak itu

23

bergeser dari Presiden kepada DPR dan rumusan tersebut dituangkan dalam
Pasal 20 ayat (1) yang menyebutkan “DPR memegang kekuasaan membentuk
Undang-undang”.
2. Fungsi Anggaran
Untuk menjalankan fungsi pokok Dewan Perwakilan Rakyat di bidang
Anggaran diatur dalam Pasal 23 Undang-undang Dasar Tahun 1945 setelah
perubahan. Ditegaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) ditetapkan tiap tahun dengan Undang-undang. Kedudukan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam penyusunan APBN sangatlah kuat, karena apabila
Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan oleh
pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu.26
3. Fungsi Pengawasan
Tidaklah berlebihan, apabila rakyat Indonesia di semua tingkatan
memprediksikan potret DPR di era saat ini mengalami perubahan yang sangat
signifikan. Perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945 telah menggeser
paradigm executive heavy menjadi legislative heavy.
Pada era orde baru yang lalu, praktek ketatanegaraan lebih didominasi oleh
peran eksekutif atau pemerintah. Terlebih dominasi eksekutif pada waktu itu
mendapatkan legitimasi secara konstitusional, hal ini terlihat pada pasal-pasal
dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan.27 Pada pasal 4
26

Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, ( Yogyakarta: Liberty, 2000),

27

Y. Hartono, Artikel, SI: Dari Supermasi Eksekutif ke Supermasi Legislatif ?, www. google.

h. 96
com

24

ayat (1) naskah asli Undang-undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar”. Kemudian pasal 5 ayat (1) Presiden membentuk
Undang-undang bersama DPR, Presiden juga dapat menetapkan peraturan
pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang ( Pasal 5 ayat 2 ). Menurut
Pasal 10 Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Pasal 11 Presiden menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, dengan persetujuan
DPR. Pasal 12 menyebutkan bahwa Presiden dapat menyatakan keadaan
bahaya menurut syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
Dominasi kekuasaan eksekutif semakin bertambah ketika dengan
kekuasaannya melakukan monopoli penafsiran pada Pasal 7 Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan. Penafsiran ini menimbulkan Implikasi
yang sangat luas karena Presiden dapat dipilih kembali untuk masa yang tidak
terbatas.28 Dengan diadakannya Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 kini peran itu mulai bergeser dan berubah. Meskipun Presiden
masih memegang kekuasaan pemerintah, tetapi dengan adanya pergeseran ini,
Presiden tidak lagi mempunyai kekuasaan dibidang legislasi, sebab kekuasaan
tersebut sekarang berada pada tangan DPR. Pasal 20 ayat (1) menyebutkan
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk UndangUndang”. Sedangkan Presiden hanya memiliki hak mengajukan rancangan

28

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta, Aksara Baru, 1977, h. 199-200

25

Undang-Undang saja.
Dalam konteks pengawasan, Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun
1945 telah memberikan kewenangan yang cukup besar kepada DPR untuk
mengawasi jalannya pemerintahan. Pelaksanaan fungsi pengawasan DPR
dilakukan melalui mekanisme penggunaan beberapa hak yang sebelumnya
tidak digunakan, seperti hak interpelasi dan hak angket. Melalui hak
interpelasi, Presiden diminta untuk memberikan keterangan atau klarifikasi
atas kebijakan yang telah diambilnya. Sedangkan melalui hak angket, DPR
melakukan penyelidikan terhadap penyimpangan penggunaan anggaran
negara yang digunakan oleh Presiden.
Fungsi pengawasan DPR juga dilakukan melalui keterlibatan DPR dalam
proses pemilihan pejabat-pejabat publik yang ditetapkan oleh pemerintah
berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan peraturan perundangundangan lainnya. Dalam hal pengangkatan duta, penempatan duta negara
sahabat,

pemberian

amnesti,

abolisi,

Presiden

harus

mendengarkan

pertimbangan dari DPR. Selanjutnya tugas DPR dalam fungsi pengawasan
lainnya adalah menindak lanjuti hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan.
Tugas ini merupakan suatu bentuk sikap pro-aktif DPR untuk mendorong
penyelesaian kasus-kasus penyalahgunaan keuangan negara.
Pada akhirnya peningkatan peran DPR dalam bidang pengawasan bagian
dari upaya untuk menerapkan mekanisme checks and balance demi
terciptanya pemerintahan yang demokratis. Hal ini mengharuskan DPR untuk
bekerja secara optimal demi melaksanakan fungsi-fungsi konstitusionalnya,

26

dengan menggunakan hak-hak nya secara maksimal.
4. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Setelah Perubahan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan

Undang-undang

Dasar

Tahun

1945

telah

memberikan

kedudukan yang cukup kuat kepada Dewan Perwakilan Rakyat, hal ini
sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 7C Undang-undang Dasar tahun
1945 setelah perubahan yang menyebutkan “Presiden tidak dapat membekukan
dan atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”. Hal ini sesuai dengan
prinsip presidensial sebagai sistem pemerintahan Indonesia yang dipertahakan
dan lebih disempurnakan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan. Presiden dan DPR dipilih langsung
oleh rakyat, sehingga keduanya memiliki legitimasi yang sama dan kuat serta
masing-masing tidak bisa saling menjatuhkan.
Selain ditentukan dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945, ketentuan
fungsi dan wewenang DPR juga diatur dalam Peraturan DPR No 1 Tahun 2014
Tentang Tata Tertib dalam Pasal 4 ayat (1), disebutkan bahwa DPR memiliki
fungsi :29
a. Legislasi;
b. Anggaran; dan
c. Pengawasan.
Ketiga fungsi diatas dijalankan dalam rangka representasi rakyat dan juga

29

Pasal 4 ayat (1) Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib

27

untuk mendukung upaya pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.30
Kemudian untuk melaksanakan tugas dan wewenang tersebut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), DPR memiliki beberapa hak yaitu :
a. Meminta keterangan kepada Presiden
b. Mengadakan Penyelidikan
c. Mengadakan perubahan terhadap rancangan Undang-undang
d. Mengajukan pernyataan pendapat
e. Mengajukan rancangan Undang-undang
f. Mengajukan seseorang untuk jabatan tertentu jika ditentukan oleh suatu
peraturan perundang-undangan
g. Menentukan anggaran DPR
h. Memanggil seseorang
Selain dari peraturan DPR No 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, yang
lebih lanjut mengatur tugas dan wewenang DPR, serta hak-hak yang dimiliki
oleh DPR, hal serupa juga terdapat dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2014
Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang dapat
dilihat dalam pasal 71 yakni sebagai berikut :31
Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai Tugas dan wewenang :
a. Membentuk Undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama;
30

Ibid, Pasal 4 ayat (2)

31

Lihat UU No 17 Tahun 2014 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR,DPD, dan DPRD

28

b. Memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap
peraturan pemerintah pengganti Undang-undang yang diajukan oleh
Presiden untuk menjadi Undang-undang;
c. Meneriman rancangan Undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
d. Membahas rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam
huruf c bersama Presiden dan DPD sebelum diambil persetujuan bersama
antara DPR dan Presiden;
e. Membahas rancangan Undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau
DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum
diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;
f. Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan Undang-undang
tentang APBN dan rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama;
g. Membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
dan memberikan persetujuan atas rancangan Undang-undang tentang
APBN yang diajukan oleh Presiden;

29

h. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang dan
APBN;
i. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh
DPD terhadap pelaksanaan Undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
j. Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat
perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undangundang;
k. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesty
dan abolisi;
l. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam mengangkat duta besar
dan menerima penempatan duta besar negara sahabat;
m. Memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
n. Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;
o. Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan
pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
p. Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi

30

Yudisial untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden;
q. Memilih 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi dan mengajukannya kepada
Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden;
r. Memberikan persetujuan atas pemindahtanganan asset negara yang
menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan