Penerapan Sistem Pemerintahan Presidensial Di Negara Republik Indonesia Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

(1)

PENERAPAN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL DI

NEGARA REPUBLIK INDONESIA SETELAH AMANDEMEN

UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Yenni Melisa Surbakti NIM : 070200163

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

PENERAPAN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL DI

NEGARA REPUBLIK INDONESIA SETELAH AMANDEMEN

UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Yenni Melisa Surbakti NIM : 070200163

KETUA DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

Armansyah, S.H., M.Hum.

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah karena berkat, kasih, dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penerapan Sistem Pemerintahan Presidensial Di Negara Republik Indonesia Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Dia yang selalu setia menopang, menguatkan, menghiburkan serta selalu hadir menyertai setiap langkah hidup penulis dan biarlah apa yang penulis kerjakan melalui skripsi ini menyenangkan hati-Nya. Hanya karena Dialah, mempunyai kesempatan untuk menimba ilmu dan menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada :

1. Bapak Prof.Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syarifuddin Hasibuan,S.H.,M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H.,M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

5. Bapak Armansyah, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara.

6. Bapak Drs.Nazaruddin, S.H., M.A., selaku Dosen Pembimbing I penulis. 7. Bapak Yusrin Nazief, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II

penulis.

8. Ibu Dr.Marlina, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik selama menimba ilmu di Fakultas Hukum USU.

9. Teristimewa untuk orangtua terkasih Bapak Jarta Surbakti dan Mamaku Ariaty Sembiring atas kasih sayang serta didikan yang diberikan. Kedua saudara, Abang Joy Febrianta Surbakti dan Adik Debora Tri Astari Surbakti.

10.Teman-teman seperjuangan: Meisy, Yola, Oncy, Mami Diandess, Sondung, Citra, Whenny, Fisca, Aser, Yulis, Bang Putra, Wawan, Josh, Udur, Tigor, Alekson, Samuel, Alfa, Henry, Boris, Andi, juga untuk anak-anak Simalingkar : Peggy Siahaan dan Rina Stephanie atas dukungan dan kebersamaan selama perkuliahan.

11. Kak Swarni, Bang Ricky, Ka Derma, Yola, Onci yang selalu mendukungku, terimakasih untuk kebersamaan dalam belajar firman juga buat doa-doanya.

12.Adik-adikku yang terkasih : Defina, Dessy, Nita, Nurma, Resky, Yessi. Terima kasih untuk semua doa serta dukungan yang diberikan.

13.Teman-teman UKM KMK USU UP FH : K’Corry, K’Evi, K’Adi, Suhardi Fonger, Lusi, juga buat Koordinasi & Pengurus periode 2011 : Martin,


(5)

Imannuel, Togi, John, Marupa, Juli, Desi, Bona, Monica, Erikson, Suspim, Santi, Jesaya, Joice, Sherly, Rebeka, Rickson, Esra, Fernandes.

14.Teman-teman Panitia Kebaktian PMB USU 2009 : Monica Sarina, K’Herlina Keliat, Senti Fitri, Whenny Maranatha.

15.Semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, 20 September 2011


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... vi

ABSTRAK... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... ..1

B. Rumusan Masalah...5

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan ... ..6

D. Keaslian Penulisan...6

E. Tinjauan Kepustakaan... . 7

F. Sistematika Penulisan... 22

BAB II SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SEBELUM AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 A. Masa Berlaku UUD 1945... 24

B. Masa Berlaku Konstitusi RIS 1949... 31

1. Penetapan Konstitusi RIS 1949 ... 31

2. Sistem Pemerintahan Berdasarkan KRIS 1949...35

C. Masa Berlaku Undang-Undang Dasar Sementara 1950...37

1. Penetapan Undang-Undang Dasar Sementara 1950...38

2. Sistem Pemerintahan Berdasarkan UUDS 1950... 40

D. Masa Kembali Berlaku UUD Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959...45

1. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Penetapan Kembali UUD 1945...45

2. Sistem Pemerintahan Berdasarkam UUD 1945 ...48

BAB III SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SETELAH AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 A. Sistem Presidensial Di Negara Republik Indonesia Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945... 55

B. Penerapan Sistem Presidensial Di Indonesia Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945... 59

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... .80

B. Saran...82


(7)

ABSTRAK

Era reformasi dimulai dengan berhentinya Presiden Soeharto ditengah-tengah krisis ekonomi dan moneter di Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Amandemen UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang disuarakan oleh masyarakat dalam memperbaiki kondisi dan struktur ketatanegaraan. Salah satu kesepakatan dasar dalam mengadakan amandemen UUD 1945 tersebut adalah mempertegas sistem pemerintahan presidensial. Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana sistem pemerintahan di Negara Republik Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 dan bagaimana penerapan sistem pemerintahan presidensia di Negara Republik Indonesia setelah amandemen UUD 1945.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif berupa studi pustaka yang dilakukan dengan penelusuran bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan skripsi

Sistem pemerintahan di Indonesia di awal kemerdekaan adalah sistem pemerintahan presidensial. Namun sistem pemerintahan presidensial mulai mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah Tanggal 14 Nopember Tahun 1945. Pada masa berlaku Konstitusi RIS dan UUD Sementara 1950, Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer. Pada masa kembali berlakunya UUD 1945, Indonesia menganut sistem campuran/quasi karena menganut sistem presidensial dan sistem parlementer. Setelah amandemen UUD 1945, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial tetapi tidak murni dikarenakan menganut sistem multi partai.


(8)

ABSTRAK

Era reformasi dimulai dengan berhentinya Presiden Soeharto ditengah-tengah krisis ekonomi dan moneter di Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Amandemen UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang disuarakan oleh masyarakat dalam memperbaiki kondisi dan struktur ketatanegaraan. Salah satu kesepakatan dasar dalam mengadakan amandemen UUD 1945 tersebut adalah mempertegas sistem pemerintahan presidensial. Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana sistem pemerintahan di Negara Republik Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 dan bagaimana penerapan sistem pemerintahan presidensia di Negara Republik Indonesia setelah amandemen UUD 1945.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif berupa studi pustaka yang dilakukan dengan penelusuran bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan skripsi

Sistem pemerintahan di Indonesia di awal kemerdekaan adalah sistem pemerintahan presidensial. Namun sistem pemerintahan presidensial mulai mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah Tanggal 14 Nopember Tahun 1945. Pada masa berlaku Konstitusi RIS dan UUD Sementara 1950, Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer. Pada masa kembali berlakunya UUD 1945, Indonesia menganut sistem campuran/quasi karena menganut sistem presidensial dan sistem parlementer. Setelah amandemen UUD 1945, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial tetapi tidak murni dikarenakan menganut sistem multi partai.


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Berhentinya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 dari jabatan presiden diakibatkan unjuk rasa yang dilakukan terus-menerus oleh mahasiswa, pemuda, dan rakyat di daerah-daerah. Berhentinya Presiden Soeharto di tengah-tengah krisis ekonomi dan moneter menjadi awal dimulainya era reformasi di Indonesia. 1

Dengan adanya reformasi, masyarakat berharap adanya perubahan besar menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan, dan memiliki akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance dan adanya kebebasan berpendapat.2 Kesemuanya itu diharapkan agar dapat mendekatkan bangsa Indonesia kepada pencapaian tujuan nasional sebagaimana terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.3 Oleh karena itu gerakan reformasi diharapkan dapat mendorong perubahan mental pemimpin dan rakyat agar mampu menjadi bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan serta kebenaran.4 Berbagai tuntutan kemudian disuarakan oleh berbagai komponen bangsa untuk memperbaiki kondisi dan struktur ketatanegaraan. Tuntutan-tuntutan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :

      

1

Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Kencana Prenada, Jakarta, 2009, hlm ix.

2

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2007, hlm 3.

3 Ibid. 4


(10)

1. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 2. Penghapusan doktrin dwifungsi ABRI

3. Penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

4. Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah)

5. Mewujudkan kebebasan pers. 6. Mewujudkan kehidupan demokrasi. 5

Adanya tuntutan yang disuarakan oleh masyarakat untuk melakukan amandemen UUD 1945 didasarkan pada pandangan bahwa UUD 1945 belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM.6 Disamping itu di dalam UUD 1945 terdapat pasal-pasal yang multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggara negara untuk disalahgunakan. Kekhawatiran akan adanya peluang yang dapat disalahgunakan tersebut memang telah diingatkan Soekarno dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dengan mengatakan UUD yang dibuat adalah UUD kilat atau

revolutie grondwet yang akan diganti atau lebih disempurnakan setelah situasi

negara sudah normal.7 Walaupun UUD 1945 memilki kelemahan, harus diakui bahwa UUD 1945 memiliki ketentuan yang baik, oleh karena itu wajar dipertahankan seperti prinsip negara berdasarkan hukum, prinsip kesejahteraan sosial, prinsip penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang

      

5

Abdul Ghoffar, Loc.Cit. 6

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Loc.Cit. 7

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi, Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2007, hlm 1.


(11)

terkandung di dalamnya yang menguasai hajat hidup rakyat banyak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.8

Tuntutan untuk mengadakan perubahan UUD 1945 pada era reformasi merupakan suatu terobosan yang mendasar karena pada era orde baru tidak dikehendaki adanya perubahan UUD 1945.9 Walaupun pasal 37 UUD 1945 memberi adanya peluang untuk mengadakan perubahan, kemungkinan tersebut dikesampingkan dengan dalih UUD 1945 harus dilaksanakan secara murni dan konsekuen, dalam arti UUD 1945 merupakan amanat pendiri bangsa yang harus dijaga dan dihormati.10 Sikap politik pemerintah pada saat itu kemudian diperkuat dengan lahirnya dasar hukum Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 Tentang Referendum yang isinya adalah kehendak untuk tidak melakukan perubahan UUD 1945. Jika kehendak untuk mengubah UUD 1945 tetap muncul, maka harus terlebih dahulu dilakukan referendum dengan persyaratan yang sangat ketat, sehingga kecil kemungkinannya perubahan UUD 1945 tersebut untuk dilaksanakan.11

Desakan untuk mengadakan perubahan UUD 1945 akhirnya ditanggapi oleh MPR. Amandemen ini dilakukan berdasarkan pasal 37 UUD 1945 dan amandemen ini telah dilakukan sebanyak empat kali oleh MPR. Dalam mengadakan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut terdapat beberapa

      

8

Riri Nazriyah, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di Masa Depan, Yogyakarta, FH UII Press 2007, hlm 118.

9

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Op.Cit. hlm 4. 10

Riri Nazriyah, Op.Cit., hlm 321. 11


(12)

kesepakatan dasar. Salah satu kesepakatan dasar dalam mengadakan perubahan UUD 1945 tersebut adalah mempertegas sistem pemerintahan presidensial.12

Negara Republik Indonesia merupakan salah satu negara yang pernah mempraktikkan dua model sistem pemerintahan yaitu sistem parlementer dan sistem presidensial. Dari periode 1945-1959, Indonesia menerapkan sistem pemerintahan parlementer dengan tiga konstitusi berbeda, yaitu : Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950), dan Undang-Undang Dasar 1950 (1950-1959). Ketika kembali ke Undang-Undang-Undang-Undang Dasar 1945 melalui Dekrit Presiden 1959, Indonesia memakai sistem pemerintahan presidensial dengan karakter antara lain Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR, Presiden bertanggung jawab kepada MPR, pembatasan periodisasi masa jabatan presiden yang tidak jelas. Dengan karakter yang demikian, Sri Soemantri beranggapan sistem pemerintahan Indonesia mengandung unsur sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer.13 Oleh karena itu, ketika MPR hasil pemilihan umum mempertahankan sistem pemerintahan presidensial dan berupaya memurnikan sistem pemerintahan presidensial. Langkah pemurnian dimaksudkan untuk mengurangi sistem pemerintahan parlementer dalam sistem pemerintahan Indonesia. 14

Penegasan sistem pemerintahan presidensial dalam UUD 1945 hasil amandemen memang sudah dilakukan seperti kedudukan Presiden dan DPR dalam posisi yang sejajar dan sama kuat berdasarkan pemisahan kekuasaan agar sistem dan mekanisme check and balance dapat berjalan. Namun dalam

      

12

Ibid., hlm 13. 13

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010,hlm 3. 14


(13)

praktiknya, arah untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensial tersebut masih mengalami hambatan karena terjadi pertentangan antara pasal yang terdapat dalam hasil amandemen UUD 1945 itu sendiri.15

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan adapun perumusan masalah yang diangkat adalah

1. Bagaimana sistem pemerintahan di Negara Republik Indonesia sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945?

2. Bagaimana penerapan sistem pemerintahan presidensial di Negara Republik Indonesia setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut

1. Mengetahui sistem pemerintahan Indonesia sebelum dan sesudah amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

2. Mendapatkan pemahaman mengenai penerapan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia.

2. Manfaat Penulisan A. Secara Teoritis

Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah serta memberikan

      

15


(14)

kontribusi pemikiran dalam hal sistem pemerintahan setelah adanya amandemen UUD 1945.

B. Secara Praktis

Hasil penulisan ini semoga bermanfaat bagi semua orang, terutama untuk peminat pada perkuliahan di Fakultas Hukum dan untuk sumbangan pemikiran ilmiah hukum positif Indonesia. Penulisan ini diharapkan mampu mengggambarkan tentang penerapan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia pasca amandemen UUD 1945.

D.KEASLIAN PENULISAN

Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang Penerapan Sistem

Presidensial Di Negara Republik Indonesia Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan dari informasi yang diperoleh dari perpustakaan, judul ini belum

pernah ditulis sebagai skripsi. Kemudian, permasalahan yang dimunculkan dalam penulisan ini merupakan hasil olah pikir dari penulis sendiri. Dalam skripsi ini, penulis mencoba untuk mengarahkan penerapan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia setelah amandemen UUD 1945. Oleh karena itu, keaslian dari tulisan ini dapat dijamin oleh penulis.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan merupakan gabungan dari dua kata yaitu sistem dan pemerintahan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian sistem. Menurut Poerwodarminto bahwa sistem adalah (1) seperangkat unsur yang secara


(15)

teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, (2) susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya, dan (3) metode.16 Sedangkan Menurut Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, pengertian sistem adalah :

“Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang jika akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya itu”.17

Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan, pengertian sistem adalah seperangkat atau suatu keseluruhan yang utuh yang terdiri beberapa bagian yang yang mempunyai hubungan fungsional terhadap keseluruhannya dan memiliki keterkaitan antara bagian-bagian untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Sedangkan kata pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan pemerintah berasal dari induk kata perintah. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata tersebut memiliki arti sebagai berikut:

a. Perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu; b. Pemerintah ialah kekuasaan yang memerintah suatu negara atau badan

tertinggi yang memerintah suatu negara;

c. Pemerintahan adalah suatu perbuatan atau cara, urusan dalam hal memerintah.18

      

16

http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2024097-pengertian-sistem, diakses 23 Maret 2011.

17

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1983, hlm 171.

18

. http://mjieschool.blogspot.com/2008/10/sistem-pemerintahan-pertemuan-1.html, diakses pada 24 Maret 2011


(16)

Pemerintahan juga memiliki dua pengertian yang berbeda yaitu pemerintahan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan Negara. Sedangkan pemerintah dalam arti sempit adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara.19 Jadi, sistem pemerintahan diartikan sebagai seperangkat atau suatu keseluruhan utuh yang terdiri atas berbagai bagian yang yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya dan mempengaruhi dalam mencapai tujuan dan fungsi pemerintahan.20 Kekuasaan dalam suatu negara menurut Montesqieu diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan membentuk undang, Kekuasaan Eksekutif yaitu kekuasaaan yang menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan pemerintahan, dan kekuasaan yudikatif yaitu kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang-undang. Jadi sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antar lembaga negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang bersangkutan. Lembaga-lembaga negara yang berada dalam suatu sistem pemerintahan negara bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk dapat mewujudkan tujuan dari

      

19 .Ibid. 20


(17)

pemerintahan negara yang bersangkutan.21 Secara umum sistem pemerintahan terbagi atas dua yaitu sistem parlementer dan sistem presidensial.

2. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial A. Sistem Pemerintahan Parlementer

Sistem pemerintahan parlementer adalah sistem pemerintahan dimana menteri-menteri harus mempertanggung jawabkan kinerja eksekutifnya.22 Sistem pemerintahan parlementer merupakan sistem pemerintahan yang paling luas diterapkan didunia. Menurut sejarah, Negara Inggris merupakan tempat kelahiran sistem pemerintahan parlementer.23

Sistem parlementer lahir dari pertanggungjawaban menteri seperti yang terjadi di Inggris dimana seorang raja tidak dapat diganggu-gugat (the king can do

no wrong), maka jika terjadi perselisihan antara raja dan rakyat, maka menterilah

yang bertanggung jawab atas kebijakan raja. Sebagai contoh, Thomas Wenthwoth salah satu menteri pada masa Raja Karel I dituduh melakuka tindak pidana oleh majelis rendah. Kemudian karena terbukti, menteri tersebut dijatuhi hukuman mati oleh majelis tinggi. Dari pertanggungjawaban pidana ini, kemudian lahir pertanggungjawaban politik, dimana menteri harus bertanggung jawab atas seluruh kebijaksaanaan pemerintah terhadap parlemen.24

Sistem parlemen telah terjadi sejak permulaan abad ke-18 di Inggris. Dari sejarah ketatanegaraan, dapatlah dikatakan, bahwa sistem parlementer ini adalah

      

21 Ibid. 22

http://ngotakngatik.blogspot.com/2010/01/macam-sistem-pemerintahan beserta.html, diakses pada 5 Agustus 2011.

23

Saldi Isra, Op.Cit., hlm 26. 24


(18)

kelanjutan dari bentuk negara Monarchi Konstitusionil, di mana kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi. Karena itu dalam sistem parlementer, raja atau ratu dan presiden, kedudukannya adalah sebagai kepala negara. Contoh kedudukan ratu di Inggris, raja di Muangthai dan presiden di India. Selanjutnya yang disebut eksekutif dalam sistem parlementer adalah kabinet itu sendiri. Kabinet yang terdiri dari perdana menteri dan menteri-menteri, bertanggung jawab sendiri atau bersama-sama kepada parlemen. Kesalahan yang dilakukan oleh kabinet tidak dapat melibatkan kepala negara. Karena itulah di Inggris dikenal istilah “the king

can do no wrong”.25

Untuk lebih jelasnya karakter sistem pemerintahan parlementer akan diuraikan sebagai berikut :

1. Hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan sangat erat. Hal ini disebabkan adanya pertanggung jawaban para menteri terhadap parlemen, oleh karena itu kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukungan dengan suara yang terbanyak dari parlemen. Sehingga kebijaksanaan pemerintah atau kabinet tidak boleh menyimpang dari yang dikehendaki parlemen.26

2. Fungsi eksekutif dibagi kedalam dua bagian yaitu kepala pemerintahan dan kepala negara. Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang perdana menteri atau kanselir. Kepala negara adalah seorang presiden sebagaimana

      

25

Ibid, hlm 173. 26


(19)

yang ada di Jerman, India, dan Italia atau seorang ratu di Inggris dan seorang kaisar seperti di Jepang.27

3. Pada umumnya sistem kepartaian yang dianut dalam sistem pemerintahan parlementer adalah sistem multi partai. Walaupun demikian ada negara yang menganut sistem partai yang sederhana seperti Inggris yang menganut sistem dua partai.

4. Dalam sistem dua partai, yang ditunjuk sebagai pembentuk kabinet dan sekaligus sebagai Perdana Menteri adalah ketua partai politik yang memenangkan pemilihan umum. Sedangkan pihak yang kalah akan berlaku sebagai pihak oposisi. Dalam sistem multi partai, karena tidak satu pun parlemen dari partai politik yang menguasai parlemen secara mayoritas, maka pembentukan kabinet tidak lancar seperti yang ada pada sistem dua partai. Formatur (pembentuk kabinet) harus membentuk kabinet secara koalisi berdasarkan kekuatan perimbangan di parlemen.28 Karena koalisi dibentuk atas dasar kompromi, maka kadang kala dukungan partai politik ditarik dengan menarik menterinya di kabinet lalu mengembalikan mandatnya kepada kepala negara. Oleh karena itu, banyak pendapat yang mengatakan sistem parlementer yang diikuti dengan sistem multi partai sering menimbulkan ketidakstabilan pemerintahan karena sering terjadi pertukaran kabinet.29

5. Menteri-menteri biasanya berasal dari anggota parlemen. Para anggota pemerintahan memiliki peranan ganda dalam sistem parlementer. Mereka

      

27

Abdul Ghoffar, Op.Cit., hlm 55. 28

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 174. 29


(20)

tidak saja sebagai menteri tetapi juga menjadi anggota parlemen. Namun, tidak semua negara parlementer yang memiliki menteri yang juga anggota parlemen. Di negara-negara tertentu seperti Belanda, Norwegia dan Luxemburg memiliki larangan para menteri untuk menjadi anggota parlemen.30

6. Pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen, bukan kepada rakyat. Karena pemerintah secara keseluruhan tidak dipilih secara langsung oleh para pemilih, maka pertanggung jawaban kepada rakyat juga dilaksanakan secara tidak langsung yaitu melalui parlemen.31

7. Kepala Pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen. Dalam monarki pra-parlementer di Eropa, jika tidak puas dengan kinerja parlemen, maka raja dapat membubarkan salah satu atau kedua badan legislatif. Pada saat ini, kepala negara tetap dapat membubarkan parlemen tetapi harus berdasarkan permintaan kepala pemerintahan.32

8. Adanya prinsip supremasi parlemen yaitu kedudukan parlemen dianggap lebih tinggi dari bagian-bagian pemerintahan. Kedudukan pemerintah (kabinet) lebih rendah dari parlemen, sehingga pemerintah harus bergantung pada parlemen bila ingin tetap berkuasa.33

9. Kekuasaan Negara terpusat pada parlemen. Penyatuan kekuasaan eksekutif dan legislatif di parlemen menjadikan parlemen menjadi pusat kekuasaan

      

30

Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, PT RajaGrafindo, Jakarta, 1995,hlm 41.

31 Ibid. 32

Ibid 33


(21)

negara. Agar sistem pemerintahan parlementer bisa berjalan dengan baik, maka pemerintah sebaiknya tidak menentang penolakan atau kritik atas program pemerintah yang disampaikan parlemen.34

Kelebihan dari sistem pemerintahan parlementer adalah

1. Pembuatan kebijakan dapat dilakukan secara cepat karena penyesuaian pendapat yang mudah antara eksekutif dan legislatif. Hal ini dikarenakan kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.

2. Pertanggungjawaban dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik yang jelas yaitu kabinet.

3. Dengan adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet, maka kabinet menjadi berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.35 Sedangkan kekurangan sistem pemerintahan parlementer adalah

1. Kedudukan pemerintah atau eksekutif sangat bergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga aewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.

2. Kedudukan pemerintah atau eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan berakhir sesua dengan masa jabatnnya karena eksekutif dapat dibubarkan sewaktu-waktu.

3. Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal ini terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai

      

34 Ibid 35


(22)

mayoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.

4. Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan menjadi bekal untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.36

B. Sistem Pemerintahan Presidensial

Apabila sistem pemerintahan parlementer terkait dengan perkembangan sistem parlementer Inggris, maka sistem pemerintahan presidensial tidak dapat dipisahkan dari Amerika Serikat. Dalam berbagai literatur, Amerika Serikat bukan saja merupakan tanah kelahiran sistem pemerintahan presidensial, tetapi juga menjadi contoh ideal karena telah memenuhi hampir semua kriteria yang ada didalam sistem pemerintahan presidensial.37 Kelahiran sistem pemerintahan presidensial tidak dapat dilepaskan dari perjuangan Amerika Serikat dalam menentang dan melepaskan diri dari kolonial Inggris serta sejarah singkat pembentukan konstitusi Amerika Serikat.38

Kebencian rakyat terhadap pemerintahan raja George III merupakan alasan dianutnya sistem pemerintahan presidensial di Amerika Serikat. Rakyat tidak menghendaki bentuk negara monarki dan untuk mewujudkan kemerdekaannya dari pengaruh Inggris maka rakyat mengikuti jejak Montesqieu dengan mengadakan pemisahan kekuasaan, karena dengan adanya pemisahan kekuasaan

      

36 Ibid. 37

Saldi Isra, Op.Cit., hlm 31. 38


(23)

dalam ajaran trias politica maka tidak ada kemungkinan kekuasaan yang satu akan melebihi kekuasaan yang lainnya.39

Pembentukan sistem pemerintahan yang berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer yang dipraktikkan di Inggris yang dibentuk oleh pembentuk konstitusi di Amerika Serikat merupakan bentuk penolakan rakyat terhadap Inggris. Pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif merupakan salah satu konsep yang dimuat dalam konstitusi Amerika Serikat dan untuk pertama kalinya jabatan Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan juga muncul di Amerika Serikat pada abad ke-1840. Jabatan Presiden tersebut merupakan hasil Konvensi Federal pada tahun 1787. Walau memilih Presiden dan menolak raja, para perancang Konstitusi Amerika Serikat memutuskan bahwa sang presiden harus mempunyai kekuatan yang memadai untuk menyelesaikan rumitnya masalah bangsa. Oleh karena itu dirancanglah konstitusi yang memberikan kekuasaan besar kepada Presiden namun dengan menutup potensi hadirnya pemimpin sejenis raja yang tiran.41

Setelah proses kelahiran itu, sistem pemerintahan republik yang dipimpin oleh Presiden muncul diberbagai belahan dunia. Diantara semua kawasan didunia, negara-negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan merupakan kawasan yang paling luas menggunakan sistem pemerintahan presidensial. Salah satu alasannya adalah secara geografis negara-negara tersebut lebih dekat dengan Amerika Serikat. Di Eropa, presiden pertama kali muncul di Perancis. Meski bentuk negara republik berawal di tahun 1792, jabatan presiden baru muncul de era republik

      

39

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.Cit. hlm 177. 40

Saldi Isra, Op.Cit. hlm 32. 41


(24)

kedua (1848-1851), dengan Louis Napoleon sebagai presiden. Namun setahun kemudian diubah statusnya menjadi Kaisar Napoleon (1852) yang terus memerintah sampai Prancis dikalahkan oleh Jerman (1870). Jabatan Presiden kembali muncul dimasa Republik Ketiga (1875-1940). Di Jerman, jabatan presiden baru muncul setelah selesai perang dunia I (1818), yaitu dengan berlakunya konstitusi Weimar. Sempat menghilang di era diktator Hitler (1934-1945), jabatan presiden kembali muncul setelah perang dunia kedua. Di Asia, jabatan presiden dicangkokkan oleh Amerika Serikat saat memberikan kemerdekaan yang terbatas dalam bentuk The Commonwealth of The Phillipinnes kepada Filipina pada tahun 1935. Di Afrika, Presiden Liberia yang hadir pada tahun 1948 adalah presiden pertama yang diakui dunia Internasional.42

Secara umum sistem pemerintahan presidensial memiliki karakteristik yaitu:

1. Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif.43

2. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif tidak terbagi seperti yang ada pada sistem pemerintahan parlementer dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja.

3. Kepala pemerintahan adalah kepala negara. Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden memiliki peran ganda yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sebagai kepala negara, jabatan presiden dapat

      

42

Ibid, hlm 33. 43


(25)

dikatakan sebagai simbol negara dan sebagai kepala eksekutif, presiden merupakan pemegang kekuasaan tunggal dan tertinggi.44

4. Presiden dipilih langsung oleh rakyat, atau melalui mekanisme yang lain yang sah misalnya melalui badan pemilih di Amerika Serikat. Selain itu, Presiden yang dipilih untuk masa jabatan tertentu yang sesuai dengan konstitusi dalam suatu negara sehingga presiden tidak dapat dipaksa mengundurkan diri oleh badan legisalatif, kecuali melalui impeachment karena kepala negara melakukan tindak pidana yang diatur dalam konstitusi.45

5. Sistem kepartaian dalam sistem pemerintahan presidensial adalah sistem kepartaian sederhana atau sistem dua-partai. Karena sistem pemerintahan yang memiliki sistem kepartaian sederhana atau sistem dua partailah yang memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melahirkan sistem presidensial yang efektif.46 Memang ada beberapa negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial yang dipadukan dengan sistem multi partai, namun perpaduan antara sistem pemerintahan presidensial yang menganut sistem multi partai menyulitkan untuk melahirkan pemerintahan yang stabil dan efektif. Karena pemerintah harus mengakomodasikan kepentingan banyak partai politik koalisi untuk menjamin dukungan mayoritas di parlemen.47

      

44

Ibid., hlm 40. 45

Zakaria Bangun, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Penerbit Bina Media Perintis, 2007, hlm 162.

46

Denny Indrayana, Refleksi Lima Tahun Amandemen UUD 1945, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2008, hlm 11.

47


(26)

6. Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya. Hal ini dikarenakan karena dalam sistem pemerintahan presidensial ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara legislatif dan eksekutif, sehingga pembentukan pemerintah tidak tergantung terhadap pada proses politik di lembaga legislatif.48

7. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan dan begitu juga sebaliknya.

8. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen, dan parlemen juga tidak dapat menjatuhkan pemerintah (eksekutif). Kedua lembaga ini ini bersifat mandiri dan setara dalam menjalankan fungsi checks and

balances pemerintahan.49

9. Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam sistem presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu pemerintahan bertanggung jawab karena konstitusi.50

10.Eksekutif tidak bertanggung jawab kepada parlemen tetapi bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat.51

11.Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem pemerintahan parlementer yang terpusat pada parlemen. Sekalipun dalam sistem presidensial tidak satu lembaga negara pun yang menjadi fokus kekuasaan, tetapi peran dan karakter individu presiden lebih menonjol

      

48

Jimly Asshiddiqie dalam Saldi Isra, Loc.Cit, hlm 40. 49

Zakaria, Op.Cit., hlm 162. 50

Jimly Asshiddiqie dalam Saldi Isra, Op.Cit.,hlm 39. 51


(27)

dibandingkan dengan peran kelompok, organisasi, atau partai politik yang ada dalam negara.52

Dengan pola hubungan eksekutif dan legislatif yang terpisah, setidaknya ada empat keuntungan yang terdapat dalam sistem pemerintahan presidensial yaitu :

a. Presiden yang dipilih secara langsung menjadikan kekuasaannya menjadi legitimate karena mendapat mandat langsung dari rakyat. Sementara itu dalam sistem pemerintahan parlementer, Perdana Menteri diangkat melalui proses penunjukan.

b. Adanya pemisahan antara lembaga negara terutama antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Dengan adanya pemisahan itu, setiap lembaga negara dapat saling melakukan pengawasan terhadap lembaga negara lainnya untuk mencegah terjadinya penumpukan dan penyalahgunaan kekuasaan.

c. Dengan posisi sentral dalam jajaran eksekutif, Presiden dapat mengambil kebijakan strategis yang amat menetukan secara cepat.

d. Dengan masa jabatan yang tetap, posisi Presiden jauh lebih stabil dibandingkan dengan Perdana Menteri yang bisa diganti setiap waktu.53 Sedangkan kelemahan sistem pemerintahan presidensial adalah terdapat kemungkinan perbedaan pandangan antara eksekutif dan legislatif tentang apa yang ditetapkan sebagai tujuan negara atau dalam mengambil suatu kebijakan

      

52 Ibid. 53


(28)

politik.54 Hal ini dikarenakan partai politik Presiden yang memenangkan pemilihan umum tidak jarang menjadi kekuatan minoritas di parlemen.55

3. Partai Politik

Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.56

4. Koalisi

Koalisi adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, dimana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Dalam pemerintahan dengan sistem parlementer, sebuah pemerintahan koalisi adalah sebuah pemerintahan yang tersusun dari koalisi beberapa partai. Dalam hubungan internasional, sebuah koalisi bisa berarti sebuah gabungan beberapa negara yang dibentuk untuk tujuan tertentu. Koalisi bisa juga merujuk pada sekelompok orang/warga negara yang bergabung karena tujuan yang serupa. Koalisi dalam

      

54

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.Cit., hlm 179 55

Saldi Isra, Op.Cit, hlm 271.


(29)

ekonomi menunjuk pada sebuah gabungan dari perusahaan satu dengan lainnya yang menciptakan hubungan saling menguntungkan.57

5 .Pemerintahan Koalisi

Pemerintahan Koalisi adalah kabinet dalam pemerintahan parlementer, dimana beberapa partai bekerja sama. Alasan yang biasanya menyebabkan pembentukan koalisi ialah karena tidak adanya partai yang secara sendirian dapat mencapai suara mayoritas di parlemen. Selain itu, sebuah pemerintahan koalisi mungkin juga dibentuk dalam masa kesulitan atau krisis nasional, misalnya selama perang, untuk memberikan kepada pemerintah tingkat legitimasi politik yang tinggi yang dibutuhkannya; selain juga mengurangi pertikaian politik internal. Pada saat itu, partai-partai akan membentuk koalisi semua partai (kadang-kadang juga disebut “pemerintahan persatuan nasional”, atau “koalisi akbar”). Umumnya jika suatu koalisi runtuh, maka pengambilan suara untuk mosi kepercayaan atau mosi tidak percaya akan dilaksanakan.58

Koalisi pemerintahan terbagi atas tiga yaitu koalisi pas terbatas (minimal

winning coalition), koalisi kekecilan (undersized coalition ) dan koalisi kebesaran

(oversized coalition). Koalisi pas-terbatas adalah koalisi yang mendapatkan dukungan mayoritaas sederhana di parlemen. Jumlah partai yang berkoalisi dibatasi hanya untuk mencapai dukungan mayoritas sederhana. Koalisi kekecilan adalah koalisi yang mendapatkan dukungan mayoritas sederhana. Koalisi kekecilan adalah koalisi yang tidak mendapatkan dukungan sederhana di

      

57

http://id.wikipedia.org/wiki/Koalisi ,diakses pada 27 Juli 2011. 58


(30)

parlemen. Koalisi kebesaran adalah potret pemerintahan yang nyaris mengikutsertakan semua partai ke dalam kabinetnya.59

F.METODE PENULISAN

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif berupa studi pustaka (library research) yang dilakukan dengan penelusuran bahan-bahan hukum primer dan sekunder, dan tersier. Adapun bahan hukum primer yang diteliti adalah bahan hukum yang terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang pernah dan/atau masih diberlakukan di Indonesia. Bahan hukum sekundernya berupa buku-buku hukum ataupun buku lain yang terkait dengan tulisan ini, dan bahan hukum tersiernya adalah kamus dan artikel.

G.SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan. Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II : Dalam bab ini akan dibahas mengenai sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 yaitu pada masa berlaku UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949), masa berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949-17 Agustus 1950), masa berlaku UUDS

      

59

Denny Indrayana, Mendesain Presiden Yang Efektif, PT Kompas Media Nusantara , Jakarta, 2008, hlm 221.


(31)

1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959), masa berlaku kembalinya UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Bab III : Dalam bab ini akan dibahas mengenai sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia setelah amandemen UUD 1945, serta mengenai penerapan sistem pemerintahan Presidensial di Indonesia setelah amandemen UUD 1945.

Bab IV : Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran mengenai pembahasan yang dikemukakan


(32)

BAB II

SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SEBELUM AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

A. Masa Berlaku Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)

Agar dapat mengetahui sistem pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 harus dimulai dengan mempelajari berbagai persiapan menjelang kemerdekaan Republik Indonesia yang dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Sistem pemerintahan merupakan salah satu pokok pembahasan yang diperdebatkan pada sidang yang dilakukan pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945. Dalam sidang tanggal 31 Mei 1945 terdapat banyak gagasan yang diajukan, dan pidato Soepomo termasuk mendapat paling banyak perhatian karena gagasan yang disampaikan dalam pidato tersebut berkaitan dengan gagasan negara integralistik. Dalam pidatonya Soepomo mengkehendaki adanya suatu jaminan bagi pimpinan negara terutama Kepala Negara terus menerus bersatu dengan rakyat dan untuk menguatkan pendapat itu Soepomo menghendaki susunan pemerintahan Indonesia harus dibentuk sistem badan permusyawaratan.60

Pada rapat 1 Juni 1945, dengan alasan kapitalisme yang merajalela Soekarno secara implisit menolak lembaga legislatif seperti Amerika Serikat. Walaupun Soekarno mengkritik demokrasi model lembaga legislatif di Amerika

      

60


(33)

Serikat, namun bukan berarti Soekarno setuju dengan praktik sistem pemerintahan parlementer.61

Dalam Rapat Besar saat menyampaikan susunan kekuasaan pemerintahan pada tanggal 15 Juli 1945, Muh.Yamin mengusulkan agar kementrian baik secara keseluruhan maupun perorangan bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan. Walaupun cenderung menolak sistem pemerintahan parlementer, anggota BPUPK tidak menemukan pembahasan yang secara eksplisit untuk menerima sistem pemerintahan presidensial. Pandangan yang ditemukan dalam rapat tersebut ialah bahwa bangsa Indonesia merdeka memerlukan pembentukan pemerintah yang kuat. Atau dengan kata lain stabilitas merupakan syarat mutlak untuk membangun sebuah negara baru. Bahkan ketika menyampaikan kesempatan tentang rancangan bentuk pemerintahan dalam rancangan undang-undang dasar pada 15 Juli 1945, Soepomo menjelaskan bahwa sistem pemerintahan yang ditegaskan dalam rancangan undang-undang dasar adalah sistem pemerintahan yang memberikan dominasi kekuasaan negara kepada pemerintah, terutama kepada Kepala Negara, pertanggungjawaban dan pemusatan kekuasaan berada di tangan Kepala Negara.62

Maka pada tanggal 18 Agustus 1945, sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan Republik Indonesia disahkan oleh PPKI. Ada empat alasan pokok yang dijadikan referensi oleh para pendiri bangsa dan pembentuk monstitusi memilih sistem pemerintahan presidensial, yaitu :

1) Indonesia memerlukan kepemimpinan yang kuat, stabil, dan efektif untuk menjamin keberlangsungan eksistensi negara Indonesia yang baru

      

61

Ibid., hlm 50. 62


(34)

diproklamasikan. Para pendiri bangsa meyakini bahwa model kepemimpinan negara yang kuat dan efektif hanya dapat diciptakan dengan memilih sistem pemerintahan presidensial dimana presiden tidak hanya berfungsi sebagai kepala negara tetapi, sekaligus sebagai kepala pemerintahan.

2) Karena alasan teoritis yaitu alasan yang terkait dengan cita negara (staatsidee) terutama cita negara integralistik pada saat pembahasan UUD 1945 dalam sidang BPUPK. Sistem pemerintahan presidensial diyakini amat kompatibel dengan paham negara integralistik.

3) Pada awal kemerdekaan presiden diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan kewenangan-kewenangan DPR, MPR, dan DPA. Pilihan pada sistem presidensial dianggap tepat dalam melaksanakan kewenangan yang luar biasa itu. Tambah lagi, dengan sistem presidensial, presiden dapat bertindak lebih cepat dalam mengatasi masalah-masalah kenegaraan pada masa teransisi.

4) Merupakan simbol perlawananan atas segala bentuk penjajahan karena sistem parlementer dianggap sebagai produk penjajahan oleh para pendiri bangsa.

Sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan Republik Indonesia yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Ir.Soekarno dan Drs.Moh.Hatta dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama dan berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV, sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan


(35)

Pertimbangan Agung dibentuk maka segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional dengan tujuan agar mencegah terkonsentrasinya kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden serta membantu Presiden dan Wakil Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pemerintah. Kabinet presidensial dilantik pada tanggal 2 September 1945 oleh Presiden Soekarno. 63

Berdasarkan UUD 1945 Pasal IV Aturan Peralihan, 50 orang KNIP kemudian mengeluarkan memorandum yang berisi : pertama, mendesak Presiden agar menggunakan kekuasaan istimewanya untuk segera membentuk MPR dan

kedua, sebelum MPR terbentuk hendaknya anggota KNIP dianggap sebagai MPR.

Atas desakan tersebut, pada tanggal 16 Oktober 1945, Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945 yang berbunyi :

Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuatan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih diantara mereka yang bertanggungjawab kepada Komite Nasional Pusat. Materi maklumat tersebut dimaksudkan untuk menindaklanjuti UUD 1945 Pasal IV Aturan Peralihan yang memberi kekuasaan sangat besar kepada Presiden untuk melaksanakan tugas dan wewenang tiga lembaga negara (MPR, DPR, DPA) sebelum ketiga lembaga negara tersebut terbentuk menurut UUD. Besarnya kekuasaan Presiden dikarenakan kedudukan KNIP hanya sebagai pembantu yang berarti bekerja hanya atas perintah Presiden. Dengan dikeluarkannya maklumat

      

63

Bibit Suprapto, Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan Di Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.


(36)

tersebut, KNIP diserahi kekuasaan legislatif, menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), serta tugas-tugas yang berhubungan dengan Keadaan negara yang genting. Maklumat ini juga berisi pembentukan satu Badan Pekerja dari Komite Nasional Pusat .64

Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden ini dapat dikatakan bahwa telah terjadi perubahan UUD 1945 khususnya Pasal IV Aturan Peralihan yaitu kekuasaan Presiden atas MPR, DPR, dan DPA. Dengan dikeluarkannya Maklumat ini kekuasaan legislatif yang semula dipegang oleh Presiden dipegang oleh KNIP. Yang menjadi dasar hukum dikeluarkannya Maklumat ini adalah Pasal 37 UUD 1945 jo Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Pasal 37 menyatakan perubahan UUD dilakukan oleh MPR tetapi karena MPR pada saat itu belum terbentuk maka berdasar Pasal IV Aturan Peralihan, kekuasaan MPR dipegang oleh Presiden bersama dengan Komite Nasional Pusat. Dengan demikian syarat-syarat tersebut telah dipenuhi dalam mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden, meskipun yang mengumumkan wakil presiden namun beliau bertindak mewakil lembaga kepresidenan.65 Apalagi Presiden Soekarno tidak pernah mempersoalkan dikeluarkannya Maklumat tersebut.66

Kekuasaan Presiden mulai mengalami perubahan untuk kedua kalinya dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 Tentang Susunan dan Pembentukan Kabinet II yang menegaskan bahwa tanggung

      

64

Firdaus, Op.Cit., hlm 97. 65

Eddy Sarwanto,. Dasar Hukum dan Kedudukan Maklumat Wakil Presiden No.X/1945 dan Maklumat Pemerintah 14 Nopember Tahun 1945, Universitas Diponegoro, 1985, hlm 7 dikutip dari http://eprints.undip.ac.id/23433/ diakses 11 September 2011.

66 

Mahfud MD, Makalah : Kontroversi Perubahan UUD 1945,


(37)

jawab ada di tangan menteri. Dengan dikeluarkannya maklumat ini, terjadi perubahan sistem kabinet dalam UUD 1945 dari kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer. Isi Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 antara lain menyatakan :

Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang hebat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya menegakkan diri, merasa bahwa saat sekarang sudah tepat untuk menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu ialah pertanggungjawaban adalah ditangan Menteri.67 Maklumat ini kemudian dikuatkan oleh KNIP dalam sidang ke III tanggal 25-27 Nopember dengan membenarkan kebijakan Presiden tentang kedudukan Perdana Menteri dan anggota kabinet bertanggungjawab kepada KNIP sebagai langkah yang tidak dilarang UUD dan diperlukan dalam situasi sekarang.68 Dengan adanya perubahan tersebut lingkup kekuasaan Presiden juga mengalami perubahan karena kepala pemerintahan berada ditangan Perdana Menteri bersama anggota kabinet lainnya. Menurut Ismail Suny, maklumat tersebut menggeser kekuasaan eksekutif dari Presiden kepada Perdana Menteri. Posisi kepala negara dipegang oleh Presiden, sedangkan kepala eksekutif dipegang oleh Perdana Menteri bersama seluruh anggota kabinet, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertanggungjawab kepada KNIP atas seluruh penyelenggaraan pemerintahan.69

Untuk menindaklanjuti Maklumat 14 Nopember 1945 ini, maka dibentuk kabinet parlementer I dan menunjuk Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri.

      

67

Firdaus, Op.Cit., hlm 98. 68

Ibid. 69


(38)

Namun kabinet ini berhenti pada 12 Maret 1946 dikarenakan adanya oposisi yang kuat dan dari lawan politiknya yaitu Persatuan Perjuangan, suatu koalisi partai-partai dan golongan-golongan di luar Badan Pekerja atau Komite Nasional Pusat. Setelah itu Kabinet Parlementer II dibentuk dengan Perdana Menteri yang sama, yaitu Sutan Syahrir (periode 12 Maret 1946 sampai 2 Oktober 1946). Kekuasaan pemerintahan pada masa ini diambil alih oleh Presiden Soekarno ketika terjadi penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir oleh kelompok Persatuan Perjuangan.70 Kabinet terus dipimpin oleh Presiden Soekarno sampai pada tanggal 2 Oktober 1946 dan setelah Sutan Syahrir dibebaskan, Presiden Soekarno menunjuknya sebagai formatur kabinet.71

Pada tanggal 2 Oktober 1946 Kabinet Parlementer III dibentuk. Sutan Syahrir terpilih kembali menjadi perdana menteri tetapi karena Sutan Syahrir tidak mampu menghadapi Amir Syarifuddin dari Partai Sosialis Kiri, akhirnya Sutan Syahrir mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno pada tanggal 3 Juli 1947. Akhirnya kekuasaan diambil alih oleh presiden sampai terbentuknya Kabinet Parlementer yang dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin. Namun kabinet ini tak lama kemudian kebinet ini di reshuffle dan kabinet Parlementer ini dikenal dengan Kabinet Parlementer dengan Perdsana Menteri Amir Syarifuddin periode II. Pada masa ini keluar Maklumat Presiden No. 2 Tahun 1948 pada tanggal 23 Januari yang isinya membubarkan kabinet Amir II. Pembubaran ini dikarenakan kegagalan Amir dalam perundingan Renville dan pada tanggal itu juga presiden menunjuk Moh.Hatta (Wakil Presiden) sebagai

      

70

Bibit Suprapto, Op.Cit., hlm 48. 71


(39)

formatur kabinet. Pada tanggal 29 Januari 1948 akhirnya terbentuklah kabinet baru yaitu kabinet Hatta (Hatta I) yang merupakan Kabinet Presidensial.72 Namun, menurut Bibit Soeprapto kabinet Hatta bukan merupakan kabinet parlementer yang murni seperti Kabinet Syahrir dan Kabinet Amir Syarifudin karena yang menjadi perdana menteri adalah Moh.Hatta (wakil Presiden), tetapi juga bukan sebagai kabinet presidensial yang murni seperti kabinet presidensial karena pertanggungjawaban para menteri kepada Badan Pekerja (parlemen) dan bukan kepada Presiden.73

Pada tanggal 19 Desember 1948 sampai tanggal 13 Juli 1949, kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh Kabinet darurat dengan Ketua/Perdana Menteri Mr.Syarifuddin Prawiranegara. Kekuasaan diserahkan kembali setelah presiden dan wakil presiden kembali ke Yogyakarta.74

B. Masa Berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)

1. Penetapan Konstitusi Republik Indonesia Serikat

Perjalanan negara baru Republik Indonesia selama kurang lebih tiga tahun, ternyata tidak menghentikan upaya Belanda melanjutkan kolonialismenya di Indonesia. Belanda yang ketika itu ingin menjajah kembali Indonesia beralasan bahwa dulunya Indonesia adalah bagian sah dari Kerajaan Belanda namun diambil alih oleh Jepang karena Belanda yang bergabung dengan sekutu-sekutunya kalah perang terhadap Jepang pada tahun 1941. Dengan kalahnya kembali Jepang dalam

      

72

Bibit Soeprapto, Op.Cit., hlm 79. 73

Ibid. 74


(40)

perang Pasifik tahun 1945 maka Belanda mengklaim bahwa Indonesia secara hukum internasional kembali menjadi bagian dari Kerajaan Belanda.75

Dengan mendompleng kepada tentara Sekutu yang bertugas melucuti senjata Jepang, Belanda berusaha menduduki secara sepihak beberapa kota-kota besar di Indonesia. Namun langkah Belanda tersebut mendapat perlawanan dari seluruh tanah air. Untuk menghadapi itu, Belanda membuat taktik lain yaitu dengan mendorong Indonesia menjadi negara serikat.76 Dengan adanya negara serikat, Belanda berharap negara Indonesia akan kehilangan kekuatannya dalam menghadapi Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia karena kekuatan Indonesia sudah terpecah-pecah dalam negara bagian.77

Dalam rangka mempersiapkan Negara Republik Indonesia Serikat, Belanda berhasil mendirikan beberapa negara bagian dalam kurun waktu sekitar dua tahun. Negara-negara bentukan Belanda tersebut yaitu Negara Indonesia Timur (1946), Negara Sumatera Timur (1947), Negara Pasundan (1948), Negara Jawa Timur(1948), Negara Madura (1948) dan sebagainya. Sementara itu sejumlah daerah seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara, Bangka, Belitung, Riau, dan Jawa Tengah berada dalam masa persiapan yang telah dipersiapkan untuk menjadi negara bagian. Sejalan dengan usaha mempersiapkan negara bagian, Belanda juga terus berupaya menghancurkan Negara Republik Indonesia dengan perang fisik yang sering

      

75

Mahfud MD, Makalah : Kontroversi Perubahan UUD 1945,

http://www.mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_3.pdf, diakses pada 12 september 2011. 76

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.Cit., hlm 92. 77


(41)

dikenal dengan Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada tahun 1948. Khusus dalam Agresi II, Belanda berhasil menawan pemimpin Indonesia di Yogyakarta.78

Tindakan Belanda yang menduduki kembali Indonesia serta menahan para pemimpin Indonesia, akhirnya menarik perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk campur tangan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dengan mendorong suatu konferensi yang kemudian konferensi ini dikenal dengan Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi ini diadakan dari tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 Nopember 1949. Pertemuan ini dihadiri oleh Wakil-wakil dari Republik Indonesia, Belanda, delegasi Negara-negara BFO (Bijeenkomst voor

Federal Overleg) yaitu gabungan negara-negara bagian yang sudah dibentuk oleh

Belanda, dan sebuah komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.79 Konferensi yang berlangsung di S’Gravenhage tersebut menghasilkan kesepakatan yaitu80 :

1. Pembentukan Negara Indonesia Serikat,

2. Piagam Penyerahan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat 3. Didirikan Uni antara Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.

Persetujuan pemulihan kedaulatan terdiri dari tiga persetujuan induk yaitu81:

1. Piagam Penyerahan Kedaulatan 2. Status Uni

3. Persetujuan Perpindahan.

      

78 Ibid. 79

Ibid. 80

Firdaus, Op.Cit., hlm 102. 81


(42)

Pemulihan Kedaulatan ditentukan akan dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 1949. Rencana Undang-undang Dasar untuk Negara Republik Indonesia Serikat dibuat oleh delegasi Republik Indonesia Serikat dan delegasi BFO pada Konferensi Meja Bundar. Rencana Undang-Undang ini dipersiapkan untuk menindaklanjuti hasil keputusan KMB dan rencana pemulihan kedaulatan yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 1949. Penandatanganan Piagam Persetujuan tentang rancangan Konstitusi dilakukan oleh delegasi Negara Republik Indonesia dan delegasi BFO pada tanggal 29 Oktober 1949 di Bandar Scheniven yang untuk kemudian dimintakan persetujuan kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Pemerintah serta Badan-Badan Perwakilan BFO dari daerah-daerah yang kemudian akan menjadi negara bagian atau daerah yang berdiri sendiri yang akan ditetapkan dan disahkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat.82

Rancangan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) kemudian disetujui, ditetapkan dan disahkan oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia dan Komite Nasional Pusat (KNIP) serta Pemerintah dan Badan Perwakilan Rakyat negara-negara BFO dalam Piagam Penandatangan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) pada tangggal 14 Desember 1949, dan mulai berlaku pada hari tanggal pengakuan kedaulatan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat. Pengakuan Pemerintah Kerajaan Belanda terhadap kedaulatan Negara Republik Indonesia Serikat diberikan pada

      

82 Ibid.


(43)

tanggal 27 Desember 1947, bersamaan dengan berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949.83

Dengan berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat, maka berdasarkan Pasal 2 huruf a Konstitusi RIS, Republik Indonesia hanyalah merupakan salah satu negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat, dan wilayahnya negara Republik Indonesia adalah daerah yang disebut dalam Perjanjian Renville. Dalam Perjanjian Renville, Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.84 Undang-undang Dasar 1945 yang semula berlaku untuk seluruh Indonesia maka mulai tanggal 27 Desember 1949 hanya berlaku dalam wilayah Negara Bagian Republik Indonesia dengan ibukota Yogyakarta.

Berdasarkan hasil KMB, pada tanggal 17 Desember 1949 Soekarno terpilih menjadi presiden dan Hatta menjadi wakil presiden Negara RIS. Dua hari setelah pemilihan itu, kabinet Hatta II melakukan reshuffle dan pada 20 Desember dibentuk Kabinet Negara RIS dengan perdana menteri Hatta yang dikenal dengan kabinet Hatta III. Berbarengan dengan terbentuknya Kabinet peralihan dengan Susanto Tirtoprojo sebagai perdana menteri. Kabinet peralihan negara bagian RI berakhir pada 21 Januari 1950, yaitu dengan terbentuknya kabinet baru dengan perdana menteri Abdul Halim dan presidennya Assat. Kabinet defintif negara bagian RI ini kemudian dikenal dengan Kabinet Halim.

2. Sistem Pemerintahan Berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949

      

83

Ibid, hlm 107. 84


(44)

Dengan berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 karakter sistem pemerintahan dapat ditelusuri dari sejumlah aturan berikut yaitu : 1. Pasal 1 Ayat (2): kekuasaan kedaulatan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. 2. Pasal 68 Ayat (1): Presiden dan Menteri-menteri merupakan Pemerintah. Ayat (2) : menentukan bahwa, yang dimaksud dengan pemerintah menurut Konstitusi Republik Indonesia Serikat ialah Presiden seorang atau beberapa atau beberapa menteri, yakni menurut tanggung jawab khusus atau tanggung jawab umum mereka itu.

3. Pasal 69 Ayat (1) : Presiden ialah kepala negara, dan Ayat (2) : Beliau dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian.

4. Pasal 72 Ayat (1) : jika perlu karena presiden berhalangan, maka beliau memerintahkan perdana menteri menjalankan pekerjaan jabatannya sehari-hari. 5. Pasal 117 ayat (1) menentukan bahwa tugas penyelenggaraan pemerintah federal dijalankan oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat. Ayat (2) : Pemerintah menyelenggarakan kesejahteraan Indonesia dan teristimewa menyusun, supaya konstitusi, undang-undang Federal dan peraturan-peraturan lain yang berlaku untuk Republik Indonesia Serikat dijalankan.

6. Pasal 118 Ayat (1) : presiden tidak dapat diganggugugat. Ayat (2) : Menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik secara bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri.

7. Pasal 127 a : kekuasaan perundang-undangan federal dilakukan oleh pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat.


(45)

Berdasarkan ketentuan tersebut, Konstitusi RIS 1949 menganut sistem pemerintahan parlementer (sistem pertanggungjawaban menteri). Karakter sistem parlementer dalam Konstitusi RIS yaitu

1. Adanya pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Kepala negara adalah presiden sementara kepala pemerintahan adalah perdana menteri. Kedudukan presiden lebih bersifat seremonial dan simbol kenegaraan saja.

2. Sebagai kepala negara, kekuasaan presiden tidak dapat diganggu gugat. Presiden tidak dapat diminta pertanggungjawabannya atas tugas-tugas pemerintahan. Karena kedudukan presiden adalah sebagai kepala negara bukan sebagai kepala pemerintahan.

3. Menteri-menteri bertanggung jawab baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Jika kebijakan menteri atau menteri-menteri tidak diterima Dewan Perwakilan Rakyat maka menteri harus mengundurkan diri.

C. Masa Berlaku Undang-undang Dasar Sementara 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)

1. Penetapan Undang-undang Dasar Sementara 1950

Negara Republik Indonesia Serikat yang berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 hanya bertahan sekitar delapan bulan saja. Keberadaan negara serikat mulai ditolak di hampir seluruh negara bagian karena sesungguhnya bangsa Indonesia mengkehendaki sifat kesatuan. Keinginan untuk kembali kepada negara kesatuan terlihat dari negara-negara bagian yang satu demi satu menggabungkan diri kepada Negara Bagian Republik Indonesia dan sampai awal bulan Mei 1950 hanya tinggal tiga negara bagian saja, yaitu Negara Republik Indonesia (RI),


(46)

Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur.85 Melihat kondisi seperti ini, akhirnya Pemerintah Republik Indonesia Serikat (yang sekaligus bertindak atas mandat penuh atas nama Pemerintah Negara Indonesia Timur) dan Pemerintah Republik Indonesia mengadakan musyawarah untuk mencari jalan keluar atas situasi yang dihadapi oleh negara. Permusyawaratan yaang dilaksanakan pada tanggal 19 Mei 1950 ini akhirnya menghasilkan kesepakatan tentang pembentukan kembali negara kesatuan dalam waktu sesingkat-singkatnya untuk bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan sebagai penjelmaan daripada Negara Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945 dengan membentuk Undang-undang Dasar Sementara.86

Dalam Piagam Persetujuan 19 Mei 1950 tersebut ditegaskan bahwa secara substansi Undang-undang Dasar Sementara berasal dari perubahan sedemikian rupa Konstitusi RIS. Substansi yang disepakati antara lain, yaitu Senat dihapus dan DPR Sementara terdiri dari gabungan Dewan Perwakilan Rakyat RIS dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BP-KNP) serta ditambah anggota lain yang ditunjuk oleh presiden, Presiden ialah Presiden Soekarno, dan dewan menteri harus bersifat kabinet parlementer.87 Untuk melaksanakan persetujuan 19 Mei 1950 tersebut dibentuklah sebuah panitia bersama antara Pemerintah RIS dan Pemerintah RI yang masing-masing diketuai Soepomo (RIS) dan Abdul Halim (RI). Menyusun Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara yang akan digunakan untuk mengganti Konstitusi RIS 1949 dalam bentuk negara kesatuan merupakan tugas pokok panitia bersama ini.

      

85

Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.Cit., hlm 94. 86

Firdaus, Op.Cit., hlm 108. 87


(47)

Setelah panitia bersama merampungkan pekerjaan, maka pada tanggal 20 Juli 1950 rancangan tersebut disetujui dalam pernyataan bersama Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara dan kemudian selekas-lekasnya disampaikan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat dan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada Badan Pekerja Komite Nasional Pusat untuk disahkan sehingga sebelum tanggal 17 Agustus 1950 Negara Kesatuan sudah dapat dibentuk.88

Pada sidang Badan Pekerja Komite Nasional Pusat tanggal 12 Agustus 1950 dan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950 Rancangan Undang-Undang Dasar tersebut diterima, kemudian melalui Undang-Undang Federal No. 7 tahun 1950 (LNRIS Tahun 1950 Nomor 56), ditetapkanlah perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara.89 Dalam konsideran “mengingat” dicantumkan bahwa yang menjadi dasar perubahan Undang-Undang Dasar Sementara ini dengan memberlakukan pasal 190, pasal 127 a, dan pasal 191 Konstitusi Republik Indonesia Serikat.90 Kemudian Pasal I UU No.7/1950 menyatakan Konstitusi RIS diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Karena ketentuan Pasal I, UUD Sementara 1950 adalah perubahan dan bukan mengganti Konstitusi RIS 1949. Perubahan (dan bukan mengganti) itu sesuai dengan kesepakatan 19 Mei 1950, yaitu untuk mengubah sedemikian rupa konstitusi RIS.

      

88

Firdaus., Loc.Cit. 89


(48)

Pengesahannya dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia Serikat Soekarno, Perdana Menteri Moh.Hatta dan Menteri Kehakiman Soepomo pada tanggal 15 Agustus 1950. Pada hari yang sama diundangkan pula dalam lembaran negara yang berarti sejak saat itu telah diundangkan pula dalam lembaran negara yang berarti sejak saat itu telah berubah Konstitusi Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dalam susunan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.

2. Sistem Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950

Dengan berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) karakter sistem pemerintahan berdasarkan UUDS 1950 dapat ditelusuri dari sejumlah aturan berikut yaitu,

1. Pasal 1 Ayat (1) : Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan. Ayat (2) : Kedaulatan Republik Indonesia adalah ditangan rakyat dan dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

2. Pasal 45 Ayat (1) : Presiden ialah kepala negara. Ayat (2) : Dalam melaksanakan kewajibannya Presiden dibantu oleh Seorang Wakil Presiden.

3. Pasal 50 : Presiden membentuk kementerian-kementerian. Pasal 50 Ayat (1) : Presiden menunjuk seorang atau beberapa orang pembentuk kabinet. Ayat (2) : Sesuai dengan anjuran pembentuk kabinet itu, presiden mengangkat seorang perdana menteri dan mengangkat menteri-menteri yang lain.


(49)

4. Pasal 69 Ayat (1) : Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interplasi dan hak menanya. Ayat (2) : Menteri-menteri memberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, baik dengan lisan maupun dengan tertulis, segala penerangan yang dikehendaki menurut ayat yang lalu dan yang pemberiannya dianggap tidak berlawanan dengan kepentingan umum. Pasal 70 : Dewan Perwakila Rakyat mempunyai hak menyelidiki (enquete), menurut aturan yang ditetapkan undang-undang.

5. Pasal 83 Ayat (1) : Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat. Ayat (2) : Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik secara bersama-sama seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.

6. Pasal 84 : Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Keputusan Presiden yang menyatakan pembubaran itu, memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan untuk mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat baru dalam 30 hari.

7. Pasal 87 : Presiden memberikan tanda-tanda kehormatan yang diadakan dengan undang-undang. Pasal 107 Ayat (1) : Presiden memilki hak memberi grasi dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan atas nasehat Mahkamah Agung. Ayat (3) : Presiden memilki hak untuk memberi amnesti dan abolisi atas nasehat Mahkamah Agung. Presiden mengadakan dan mengesahkan perjanjian (traktat) dan persetujuan lain dengan negara lain. Pasal 122 : Presiden berusaha memecahkan perselisihan-perselisishan dengan negara lain dengan jalan damai dan dalam hal itu memutuskan pula tentang meminta ataupun tentang menerima


(50)

pengadilan atau perwasitan antar negara. Pasal 123 : Presiden mengangkat wakil-wakil Republik Indonesia dan menerima wakil-wakil negara lain pada Republik Indonesia. Pasal 127 Ayat (1) : Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Perang Republik Indonesia. Pasal 128 ayat (1) : Presiden tidak menyatakan perang, melainkan jika hal itu diizinkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 129 Ayat (1) : Presiden dapat menyatakan daerah Republik Indonesia atau bagian-bagian daripadanya dalam keadaan bahaya, bilamana hal itu perlu untuk kepentingan keamanan dalam negeri dan keamanan terhadap luar negeri.

8. Pasal 189 : Kecuali apa yang ditentukan dalam pasal 14091 maka kekuasaan perundang-undangan sesuai dengan ketentuan bagian ini, dilakukan bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.Pemerintah berbersama-sama-bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 90 Ayat (1) : Usul Pemerintah tentang undang-undang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan amanat Presiden. Ayat (2): Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan usul undang-undang kepada Pemerintah.

      

91

Konstitusi UUDS 1950 Pasal 140 :

1. Segala usul untuk mengubah Undang-Undang Dasar ini menunjuk dengan tegas perubahan yang diusulkan. Dengan undang-undang dinyatakan bahwa untuk mengadakan perubahan sebagaimana diusulkan itu, ada dasarnya.

2. Usul perubahan Undang-undang Dasar, yang telah dinyatakan dengan undang-undang itu oleh pemerintah dengan amanat Presiden disampaikan kepada suatu Badan bernama Majelis Perubahan Undang-undang Dasar, yang terdiri dari Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara dan Anggota-anggota Komite Nasional Pusat yang tidak menjadi Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Ketuadan Wakil-Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sementara menjadi Ketua dan Wakil Ketua Majelis Perubahan Undang-undang Dasar.

3. Yang ditetapkan dalam pasal 66, 72, 74, 75, 91, 92, dan 94 berlaku demikian juga bagi Majelis Perubahan Undag-undang dasar.

4. Pemerintah harus dengan segera ,mengesahkan rancangan perubahan Undang-undang Dasar yang telah diterima oleh Majelis Perubahan Undang-undang Dasar.


(51)

Berdasarkan ketentuan tersebut, UUD Sementara 1950 menganut sistem pemerintahan parlementer dengan karakter yang dapat dilihat dari sejumlah ketentuan berikut :

1. Presiden ialah kepala negara (Pasal 45) dan yang menyelenggarakan pemerintahan adalah menteri-menteri yang dipimpin oleh perdana menteri. Sebagai kepala negara, kekuasaan presiden tidak dapat diganggu gugat (pasal 45 Ayat (1)) dan presiden berhak membubarkan DPR (Pasal 84). Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara berdasarkan UUD Sementara 1950 antara lain :

1. Membentuk kementerian-kementerian (Pasal 50) dengan menunjuk seorang atau beberapa pembentuk kabinet dan sesuai dengan anjuran pembentuk kabinet itu Presiden mengangkat Perdana Menteri dan mengangkat menteri-menteri yang lain (Pasal 51).

2. Memberikan tanda-tanda kehormatan berdasarkan undang-undang (Pasal 87).

3. Memberi grasi dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan pengadilan atas nasehat Mahkamah Agung

4. Memberi amnesti dan abolisi atas nasehat Mahkamah Agung (Pasal 107 Ayat (1)).

5. Mengadakan dan mengesahkan perjanjian ataupun traktat dan persetujuan lain dengan negara lain (Pasal 120).

6. Berusaha memecahkan perselisihan-perselisihan dengan negara-negara lain dengan jalan damai dan dalam hal itu memutuskan pula tentang


(52)

meminta ataupun menerima pengadilan atau perwasitan antar negara (Pasal 122).

7. Mengangkat Wakil-wakil Republik Indonesia pada negara-negara lain dan menerima wakil negara lain pada Republik Indonesia (Pasal 123).

8. Memegang Kekuasaan tertinggi atas Angkatan Perang Republik Indonesia (Pasal 127)

9. Menyatakan perang jika diizinkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 128).

10.Menyatakan daerah Indonesia dalam keadaan bahaya berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan dalam undang-undang (Pasal 129 Ayat (1)).

2. Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama maupun seluruhnya. Menteri-menteri ini bertugas untuk memberitahukan segala urusan yang penting kepada Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 83 Ayat (2)). Berdasarkan atas ketentuaan tersebut diatas jelas bahwa kabinet (menteri-menteri) dapat dijatuhkan oleh parlemen yaitu apabila parlemen menganggap cukup alasan atau beberapa kebijaksanaan pemerintah tidak dapat diterima atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi sebagai imbangannya dari pertanggungjawaban menteri maka jika terjadi perbedaan pendapat itu Dewan Menteri menganggap DPR sudah tidak representatif lagi, maka Dewan Menteri dapat mengajukan permohonan agar DPR dibubarkan.92 Keputusan pembubaran

      

92

Mahfud MD., Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PT Rineka Cipta., Jakarta 2001, hlm 98.


(53)

tersebut diikuti pula untuk mengadakan pemilihan anggota DPR dalam tempo 30 hari (Pasal 84 UUDS 1950).93

D. Masa Berlaku Kembali UUD 1945 Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 1. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Penetapan Kembali UUD 1945

Kembalinya negara Indonesia dari bentuk federal menjadi negara kesatuan tentunya membutuhkan adanya Undang-Undang Dasar untuk negara kesatuan tersebut. Keputusan yang diambil pada saat itu bahwa Undang-undang Dasar untuk negara kesatuan Republik Indonesia akan dibuat secepatnya oleh sebuah Konstituante setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat. Dalam penantian lahirnya Undang-undang Dasar Permanan yang sedang dibuat Konstituante tersebut ditetapkanlah berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950.94

Konstituante sebagai pembentuk Undang-undang Dasar tersebut berdasarkan ketetentuan dalam UUD Sementara 1950, pada Bab V, Pasal 134-139. Pasal 134 UUD Sementara 1950 berbunyi : Konstituante (sidang pembuat Undang-undang Dasar) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan undang Dasar Sementara ini. Dari ketentuan tersebut maka Undang-undang Sementara berlaku hanya sementara waktu, dan Konstituante memilki tugas untuk membuat Undang-undang Dasar yang berlaku permanen.95

Pemilihan untuk memilih anggota Konstituante dilakukan pada bulan Desember 1955 dan pada tanggal 10 Nopember 1956 adalah hari pelantikan dan

      

93

Firdaus, Op.Cit., hlm 114. 94

Mahfud MD., Loc.Cit. 95


(54)

sidang pertama Konstituante. Namun setelah bekerja sekitar dua tahun, Konstituante tidak berhasil merumuskan Undang-undang Dasar baru, walaupun telah dicapai kesepakatan mengenai banyak hal, antara lain wilayah, sistem pemerintahan, dan hak-hak azasi, tetapi mengenai untuk dasar negara sangat sulit untuk mencapai kesepakatan. Hal ini dipengaruhi oleh situasi politik dan banyaknya partai yang memiliki garis politik berbeda. Tercatat setelah pemilihan umum dilaksanakan pada tahun 1955 terdapat 35 fraksi dalam badan Konstituante.96

Perbedaan garis politik terjadi dalam Konstituante terbagi menjadi dua fraksi yaitu golongan nasionalis Islam dan golongan nasional sekuler. Golongan nasionalis Islam menghendaki negara berdasar Islam karena umat Islam merupakan masyarakat mayoritas, sedangkan golongan nasionalis sekuler menghendaki negara kebangsaan dengan dasar Pancasila karena negara ini terdiri dari banyak elemen atau ikatan pramordial yang berbeda-beda. Pertentangan pandangan mengenai dasar negara terjadi dalam sidang Konstituante sehingga sulit untuk dipertemukan. Untuk mencari solusi dari pertentangan tersebut, akhinya dalam sidang Konstituante pada 22 April 1959, Presiden Soekarno menyampaikan amanat kepada Konstituante yang memuat anjuran Kepala Negara dan pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Amanat Presiden tersebut diperdebatkan dalam satu pemandangan umum dalam Konstituante yang bersidang pada 21 April sampai 13 Mei 1959 serta tanggal 16

      

96


(55)

Mei sampai 26 Mei 1959. Tetapi setelah terjadi tanya jawab antara pemerintah dengan Konstituante tentang amanat tersebut ternyata tidak membuahkan hasil.

Akhirnya karena Konstituante gagal dalam merumuskan Undang-Undang Dasar, maka dengan pertimbangan demi keselamatan negara dan bangsa, Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 melalui Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959 menetapkan97 :

1. Pembubaran Konstituante

2. Berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlaku lagi Undang-Undang Dasar Sementara.

3. Pembentukan Majelis Permusyawartan Rakyat Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara dalam waktu yang sesingkat-simgkatnya. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka saat itu pula kembali berlaku Undang-Undang Dasar 1945 termasuk Aturan Peralihan. Konstituante dibubarkan sehingga untuk mengisi kekosongan tugas-tugas legislatif, segera dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dengan Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1959 yang didasarkan pada Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.

      

97


(56)

Perubahan yang mendasar dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli adalah Perubahan sistem pemerintahan dari sistem parlementer ke sistem presidensial.98

2. Sistem Pemerintahan Menurut UUD 1945 Sebelum Amandemen UUD 1945

Untuk mengetahui sistem pemerintahan sebelum perubahan UUD 1945 dapat diketahui dengan menelusuri pasal-pasal dan penjelasan UUD 1945 dalam bagian umum tentang pokok-pokok sistem pemerintahan. Karakter sistem pemerintahan dapat dilihat dari :

1. Pasal 1 Ayat (2) : Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. MPR ini menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. MPR bertugas mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). MPR memegang kekuasaan tertinggi, sedangkan Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR. Presiden yanng diangkat oleh MPR, bertunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Presiden ialah mandataris MPR, ia wajib menjalankan putusan-putusan MPR.

Pasal ini menentukan bahwa kedaulatan adalah ditangan Rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ini berarti bahwa menurut hukum, kekuasaan yang tertinggi adalah di tangan Rakyat. Kekuasaan tertinggi yang ada di tangan rakyat ini sebenarnya hanya merupakan asasnya saja, sebab kekuasaan tersebut sepenuhnya yang melakukan adalah Majelis

      

98 Ibid.


(1)

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Sistem pemerintahan di Negara Republik Indonesia sebelum amandemen UUD 1945

a) Masa Berlaku UUD 1945 ( 18 Agustus 1945-27 Desember 1949)

Sistem pemerintahan di Indonesia pada masa masa berlaku UUD 1945 adalah sistem pemerintahan presidensial. Namun sistem pemerintahan presidensial mulai mengalami perubahan menjadi sistem pemerintahan parlementer dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945.

b) Masa Berlaku Konstitusi RIS ( 27 Desember 1949-17 Agustus 1950)

Sistem pemerintahan di Indonesia berdasarkan Konstitusi RIS 1949 adalah sistem pemerintahan parlementer.

c) Masa Berlaku UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959)

Sistem pemerintahan di Indonesia berdasarkan UUDS 1950 adalah sistem pemerintahan parlementer.

d) Masa Berlaku UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Sistem pemerintahan di Indonesia menurut UUD 1945 adalah sistem pemerintahan campuran/quasi karena mengandung sistem pemerintahan presidensial dan mengandung sistem pemerintahan parlementer.


(2)

2. Sistem pemerintahan presidensial di Negara Republik Indonesia setelah amandemen UUD 1945 di Indonesia.

a) Sistem pemerintahan presidensial di Negara Republik Indonesia setelah amandemen UUD 1945 memiliki karakter antara lain :

1) Dianutnya sistem supremasi konstitusi. 2) Presiden memegang kekuasaan eksekutif.

3) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang.

4) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat melalui badan perwakilan.

5) Sistem kepartaian yang dianut adalah sistem kepartaian

6) Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

7) Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR bila terbukti melakukan pelanggaran hukum atau pelanggaran tercela maupun bila terbukti tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

8) Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR. 9) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

b) Penerapan Sistem Pemerintahan Presidensial di Negara Republik Indonesia Setelah Amanden UUD 1945


(3)

Ayat (1), Pasal 7, Pasal 7A, Pasal 7C dan Pasal 20. Namun penerapan sistem pemerintahan presidensial secara murni di Indonesia setelah amandemen UUD 1945 masih mengalami kendala karena mengalami hambatan dalam UUD 1945 itu sendiri karena sistem pemerintahan menurut UUD 1945 masih menganut sistem multi partai (Pasal 6A Ayat (2)) seperti biasa yang dianut dalam sistem parlementer.

B. Saran

Perlunya penyederhanaan partai dalam sistem pemerintahan presidensial di Indonesia melalui mekanisme electoral threshold (ET). Electoral threshold merupakan ambang batas persyaratan minimal yang harus diperoleh partai politik untuk mengikuti pemilu periode berikutnya. Namun, electoral threshold ternyata tidak efektif untuk menyederhanakan partai politik karena para pemimpin partai yang tidak lolos electoral threshold bisa mendirikan partai baru untuk ikut pemilu berikutnya. Oleh karena itu dimasa yang akan datang, penerapan ambang batas harus lebih tegas diterapkan oleh KPU dan disamping itu perlu diberikan sanksi berupa larangan menjadi peserta pemilu bagi orang atau pengurus partai yang partainya tidak lolos electoral threshold. Namun, agar sanksi yang dikenakan tidak bertentangan dengan hak asasi untuk berserikat dan berkumpul seperti yang dinyatakan Pasal 28 UUD 1945 maka sanksi itu hanya diberlakukan untuk satu kali pemilu saja sehingga keinginan untuk mendirikan partai untuk kepentingan sesaat akan berkurang dan tujuan untuk menyederhanakan partai akan mungkin diwujudkan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Bangun,Zakaria.2007. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Penerbit Bina Media Perintis.

Sarwanto, Eddy. 1985. Dasar Hukum dan Kedudukan Maklumat Wakil Presiden No.X/1945 dan Maklumat Pemerintah 14 Nopember Tahun 1945., Universitas Diponegoro,

Firdaus.2007. Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi, Penerbit Yrama Widya, Bandung.

Ghoffar,Abdul.2009. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Kencana Prenada, Jakarta.

Indrayana,Denny.2008. Refleksi Lima Tahun Amandemen UUD 1945, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Indrayana, Denny. 2008. Mendesain Presiden Yang Efektif, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Isra,Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, 1983. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta.

Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia. Penguatan Sistem Pemerintahan Presidensial Dalam Ketatanegaraan Indonesia di Era Penerapan Sistem Multi Partai Guna mematapkan Sinergisitas Antara Lembaga Eksekutif dan Legislatif Untuk PercepatanProses Pembangunan Nasional.

Lijphart, Arend. 1995. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, PT RajaGrafindo, Jakarta.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 2007. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal MPR RI.


(5)

MD, Mahfud. Makalah : Kontroversi Perubahan UUD 1945.,diakses dari http://www.mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_3.pdf.

Nazriyah, Riri. 2007. MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di Masa Depan, FH UII Press,Yogyakarta.

Suprapto, Bibit. 1985. Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan Di Indonesia Penerbit Bina Ghalia, Jakarta.

Tim Penyusunan Naskah Komperehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945. 2008. Naskah Komperehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku I Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Yuda AR, Hanta. 2010. Presidensialisme Setengah Hati, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Amandemen Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949

Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950

UU RI Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik LN RI Nomor 8 Tahun 2011.

C.Sumber Internet :

http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2024097-pengertian-sistem. http://id.wikipedia.org/wiki/Koalisi.

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_koalisi, http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Renville

http://jimly.com/makalah/namafile/22/Dinamika_Partai_Politik http://karuniayeni.blogspot.com/

http://www.mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_3.pdf.


(6)

http://ngotakngatik.blogspot.com/2010/01/macam-sistem-pemerintahan beserta.html

http://rizkian.wordpress.com/2010/10/17/system-presidensial-dan-multipartai-dampaknya-terhadap-kestabilan-dan-efektifitas-pemerintahan-indonesia http://uzey.blogspot.com

http://www.itb.ac.id/news/trackback/2381 http://www.surabayapagi.com