Belenggu-Belenggu Patriaki Yang Dihadapi Oleh Tokoh Utama Dalam Novel The Bell Jar Karya Sylvia Plath

(1)

FACED BY MAIN CHARACTER

IN SYLVIA PLATH’S THE BELL JAR

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana Pada Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra

Universitas Komputer Indonesia

RIKA AGUSTIN NIM. 63705805

JURUSAN SASTRA INGGRIS FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG


(2)

iv

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi oleh tokoh utama di dalam novel The Bell Jar karya Sylvia Plath. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan mengenai belenggu patriarki yang muncul serta upaya apa saja yang dilakukan oleh tokoh utama dalam menghadapi belenggu-belenggu patriarki tersebut.

Metode deskriptif analisis dan pendekatan feminisme radikal digunakan dalam penelitian ini. Metode deskriptif analisis tersebut digunakan untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, serta menginterpretasikan data yang kemudian dianalisis berdasarkan teori feminisme radikal. Teori tersebut akan digunakan untuk mengidentifikasi belenggu-belenggu patriarki yang muncul di dalam novel.

Belenggu patriarki yang ditemukan dalam novel tersebut terjadi dalam dua aspek, yaitu secara biologis dan sosiologis. Secara biologis, belenggu yang dihadapi lebih terarah kepada tubuh perempuan beserta atributnya, khususnya karena sistem reproduksi yang dimiliki oleh perempuan. Sementara Secara sosiologis, belenggu yang terjadi lebih menekankan kepada konstruksi sosial mengenai pencitraan atau strerotipe terhadap perempuan, yang menyebabkan ketimpangan gender dalam hal pembagian pekerjaan dan pendidikan.


(3)

v ABSTRACT

This thesis analyzes the patriarchal oppression faced by the main character in Sylvia Plath’s The Bell Jar. This research aims to describe and explain the patriarchal oppresssion faced by main character and the efforts taken by the main character.

The descriptive analysis method and radical feminism approach are used in this research. Descriptive analysis method is used to collect, classify and interpret the data, then the data are analyzed by the radical feminism theory. The radical feminism theory is used to identify the patriarchal oppression in the novel.

The patriarchal oppression that emerge in the novel occurs in two aspects; biological and sociological. In biological, woman’s oppression is more directed to women’s body and its attributes, particulary because the reproduction system. Whereas, in sociological, woman’s oppression occurances is caused by the social construction with stereotype towards woman and it causes gender inequality to occur in work and education division.


(4)

vi

karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini, penulis juga berterimakasih kepada pihak-pihak yang terkait secara langsung dalam penulisan skripsi yang berjudul “Belenggu-Belenggu Patriarki Yang Dihadapi Oleh Perempuan Dalam Novel The Bell Jar Karya Sylvia Plath” ini :

1. Prof. Dr. H. Moh. Tadjuddin, MA, Dekan Fakultas Sastra UNIKOM. 2. Retno Purwani Sari,S.S.,M.Hum, Ketua Jurusan Sastra Inggis UNIKOM. 3. Asih Prihandini, M.Hum, Wakil Ketua Jurusan Sastra Inggis dan Koordinator

Skripsi.

4. Nungki Heriyati, S.S.,MA, Pembimbing Pertama. 5. Nenden Rikma Dewi, S.S, Pembimbing Kedua. 6. Dr. Juanda, Dosen Wali.

7. Tatan Tawami, S.S., Dosen Sastra Inggris. 8. M. Rayhan Bustam, S.S., Dosen Sastra Inggris. 9. Staf jurusan dan seluruh Dosen UNIKOM.


(5)

vii


(6)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan kesempatan tersebut terjadi baik di dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat, yang dikarenakan oleh pencitraan terhadap perempuan dan laki-laki. Perempuan sering kali dikenal sebagai makluk yang lemah lembut, cantik, emosional, pasif dan keibuan, sementara laki-laki dianggap sebagai makhluk yang kuat, agresif, dan perkasa. Sering kali pencitraan tersebut dapat menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan.

Diskriminasi terhadap perempuan telah terjadi sejak berabad-abad lamanya. Hal ini dapat dilihat pada zaman dahulu, sekitar abad 18 ketika perempuan tidak bisa mendapatkan pendidikan tinggi dan hanya laki-laki yang dapat memperoleh pendidikan tinggi. Diskriminasi lain juga dapat dilihat pada budaya Inggris, dimana perempuan yang telah menikah sering kali tidak dapat menyembunyikan identitas mereka sendiri karena harus menyandang sebutan “Mrs”, tetapi aturan tersebut tidak berlaku bagi kaum laki-laki karena mereka tidak memiliki perbedaan panggilan bagi mereka


(7)

yang belum atau telah menikah. Hal tersebut merupakan salah satu diskriminasi untuk sebagian perempuan, dimana para perempuan yang sudah menikah tidak dapat menyembunyikan status pernikahan mereka, tetapi laki-laki dapat menyembunyikan status pernikahan mereka.

Melihat adanya ketimpangan sosial dan diskriminasi terhadap perempuan, seperti contoh tersebut diatas, lahirlah sebuah gerakan perempuan yang disebut feminisme. Kata feminisme berasal dari bahasa Latin 'Femina' yang berarti 'wanita'. Feminisme merupakan filsafat sosial yang peduli terhadap hak-hak dan masalah-masalah perempuan. Feminisme juga merupakan teori sosial atau gerakan politik yang terbentuk dan termotivasi dari pengalaman-pengalaman yang dialami kaum perempuan serta terbentuk atas kesadaran kaum perempuan bahwa mereka tertindas dan tereksploitasi. Gerakan ini mengkritisi ketidaksetaraan gender dan menuntut hak-hak perempuan, terutama terhadap penindasan patriarkal dan seksisme.

Munculnya gerakan ini pun membuat banyak penulis perempuan mulai menulis, baik tentang representasi dari kehidupan sosial maupun tentang perempuan. Banyak dari mereka juga menulis tentang perempuan dan diskriminasi gender yang mereka hadapi, baik secara terang-terangan mereka gambarkan maupun secara bias, yang dapat dianalisis menggunakan pendekatan feminisme. Seperti yang terdapat dalam novel Sylvia Plath The Bell Jar.


(8)

Novel tersebut merupakan sebuah novel semi autobiografi dari Sylvia Plath. Novel ini menceritakan tentang seorang perempuan muda yang cerdas dan memiliki talenta dalam menulis. Novel ini menggambarkan bagaimana perempuan tersebut menghadapi belenggu-belenggu patriarki di dalam kehidupannya, dimana ia sangat memiliki ambisi untuk menjadi seorang penulis yang sukses dan menjadi perempuan yang mandiri di dalam lingkungan yang lebih didominasi oleh laki-laki. Sehingga novel tersebut dapat dianalisis menggunakan pendekatan feminisme, khususnya feminisme radikal.

Seperti yang diasumsikan oleh feminisme radikal, bahwa penindasan terhadap perempuan adalah hasil dari sistem seks dan gender. Maka, sangat tepat apabila novel tersebut dianalisis menggunakan pendekatan feminisme radikal. Di mana pendekatan feminisme tersebut dapat digunakan untuk mengungkapkan belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi oleh tokoh utama dan mengungkapkan upaya apa saja yang dilakukan tokoh utama dalam melawan belenggu-belenggu patriarki tersebut.


(9)

1.2 Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, terdapat dua rumusan masalah agar pokok pembahasan dalam penelitian ini lebih spesifik, diantaranya :

1. Belenggu-belenggu patriarki apa yang dihadapi oleh Esther Greenwood sebagai tokoh utama dalam novel The Bell Jar ?

2. Upaya apa saja yang dilakukan Esther Greenwood dalam melawan belenggu-belenggu patriarki tersebut?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Penelitian ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :

1. Mengungkapkan belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi oleh Esther Greenwood.

2. Mengungkapkan upaya apa saja yang dilakukan Esther Greenwood dalam melawan belenggu-belenggu patriarki tersebut.

1.4 Kegunaan Penelitian

Pada dasarnya, penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan bidang sastra di Fakultas Sastra UNIKOM. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan


(10)

baru dan beberapa informasi serta kontribusi yang berguna dibidang sastra, khususnya mengenai feminisme radikal.

Secara pribadi, penelitian ini diharapkan dapat membuat penulis mengetahui lebih dalam mengenai feminisme dan perempuan dalam kehidupan ini. Selain itu, diharapkan dapat membuat penulis menjadi lebih peduli terhadap kaum perempuan dan ketidaksetaraan gender yang dihadapi oleh perempuan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Objek pada penelitian ini adalah belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi oleh tokoh utama dalam novel yang berjudul The Bell Jar karya Sylvia Plath. Oleh karena fokus utamanya adalah tokoh utama, maka penulis menggunakan metode karakterisasi, seperti showing (metode tidak langsung) yaitu metode katakterisasi berdasarkan dialog langsung dan tingkah laku para tokoh. Telling (metode langsung) yaitu metode karakterisasi berdasarkan tuturan langsung dari pengarang.

Dalam menganalisis belenggu-belenggu patriarki tersebut, penulis membagi belenggu-belenggu tersebut ke dalam dua aspek; sosiologis dan biologis. Kemudian, belenggu-belenggu tersebut dianalisis menggunakan teori dari feminisme radikal. Feminisme radikal adalah feminisme gelombang kedua yang bertujuan memahami ketidaksetaraan gender dan fokus pada hubungan kekuasaan politik gender dan seksualitas. Feminisme ini


(11)

berpendapat bahwa penindasan perempuan adalah akibat dari sistem patriarki dan berasumsi bahwa sumber penindasan tersebut berdasarkan pada sistem seks dan gender. Seks mengacu pada organ biologis, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Gender adalah konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan karena mereka memiliki karakteristik yang berbeda. Perempuan berdasarkan sistem gender dibentuk sebagai orang yang pasif, tidak rasional, lembut, dan lemah. Sementara laki-laki sebagai orang yang aktif, rasional, dan kuat. Berdasarkan strereotipe tersebut, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang berbeda sehingga menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan.

Dalam menganalisis belenggu-belenggu patriarki yang terjadi pada tokoh utama, teori Kate Millet digunakan. Millet menyatakan bahwa akar opresi terhadap perempuan sudah terkubur dalam sistem seks dan gender dalam budaya patriarki. Millet juga berpendapat bahwa kendali laki-laki di dunia publik dan pribadi menimbulkan diskriminasi. Ideologi patriarkal membesar-besarkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan serta memastikan bahwa laki-laki selalu berperan maskulin atau dominan, sedangkan perempuan selalu berperan subordinat atau feminin.

Kate Millet juga mengatakan bahwa secara sosiologi, sistem patriarki yang membelenggu perempuan dapat terlihat pada institusi keluarga dan kehidupan sosial. Dimana terdapat perbedaan peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya saja, peran dan kesempatan perempuan di dalam pemerintahan sebagai warganegara. Walaupun dalam budaya patriarki


(12)

Karya sastra kaum perempuan dia sedikit kesempatan publik, karena tugas domestik (rumah tang Adapun keran berikut :

Sylvia Plath

"The Bell Jar" Tok

B -Sosiologis

-Biologis

diakui sebagai warganegara, tetapi mereka untuk terlibat aktif dalam pemerinta as utama perempuan adalah menangani pe ngga).

rangka pemikiran dalam proses analisis ini

F K Tokoh utama Belenggu-belenggu Patriarki

a hanya memiliki tahan dan dunia pekerjaan di ranah

ni adalah sebagai

Feminisme Radikal Kate Millet

“Sexual Politics”


(13)

8

Sesuai dengan tema dari penelitian ini yaitu belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi oleh tokoh utama dalam novel The Bell Jar, yang juga merupakan studi mengenai feminisme radikal. Maka, dalam bab ini akan dibahas mengenai novel, karakter dan karakterisasi, feminisme, feminisme radikal serta sistem patriarki.

2.1 Novel

Novel merupakan salah satu jenis karya sastra yang biasanya berbentuk cerita atau narasi. Novel muncul di Spanyol pada abad ke- 17, kemudian mulai berkembang di Inggris pada abad ke- 18. Kata novel sendiri berasal dari bahasa Italia “Novella” yang berarti sebuah kisah atau sepotong berita. Kata novella tersebut juga sering kali digunakan untuk menyebut sebuah prosa pendek, karena novella biasanya hanya terdiri kurang dari 200 halaman. Berbeda dengan novel, yang terdiri dari 200 halaman lebih.

Terdapat berbagai jenis novel, diantaranya picaresque novel yang menceritakan pengalaman-pengalaman kehidupan sosial masyarakat. Historical novel, yaitu novel yang menceritakan kehidupan-kehidupan dimasa lalu atau


(14)

sejarah. Satrical novel, yaitu novel yang berisi kritikan-kritikan terhadap bidang sosial politik. Serta detective novel, yaitu novel yang menceritakan kejahatan-kejahatan dan menceritakan bagaimana kejahatan-kejahatan tersebut terungkap.

Novel juga merupakan karya sastra yang sering digunakan untuk menggambarkan dan mengespresikan kehidupan sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Michel Zerrafa dalam Elizabeth mengatakan bahwa novel tidak terlepas dari fenomena-fenomena sosial dan juga terikat pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan sosial. Ini terlihat dalam kutipan Michel Zerrafa berikut ini “ The form of and content of the novel derive more closely from social phenomena; novel often seem bound up with particular moments in the history of society”. (1973 : 35).

Di dalam novel juga terdapat beberapa unsur-unsur pembangun karya sastra, antara lain adalah karakter dan karakterisasi. Karakter dan karakterisasi akan dibahas lebih lanjut, karena objek dalam penelitian ini adalah karakter dalam sebuah novel.

2.1.1 Karakter

Menurut Echols dan Shadily dalam Metode Karakterisasi Telaah Fiksi karya Albertine Minderop, karakter merupakan salah satu dari unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra. Unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam karya sastra itu


(15)

sendiri. Karakter berarti watak, peran (Minderop, 2005 : 2). Horby dalam Minderop pun mengatakan bahwa karakter bisa berarti orang, masyarakat, ras, sikap mental dan moral, kualitas nalar, orang terkenal, tokoh dalam karya sastra, reputasi dan tanda atau huruf (Minderop, 2005 : 2).

Sudjiman dalam buku Pengantar Teori Sastra karya Wahyudi Siswanto, membedakan karakter yang ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, yang terdiri atas tokoh primer (utama), tokoh sekunder (tokoh bawahan) dan tokoh komplementer (tambahan). Tokoh primer atau tokoh utama, adalah tokoh yang paling banyak mengalami peristiwa di dalam cerita. Tokoh bawahan dan tokoh komplementer adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh utama. (Siswanto, 2008 : 143)

Meskipun terdapat berbagai jenis karakter di dalam sebuah karya sastra, tetapi hanya ada satu karakter atau tokoh yang sering menjadi sorotan, yaitu tokoh utama. Tokoh ini selalu menjadi wacana utama bagi penikmat karya sastra atau pembaca. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dipilih tokoh utama sebagai objek penelitian, yang juga merupakan tokoh sentral di dalam cerita dan mengalami berbagai peristiwa di dalam novel tersebut.

2.1.2 Karakterisasi

Karakterisasi berarti pemeranan atau pelukisan watak. Metode karakterisasi dalam telaah karya sastra adalah metode melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi (Minderop, 2005 : 2). Salah satu


(16)

metode karakterisasi berdasarkan Pickering dan Hoeper dalam Minderop adalah metode langsung (telling) dan metode tidak langsung (showing). Metode telling mengandalkan pemaparan watak tokoh pada eksposisi dan komentar langsung dari pengarang. Metode showing memperlihatkan pengarang menempatkan diri di luar kisahan dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk menampilkan perwatakan mereka melalui dialog dan action (Minderop, 2005 : 6).

Metode Telling mencakup karakterisasi melalui penggunaan nama tokoh, karakaterisasi melalui penampilan tokoh, dan melalui tuturan pengarang. Metode showing mencakup dialog dan tingkah laku, karakterisasi melalui dialog, apa yang dikatakan penutur, jatidiri penutur, lokasi dan situasi percakapan, jatidiri tokoh yang dituju oleh penutur, kualitas mental para tokoh, nada suara, penekanan, dialek, dan kosa kata para tokoh. Karakterisasi para tokoh mencangkup : ekspresi wajah dan motivasi yang melandasi tindakan tokoh (Minderop, 2005 : 4).

Kedua metode karakteristik tersebut digunakan dalam penelitian ini untuk mengungkapkan belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi tokoh utama. Tetapi metode showing lebih sering digunakan dalam penelitian ini karena dalam novel tersebut si pengarang hanya memberikan sedikit pemaparan atau penjelasan mengenai tokoh-tokoh di dalam novel tersebut. Tetapi sebaliknya, pemaparan dan penjelasan mengenai karakterisasi dapat terlihat langsung pada tokoh-tokoh yang ada di dalam novel.


(17)

2.2 Feminisme 2.2.1 Definisi

Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang pada awalnya ditujukan untuk menuntut kebebasan perempuan. Pada saat itu perempuan baik dari kalangan atas, menengah maupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak pilih dan pekerjaan. Secara umum, kaum perempuan saat itu merasa dirugikan dalam berbagai bidang dan menjadi makhluk kedua setelah laki-laki dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik, terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Feminisme juga muncul dari berbagai rasa sakit dan pengalaman-pengalaman perempuan akan ketimpangan yang berlangsung dalam tatanan masyarakat, baik yang berlangsung di ranah publik maupun pribadi.

Menurut Peter Barry, pergerakan ini dilihat dari segi-segi yang penting, bersifat sastrawi sejak awal. Artinya, mereka menyadari signifikansi citra perempuan yang disebarluaskan oleh sastra dan memandang bahwa penting sekali untuk melawan hal tersebut dan mempertanyakan otoritas dan koherensinya (Barry, 2010 : 143). Oleh karena itu, pergerakan ini dapat dikaitkan dengan karya sastra. Artinya, sebuah karya sastra dapat dilihat dari segi feminisme karena terkadang karya sastra menampilkan serangkaian representasi kehidupan dan pengalaman-pengalaman perempuan serta terkadang menggambarkan pencitraan buruk terhadap perempuan.


(18)

Diawali dengan munculnya feminisme gelombang pertama yaitu feminisme liberal, gerakan ini terus berkembang dan menimbulkan banyak gelombang feminisme dengan pendekatan yang berbeda-beda. Seperti feminisme radikal, feminisme Marxis, feminisme psikoanalisis, feminisme ekstensialis, feminisme posmodern, feminisme multikultural dan yang terakhir ekofeminisme. Meskipun berbeda pandangan, tetapi sebenarnya tujuan mereka sama yaitu menuntut kesetaraan gender terhadap perempuan serta pemikiran mengenai akar persoalan perempuan dan solusinya. Pada penelitian ini, feminisme radikal akan dibahas lebih lanjut karena ideologi ini digunakan untuk menganalisis belenggu-belenggu yang dihadapi oleh tokoh utama dalam novel The Bell Jar.

2.2.2 Feminisme Radikal

Feminisme radikal merupakan feminisme gelombang kedua yang dikembangkan oleh sekelompok gerakan perempuan di akhir 1960-an, terutama di New York dan Boston. Pada awalnya gerakan ini muncul karena melihat adanya eksploitasi terhadap tubuh perempuan, seperti praktek pornografi, pelecehan seksual, dan pemerkosaan. Kata ‘radical’ bisa berarti hampir sama dengan ekstrim, tetapi sesungguhnya berasal dari kata ‘radic’ atau ‘radix’ yang berarti akar. Sehingga, Feminisme radikal ini melihat opresi terhadap perempuan dari akarnya, yaitu sistem seks dan gender.

Menurut Braidotti dalam Pengantar Teori-teori feminis kontemporer karya Stevi Jackson, seks bersifat biologis dan gender bersifat sosio-kultural


(19)

(Jackson, 2009 : 227). Serta, Oakley dalam Jackson juga berpendapat bahwa gender bukanlah akibat langsung dari jenis kelamin biologis. Ia pun mendefinisikan seks sebagai sesuatu yang anatomis dan ciri psikologis yang menentukan kelaki-lakian (maleness) dan keperempuan (femaleness), dan gender merupakan suatu maskulinitas dan feminitas yang terbentuk bukan secara biologis, namun secara sosial, kultural, dan psikologis di dalam masyarakat dalam kurun waktu tertentu. (Jackson, 2009 : 228)

Feminisme ini berasumsi bahwa sistem seks dan gender melahirkan sistem patriarki, yang mengidentifikasikan perempuan dan laki-laki sebagai makhluk biologis dengan sifat feminin untuk perempuan dan maskulin untuk laki-laki. Pada kenyataannya, pembedaan seperti itu memberdayakan laki-laki tetapi justru melemahkan perempuan dan menimbulkan ketimpangan gender. Gayle Rubin mengatakan bahwa sistem seks dan gender adalah suatu rangkaian pengaturan yang digunakan oleh masyarakat untuk mentransformasikan seksualitas biologis menjadi produk kegiatan manusia. Pengaturan ini merupakan cara konvensional dalam mengelola relasi seksual yang sifatnya beragam secara kultural, terutama melalui struktur kekeluargaan dan pernikahan. Gender sendiri didefinisikan sebagai pemisah jenis kelamin yang dipaksakan secara sosial dan sebagai suatu hasil relasi seksualitas yang bersifat sosial (Rubin, 1975 : 179).

Seperti yang dikatakan oleh Sojourner Truth dalam buku Pengantar Teori Feminis Kontemporer yang merupakan mantan seorang budak kulit hitam dan pendukung hak-hak perempuan, berkata bahwa pada abad ke-19


(20)

terdapat konsepsi dominan mengenai perempuan sebagai makhluk yang rapuh, lembut, dan membutuhkan perlindungan dari laki-laki yang sopan dan jantan (2009 : 229). Hal tersebut terlihat jelas bahwa secara kultural perempuan identitaskan dengan perilaku “feminin” sementara laki-laki “maskulin”.

Salah satu tokoh feminis radikal adalah Kate Millet, dalam Joshepine, ia mengatakan bahwa “Patriarchal ideology is that of male supremacy which conditions woman to exhibit male-serving behavior and to accept male-serving roles”. Ini berarti bahwa patriarki adalah sebuah ideologi mengenai supremasi laki-laki yang membentuk perempuan untuk menerima segala bentuk kekuasaan laki-laki terhadap perempuan dan menerima segala bentuk peran-peran yang diatur oleh laki-laki. Millet berpendapat bahwa ideologi ini menembus disetiap aspek budaya dan menyentuh setiap kehidupan kita, bahkan dalam hal yang paling pribadi. Millet melihat keluarga adalah sumber utama dimana doktrin ideologi patriarki ditanamkan. Millet pun berpendapat bahwa seks adalah politis karena hubungan laki-laki dan perempuan merupakan paradigma dari semua hubungan kekuasaan.

Ia juga mengatakan “sex is political. Male and female relationship is the paradigm for all power relationship” (Millet,1970 : 91). Hubungan perempuan dan laki-laki adalah paradigma dari keseluruhan hubungan kekuasaan. Hal ini bisa terlihat di dalam keluarga, bagaimana ayah mempunyai peran yang sangat penting di dalam keluarga dan memiliki kendali yang utuh terhadap


(21)

seluruh anggota keluarga. Sementara perempuan hanya memiliki kendali yang kecil dan menjadikan perempuan sebagai makluk inferior, sementara laki-laki sebagai makhluk yang superior. De Beauvoir dalam bukunya “The Second Sex” menyatakan bahwa pada dasarnya perempuan tidak diciptakan sebagai makhluk inferior tetapi perempuan menjadi inferior karena struktur kekuasaan yang terdapat di dalam masyarakat berada di tangan dan kendali laki-laki. Beauvoir juga menyatakan bahwa laki-laki menggunakan seksualitas antara perempuan dan laki-laki sebagai alasan untuk memposisikan perempuan sebagai makhluk yang inferior (1989 : 9).

Tokoh feminis radikal lainnya adalah Shulamith Firestone, ia berpendapat bahwa fungsi reproduksi perempuan merupakan salah satu alasan pembagian peran berdasarkan gender, yang justru menghasilkan ketimpangan gender. Ia pun tidak menyetujui gagasan dimana perempuan harus hidup untuk laki-laki dan mengidentifikasi perempuan sebagai objek cinta atau objek seks laki-laki. Teori-teori feminisme radikal ini digunakan untuk menganalisis novel The Bell Jar yang bertujuan untuk mengungkapkan penindasan patriarkal yang muncul.

2.3 Sistem Patriarki

Patriarki berasal dari bahasa Latin “pater” yang berarti “ayah”. Kata ini sering merujuk pada kekuasaan politik dan otoritas laki-laki dalam masyarakat. Kata ini juga dapat merujuk pada kekuatan ayah dalam


(22)

keluarga. Secara harfiah, patriarki adalah aturan ayah atau otoritas laki-laki, dimana perempuan haruslah patuh terhadap laki-laki.

Patriarki sendiri memiliki beberapa prinsip yaitu dimana laki-laki harus lebih dominan dalam segala bidang dibanding perempuan yang menjadi subordinatnya. Laki-laki yang lebih tua harus lebih dominan dibandingkan dengan yang berusia muda.

Dalam teori feminisme, patriarki adalah sebuah struktur dimana laki-laki memiliki peran besar daripada perempuan dalam segala bidang, seperti keluarga, pekerjaan, dan sebagainya. Patriarki juga dapat didefinisikan sebagai kendali laki-laki terhadap perempuan. Dalam masyarakat patriarki, perempuan hanya memiliki sedikit kesempatan dan hak dalam berbagai bidang karena perempuan lebih rendah dari laki-laki. Hal ini yang membuat perempuan tertindas dan terdiskriminasi.

Patriarki pun telah menjadi sebuah ideologi di dalam masyarakat. Ideologi patriarki merupakan suatu ideologi yang menekankan kekuasaan bapak (kaum laki-laki). Ideologi ini pun merupakan sebuah sistem sosial yang mendukung dan membenarkan predominasi kaum laki-laki yang mengakibatkan kontrol dan subordinasi perempuan, serta menciptakan ketimpangan atau ketidakadilan gender. Hal ini merupakan dominasi atau kontrol laki-laki atas perempuan, tubuhnya, seksualitasnya dan pekerjaannya, baik dalam keluarga maupun masyarakat. (Yulianeta, 2002)

Ideologi patriarki menurut Millet, membesar-besarkan perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki dan memastikan bahwa laki-laki selalu


(23)

mempunyai peran yang maskulin dan dominan, sedangkan perempuan selalu mempunyai peran yang subordinat atau feminin. Ideologi ini begitu kuat sehingga laki-laki biasanya mampu mengopresi perempuan. Mereka melakukan hal tersebut melalui institusi seperti akademi, gereja, dan keluarga yang masing-masingnya membenarkan dan menegaskan subordinasi perempuan terhadap laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan perempuan untuk menginternalisasi rasa inferioritas diri terhadap laki-laki (Tong, 1998 : 74). De Beauvoir juga menyatakan bahwa secara umum masyarakat barat adalah patriarki. Masyarakat patriarki terdiri dari struktur kekuasaan yang didominasi oleh laki-laki di seluruh aspek masyarakat. Millet membagi patriarki dalam beberapa aspek, seperti sosiologis dan biologis.

2.3.1 Sosiologi

Dalam buku Sexual Politics, Millet mengatakan bahwa keluarga adalah sumber utama dari sistem patriarki, seperti yang ia katakan berikut ini :

“patriarchy’s chief institution is the family, as the fundamental instrument and the foundation unit of patriarchal society the family and its roles are prototypical, serving as an agent of the large society, the family not only encourages its own members to adjust and comform, but acts as a unit in the goverenment of the patriarchal stataes which rules its citizens through its family head”. (1970 : 33)

Ia juga berkata “even in patriarchal societies where they are granted legal citizhenship, women tend to be ruled through the family alone and have little or no formal relation to the state (1970 : 33). Ini berarti meskipun dalam


(24)

masyarakat yang menganut sistem patriarki perempuan diakui sebagai warganegara. Tetapi tetap saja mereka hanya memiliki sedikit kesempatan atau bahkan tidak memiliki kesempatan di dalam pemerintahan itu sendiri. Mereka memiliki tugas utama untuk memelihara dan menangani segala segala urusan rumah tangga atau domestic work.

Meskipun perempuan memiliki peran yang sangat besar dalam domestic work atau keluarga, tapi tetap saja hanya laki-laki sebagai ayah yang memiliki andil besar dalam keluarga. Laki-laki dalam keluarga lah yang berkuasa atas istri dan anak-anak, sehingga mereka pun dapat berbuat semau mereka terhadap istri dan anak-anak mereka yang terkadang disalahgunakan sehingga berakibat kekerasan dalam rumah tangga terjadi. Ini dapat terlihat pada kutipan Millet dalam bukunya Sexual Politics berikut ini “Traditionally, patriarchy granted the father nearly total ownership over wife or wives and children, including the powers of physical abuse and often even those of murder and sale” (1970 : 33).

Dalam keluarga tradisional yang berprinsip patriarki, ayah secara total memiliki kuasa terhadap istri dan anak-anak sehingga ia bisa berbuat sewenang-wenang terhadap mereka. Selain itu, perempuan pun harus mengikuti semua konstruksi-konstruksi sosial yang ada di dalam masyarakat yang di terapkan oleh sistem patriarki yang justru menjadikan perempuan sebagai makhluk inferior.


(25)

2.3.2 Biologis

Secara biologis, perempuan tersubordinat lebih karena pada kepemilikan fungsi reproduksi dan perbedaan fisik yang lebih mengacu pada perbedaan jenis kelamin yang merupakan ciri biologis yang melekat pada perempuan dan laki-laki serta tidak dapat diubah. Hal tersebut menghasilkan perbedaan-perbedaan peran dan kesempatan antara perempuan dan laki-laki. Misalnya saja, masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki (kromosom, anatomi, hormon) sebagai dasar untuk membangun serangkain identitas dan perilaku “maskulin” dan “feminin” yang berlaku untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan (Tong, 1998 : 48). Millet juga mengatakan :

“biological differencess between the sexes, so that where culture is acknowledged as shaping behaviour, it is said to do no more than coorporate with nature. Yet the tempramental distinction created in patriarchy (masculine and feminine personality traits), the havier musculature of male a secondary characteristic and common among mamals, is origin but is also culturally encouraged through breeding, diet and exercise (Millet, 1970 : 27).

Pada kutipan tersebut Milllet mengatakan bahwa perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki merupakan hal yang alami, namun kultur telah mengkonstruksi perbedaan tersebut. Sehingga konstruksi tersebut menimbulkan konsep bahwa laki-laki lah yang kuat sementara perempuan lemah, sering kali karena konsep tersebut menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan terjadi.


(26)

21

Bab ini memberikan gambaran mengenai objek penelitian, metode penelitian dan metode pengumpulan data yang digunakan serta metode analisis data.

3.1 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi oleh tokoh utama dalam novel yang berjudul The Bell Jar” karya Sylvia Plath. Novel tersebut pertama kali dipublikasikan di London, Inggris pada bulan Januari 1963 dengan nama samaran Victoria Lucas. Pada tahun 1966, The Bell Jar diterbitkan di Inggris dengan nama asli pengarangnya, Sylvia Plath. Pada awal tahun 1970-an. Novel tersebut mulai banyak diterbitkan di Amerika Serikat.

Novel ini merupakan novel pertama dari Sylvia Plath, karena sebelumnya ia dikenal sebagai seorang penulis puisi. Novel ini pun merupakan sebuah novel semi autobiografi dirinya. Novel ini menggambarkan bagaimana seorang perempuan terbelenggu oleh budaya patriarki di lingkungan ia tinggal, serta bagaimana ia melawan belenggu tersebut dengan tetap berusaha menjadi perempuan yang kuat dan sukses sebagai penulis. Dengan demikian, novel


(27)

tersebut akan dianalisis menggunakan pendekatan feminisme dengan melihat karakterisasi tokoh utama.

3.1.1 Sinopsis The Bell Jar

Novel The Bell Jar karya Sylvia Plath merupakan sumber dari penelitian ini. Novel tersebut menceritakan seorang perempuan muda, Esther Greenwood. Ia berasal dari sebuah keluarga kelas menengah yang tinggal di sebuah kota kecil di pinggiran kota Boston. Cerita berawal ketika Esther Greenwood, tokoh utama mendapatkan undangan sebagai tamu editor sebuah majalah fashion terkenal di New York karena memenangkan beasiswa. Di sana ia mengalami berbagai pengalaman. Ia berkenalan dengan salah satu pemenang di sana, yaitu Doreen yang merupakan seorang gadis homoseksual, seorang lesbian. Sebenarnya ia tidak suka dan tidak nyaman berada di sana karena kehidupan di sana berbeda dengan kehidupan ia di tempat tinggalnya, dimana kehidupan di sana lebih glamor.

Setelah Esther kembali ke rumahnya, ibunya meminta agar ia tidak lagi melanjutkan studinya dalam menulis. Ia diminta untuk belajar shorthand (stenographi), untuk menjadi seorang sekretaris dan menikah. Budaya di sana saat itu mengharuskan perempuan melakukan pekerjaan tersebut, namun ia menolaknya. Pada suatu ketika, kekasihnya yang bernama Buddy Williard meminta Esther untuk menikah dengannya, namun ia menolaknya setelah ia mengetahui betapa buruk sifat Buddy. Buddy tidak suka dengan cita-cita Esther


(28)

yang ingin menjadi seorang penulis terkenal, karena ia hanya ingin Estrher menikah dengannya dan mengurus rumah tangga. Buddy juga sering berselingkuh dengan wanita-wanita lain.

Suatu ketika, Esther melihat gambar mengenai fig tree, yang menggambarkan seorang wanita dengan berbagai aktivitas melelahkan dan membelenggu, mengurus rumah tangga, anak, suami, dan karir. Sejak saat itu, Esther mulai bimbang. Ia sangat berambisi menjadi penulis terkenal dan wanita yang sukses di dalam karir, sementara budaya pada saat itu memang mengharuskan perempuan untuk menikah dan mengurus pekerjaan domestik.

Di dalam novel ini juga diceritakan tentang motherhood (keibuan), yang tercermin pada beberapa tokoh, diantaranya, Dodo Conway adalah salah satu tetangga Esther, yang merupakan seorang istri yang hampir setiap tahun melahirkan anak karena tuntutan dari suaminya. Ia setiap hari hanya mengurus anak-anaknya yang begitu banyak dan rumah tangga, tetapi ia terlihat sangat nyaman dengan melakukan hal itu. Mrs. Willard, seorang ibu rumah tangga yang merupakan ibu dari Buddy Williard, kekasih Esther. Ia merupakan ibu ideal yang selalu menyiapkan segala keperluan anak-anak dan suaminya walaupun ia sibuk bekerja. Betsy, salah satu teman Esther sewaktu di New York, ia yang bercita-cita menjadi ibu rumah tangga suburban (desa), ia tak peduli walaupun ia sudah memenangkan kontes menulis di sebuah majalah fashion terkenal di New York. Esther melihat bahwa wanita-wanita tersebut ternyata merasa nyaman menuruti norma-norma tersebut yang ada. Seperti Mrs. Willard, Dodo Conway dan Betsy misalnya, dimana mereka


(29)

mengagungkan kehidupan dalam ranah domestik (rumah tangga), yang sering kali mengabaikan ketidakadilan yang terjadi di dalamnya.

Hal tersebut di atas menjadi tekanan bagi Esther. Ia bimbang, antara karir yang selama ini ia cita-citakan atau menjadi ibu rumah tangga. Ia merasa tak mampu menjalani semua itu, sementara orang-orang disekelilingnya mampu. Ia mulai depresi, ia tidak lagi dapat menulis. Pikirannya mulai terpecah antara tuntutan diri untuk menjadi penulis yang hebat, dan tuntutan social untuk mengurus pekerjaan rumah tangga, seperti yang ia lihat dalam analogi pohon (fig tree). Esther merasa tidak mampu melakukan semuanya.

Akibat depresi yang berat, Esther dilarikan ke psikiatris. Esther pun berkali-kali mencoba bunuh diri. Akibat depresinya, Esther tidak mampu lagi mengeluarkan bakatnya dalam menulis. Ia berpikir tidak lagi memiliki kesempatan untuk menjadi penulis terkenal dan menjadi seorang profesor. Namun, usaha bunuh dirinya berulang-ulang tidak berhasil. Di akhir cerita, Esther terpaksa dilarikan ke sebuah rumah sakit jiwa dan harus tinggal di sana.

3.1.2 Biografi Pengarang

Sylvia Plath lahir pada tanggal 27 Oktober 1932 di Massachusetts Memorial Hospital yang berada di Jamaica Plain, Massachusetts Amerika. Ibunya bernama Aurelia Schober Plath, yang merupakan keturunan Austria, dan ayahnya bernama Otto Emile Plath berasal dari Grabow, Jerman.


(30)

Ayahnya adalah seorang profesor biologi di Boston University, yang juga merupakan penulis buku Bumblebees and Their Ways. Ia memiliki seorang adik laki-laki. Plath dibesarkan di Winthrop, sebuah kota di tepi pantai dekat Boston.

Pada 5 November 1940 ketika ia berusia 8 tahun, ayahnya meninggal dunia karena terserang diabetes. Sejak saat itu Plath mulai menulis, ia pun mendapatkan penghargaan The Scholastic Art & Writing Awards pada tahun 1947. Kemudian, pada September 1950 Plath mendapatkan beasiwa di Smith College Northhampton, Massachusetts Amerika yang merupakan salah satu perguruan tinggi khusus wanita terbesar di dunia. Ia juga menjadi editor di The Smith Review. Disinilah awal karirnya dimulai, ia mulai mempublikasikan beberapa karyanya ke sebuah majalah Seventeen. Salah satunya adalah short story pertamanya “And Summer Not Come Again” yang diterbitkan pada Agustus 1950. Pada tahun dan bulan yang sama, ia juga mempublikasikan puisinya yang berjudul “Bitter Strawberries”.

Kemudian pada tahun 1952 ia terpilih sebagai tamu editor di Mademoiselle’s College Board Contest di New York. Setelah kembali dari New York, ia menderita depresi dan mengalami gangguan mental yang serius, penyebab depresinya tidak diketahui secara jelas. Sejak saat itu, ia mulai mencoba bunuh diri dengan banyak mengkonsumsi obat tidur. Ia terpaksa dilarikan ke sebuah rumah sakit dan diberi terapi listrik serta psikoterapi. Setelah menjalani berbagai terapi, Plath berangsur-angsur pulih.


(31)

Plath kembali ke Smith College pada semester kedua tahun 1954, ia berhasil menyelesaikan studinya pada tahun 1955 dengan predikat summa cum laude dan mendapatkan beasiswa di Newnham College, Cambridge University pada bulan Juni 1955. Di sana ia bertemu dengan seorang penyair inggris, Ted Hughes. Mereka menikah di St George the Martyr Holborn, London. Ted dan Plath memiliki dua orang anak. Selanjutnya pada tanggal 1 Agustus 1962, ia berhasil menyelesaikan novelnya yang berjudul “The Bell Jar”.

Plath bercerai dengan suaminya pada bulan Desember 1962, karena mengalami berbagai masalah. Saat itu, Plath pun banyak menulis puisi dan menghasilkan karya-karyanya. Pada 11 Februari 1963 diusia tiga puluh tahun, Plath mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Ia meletakkan kepalanya ke dalam oven gas. Ia dimakamkan di Heptonstall. Setelah ia meninggal, reputasi Plath mulai berkembang dan karya-karyanya mulai banyak diterbitkan serta diketahui banyak orang diberbagai negara. Pada tahun 1981, Plath's Collected Poems mulai diterbitkan, yang kemudian disusul dengan jurnal-jurnal Plath pada tahun berikutnya.

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Menurut Surakhmad, metodologi deskriptif analisis adalah metode untuk memecahkan masalah yang aktual, dengan mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisis serta menginterpretasikan data (1980 : 139). Dalam penelitian ini,


(32)

metode tersebut digunakan untuk mendeskripsikan data, kemudian dianalisis berdasarkan teori-teori yang diterapkan dalam penelitian ini.

3.2.1 Metode Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data pada penelitian ini, menggunakan studi kepustakaan atau library research. Menurut Semi (1993:8) “ library research yakni penelitian dilakukan di kamar kerja peneliti atau ruang perpustakaan dimana peneliti memperoleh data atau informasi tentang objek penelitiannya lewat buku-buku atau alat-alat visual lainnya”. Sesuai dengan pengertian tersebut diatas, maka penelitian ini dilakukan hanya dengan studi kepustakaan, tanpa melakukan survei atau observasi tertentu. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam proses ini adalah sebagai berikut :

1. Membaca novel yang merupakan sumber penelitian.

Novel yang dipilih adalah novel karya Sylvia Plath The Bell Jar. Novel tersebut dibaca secara berulang-ulang dan dipahami secara mendalam, agar dapat mengidentifikasi belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi oleh tokoh utama, gambaran pertentangan antara tokoh utama dan budaya-budaya patriarki yang ada pada saat itu. 2. Mencari data.

Setelah membaca berulang-ulang dan memahami isi novel tersebut, maka dilakukan pencarian data-data yang berhubungan dengan


(33)

rumusan masalah dalam penelitian ini yang digunakan sebagai data analisis.

3. Pengklasifikasian data.

Dalam tahap ini, data-data yang telah terkumpul kemudian dipilih berdasarkan klasifikasinya. Baik yang merupakan belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi oleh tokoh utama maupun bagaimana tokoh utama tersebut melawan belenggu-belenggu patriarki. Serta, pengklasifikasian data juga berdasarkan belenggu patriarki dalam aspek biologis dan sosiologis.

4. Analisis data.

Tahap akhir dalam proses penelitian ini adalah menganalisis semua data-data yang telah diklasifikasikan sebelumnya, serta menerapkan teori-teori yang digunakan dalam menganalisis data-data tersebut.

3.2.2 Metode Analisis Data

Data-data yang telah diklasifikasikan kemudian dianalisis menggunakan pendekatan kritik sastra feminisme radikal. Pendekatan ini berfokus pada keberadaan masalah gender perempuan dalam karya sastra. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa didalam novel The Bell Jar digambarkan seseorang yang menghadapi belenggu-belenggu patriarki di dalam lingkungannya dan berusaha melawan belenggu-belenggu tersebut. Maka teori


(34)

kritik sastra ini digunakan sebagai alat bantu dalam membahas belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi oleh Esther Greenwood sebagai tokoh utama.

3.2.2.1 Contoh Analisis Data

Berikut ini adalah salah satu contoh analisis data dalam penelitian ini. Korpus dibawah ini merupakan salah satu ketimpangan gender dalam hal pembagian pekerjaaan secara sexual yang dihadapi oleh tokoh utama Esther Greenwood.

I didn’t know shorthand. This meant I couldn’t get a good job after college. My mother kept telling me nobody wanted a plain English major. (Plath, 1972 : p.61).

Pada kutipan tersebut, terlihat bahwa perempuan pada zaman itu harus belajar shorthand yang merupakan stenografi atau cara menulis dengan ringkas dan cepat yang biasanya dipelajari oleh sekretaris. Namun, Esther tidak mengetahui stenografi tersebut dan ia sangat tidak tertarik menjadi sekretaris. Hal tersebut pun menjadi kekhawatiran Esther dan orang-orang disekitarnya jika setelah ia lulus sekolah, ia tidak akan mendapatkan pekerjaan “This meant I couldn’t get a good job after college” karena kehidupan sosial di tempat ia tinggal telah mengkonstruksi perempuan untuk melakukan pekerjaan seperti itu. Ibunya pun mengatakan padanya bahwa tidak ada yang mencari seseorang dari lulusan bahasa inggris atau sastra, “My mother kept telling me nobody wanted a plain English major”. Ibunya mengatakan demikian karena memang saat itu jarang sekali perempuan


(35)

yang bekerja selain sebagai sekretaris, typist atau waitress dan belajar selain shorthand.

Hal tersebut terlihat bahwa telah terjadi pembagian kerja berdasarkan sexual atau jenis kelamin, dimana perempuan terkonstruksi untuk bekerja sebagai sekretaris karena pada dasarnya pekerjaan sekretaris adalah melayani, hal tersebut sesuai dengan strereotipe perempuan yang terkonstruksi sebagai makhluk yang pasif, lemah lembut, dan sebagainya. Sehingga perempuan tidak dapat sebebasnya memilih jenis pekerjaan yang mereka inginkan seperti yang dialami oleh Esther karena ia hanya ingin menjadi seorang penulis dan mempelajari sastra atau bahasa Inggris. Namun, seperti yang dikatakan oleh ibunya bahwa tidak ada seorang pun yang mencari lulusan dari sastra atau bahasa inggris maka ia akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan kelak.


(36)

31

Pada bab ini akan dibahas mengenai bentuk-bentuk belenggu patriarki yang dihadapi oleh tokoh utama di dalam novel. Belenggu patriarki tersebut di klasifikasikan dalam dua kategori, yaitu secara sosiologis dan secara biologis.

4.1 Sosiologis

Secara sosial, perempuan terkonstruksi untuk tampil ideal dan cantik. Kecantikan merupakan salah satu yang melekat dan harus ada pada seorang perempuan. Hal tersebut telah terkonsepkan oleh ideologi patriarki karena perempuan yang cantik akan disukai dan dicari laki-laki, meski pada dasarnya cantik itu bersifat relatif. Menurut Beauvoir, strereotipe dan mitos kecantikan diciptakan oleh masyarakat yang menganut sistem patriarki. Bagi perempuan yang merasa dirinya kurang ideal dan cantik, mereka akan selalu mengusahakan agar dirinya senantiasa terlihat cantik dan ideal. Menurut Wolf, sosok yang ideal adalah sosok yang kurus, tinggi, putih, dan berambut pirang dengan wajah yang mulus tanpa noda, simetri dan tanpa cacat sedikit pun. (2004 : 4). Konsep ideal dan cantik tersebut pun telah terkonstruksi di dalam masyarakat, yang terkadang justru membuat perempuan malah menjadi korban dari stereotipe, citra, mitos, ideal, atau definisi dari kecantikan itu


(37)

novel The Bell Jar, ia malah berusaha untuk tidak mengikuti stereotipe yang tertuju pada perempuan harus tampil cantik. Hal tersebut tergambarkan pada kutipan berikut :

“I got such a kick out of all those free gifts showering on to us”. (Plath,1971 : p.3).

Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Esther membuang hadiah yang ia dapatkan ketika memenangkan lomba menulis di sebuah majalah terkenal, dimana hadiah itu merupakan seperangkat kosmetik. Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa ia menolak budaya patriarki, ia membuang semua hadiah tersebut. Budaya patriarki mengkontruksi perempuan sebagai hiasan yang harus terlihat cantik dan menarik. Esther berpikir bahwa semua itu hanya dapat mengopresi perempuan ketika perempuan terkonstruksi harus terlihat cantik untuk membuat laki-laki tertarik padanya dan memenuhi kesenangan laki-laki sehingga mereka selalu mengusahakan untuk terlihat cantik dengan berbagai cara. Hal tersebut justru menjadikan diri mereka sebagai korban dari stereotipe, citra, dan mitos kecantikan yang sudah terkonstruksi secara sosial. Menurut Wolf, mitos kecantikan ini dikonstruksikan ke dalam norma dan nilai sosial budaya sehingga apa yang dikatakan mitos kecantikan ini menjadi kebenaran yang absolut (2004: 25).

Dalam ideologi patriarki, supremasi laki-laki membentuk perempuan untuk memenuhi keinginan laki-laki, melayani dan menerima segala peran-peran perempuan yang telah terkonstruksi. Hal ini dapat dilihat ketika seorang wanita harus tampil cantik untuk membuat laki-laki tertarik.


(38)

Beauvoir, salah satu feminis mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk kedua yang harus menjadi seseorang yang sempurna dan menarik untuk melayani dan membuat laki-laki atau suaminya bahagia dengan penampilan yang indah dan menarik. Ketika perempuan tidak bisa memenuhi semua itu, mereka tidak bisa mendapatkan cinta. Mereka menjadi berlomba-lomba mempercantik diri agar dapat diterima dan memenuhi standar kecantikan yang sering kali dilontarkan terhadap perempuan.

Terdapat beberapa feminis mencoba untuk menghapuskan segala sesuatu yang dapat mengopresi tubuh mereka sendiri, seperti menggunakan sepatu hak tinggi. Mereka berasumsi bahwa hal tersebut dapat mengopresi tubuh mereka, membuat kaki mereka lelah meskipun mereka dapat terlihat lebih indah dan menarik. Hal tersebut juga seperti halnya Esther yang membuang semua peralatan kecantikan wanita, karena mereka berpikir hal-hal tersebut hanya mengopresi tubuh mereka. Ketika perempuan hanya dilihat dari kecantikannnya saja dan menjadikan perempuan hanya sebagai objek dari keinginan seks pria, perempuan berlomba-lomba dan berusaha mengubah dirinya agar terilhat menarik dan diterima oleh laki-laki.

Selain masalah tersebut di atas, di dalam novel The Bell Jar pun terdapat isu-isu tentang perbedaan bidang pekerjaan bagi perempuan dan laki-laki. Seperti yang terjadi di Amerika, terdapat beberapa jenis pekerjaan yang ditujukan tepat untuk perempuan, seperti yang dikatakan oleh Claudia Goldin dalam buku Understanding The Gender Gap (An Economic History of American Women) berikut ini “Women’s jobs were of two types : dead-end


(39)

promotion but relatively short ladders” ( 1990, 8).

Pada kutipan Claudia tersebut, terdapat perbedaan gender di dalam pekerjaan. Pada saat itu di Amerika, terdapat dua jenis pekerjaan yang tepat untuk perempuan, yaitu sebagai typist (pengetik) dan stenographer (stenograf), yang ia sebut sebagai dead-end position karena pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang tidak ada kenaikan jabatannya serta pekerjaan dengan posisi yang dapat memperoleh jabatan meski dengan jenjang yang lama “positions that involved promotion but relatively short ladders”.

Esther pun mengalami perbedaan-perbedaan tersebut di lingkungan ia tinggal. Pada saat itu, perempuan dikonstruksi untuk bekerja sebagai sekretaris dan ia pun diminta untuk mempelajari shorthand atau stenographi untuk menjadi seorang sekretaris.

My mother had convinced me I should study shorthand ...maybe I could study the eighteenth century in secret...but I didn’t know shorthand, so what could I do? (Plath,1971 : p.99-100)

Ibunya meminta ia untuk belajar stenographi secara berulang-ulang. Namun, ia sendiri pun tidak mengetahui lebih dalam apa itu srenographi dan ia sendiri tidak tahu apa yang harus ia lakukan karena ia benar-benar tidak menginginkan belajar shorthand (stenographi). Hal tersebut terlihat bahwa kehidupan sosial pada saat itu memang membentuk perempuan untuk bekerja sebagai sekretaris dan terdapat ketimpangan gender dalam hal pekerjaan, dimana perempuan agak sulit untuk menentukan sendiri pekerjaan


(40)

ia bekerja sebagai pelayan.

Buddy’s mother had even arranged for me to be given a job as a waitress...she and Buddy couldn’t understand why I chose to go to New York City instead (Plath, 1972 : p.16)

Pada kutipan diatas terlihat bahwa memang pada saat itu biasanya perempuan banyak bekerja sebagai sekretaris atau pelayan. Oleh karena itu ibu Buddy kekasihnya mempersiapkan Esther untuk bekerja sebagai pelayan. Seperti kita ketahui bahwa pekerjaan pelayan itu pada dasarnya adalah melayani, sama seperti sekretaris yang tugas utamanya adalah melayani dan membantu atasan. Hal itu terlihat bahwa perempuan memang terkonstruksi sebagai pelayan baik dalam ranah publik maupun domestik (rumah tangga). Namun, Esther tidak menginginkannya karena pada dasarnya ia memang tidak suka diperlakukan sebagai pelayan dan ia tidak suka melayani laki-laki dengan cara apapun. Ia hanya ingin mencurahkan semuanya untuk hobinya menulis.

The trouble was, I hated the idea of serving men in any way. I wanted to dictate my own thrilling letters. (Plath,1971 : p.62)

Orang-orang di sekeliling Esther pun tidak mendukung apa yang telah menjadi cita-cita Esther sebelumnya. Terlihat pada saat Esther mendapatkan beasisiwa dari salah satu majalah ternama di New York, ibu Buddy sangat tidak mengerti dan tidak mendukungnya, begitu juga ibunya sendiri yang terus menerus menyuruh ia untuk belajar stenographi untuk menjadi seorang sekretaris. Namun, Esther menolaknya, terlihat pada kutipan berikut :


(41)

would never have touse it. (Plath,1971 : p. 100)

Ia tidak berkeinginan menjadi seorang sekretaris dan menolak dan tidak akan pernah belajar shorthand (stenographi), ia hanya ingin menjadi seorang penulis karena menulis merupakan cita-cita terbesar dalam hidupnya.

I had in mind was getting some big scholarship to graduate school or a grant to study all over Europe, and then I thought I’d be a professor and write books of poems and be an editor of some sort. (Plath, 1972 :p.26-27).

Pada kutipan di atas, terlihat jelas bahwa Esther sangat tertarik dalam menulis dan sangat berambisi menjadi perempuan yang sukses dalam karir sebagai penulis. Ia juga sangat menginginkan mengenyam pendidikan tinggi di negara-negara Eropa karena ia berfikir negara-negara Eropa lebih modern dalam pemikiran, tidak seperti di lingkungan ia tinggal. Pemikiran Esther tersebut terlihat sudah sangat modern, dimana perempuan sudah tidak lagi harus bekerja di wilayah domestik dan mendapat perbedaan dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, ia sangat tidak setuju dengan pekerjaan-pekerjaan yang ditujukan pada perempuan saat itu. Esther tertarik dengan dunia menulis karena ia berfikir dengan menulis ia dapat mengekspresikan dirinya, ia tidak terkungkung dengan aturan-aturan yang menjadikan perempuan tersubordinat. Seperti yang dikatakan oleh Helene Cixous dalam essainya The Laugh of Medusa berikut ini :

“Women must write herself: must write about women and bring women to writing, from which they have been driven away as violently as from their bodies –for the same reasons, by the same law, with the same fatal goal.


(42)

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa perempuan seharusnya menulis, sebagai sarana untuk menyampaikan ide-idenya dan apa yang dirasakan, baik itu opresi maupun tidak. Hal tersebut untuk menunjukkan eksistensi perempuan, sehingga perempuan tidak lagi bungkam dan menjadi manusia kedua yang selalu menjadi subordinat. Namun, ibunya sendiri pun tidak sepenuhnya mendukung cita-cita Esther tersebut.

My own mother wasn’t much help. My mother had thought shorthand and typing to support us ever since my father died, (Plath, 1972 : p.27).

Ibunya tidak banyak membantu dan mendukung ia dalam menulis, hal tersebut karena ibunya sendiri pun bekerja sebagai seorang sekretaris untuk menghidupi Esther dan keluarganya sepeninggalan ayahnya. Sehingga ia hanya ingin Eesther memiliki pekerjaan seperti ibunya tersebut. Pemikiran ibunya tersebut pun karena konstruksi sosial yang sudah ada pada saat itu dan sudah terdoktrin terhadap kehidupannya, sehingga ia hanya berpikir perempuan tepat jika memiliki pekerjaan tersebut. Selain subordinasi di dalam pekerjaan, subordinasi perempuan pun terjadi di dalam wilayah domestik, seperti yang tergambarkan di dalam novel berikut ini.

... It would mean getting up at seven and cooking him eggs and bacon and toast and coffee and dawdling about in my nightgown and curlers after he’d left for work to wash up the dirty plates and make the bed, and then when he came home after a lively, fascinating day he’d expect a big dinner, and I’d spend the evening washing up even more dirty plates till I fell into bed, utterly exhausted. This seemed a dreary and wasted life for a girl with fifteen years of straight A’s… (Plath, 1972 : 68)


(43)

Dalam kutipan diatas, Esther membayangkan bagaimana ia kelak sesudah menikah dan menjadi seorang istri dengan seluruh pekerjaan rumah yang tertuju padanya, Esther mengatakan “I’d spend the evening washing up even more dirty plates till I fell into bed, utterly exhausted” dalam kutipan tersebut, Esther membayangkan bagaimana lelahnya ia harus bekerja mengurus pekerjaan domestik. Ia membayangkan setiap hari harus mengerjakan pekerjaan rumah, sejak ia bangun di pagi hari sampai malam tiba dengan menghabiskan seluruh waktunya melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Misalnya, mempersiapkan makan pagi sampai makan malam dan semua kebutuhan-kebutuhan suaminya. Padahal ia merupakan perempuan cerdas yang selama lima belas tahun selalu mendapatkan nilai A “This seemed a dreary and wasted life for a girl with fifteen years of straight A’s”. Seharusnya ia dapat meraih kesuksesan di dunia publik, bukan hanya menghabiskan waktunya untuk urusan domestik dan terkungkung di dalam rumah yang menakutkan dan membosankan. Esther pun melihat ibu dari Buddy Williard kekasihnya yang merupakan seorang istri sempurna, selalu melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, seperti yang tergambar pada kutipan berikut :

I knew that’s what marriage was like, because cook and clean and wash was just what Buddy Williard’s mother did from morning till night, and she was the wife of university professor and had been a private school teacher herself (Plath, 1972 : p. 68-69)

Esther melihat ibu Buddy tetap melakukan semua pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga) meski ia juga tetap sibuk bekerja di ranah publik.


(44)

yang terjadi terhadap perempuan. Esther pun mengingat apa yang Buddy katakan kepadanya tentang pernikahan, seperti dalam kutipan berikut ini :

I also remembered Buddy Williard saying in a sinister, knowing way that after I had children I would feel differently, I wouldn’t want to write poem anymore. So I began to think maybe it was true that when you were married and had children it was like being brainwashed, and afterward you went about numb as a slave in some private, totalitarian state. (Plath, 1972 : 69)

Esther pun yang takut jika ia menikah, segala cita-citanya akan hilang karena segala pikirannya akan lebih berpusat terhadap urusan domestik. Hal tersebut karena Buddy mengatakan kepada Esther bahwa setelah menikah, ia tidak akan dapat menulis puisi lagi “after I had children I would feel differently, I wouldn’t want to write poem anymore. Pernyataan Buddy tersebut menandakan bahwa Buddy mulai mencoba memasukkan ideologi patriakalnya terhadap Esther, seharusnya ia tidak berkata demikian karena ia pun tahu bahwa menulis adalah hobi dan cita-cita Esther.

Esther pun takut jika nanti ia hanya akan fokus pada anak-anaknya dan suaminya, sehingga ia hanya memiliki sedikit waktu untuk melakukan aktifitasnya dalam menulis dan mengejar cita-citanya. Padahal menulis puisi dan menjadi penulis adalah tujuan besar dalam hidupnya, oleh karena itu ia berfikir “maybe it was like being brainwashed”. Perempuan sebagai istri juga harus menerima segala bentuk kekuasaan laki-laki dan menerima segala bentuk peran yang diaturnya sebagai kepala rumah tangga. Dalam ideologi patriarki, supremasi laki-laki membentuk perempuan untuk menerima keadaan tersebut, meskipun dirinya teropresi.


(45)

dalam ranah domestik “…and afterward you went about numb as a slave in some private, totalitarian state” ia melihat kehidupan di dalam keluarga seperti sebuah negara totalitarian. Negara Totalitarian adalah negara yang menempatkan pemerintah sebagai pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi. Pemerintah mempunyai kekuasaan yang absolut dalam mengatur kehidupan warga negara pada semua aspek. Dimana masyarakat hanya mengikuti segala perintah dan aturan-aturannya tanpa bisa memberikan pendapat dan aspirasi mereka. Mereka juga bekerja untuk melayani pemerintah, bukan sebaliknya pemerintah yang melayani masyarakat. Esther mengibaratkan seorang istri sebagai warga masyarakat di dalam negara totalitarian yang terkungkung dengan aturan-aturan pernikahan yang sudah terkonstruksi yang membuat perempuan tersubordinasi. Ia mengatakan “a slave in some private, totalitarian state”, dalam kutipan tersebut ia membandingkan seorang slave di negara totaliter. Menjadi seorang slave saja sudah membuat orang kehilangan haknya, apalagi di negara otoriter.

Seperti yang sudah dijabarkan di atas, semua hal tersebut pada dasarnya disebabkan karena konstruksi sosial. Membuat perempuan memiliki peran untuk menjaga anak-anak dan mengatur seluruh rumah tangga. Seperti pernyataan Millet bahwa keluarga sebagai sumber utama pengindoktrinasian dan belenggu patriarki. Hal ini dapat dilihat dalam keluarga tradisional bahwa laki-laki adalah tokoh yang mendukung atau menghasilkan uang dan bekerja di dunia publik, sementara perempuan hanya tinggal di rumah dan mengurus anak-anak serta seluruh kebutuhan keluarga. Hal ini pun menjadi


(46)

di dalam masyarakat mengenai hak dan peran antara perempuan dan laki-laki. Konstruksi tersebut bagi para feminis radikal dianggap sangat membelenggu para perempuan. Pandangan Esther pun terhadap pernikahan adalah bahwa pernikahan membelenggu perempuan.

Dalam sistem patriarki, perempuan dalam keluarga dikendalikan oleh laki-laki yang mempunyai peran yang sangat besar. Jessie Bernand dalam Thinking About Women (1993) mengatakan bahwa sebenarnya ketika perempuan menikah sebagai istri dan ibu, mereka diharapkan bertanggung jawab mengurus suami dan anak-anak mereka. Keluarga dianggap sebagai satu satunya tempat yang tepat bagi perempuan, dimana hal tersebut telah terkonstruksi secara sosial di masyarakat. Meskipun sekitar abad 18 sampai 19, ketika revolusi industri muncul di Inggris perempuan sudah mulai diperbolehkan bekerja di ranah publik atau pabrik karena banyak dibutuhkan para pekerja perempuan sebagai buruh. Namun mereka tetap memiliki peran sebagai ibu, bertanggung jawab mengurus dan merawat anak-anak serta mengelola semua keperluan sehari-hari dalam rumah tangga mereka. Mereka menjadi memiliki dua tugas atau double job.

Apabila seorang perempuan yang menjadi seorang ibu rumah tangga atau istri yang juga bekerja di publik demi membantu suami untuk memenuhi kebutuhan mereka, mereka tetap saja mempunyai tugas utama di dalam kehidupan domestik (rumah tangga). Padahal, tidak hanya perempuan yang bisa melakukan pekerjaan tersebut, laki-laki pun bisa melakukannya


(47)

perempuan lah yang pantas melakukannya.

Hal-hal tersebut pun menjadi ketakutan Esther dalam menikah, sehingga ia menolak untuk menikah. Ia pun melihat bahwa tuntutan sistem patriarki terhadap perempuan yang menjadikannya subordinat seringkali tidak manusiawi. Perempuan dituntut untuk menjadi manusia sempurna yang mampu menangani segala urusan, baik dalam ranah domestik saja, atau dalam ranah publik dan domestik sekaligus. Hal tersebut terlihat dalam kutipan di bawah ini :

I’m never going to get married. (Plath, 1971 : 76)

Esther berfikir bahwa pernikahan dapat menjadikan dirinya subordinat, maka ia memutuskan untuk tidak menikah. Selain karena alasan itu, Esther sadar akan perlakuan Buddy dan ia memutuskan hubungannya dengan Buddy. Ia merasakan bahwa Buddy Williard itu patriarkal. Ia sangat tidak mendukung apa yang menjadi cita-cita Esther karena ia hanya menginginkan Esther menjadi istrinya dan mengurus semua kepentingan domestik. Buddy hanya menganggap cita-cita Esther itu tidak penting, ia pun menyebut puisi itu hanya sebagai “a pieces of dust”.

“do you know what a poem is, Esther ?” “no, what?” I would say.”

“a piece of dust.” (Plath, 1972 : 46)

Kutipan di atas diambil ketika Esther sedang berbicara dengan Buddy. Buddy tiba-tiba menanyakan kepada Esther mengenai puisi dan Buddy mengatakan bahwa puisi itu hanyalah sekumpulan debu. Ungkapan Buddy


(48)

yang merupakan hobi dan cita-cita Esther untuk menjadi seorang penyair puisi. Ia hanya menganggap puisi sangatlah tidak berarti dan tak berguna. Seharusnya, ia tidak berkata demikian karena hal tersebut merupakan cita-cita terbesar Esther kekasihnya yang semestinya ia beri dukungan.

Hal tersebut terlihat bahwa Buddy sangat tidak menghargai Esther dan patriarkal dengan tidak memberi kesempatan kepada kekasihnya untuk menggapai cita-cita terbesarnya. Sikap Buddy tersebut juga merupakan pembungkaman terhadap perempuan, dimana perempuan tidak dapat berkreasi dalam menulis untuk menunjukkan eksistensinya. Seperti yang dikatakan oleh Cixous pada penjelasan dari kutipan sebelumnya, yang menjelaskan bahwa perempuan harus menulis untuk menunjukkan eksistensinya dan agar tidak dianggap sebagai makluk kedua yang hanya dapat menjadi penikmat karya sastra saja dan tidak mampu menulis. Esther pun mencoba menunjukkan bahwa apa yang dikatakan oleh Buddy mengenai puisi merupakan sekumpulan debu yang tak berguna itu adalah salah, terlihat dalam kutipan berikut :

People were made of nothing so much as dust, and I couldn't see that doctoring all that dust was a bit better than writing poems people could remember and repeat to themselves when they were unhappy or sick and couldn't sleep. (Plath, 1970 : 46)

Pada kutipan di atas, Esther mengatakan bahwa puisi bukanlah sesuatu hal yang tidak penting, dan tidak berguna. Dalam kutipan tersebut, Esther mengatakan bahwa puisi mempunyai banyak manfaat. Puisi dapat berguna sebagai penghibur seseorang yang sedang sakit atau sedih. Namun,


(49)

merupakan sesuatu yang tidak penting.

Buddy couldn’t understand why I chose to go to New York City instead (Plath, 1972 : 16)

Buddy sangat tidak mengerti dan tidak mendukung apa yang selama ini Esther cita-citakan. Hal tersebut terlihat ketika Esther harus pergi ke New York untuk menghadiri undangan sebagai pemenang dari kompetisi menulis, di mana ia diminta untuk menjadi seorang editor di sebuah majalah ternama di New Yok. Esther sangat antusias menerimanya karena itu merupakan salah satu kesempatan terbesar dalam hidupnya. Kompetisi itu dilakukan di New York karena memang New York lebih modern dan menjadi pusat fashion dibanding di kota tempat Esther tinggal, namun Buddy tidak menyukainya. Hal tersebut terlihat bahwa Buddy bersifat patriarkis karena tidak mendukung seorang perempuan yang ingin sukses dengan cita-citanya sebagai penulis. Pemikiran Buddy disebabkan konstruksi sosial yang membentuk perempuan seharusnya bekerja di ranah domestik (rumah tangga). Oleh karena itu ia memutuskan hubungan dengan kekasihnya itu “had broken off with Buddy” (Plath,1971 : 59)

Seperti yang telah dibahas dan diuraikan di atas, terlihat bahwa pada dasarnya konstruksi sosial lah yang menjadikan perempuan tersubordinat atau menjadi the second sex. Konstruki sosial tersebut sudah terdoktrin di dalam masyarakat di dalam segala aspek. Seperti yang digambarkan dalam novel The Bell Jar, dimana Esther Greenwood tokoh utama menghadapi dan mengalami belenggu-belenggu patriarki dan menjadi subordinat.


(50)

Konstruksi sosial pada masa itu mengharuskan perempuan memiliki pekerjaan sebagai sekretaris atau pelayan, perempuan hanya memiliki andil yang sangat kecil untuk memilih bidang pekerjaan yang mereka inginkan. Selain itu subordinasi pun terjadi dalam kehidupan domestik, dimana terdapat perbedaan-perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki yang justru menjadikan perempuan tersubordinat.

4.2 Biologis

Subordinasi terhadap perempuan juga terjadi secara biologis. Karena fungsi reproduksinya, perempuan sering kali tersubordinat. Subordinasi tersebut pun terjadi terhadap Esther melalui Buddy yang mencerminkan sifat patriarkis berikut ini :

“Have you ever had an affair with anyone, Buddy ?“ “have you ever gone to bed with anyone?”

“well, yes, I have,” Buddy said finally.

“That’s how Buddy had lost his pureness and his virginity” (Plath, 1972 : 56-57)

Pada kutipan di atas, mengungkapkan bahwa Buddy telah mengkhianati Esther dengan memiliki hubungan gelap dengan wanita lain dan ia sudah melakukan hubungan suami istri dengan seorang pelayan. Namun Buddy hanya bersikap biasa saja, mungkin karena pada saat itu, laki-laki tidak terlalu dipermasalahkan jika sudah berhubungan suami istri sebelum menikah. Berbeda dengan perempuan, mereka akan sangat diperdebatkan,


(51)

dari reperesentasi ideologi patriarki pada saat itu yang mengagungkan tradisi keperawanan, seperti yang dikatakan Hellwig (1987) dalam Yulianeta, bahwa keperawanan adalah hal yang paling utama. Kweldju (1993) dan Hatanaka (1999) dalam Yulianeta juga mengatakan bahwa keperawanan dianggap sebagai simbolisasi derajat dan harga dirinya. Hal tersebut didasarkan akan pentingnya kesuciaan di dalam pernikahan, dengan menjunjung tinggi nilai keperawanan. Namun, sayangnya aturan tersebut hanya diberlakukan untuk perempuan. Hal ini pun terlihat pada kutipan berikut:

I couldn’t stand the idea of a woman having to have single pure life and a man being able to have double life, one pure and one not. (Plath,1971 : 66)

Dalam kutipan tersebut, Esther melihat adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat. Ketika perempuan diharuskan menjaga virginitasnya, namun laki-laki tidak memiliki sebuah keharusan semacam itu. Menurut Millet, kebebasan seksual perempuan dianggap tabu dan mereka dituntut menjaga virginitasnya sebelum menikah. virginitas merupakan sesuatu yang sangat penting bagi perempuan. Hal tersebut karena tubuh perempuan yang memiliki alat reproduksi dan kepemilikan hygmen (selaput dara), sehingga apabila seorang perempuan sudah tidak virgin, maka ia tidak dapat menyembunyikan hal tersebut. Berbeda dengan laki-laki yang dapat dengan mudah menyembunyikan apabila mereka sudah tidak perjaka lagi. Esther melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak adil, seperti yang ia ungkapkan berikut ini :


(52)

between one personal and another. (Plath,1971 : 66)

Esther melihat pembatasan terhadap virginitas tersebut sudah terkonstruksi sejak dahulu. Kekasihnya yang sudah tidak lagi perjaka dan sering berhubungan dengan wanita lain, namun Esther diminta untuk selalu menjaga virginitasnya. Padahal Buddy berhubungan dengan banyak wanita lain hanya untuk kesenangannya saja. Esther melihat hal tersebut tidak adil baginya. Suatu hari ia berpikir untuk melakukan hubungan suami-istri sebelum menikah dengan laki-laki lain.

Ever since Buddy Williard had told me about that waitress. I had been thinking I ought to go out and sleep with somebody myself. (Plath,1971 : 63)

Dalam kutipan di atas terlihat bahwa Esther mencoba memberontak karena ia merasa hal tersebut tidak adil. Ia melawan konstruksi sosial tersebut dengan melepas virginitasnya. Belenggu lain terhadap tubuh perempuan terlihat pada saat perempuan sedang mengandung, seperti yang dikatakan Esther berikut ini :

The woman’s stomach stuck up so high I couldn’t see her face or the upper part of her body at all. She seemed to had nothing but an enormous spider-fat stomach and two little ugly spindly legs propped in the high stirrups, and all the time the baby was being born she never stopped making this unhuman whooing noise. (Plath, 1971 : 53)

Esther melihat bahwa perempuan yang sedang mengandung mengalami perubahan bentuk tubuh yang tidak seperti biasanya, misalnya perut membesar yang Esther ibaratkan seperti seekor laba-laba besar dengan


(53)

enormous spider-fat stomach”. Perempuan pun secara tak sadar telah teralienasi, dimana semua perhatian akan lebih tertuju pada bayi yang dilahirkannya dan perempuan menjadi tersubordinat. Data berikut memperlihatkan Buddy mencoba untuk membuat Esther tidak lagi beranggapan bahwa mengandung dan melahirkan adalah sesuatu yang menakutkan.

Later Buddy told me the woman was on a drug that would make her forget she’d had any pain that when she swore and groaned she really didn’t know what she was doing because she was in a kind of twilight sleep..I thought it sounded just like the sort of drug a man would invent. (Plath, 1971 : 53-54)

Kutipan tersebut di atas merupakan pada saat Esther menyaksikan proses melahirkan di sebuah rumah sakit. Esther menyadari ekspektasi yang melekat padanya sebagai perempuan dengan tubuhnya. Ia berpikir bahwa meskipun sudah diberi obat, rasa sakit yang dirasakan tidak tidak benar-benar hilang. Namun, dalam kutipan tersebut Buddy mencoba untuk menenangkan Eshter dengan mengatakan “the woman was on a drug that would make her forget she’d had any pain”, menurutnya dengan diberi obat rasa sakit tersebut akan hilang dan perempuan tidak lagi merasakan rasa sakit tersebut. Ia pun mengatakan bahwa semua itu hanya hal yang biasa terjadi terhadap perempuan, dimana perempuan setelah melahirkan tidak akan teringat betapa sulitnya dan sakitnya saat proses melahirkan karena hal tersebut sama seperti perempuan yang sedang tertidur nyenyak. Pernyataan-pernyataan Buddy tersebut sangatlah tidak sepenuhnya benar, karena ia


(54)

semua itu seperti hal yang biasa saja “she was in a kind of twilight sleep” dan dapat dengan mudah terobati hanya dengan diberi obat. Esther pun beranggapan bahwa pernyataan Buddy tersebut hanyalah seperti dibuat-buat “I thought it sounded just like the sort of drug a man would invent”. Apabila dilihat dari sudut pandang kaum feminis radikal, hal ini menunjukkan bahwa tubuh perempuan sebagai objek, yang hanya diperuntukkan untuk orang lain.

Berbeda dengan pemikiran-pemikiran Esther sebelumnya, sekarang ia sudah mulai memikirkan ingin menjadi seperti yang lainnya, menjadi perempuan normal yang pada saat itu kata normal tersebut mengacu pada status menjadi seorang istri, melahirkan, dan memiliki anak. Ia mulai membayangkan pernikahan dan karirnya, seperti yang tergambarkan dalam kutipan di bawah ini :

I saw my life branching out before me like the green fig tree in the story...one fig was a husband and happy home and children, and another fig was a famous poet and another fig was a brilliant professor, and another fig was Ee Gee, the amazing editor and another fig was Europe and Africa and South America...and beyond and above these figs were many more figs I couldn’t quite make out... I saw sitting in the crotch of this fig, starving to death, just because I couldn’t make up my mind which of the figs I would choose. I wanted each and every one of them, but choosing one meant losing all (Plath, 1971 : 62-63)

Dalam kutipan tersebut pikiran Esther sudah mulai bercabang antara karir dan keluarga. Hal tersebut tersebut terlihat bahwa tuntutan sosial untuk menjadi seperti perempuan normal pada umumnya sudah mulai terdoktrin dalam benaknya, ia sudah mulai memikirkan menikah dan memiliki anak, padahal sebelumnya ia amat sangat menolaknya. Dalam gambaran analogi


(1)

56

untuk menganalisis patriarki tidak hanya yang terjadi secara sosiologis atau

biologis saja, misalnya secara ekonomi, pendidikan, serta agama. Serta

sebaiknya memiliki beberapa referensi, seperti jurnal-jurnal atau buku-buku

mengenai mengenai dampak positif dan negatif dari feminisme itu sendiri,

agar pembaca dapat memahami secara jelas tentang feminisme.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Andersen, Margeret. 2000. Thinking About Woman. New York

Burns, Elizabeth, Tom. 1973. Sociology of Literature and Drama. Australia : Penguin book.

De Beauvoir, Simone. 1989. The Second Sex. New York : Vintage Book.

Donova, Joshepine. 2000. Feminist Theory. Continum.

Goldin, Claudia. 1990. Understanding The Gender Gap, An Economic History of American Women. New York : Oxford.

Helene, Cixous. 1997. The Laugh of Medusa. Prancis.

Jones, Jackie. Jackson, Stevi. 2009. Teori-Teori Feminis Kontemporer. Yogyakarta : Jalasutra.

Millet, Kate. 1970. Sexual Politics. London : Virgo Press.

Minderop, Albertine. 2005. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta : Yayasan Obor.

Plath, Sylvia. 1971. The Bell Jar. United States : Bantam Books .


(3)

Selden, Radman. 1993. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. New York : Harvester Wheatsheaf.

Semi, M. Atar. 1993. Metodologi Penelitian Sastra. Bandung : Angkasa

Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Grasindo.

Surakhmad, Winarno. 1980. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung : Tarsito

Wolf, Naomi. 2004. Mitos Kecantikan, Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Yogyakarta : Niagara


(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Biodata Diri

1. Nama : Rika Agustin

2. Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta / 06 Agustus 1987

3. Nomor Pokok Mahasiswa : 63705805

4. Jenis kelamin : Jakarta

5. Kebangsaan : Indonesia

6. Agama : Islam

7. Nomor Telepon : (022) 917 222 87

8. Nomor Handphone : 0856 22 910 66

9. Alamat : Jl. Panyingkiran II no 17

Tasikmalaya

10.E-mail : nirika06@gmail.com

11.Berat Badan : 42 Kg

12.Tinggi Badan : 150 Cm

13.Status Hubungan : Single

14.Orang Tua

a. Nama Ayah : Didi Rusmayadi

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jl. Jl. Panyingkiran II no. 17

Tasikmalaya

b. Nama Ibu : Euis Wariah

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Jl. Panyingkiran II no. 17


(5)

B. Latar Belakang Pendidikan

No Nama Sekolah dan Perguruan Tinggi Tahun

1 Taman Kanak-kanak Putra Setia Jakarta 1991 - 1993

2 SDN 03 Jakarta 1993 - 1999

3 SLTP Negeri 28 Jakarta 1999 - 2002

4 SMK Negeri 14 Jakarta 2002 - 2005

5 UNIKOM Bandung 2005 - 2011

C. Latar Belakang Pendidikan Informal

No Program Tempat Tahun

1 Kursus Bahasa Inggris LPIA – Jakarta 2000-2002

2 Kursus Matematika dan

Bahasa Inggris

Lembaga Pendidikan

Kalpataru - Jakarta 2005

3 Pelatihan Akuntansi Dasar

Satu – Dasar Dua Jakarta 2004

4 Seminar “Copy Writing

and Workshop” UNIKOM - Bandung 2009

5

Kegiatan “Evaluasi Belajar Mengajar Jurusan Sastra Inggris”

UNIKOM - Bandung 2010

6

Seminar “Seminar “Copy writing and Consumer Behavior”

UNIKOM - Bandung 2010

7 Seminar “Translating and

Interpreting Workshop” Jatinangor - Bandung 2010

8 Kuliah Umum Kajian

Gender Siloka - Bandung 2010-2011

9 Seminar “Feminist,

feminism and text” Rabani - Bandung 2011


(6)

D. Latar Belakang Pekerjaan dan Organisasi

No Profesi Tempat Tahun

1 Bendahara Rohis SMPN 28 - Jakarta 2000-2001