NN

172

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Gerakan sosial yang dilakukan oleh pedagang kaki lima hanyalah salah satu riakriak kecil gerakan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat yang berada di
Negara dunia ketiga dalam melawan arus kapitalisme dan globalisasi. Beragam
kebijakan yang dikeluarkan oleh Negara terkhusus Negara dunia ketiga dalam
analisis marxisme selalu berpihak kepada kaum borjuis dan penguasa. Sedikit
sekali kebijakan Negara yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Hasil
penelitian ini mempunyai beberapa implikasi khususnya terhadap studi hegemoni
dan resistensi seperti yang dilakukan oleh Scott. Walaupun penelitian ini
mengakar kepada Scott namun ada beberapa perbedaan yaitu: (1) Penelitian yang
dilakukan oleh Scott mengambil setting pedesaan yang masyarakatnya homogen
sedangkan penelitian ini mengambil setting perkotaan yang masyarakatnya
heterogen. (2) Hasil penelitian di Pasar Bambu Kuning menunjukan bahwa ada
kelompok yang di satu sisi melakukan penguasaan terhadap satu kelompok,
namun di sisi lain mereka pun tersubordinasi atau berada dalam kuasa kelas
berkuasa. Mereka ada preman pasar. (3) Hegemoni tidak selamanya menimbulkan
resistensi namun dalam hegemoni memungkinkan pula pihak-pihak yang
berkonflik untuk melakukan negosiasi dan kompromi. Inilah yang luput dari

pandangan Gramsci dan Scott.

173

Ada lima hal penting dalam temuan penelitian gerakan sosial pedagang kaki lima
di Pasar Bambu Kuning. Pertama; gerakan sosial pedagang kaki lima dalam
perspektif konflik marxisme merupakan tindakan-tindakan atau bentuk-bentuk
perlawanan yang dilakukan oleh pedagang kaki lima secara terbuka; formal,
sistematis dan terorganisir, serta secara tidak terbuka atau laten; perlawanan
sehari-hari yang bersifat informal, sering tidak terbuka dan pada umumnya
berkenaan dengan hasil yang dapat dirasakan secara langsung yang dalam
penelitian ini disebut sebagai resistensi.

Kedua; hegemoni, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota
Bandar Lampung melalui berbagai persetujuan umum atas suatu nilai (sering kali
disebut sebagai ideologi) yang dipromosikan sebagai ukuran kepatutan seperti
berdagang di trotoar, bahu atau pinggir jalan merupakan perbuatan melanggar
hukum yaitu Perda No 8 Tahun 2000,

penertiban dan penggusuran oleh


Pemerintah Kota Bandar Lampung dianggap sebagai jalan akhir untuk
menghadapi pedagang kaki lima. Kedua hal tersebut menurut saya merupakan
hegemoni yang telah dilakukan oleh pedagang kaki lima sehingga publik atau
masyarakat luas turut membenarkan tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah
Kota Bandar Lampung.

Ketiga; Counter Hegemoni, adanya perlawanan pedagang kaki lima baik yang
bersifat terbuka maupun yang bersifat laten yang dalam penelitian ini saya sebut
sebagai resistensi, berhasil dilakukan dengan baik oleh pedagang kaki lima di
kawasan Pasar Bambu Kuning. Adanya demonstrasi serta cara pedagang kaki lima
yang berpindah-pindah tempat berjualan membuat membuat gaya perlawanan

174

pedagang kaki lima menjadi khas, lentur dan tidak kaku sebagiam pedagang kaki
lima berhasil tidak terkena penertiban dan penggusuran. Hal ini menjadi suatu
bukti bahwa kekuasaan tersebar dalam masyarakat, bukan hanya menjadi milik
kelas berkuasa saja. Bahkan dengan melihat tingginya resistensi dari pedagang
kaki lima saya selaku peneliti lebih cenderung menempatkan pedagang kaki lima

sebagai suatu kelompok yang mempunyai power dibandingkan dengan Negara,
dan Pemerintah Kota Bandar Lampung.

Keempat; hegemoni, resistensi dan kompromi merupakan hal-hal yang menurut
peneliti tidak dapat dipisahkan. Dalam setiap masyarakat, jika terjadi hegemoni
oleh suatu kelompok maka akan diikuti pula oleh munculnya resistensi dari
kelompok lainnya yang kemudian dinamakan sebagai counter hegemoni atau
hegemoni tandingan. Namun, adanya hegemoni memungkinkan pula untuk
terjadinya kompromi politis antara pihak berkuasa dan pihak dikuasai.

Kelima; dari hasil penelitian ditemukan bahwa dalam kasus pedagang kaki lima di
Pasar Bambu Kuning ada orang-orang yang di satu sisi menguasai pedagang kaki
lima dan di sisi lain mereka pun tersubordinasi oleh Pemerintah Kota Bandar
Lampung. Mereka merupakan bandit pasar yang dalam penelitian ini disebut
sebagai preman. Posisi preman dalam kasus di Bambu Kuning menjadi “abu-abu”
atau tidak jelas karena mereka berada di antara pedagang kaki lima dan
Pemerintah Kota Bandar Lampung. Peran preman dalam kasus Bambu Kuning
hanya meminta uang keamanan kepada pedagang kaki lima. Secara yuridis
keberadaan preman yang meminta uang keamanan merupakan pelanggaran
hukum tindakannya illegal. Namun keberadaan preman secara sosial diakui


175

sebagai “keamanan” tidak resmi. Preman kerap meminta uang keamanan kepada
pedagang kaki lima. Penjelasan mengenai preman memberikan deskripsi bahwa
posisi preman secara sosial menguasai pedagang kaki lima.

B. Saran

1. Pemerintah Kota Bandar Lampung selaku pemegang otoritas tertinggi yang
Kota Bandar Lampung harus lebih intens melakukan dialog dengan pedagang
kaki lima khususnya di kawasan Pasar Bambu Kuning karena hanya dengan
dialog akan menemukan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.
2. Pedagang kaki lima hanya membutuhkan tempat yang layak dengan harga
sewa yang tentu saja terjangkau. Jika hal ini berhasil dilakukan maka resistensi
yang dating dari pedagang kaki lima di Pasar Bambu Kuning akan berkurang.
3. Keberadaan preman di Pasar Bambu Kuning semakin membuat permasalahan
pedagang kaki lima menjadi rumit karena Pemerintah Kota Bandar Lampung
bukan hanya harus menyelesaikan masalah pedagang kaki lima di Pasar Bambu
Kuning tetapi harus pula menyelesaikan permasalahan preman.

4. Negara harus menjalankan kewajibannya sesuai dengan amanat Pancasila dan
UUD 1945.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kota-kota di Indonesia pada umumnya memiliki persoalan dengan ruang publik, seperti
persoalan parkir yang memakan tempat berlebihan ataupun memakan bahu jalan, masalah
menjamurnya Pedagang Kaki Lima (PKL), kemacetan lalu lintas, papan reklame yang
berserakan, dan penggunaan ruang publik yang kumuh. Persoalan-persoalan tersebut sejak
awal Orde Baru hingga sekarang era reformasi, belum terselesaikan dengan baik, bahkan
persoalannnya semakin menjadi-jadi.

Berbagai kebijakan dan strategi yang diambil oleh para stakeholder dengan tujuan untuk
menyelesaikan permasalahan kota, khususnya yang menyangkut tata ruang kota, justru
menimbulkan permasalahan baru, kurang mendapat sambutan dan dukungan dari masyarakat
kota khususnya mereka yang menjadi korban kebijakan tersebut. Contoh kasus dari
permasalahan ini misalnya penertiban pedagang kaki lima yang ada di Kota Bandar Lampung
(Pasar Bambu Kuning), penertiban ini justru mendapat perlawanan dari para pedagang.

Contoh lainnya adalah rencana relokasi pemukiman penduduk di sepanjang wilayah pesisir
Kota Bandar Lampung sehubungan dengan adanya kebijakan Water Front City dari
Pemerintah Kota Bandar Lampung. Kebijakan tersebut justru kurang mendapat sambutan
yang baik dari penduduk yang ada di sepanjang wilayah pesisir Kota Bandar Lampung.

Kota Bandar Lampung yang merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung adalah salah satu kota
terbesar ketiga yang ada di pulau Sumatera setelah Medan dan Palembang. Tetapi
sebagaimana kota-kota besar di Indonesia lainnya, Kota Bandar Lampung kerap dihiasi oleh

wajah-wajah hitam khas perkotaan seperti pemukiman kumuh, kemacetan lalu lintas,
pengemis dan anak jalanan, serta aksi-aksi penggusuran dan penertiban pedagang kaki lima.

Hal yang menarik untuk diamati dan analisis adalah kehadiran pasar-pasar modern seperti
mall dan swalayan di Kota Bandar Lampung yang sebenarnya menjadi ancaman bagi
keberadaan pasar-pasar tradisional yang ada di Kota Bandar Lampung itu sendiri. Kehadiran
pasar-pasar modern oleh sebagian orang memang dianggap sebagai kemajuan dalam bidang
perekonomian. Tetapi di sisi lain kehadirannya justru akan membunuh para pedagang sektor
informal hal ini dikarenakan mall atau swalayan mempunyai nilai lebih seperti kebersihan,
kenyamanan, bahkan jika seseorang belanja ke mall dan swalayan seakan menjadi penanda
status social seseorang yang tinggi dalam masyarakat. keadaan sebaliknya jika kita melihat

pasar-pasar tradisional yang khususnya secara kebersihan, keindahan, dan kenyamanan
memang belum tertata sehingga terkesan menimbulkan kesan jorok dan kampungan.

Salah satu sektor informal yang sering dianggap sebagai perusak keindahan kota dan
penyebab kemacetan lalu lintas adalah pedagang kaki lima. Ibarat benalu dalam konotasi
positif, pedagang kaki lima akan selalu hidup dalam situasi pasar apa pun. Pedagang kaki
lima akan selalu tumbuh pada setiap tempat transaksi jual-beli. Jika diibaratkan pedagang
kaki lima seperti rumput, bayangkan rumput yang tiba-tiba tumbuh justru di dalam pot bunga
walaupun tidak kita tanam sebelumnya. Cobalah cermati sebuah pot berisi bunga di halaman
rumah, jika tidak kita urus maka akan tumbuh rumput-rumput yang lainnya.

Begitu pula pedagang kaki lima, mereka akan segera tumbuh sepanjang kita menyebut pasar.
Jadi pasar dan pedagang kaki lima atau sebaliknya pedagang kaki lima dan pasar tidak bisa
kita pisahkan satu sama lainnya. Hanya saja, jelas ada perbedaannya. Jika pedagang kaki lima
adalah para pedagang yang bermodal tidak besar yang kemudian kita golongkan sebagai
pedagang ilegal karena tak punya toko (kios). Sedangkan pedagang legal adalah pengusaha

yang memiliki kios, counter, atau toko dengan modal melebihi yang dipunyai pedagang kaki
lima. Berbeda dengan pedagang kaki lima, pedagang legal dikenai sewa pertahun dan ditarik
pajak usahanya.


Oleh sebab itu, pedagang legal cenderung "dimanjakan" oleh penguasa dalam hal ini
pemerintah. Karena dapat membantu pembangunan. Biasanya pula pedagang legal lebih
tertib, bersih, dan dianggap selalu bisa menjaga ketertiban dan kenyamanan. Sementara
pedagang kaki lima kebalikannya: ditengarai kerap menciptakan keruwetan, kesemerawutan,
kesumpekan, dan kemacetan di sekitaran pasar.

Layaknya rumput di dalam pot, pedagang kaki lima harus dicabut hingga ke akarnya. Hak
hidup pedagang kaki lima pada akhirnya sama dengan rumput di dalam pot, tidak
diperkenankan. Kalau pun memaksakan diri untuk hidup, dengan cara kekerasan pun
dilakukan demi ketertiban, keamanan, kenyamanan, dan keindahan kota.

Pikiran dan pendapat seperti itulah, boleh jadi, yang memicu Pemerintah kota
Bandarlampung untuk memperindah kotanya dengan cara menyapu bersih pedagang kaki
lima. Pemerintah kota Bandar Lampung tidak ada cara lain dalam menghadapi persoalan
pedagang kaki lima di Pasar Bambu Kuning, melalui Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2000 dan
ditambah Peraturan Daerah No. 10 Tahun 1999 tentang pedagang kaki lima.

Memang sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No. 8 Tahun 2000 tentang
pembinaan umum, ketertiban, keamanan, kebersihan, kesehatan, dan keapikan dalam wilayah

Kota Bandar Lampung. Berikut ini pasal yang mengatur tentang ketertiban umum yang
menyangkut masalah keberadaan pedagang kaki lima. Perda Nomor 8 tahun 2000 pada bab
III tentang larangan mempergunakan fasilitas umum, Pasal 16 ayat 1, 2, dan 3 tertulis jelas:

1. Mempergunakan jalan umum atau trotoar atau pada teras depan bangunan pertokoan atau
bangunan yang menghadap pada jalan umum oleh pedagang kaki lima atau usaha lainnya
kecuali pada tempat-tempat yang ditentukan atau ditunjuk oleh walikota.
2. Mempergunakan pasar atau bangunan komplek pertokoan yang tidak bertingkat atau lantai
1 (satu) sebagai tempat bermukim.
3. Mempergunakan halaman parkir pada komplek pasar/pertokoan/plaza untuk tempat mirip
atau menetap kendaraan atau gerobak dagangan.

Peraturan daerah inilah yang kemudian menjadi dasar hukum bagi pemerintah kota Bandar
Lampung untuk melakukan penertiban pedagang kaki lima di lingkungan pasar maupun
trotoar-trotoar jalan. Konsentrasi pengawasan dan tindakan penertiban oleh Pemerintah Kota
Bandar Lampung yaitu, mengarah pada wilayah Pasar Bambu Kuning, Pasar Baru/Smep,
Pasar Gintung, Pasar Tugu, dan Pasar Panjang. Konsentrasi penertiban ditujukan pada
wilayah ini karena jumlah pedagang yang banyak dan keberadaannya mengganggu ketertiban
dan keindahan kota. Penertiban yang dilakukan oleh Pemkot Bandar Lampung kerap kali
diwarnai kericuhan. Bahkan barang dagangan dan tempat berjualan pedagang kaki lima

seperti meja dan gerobak dibawa dan disita oleh Satuan Polisi Pamong Praja.

Walaupun para pedagang kaki lima telah ditertibkan, namun kenyataan menunjukan bahwa
setelah mereka ditertibkan pada keesokan harinya mereka masih bisa berjualan. Hal ini
menunjukan bahwa para pedagang kaki lima tetap eksis dan survive di tengah ancaman
penertiban dari Pemkot Bandar Lampung. Dengan tetap membuka lapak atau tetap berjualan
maka secara tidak sadar para pedagang kaki lima telah melakukan perlawanan. Karena

mereka tidak taat dan patuh terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap oleh para
pedagang kaki lima bahwa kebijakan tersebut hanya merugikan mereka.

Berdasarkan data yang dihimpun peneliti melalui media cetak seperti koran, majalah ataupun
tabloid, penertiban pedagang kaki lima yang terbesar terjadi pada tanggal 30 Oktober 2007.
Jumlah pedagang kaki lima Pasar Bambu Kuning yang ditertibkan pada akhir Oktober
tersebut yaitu 686 pedagang yang dalam setiap harinya memiliki omzet 500 ribu/hari
(Lampung post, 18 Oktober 2008)

Ketidakadilan sosial yang dirasakan oleh pedagang kaki lima terjadi akibat adanya peran
dominan dan perampasan hak-hak dasar sebagai manusia dari rezim berkuasa. Para penguasa
melakukan semua ini melalui sebuah institusi yaitu Negara. Dalam konteks ini, negara yang

sedang kita analisis adalah Pemerintah Kota Bandar Lampung.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa negara berkewajiban memberikan
pekerjaan yang layak kepada warga negara. Selain itu, seperti yang tertuang dalam Pancasila
sila ke lima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka sudah selayaknya
negara dalam hal ini Pemerintah Kota Bandar Lampung memberikan perlindungan,
penghidupan yang layak serta menegakan keadilan sosial untuk masyarakatnya khususnya
para pedagang kaki lima.

Penggusuran dan penertiban yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung selaku
penguasa, telah melakukan dan melucuti hak-hak azasi para pedagang kaki lima. Instrument
yang mereka gunakan tidak lain adalah kebijakan dan aturan-aturan yang merugikan
pedagang kaki lima. Para pedagang kaki lima dianggap sebagai sesuatu yang illegal dan
melanggar hukum. Sehingga keberadaanya harus ditertibkan.

Kasus yang membelunggu antara Pemerintah Kota Bandar Lampung selaku penguasa dan
mereka yang dikuasai yaitu pedagang kaki lima pada akhirnya melahirkan kelompok
kepentingan, khususnya diantara sesama pedagang kaki lima. Individu-individu (dalam hal
ini pedagang kaki lima) yang merasa memiliki kepentingan sama, mereka meleburkan diri
menjadi satu dalam sebuah wadah organisasi. Tujuannya tidak lain untuk melindungi hak-hak
para pedagang kaki lima, serta sebagai perisai atau benteng perlawanan terhadap Pemerintah
Kota Bandar Lampung.

Dari uraian-uraian di atas, penting untuk kita analisis secara lebih mendalam bahwa tanpa
disadari para pedagang kaki lima telah melakukan sebuah gerakan sosial (social movement).
Memang gerakan sosial pedagang kaki lima tidak seperti Komunie Paris 1871 yang begitu
ekstrim, atau seperti gerakan apartheid di Afrika Selatan, dan tidak pula seperti gerakan
reformasi 1998 yang berhasil menggulingkan sang penguasa (Orde Baru). Tetapi gerakan
sosial pedagang kaki lima yang tidak hanya berkutat dalam masalah ekonomi, tetapi gerakan
sosial pedagang kaki lima ini telah masuk ke dalam ranah kekuasaan.

Perlawanan pedagang kaki lima terhadap penertiban dan penggusuran yang dilakukan oleh
Pemerintah Kota Bandar Lampung menyiratkan sebuah pesan bahwa pedagang kaki lima pun
memiliki kekuatan untuk melawan sang penguasa. Aksi-aksi protes atau demonstrasi, tetap
berjualan di tengah ancaman penertiban dan penggusuran, serta para pedagang kaki lima
melebur menjadi satu ke dalam sebuah wadah organisasi menjadi tanda bahwa mereka yang
dinamakan pedagang kaki lima mempunyai kekuasaan yaitu kekuasaan untuk melakukan
perlawanan baik secara terbuka maupun secara laten. Hal-hal tersebut menggambarkan

bahwa para Pedagang Kaki Lima (PKL) telah melakukan gerakan sosial (social movement.
Di sinilah penting untuk diteliti mengenai “Gerakan Sosial Pedagang Kaki Lima dalam
Perspektif Konflik Marxisme”.

Perspektif konflik Marxisme yang digunakan dalam studi ini dikarenakan studi marxisme
lebih menempatkan pengalaman pelaku-pelaku manusia di pusat analisis adalah berkenaan
dengan konsep kelas yang hadir dalam masyarakat itu sendiri (Scott, 2000). Sehingga bagi
peneliti ada sebuah relevansi jika studi ini dilakukan melalui pendekatan dan analisis konflik
marxisme karena apa yang dilakukan oleh pedagang kaki lima merupakan yang peneliti
anggap sebagai suatu bentuk perlawanan terhadap kelas berkuasa yaitu Pemerintah Kota
Bandar Lampung.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian-uraian yang telah peneliti paparkan dalam latar belakang di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gerakan sosial Pedagang Kaki Lima (PKL) di
Pasar Bambu Kuning Kota Bandar Lampung ditinjau dari perspektif konflik marxisme?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini yaitu:

1. Menganalisis gerakan sosial yang dilakukan oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pasar
Bambu Kuning Kota Bandar Lampung yang ditinjau dari perspektif konflik marxisme.
2. Menganalisis power dan powerless di antara negara, local government (Pemerintah Kota
Bandar Lampung), dan Pedagang Kaki Lima (PKL).

D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini yaitu:
1. Secara Akademis
Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan perbendaharaan kajiankajian sosiologis teraktual dan kontemporer. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi
rujukan dalam mengkaji berbagai permasalahan yang berkaitan dengan gerakan sosial (social
movement).

2. Secara Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan
khususnya yang berkaitan dengan masalah Pedagang Kaki Lima (PKL). Selain itu, penelitian
ini dirasakan sangat berguna bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki
perhatian terhadap nasib para Pedagang Kaki Lima (PKL).