Dialektika Hukum Progresif Obrolan Ringk

Dialektika Hukum Progresif

2

3

Dialektika Hukum Progresif
Obrolan Ringkas Buku-buku Satjipto
Rahardjo

Diandra Preludio R • Benny Prasetyo • Unu P
Herlambang • Muhtar Said • AP Edi Atmaja •
Benny Karya Limantara • Syandi Rama
Sabekti • Alfajrin A Titaheluw • Rian Adhivira
• Nindi Achid Arifki • Rahmad Syahroni
Rambe • Lilik Haryadi • James Marihot
Panggabean

Kaum Tjipian
2014


4

Dialektika Hukum Progresif
Obrolan Ringkas Buku-buku Satjipto Rahardjo
Diandra Preludio R, Benny Prasetyo, Unu P Herlambang,
Muhtar Said, AP Edi Atmaja, Benny Karya Limantara, Syandi
Rama Sabekti, Alfajrin A Titaheluw, Rian Adhivira, Nindi
Achid Arifki, Rahmad Syahroni Rambe, Lilik Haryadi, James
Marihot Panggabean
© Kaum Tjipian, 2014
Diterbitkan pertama kali dalam format buku digital (e-book)
Desember 2014
140 halaman; 12 x 18 cm
1. Ilmu Hukum 2. Satjipto Rahardjo
3. Hukum Progresif
Penyunting: AP Edi Atmaja
Perancang Sampul: AP Edi Atmaja
Penata Isi: AP Edi Atmaja
Kaum Tjipian
d/a Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro

Jalan Imam Bardjo, SH, Nomor 1, Semarang
Cetakan I: 2014

5

Sekapur Sirih

BUKU ini memuat serampai karangan mengenai sebagian
(kecil) buku-buku anggitan Prof Dr Satjipto Rahardjo, SH.
Sang begawan hukum yang karib disapa Prof Tjip itu
mewariskan banyak sekali buku pasca-wafatnya, bahkan ada
buku yang terbit benar-benar setelah Prof Tjip meninggal
dunia.
Karangan-karangan dalam buku ini tidak (pernah)
berpretensi untuk memfatwakan kebenaran. Bahkan dari
teks yang paling terang-benderang pun pasti tersembunyi
keremang-remangan. Bukan maksud buku ini untuk
meringkus dan meringkas pemikiran Prof Tjip dalam sebutir
tablet yang siap-minum—kendati mesti diakui bahwa para
pengarang (kami menyebutnya “pemantik”) terdiri dari

golongan yang boleh dibilang “penafsir garda depan”
pemikiran Prof Tjip.
Para pemantik yang seluruhnya merupakan mahasiswa
dan alumnus Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro,
itu tergabung dalam komunitas diskusi yang menamakan
diri Kaum Tjipian.
Kaum Tjipian, entah generasi yang keberapa, saban
Senin sore, tepat pukul 15.00 WIB, menyelenggarakan
diskusi (kami menyebutnya “jagongan”) perihal buku-buku
Prof Tjip. Lokasinya nomaden, sesuai pesanan. Di ruang
kelas yang suntuk, di bawah pohon beralaskan tikar
ditemani semilir angin sepoi-sepoi laiknya Rabindranath

6

Tagore dan murid-muridnya, hingga di emperan gedung di
mana para gadis berseliweran menggoda iman pun jadilah.
Alhasil, dari kongko-kongko yang mempertaruhkan iman
itu lahirlah buku mungil yang tak bisa lebih tebal dari
Nietzsche (2012) ini.

Barangkali terasa kasip mengingat karangan-karangan
ini berhasil dijilid dan terbit lebih dari dua tahun setelah
mereka disampaikan dalam jagongan rutin. Namun, adakah
yang terlambat untuk ide-ide? Kami hanya coba merawat
pemikiran guru kami, Profesor Satjipto Rahardjo. Syukursyukur kalau buku ini dapat memantik letupan lanjutan yang
jauh lebih bermutu.
Akhirnya, buku ini hanyalah kado dari anak-anak muda
ingusan yang mengaku-aku sebagai penafsir garda depan
Prof Tjip, yang lahir pada 15 Desember 1930. Tapi apalah
arti penafsir garda depan jikalau memperkenankan pikiran
menampik penolakan, kritik, dan makian. Oleh sebab itu,
melalui penerbitan buku ini, kami Kaum Tjipian mengharap
penolakan dari siapa pun Anda.
Pekanbaru, 28 Desember 2014

Penyunting

7

Senarai Isi


Sekapur Sirih — 6
Senarai Isi — 8
Bab I Sebelum
Hukum dalam Jagat Ketertiban — 11
Diandra Preludio R
Diskursus mengenai Hukum dan Masyarakat — 23
Benny Prasetyo
Mempelajari Keteraturan, Menjumpai Ketidakteraturan:
Pembacaan Seorang Cantrik — 36
Unu P Herlambang
Sosiologi Hukum: Pengamat atau Pemberi Solusi? — 43
Muhtar Said
Bab II Semasa
Kapita Selekta Hukum Progresif: Pada Mulanya adalah Koran — 56

AP Edi Atmaja
Dasar-dasar Hukum Progresif — 65
Benny Karya Limantara
Hukum Progresif dan Keberanian Kita — 73

Syandi Rama Sabekti

8

Kredo Penegakan Hukum Progresif — 78
Alfajrin A Titaheluw
Bab III Sesudah
Dinamika dalam Mengikuti Perubahan Sosial — 85
Rian Adhivira
Mendudukkan Undang-Undang Dasar? — 94
Nindi Achid Arifki
Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia — 105
Rahmad Syahroni Rambe
Polisi Indonesia di Tengah Perubahan Sosial — 115
Lilik Haryadi
Rakyat Bahagia di Negara Hukum — 122
James Marihot Panggabean
Para Pemantik — 135

9


Bab I
Sebelum

10

Hukum dalam Jagat Ketertiban1
DIANDRA PRELUDIO RAMADA

“… Law grows with the growth, and strengthens with the
strength of the people, and finally dies away as a nation
loses its nationality …” –Karl Von Savigny

SUNGGUH, penulis menyimpan kedukaan yang sangat
mendalam ketika tanpa alasan yang jelas penulis memilih
buku ini untuk diceritakan kembali menurut pemahaman
penulis sendiri. Kesedihan itu datang saat penulis merasa
bahwa penulis belum sanggup menyerap seluruh inti sari
dari buku Hukum dalam Jagat Ketertiban ini. Jadi, penulis
mengharap pemakluman yang teramat sangat bagi Anda

yang telanjur membaca tulisan ini.
Apa yang dipaparkan dalam kumpulan tulisan Prof
Satjipto Rahardjo ini merupakan penjelajahan yang tak
kunjung henti dari seorang musafir pencari kebenaran.
Keprihatinan Prof Tjip (sebutan akrab bagi Prof Satjipto
Rahardjo) terhadap keterpurukan hukum di Indonesia, yang
dinyatakan baik berupa lisan maupun tulisan, sering
membuat banyak kalangan, para akademisi, serta praktisi

1

Karangan, yang merupakan ulasan dari buku Hukum dalam Jagat
Ketertiban (Jakarta: UKI Press, 2006) anggitan Satjipto Rahardjo, ini
disampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 19 November 2012
di Beranda Auditorium Imam Bardjo, SH, Universitas Diponegoro.

11

hukum terhenyak dan mengerutkan kening. Salah satu
kritiknya adalah hukum telah cacat sejak dilahirkan—yang

2
dianggap Prof Tjip sebagai tragedi hukum.
Modernisasi, industrialisasi, rasionalisasi, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam beberapa dekade
terakhir dipengaruhi gelombang besar di mana negaranegara di dunia berusaha mencapai status yang lebih baik.
Tak dapat dimungkiri, kita masih berada pada
keterbelakangan ekonomi, politik, sosial, ilmu, dan
sebagainya sehingga, mau tidak mau, hukum modern itulah
yang kemudian dijadikan pisau bedah terhadap masalahmasalah hukum yang timbul. Tatkala para praktisi “latah”
membaca dan memaknai undang-undang dari perspektif
yuridis-normatif belaka dan berujar bahwa hukum harus
diutamakan agar membawa ketertiban, ketenteraman, dan
kesejahteraan bagi masyarakat. Prof Tjip mengambil sikap
berbeda. Menurut dia, hukum itu menempati satu sudut
3
kecil dalam jagat ketertiban.

2

Masyarakat diatur oleh hukum yang penuh cacat, karena

ketidakmampuannya merumuskan secara tepat hal-hal yang ada di
masyarakat. Tentu saja kritik tersebut merupakan palu godam bagi
lembaga legislatif, penegak hukum, dan insan hukum yang hanya
melandaskan hukum hanya sebagai peraturan perundang-undangan.
Padahal menurut refleksi kritis Prof Tjip, hukum dilukiskan sebagai
perilaku manusia, yang didasarkan pada pemikiran filosofis bahwa hukum
untuk manusia dan bukan sebaliknya. Satjipto Rahardjo, “Tidak menjadi
Tawanan Undang-undang”, dalam Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hlm 120.
3
Hukum tidak bisa menepuk dada dalam menyelesaikan segala
persoalan. Ilmu hukum harus membuka diri terhadap ilmu-ilmu lain agar
dapat memosisikan diri menurut jati dirinya. Bandingkan dengan Francis
Fukuyama yang mempertanyakan “Where do norms come from?” dalam
Francis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature and the
Reconstitution of Social Order (London: Profile Books, 1999), hlm 143153).

12

Wajah Hukum dalam Perkembangan

Buku Hukum dalam Jagat Ketertiban ini berisi kumpulan
karya tulis Prof Tjip. Dia mengawalinya dengan sebuah
konstruksi tentang sejarah hukum. Dimulai dengan Rene
Descartes yang memisahkan manusia sebagai makhluk
“yang mengetahui” dari alam “yang untuk diketahui”,
dengan ucapan terkenalnya cogito ergo sum. Descartes
ingin menyatakan bahwa manusia baru memperoleh makna
4
setelah dengan rasionya memberi arti. Pemikiran tersebut
memberi pengaruh yang sangat besar terhadap
perkembangan teorisasi ilmu pengetahuan. Logika dan
rasionalitas menjadi sesuatu yang sangat bermakna dalam
pencarian manusia terhadap dirinya. Namun, seiring dengan
perkembangan pengetahuan tentang manusia sebagai
makhluk seutuhnya yang berperasaan dan berketuhanan,
kecerdasan intelektual (IQ) yang dulu begitu dibanggakan
harus diimbangi dengan kecerdasan emosional (EQ) dan
kecerdasan spiritual (SQ) dalam rangka membangun

Satjipto Rahardjo (1930-2010)
4

Liek Wilardjo, Realita dan Desiderata (Yogyakarta: Duta Wacana
University Press, 1990), hlm 246.

13

kecerdasan berlipat (multiple intelligence).
Positivisme menanamkan kaki ilmu pengetahuan dengan
mengamati alam dan kehidupan di sekelilingnya. Sekalian
peristiwa yang tidak terdapat di situ tidak boleh dijadikan
objek ilmu pengetahuan. Semua harus bisa diamati secara
fisik, diukur dan ditimbang. Menggunakan rasio sebagai alat
analisis sejak Francis Bacon (metode induksi) dan Descartes
(metode rasional) di Abad Pencerahan (Enlightment,
Aufklarung), maka ilmu pengetahuan mulai secara agresif
berusaha menguasai objeknya dengan cara mengotakkotakkan, memisah-misahkan, memfragmentasi, menyistemisasi, mengorganisasi, dan sebagainya.
Ilmu pengetahuan memang berkembang dengan sangat
pesat dengan metode seperti itu, namun perkembangannya
membawa problem tersendiri. Ternyata, dengan hilangnya
keutuhan itu, hilang pulalah kebenaran sejati. Akhirnya,
suatu entitas utuh tidak berhasil didekati, apalagi dijelaskan
oleh sains atau teori yang telah mereduksi keutuhan itu
menjadi kepingan-kepingan yang terbatas. Agar teori
seperti itu tetap bisa digunakan, dilakukanlah manipulasi
kebenaran, yaitu dengan cara membuang sebagian realitas
sehingga menyisakan realitas yang hanya bisa dijelaskan
oleh teori itu.
Tidak ketinggalan ilmu hukum juga ikut menggunakan
model positivisme tersebut. Apabila abad kesembilan belas
disebut sebagai abad positivisme, itu akan sangat bisa
dimengerti seiring kehadiran hukum modern yang menjadi
bagian penataan masyarakat secara rasional. Sejak saat itu,
hukum menjadi institusi yang terang (distinct), baik dalam

14

5

substansi, metodologi, maupun administrasinya. Studi
hukum di awal abad keduapuluh diawali dengan
perkembangan menarik, yakni studi hukum yang ditarik
keluar dari ranah peraturan perundang-undangan dengan
kemunculan aliran sociological jurisprudence yang
dipelopori oleh Roscoe Pound.
Berkembanglah sistem produksi ekonomi kapitalis yang
mendasarkan pada perhitungan efisiensi yang bercirikan
semuanya harus bisa dihitung dengan jelas dan pasti.
Berapa barang dan ongkos produksi, penjualan, pembelian,
dan sebagainya. Ini berbeda dengan sistem ekonomi lama
yang didasarkan atas kebutuhan, bukan perhitungan.
Rasionalisasi sistem ekonomi tersebut membutuhkan orde
sosial baru yang harus dapat dimasukkan ke dalam
komponen produksi dan bisa dihitung. Sedangkan orde
sosial lama dengan konsep struktur yang tidak eksak dan
terkesan kacau (chaotic) dapat mengganggu kelancaran
sistem produksi ekonomi yang telah menjadi rasional dan
kapitalis.
Hukum modern tampil menjawab kebutuhan zaman itu.
Capaian hukum modern yang menjawab tantangan tersebut
adalah tertulis dan publik. Ini sangat mendukung kebutuhan
sistem ekonomi baru yang membutuhkan prediktabilitas.
Negara dan hukum modern adalah sebuah rekonstruksi
rasional yang dibangun di atas puing-puing tatanan lama.
Namun, seperti diketahui, modernisme sejak awal telah
menyimpan bibit penyakit dari modernisasi itu sendiri.
Semakin jauh berjalan, cacat dan penyakit itu semakin

5

Dalam hal substansi, hukum mengandalkan peraturan yang ia produksi
sendiri, yaitu legislated rules. Roberto Mangabeira Unger, Law in Modern
Society (New York: Free Press, 1976).

15

terlihat dan terbuka. Hukum modern dengan asas kepastian
hukumnya meluluh-lantakkan orde sosial lama yang bersifat
lebih otentik, alami, dan sosiologis. Hukum modern secara
gamblang menyamaratakan eksistensi tiap-tiap kelompok
masyarakat yang nyata-nyata berbeda. Pondasi hukum
modern yang dibangun berdasarkan rasionalitas dianggap
tidak mampu untuk melingkupi segala bentuk permasalahan
yang terjadi di masyarakat.
Boaventura de Sousa Santos berpendapat bahwa kita
sekarang
berada
di
tengah-tengah
dinamika
ketidakseimbangan, antara prinsip regulasi dan emansipasi
yang oleh dia disebut sebagai transisi paradigmatik
6
(paradigmatic transition). Posmodernisme dimulai dari
pemikiran kritis mengenai modernitas itu sendiri. Balkin
berpendapat bahwa posmodernisme adalah kelanjutan
dalam bentuk perkembangan dan reaksi terhadap suatu
7
periode dalam sejarah manusia yang disebut modernitas.

Hukum dalam Jagat Ketertiban
Bagian kedua buku ini memuat kajian Prof Tjip mengenai
jagat ketertiban. Jagat ketertiban menampilkan suatu
6

Menurut Santos, kita sekarang berada dalam masa transisi yang selama
duaratus tahun berlangsung ekses regulasi atas kerugian emansipasi. Titik
berat ada pada regulasi, istilah yang dipakai Santos untuk modernisme,
yang mencoba untuk mengubah keadaan chaos menjadi tertib. Arah
emansipasi adalah dari ketidaktahuan menuju keadaan tahu, yang oleh
Santos disebut dari kolonialisme menuju solidaritas. Di sini,
posmodernisme ingin membalikkan keadaan dinamika
ketidakseimbangan itu menjadi keuntungan emansipasi (to reassess the
knowledge-as-emancipation and grant its primacy over knowledge-asregulation). Boaventura de Sousa Santo, Toward A New Common Sense:
Law, Science, and Politics in Paradigmatic Transition (New York:
Routledge, 1995).
7
JM Balkin, “What is Postmodern Constitutionalism?” dalam Dennis
Patterseon (ed.), Postmodern and Law (Darmouth: Aldershot, 1994).

16

jaringan yang kompleks. Jagat ketertiban itu meliputi dan
menerima kehadiran komunitas yang majemuk sehingga
ketertiban juga menjadi kompleks. Kompleksitas inilah yang
menjadi basis ketertiban-ketertiban lain. Ketertiban
ekonomi, misalnya, juga tidak dapat meminggirkan
ketertiban lain, seperti hukum dan politik.
Sejak hukum menempati satu sudut saja dalam jagat
ketertiban yang jauh lebih luas dan sejak hukum negara
ingin memegang hegemoni, kita pantas mempertanyakan
bagaimana hukum negara itu berinteraksi dengan
8
komunitas-komunitas lain dalam jagat ketertiban.
Komunitas lain tersebut ternyata tidak bisa ditundukkan
oleh kekuasaan dan kedaulatan hukum negara. Saat
berbicara tentang akses terhadap keadilan, Marc Galanter
berbicara tentang apa yang ia sebut sebagai “justice in many
rooms”.9 Sekalipun perkara dibawa ke pengadilan untuk
diselesaikan, tidak selalu pengadilan yang benar-benar
memutus.
Ellickson mengatakan bahwa yang lebih menentukan
bagaimana ketentuan-ketentuan dalam hukum diwujudkan
bukanlah hukum itu sendiri, melainkan rakyat sebagai
adressat hukum.10 Ellickson menambahkan, betapa banyak
8

Komunitas lain ini adalah kaidah-kaidah sosial yang didukung oleh
komunitasnya masing-masing. Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat
Ketertiban (Jakarta: UKI Press, 2006), hlm 100.
9
Tulisan Galanter memberitahu kita tentang kompleksitas dari institusi
pengadilan yang tidak bisa dimonopoli oleh pengadilan negara. Kalau
dikatakan bahwa orang mencari keadilan bagi perkara yang dihadapi,
muncul pertanyaan: di mana keadilan itu? Di mana tempatnya? Siapa
atau apa yang memberikan keadilan itu? Marc Galanter, “Justice in Many
Rooms” dalam Mauro Cappelletti (ed.), Acces to Justice and the Welfare
State (Sijthoff: Alphen aan den Rijn, 1981).
10
Peraturan hanya sebagai titik tolak. Rakyatlah yang akan menawar
peraturan itu untuk keuntungan mereka. Robert C Ellickson, Order

17

segmen kehidupan sosial itu tidak dibentuk oleh atau
merupakan karya hukum, melainkan oleh komunitas itu
sendiri. Jadi tidak benar ungkapan “hukum dan ketertiban”
di mana digambarkan bahwa negara mengontrol perilaku
11
anggota masyarakat. Itu bohong sama sekali.
Hukum bekerja dan tertanam dalam sebuah matriks
sosio-kultural. Itulah awal dari apa yang kita sebut sebagai
budaya hukum. Bagaimanapun, hegemoni hukum negara itu
tidak pernah sepenuhnya berhasil memastikan apa yang
diwajibkan berlaku dalam masyarakat. Masyarakat akan
menuntun, membatasi, dan menentukan seberapa jauh dan
bagaimana hukum itu akan nyata-nyata berjalan, bekerja,
dan berlaku dalam masyarakat. Mengatur masyarakat tidak
berarti harus melakukannya secara penuh atau total. Maka
dari itu, pengaturan tidak perlu melakukan intervensi dan
penetrasi penuh ke dalam kehidupan masyarakat. Jika
kepedulian kita adalah manusia dan masyarakat, maka bisa
dengan membuat suatu skema besar, sedangkan prosesproses nyata diserahkan kepada masyarakat. Inilah yang
12
disebut mengatur kehidupan yang sudah berjalan.

without Law: How Neighbors Settle Disputes (Cambridge: Harvard
University Press, 1991).
11
Ketertiban lebih sering muncul secara serta merta. Peraturan yang
dibuat oleh negara akan dilengkapi bahkan isinya bisa diganti dengan
aturan menurut mereka sendiri. Ellickson menepis anggapan bahwa
negara atau pemerintahlah yang mengendalikan koordinasi dan
mengarahkan. Loc. cit.
12
Jepang merupakan contoh bagus untuk penggambaran tentang ini.
Dengan keteguhan mempertahankan tradisi nilai-nilai Jepang,
penegakkan hukum formal di Jepang tergolong lemah. Hukum memang
ada, tetapi ia hanya sebatas kekuasaan untuk mengatur, sedangkan
pelaksanaannya diserahkan kepada masyarakat. Satjipto Rahardjo, op.
cit., hlm 89.

18

Dari segala pemaparan di atas, sampailah kita pada apa
yang selalu Prof Tjip dengung-dengungkan. Ya, benar:
hukum progresif. Dijelaskan oleh Prof Tjip dalam buku ini,
bahwa yang akan secara penuh diorientasikan untuk
dibicarakan adalah mengenai penafsiran hukum yang
progresif.
Sejak hukum dikodifikasikan menjadi teks, pembacaan
terhadap teks menjadi penting sekali. Maka, penafsiran
hukum tidak dapat dihindarkan, dan hampir tidak mungkin
hukum dapat dijalankan tanpa membuka pintu bagi
penafsiran. Lalu diajukanlah sebuah adagium, “membaca
hukum adalah menafsirkan hukum”, dan yang mengatakan
bahwa teks hukum sudah jelas adalah suatu cara saja bagi
pembuat hukum untuk bertindak pragmatis seraya diamdiam mengakui bahwa ia mengalami kesulitan untuk
13
memberikan penjelasan.

Pertama, persoalan bahasa. Pertanyaan dasarnya,
mampukah bahasa mewadahi pemikiran yang akan kita
sampaikan? Menurut saya tidak. Hemat saya, tiap kali suatu
pemikiran akan dituangkan ke dalam kalimat, ia akan
mengalami risiko kegagalan. Artinya, pemikiran tersebut
menjadi kurang utuh begitu dirumuskan ke dalam bahasa.
Selalu ada nuansa, makna yang tercecer, atau tidak
terwadahi dalam bahasa tulis.
Kemudian, yang mengejutkan, jika bahasa menjadi
kendaraan untuk menyampaikan pemikiran ke dalam
undang-undang, maka sesungguhnya hukum Indonesia
pascakolonial harus dibaca lewat teks yang asli, yaitu bahasa
Belanda. Dengan demikian, teks-teks terjemahan dari
bahasa Belanda itu tidak sah, baik secara linguistik maupun
13

Ibid., hlm 163.

19

secara hukum. Jadi selama ini hukum di Indonesia itu
dijalankan berdasarkan konvensi atau tradisi saja. Sebagai
akibatnya, andaikata ada dua orang menerjemahkan teks
asli Belanda ke bahasa Indonesia, kemungkinan besar akan
ada dua naskah terjemahan yang berbeda dan keduanya
adalah “sah”.
Dalam bukunya tentang Mahkamah
Agung Indonesia, Sebastian Pompe menunjuk pada
kemampuan berbahasa Belanda di kalangan para hakim
yang hampir nol, sebagai salah satu penyebab menurunnya
14
kualitas putusan pengadilan di Indonesia.

Kedua, penafsiran itu sendiri dalam membaca teks
peraturan hukum tertulis. Pembuatan dan penafsiran
merupakan dua sisi dari barang yang sama, yaitu hukum.
Teks hukum tidak lain adalah suatu rumusan bentuk
konseptualisasi dari apa yang terjadi di alam. Misalnya,
pencurian yang merupakan peristiwa alam yang dirumuskan
ke dalam teks hukum. Setiap perumusan adalah pencitraan
tentang suatu hal. Pencitraan adalah pembuatan konsep.
Pembuatan konsep melahirkan pembeda antara apa yang
dirumuskan dengan yang tidak. Sedangkan perumusan
konsep pemikiran menjadi tekstual akan berhadapan
dengan risiko kegagalan yang hampir pasti.
Menurut Jakob Sumardjo, dalam adat Jawa terdapat
setidaknya limabelas macam pencurian. Hal itu berarti untuk
komunitas Jawa, Pasal 362 KUHP mengandung cacat besar,
karena pasti tidak mampu merumuskan kelimabelas macam
15
itu secara benar hanya dalam satu kalimat. Sehingga, di
14

Sebagai negeri bekas jajahan Belanda, banyak teks hukum yang
berbahasa Belanda, yang sialnya masih dirujuk oleh para hakim dengan
pengetahuan bahasa Belanda yang sangat rendah. S van Hoeij
Schilthouwer Pompe, The Indonesia Supreme Court: Fifty Years of Judicial
Development, Disertasi, 1996.
15
Jakob Sumardjo dalam Satjipto Rahardjo, op. cit.., hlm 166.

20

sinilah peran penafsiran sebagai jembatan untuk jurang
yang menganga antara objek yang dirumuskan dan
perumusannya.
Pekerjaan merumuskan akan melibatkan penilaian. Ini
mengapa legislatif mereduksi kenyataan menjadi seperti ini
atau itu, yang ditentukan oleh penilaian manusia-manusia di
belakangnya. Oleh karena itu, rumusan yang diproduksi
tidak bebas nilai, dan karena itu terbuka untuk penilaian
yang berbeda. Maka dari itu, penafsiran adalah pekerjaan
untuk dapat “membenarkan”, “meluruskan”, “membumikan”,
dan “mengadilkan” hukum.
Memasuki ranah penafsiran adalah memasuki ranah
yang luas yang di dalamnya dipenuhi pemikiran dan aliranaliran. Ada pendapat yang mengatakan bahwa menafsirkan
hukum tidak boleh melalui batas-batas yang sudah dibuat
oleh legislatif dalam ranah rumusan hukum tersebut.
Pendapat ini menganggap bahwa teks hukum memiliki
otonomi mutlak sehingga tidak boleh ada hal baru dalam
penafsiran. Pemikiran tersebut melebarkan jurang yang
memisahkan hukum dengan masyarakat. Hukum benarbenar menjadi dunia yang esoteris. Kekakuan pandangan
seperti itu menjauhkan hukum dari keadilan dan kebutuhan
masyarakat.
Kemudian, pendapat kedua yang menganggap bahwa
hukum hanya sebagai aturan yang kadang bisa ditepiskan.
Melihat hukum sebagai institusi yang ada dalam masyarakat,
pendapat yang dipelopori aliran realisme ini memilih untuk
melakukan pembebasan penafsiran yang bisa keluar dari
lingkup rumusan peraturan yang ada. Maka, Paul Scholten

21

mengatakan bahwa “keadilan dalam hukum itu ada, tetapi
16
masih harus ditemukan”.
Hukum progresif berpegangan pada paradigma “hukum
untuk manusia”. Kemanusiaan menjadi primus pada saat kita
memberi kedudukan terhadap hukum dan masyarakat.
Hukum berawal tidak dari hukum itu sendiri, melainkan dari
manusia dan kemanusiaan. Membicarakan hukum haruslah
lebih dahulu diawali dengan membicarakan dan
menuntaskan pembicaraan mengenai kemanusiaan. Kita pun
tidak dapat membicarakan hukum dengan menutup pintu
bagi kemanusiaan karena kemanusiaan akan terus mengalir
memasuki hukum. Maka, jadilah hukum bukan untuk dirinya
sendiri melainkan untuk mengabdi dan melestarikan
kemanusiaan.
Demikian sang begawan telah merintis jalan pembuka
bagi penerus-penerusnya. Kini tinggal kita para penerus Prof
Tjip melakukan apa yang kita harus dan bisa lakukan.
Kerinduan yang sangat sederhana dan lugas tapi sangat
dalam dari dirinya adalah agar para mahasiswanya menjadi
lilin-lilin pembawa terang dalam kegelapan yang
menyelimuti nuansa keilmuan di dunia, khususnya ilmu
hukum. Dengarlah pesan terakhir Sang Guru:
“...di pundak saudara-saudaralah hukum progresif itu
memperoleh bentuknya. Saya hanya merintis jalan…” []

16

Paul Scholten dalam Satjipto Rahardjo, op. cit., hlm 171.

22

Diskursus mengenai Hukum dan
Masyarakat17
BENNY PRASETYO

BAGI negara-negara yang sedang berkembang, yaitu negara
yang memperoleh kemerdekaannya sesudah Perang Dunia
II, pembangunan merupakan semacam panacea, satusatunya jalan yang harus ditempuh untuk memerdekakan
diri dari segala tuntutan dan kesulitan. Indonesia juga tidak
merupakan kekecualian dalam hal ini. Sejak Soeharto
mengambil alih tampuk kekuasaan, secara pasti negara ini
menempatkan diri di barisan negara sedang berkembang
yang memberikan prioritas pertama kepada pembangunan.
Memperhatikan fungsi hukum dalam masyarakat, yang
memungkinkan terjadinya komunikasi yang efektif
antaranggota masyarakat, kiranya sulit bagi kita untuk
memikirkan suatu masyarakat yang dapat berjalan tanpa
menerima pelayanan hukum. Keadaan ini menjadi lebih jelas
lagi apabila kita berhadapan dengan masyarakat yang ridak
lagi tradisional di mana kontak-kontak pribadi serta konflikkonflik kepentingan terjadi lebih intensif. Keadaan ini tidak
berubah pada masyarakat yang sedang berada dalam masa

17

Karangan, yang merupakan ringkasan dari buku Hukum dan
Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1980) anggitan Satjipto Rahardjo, ini
disampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 15 Oktober 2012 di
Ruang C104, Gedung Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro.

23

pembangunan. Sekalipun demikian, di masa seperti itu,
kedudukan hukum menjadi problematis berhubungan
dengan adanya pergeseran dalam prioritas kegiatan negara.
Lalu, sampailah pada masalah hubungan antara hukum
dan pembangunan. Hukum merupakan suatu kebutuhan
yang melekat pada kehidupan sosial itu sendiri, yaitu
sebagai sarana untuk melayani hubungan di antara sesama
anggota masyarakat, sehingga
terdapat kepastian dalam lalu
lintas hubungan itu. Dengan
demikian, mudah dimengerti
bahwa perubahan-perubahan
yang terjadi di masyarakat
pada
gilirannya
akan
menyebabkan
terjadinya
perubahan pada hukum yang
harus melayani masyarakat itu.
Apabila
untuk
keperluan
pembangunan
dibutuhkan
masuknya modal luar negeri,
perombakan susunan kepemilikan tanah, penyediaan tanah
untuk pembuatan jalan-jalan, pabrik, jembatan, dan
sebagainya, maka hukum akan diminta jasanya untuk
menyusun peraturan-peraturan atau sistem peraturan baru
yang memungkinkan dilaksanakannya rencana tersebut.
Pada 1972, suatu pertemuan yang menghimpun ahli-ahli
yang menaruh minat pada studi tentang hukum dan
pembangunan (law and development) telah mencoba untuk
menyusun satu kesepakatan pendapat mengenai selukbeluk penelitian di bidang hukum dan pembangunan.
Disebutkan
bahwa
pertalian
antara
hukum
dan
pembangunan sebagai suatu proses mengubah masyarakat
itu dapat bermacam-macam. Hukum dapat dilihat sebagai
24

suatu alat yang digunakan secara sadar oleh manusia untuk
mengubah lingkungan hidupnya.
Pendapat tadi mempunyai banyak pengikut sekalipun
mereka tidak sepaham mengenai kegunaan dan pentingnya
hukum untuk menimbulkan perubahan sosial. Kelompok lain
lagi berpendapat bahwa hukum merupakan suatu nilai, atau
suatu proses yang fundamental dalam perwujudan nilai-nilai
tertentu, sehingga ia menjadi terkait erat dengan nilai-nilai
itu sendiri. Misalnya saja, banyak orang percaya bahwa
hukum itu penting untuk melindungi perorangan serta
perwujudan kesamaan. Mereka juga percaya bahwa
pengembangan lembaga-lembaga hukum serta prosesprosesnya, sehingga menjadi efektif, akan dapat
memberikan bantuannya untuk memperkuat hak-hak
seseorang dan untuk mencapai kesamaan.
Dari pendapat para ahli tersebut dapat diketahui bahwa
orang mulai mengkaji tentang fungsi hukum di masyarakat.
Dan pada itu juga dapat dilihat bahwa sasaran pembicaraan
bukan berkisar pada hukum sebagai suatu sistem yang
konsisten, logis, dan tertutup, melainkan sebagai sarana
untuk
menyalurkan
kebijakan-kebijakan
dalam
pembangunan atau perubahan masyarakat. Dengan
demikian, pembicaraan mengenai hukum telah membaurkan
diri dengan pembicaraan tentang aksi-aksi sosial, tentang
hukum sebagai proses dan sebagainya.
Tingkat studi tentang hukum dewasa ini masih lebih
banyak berkisar pada pemahaman dan analisis hukum
secara dogmatis: melihat hukum terutama sebagai suatu
sistem yang logis dan konsisten. Keadaan yang demikian itu
menyebabkan bahwa dewasa ini dibutuhkan adanya
perubahan dalam pemahaman kita mengenai hukum atau

25

secara lebih tepat mengenai hubungan antara hukum dan
masyarakat.

Studi terhadap Hukum dan Masyarakat
Pemikiran hukum sosiologis
Pemikiran hukum sosiologis mulai dikembangkan tidak
lebih awal dari permulaan abad keduapuluh. Sebelum itu,
apabila orang memikirkan tentang hukum dan keadilan, ia
tidak segera melihat perkaitannya dengan tertib masyarakat
yang lebih luas di mana hukum itu berlaku atau di mana ideide tentang keadilan itu dianut.
Rescoe Pound membedakan antara ahli hukum dengan
kerangka berpikir sosiologis dan ahli hukum dari aliran yang
lain. Perbedaan itu, menurut Pound, adalah bahwa mereka
yang termasuk aliran sosiologis ini:






lebih mengarahkan penglihatannya kepada bekerjanya hukum daripada kepada isinya yang abstrak;
memandang hukum sebagai suatu lembaga sosial
yang dapat dikembangkan melalui usaha manusia
dan menganggap kewajiban mereka untuk menemukan cara–cara terbaik dalam memajukan dan
mengarahakan usaha sedemikian itu;
lebih menekankan kepada tujuan-tujuan sosial yang
dilayani oleh hukum daripada sanksinya;
menekankan bahwa aturan-aturan hukum itu harus
lebih dipandang sebagai pedoman untuk mencapai
hasil-hasil yang dianggap adil oleh masyarakat dan
tidak sebagai kerangka yang kaku.

26

Hukum dan nilai-nilai masyarakat
Tentang bekerjanya hukum di masyarakat, Robert B
Seidman menguraikan dalil-dalil sebagai berikut.








Setiap peraturan hukum memuat tentang bagaimana
pemegang peranan (masyarakat/role occupant)
diharapkan untuk bertindak.
Bagaimana seorang pemegang peranan akan
bertindak sebagai suatu respons terhadap peraturan
hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang
ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari
lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan
kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain-lainnya.
Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan
bertindak sebagai respons terhadap peraturan
hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan
hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksisanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan
sosial, politik, dan lainnya, yang mengenai diri
mereka serta umpan-umpan balik (feedback) yang
datang yang datang dari pemegang peranan.
Bagaimana para pembuat undang-undang akan
bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan
yang mengatur tingkah laku mereka, sanksisanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan
sosial, politik, ideologis, dan lain-lain, mengenai diri
mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari
pemegang peranan serta birokrasi.

Dari dalil-dalil tersebut, dapatlah diketahui bahwa setiap
anggota masyarakat sebagai pemegang peranan ditentukan
tingkah lakunya oleh peranan yang diharapkan, baik oleh
norma-norma hukum maupun oleh kekuatan-kekuatan di
luar hukum.

27

Regenerasi atau penerapan hukum hanya dapat terjadi
melalui manusia sebagai perantaranya. Masuknya faktor
manusia ke dalam pembicaraan tentang hukum, khususnya
dalam hubungan dengan bekerjanya hukum, membawa kita
kepada penglihatan mengenai hukum sebagai karya
manusia di masyarakat.
Dalam pembentukan hukum, di mana dijumpai
pertentangan nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan,
Schuyt menunjukkan bahwa ada dua kemungkinan yang
dapat timbul, yakni (1) sebagai sarana untuk mencairkan
pertentangan (conflict loosing) dan (2) sebagai tindakan
yang memperkuat terjadinya pertentangan lebih lanjut
(conflictversterking).
Hukum diciptakan untuk dijalankan. “Hukum yang tidak
pernah dijalankan pada hakikatnya telah telah berhenti
menjadi hukum,” demikian Scholten. Hukum tidak dapat
bekerja atas dasar kekuatannya sendiri. Dengan perkataan
lain, hukum itu hanya akan dapat berjalan melalui manusia.
Manusialah yang menciptakan hukum, tetapi juga untuk
pelaksanaan hukum yang telah dibuat masih diperlukan
campur tangan manusia.
Schuyt menambahkan, tujuan hukum yang kemudian
harus diwujudkan oleh organ-organ pelaksananya itu adalah
sangat umum dan kabur sifatnya. Ia menunjuk pada nilainilai keadilan, keserasian, dan kepastian hukum sebagai
tujuan-tujuan yang harus diwujudkan hukum dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena kekaburan dalam tujuan
yang hendak dilaksanakan hukum inilah, sekalipun
organisasi-organisasi yang dibentuk bertujuan untuk
mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum, organ-organ
itu dipakai untuk mengembangkan pendapatnya sendirisendiri mengenai tujuan hukum. Dengan demikian,

28

organisasi-organisasi
seperti
pengadilan,
kepolisian,
lembaga legislatif, dan sebagainya, menjalani kehidupannya
sendiri, serta mengejar tujuannya sendiri pula.
Selznick mengatakan, dewasa ini dapat dikenali adanya
konflik antara dua pandangan hukum: yang pertama melihat
hukum sebagai sesuatu yang harus diterima begitu saja,
sementara yang kedua berpendapat bahwa hukum itu
mencita-citakan tercapainya tujuan-tujuan moral.
Dalam konsep hukum yang normatif, yaitu yang
membebani hukum dengan tugas-tugas untuk mewujudkan
nilai-nilai, kehadiran hukum di masyarakat itu tidak hanya
sekadar didorong oleh keharusan sosial, melainkan juga
karena ada tugas-tugas yang harus dijalankannya. Konsep
tersebut selanjutnya menerima adanya nilai-nilai laten yang
terdapat dalam hukum, yang akan bekerja sebagai sumber
referensi bagi penilaian terhadap hukum. Nilai-nilai yang
menjadi dasar penilaian itu bukannya diadakan oleh orang
yang melakukan pengamatan, melainkan ia berada secara
inheren dalam fenomena ketertiban itu sendiri (inner order
of the phenomenon).
Dalam pengertian rule of law, Selznick melihat adanya
ide hukum yang dikaitkan dengan suatu tertib tertentu.
Sekalipun ungkapan rule of law itu hanya dimaksudkan
untuk hanya bekerja secara deskriptif dan bebas dari nilai
tertentu, ungkapan tersebut sebetulnya bersifat konotatif
dan merupakan ide yang sarat dengan nilai.

29

Hukum dan Perubahan Sosial
Perubahan sosial
Timbulnya golongan menengah telah merubah susunan
dan keseimbangan masyarakat yang semula ditentukan oleh
golongan ningrat, perwira, dan agama. Selanjutnya,
timbulnya golongan buruh sebagai buah perindustrian telah
kuasa pula mengubah susunan masyarakat pada masanya.
Pranata-pranata sosial juga disesuaikan pada perubahanperubahan tersebut, sehingga menimbulkan kultur hukum
yang memiliki karakteristik untuk zamannya.
Bermacam-macam alasan dapat dikemukakan, yang
dapat dipandang sebagai bagian dari timbulnya suatu
perubahan di masyarakat. Perubahan dalam penerapan hasil
teknologi modern dewasa ini banyak disebut sebagai salah
satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial. Penemuanpenemuan baru di bidang teknologi tidak hanya
memberikan tambahan kekayaan kebudayaan material,
melainkan juga menimbulkan kebutuhan untuk melakukan
penyesuaian pada penggunaan hasil teknologi yang baru
tersebut.
Keadaan perubahan sebagai perkembangan itu
merupakan suatu hal yang kini banyak banyak dipikirkan di
negara sedang berkembang, sekarang dalam ungkapan
pembangunan, modernisasi, dan istilah lainnya lagi.
Masalahnya dapat lebih jelas apabila kita mengarahkannya
pada perubahan tertentu pada masyarakat negara sedang
berkembang tersebut, yaitu perubahan dari masyarakat
tradisional ke masyarakat yang modern. Komitmen pada
modernisasi adalah komitmen pada usaha perubahan sosial
yang mendalam dan sangat jauh jangkauannya,
sebagaimana dikatakan Huntington, bahwa untuk dapat

30

melaksanakan modernisasi dengan berhasil suatu sistem
politik itu pertama-tama harus mampu untuk melakukan
pembaruan kebijakan, yaitu untuk memajukan kehidupan
sosial dan ekonomi dengan perombakan melalui tindakantindakan kenegaraan.
Kita juga tidak dapat melihat kehidupan hukum, yang
merupakan salah satu sistem dalam kehidupan sosial,
terlepas dari bidang-bidang yang lain, serta juga dari
perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Hukum,
di samping mempunyai kepentingannya sendiri untuk
mewujudkan nilai-nilai tertentu di masyarakat, tetap terikat
pada bahan-bahan yang dapat disediakan oleh
masyarakatnya. Dengan demikian, secara singkat hendak
dikatakan bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh
perubahan-perubahan di sekelilingnya.
Sekalipun hukum merupakan sarana untuk mengatur
kehidupan sosial, satu hal yang menarik adalah bahwa justru
ia hampir senantiasa tertinggal di belakang objek yang
diaturnya. Ketika peraturan-peraturan menjadi kompleks
sifatnya, justru dengan semakin meluasnya pengaturan oleh
hukum itu dan hubungan-hubungan sosial lebih banyak
dituangkan ke dalam bagan-bagan yang abstrak, semakin
besar pula kemungkinan bagi tertinggalnya hukum di
belakang peristiwa dan perikelakuan yang nyata. Kenyataan
mengenai tertinggalnya hukum di belakang masalah yang
diaturnya sering dikatakan sebagai ciri hukum yang khas.
Menurut Yehezkel Dror, ketertinggalan itu hanya akan
terjadi apabila terjadi lebih dari sekadar ketegangan yang
tertentu, apabila hukum itu secara nyata tidak memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang timbul dari perubahanperubahan sosial yang besar yang apabila tingkah laku
sosial dan kesadaran akan kewajiban yang biasanya tertuju

31

kepada hukum berbeda dengan jelas dari tingkah laku yang
dikehendaki oleh hukum.

Hukum represif dan restitutif
Durkheim membuat perbedaan antara hukum yang
menindak (repressive) dan hukum yang mengganti
(restitutive). Hukum yang menindak ini adalah hukum
pidana. Hukum yang menindak mencerminkan masyarakat
yang bersifat kolektif. Hukum restitutif mencerminkan
masyarakat yang memiliki diferensiasi dan spesialisasi
fungsi-fungsinya. Dalam konsep hukum restitutif, hukum
yang dibutuhkan bukan lagi hukum yang cara bekerjanya
adalah dengan cara menindak, membatasi, tetapi yang
memberikan penggantian sehingga keadaanya menjadi
pulih lagi seperti semula. Yang membedakan sanksi ini
adalah bahwa ia tidak bersifat mengenakan denda tetapi
semata-mata hanya untuk memulihkan pada keadaan
semula.
Apakah hukum mempunyai kemampuan untuk
menggerakkan perubahan dalam masyarakat? Savigny,
pelopor aliran sejarah, dengan tegas menyangkal
kemungkinan penggunaan hukum sebagai sarana untuk
melakukan perubahan. Pendapatnya didasari oleh
konsepsinya mengenai hukum, yang melihat hukum sebagai
sesuatu yang tumbuh secara alamiah dari dalam pergaulan
masyarakat itu sendiri.
Dalam bentuk lebih modern, kita dapat menjumpai
pendapat yang sealiran dengan pandangan yang
dikemukakan dalam teori Marx. Marx mengakui bahwa
bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat
lambat laun akan tecermin pula di dalam hukumnya, tetapi
ia sama sekali menolak kemungkinan penggunaan hukum

32

untuk menimbulkan perubahan di bidang teknologi dan
ekonomi yang menjadi basis dari adanya hukum itu sendiri.
Apapun dikemukakan oleh teori-teori yang menentang
penggunaan hukum sebagai sarana untuk menggerakkan
perubahan sosial secara sadar, namun kenyataan yang kita
hadapi sekarang menunjukkan bahwa perundangperundangan
merupakan
sandaran
negara
untuk
mewujudkan kebijaksanaannya. Seperti yang dikatakan
Seidman, tata hukum itu merupakan saringan yang
menyaring kebijaksanaan pemerintah, sehingga menjadi
tindakan yang dapat dilaksanakan.

Hukum sebagai sarana rekayasa sosial
Ada dua fungsi yang dapat dijalankan oleh hukum di
dalam masyarakat, yaitu (1) sebagai sarana kontrol sosial
dan (2) sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial
(social engineering). Sebagai sarana kontrol sosial, hukum
bertugas untuk menjaga agar masyarakat tetap berada
dalam pola-pola tingkah laku yang diterima olehnya. Dalam
perannya yang demikian itu, hukum hanya mempertahankan
apa yang telah menjadi sesuatu yang tetap diterima di
masyarakat—atau hukum sebagai penjaga status quo.
Tetapi di luar itu, hukum masih dapat menjalankan
fungsinya yang lain dengan tujuan untuk mengadakan
perubahan-perubahan di masyarakat.
Dalam kaitannya dengan rekayasa sosial, dapat
digambarkan sebagai berikut: Orang mempelajari lahirnya
undang-undang, efek sampingnya yang negatif ataupun
positif, orang mempelajari apakah tujuan yang dicantumkan
di dalam undang-undang itu seringkali merupakan endapan
dari perjuangan politik atau keinginan-keinginan politik. Ia
merupakan sarana yang dipergunakan orang untuk

33

mencoba menimbulkan suatu keadaan tertentu di dalam
masyarakat, atau untuk mengendalikan keadaan. Kadangkadang, orang ingin menggunakan undang-undang itu
untuk menimbulkan suatu perubahan sosial yang nyata.
Penguasaan atau pengarahan proses sosial ini disebut
sebagai rekayasa sosial.

Batas-batas Kemampuan Hukum
Edwin M Schrur berpendapat bahwa para penulis hukum
biasanya mengakui bahwa peraturan-peraturan hukum itu
memberikan pengarahan, pengaruh dan efek yang
memperkuat. Pertanyaannya adalah seberapa banyak?
Pada umumnya, pengaruh hukum terhadap bidangbidang kehidupan sosial adalah tidak sama. Ada bidangbidang yang dengan mudah menerima pengaruh perubahan
yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan bidang yang lain
tidak dapat dipengaruhi semudah itu atau bahkan tidak
dapat dipengaruhi sama sekali. Yehezkel Dror berpendapat
bahwa tindakan-tindakan di dalam masyarakat yang
semata-mata bersifat instrumental, seperti dalam kegiatan
komersial, dengan nyata sekali dapat menerima pengaruh
dari peraturan-peraturan hukum yang baru.
Sebaliknya, bidang-bidang kehidupan sosial yang erat
hubungannya dengan kepercayaan dan lembaga-lembaga
yang bersifat dasar, serta yang berhubungan dengan
tindakan-tindakan yang merupakan ekspresi dari keyakinankeyakinan akan mengalami perubahan yang kecil sekalipun
dikeluarkan peraturan yang mencoba memberi bentuk dan
pengarahan kepada bidang-bidang tersebut, termasuk ke
dalam bidang-bidang ini adalah kehidupan keluarga dan
perkawinan.

34

Sekalipun banyak diakui bahwa bidang-bidang yang
bersifat “bebas dari unsur keyakinan, kepercayaan dan nilainilai” lebih mudah digarap dan diarahkan oleh hukum,
penyelidikan membuktikan bahwa dalam bidang-bidang
yang netral pun hukum tidak dapat sepenuhnya menguasai
keadaan sesuai dengan apa yang dikehendakinya. []

35

Mempelajari Keteraturan,
Menjumpai Ketidakteraturan:
Pembacaan Seorang Cantrik18
UNU P HERLAMBANG

JALAN yang dilalui seorang pendekar silat yang waskita
tidak pernah mulus. Untuk sampai pada pikiran yang lurus,
jalan yang lempeng-mulus adalah mustahil. Demikian Pak
Tjip: Awal perjalanannya memasuki dunia ‘persilatan’, sekitar
tahun 1950-an, dimulai di Fakultas Paedagogi Universitas
Gajah Mada; tidak lama kemudian, karena merasa kurang
puas, beliau pindah ke Fakultas Hukum dan Pengetahuan
Masyarakat Universitas Indonesia. Dalam babakan kedua di
bangku akademisi inilah yang kemudian mengantarkan Pak
Tjip menjadi suhu besar. Sedari awal, hukum tidak dilihatnya
sebagai media profesi, namun sebagai objek keilmuan
berdasarkan rasa keinginan tahu (curiosity). Sehingga, pada
waktu belajar hukum, beliau “selalu berusaha untuk melihat
kaitan dengan hal-hal di belakang hukum” (hlm 192).
Keinginannya untuk melihat logika sosial dari hukum lebih
besar daripada logika hukum atau peraturan perundang18

Karangan, yang merupakan ulasan dari pidato mengakhiri masa jabatan
sebagai Guru Besar Tetap yang berjudul “Mengajarkan Keteraturan,
Menemukan Ketidakteraturan” dalam buku Sosiologi Hukum: Esai-esai
Terpilih (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), anggitan Satjipto Rahardjo,
ini disampaikan dalam jagongan rutin Kaum Tjipian pada 5 November
2012 di Beranda Auditorium Imam Bardjo, SH, Universitas Diponegoro.

36

undangan. Walaupun konsekuensi dari kepo hukum itu,
beliau harus memakan waktu selama delapan tahun untuk
menyelesaikan pendidikan dan menjadi meester in de
rechten (sebutan untuk sarjana hukum waktu itu).
Dengan berbekal ijazah meester in de rechten, Pak Tjip
mulai memasuki kancah sebagai guru untuk ‘mengajarkan
hukum’ di Universitas Diponegoro. Menjadi bagian dari
sistem pendidikan hukum yang berlaku, mulanya beliau juga
turut meyakinkan mahasiswa bahwa hukum itu satu sistem
peraturan yang tersusun secara
logis, bahwa hukum menciptakan
keteraturan, kepastian hukum, dan
lain-lain (lihat hlm 192). Disadari
sepenuhnya bahwa berdiri di depan
mahasiswa yang nantinya akan
mengisi profesi di bidang hukum—
jaksa, advokat, dan hakim—beliau
pun ikut melarutkan diri ke dalam
wacana profesional: hukum sebagai
sistem yang rasional. Kerena itu
beliau “turut memasukkan ke dalam
pikiran mahasiswa tentang berbagai keharusan, dogma,
adagia, doktrin, asas, dan sebagainya yang biasa menjadi
kelengkapan bagi para profesional di bidang hukum” (hlm
194). Diakuinya sendiri, pada masa awal-awal itu beliau
belum banyak mempunyai waktu untuk merenungkan
secara lebih saksama kebenaran dari yang diajarkan kepada
mahasiswa.
“Artinya, yang dapat diajarkan sebetulnya barulah
berada pada aras konteks positif atau peraturan perundangundangan saja. Tetapi para mahasiswa saya tentu masih
ingat betapa saya senantiasa membedakan antara ‘fakultas
hukum’ dan ‘fakultas perundang-undangan’. Di situ sudah
37

dapat dikenali adanya kegelisahan kecil terhadap ilmu
hukum yang diajarkan kepada para mahasiswa” (hlm 194).
Cara berhukum (modern) ini, yang kita terima sebagai
warisan penjajahan Belanda, membuat perundangundangan memiliki kedudukan sangat sentral dalam
kehidupan berhukum Indonesia. Padahal, hukum dibaca
sebagai undang-undang. Hukum yang berkelindan dengan
undang-undang, adalah fenomena yang relatif baru
dibanding masa ribuan tahun sebelumnya: selama masa
ribuan tahun itu cara berhukum manusia tidak berputar di
seputar undang-undang, melainkan di seputar keadilan itu
sendiri.
Seiring mengalirnya waktu, akumulasi dari ‘kegelisahan
kecil’ itu lantas beliau tularkan kepada para mahasiswa
melalui buku Ilmu Hukum yang terbit pada awal 1980an:
“Esensi yang dituangkan ke dalam buku tersebut merupakan
semacam otokritik terhadap paham-paham absolut legaldogmatik yang waktu lalu turut saya komunikasikan kepada
mahasiswa” (hlm 195). Lewat Ilmu Hukum, mahasiswa dan
masyarakat umum diajaknya untuk melihat hukum sebagai
suatu institusi manusia dan bukan semata-mata media
profesi. Dengan nada provokatif beliau memaparkan
bahwasanya hukum modern yang kita terapkan bukan
merupakan hasil dari perkembangan di ‘alam’ Indonesia,
melainkan sebagai sesuatu yang ‘imposed from outside’.

Hukum: Perdebatan antara Profesi dan Ilmu
Tentunya saya (atau kita?) pernah berpikiran praktis,
yang dulu ketika memutuskan untuk
melanjutkan
pendidikan Program Strata-1 (S1) di Fakultas Hukum hanya
sebagai batu loncatan untuk masuk ke bidang profesi: jaksa,
hakim, advokat, notaris, dan lain sebagainya. Sebagai awam38

hukum, kita (atau saya?) melihat hukum adalah hukum yang
“ada untuk dirinya sendiri”. Sebuah sistem rasional yang
punya logika internalnya sendiri: logis, matematis, dan kakupositivistik. Hukum semata-mata mengenai ‘peraturan’ dan
‘sanksi’ dalam cita-citanya untuk mewujudkan keteraturan.
Tidak salah memang, nampaknya demikian yang terjadi
dalam sistem pendidikan tinggi hukum (dan pendidikan
tinggi lain). Program S-1 adalah program ketrampilan (skill),
sedangkan program pascasarjana (S-2 dan S-3) adalah
program keilmuan. Program yang disebut belakangan ini
“pada intinya adalah perburuan terhadap kebenaran
(searching for truth)” (hlm 199). Maka, program S-1 tidak
dapat disebut pendidikan keilmuan dalam arti yang
sebenarnya, melainkan sekadar ilmu praktis (practical
science). Menyangkut hal ini, lebih lanjut secara ringkas
beliau menjelaskan:
“Hukum sebagai objek studi program profesi adalah
lawyer’s law atau law for the lawyer atau law for the
professionals yang berbeda sekali dari hukum sebagai
objek studi program ilmu. Kebenaran mengenai hukum
jauh lebih luas dan dalam daripada hukum yang sudah
direduksi menjadi (sekadar) lawyer’s law” (hlm 199).
Dengan demikian, sejak dibuka pendidikan tinggi hukum
di Indonesia (program pascasarjana baru lahir pada
pertengahan 1980an), maka hukum yang menjadi kajian
intelektual di negeri ini mulai saat itu hingga berpuluhpuluh tahun kemudian sesungguhnya adalah lawyer’s law
atau law for the lawyer atau law for the professionals. Maka
tidak mengherankan, konsep hukum para profesionallah
yang dominan, tidak hanya di kalangan mereka sendiri,
melainkan meluas sampai ke masyarakat. Dengan lain kata,
bagi masyarakat, hukum yang lawyer’s law itulah yang
diterima sebagai hukum yang sebenarnya. Bicara mengenai
39

hukum adalah bicara mengenai hukum sebagai profesi. Di
luar itu tidak ada hukum.
Untuk mendiskusikan masalah tersebut, Pak Tjip
membuat konsep yang mampu menerangi masalah yang
dihadapi. Konsep itu adalah tatanan (order). Tatanan (order)
merupakan suatu wilayah yang amat luas dan sangat pantas
menjadi rujukan dalam mempelajari hukum secara ilmiah.
Tatanan adalah ‘hukum’ yang lebih utuh, sedangkan hukum
positif atau lawyer’s law hanya menempati satu sudut kecil
saja dalam peta tatanan yang utuh dan besar tersebut.
Beliau membagi ‘tatanan’ menjadi tiga bagian, yaitu (1)
tatanan transendental (transcendental order); (2) tatanan
sosial (social order); (3) tatanan politik (political order).
Secara luas, pembicaraan mengenai hukum akan berada
dalam tiga tatanan tersebut: “Maka tentu saja, apabila kita
berada dalam ranah keilmuan, kita tidak dapat meniadakan
salah satu dari tiga itu, semata-mata karena tidak benar lagi”
(lihat hlm 201).
“Kalau ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai institusi
pencarian kebenaran,” demikian kata Pak Tjip, “maka pada
waktu yang sama kita juga harus mengatakan, pencarian
kebenaran adalah proses yang dramatis” (hlm 204). Dalam
perburuannya, ilmu pengetahuan menyadari bahwa,
kebenaran itu sendiri (kebenaran absolut), tidak akan pernah
ditemukan. Seperti runtuhnya era fisika Newton yang
digantikan fisika kuantum. Sehingga garis perbatasan ilmu
pengetahuan, dalam misinya memburu kebenaran, selalu
berubah, bergeser labih maju.

Mencari Sebuah Keutuhan

ke

Suasana akademis dan intelektual menjelang peralihan
abad ke-21 menunjukkan sebuah pergerakan

40

meninggalkan cara berpikir yang linear dan terkotak-kotak
menuju kepada pemikiran yang lebih utuh (wholism,
Pak
Tjip
melihat
puncaknya
dengan
wholistic).
diterbitkannya buku Danah Zohar dan Ian Marshall yang
berjudul Spiritual Intellegence pada tahun 2000. Sejak
permulaan abad ke