Pembaharuan Hukum Progresif Dihubungkan dengan
Pembaharuan Hukum Progresif Dihubungkan dengan Perlindungan
Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Kesamaan Kedudukan
Dihadapan Hukum sebagai Upaya Penegakan HAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah
menyatakan diri sebagai Negara berdasarkan atas hukum. Pernyataan ini
dengan jelas terlihat dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyebutkan bahwa “Negara berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan
atas kekuasaan belaka” yang kemudian dalam sistem pemerintahannya tidak
bersifat absolutisme (kekuasaan tanpa batas) tetapi mengacu kepada konstitusi
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang melandasinya. Hukum
sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan
sah bukan hanya dalam keputusan melainkan juga dalam pelaksanaannnya
sesuai dengan hukum kodrat, dengan kata lain hukum harus sesuai dengan
ideologi bangsa sekaligus sebagai pengayom rakyat.1 Konsekuensi pengakuan
ini mengisyaratkan adanya lembaga-lembaga peradilan, sebab lembaga
peradilan ialah merupakan syarat bagi suatu negara yang menamakan diri
sebagai negara hukum.1
Semenjak tahun 1970-an, telah terdapat gelombang pasang yang nyata
dari demokrasi-demokrasi baru yang muncul dari negara-negara yang masa
lalunya bersifat otoriter atau totaliter, dimulai dari bagian selatan eropa, ke
amerika latin, ke bagian timur eropa serta negara-negara lainnnya, beberapa
pemimpin demokrasi baru telah memandang masa depan mereka dengan penuh
pengharapan, untuk mendefinisikan suatu visi tentang masa depan itu mereka
harus berekonsiliasi dengan warisan masa lalunya yang berupa pelanggaran
HAM yang ditinggalkan oleh rezim otoriternya yang baru saja berlalu, mereka
semua memiliki pengalaman yang sama dalam hal ini,meskipun jika tiap-tiap
negara memilih untuk mengadopsi berbaga mekanisme yang berbeda. 2
Dinamika pembaharuan hukum sangat erat kaitannya dengan Kejahatan
(crime) yang merupakan tingkah laku yang melanggar hukum dan melanggar
norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya.2 Dalam konteks
sosial, kejahatan merupakan fenomena sosial yang terjadi pada setiap tempat
dan waktu. Hal ini menunjukkan bahwa kejahatan bukan saja merupakan
masalah bagi suatu masyarakat tertentu yang berskala lokal maupun nasional,
tapi juga menjadi masalah yang dihadapi oleh seluruh masyarakat di dunia, pada
masa lalu, kini dan di masa mendatang, sehingga dapat dikatakan bahwa
kejahatan sebagai a universal phenomenon Transisi politik di negara
mengakibatkan kemajuan mengenai apa itu HAM oleh seluruh lapisan
masyarakat. Konsep HAM berhubungan erat dengan kondisi atau budaya hukum
1 Rusli Muhammad, 2006, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 1.
2 Juan E. Mendez, “in Defense of Transitional Justice,” dalam McAdams, hlm. 2.
disuatu negara. Apakah budaya hukum disuatu negara tertentu bersifat represif,
otonom, responsif atau bersifat ketiganya? 3
KUHAP sebenarnya telah mengakomodasikan perlindungan hak asasi
manusia yang dituangkan dalam banyak pasal sebagai hak-hak tersangka atau
hak-hak terdakwa secara memadai, akan tetapi dalam perjalanannya apa yang
tersurat dalam pasal-pasal di dalam KUHAP tersebut kurang ditaati dan
dilaksanakan dengan baik oleh aparat penegak hukum, khususnya pada tingkat
penyidikan dan penuntutan. Hal ini terbukti bahwa sekalipun KUHAP telah
memberikan batasan dengan asas-asas yang harus dipegang teguh oleh aparat
penegak hukum antara lain seperti :a) asas legalitas, b) asas praduga tidak
bersalah, c) asas yang menekankan tentang hak-hak tersangka dalam
memberikan keterangan secara bebas tanpa rasa takut, d) asas tentang hak
untuk mendapat pembelaan dan bantuan hukum dan lain-lain. akan tetapi di
dalam praktiknya banyak tindakan aparat penegak hukum dalam proses
peradilan pidana yang menyimpang akibat penggunaan kewenangan secara
tidak bertanggung jawab dan tidak terkontrol. Kewenangan yang sedianya
dimaksudkan untuk mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
telah berubah menjadi alat penindas dan penyiksa warga negara yang disangka
melakukan tindak pidana.4
Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945 yang menjamin hak-hak warga negaranya dan kesamaan
3 Kartini Kartono, 1992, Patologi Sosial, Jilid I Edisi Baru, Rajawali Press, Jakarta, hlm.
134.
4 L & J Law Firm, 2009, Hak Anda Saat Digeledah, Disita, Ditangkap, Didakwa,
Dipenjara, forum Sahabat, Jakarta, hlm. 24
kedudukan dihadapan hukum. Menurut Mardjono Reksodiputro 5, karena
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), maka pertamatama HAM harus merupakan bagian dari hukum Indonesia dan selanjutnya harus
ada prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM itu. Dalam
kaitan ini, maka fungsi Pengadilan untuk menentukan ada atau tidak adanya
pelanggaran atas ketentuan HAM sangat mempunyai kedudukan utama. Karena
itu suatu pemantauan nasional atas pelaksanaan HAM harus memenuhi syaratsyarat yaitu menjadikan HAM bagian dari hukum Indonesia, terdapat prosedur
hukum untuk melindungi dan mempertahankan HAM tersebut, terdapat
pengadilan yang bebas (an independent judiciary); dan adanya pula profesi
hukum yang bebas (an independent legal profession).
B. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaiman Sejarah Pembaharuan Hukum dari Represif, Otonom, Responsif
Sampai Kepada Progresif?
2. Bagaimana Konsep Pembaharuan Hukum Progresif dalam Penegakan
HAM ?
3. Bagaimana
Perlindungan
Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas
Kesamaan Kedudukan Dihadapan Hukum sebagai Upaya Penegakan HAM ?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui mengenai konsep hukum
represif, otonomi, responsif oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick dan akan
5 Mardjono Reksodiputro, 2007, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana
(Buku Ketiga), Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, hlm. 12-13.
dibandingkan
dengan
konsep
hukum progresif
oleh
Satjipto
Rahardjo,
menganalisis pembaharuan hukum progresif dalam penegakan HAM dan
mengkaji perlindungan
asas praduga tidak bersalah dan asas kesamaan
kedudukan dihadapan hukum sebagai upaya penegakan HAM.
D. Metode Penulisan
Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan didalam makalah
ini penulis menggunakan metode penulisan secara normatif, yaitu metode yang
dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka 6.
Dalam kaitannya dengan penelitian secara normatif, disini akan dilakukan
beberapa pendekatan, yaitu 7:
1. Pendekatan Perundang-undangan (statute Approach)
Suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum
yang berkaitan dengan rumusan masalah. Didalam makalah ini yang menjadi
acuan pendekatan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945,
2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan
ini
digunakan
untuk
memahami
konsep
mengenai
Demokrasi dan Hukum. Pendekatan ini digunakan untuk menyimpulkan
6 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, “Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat)”, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 13-14.
7 Johnny Ibrahim, 2007, “Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif”, Bayumedia
Publishing, Malang, hlm. 300.
beberapa masalah serta menganalisis pokok permasalahan didalam makalah
ini.
3. Pendekatan Historis (Historical Approach)
Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa
yang dipelajari dan perkembangan mengenai isu yang dihadapi. Telaah ini
digunakan untuk mengungkap sisi filosofis permasalahan serta pola pikir
yang melahirkan sesuatu yang relevan dengan perkembangan dimasa kini.
Dalam penulisan ini yang menjadi dasar sejarah adalah mengenai
perkembangan bentuk hukum dan demokrasi di Indonesia.
E. Kerangka Teori dan Konsep
1. Tipe Hukum Phillipe Nonet and Phillip Selznick 8
Phillip Selznick bahwa Nonet dan Selznick mengembangkan model
hukum dengan tiga tahapan evolusioner yakni:
1. Hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif)
2. Hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan
melindungi integritas dirinya (hukum otonom)
3. Hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan
aspirasi sosial (hukum responsif).
2. Tipe Hukum Progresif oleh Satjipto Rahardjo
8 Philippe Nonet and Philip Selznick, “Law and Societyin Transition: Toward Responsive
Law”, Butir analisis yang diambil melalui bahan materi yang telah dikumpulkan oleh Satya
Arinanto, Politik Hukum 2, 2004, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, hlm. 73-156.
Gagasan hukum progresif dikontruksi oleh enam madzhab hukum yaitu; legal
realism, sociological jurisprudence, freirechtslehre, interessenjurisprudenze,
teori hukum alam, dan critical legal studies. Satjipto Rahardjo secara tegas
menyampaikan
bahwa
hukum
progresif
menolak
tradisi
analytical
jurisprudence atau rechtsdogmatiek, dan berbagi paham dengan aliran legal
realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interessenjurisprudenze,
teori hukum alam, dan critical legal studies. Hukum progresif merupakan
koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan
birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum
liberal.9
F. Sistematika Penulisan dan Pembahasan
Bab I, berisikan pendahuluan dan sitematika terhadap penulisan makalah
yang berisi pokok permasalahan, metode penulisan, tujuan dan kerangka teori
yang akan dipakai dalam menganalisa makalah.
Bab II, berisikan pembahasan mengenai sejarah pembaharuan hukum
dari represif, otonom, responsif sampai kepada progresif, konsep pembaharuan
hukum progresif dalam penegakan HAM dan perlindungan asas praduga tidak
bersalah dan konsep asas kesamaan kedudukan dihadapan hukum sebagai
upaya penegakan HAM .
Bab III, merupakan penutup yang berisikan kesimpulan terhadap hasil
penulisan makalah ini dan saran yang Penulis tawarkan.
9 Satjipto Rahardjo. 2006. Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, hal. 1.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pembaharuan Hukum
1. Hukum Represif , Otonomi dan Responsif dalam Pandangan Philippe
Nonet dan Philip Selznick
Hukum modern muncul di Eropa pada awal abad XIX yang saat itu didominasi
oleh alam pemikiran positivistik sehingga menghasilkan doktrin Rule of Law
yang bercirikan:10
1) Formal rules: tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan;
2) Procedures: dilaksanakan melalui “aturan main” yang ketat;
3) Methodologist: mendewakan logika dalam penerapannya;
4) Bureaucreacy: hanya lembaga-lembaga formal yang diakui memiliki otoritas
untuk membuat, melaksanakan dan mengawasi hukum (legislatif, eksekutif
dan Yudikatif).
Rezim represif adalah rezim yang menempatkan seluruh kepentingan
dalam bahaya, dan khususnya kepentingan yang tidak dilindungi oleh system
yang berlaku dalam hal keistimewaan dan kekuasaan. Represi tidak harus
melibatkan penindasan dengan kasar (blatant oppression). Represi juga terjadi
ketika kekuasaan bersifat lunak tetapi hanya sedikit memperhatikan, dan tidak
secara efektif dikendalikan oleh, berbagai kepentingan yang ada.
Dalam bentuknya yang paling jelas dan sistematis, hukum represif
menunjukkan karakter-karakter berikut ini:11
1. Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik;
hukum diidentifikasikan sama dengan Negara dan ditempatkan dibawah
tujuan Negara (raison d’ etat).
2. Langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang paling penting
dalam administrasi hukum. Dalam “perspektif resmi” yang terbangun,
10 Periksa: Al. Wisnubroto, 1996, Iptek, Perubahan Masyarakat dan Hukum: Dalam
Kajian Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Paper, tidak diterbitkan), hlm. 20.
11 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Tarnsition; Toward rsponsive
law, Dalam Politik Hukum 2 dikumpulkan oleh Satya Arinanto, 2004, hlm. 76.
manfaat dari keraguan (the benefit of the doubt) masuk ke system, dan
kenyamanan administrative menjadi titik berat perhatian.
3. Lembaga-lembaga control yang terspesialisasi, seperti polisi, menjadi
pusat-pusat kekuasaan yang independen; mereka terisolasi dari konteks
sosial yang berfungsi memperlunak, serta mampu menolak, otoritas
politik.
4. Sebuah rezim “hukum berganda” (“dual law”) melembagakan keadilan
berdasarkan kelas dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitimasi
pola-pola subordinasi sosial.
5. Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan; moralisme hukum
yang akan menang.
Menurut Samuel P. Huntington, dalam dua (hingga tiga) 12 dekade terakhir
ini, kita melihat terjadinya revolusi politik yang luar biasa dimana transisi dari
otoritarianisme menuju demokrasi terjadi di lebih dari 40 negara. Rezim
otoritarian sebelumnya mengalami perubahan secara signifikan , termasuk
pemerintahan militer di Amerika Latin dan sebagainya; rezim satu partai di
negara komunis, juga Taiwan; diktator personal di Spanyol, Filipina, Rumania
dan di mana saja; serta oligarki rasial di Afrika Selatan. Proses transisi menuju
demokrasi ini juga sangat bervariasi. Dalam beberapa kasus, termasuk di
berbagai razim militer, kelompok reformis menguat di dalam rezim otoriter dan
mengambil inisiatif untuk mendorong transisi.13
12 Tambahan kata-kata di dalam kurung dari peneliti, Satya Arinanto dalam bukunya
yang berjudul “Satya Arinanto, 2011, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia,
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta., hlm. 98.
13 Samuel P. Huntington, “Mereformasi Hubungan Sipil Militer,” dalam larry Diamond dan
Marc F. Plattner, 2000, eds.Civil-Military Relation dan Democracy, atau Hubungan Sipil-Militer
dan Konsolidasi Demokrasi , PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 3.
Sumber represi yang paling besar adalah apa yang disebut Merriam
sebagai “miskinnya kekuasaan” (the poverty of power). Pola ini paling jelas
terlihat dalam tahapan pembentukan komunitas politik. Pembangunan bangsa
(nation building) pada akhirnya merupakan suatu transformasi loyalitas dan
kesadaran, tapi pada awalnya proses ini merupakan pekerjaan dari kaum elit
yang mempunyai kemampuan terbatas selain penggunaan kekuaatan dan
penipuan. Fenomena yang mendasari represi adalah miskinnya sumber daya
politik. Secara umum, potensi represi dibangkitkan ketika tugas yang urgen
harus dihadapi di dalam kondisi kekuasaan yang memadai namun kekurangan
sumber daya. Represi akan terjadi ketika sumber daya yang terbatas
menyebabkan diambilnya suatu kebijakan pengabaian yang halus.
Selain dari pada itu, pola pemerinatahan represif memiliki elemen-elemen
sebagai berikut:14
1. Perspektif resmi mencadangkan wilayah diskresi yang luas, yang
dijustifikasikan oleh klaim-klaim hak istimewa absolute atau keahlian
khusus.
2. Perspektif resmi melindungi pemegang otoritas dari tantangan dan kritik.
Ia mengakui “kekebalan penguasa” (sovereign immunity), menyepakati
sebuah asumsi mengenai keteraturan administratif, menjamin insibilitas
(tidak dapat diganggu gugat) keputusan-keputusan kelembagaan dan
mengurangi tanggung jawab untuk mereka.
3. Perspektif resmi membatasi tuntutan-tuntutan dengan menetapkan
aturan-aturan dengan menetapkan aturan-aturan yang kaku serta
14 Law and Society in Tarnsition; Toward reponsive law oleh Philippe Nonet dan Philip
Selznick, Op.Cit, hal. 84-85.
membatasi
akses.
Penumpukan
perkara
dipengadilan
menyusul
pembaruan mengenai perluasan hak untuk memberikan pendapat
menunjukkan betapa dalamnya sistem hukum telah bergantung pada
aksebilitasnya yang terbatas.
Didalam kajian hukum represif lebih kepada mementingkan keberadaan
penguasa sehingga dapat disimpulkan bahwa pandangan hukum represif masih
sangat tradisional dan masih mementingkan golongan atas. Dalam sistem
hukum represif biasanya digunakan di negara yang menganut pemerintahan
monarki atau feodal.
Berkenaan dengan hukum otonom berorientasi kepada mengawasi
kekuasaan represif. Dalam arti ini hukum otonom merupakan antitese atau
ketidak percayaan dari hukum represif dalam cara yang sama seperti
“kekuasaan oleh hukum”. Secara sederhana, penganut hukum otonom
beranggapan bahwa hukum hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah
berhubungan dengan kekuasaan berdasar hukum atau hukum sebagai pranata
yang mampu menjinakkan represi (penindasan) dan melindungi integritas
sendiri.
Jika ditelisik lebih lanjut, hukum otonom ini bercirikan mengawasi pemerintahan
yang ada agar dapat melakukan check and balance antara penguaa, swasta dan
masyarakat serta mengawasi sistem kerja dari pemerintahan. Adapun Ssifat-sifat
paling penting dari hukum otonom adalah: 15
15 Ibid, hlm. 105-107.
1. Penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk
mengawasi kekuasaan resmi dan swasta.
2. Terdapat pengadilan yang dapat didatangi secara bebas yang tidak dapat
dimanipulasi oleh kekuasan politik dan ekonomi serta bebas daripadanya
dan yang memiliki otoritas ekskluif untuk mengadili pelanggar hukum baik
oleh para pejabat umum maupun oleh individu-individu swasta. Sebuah
prinsip penting dari hukum otonom adalah terpisahnya dari politik.
3. Perhatian yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan
prosedural mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan
hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan ketat dilihat sebagai suatu tujuan
tersendiri dan hukum menjadi terlepas dari tujuan. Hasilnya adalah
legalisme dan formalisme birokrasi.
4. Keadilan prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif.
5. Penekanan atas kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan pandangan
tentang hukum sebagai suatu sarana kontrol sosial.
Sifat hukum otonom yang berpusat pada peraturan memiliki dasar yang
sangat praktis:16
1. Peraturan merupakan sebuah sumber yang andal untuk melegitimasi
kekuasaan.
2. Ketika hakim dibatasi oleh peraturan, cakupan diskresinya menjadi
sempit. Akibatnya kekuasaan yudikatif, karena nampak terbatas, lebih
mudah untuk memberikan justifikasi sehingga ancaman terhadap para
pembuat keputusan politik pun menjadi kendor.
3. Meningkatnya jumlah peraturan mengundang
mendatangkan permasalahan konsistensi.
16 Ibid, hlm. 105-107.
kompleksitas
dan
4. Orientasi pada peraturan cenderung membatasi tanggung jawab sistem
hukum. Ketika keadilan dilaksanakan dengan cara-cara yang ditentukan
terlebih dahulu, proses hukum dapat melestarikan sumber-sumber
dayanya yang terbatas.
5. Hukum otonom, meski menjinakkan represi, tetap berkomitmen pada
gagasan bahwa hukum terutama adalah sebuah sarana kontrol sosial.
Dalam hukum otonom peraturan dibuat untuk membatasi pemerintahan
sekaligus mengawasinya. Masyarakat dalam tipe hukum otonom akan
menempatkan pemerintah agar taat dengan aturan. Didalam hukum otonom
dapat dilihat semakin banyaknya peraturan dari pada di hukum represif, dimana
didalam hukum otonom peraturan digunakan sebagai pengawass pemerintahan,
namun, kemudian timbul masalah bahwa tujuan hukum yang sesungguhnya
adalah bukan semata mewujudkan keadilan prosedural semata. Sehingga dapat
dikatakan bahwa hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil, hukum
semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya
komitmen bagi tercapainya keadilan substantif.
Setelah kegaduhan tipe hukum represif dan otonom kemudian muncullah
tipe hukum lainnya yaitu tipe hukum responsif. Penganut realisme hukum (legal
realism) memiliki tujuan utama yaitu membuat hukum menjadi lebih responsif
terhadap kebutuhan sosial. Untuk mencapai tujuan ini, mereka mendorng
perluasan bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum, agar pola pikir
dan nalar hukum dapat mencakup pengetahuan di dalam konteks dinamika
kehidupan sosial dan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan para
penegak atau aparat hukum.
1. Kekuasaan politik memiliki akses langsung pada istnitusi hukum sehingga
tata hukum praktis menjadi identik dengan negara, dan hukum disubordinasi
pada “rasion de etre”
2. Konservasi otoritas menjadi preokupasi berlebihan para pejabat hukum yang
memunculkan “perspektif pejabat, yakni perspektif yang memandang
keraguan
harus
menguntungkan
sistem
dan
sangat
mementingkan
kemudahan admnistratif.
3. Badan kontrol khusus menjadi pusat kekuasaan independen yang terisolasi
dari konteks sosial yang memoderatkan dan kapabel melawan otoritas politik.
4. Rezim
hukum
ganda
mengintitusionalisasi
keadilan
kelas
yang
mengkonsolidasi dan melegitimasi pola-pola subordinasi sosial.
5. Perundang-undangan pidana mencerminkan dominan mores yang sangat
menonjolkan legal moralism. 17
Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusiinstitusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi
dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedurprosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain.
Keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi
sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan
17 Ibid, hlm. 110
tetapi akan tidak lagi mengandung arti khusus, dan aksi-aksi institusional akan
disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial,
namun akan tidak lagi merupakan satu sumbangan yang khusus kepada
masalah-masalah sosial. Konsep hukum responsif melihat suatu pemecahan
untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan
integritas. Jawaban dari hukum responsif adalah adaptasi selektif ke dalam
tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan baru. Apakah yang menjadi kriteria
seleksinya? Tidak lain daripada kekuasaan berdasar hukum yang dicita-citakan,
tetapi sekarang tidak lagi diartikan sebagai kepantasan prosedural formal,
melainkan sebagai reduksi secara progresif dari kesewenang-wenangan dan
penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Jadi
hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan ia
memeperluasnya untuk mencakup keadilan substantif. Dua ciri yang menonjol
dari konsep hukum responsif adalah: 18
a) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan;
b) pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk
mencapainya.
Khudzaifah Dimyati menyampaikan bahwa ketiga tipe hukum tersebut
merupakan konsepsi yang abstrak dan jarang atau tidak pernah terwujud dalam
bentuk-bentuk yang murni secara empiris. Setiap tata tertib hukum atau institusi
hukum yang ada mungkin bersifat campuran dengan mencakup aspek-aspek
dari ketiga tipe hukum. Akan tetapi, mungkin saja unsure-unsur dari salah satu
18 Ibid.
tipe akan lebih menonjol, sehingga wujud dasar suatu hukum tertentu akan bias
dikenali sebagai represif, otonom, dan responsif. 19
Nonet dan Selznick berpandangan bahwa ketiga tipe hukum ini harus
dilihat sebagai berkaitan satu sama lain di dalam suatu proses perkembangan.
Hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif tidak hanya merupakan
tipe-tipe hukum yang berbeda satu sama lainnya, melainkan dapat juga diartikan
sebagai tahap-tahap evolusi didalam hukum dengan tata politik dan tata sosial. 20
2. Penyempurnaan Hukum Represif, Otonomi dan Responsif dalam
Pandangan Philippe Nonet dan Philip Selznick Menuju Hukum Progresif
Dari paparan mengenai hukum represif, otonom dan responsip diatas, Penulis
membandingkan dengan tipe hukum yang disebut hukum progresif. Lebih lanjut
Satjipto Rahardjo menyampaikan bahwa pemahaman hukum secara legalistik
positivis dan berbasis peraturan tidak mampu menangkap kebenaran. Dalam
ilmu hukum yang legalistis-positivis, hukum sebagai pengaturan yang kompleks
telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, dan
deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Dalam konteks hukum
Indonesia, doktrin dan ajaran hukum demikian yang masih dominan. 21
Beliau memberikan istilah berbeda tentang hukum responsif, yaitu hukum
progresif, akan tetapi secara tegas beliaupun menyampaikan bahwa hukum
progresif memiliki tipe responsif.22 Ide utama hukum progresif adalah
19 Khudzaifah Dimyati, 2004, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hlm. 103.
20 Nonet, Philippe and Philip Selznick, 2003, Law and Society in Transition: Toward
Responsif Law (edisi terjemahan oleh Huma), Huma, Jakarta, hlm. 62.
21 Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, hlm. X.
22Ibid, hal. 2.
membebaskan manusia dari belenggu hukum. Hukum berfungsi memberi
panduan bukan justru membelenggu, manusia-manusialah yang berperan lebih
penting. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum
hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab
perubahan dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani
masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya
manusia penegak hukum itu sendiri. 23
Hukum itu bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final
melainkan
sangat
menggunakannya.
bergantung
Hukum
pada
adalah
bagaimana
institusi
yang
manusia
secara
melihat
dan
terus-menerus
membangun dan mengubah dirinya menuju pada tingkat kesempurnaan yang
lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasikan kedalam faktorfaktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah
hakekat hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as process, law in the
making).24 Hukum progresif lebih mengunggulkan aliran realisme hukum dan
penggunaan optik sosiologis dalam menjalankan hukum. Sebab cara kerja
analitis yang berkutat dalam ranah hukum positif tidak akan banyak menolong
hukum untuk membawa Indonesia keluar dari keterpurukannya. 25
Hubungan hukum progresif dengan Critical Legal Studies (CLS) yang
muncul di Amerika tahun 1977 yang langsung menusuk jantung pikiran hukum
Amerika yang dominan, yaitu suatu sistem hukum liberal yang didasarkan pada
23 Ibid, hal. 4.
24 Ibid, hal. 2.
25 Ibid, hal. 6.
pikiran politik liberal. Hukum progresif juga menggandeng kritik terhadap sistem
hukum yang liberal itu, karena hukum di Indonesia juga turut mewarisi sistem
tersebut. Akan tetapi hukum progresif memiliki basis yang lebih luas dari tujuan
yang lebih luas pula dibandingkan CLS. 26
Satjipto Raharjo mencoba menyoroti kondisi dalam situasi ilmu-ilmu
sosial, termasuk Ilmu Hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika, tetapi
pada dasarnya terjadi perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang
dirumuskannya dengan kalimat “dari yang sederhana menjadi rumit” dan “dari
yang terkotak-kotak menjadi satu kesatuan”. Inilah yang disebutnya sebagai
“pandangan holistik dalam ilmu (hukum) Pandangan holistik ini memberikan
kesadaran visioner bahwa sesuatu dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang
saling berkaitan baik dengan bagian lainnya atau dengan keseluruhannya.
Misalnya saja untuk memahami manusia secara utuh tidak cukup hanya
memahami, mata, telinga, tangan, kaki atau otak saja, tetapi harus dipahami
secara menyeluruh. Diilhami oleh gagasan Edward O. Wilson melalui tulisannya
menjadi acuan para penstudi hukum yaitu Consilience; The Unity of Knowledge,
membawa kita kepada pandangan pencerahan tentang kesatuan pengetahuan,
sebagaimana dijelaskan Ian G. Barbour, “Wilson berpendapat bahwa kemajuan
sains merupakan awal untuk melakukan penyatuan (unifikasi) antara sains alam,
sains sosial dan sains kemanusiaan. Pencarian hubungan antar disiplin
26Ibid, hal. 8.
merupakan tugas yang sangat penting, dan Wilson menghinpun beberapa
disiplin secara luas dan anggun”.27
Menurut Huntington, sesungguhnya semua rezim otoritarian, apapun
tipenya, mempunyai kesamaan dalam satu hal:hubungan sipil-militer mereka
tidak terlalu diperhatikan. Hampir semua tidak memiliki karakteristik hubungan
sipil-militer sebagaimana yang ada di negara industrial yang demokratis, yang
disebutnya dengan istilah “kontrol sipil obyektif” (Objective Civilian Control).
Dalam kediktatoran personal, penguasa melakukan apa saja untuk memastikan
bahwa militer disusupi dan dikontrol oleh kaki tangan dan kroni-kroninya, yang
memecah belah dan bekerja untuk menjaga cengkraman kekuasaan diktator.
Dalam pemerintahan satu partai, hubungan sipil-militer tidak begitu berantakan,
tetapi militer dipandang sebagai instrumen dari partai; pejabat militer harus
merupakan anggota partai; komisaris politik dan unsur-unsur partai paralel
dengan rangkaian komando militer; dan loyalitas tertingginya lebih diutamakan
kepada partai daripada kepada negara. 28
Karena itu negara-negara demokrasi baru menghadapi tantangan yang
serius untuk mereformasi hubungan
sipil-militer mereka secara drastis.
Tantangan ini tentu saja hanya salah satu dari sekian banyak tantangan lainnya.
Negara-negara tersebut juga harus membangun kekuasaan di wilayah publik,
merancang konstitusi baru, menciptakan sistem kompetisi partai dan institusiinstitusi demokrasi lainnya, liberalisasi, privatisasi, dan bergerak ke arah
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,
Muhamadyah Press University, 2004, halaman 18.
28 Samuel P. Huntington, 2010, “Mereformasi Hubungan Sipil Militer,” dalam larry
Diamond dan Marc F. Plattner, eds.Civil-Military Relation dan Democracy, atau Hubungan SipilMiliter dan Konsolidasi Demokrasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 4.
27
ekonomi pasar, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menahan laju
inflasi dan pengangguran , mengurangi defisit anggaran, membatasi kejahatan
dan korupsi, serta mengurangi ketegangan dan konflik antaretnis dan kelompok
agama.29
Jika membandingkan antara hukum represif, otonom, dan responsif
dengan hukum progresif, maka kita akan berbicara mengenai politik hukum
disuatu negara. Dalam masa transisi politik, Usaha untuk menaati kedaulatan
hukum dalam masa gejolak politik terkadang menimbulkan dilema. Terdapat
ketegangan dalam hukum dalam masa transisi, yang sering kali melihat ke
belakang selain ke depan, mapan sekaligus dinamis. Dalam dilema ini,
kedaulatan hukum pada akhirnya menjadi kontekstual; alih-alih merupakan dasar
tatanan hukum saja, ia juga memediasi pergeseran normatif yang mencirikan
masa-masa tidak biasa tersebut. Di negara-negara demokratis, pandangan kita
adalah bahwa kedaulatan hukum memiliki arti ketaatan pada aturan yang sudah
ada, yang dipertentangkan dengan tindakan pemerintah secara sewenangwenang.30
29 Ibid., hal. 4-5; sebagai bahan diskursus lihat pula Homes, Brenton dan Satya
Arinanto, “Komisi Konstitusi: Catatan dari Filipina,” (Makalah disampaikan dalam diskusi Publik
tentang “Pembentukan Komisi Konstitusi” yang diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil
untuk Komisi Konstitusi di Jakarta, 25 April 2001).
30Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University of Chicago Press,
1944), hal. 72 dalam Ruti G. Teitel, Keadilan Transisional (Sebuah Tinjauan Komperehnsif)”,
(Jakarta: ELSAM, 2004), Hal. 10, bahwa (“Pemerintah dalam semua tindakannya diikat oleh
aturan yang ditetapkan dan diumumkan sebelumnya – aturan yang memungkinkan untuk
meramalkan dengan penuh kepastian bagaimana pemegang kekuasaan akan menggunakan
kekuasaannya dalam kondisi tertentu dan untuk merencanakan tindakan individual berdasarkan
pada pengetahuan ini”.) Untuk pembicaraan tentang pemahaman umum mengenai pe
merencanakan tindakan individual berdasarkan pada pengetahuan ini”.) Untuk pembicaraan
tentang pemahaman umum mengenai peran kedaulatan hukum di negara-negara demokrasi
sebagai batasan terhadap penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang, lihat Roger
Hampir ada kemiripan dan hubungan antara kedua teori hukum tersebut.
Apalagi bila mengutip apa yang disampaikan Satjipto Rahardjo dalam salah satu
tulisannya yang menyatakan bahwa hukum progresif memiliki tipe responsif.
Dalam tipe yang demikian itu, hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di
luar narasi tekstual hukum itu sendiri. 31 Teori hukum progresif merupakan
pengembangan lebih lanjut dari hukum responsif yang bersumber dari legal
realism dan sociological jurisprudence.
B. Hukum Progresif dan Hubungannya dengan Perlindungan HAM
1. Hukum Progresif sebagai Konsepsi Perlindungan HAM
Konsep dari hukum progresif sebagai penyempurnaan dari hukum represif,
otonom dan responsif, jika dilihat secara keseluruhan mengandung konsepsi
HAM. Keadilan substantif inilah yang belum menjadi orientasi penegakan hukum
di Indonesia, sehingga hukum diartikan apa yang tertulis dalam undang-undang
semata. Padahal hukum tidak berdiri sendiri sebagai subsistem sosial, akan
Cotterell, The Politics of Jurisprudence: A Critical Introduction to Legal Philosophy (Philadelphia:
University of philadelphia Press, 1989), 113-14, yang menjelaskan bahayanya memandang
negara sebagai entitas yang mengatasi hukum. Untuk penjelasan tentang kaitan antara hukum
dengan demokrasi, lihat Jean Hampton, “Democracy and the Rule of Law,” dalam Nomos
XXXVI: The Rule of Law, ed. Ian Saphiro (New York: New York University Press, 1995), 13.
Penjelasan klasik tentang syarat minimum legalitas ditemukan dalam Lon L. Fuller, The Morality
of Law (New Haven: Yale University Press, 1964), 33-34. Ronald Dworkin menawarkan
pemaparan kontemporer yang terpenting tentang teori kedaulatan hukum yang substantif. Lihat
Ronald Dworkin, A Matter of Principle ( Cambridge: Harvard University Press, 1985), 11-12
(Dworkin berpandangan bahwa “konsepsi hak” dalam kedaulatan hukum mensyaratkan,
sebagai bagian dari pandangan ideal tentang hukum, bahwa aturan-aturan yang tertulis
mencakup dan melaksanakan hak-hak moral). Lihat juga Frank Michelman, “Law’s Republic”,
Yale Law Journal 97 (1988): 1493 (yang memaparkan interpretasi modern tentang
pemerintahan oleh hukum melalui reinterpretasi teori politik republikanisme kemasyarakatan
(civil republicanism) .
31 Satjipto Rahardjo, 2006, Op.Cit, hlm. xiii
tetapi ada subsistem sosial lain yang juga ikut mempengaruhinya. Wacana
hukum responsif ini terus bergulir menggeser paradigma lama penegakan hukum
di Indonesia. Sebuah harapan besar perbaikan hukum yang selama ini
didambakan seluruh rakyat Indonesia. Para pakar hukum pun semakin gencar
memasyarakatkan teori hukum responsif, salah satu pakar yang cukup dekat
dengan teori hukum responsif adalah Satjipto Rahardjo yang mengambil
pemikiran dan mengembangkan hukum responsif dalam versi Indonesia menjadi
hukum progresif. “ Satjipto Rahardjo secara tegas menyampaikan bahwa hukum
progresif menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek, dan
berbagi paham dengan aliran legal realism, freirechtslehre, sociological
jurisprudence, interessenjurisprudenze, teori hukum alam, dan critical legal
studies. Hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum
modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi
suatu tipe hukum liberal.32
Membicarakan Hak Asasi Manusia (HAM)33 berarti membicarakan dimensi
kehidupan manusia. HAM, ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan
32 Satjipto Rahardjo, 2006, Op.Cit. hlm. 1
33 Secara etimologis, Hak Asasi Manusia terbentuk dari 3 kata, hak, asasi, dan manusia.
Dua kata pertama, hak dan asasi berasal dari bahasa Arab, sementara kata manusia adalah
kata dalam bahasa Indonesia. Kata haqq terambil dari akar kata haqqa, yahiqqu, haqqaan,
artinya benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. Apabila dikatakan yahiqqu ‘alaika an taf’ala kadza,
itu artinya “kamu wajib melakukan seperti ini.” Berdasarkan pengertian tersebut, maka haqq
adalah kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Kata asasly berasal dari akar kata assa, yaussu, asasaan, artinya membangun, mendirika,
meletakkan. Dapat juga berarti asal, asas, pangkal, dasar dari segala sesuatu. Dengan
demikian, asasi artinya segala sesuatu yang bersifat mendasar dan fundamental yang selalu
melekat pada objeknya. Dalam bahasa Indonesia Hak Asasi Manusia diartikan sebagai hak-hak
mendasar pada diri manusia.
kebaikan dari negara.34 Dalam tataran konseptual35 HAM mengalami proses
perkembangan yang sangat kompleks. Perkembangan HAM dilandasi pada
pemikiran tentang hak-hak manusia yang bersifat kodrati, inheren dan tidak
dapat dicabut. Pemikiran ini, yang juga dilandasi dengan dukungan berbagai
ajaran dan teori tersebut, telah mendorong revolusi Perancis dan revolusi
Amerika, yang tercermin kemudian dalam dokumen-dokumen HAM saat itu.
Sejalan dengan itu, muncul prinsip-prinsip demokrasi sebagai bentuk kebebasan
politik yang memastikan adanya kebebasan warga negara untuk berpartisipasi
aktif, atau mengambil bagian dalam proses pembuatan keputusan politik. 36
34 Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), Hal. 121.
35 Todung Mulya Lubis, In search of human rights: Legal Political Dillemmas of
Indonesia`s New Order, 1966-1990 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), Hal. 14-25.
Todung Mulya Lubis menyebutkan ada 4 teori HAM, yaitu pertama hak-hak alami (natural
rights), berpandangan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh umat manusia pada
segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia (human rights are rights that
belong to all human beings at all times and in all places by virtue og being born as human
beings). Kedua, teori positivis (positivist theory), yang berpandangan bahwa karena hak harus
tertuang dalam hukum yang riil, maka dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi
(rights, then should be created and granted by constitution, laws and contracts).pandangan ini
secara nyata berasal dari ungkapan bentham yang mengatakan, rights is a child of law, from
real laws come real rights, but from imaginary law, laws of nature, come imaginary rights.
Natural rights is simple nonsens, natural and impresicible rights rhetorical nonsense, nonsens
upon still. Ketiga, teori relativitas kultural (cultural relativist theory). Teori ini adalah salah satu
bentuk anti-tesis dari teori hak-hak alami (natural rights). Teori ini berpandangan bahwa
menganggap hak itu bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural terhadap
dimensi kultural yang lain, atau disebut dengan imperialisme kultural (cultural imperialism), yang
ditekankan dalam teori ini adalah bahwa manusa merupakan interaksi sosial dan kultural serta
perbedaan tradisi budaya dan peradaban berisikan perbedaan cara pandang kemanusiaan
(different ways of being human). Oleh karenanya, penganut teori ini mengatakan, that rights
belonging to all beings. Keempat, doktrin Marxis (Marxist doctrine and human rights). Doktrin
Marxis menolak teori hak-hak alami karena negara atau kolektivitas adalah sumber galian
seluruh hak (repositiory of all rights).
36Zainal Abidin, Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Di akses dari
http://pamflet.or.id, Pada Tanggal 15 Mei 2016, Pukul 12.00 WIB.
Dalam konteks Indonesia, wacana HAM masuk dengan “indah” ke dalam
pemikiran bangsa37 HAM diterima, dipahami selanjutnya diaktualisasikan dalam
bingkai formulasi kebijakan dan perkembangan sosio-historis dan sosio-politis.
Dalam konteks reformasi, tidak jarang fenomena euforia demokrasi menjadikan
HAM sebagai “kendaraan” untuk menjerat dan menjatuhkan seseorang. HAM
berubah menjadi dua buah mata pisau, yang pada satu sisi mengedepankan
dimensi humanisme manusia tetapi pada sisi yang lain ia terlalu menakutkan
bagi setiap orang terlebih lagi pengambil kebijakan karena didalamnya sarat
dengan hegemoni dan kooptasi.38
Sebenarnya hingga saat ini belum ada suatu definisi HAM yang baku dan
bersifat otoritatif (mengikat). Berkaitan dengan hal itu, H. Victor Condé
mengatakan bahwa belum ada definisi HAM yang diterima secara universal dan
otoritatif. Banyak yang mendefinisikannya sebagai suatu klaim yang dapat
dipaksakan secara hukum atau hak yang dimiliki oleh manusia vis-á-vis
pemerintahan negara sebagai perlindungan terhadap martabat manusia yang
bersifat melekat dari manusia. Definisi HAM lainnya yang telah dikenal yaitu
HAM secara umum dapat didefinisikan sebagai hak-hak yang melekat pada diri
manusia dan tanpa hak tersebut kita tidak dapat hidup sebagai manusia. 39
Gagasan mengenai hak asasi manusia ditandai dengan munculnya
konsep hak kodrati (natural rights theory) dimana pada zaman kuno yaitu filsafat
37 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia,2007, Kencana,
Jakarta, hlm. 3, Majda mengatakan bahwa Perbincangan Ham dalam Konteks Konstitusi
Indonesia merupakan diskusi yang intens. Sejarah mencatat, perdebatan HAM telah dimulai
pada saat perumusan negara Indonesia.
38 Majda El-Muhtaj, 2007, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta,
hlm. 4.
39 H. Victor Condé, 1999, A Handbook of International Human Rights Terminology,
Lincoln N.E.: University of Nebraska Press, hlm. 15. Hal itu dinyatakan sebagai berikut: “There
is no universally accepted and authoritative definition of human rights. Many define it as a
legally enforceable claim or entitlement that is held by an individual human being vis-á-vis the
state government for the protection of the inherent human dignity of the human being”.
stoika hingga ke zaman modern dengan tulisan-tulisan hukum kodrati Thomas
Aquinas, Hugo de Groot dan selanjutnya pada zaman pasca Reinaisans, John
Locke mengajukan pemikiran tentang hukum kodrati sehingga melandasi
munculnya revolusi yang terjadi di Inggris , Amerika Serikat dan Perancis pada
abad 17 dan 18.
Berkembangnya ide tentang perlindungan terhadap HAM relatif baru yaitu
sejak awal dan pertengahan abad ke-20 bersamaan dengan meluasnya aspirasi
dekolonisasi negara-negara yang dijajah dunia barat. Sebelumnya, ide tentang
perlindungan terhadap HAM itu tumbuh dilingkungan negara-negara Barat
sendiri yang oleh para ilmuwan dikemudian hari dikaitkan dengan gerakangerakan pembebasan yang timbul di Eropa, mulai abad ke-13 sampai akhir abad
ke-18.40 Sebenarnya, beberapa prinsip hak asasi manusia juga sudah tumbuh
dalam tradisi politik indonesia itu sendiri jauh sebelum bangsa barat datang ke
indonesia. Malah, oleh Muhammad Yamin dikatakan bahwa dalam lingkaran
peradaban bangsa indonesia sejak beratus-ratus tahun lamanya, setiap manusia
memang mempunyai hak dan kewajiban terhadap diri sendiri, kepada keluarga,
kepada masyarakat, dan kepada negara. Hak dan kewajibannya itu menurut
muhammad yamin diakui dan diatur melalui hukum adat. Bahkan ada juga
sebagian yang sudah dituliskan.
Sebelum membahas mengenai sejarah HAM di Indonesia, perlu dikaji
mengenai pemikiran tentang hukum kodrati 41 berakar dari kekuatan konservatif
40 Ibid.
41 Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam
Pergaulan Internasional, Grafiti, jakarta, hlm. 2.
yang ingin melindungi properti-properti tertentu dengan selimut suci yang
merupakan cikal bakal munculnya keprcayaan untuk melindungi HAM.
Motif tersebut diakui sebagai hak fundamental dari setiap individu dalam
hidupnya. Namun uniknya dibalik sifat konservatif gagasan hukum kodrati tadi,
ternyata tersimpan juga motif yang revolusioner, hal ini terbukti ketika pemikiran
hukum kodrati tentang kesetaraan manusia terkandung dalam dokumen hukum
di Amerika dan Perancis yang bertujuan untuk melindungi hakhak asasi manusia.
42
Namun, dari filosofi tersebut muncullah perlawanan bertolak dari
keyakinan baru bahwa kekuasaan pemerintahan mestilah dirujukkan ke
kedaulatan rakyat, dan tidak langsung ke kekuasaan Tuhan. Inilah kedaulatan
manusia-manusia yang semula diperintah sebagai hamba-hamba oleh para raja
yang pandai berkilah bahwa titah-titah adalah merupakan representasi kehendak
Tuhan.
Hukum HAM internasional memperluas alasan diskriminasi. UDHR
menyebutkan beberapa alasan diskriminasi, antara lain: ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau opini lainnya, nasionalitas atau
kebangsaan, kepemilikan akan suatu benda (property), kelahiran atau status
lainnya. Semua itu merupakan alasan yang tidak terbatas dan semakin banyak
pula instrumen yang memperluas alasan diskriminasi termasuk di dalamnya
orientasi seksual, umur dan cacat tubuh.43
42 Antonius Cahyadi dan E Fernando M Manulang,2008, Pengantar filsafat Hukum, cet.
2, Kencana, Jakarta, hlm. 42.
43 Wiliam R. Slomanson, 2000, Fundamental Perspectives on International Law, 3rd
Edition, Belmont:
Wadsworth, hlm. 172.
Inilah kedaulatan rakyat awam yang kini telah mampu berartikulasi untuk
menuntut pengakuan atas statusnya yang baru warga bebas pengemban hak
yang kodrati, atas dasar keyakinan bahwa suara kolektif mereka adalah
sesungguhnya suara Tuhan. Vox populi, “vox Dei” Di sinilah bermulanya
pemikiran ulang tentang batas-batas kewenangan raja di satu pihak dan luasnya
hak dan kebebasan rakyat yang asasi di lain pihak. Dalam pemikiran baru ini,
kuasa raja atau kepala negara beserta aparatnya itu kini tidak lagi boleh
dikonsepkan sebagai refleksi kekuasaan Tuhan yang oleh sebab itu juga tak
terbatas. Kekuasaan negara itu mestilah terbatas dan punya batas, dibatasi oleh
dan berdasarkan perjanjiannya dengan rakyat.
44
Kekuasaan negara di tangan penguasa-penguasa pemerintahan tidak lagi
dikonsepkan sebagai kekuasaan yang berasal dari kuasa Tuhan, atas dasar
perjanjian dengan-Nya, entah itu Perjanjian Lama entah itu Perjanjian Baru.
Demikian antara lain oleh Jean J. Rousseau yang menulis Du Contract Social
pada tahun 1776. Rousseau inilah yang menteorikan suatu dasar pembenar
moral falsafati bahwa rakyat yang bukan lagi kawula, melainkan warga itu, lewat
proses-proses politik yang volunter dan sekaligus konstitusional, bersetuju untuk
membatasi kebebasannya pada suatu waktu tertentu berkenaan dengan kasuskasus tertentu demi dimungkinkannya terwujudnya kekuasaan pemerintahan
pada waktu tertentu untuk urusan tertentu.45
44 Mohammad Ryan Bakry, 2010, Implementasi Hak Asasi Manusia, FH UI, hlm. 28.
45 Menurut Satya Arinanto, generasi-generasi HAM dibagi atas tiga: (1). Generasi
pertama, pemikiran mengenai konsepsi HAM yang sejak lama berkembang dalam wacana para
ilmuwan sejak era enlightment di eropa, meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum
internasional yang resmi. Puncaknya adalah penandatanganan Universal Declaration of Human
Right. Elemen dasar konsepsi HAM adalah soal prinsip Integritas manusia, kebutuhan dasar
manusia, dan prinsip kebebasan sipil;(2). Generasi kedua konsepsi HAM mencakup pula upaya
Konsep dasar HAM di Indonesia dapat ditemukan peraturannya dalam
UUD 1945. Indonesia sendiri menyusun UUD 1945 sebelum adanya The
Universal Declaration of Human Rights, namun ide-ide hak asasi manusia yang
tercermin dalam deklarasi tersebut sudah diketahui oleh para the founding father
indonesia dalam sidang BPUPKI pada tahun 1945.100 Rapat besar BPUPKI
yang diselenggarakan pada tanggal 15 juli 1945 menyimpan memori tentang
perlu tidaknya pengaturan tentang HAM dicantumkan dalam UUD 1945. Oleh
karena itu, ketentuan yang berkenaan dengan hak asasi manusia dapat
dikatakan dimuat secara terbatas dalam UUD 1945, yaitu sebanyak tujuh pasal
saja.46 Sedikitnya pasal-pasal yang berbicara langsung tentang hak asasi
manusia dalam UUD 1945 bukan karena naskah UUD ini disusun sebelum
adanya Universal Declaration of Human Rights.47
Oleh karena itu ide untuk mengadopsi perlindungan hak asasi manusia
itu, terus diperjuangkan oleh berbagai kalangan, lahirnya pemerintahan Orde
Baru, adalah untuk melindungi HAM. Berpedoman kepada pengalam orde lama
yang kurang mengindahkan hak asasi warga negara, sidang umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat sementara ke IV menetapkan ketetapan MPRS
snomor XIV/MPRS/1966 yang memerintahkan antara lain penyusunan piagam
hak asasi manusia. Artinya, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyadari
menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar ekonomi, sosial dan kebudayaan;
(3).konsepsi ini mencakup pengertian mengenai hak atas pembangunan. (dalam Mohammad
Ryan Bakry, 2010, Implementasi Hak Asasi Manusia, FH UI, hlm. 29)
46 Harun Al Rasyid, 2007, Naskah Undang-Undang 1945 Sesudah Empat Kali di Ubah
Oleh MPR, cet. 1, UI Press, hlm. 178.
47 Pada tahun 1945 telah ada Declaration of Independent Amerika Serikat dan
Declaration des Droit de l’homme et du Citoyen Perancis, yang dijadikan bahan untuk
penyusunan pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang lebih lengkap dari apa yang
kemudian disepakati dalam UUD 1945.
ketidaklengkapan Undang-Undang Dasar 1945 dalam mengatur hak asasi
manusia. Berdasarkan TAP MPRS tersebut dibentuklah panitia-panitia ad hoc,
yang dalam penyusunannya mengundang para sarjana, cendikiawan dan tokoh
masyarakat untuk memberikan ceramah tentang HAM. Berdasarkan bahanbahan yang berhasil dihimpun panitia menyusun suatu piagam tentang Hak-hak
Asasi dan Hak-hak serta kewajiban Warga Negara.
Setelah masa reformasi, perubahan UUD 1945 adalah dianggap sebagai
sesuatu yang niscaya. Bahkan, perubahan UUD 1945 itu sendiri merupakan
puncak dari aspirasi dari gerakan reformasi itu sendiri. Materi yang semula
hanya tujuh butir sekarang telah bertambah dengan signifikan, perumusannya
menjadi lebih lengkap dan menjadikan UUD NRI 1945 merupakan salah satu
UUD yang paling lengkap memuat perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Dengan disahkannya perubahan satu sampai ke empat UUD NRI 1945 48 pada
tahun 2002, yang dimuat dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28A
sampai dengan 28 J, yaitu:49
1) Pasal 28A. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya .50
2) Pasal 28 B. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah (1), setiap anak berhak atas
48 Perubahan pertama tahun 1999 dalam sidang umum MPR, kedua kali dalam sidang
tahunan 2000 MPR, ketiga kali dalam sidang tahunan 2001 MPR dan yang keempat sidang
tahunan MPR 2002.
49 Harun Al Rasyid, 2007, Naskah Undang-Undang 1945 Sesudah Empat Kali di Ubah
Oleh MPR, cet. 1, UI Press, Jakarta, hlm. 105-109.
50 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 A.
kelangsungan
hidup,
tumbuh,
dan
berkembang
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (2).
serta
berhak
atas
51
3) Pasal 28C. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat
da
Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Kesamaan Kedudukan
Dihadapan Hukum sebagai Upaya Penegakan HAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah
menyatakan diri sebagai Negara berdasarkan atas hukum. Pernyataan ini
dengan jelas terlihat dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyebutkan bahwa “Negara berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan
atas kekuasaan belaka” yang kemudian dalam sistem pemerintahannya tidak
bersifat absolutisme (kekuasaan tanpa batas) tetapi mengacu kepada konstitusi
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang melandasinya. Hukum
sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan
sah bukan hanya dalam keputusan melainkan juga dalam pelaksanaannnya
sesuai dengan hukum kodrat, dengan kata lain hukum harus sesuai dengan
ideologi bangsa sekaligus sebagai pengayom rakyat.1 Konsekuensi pengakuan
ini mengisyaratkan adanya lembaga-lembaga peradilan, sebab lembaga
peradilan ialah merupakan syarat bagi suatu negara yang menamakan diri
sebagai negara hukum.1
Semenjak tahun 1970-an, telah terdapat gelombang pasang yang nyata
dari demokrasi-demokrasi baru yang muncul dari negara-negara yang masa
lalunya bersifat otoriter atau totaliter, dimulai dari bagian selatan eropa, ke
amerika latin, ke bagian timur eropa serta negara-negara lainnnya, beberapa
pemimpin demokrasi baru telah memandang masa depan mereka dengan penuh
pengharapan, untuk mendefinisikan suatu visi tentang masa depan itu mereka
harus berekonsiliasi dengan warisan masa lalunya yang berupa pelanggaran
HAM yang ditinggalkan oleh rezim otoriternya yang baru saja berlalu, mereka
semua memiliki pengalaman yang sama dalam hal ini,meskipun jika tiap-tiap
negara memilih untuk mengadopsi berbaga mekanisme yang berbeda. 2
Dinamika pembaharuan hukum sangat erat kaitannya dengan Kejahatan
(crime) yang merupakan tingkah laku yang melanggar hukum dan melanggar
norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya.2 Dalam konteks
sosial, kejahatan merupakan fenomena sosial yang terjadi pada setiap tempat
dan waktu. Hal ini menunjukkan bahwa kejahatan bukan saja merupakan
masalah bagi suatu masyarakat tertentu yang berskala lokal maupun nasional,
tapi juga menjadi masalah yang dihadapi oleh seluruh masyarakat di dunia, pada
masa lalu, kini dan di masa mendatang, sehingga dapat dikatakan bahwa
kejahatan sebagai a universal phenomenon Transisi politik di negara
mengakibatkan kemajuan mengenai apa itu HAM oleh seluruh lapisan
masyarakat. Konsep HAM berhubungan erat dengan kondisi atau budaya hukum
1 Rusli Muhammad, 2006, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 1.
2 Juan E. Mendez, “in Defense of Transitional Justice,” dalam McAdams, hlm. 2.
disuatu negara. Apakah budaya hukum disuatu negara tertentu bersifat represif,
otonom, responsif atau bersifat ketiganya? 3
KUHAP sebenarnya telah mengakomodasikan perlindungan hak asasi
manusia yang dituangkan dalam banyak pasal sebagai hak-hak tersangka atau
hak-hak terdakwa secara memadai, akan tetapi dalam perjalanannya apa yang
tersurat dalam pasal-pasal di dalam KUHAP tersebut kurang ditaati dan
dilaksanakan dengan baik oleh aparat penegak hukum, khususnya pada tingkat
penyidikan dan penuntutan. Hal ini terbukti bahwa sekalipun KUHAP telah
memberikan batasan dengan asas-asas yang harus dipegang teguh oleh aparat
penegak hukum antara lain seperti :a) asas legalitas, b) asas praduga tidak
bersalah, c) asas yang menekankan tentang hak-hak tersangka dalam
memberikan keterangan secara bebas tanpa rasa takut, d) asas tentang hak
untuk mendapat pembelaan dan bantuan hukum dan lain-lain. akan tetapi di
dalam praktiknya banyak tindakan aparat penegak hukum dalam proses
peradilan pidana yang menyimpang akibat penggunaan kewenangan secara
tidak bertanggung jawab dan tidak terkontrol. Kewenangan yang sedianya
dimaksudkan untuk mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
telah berubah menjadi alat penindas dan penyiksa warga negara yang disangka
melakukan tindak pidana.4
Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945 yang menjamin hak-hak warga negaranya dan kesamaan
3 Kartini Kartono, 1992, Patologi Sosial, Jilid I Edisi Baru, Rajawali Press, Jakarta, hlm.
134.
4 L & J Law Firm, 2009, Hak Anda Saat Digeledah, Disita, Ditangkap, Didakwa,
Dipenjara, forum Sahabat, Jakarta, hlm. 24
kedudukan dihadapan hukum. Menurut Mardjono Reksodiputro 5, karena
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), maka pertamatama HAM harus merupakan bagian dari hukum Indonesia dan selanjutnya harus
ada prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM itu. Dalam
kaitan ini, maka fungsi Pengadilan untuk menentukan ada atau tidak adanya
pelanggaran atas ketentuan HAM sangat mempunyai kedudukan utama. Karena
itu suatu pemantauan nasional atas pelaksanaan HAM harus memenuhi syaratsyarat yaitu menjadikan HAM bagian dari hukum Indonesia, terdapat prosedur
hukum untuk melindungi dan mempertahankan HAM tersebut, terdapat
pengadilan yang bebas (an independent judiciary); dan adanya pula profesi
hukum yang bebas (an independent legal profession).
B. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaiman Sejarah Pembaharuan Hukum dari Represif, Otonom, Responsif
Sampai Kepada Progresif?
2. Bagaimana Konsep Pembaharuan Hukum Progresif dalam Penegakan
HAM ?
3. Bagaimana
Perlindungan
Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas
Kesamaan Kedudukan Dihadapan Hukum sebagai Upaya Penegakan HAM ?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui mengenai konsep hukum
represif, otonomi, responsif oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick dan akan
5 Mardjono Reksodiputro, 2007, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana
(Buku Ketiga), Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, hlm. 12-13.
dibandingkan
dengan
konsep
hukum progresif
oleh
Satjipto
Rahardjo,
menganalisis pembaharuan hukum progresif dalam penegakan HAM dan
mengkaji perlindungan
asas praduga tidak bersalah dan asas kesamaan
kedudukan dihadapan hukum sebagai upaya penegakan HAM.
D. Metode Penulisan
Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan didalam makalah
ini penulis menggunakan metode penulisan secara normatif, yaitu metode yang
dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka 6.
Dalam kaitannya dengan penelitian secara normatif, disini akan dilakukan
beberapa pendekatan, yaitu 7:
1. Pendekatan Perundang-undangan (statute Approach)
Suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum
yang berkaitan dengan rumusan masalah. Didalam makalah ini yang menjadi
acuan pendekatan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945,
2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan
ini
digunakan
untuk
memahami
konsep
mengenai
Demokrasi dan Hukum. Pendekatan ini digunakan untuk menyimpulkan
6 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, “Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat)”, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 13-14.
7 Johnny Ibrahim, 2007, “Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif”, Bayumedia
Publishing, Malang, hlm. 300.
beberapa masalah serta menganalisis pokok permasalahan didalam makalah
ini.
3. Pendekatan Historis (Historical Approach)
Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa
yang dipelajari dan perkembangan mengenai isu yang dihadapi. Telaah ini
digunakan untuk mengungkap sisi filosofis permasalahan serta pola pikir
yang melahirkan sesuatu yang relevan dengan perkembangan dimasa kini.
Dalam penulisan ini yang menjadi dasar sejarah adalah mengenai
perkembangan bentuk hukum dan demokrasi di Indonesia.
E. Kerangka Teori dan Konsep
1. Tipe Hukum Phillipe Nonet and Phillip Selznick 8
Phillip Selznick bahwa Nonet dan Selznick mengembangkan model
hukum dengan tiga tahapan evolusioner yakni:
1. Hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif)
2. Hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan
melindungi integritas dirinya (hukum otonom)
3. Hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan
aspirasi sosial (hukum responsif).
2. Tipe Hukum Progresif oleh Satjipto Rahardjo
8 Philippe Nonet and Philip Selznick, “Law and Societyin Transition: Toward Responsive
Law”, Butir analisis yang diambil melalui bahan materi yang telah dikumpulkan oleh Satya
Arinanto, Politik Hukum 2, 2004, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, hlm. 73-156.
Gagasan hukum progresif dikontruksi oleh enam madzhab hukum yaitu; legal
realism, sociological jurisprudence, freirechtslehre, interessenjurisprudenze,
teori hukum alam, dan critical legal studies. Satjipto Rahardjo secara tegas
menyampaikan
bahwa
hukum
progresif
menolak
tradisi
analytical
jurisprudence atau rechtsdogmatiek, dan berbagi paham dengan aliran legal
realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interessenjurisprudenze,
teori hukum alam, dan critical legal studies. Hukum progresif merupakan
koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan
birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum
liberal.9
F. Sistematika Penulisan dan Pembahasan
Bab I, berisikan pendahuluan dan sitematika terhadap penulisan makalah
yang berisi pokok permasalahan, metode penulisan, tujuan dan kerangka teori
yang akan dipakai dalam menganalisa makalah.
Bab II, berisikan pembahasan mengenai sejarah pembaharuan hukum
dari represif, otonom, responsif sampai kepada progresif, konsep pembaharuan
hukum progresif dalam penegakan HAM dan perlindungan asas praduga tidak
bersalah dan konsep asas kesamaan kedudukan dihadapan hukum sebagai
upaya penegakan HAM .
Bab III, merupakan penutup yang berisikan kesimpulan terhadap hasil
penulisan makalah ini dan saran yang Penulis tawarkan.
9 Satjipto Rahardjo. 2006. Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, hal. 1.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pembaharuan Hukum
1. Hukum Represif , Otonomi dan Responsif dalam Pandangan Philippe
Nonet dan Philip Selznick
Hukum modern muncul di Eropa pada awal abad XIX yang saat itu didominasi
oleh alam pemikiran positivistik sehingga menghasilkan doktrin Rule of Law
yang bercirikan:10
1) Formal rules: tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan;
2) Procedures: dilaksanakan melalui “aturan main” yang ketat;
3) Methodologist: mendewakan logika dalam penerapannya;
4) Bureaucreacy: hanya lembaga-lembaga formal yang diakui memiliki otoritas
untuk membuat, melaksanakan dan mengawasi hukum (legislatif, eksekutif
dan Yudikatif).
Rezim represif adalah rezim yang menempatkan seluruh kepentingan
dalam bahaya, dan khususnya kepentingan yang tidak dilindungi oleh system
yang berlaku dalam hal keistimewaan dan kekuasaan. Represi tidak harus
melibatkan penindasan dengan kasar (blatant oppression). Represi juga terjadi
ketika kekuasaan bersifat lunak tetapi hanya sedikit memperhatikan, dan tidak
secara efektif dikendalikan oleh, berbagai kepentingan yang ada.
Dalam bentuknya yang paling jelas dan sistematis, hukum represif
menunjukkan karakter-karakter berikut ini:11
1. Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik;
hukum diidentifikasikan sama dengan Negara dan ditempatkan dibawah
tujuan Negara (raison d’ etat).
2. Langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang paling penting
dalam administrasi hukum. Dalam “perspektif resmi” yang terbangun,
10 Periksa: Al. Wisnubroto, 1996, Iptek, Perubahan Masyarakat dan Hukum: Dalam
Kajian Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Paper, tidak diterbitkan), hlm. 20.
11 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Tarnsition; Toward rsponsive
law, Dalam Politik Hukum 2 dikumpulkan oleh Satya Arinanto, 2004, hlm. 76.
manfaat dari keraguan (the benefit of the doubt) masuk ke system, dan
kenyamanan administrative menjadi titik berat perhatian.
3. Lembaga-lembaga control yang terspesialisasi, seperti polisi, menjadi
pusat-pusat kekuasaan yang independen; mereka terisolasi dari konteks
sosial yang berfungsi memperlunak, serta mampu menolak, otoritas
politik.
4. Sebuah rezim “hukum berganda” (“dual law”) melembagakan keadilan
berdasarkan kelas dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitimasi
pola-pola subordinasi sosial.
5. Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan; moralisme hukum
yang akan menang.
Menurut Samuel P. Huntington, dalam dua (hingga tiga) 12 dekade terakhir
ini, kita melihat terjadinya revolusi politik yang luar biasa dimana transisi dari
otoritarianisme menuju demokrasi terjadi di lebih dari 40 negara. Rezim
otoritarian sebelumnya mengalami perubahan secara signifikan , termasuk
pemerintahan militer di Amerika Latin dan sebagainya; rezim satu partai di
negara komunis, juga Taiwan; diktator personal di Spanyol, Filipina, Rumania
dan di mana saja; serta oligarki rasial di Afrika Selatan. Proses transisi menuju
demokrasi ini juga sangat bervariasi. Dalam beberapa kasus, termasuk di
berbagai razim militer, kelompok reformis menguat di dalam rezim otoriter dan
mengambil inisiatif untuk mendorong transisi.13
12 Tambahan kata-kata di dalam kurung dari peneliti, Satya Arinanto dalam bukunya
yang berjudul “Satya Arinanto, 2011, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia,
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta., hlm. 98.
13 Samuel P. Huntington, “Mereformasi Hubungan Sipil Militer,” dalam larry Diamond dan
Marc F. Plattner, 2000, eds.Civil-Military Relation dan Democracy, atau Hubungan Sipil-Militer
dan Konsolidasi Demokrasi , PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 3.
Sumber represi yang paling besar adalah apa yang disebut Merriam
sebagai “miskinnya kekuasaan” (the poverty of power). Pola ini paling jelas
terlihat dalam tahapan pembentukan komunitas politik. Pembangunan bangsa
(nation building) pada akhirnya merupakan suatu transformasi loyalitas dan
kesadaran, tapi pada awalnya proses ini merupakan pekerjaan dari kaum elit
yang mempunyai kemampuan terbatas selain penggunaan kekuaatan dan
penipuan. Fenomena yang mendasari represi adalah miskinnya sumber daya
politik. Secara umum, potensi represi dibangkitkan ketika tugas yang urgen
harus dihadapi di dalam kondisi kekuasaan yang memadai namun kekurangan
sumber daya. Represi akan terjadi ketika sumber daya yang terbatas
menyebabkan diambilnya suatu kebijakan pengabaian yang halus.
Selain dari pada itu, pola pemerinatahan represif memiliki elemen-elemen
sebagai berikut:14
1. Perspektif resmi mencadangkan wilayah diskresi yang luas, yang
dijustifikasikan oleh klaim-klaim hak istimewa absolute atau keahlian
khusus.
2. Perspektif resmi melindungi pemegang otoritas dari tantangan dan kritik.
Ia mengakui “kekebalan penguasa” (sovereign immunity), menyepakati
sebuah asumsi mengenai keteraturan administratif, menjamin insibilitas
(tidak dapat diganggu gugat) keputusan-keputusan kelembagaan dan
mengurangi tanggung jawab untuk mereka.
3. Perspektif resmi membatasi tuntutan-tuntutan dengan menetapkan
aturan-aturan dengan menetapkan aturan-aturan yang kaku serta
14 Law and Society in Tarnsition; Toward reponsive law oleh Philippe Nonet dan Philip
Selznick, Op.Cit, hal. 84-85.
membatasi
akses.
Penumpukan
perkara
dipengadilan
menyusul
pembaruan mengenai perluasan hak untuk memberikan pendapat
menunjukkan betapa dalamnya sistem hukum telah bergantung pada
aksebilitasnya yang terbatas.
Didalam kajian hukum represif lebih kepada mementingkan keberadaan
penguasa sehingga dapat disimpulkan bahwa pandangan hukum represif masih
sangat tradisional dan masih mementingkan golongan atas. Dalam sistem
hukum represif biasanya digunakan di negara yang menganut pemerintahan
monarki atau feodal.
Berkenaan dengan hukum otonom berorientasi kepada mengawasi
kekuasaan represif. Dalam arti ini hukum otonom merupakan antitese atau
ketidak percayaan dari hukum represif dalam cara yang sama seperti
“kekuasaan oleh hukum”. Secara sederhana, penganut hukum otonom
beranggapan bahwa hukum hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah
berhubungan dengan kekuasaan berdasar hukum atau hukum sebagai pranata
yang mampu menjinakkan represi (penindasan) dan melindungi integritas
sendiri.
Jika ditelisik lebih lanjut, hukum otonom ini bercirikan mengawasi pemerintahan
yang ada agar dapat melakukan check and balance antara penguaa, swasta dan
masyarakat serta mengawasi sistem kerja dari pemerintahan. Adapun Ssifat-sifat
paling penting dari hukum otonom adalah: 15
15 Ibid, hlm. 105-107.
1. Penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk
mengawasi kekuasaan resmi dan swasta.
2. Terdapat pengadilan yang dapat didatangi secara bebas yang tidak dapat
dimanipulasi oleh kekuasan politik dan ekonomi serta bebas daripadanya
dan yang memiliki otoritas ekskluif untuk mengadili pelanggar hukum baik
oleh para pejabat umum maupun oleh individu-individu swasta. Sebuah
prinsip penting dari hukum otonom adalah terpisahnya dari politik.
3. Perhatian yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan
prosedural mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan
hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan ketat dilihat sebagai suatu tujuan
tersendiri dan hukum menjadi terlepas dari tujuan. Hasilnya adalah
legalisme dan formalisme birokrasi.
4. Keadilan prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif.
5. Penekanan atas kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan pandangan
tentang hukum sebagai suatu sarana kontrol sosial.
Sifat hukum otonom yang berpusat pada peraturan memiliki dasar yang
sangat praktis:16
1. Peraturan merupakan sebuah sumber yang andal untuk melegitimasi
kekuasaan.
2. Ketika hakim dibatasi oleh peraturan, cakupan diskresinya menjadi
sempit. Akibatnya kekuasaan yudikatif, karena nampak terbatas, lebih
mudah untuk memberikan justifikasi sehingga ancaman terhadap para
pembuat keputusan politik pun menjadi kendor.
3. Meningkatnya jumlah peraturan mengundang
mendatangkan permasalahan konsistensi.
16 Ibid, hlm. 105-107.
kompleksitas
dan
4. Orientasi pada peraturan cenderung membatasi tanggung jawab sistem
hukum. Ketika keadilan dilaksanakan dengan cara-cara yang ditentukan
terlebih dahulu, proses hukum dapat melestarikan sumber-sumber
dayanya yang terbatas.
5. Hukum otonom, meski menjinakkan represi, tetap berkomitmen pada
gagasan bahwa hukum terutama adalah sebuah sarana kontrol sosial.
Dalam hukum otonom peraturan dibuat untuk membatasi pemerintahan
sekaligus mengawasinya. Masyarakat dalam tipe hukum otonom akan
menempatkan pemerintah agar taat dengan aturan. Didalam hukum otonom
dapat dilihat semakin banyaknya peraturan dari pada di hukum represif, dimana
didalam hukum otonom peraturan digunakan sebagai pengawass pemerintahan,
namun, kemudian timbul masalah bahwa tujuan hukum yang sesungguhnya
adalah bukan semata mewujudkan keadilan prosedural semata. Sehingga dapat
dikatakan bahwa hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil, hukum
semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya
komitmen bagi tercapainya keadilan substantif.
Setelah kegaduhan tipe hukum represif dan otonom kemudian muncullah
tipe hukum lainnya yaitu tipe hukum responsif. Penganut realisme hukum (legal
realism) memiliki tujuan utama yaitu membuat hukum menjadi lebih responsif
terhadap kebutuhan sosial. Untuk mencapai tujuan ini, mereka mendorng
perluasan bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum, agar pola pikir
dan nalar hukum dapat mencakup pengetahuan di dalam konteks dinamika
kehidupan sosial dan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan para
penegak atau aparat hukum.
1. Kekuasaan politik memiliki akses langsung pada istnitusi hukum sehingga
tata hukum praktis menjadi identik dengan negara, dan hukum disubordinasi
pada “rasion de etre”
2. Konservasi otoritas menjadi preokupasi berlebihan para pejabat hukum yang
memunculkan “perspektif pejabat, yakni perspektif yang memandang
keraguan
harus
menguntungkan
sistem
dan
sangat
mementingkan
kemudahan admnistratif.
3. Badan kontrol khusus menjadi pusat kekuasaan independen yang terisolasi
dari konteks sosial yang memoderatkan dan kapabel melawan otoritas politik.
4. Rezim
hukum
ganda
mengintitusionalisasi
keadilan
kelas
yang
mengkonsolidasi dan melegitimasi pola-pola subordinasi sosial.
5. Perundang-undangan pidana mencerminkan dominan mores yang sangat
menonjolkan legal moralism. 17
Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusiinstitusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi
dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedurprosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain.
Keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi
sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan
17 Ibid, hlm. 110
tetapi akan tidak lagi mengandung arti khusus, dan aksi-aksi institusional akan
disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial,
namun akan tidak lagi merupakan satu sumbangan yang khusus kepada
masalah-masalah sosial. Konsep hukum responsif melihat suatu pemecahan
untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan
integritas. Jawaban dari hukum responsif adalah adaptasi selektif ke dalam
tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan baru. Apakah yang menjadi kriteria
seleksinya? Tidak lain daripada kekuasaan berdasar hukum yang dicita-citakan,
tetapi sekarang tidak lagi diartikan sebagai kepantasan prosedural formal,
melainkan sebagai reduksi secara progresif dari kesewenang-wenangan dan
penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Jadi
hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan ia
memeperluasnya untuk mencakup keadilan substantif. Dua ciri yang menonjol
dari konsep hukum responsif adalah: 18
a) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan;
b) pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk
mencapainya.
Khudzaifah Dimyati menyampaikan bahwa ketiga tipe hukum tersebut
merupakan konsepsi yang abstrak dan jarang atau tidak pernah terwujud dalam
bentuk-bentuk yang murni secara empiris. Setiap tata tertib hukum atau institusi
hukum yang ada mungkin bersifat campuran dengan mencakup aspek-aspek
dari ketiga tipe hukum. Akan tetapi, mungkin saja unsure-unsur dari salah satu
18 Ibid.
tipe akan lebih menonjol, sehingga wujud dasar suatu hukum tertentu akan bias
dikenali sebagai represif, otonom, dan responsif. 19
Nonet dan Selznick berpandangan bahwa ketiga tipe hukum ini harus
dilihat sebagai berkaitan satu sama lain di dalam suatu proses perkembangan.
Hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif tidak hanya merupakan
tipe-tipe hukum yang berbeda satu sama lainnya, melainkan dapat juga diartikan
sebagai tahap-tahap evolusi didalam hukum dengan tata politik dan tata sosial. 20
2. Penyempurnaan Hukum Represif, Otonomi dan Responsif dalam
Pandangan Philippe Nonet dan Philip Selznick Menuju Hukum Progresif
Dari paparan mengenai hukum represif, otonom dan responsip diatas, Penulis
membandingkan dengan tipe hukum yang disebut hukum progresif. Lebih lanjut
Satjipto Rahardjo menyampaikan bahwa pemahaman hukum secara legalistik
positivis dan berbasis peraturan tidak mampu menangkap kebenaran. Dalam
ilmu hukum yang legalistis-positivis, hukum sebagai pengaturan yang kompleks
telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, dan
deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Dalam konteks hukum
Indonesia, doktrin dan ajaran hukum demikian yang masih dominan. 21
Beliau memberikan istilah berbeda tentang hukum responsif, yaitu hukum
progresif, akan tetapi secara tegas beliaupun menyampaikan bahwa hukum
progresif memiliki tipe responsif.22 Ide utama hukum progresif adalah
19 Khudzaifah Dimyati, 2004, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hlm. 103.
20 Nonet, Philippe and Philip Selznick, 2003, Law and Society in Transition: Toward
Responsif Law (edisi terjemahan oleh Huma), Huma, Jakarta, hlm. 62.
21 Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, hlm. X.
22Ibid, hal. 2.
membebaskan manusia dari belenggu hukum. Hukum berfungsi memberi
panduan bukan justru membelenggu, manusia-manusialah yang berperan lebih
penting. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum
hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab
perubahan dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani
masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya
manusia penegak hukum itu sendiri. 23
Hukum itu bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final
melainkan
sangat
menggunakannya.
bergantung
Hukum
pada
adalah
bagaimana
institusi
yang
manusia
secara
melihat
dan
terus-menerus
membangun dan mengubah dirinya menuju pada tingkat kesempurnaan yang
lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasikan kedalam faktorfaktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah
hakekat hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as process, law in the
making).24 Hukum progresif lebih mengunggulkan aliran realisme hukum dan
penggunaan optik sosiologis dalam menjalankan hukum. Sebab cara kerja
analitis yang berkutat dalam ranah hukum positif tidak akan banyak menolong
hukum untuk membawa Indonesia keluar dari keterpurukannya. 25
Hubungan hukum progresif dengan Critical Legal Studies (CLS) yang
muncul di Amerika tahun 1977 yang langsung menusuk jantung pikiran hukum
Amerika yang dominan, yaitu suatu sistem hukum liberal yang didasarkan pada
23 Ibid, hal. 4.
24 Ibid, hal. 2.
25 Ibid, hal. 6.
pikiran politik liberal. Hukum progresif juga menggandeng kritik terhadap sistem
hukum yang liberal itu, karena hukum di Indonesia juga turut mewarisi sistem
tersebut. Akan tetapi hukum progresif memiliki basis yang lebih luas dari tujuan
yang lebih luas pula dibandingkan CLS. 26
Satjipto Raharjo mencoba menyoroti kondisi dalam situasi ilmu-ilmu
sosial, termasuk Ilmu Hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika, tetapi
pada dasarnya terjadi perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang
dirumuskannya dengan kalimat “dari yang sederhana menjadi rumit” dan “dari
yang terkotak-kotak menjadi satu kesatuan”. Inilah yang disebutnya sebagai
“pandangan holistik dalam ilmu (hukum) Pandangan holistik ini memberikan
kesadaran visioner bahwa sesuatu dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang
saling berkaitan baik dengan bagian lainnya atau dengan keseluruhannya.
Misalnya saja untuk memahami manusia secara utuh tidak cukup hanya
memahami, mata, telinga, tangan, kaki atau otak saja, tetapi harus dipahami
secara menyeluruh. Diilhami oleh gagasan Edward O. Wilson melalui tulisannya
menjadi acuan para penstudi hukum yaitu Consilience; The Unity of Knowledge,
membawa kita kepada pandangan pencerahan tentang kesatuan pengetahuan,
sebagaimana dijelaskan Ian G. Barbour, “Wilson berpendapat bahwa kemajuan
sains merupakan awal untuk melakukan penyatuan (unifikasi) antara sains alam,
sains sosial dan sains kemanusiaan. Pencarian hubungan antar disiplin
26Ibid, hal. 8.
merupakan tugas yang sangat penting, dan Wilson menghinpun beberapa
disiplin secara luas dan anggun”.27
Menurut Huntington, sesungguhnya semua rezim otoritarian, apapun
tipenya, mempunyai kesamaan dalam satu hal:hubungan sipil-militer mereka
tidak terlalu diperhatikan. Hampir semua tidak memiliki karakteristik hubungan
sipil-militer sebagaimana yang ada di negara industrial yang demokratis, yang
disebutnya dengan istilah “kontrol sipil obyektif” (Objective Civilian Control).
Dalam kediktatoran personal, penguasa melakukan apa saja untuk memastikan
bahwa militer disusupi dan dikontrol oleh kaki tangan dan kroni-kroninya, yang
memecah belah dan bekerja untuk menjaga cengkraman kekuasaan diktator.
Dalam pemerintahan satu partai, hubungan sipil-militer tidak begitu berantakan,
tetapi militer dipandang sebagai instrumen dari partai; pejabat militer harus
merupakan anggota partai; komisaris politik dan unsur-unsur partai paralel
dengan rangkaian komando militer; dan loyalitas tertingginya lebih diutamakan
kepada partai daripada kepada negara. 28
Karena itu negara-negara demokrasi baru menghadapi tantangan yang
serius untuk mereformasi hubungan
sipil-militer mereka secara drastis.
Tantangan ini tentu saja hanya salah satu dari sekian banyak tantangan lainnya.
Negara-negara tersebut juga harus membangun kekuasaan di wilayah publik,
merancang konstitusi baru, menciptakan sistem kompetisi partai dan institusiinstitusi demokrasi lainnya, liberalisasi, privatisasi, dan bergerak ke arah
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,
Muhamadyah Press University, 2004, halaman 18.
28 Samuel P. Huntington, 2010, “Mereformasi Hubungan Sipil Militer,” dalam larry
Diamond dan Marc F. Plattner, eds.Civil-Military Relation dan Democracy, atau Hubungan SipilMiliter dan Konsolidasi Demokrasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 4.
27
ekonomi pasar, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menahan laju
inflasi dan pengangguran , mengurangi defisit anggaran, membatasi kejahatan
dan korupsi, serta mengurangi ketegangan dan konflik antaretnis dan kelompok
agama.29
Jika membandingkan antara hukum represif, otonom, dan responsif
dengan hukum progresif, maka kita akan berbicara mengenai politik hukum
disuatu negara. Dalam masa transisi politik, Usaha untuk menaati kedaulatan
hukum dalam masa gejolak politik terkadang menimbulkan dilema. Terdapat
ketegangan dalam hukum dalam masa transisi, yang sering kali melihat ke
belakang selain ke depan, mapan sekaligus dinamis. Dalam dilema ini,
kedaulatan hukum pada akhirnya menjadi kontekstual; alih-alih merupakan dasar
tatanan hukum saja, ia juga memediasi pergeseran normatif yang mencirikan
masa-masa tidak biasa tersebut. Di negara-negara demokratis, pandangan kita
adalah bahwa kedaulatan hukum memiliki arti ketaatan pada aturan yang sudah
ada, yang dipertentangkan dengan tindakan pemerintah secara sewenangwenang.30
29 Ibid., hal. 4-5; sebagai bahan diskursus lihat pula Homes, Brenton dan Satya
Arinanto, “Komisi Konstitusi: Catatan dari Filipina,” (Makalah disampaikan dalam diskusi Publik
tentang “Pembentukan Komisi Konstitusi” yang diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil
untuk Komisi Konstitusi di Jakarta, 25 April 2001).
30Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University of Chicago Press,
1944), hal. 72 dalam Ruti G. Teitel, Keadilan Transisional (Sebuah Tinjauan Komperehnsif)”,
(Jakarta: ELSAM, 2004), Hal. 10, bahwa (“Pemerintah dalam semua tindakannya diikat oleh
aturan yang ditetapkan dan diumumkan sebelumnya – aturan yang memungkinkan untuk
meramalkan dengan penuh kepastian bagaimana pemegang kekuasaan akan menggunakan
kekuasaannya dalam kondisi tertentu dan untuk merencanakan tindakan individual berdasarkan
pada pengetahuan ini”.) Untuk pembicaraan tentang pemahaman umum mengenai pe
merencanakan tindakan individual berdasarkan pada pengetahuan ini”.) Untuk pembicaraan
tentang pemahaman umum mengenai peran kedaulatan hukum di negara-negara demokrasi
sebagai batasan terhadap penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang, lihat Roger
Hampir ada kemiripan dan hubungan antara kedua teori hukum tersebut.
Apalagi bila mengutip apa yang disampaikan Satjipto Rahardjo dalam salah satu
tulisannya yang menyatakan bahwa hukum progresif memiliki tipe responsif.
Dalam tipe yang demikian itu, hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di
luar narasi tekstual hukum itu sendiri. 31 Teori hukum progresif merupakan
pengembangan lebih lanjut dari hukum responsif yang bersumber dari legal
realism dan sociological jurisprudence.
B. Hukum Progresif dan Hubungannya dengan Perlindungan HAM
1. Hukum Progresif sebagai Konsepsi Perlindungan HAM
Konsep dari hukum progresif sebagai penyempurnaan dari hukum represif,
otonom dan responsif, jika dilihat secara keseluruhan mengandung konsepsi
HAM. Keadilan substantif inilah yang belum menjadi orientasi penegakan hukum
di Indonesia, sehingga hukum diartikan apa yang tertulis dalam undang-undang
semata. Padahal hukum tidak berdiri sendiri sebagai subsistem sosial, akan
Cotterell, The Politics of Jurisprudence: A Critical Introduction to Legal Philosophy (Philadelphia:
University of philadelphia Press, 1989), 113-14, yang menjelaskan bahayanya memandang
negara sebagai entitas yang mengatasi hukum. Untuk penjelasan tentang kaitan antara hukum
dengan demokrasi, lihat Jean Hampton, “Democracy and the Rule of Law,” dalam Nomos
XXXVI: The Rule of Law, ed. Ian Saphiro (New York: New York University Press, 1995), 13.
Penjelasan klasik tentang syarat minimum legalitas ditemukan dalam Lon L. Fuller, The Morality
of Law (New Haven: Yale University Press, 1964), 33-34. Ronald Dworkin menawarkan
pemaparan kontemporer yang terpenting tentang teori kedaulatan hukum yang substantif. Lihat
Ronald Dworkin, A Matter of Principle ( Cambridge: Harvard University Press, 1985), 11-12
(Dworkin berpandangan bahwa “konsepsi hak” dalam kedaulatan hukum mensyaratkan,
sebagai bagian dari pandangan ideal tentang hukum, bahwa aturan-aturan yang tertulis
mencakup dan melaksanakan hak-hak moral). Lihat juga Frank Michelman, “Law’s Republic”,
Yale Law Journal 97 (1988): 1493 (yang memaparkan interpretasi modern tentang
pemerintahan oleh hukum melalui reinterpretasi teori politik republikanisme kemasyarakatan
(civil republicanism) .
31 Satjipto Rahardjo, 2006, Op.Cit, hlm. xiii
tetapi ada subsistem sosial lain yang juga ikut mempengaruhinya. Wacana
hukum responsif ini terus bergulir menggeser paradigma lama penegakan hukum
di Indonesia. Sebuah harapan besar perbaikan hukum yang selama ini
didambakan seluruh rakyat Indonesia. Para pakar hukum pun semakin gencar
memasyarakatkan teori hukum responsif, salah satu pakar yang cukup dekat
dengan teori hukum responsif adalah Satjipto Rahardjo yang mengambil
pemikiran dan mengembangkan hukum responsif dalam versi Indonesia menjadi
hukum progresif. “ Satjipto Rahardjo secara tegas menyampaikan bahwa hukum
progresif menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek, dan
berbagi paham dengan aliran legal realism, freirechtslehre, sociological
jurisprudence, interessenjurisprudenze, teori hukum alam, dan critical legal
studies. Hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum
modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi
suatu tipe hukum liberal.32
Membicarakan Hak Asasi Manusia (HAM)33 berarti membicarakan dimensi
kehidupan manusia. HAM, ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan
32 Satjipto Rahardjo, 2006, Op.Cit. hlm. 1
33 Secara etimologis, Hak Asasi Manusia terbentuk dari 3 kata, hak, asasi, dan manusia.
Dua kata pertama, hak dan asasi berasal dari bahasa Arab, sementara kata manusia adalah
kata dalam bahasa Indonesia. Kata haqq terambil dari akar kata haqqa, yahiqqu, haqqaan,
artinya benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. Apabila dikatakan yahiqqu ‘alaika an taf’ala kadza,
itu artinya “kamu wajib melakukan seperti ini.” Berdasarkan pengertian tersebut, maka haqq
adalah kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Kata asasly berasal dari akar kata assa, yaussu, asasaan, artinya membangun, mendirika,
meletakkan. Dapat juga berarti asal, asas, pangkal, dasar dari segala sesuatu. Dengan
demikian, asasi artinya segala sesuatu yang bersifat mendasar dan fundamental yang selalu
melekat pada objeknya. Dalam bahasa Indonesia Hak Asasi Manusia diartikan sebagai hak-hak
mendasar pada diri manusia.
kebaikan dari negara.34 Dalam tataran konseptual35 HAM mengalami proses
perkembangan yang sangat kompleks. Perkembangan HAM dilandasi pada
pemikiran tentang hak-hak manusia yang bersifat kodrati, inheren dan tidak
dapat dicabut. Pemikiran ini, yang juga dilandasi dengan dukungan berbagai
ajaran dan teori tersebut, telah mendorong revolusi Perancis dan revolusi
Amerika, yang tercermin kemudian dalam dokumen-dokumen HAM saat itu.
Sejalan dengan itu, muncul prinsip-prinsip demokrasi sebagai bentuk kebebasan
politik yang memastikan adanya kebebasan warga negara untuk berpartisipasi
aktif, atau mengambil bagian dalam proses pembuatan keputusan politik. 36
34 Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), Hal. 121.
35 Todung Mulya Lubis, In search of human rights: Legal Political Dillemmas of
Indonesia`s New Order, 1966-1990 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), Hal. 14-25.
Todung Mulya Lubis menyebutkan ada 4 teori HAM, yaitu pertama hak-hak alami (natural
rights), berpandangan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh umat manusia pada
segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia (human rights are rights that
belong to all human beings at all times and in all places by virtue og being born as human
beings). Kedua, teori positivis (positivist theory), yang berpandangan bahwa karena hak harus
tertuang dalam hukum yang riil, maka dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi
(rights, then should be created and granted by constitution, laws and contracts).pandangan ini
secara nyata berasal dari ungkapan bentham yang mengatakan, rights is a child of law, from
real laws come real rights, but from imaginary law, laws of nature, come imaginary rights.
Natural rights is simple nonsens, natural and impresicible rights rhetorical nonsense, nonsens
upon still. Ketiga, teori relativitas kultural (cultural relativist theory). Teori ini adalah salah satu
bentuk anti-tesis dari teori hak-hak alami (natural rights). Teori ini berpandangan bahwa
menganggap hak itu bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural terhadap
dimensi kultural yang lain, atau disebut dengan imperialisme kultural (cultural imperialism), yang
ditekankan dalam teori ini adalah bahwa manusa merupakan interaksi sosial dan kultural serta
perbedaan tradisi budaya dan peradaban berisikan perbedaan cara pandang kemanusiaan
(different ways of being human). Oleh karenanya, penganut teori ini mengatakan, that rights
belonging to all beings. Keempat, doktrin Marxis (Marxist doctrine and human rights). Doktrin
Marxis menolak teori hak-hak alami karena negara atau kolektivitas adalah sumber galian
seluruh hak (repositiory of all rights).
36Zainal Abidin, Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Di akses dari
http://pamflet.or.id, Pada Tanggal 15 Mei 2016, Pukul 12.00 WIB.
Dalam konteks Indonesia, wacana HAM masuk dengan “indah” ke dalam
pemikiran bangsa37 HAM diterima, dipahami selanjutnya diaktualisasikan dalam
bingkai formulasi kebijakan dan perkembangan sosio-historis dan sosio-politis.
Dalam konteks reformasi, tidak jarang fenomena euforia demokrasi menjadikan
HAM sebagai “kendaraan” untuk menjerat dan menjatuhkan seseorang. HAM
berubah menjadi dua buah mata pisau, yang pada satu sisi mengedepankan
dimensi humanisme manusia tetapi pada sisi yang lain ia terlalu menakutkan
bagi setiap orang terlebih lagi pengambil kebijakan karena didalamnya sarat
dengan hegemoni dan kooptasi.38
Sebenarnya hingga saat ini belum ada suatu definisi HAM yang baku dan
bersifat otoritatif (mengikat). Berkaitan dengan hal itu, H. Victor Condé
mengatakan bahwa belum ada definisi HAM yang diterima secara universal dan
otoritatif. Banyak yang mendefinisikannya sebagai suatu klaim yang dapat
dipaksakan secara hukum atau hak yang dimiliki oleh manusia vis-á-vis
pemerintahan negara sebagai perlindungan terhadap martabat manusia yang
bersifat melekat dari manusia. Definisi HAM lainnya yang telah dikenal yaitu
HAM secara umum dapat didefinisikan sebagai hak-hak yang melekat pada diri
manusia dan tanpa hak tersebut kita tidak dapat hidup sebagai manusia. 39
Gagasan mengenai hak asasi manusia ditandai dengan munculnya
konsep hak kodrati (natural rights theory) dimana pada zaman kuno yaitu filsafat
37 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia,2007, Kencana,
Jakarta, hlm. 3, Majda mengatakan bahwa Perbincangan Ham dalam Konteks Konstitusi
Indonesia merupakan diskusi yang intens. Sejarah mencatat, perdebatan HAM telah dimulai
pada saat perumusan negara Indonesia.
38 Majda El-Muhtaj, 2007, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta,
hlm. 4.
39 H. Victor Condé, 1999, A Handbook of International Human Rights Terminology,
Lincoln N.E.: University of Nebraska Press, hlm. 15. Hal itu dinyatakan sebagai berikut: “There
is no universally accepted and authoritative definition of human rights. Many define it as a
legally enforceable claim or entitlement that is held by an individual human being vis-á-vis the
state government for the protection of the inherent human dignity of the human being”.
stoika hingga ke zaman modern dengan tulisan-tulisan hukum kodrati Thomas
Aquinas, Hugo de Groot dan selanjutnya pada zaman pasca Reinaisans, John
Locke mengajukan pemikiran tentang hukum kodrati sehingga melandasi
munculnya revolusi yang terjadi di Inggris , Amerika Serikat dan Perancis pada
abad 17 dan 18.
Berkembangnya ide tentang perlindungan terhadap HAM relatif baru yaitu
sejak awal dan pertengahan abad ke-20 bersamaan dengan meluasnya aspirasi
dekolonisasi negara-negara yang dijajah dunia barat. Sebelumnya, ide tentang
perlindungan terhadap HAM itu tumbuh dilingkungan negara-negara Barat
sendiri yang oleh para ilmuwan dikemudian hari dikaitkan dengan gerakangerakan pembebasan yang timbul di Eropa, mulai abad ke-13 sampai akhir abad
ke-18.40 Sebenarnya, beberapa prinsip hak asasi manusia juga sudah tumbuh
dalam tradisi politik indonesia itu sendiri jauh sebelum bangsa barat datang ke
indonesia. Malah, oleh Muhammad Yamin dikatakan bahwa dalam lingkaran
peradaban bangsa indonesia sejak beratus-ratus tahun lamanya, setiap manusia
memang mempunyai hak dan kewajiban terhadap diri sendiri, kepada keluarga,
kepada masyarakat, dan kepada negara. Hak dan kewajibannya itu menurut
muhammad yamin diakui dan diatur melalui hukum adat. Bahkan ada juga
sebagian yang sudah dituliskan.
Sebelum membahas mengenai sejarah HAM di Indonesia, perlu dikaji
mengenai pemikiran tentang hukum kodrati 41 berakar dari kekuatan konservatif
40 Ibid.
41 Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam
Pergaulan Internasional, Grafiti, jakarta, hlm. 2.
yang ingin melindungi properti-properti tertentu dengan selimut suci yang
merupakan cikal bakal munculnya keprcayaan untuk melindungi HAM.
Motif tersebut diakui sebagai hak fundamental dari setiap individu dalam
hidupnya. Namun uniknya dibalik sifat konservatif gagasan hukum kodrati tadi,
ternyata tersimpan juga motif yang revolusioner, hal ini terbukti ketika pemikiran
hukum kodrati tentang kesetaraan manusia terkandung dalam dokumen hukum
di Amerika dan Perancis yang bertujuan untuk melindungi hakhak asasi manusia.
42
Namun, dari filosofi tersebut muncullah perlawanan bertolak dari
keyakinan baru bahwa kekuasaan pemerintahan mestilah dirujukkan ke
kedaulatan rakyat, dan tidak langsung ke kekuasaan Tuhan. Inilah kedaulatan
manusia-manusia yang semula diperintah sebagai hamba-hamba oleh para raja
yang pandai berkilah bahwa titah-titah adalah merupakan representasi kehendak
Tuhan.
Hukum HAM internasional memperluas alasan diskriminasi. UDHR
menyebutkan beberapa alasan diskriminasi, antara lain: ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau opini lainnya, nasionalitas atau
kebangsaan, kepemilikan akan suatu benda (property), kelahiran atau status
lainnya. Semua itu merupakan alasan yang tidak terbatas dan semakin banyak
pula instrumen yang memperluas alasan diskriminasi termasuk di dalamnya
orientasi seksual, umur dan cacat tubuh.43
42 Antonius Cahyadi dan E Fernando M Manulang,2008, Pengantar filsafat Hukum, cet.
2, Kencana, Jakarta, hlm. 42.
43 Wiliam R. Slomanson, 2000, Fundamental Perspectives on International Law, 3rd
Edition, Belmont:
Wadsworth, hlm. 172.
Inilah kedaulatan rakyat awam yang kini telah mampu berartikulasi untuk
menuntut pengakuan atas statusnya yang baru warga bebas pengemban hak
yang kodrati, atas dasar keyakinan bahwa suara kolektif mereka adalah
sesungguhnya suara Tuhan. Vox populi, “vox Dei” Di sinilah bermulanya
pemikiran ulang tentang batas-batas kewenangan raja di satu pihak dan luasnya
hak dan kebebasan rakyat yang asasi di lain pihak. Dalam pemikiran baru ini,
kuasa raja atau kepala negara beserta aparatnya itu kini tidak lagi boleh
dikonsepkan sebagai refleksi kekuasaan Tuhan yang oleh sebab itu juga tak
terbatas. Kekuasaan negara itu mestilah terbatas dan punya batas, dibatasi oleh
dan berdasarkan perjanjiannya dengan rakyat.
44
Kekuasaan negara di tangan penguasa-penguasa pemerintahan tidak lagi
dikonsepkan sebagai kekuasaan yang berasal dari kuasa Tuhan, atas dasar
perjanjian dengan-Nya, entah itu Perjanjian Lama entah itu Perjanjian Baru.
Demikian antara lain oleh Jean J. Rousseau yang menulis Du Contract Social
pada tahun 1776. Rousseau inilah yang menteorikan suatu dasar pembenar
moral falsafati bahwa rakyat yang bukan lagi kawula, melainkan warga itu, lewat
proses-proses politik yang volunter dan sekaligus konstitusional, bersetuju untuk
membatasi kebebasannya pada suatu waktu tertentu berkenaan dengan kasuskasus tertentu demi dimungkinkannya terwujudnya kekuasaan pemerintahan
pada waktu tertentu untuk urusan tertentu.45
44 Mohammad Ryan Bakry, 2010, Implementasi Hak Asasi Manusia, FH UI, hlm. 28.
45 Menurut Satya Arinanto, generasi-generasi HAM dibagi atas tiga: (1). Generasi
pertama, pemikiran mengenai konsepsi HAM yang sejak lama berkembang dalam wacana para
ilmuwan sejak era enlightment di eropa, meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum
internasional yang resmi. Puncaknya adalah penandatanganan Universal Declaration of Human
Right. Elemen dasar konsepsi HAM adalah soal prinsip Integritas manusia, kebutuhan dasar
manusia, dan prinsip kebebasan sipil;(2). Generasi kedua konsepsi HAM mencakup pula upaya
Konsep dasar HAM di Indonesia dapat ditemukan peraturannya dalam
UUD 1945. Indonesia sendiri menyusun UUD 1945 sebelum adanya The
Universal Declaration of Human Rights, namun ide-ide hak asasi manusia yang
tercermin dalam deklarasi tersebut sudah diketahui oleh para the founding father
indonesia dalam sidang BPUPKI pada tahun 1945.100 Rapat besar BPUPKI
yang diselenggarakan pada tanggal 15 juli 1945 menyimpan memori tentang
perlu tidaknya pengaturan tentang HAM dicantumkan dalam UUD 1945. Oleh
karena itu, ketentuan yang berkenaan dengan hak asasi manusia dapat
dikatakan dimuat secara terbatas dalam UUD 1945, yaitu sebanyak tujuh pasal
saja.46 Sedikitnya pasal-pasal yang berbicara langsung tentang hak asasi
manusia dalam UUD 1945 bukan karena naskah UUD ini disusun sebelum
adanya Universal Declaration of Human Rights.47
Oleh karena itu ide untuk mengadopsi perlindungan hak asasi manusia
itu, terus diperjuangkan oleh berbagai kalangan, lahirnya pemerintahan Orde
Baru, adalah untuk melindungi HAM. Berpedoman kepada pengalam orde lama
yang kurang mengindahkan hak asasi warga negara, sidang umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat sementara ke IV menetapkan ketetapan MPRS
snomor XIV/MPRS/1966 yang memerintahkan antara lain penyusunan piagam
hak asasi manusia. Artinya, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyadari
menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar ekonomi, sosial dan kebudayaan;
(3).konsepsi ini mencakup pengertian mengenai hak atas pembangunan. (dalam Mohammad
Ryan Bakry, 2010, Implementasi Hak Asasi Manusia, FH UI, hlm. 29)
46 Harun Al Rasyid, 2007, Naskah Undang-Undang 1945 Sesudah Empat Kali di Ubah
Oleh MPR, cet. 1, UI Press, hlm. 178.
47 Pada tahun 1945 telah ada Declaration of Independent Amerika Serikat dan
Declaration des Droit de l’homme et du Citoyen Perancis, yang dijadikan bahan untuk
penyusunan pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang lebih lengkap dari apa yang
kemudian disepakati dalam UUD 1945.
ketidaklengkapan Undang-Undang Dasar 1945 dalam mengatur hak asasi
manusia. Berdasarkan TAP MPRS tersebut dibentuklah panitia-panitia ad hoc,
yang dalam penyusunannya mengundang para sarjana, cendikiawan dan tokoh
masyarakat untuk memberikan ceramah tentang HAM. Berdasarkan bahanbahan yang berhasil dihimpun panitia menyusun suatu piagam tentang Hak-hak
Asasi dan Hak-hak serta kewajiban Warga Negara.
Setelah masa reformasi, perubahan UUD 1945 adalah dianggap sebagai
sesuatu yang niscaya. Bahkan, perubahan UUD 1945 itu sendiri merupakan
puncak dari aspirasi dari gerakan reformasi itu sendiri. Materi yang semula
hanya tujuh butir sekarang telah bertambah dengan signifikan, perumusannya
menjadi lebih lengkap dan menjadikan UUD NRI 1945 merupakan salah satu
UUD yang paling lengkap memuat perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Dengan disahkannya perubahan satu sampai ke empat UUD NRI 1945 48 pada
tahun 2002, yang dimuat dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28A
sampai dengan 28 J, yaitu:49
1) Pasal 28A. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya .50
2) Pasal 28 B. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah (1), setiap anak berhak atas
48 Perubahan pertama tahun 1999 dalam sidang umum MPR, kedua kali dalam sidang
tahunan 2000 MPR, ketiga kali dalam sidang tahunan 2001 MPR dan yang keempat sidang
tahunan MPR 2002.
49 Harun Al Rasyid, 2007, Naskah Undang-Undang 1945 Sesudah Empat Kali di Ubah
Oleh MPR, cet. 1, UI Press, Jakarta, hlm. 105-109.
50 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 A.
kelangsungan
hidup,
tumbuh,
dan
berkembang
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (2).
serta
berhak
atas
51
3) Pasal 28C. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat
da