Bab Delapan Kartosoewirjo Tertangkap

Bab Delapan Kartosoewirjo Tertangkap

Kekuatan perjuangan Darul Islam yang diproklamasikan oleh Kartosoewirjo sesungguhnya terletak dalam kemampuan untuk mengatur, menyusun dan menyelenggarakan susunan ketentaraan dan susunan organisasi kenegaraan NII. Pergerakan menuju berdirinya Negara Islam Indonesia sejak tahun 1939 telah dirumuskan dengan langkah langkah yang jelas, namun mengapa pada akhirnya mujahid besar ini ditangkap lawan dan ditinggalkan para pengawalnya sendiri, ini merupakan hal yang menarik untuk dicermati. Bila kita lakukan kilas balik, maka dalam sebuah konferensi di Cisayong, bersama para Ulama dalam Majlis Islam, telah disepakati bahwa langkah perjuangan haruslah melalui langkah langkah berikut :

1. Mendidik rakyat agar cocok menjadi warga negara Islam.

2. Memberikan penjelasan kepada rakyat bahwa Islam tidak bisa dimenangkan dengan Feblisit (referendum)

3. Membangun daerah daerah basis.

4. Memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia.

5. Membangun Negara Islam Indonesia sehingga kokoh ke luar dan ke dalam, dalam arti, di dalam negeri bisa melaksanakan syari’at Islam seluas luasnya dan sesempurna sempurnanya, sedang keluar, sanggup berdiri sejajar dengan negara negara lain.

6. Membantu perjuangan muslimin di negeri negeri lain sehingga cepat bisa melaksanakan wajib sucinya.

7. Bersama negara negara Islam membentuk Dewan Imamah Dunia untuk mengangkat Kholifah dunia.

Tahapan tahapan di atas demikian realistis, jauh dari kesan tergesa gesa, atau perlawanan sekedar karena tidak kebagian jatah kekuasaan, tetapi muncul dari kebeningan hati, keteguhan jiwa dan langkah langkah yang istiqomah dalam tahapan yang demikian sistematik.

Namun pada dataran praktis, kita lihat rencana tadi tidak berjalan dengan mulus, tragedi “Nabi Musa AS” dan kepedihan yang menimpa “Nabi Isa AS” dialami secara berbarengan. Jika Nabi Isa adalah sosok pembawa risalah, namun sayang didukung oleh Anshorulloh yang sangat sedikit. Dan bila Nabi Musa walaupun memiliki ummat banyak, namun kualitasnya demikian payah, sehingga banyaknya ummat bukannya membantu malah jadi beban dan membuat kinerja menjadi lambat. Maka demikian pula yang dialami Imam Kartosoewirjo dalam meneratas jalan jihadnya. Beliau berhasil mengkader sosok sosok pilihan dalam Institut Suffah, figur figur yang Namun pada dataran praktis, kita lihat rencana tadi tidak berjalan dengan mulus, tragedi “Nabi Musa AS” dan kepedihan yang menimpa “Nabi Isa AS” dialami secara berbarengan. Jika Nabi Isa adalah sosok pembawa risalah, namun sayang didukung oleh Anshorulloh yang sangat sedikit. Dan bila Nabi Musa walaupun memiliki ummat banyak, namun kualitasnya demikian payah, sehingga banyaknya ummat bukannya membantu malah jadi beban dan membuat kinerja menjadi lambat. Maka demikian pula yang dialami Imam Kartosoewirjo dalam meneratas jalan jihadnya. Beliau berhasil mengkader sosok sosok pilihan dalam Institut Suffah, figur figur yang

Disamping itu Kartosoewirjo juga pandai menggunakan situasi kondisi politik dan militer dalam menyusun dan mengatur administrasi pemerintah NII yang dia selalu sesuaikan dengan keadaan yang berlaku atau dengan perubahan-perubahan keadaan di dalam maupun di luar negeri. Setiap perubahan dan perkembangan politik telah dijadikan dasar pertimbangannya dalam mengatur dan menyempurnakan susunan pemerintahan.

Tentara Nasional Indonesia, sebagai tulang punggung Republik Indonesia mempersiapkan rencana operasi untuk menghancurkan Negara Islam Indonesia ini, peperangan antara RI dan NII

benar benar total meliputi segala aspek kehidupan, mulai dari perang propaganda, perang intellijen sampai penghancuran satuan satuan militer TII. Keberhasilan TNI menghancurkan TII didahului dengan keberhasilan operasi intellijen.

Pada tahun 1951 Sersan Mayor Ukon Sukandi yang bertugas sebagai intel dengan nama samaran Sukarta, memperoleh informasi adanya bekas komandan/tokoh TII, dari Batalyon Kalipaksi yang berkedudukan di Garut, bernama Ali Murtado, telah melemah semangat tempurnya dan kembali ke kota. Ukon Sukandi mendatanginya dan berusaha merebut simpati bekas komandan ini dengan berbagai kebaikan. Ali Murtado tertarik dengan segala kebaikan Ukon Sukandi tadi bahkan Ali Murtado melaporkan pada pimpinan TII di atasnya –pamannya sendiri- Bapak Sujai bahwa Ukon Sukandi ini pantas untuk direkrut demi kepentingan TII dalam menjalankan aksi intellijen di kota.

Sebaliknya Sersan Mayor Ukon Sukandi pun melaporkan pada atasannya bahwa Ali Murtado berhasil didekati dan bisa diperalat, diserap informasinya bahkan bisa menjadi jalan bagi masuknya operasi intellijen TNI ke dalam tubuh TII. Lewat Ali Murtado inilah Ukon Sukandi berhasil menipu Bapak Sudjai, ia memberikan banyak bantuan kepada komandan TII tersebut, baik berupa uang, pakaian. Alat alat tulis, surat kabar, dan surat pribadinya yang menunjukan Sebaliknya Sersan Mayor Ukon Sukandi pun melaporkan pada atasannya bahwa Ali Murtado berhasil didekati dan bisa diperalat, diserap informasinya bahkan bisa menjadi jalan bagi masuknya operasi intellijen TNI ke dalam tubuh TII. Lewat Ali Murtado inilah Ukon Sukandi berhasil menipu Bapak Sudjai, ia memberikan banyak bantuan kepada komandan TII tersebut, baik berupa uang, pakaian. Alat alat tulis, surat kabar, dan surat pribadinya yang menunjukan

Dua hari kemudian datang surat penetapan dari Komandan Divisi I Sunan Rahmat TII, Agus Abdullah yang menetapkan dan mengangkat Ali Murtado sebagai Kepala Pos Hubungan Wilayah

I dan berkedudukan di Jakarta. Penugasan ini terasa membawa dampak positif bagi lalu lintas surat menyurat untuk kepentingan perjuangan NII, dan Agus Abdullah melaporkan hal positif ini kepada Imam Kartosoewirjo, yang selanjutnya Imam memerintahkan Agus Abdullah untuk meningkatkan hubungan dan kegiatan di Jakarta, bahkan kalau memungkinkan dibentuk perwakilan pemerintah NII di Jakarta. Akhirnya Agus Abdullah memerintahkan kepada Ali Murtado untuk menyusun personalia guna mengisi jabatan dalam perwakilan Pemerintah NII di Jakarta. Kartosoewirjo mempercayai Ali Murtado, karena usulan ini datang dari orang kepercayaan Kartosoewirjo sendiri di Jawa Barat (Komandan Divisi).

Ali Murtado menyampaikan surat ini kepada Ukon Sukandi, segera saja ia membahasnya bersama Komandan Intellijen TNI, Letnan Muda Satiri dan Kepala seksi I KMKB – DR (Komando Militer Kota Besar Djakarta raya) , Lettu Suhadi. Dengan persetujuan Seksi I KMKB – DR, setelah berhasil menyusupkan anggota kepolisian dari seksi Djatinegara, segera Ukon Sukandi dan Ali Murtado menyusun personalia perwakilan Pemerintah NII sebagai berikut :

Komandan : Ali Murtado Wakil Komandan : Sukarta (nama samaran Sersan Mayor TNI Ukon Sukandi) Kepala Kepolisian : Among (Anggota POLRI sesksi Djatinegara)

Perwakilan pemerintahan ini menunjukkan keberhasilan kerja yang lumayan (maklum karena memang disponsori oleh agen intellijen RI), ketika Sukarta berhasil meluluskan transaksi jual beli senjata. Walaupun akhirnya senjata yang telah berhasil dibeli NII itu berhasil dirampas kembali dalam sebuah pemeriksaan truk di jalan Karawang – Purwakarta. Terbongkarnya truk yang membawa senjata ini bukanlah kebetulan, namun demikianlah rencana TNI untuk menjebak aparat NII yang telah berhasil disusupinya.

Meskipun senjata yang berhasil dibeli NII itu gagal tiba di tempat tujuan, namun kepercayaan pemerintah pusat terhadap perwakilan pemerintah NII di Jakarta tidak hilang, karena pihak intellijen RI berhasil membuat alibi, seakan akan kebocoran itu bukan disebabkan adanya unsur Meskipun senjata yang berhasil dibeli NII itu gagal tiba di tempat tujuan, namun kepercayaan pemerintah pusat terhadap perwakilan pemerintah NII di Jakarta tidak hilang, karena pihak intellijen RI berhasil membuat alibi, seakan akan kebocoran itu bukan disebabkan adanya unsur

Ketika Kolonel TII Sohby datang ke Jakarta dan menyatakan keinginannya untuk menginspeksi pasukan, Sukarta menyampaikan alasan bahwa para prajurit yang dilatihnya tersebar di berbagai wilayah Jakarta, dan ia minta waktu dua hari saja untuk mengumpulkan mereka. Untuk memenuhi keinginan ini dan demi memperkuat rasa percaya pemerintah NII terhadap dirinya, maka “simunafiq” Ukon Sukandi ini mengontak pimpinan intel Jakarta untuk meminjam beberapa puluh karaben dari Detasemen Markas. Bersamaan dengan itu juga dikumpulkan 40 orang intel yang secara kilat dilatih tatacara upacara militer TII oleh Ali Murtadho. untuk hadir di sekitar Rawa Buaya daerah Tangerang, berpura pura sebagai pasukan TII yang siap menyambut kedatangan komandannya.

Kolonel TII Sohby menyatakan kepuasaannya melihat kesigapan ‘para prajurit’ itu, bahkan mengomentari, “sekalipun berada di daerah jantung musuh, namu semangat dan disiplinnya melibihi pasukan TII yang kini beroperasi di gunung gunung.” Selama seminggu di Jakarta Sohby menyuruh Ali Murtado untuk mengetik surat buat Imam Kartosoewirjo dan kepada Agus Abdullah dan ditembuskan kepada semua panglima wilayah TII, bahwa setelah mendapat restu dari Imam NII ia (Kolonel TII Sohby) akan melanjutkan tugasnya sebagai Duta Keliling di luar negeri .

Berita ini tentu saja amat bernilai di mata intellijen RI, Sersan Mayoor Ukon Sukandi segera saja melaporkan hal ini kepada Kepala Seksi I Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya. Si munafik Ukon Sukandi mengusulkan agar Sohby tidak ditangkap di Jakarta, sebab itu akan menimbulkan kecurigaan pemerintah pusat NII kepadanya. Akhirnya Sohby dijebak di Bogor, sekaligus Ukon Sukandi memfitnah, melaporkan pada pemerintah pusat, bahwa tertangkapnya Duta besar keliling NII ini disebabkan pengkhianatan A.M Firdaus. Dengan demikian pihak TNI berhasil menghancurkan dua orang sosok pilihan Negara Islam sekaligus. Sohby ditangkapnya, sedang tentara Islam yang asli A.M. Firdaus dihukum mati oleh kawannya sendiri.

Ukon Sukandi sendiri semakin dipercaya oleh Komandan Divisi I TII Sunan Rahmat, ketika ia menyatakan kesiapannya untuk membujuk dan menyogok perwira TNI untuk membebaskan Kolonel TII Sohby yang tertangkap itu. Agus Abdullah menyetujui rencana itu, bahkan sekalian Ukon Sukandi sendiri semakin dipercaya oleh Komandan Divisi I TII Sunan Rahmat, ketika ia menyatakan kesiapannya untuk membujuk dan menyogok perwira TNI untuk membebaskan Kolonel TII Sohby yang tertangkap itu. Agus Abdullah menyetujui rencana itu, bahkan sekalian

Tidak Heran bila pada tahun 1953 KUKT APNII Abdul Fatah Tanu Wirananggapati yang baru saja pulang menggalang wilayah Aceh menjadi bagian dari NII, tertangkap di Jakarta. Penyusupan yang dilakukan lewat Ukon Sukandi dengan memperalat Ali Murtado ini, terus berkembang, sehingga pada tahun 1955, di Bandung saja, antara pejuang TII asli dengan pasukan Intellijen RI yang berhasil disusupkan sudah fifty-fifty . Akibatnya mudah diduga, apapun perintah Kartosoewirjo dalam mengatur strategi perang, dengan mudah digagalkan oleh TNI. Ini diakibatkan oleh kecerobohan aparat TII yang dengan mudahnya menerima kembali seorang yang telah berhenti berjuang dan kembali ke kota (Ali Murtado), yang kemudian hanya karena dianggap berhasil merekrut seorang kader potensial, langsung diangkat kembali untuk menjabat posisi penting, tanpa memproses pelanggarannya.

Kartosoewirjo semakin terdesak , secara militer digerogoti oleh agen agen kontra intellijen RI, dan secara politik dengan semakin menancapnya kuku kekuasaan Presiden Sukarno. Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 di mana Presiden Soekarno mengemukakan dasar-dasar yang akan dijadikan GBHN, dan kemudian terkenal sebagai Manipol USDEK. Pada waktu itu bagi Kartosoewirjo sudah jelas, bahwa setelah Soekarno dapat memegang kembali kekuasaan di tangannya, bagi Negara Islam Indonesia akan timbul masa-masa yang sulit.

Dalang peperangan strategi pertempuran masing masing negara bisa berbah sesuai keperluan, pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada tahun 1958 merevisi doktrin militer yang selama itu dipraktekkan . Hasilnya adalah konsep Perang Wilayah dengan dasar pemikiran, bahwa tanpa adanya bantuan aktif dari masyarakat, perjuangan suci tidak akan dapat ditumpas. Untuk itu keadaan masyarakat harus distabilisasikan dan cara berpikir yang konstruktif serta integrasi nasional perlu didukung untuk mencapai partisipasi yang aktif dari rakyat dalam tugas- Dalang peperangan strategi pertempuran masing masing negara bisa berbah sesuai keperluan, pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada tahun 1958 merevisi doktrin militer yang selama itu dipraktekkan . Hasilnya adalah konsep Perang Wilayah dengan dasar pemikiran, bahwa tanpa adanya bantuan aktif dari masyarakat, perjuangan suci tidak akan dapat ditumpas. Untuk itu keadaan masyarakat harus distabilisasikan dan cara berpikir yang konstruktif serta integrasi nasional perlu didukung untuk mencapai partisipasi yang aktif dari rakyat dalam tugas-

Rupanya Ibrahim Adjie berorientasi pada pengalaman perang gerilya Jugoslavia selama perang dunia kedua. Kemudian konsep Perang Wilayah disyahkan oleh Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960.

Namun sebelumnya, pada bulan Februari 1959 telah disusun “Petunjuk Pokok Pelaksanaan Pemulihan Keamanan (P4K) yang bersandar pada konsep Perang Wilayah dan yang merupakan suatu petunjuk untuk penggunaan seluruh sarana militer seefisien mungkin. Akhirnya lahirlah Rencana Pokok 2.1. (RP 2.1.) untuk membatasi kebebasan bergerak lawan sehingga lawan terdorong ke dalam daerah-daerah tertentu yang kemudian diselesaikan satu per satu. Untuk melaksanakan rencana tersebut, pada bulan Desember 1959 disusun Rencana Operasi 2.1.2. dan kemudian pada bulan Februari 1961 dikeluarkan RO 2.1.2.1. yang merupakan percepatan dari Rencana Operasi 2.1.2. Kalau dalam RO 2.1.2. pemulihan keamanan wilayah Jawa Barat direncanakan dalam waktu 5 tahun, yaitu sampai tahun 1965, dalam RO 2.1.2.1. waktu dipercepat sampai akhir tahun 1962.

Tak lama setelah Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kembali ke Undang-Undang Dasar 45, di seluruh Jawa Barat serempak Operasi Wilayah GERAK, TANAH dan GODAM. Sesuai dengan Rencana Pokok 2.1.2. wilayah Jawa Barat dibagi menjadi tiga daerah operasi, Daerah Operasi A (DO-A), dimana telah tercapai normalisasi keadaan, Daerah Operasi B (DO-B) yang sudah dikontrol oleh TNI tetapi belum 100 % bersih dari pemberontak Darul Islam dan Daerah Operasi C (DO-C) yang masih sepenuhnya dikontrol oleh perjuangan suci Darul Islam. Pihak militer dengan demikian menjiplak sistem D.I/D.II/D.III yang dipraktekkan perjuangan suci Darul Islam.

Penumpasan dan pengisolasian perjuangan suci Darul Islam dimulai pada pertengahan tahun 1960 di Kabupaten Lebak (DO-C 19) yang termasuk Korem Banten, untuk menutup kemungkinan adanya anggota pejuang mujahid Darul Islam dapat menyeberang ke Sumatra. Di daerah Banten ini juga untuk pertama kali penduduk setempat diikut sertakan dalam operasi militer yang mula- mula dinamakan sebagai “Perang Bedok” dan kemudian terkenal sebagai sistem “Pagar Betis”. Pada mulanya sistem ini kurang berhasil, namun setelah ada perbaikan maka sistem Pagar Betis merupakan salah satu syarat untuk berhasil dalam peningkatan dan pengisolasian Tentara Islam Indonesia, terutama di daerah Banten dan Priangan.

Situasi yang demikian menjepit, dimana rakyat yang semula berpartisifasi aktif dalam mempertahankan berdirinya negara Islam Indonesia, perlahan lahan menarik bantuannya. Hal ini Situasi yang demikian menjepit, dimana rakyat yang semula berpartisifasi aktif dalam mempertahankan berdirinya negara Islam Indonesia, perlahan lahan menarik bantuannya. Hal ini