PENGANTAR HUKUM KEIMIGRASIAN
PENGANTAR HUKUM KEIMIGRASIAN
(UNDANG – UNDANG NO.6 TAHUN 2012 TENTANG KEIMIGRASIAN)
I.
PENDAHULUAN
Dengan bergulirnya globalisasi
di seluruh sektor kehidupan
masyarakat dunia dan berkembangnya teknologi di bidang informasi dan
komunikasi yang menembus batas wilayah kenegaraan, aspek hubungan
kemanusiaan yang selama ini bersifat nasional berkembang menjadi bersifat
internasional, bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya tuntutan
terwujudnya tingkat kesetaraan dalam aspek kehidupan kemanusiaan,
mendorong adanya kewajiban untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak
asasi manusia sebagai bagian kehidupan universal.
Bersamaan dengan perkembangan di dunia internasional, telah terjadi
perubahan di dalam negeri yang telah mengubah paradigma dalam berbagai
aspek ketatanegaraan seiring dengan bergulirnya reformasi di segala bidang.
Perubahan itu telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap
terwujudnya persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga Negara
Indonesia memperoleh kesempatan yang sama dalam menggunakan haknya
untuk keluar atau masuk wilayah Indonesia.
Dampak era globalisasi telah mempengaruhi sistem perekonomian
Negara Republik Indonesia, baik di bidang ekonomi, industri, perdagangan,
transportasi, ketenagakerjaan, maupun peraturan di bidang lalu lintas orang.
Perubahan tersebut diperlukan untuk meningkatkan intensitas hubungan
Negara Republik Indonesia dengan dunia internasional yang mempunyai
dampak sangat besar terhadap pelaksanaan fungsi dan tugas keimigrasian.
Penyederhanaan prosedur Keimigrasian bagi para investor asing yang akan
menanamkan modalnya di Indonesia perlu dilakukan, antara lain kemudahan
pemberian Izin Tinggal Tetap bagi para penanam modal yang telah
memenuhi syarat tertentu. Dengan demikian, diharapkan akan tercipta iklim
investasi yang menyenangkan dan hal itu akan lebih menarik minat investor
asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Hukum Keimigrasian merupakan bagian dari sistem hukum yang
berlaku di Indonesia, bahkan merupakan subsistem dari Hukum Administrasi
Negara dan bagian dari Hukum Tata Negara yang didalamnya memuat asas
Kedaulatan Negara. Pemberlakuan prinsip timbal-balik (resiprositas) pada
pemberian bebas visa terhadap orang asing merupakan perwujudan dari asas
kedaulatan Negara.
Pergeseran kebijakan selektif (selective policy) menjadi kebijakan
selektif yang menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia secara factual telah
meningkatkan arus lalu lintas orang, barang dan jasa ke wilayah Indonesia
serta mendorong memacu pertumbuhan ekonomi, proses modernisasi
masyarakat dan meningkatkan penerimaan devisa. Namun peningkatan arus
lalu lintas barang, jasa, modal, informasi dan orang juga dapat menimbulkan
dampak negative bagi Negara Republik Indonesia, seperti :
1. Dominasi perekonomian nasional oleh perusahaan transnasional
yang bergabung dengan perusahaan Indonesia (melalui Penanaman
Modal Asing dan/atau Penanaman Modal Dalam Negeri, pembelian
saham atau kontrak lisensi).
2. Munculnya Transnational Organized
Crimes (TOC) mulai dari
perdagangan wanita dan anak-anak, pencucian uang, narkotika,
obat terlarang, imigran gelap sampai ke perbuatan terorisme
internasional.
Dampak negative ini akan semakin meluas ke pola kehidupan serta
tatanan sosial budaya yang dapat berpengaruh pada aspek pemeliharaan
keamanan dan ketahanan nasional secara makro.
II. KEPUTUSAN DALAM PEMBERIAN PELAYANAN JASA KEIMIGRASIAN
Pemerintah dalam memberikan Pelayanan Hukum
di
bidang
Keimigrasian kepada masyarakat telah meletakkan dasar – dasar yang baik
dengan
disahkannya
Keimigrasian
yang
Undang
dipandang
–
Undang
mampu
No.6
menjawab
Tahun
2011
aspirasi
tentang
masyarakat
pengguna jasa keimigrasian. Pelaksanaan Undang – Undang No.6 Tahun 2011
tentang keimigrasian pada Kantor Imigrasi dilaksanakan oleh Pejabat Imigrasi
yang diberikan kewenangan seperti dimaksud dalam Undang – Undang No.6
Tahun 2011 Tahun 2011 dengan berlandaskan pada teori maupun azas – azas
hukum yang relevan dengan kewenangannya. Azas hukum yang dimaksud
adalah unsur penting atau pokok, atau dasar – dasar umum yang terkandung
dalam peraturan hukum dan mengandung nilai – nilai etis.
Dalam melaksanakan fungsi pemerintahan, aparatur imigrasi selaku
public service mempunyai kewenangan, kewenangan – kewenangan itu harus
dipergunakan dalam kerangka Negara hukum, sehingga tidak menimbulkan
kerugian bagi orang atau badan hukum perdata. Perlu diketahui bersama
bahwa istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan bevoeghieid,
tetapi mempunyai perbedaan karakter. Bevoeghieid digunakan dalam hukum
publik dan hukum privat, sedangkan wewenang selalu digunakan dalam
hukum publik. Aparatur imigrasi dalam hal ini Pejabat Imigrasi menjadi alat
negara untuk melaksanakan pelayanan kepada masyarakat menerbitkan
Dokumen Keimigrasian dan izin keimigrasian.
Dokumen dan izin yang
diterbitkan oleh Pejabat Imigrasi adalah wujud nyata dari kedaulatan negara
Indonesia, hal ini mengakibatkan semua dokumen maupun izin yang
diterbitkan oleh Imigrasi dapat dibatalkan, ditarik, dicabut dalam kerangka
pelaksanaan kedaulatan negara yang dilaksanakan juga oleh Pejabat Imigrasi
dan bersifat mutlak. Pejabat Imigrasi juga dimungkinkan untuk tidak
mengabulkan
permohonan
Dokumen
maupun
Izin
Keimigrasian
jika
ditemukan keraguan dalam proses pemeriksaan permohonan, sehingga
terbitnya permohonan dokumen maupun izin keimigrasian bukan merupakan
hak dari pemohon.
Dengan demikian, keputusan Pejabat Imigrasi dalam
memberikan pelayanan kepada pengguna jasa keimigrasian lebih didasarkan
pada kepentingan negara untuk mewujudkan kedaulatan negara. Keputusan
Pejabat Imigrasi dalam pelayanan pengguna jasa keimigrasian sejalan
dengan teori hukum publik, dimana wewenang merupakan inti dari Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Dalam Hukum Tata Negara,
wewenang dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum, jadi wewenang Pejabat
Imigrasi berkaitan dengan kekuasaan. Wewenang Pejabat Imigrasi dapat
diartikan
sebagai
suatu
kemampuan
yang
diberikan
oleh
peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum
yang sah.
Dengan adanya unsur kekuasaan, maka wewenang Pejabat Imigrasi
merupakan legitimasi bagi dikeluarkannya keputusan – keputusan sepihak
yang bersifat mengikat terhadap orang lain.
Salah satu prinsip atau asas Negara hukum adalah asas legalitas. Asas
ini menentukan bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan
hukum. Namun menurut pasal 53 ayat (2) UU No.5 Tahun 1986, Jo UU No.9
Tahun 2004 apabila suatu keputusan ternyata dikeluarkan oleh badan/pejabat
tata usaha Negara yang tidak berwenang, maka keputusan tersebut dapat
dinyatakan
sebagai
keputusan
yang
bertentangan
dengan
peraturan
perundang – undangan yang berlaku.
Berdasarkan rumusan pengertian keputusan tersebut di atas dapat
ditarik unsur–unsur yuridis keputusan menurut hukum positif sebagai
berikut :
1. Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan Pejabat Tata
2.
3.
4.
5.
Usaha Negara;
Berisi tindakan hukum tata usaha Negara;
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Bersifat konkrit, individual dan final;
Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
Apabila unsur “tertulis” ini dihubungkan dengan ketentuan Pasal 3 UU
No.5 Tahun 1986, yang menentukan bahwa apabila badan/pejabat tata usaha
Negara tidak mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan, sedangkan
hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan
keputusan tata usaha Negara. Jadi jika waktunya telah lewat sebagaimana
ditentukan
dalam
peraturan
perundang-undangan
atau
setelah
lewat
waktunya empat bulan sejak diterimanya permohonan, tetapi badan atau
pejabat
tata
usaha
Negara
itu
tidak
mengeluarkan
keputusan
yang
dimohonkan, maka badan atau pejabat tata usaha Negara tersebut dianggap
telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Sikap pasif badan/pejabat tata usaha Negara yang tidak mengeluarkan
keputusan itu, dapat disamakan dengan keputusan tertulis yang berisi
penolakan meskipun tidak tertulis. Keputusan demikian disebut keputusan
fiktif negatif. Fiktif artinya tidak mengeluarkan keputusan tertulis, tetapi
dapat dianggap telah mengeluarkan keputusan tertulis. Sedangkan negative
berarti
karena
isi
keputusan
itu
berupa
penolakan
terhadap
suatu
permohonan. Dengan demikian keharusan suatu keputusan tertulis sebagai
kompetensi absolut peradilan administrasi menjadi tidak lagi mutlak.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap permohonan yang
diterima dalam pelayanan keimigrasian seharusnya segera diproses dan
diberikan keputusan diterima permohonannya atau ditolak permohonannya.
Hal ini juga berlaku bagi pejabat yang menerbitkan atau menandatangani
keputusan harus sesuai dengan aturan yang berlaku pendelegasian harus
berdasarkan surat keputusan tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang.
III. PENGAWASAN KEIMIGRASIAN
Pelayanan
publik
dapat
diartikan
sebagai
pemberian
layanan
(melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai
kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata
cara yang telah ditetapkan. S e b a g a i m a n a
telah
dikemukakan
t e r d a h u l u b a h w a pemerintahan pada hakekatnya adalah
pelayanan
melayani
kepada
dirinya
masyarakat.
sendiri,
tetapi
Ia
untuk
tidaklah
melayani
diadakan
untuk
masyarakat
serta
menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat
mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai
tujuan bersama. Ka re n a n y a b i ro k r a s i p u b l i k b e r ke w a j i b a n d a n
bertanggung
jawab
untuk
memberikan
layanan
baik
d a n profesional. Pelayanan publik ( public services) oleh birokrasi publik
tadi a d a l a h
merupakan
salah
satu
perwujudan
dari
fungsi
a p a r a t u r negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi
negara.
Pelayanan
birokrasi
( public
publik
p u b l i k dimaksudkan
services)
untuk
oleh
mensejahterakan
masyarakat (warga Negara). Pelayanan publik dengan demikian dapat
diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai
dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sementara itu,
kondisi
yang
masyarakat saat ini telah
sangat
semakin
dinamis,
baik,
tingkat
merupakan
terjadi s u a t u
p e r ke m b a n g a n
ke h i d u p a n m a s y a r a k a t
indikasi
dari
yang
empowering yang
dialami oleh masyarakat. Hal ini berart i masyarakat semakin sadar
akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara
dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan ber negara. Masyarakat
semakin
berani
untuk
mengajukan
tuntutan,
ke i n g i n a n
dan
a s p i r a s i n y a kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin
berani u n t u k m e l a k u k a n k o n t r o l t e r h a d a p a p a y a n g d i l a k u k a n
oleh
pemerintahnya.
Dalam
ko n d i s i
masyarakat
seperti
d i g a m b a r k a n d i a t a s , birokrasi publik harus dapat memberikan layanan
publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka,
tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun
kualitas
manusia
individu
dan
dalam
arti
masyarakat
untuk
meningkatkan
secara
aktif
kapasitas
menentukan
masa
depannya sendiri.
Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang
dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi
layanan (aparatur pemerintah). Dengan ciri sebagai berikut :
1. Efektif,
lebih
mengutamakan
pada
pencapaian
apa
arti
prosedur/tata
yang
menjadi tujuan dan sasaran;
2. S e d e r h a n a ,
mengandung
cara
p e l a y a n a n diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak
berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh
masyarakat yangmeminta pelayanan;
3. Kejelasan dan ke pastian (transparan), mengandung akan
arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai :
a. Prosedur/tata cara pelayanan;
b. P e r s y a r a t a n
pelayanan,
baik
persyaratan
teknis
m a u p u n persyaratan administratif;
c. Unit
kerja
dan
atau
pejabat
yang
berwenang
dan
bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan;
d. Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya;
e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan
4. Keterbukaan,
mengandung
arti
prosedur/tata
cara
persyaratan,satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi
pelayanan,waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-
hal
lain
yangberkaitan
diinformasikan
dengan
secaraterbuka
proses
agar
pelayanan
mudah
wajib
diketahui
dan
dipahami oleh masyarakat,baik diminta maupun tidak diminta;
5. Efi siensi, mengandung arti :
a. Persyaratan
berkaitan
pelayanan
langsung
hanya
dibatasi
dengan
pada
pencapaian
hal-hal
sasaran
pelayanan dengan tetap me mperhati kan keterpaduan
antara
persyaratan
dengan
produk
pelayanan
yang
berkaitan;
b. D i c e g a h
adanya
persyaratan,
yang
pengulangan
dalam hal proses pelayanan masyarakat
bersangkutan
kelengkapan
pemenuhan
mempersyaratkan
persyaratan
dari
satuan
adanya
kerja/instansi
pemerintah lain yang terkait.
6. Ke t e p a t a n
waktu,
kriteria
ini
mengandung
arti
p e l a k s a n a a n pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam
kurun waktu yang telah ditentukan;
7.
Re s p o n s i f , le bi h m en g a r a h p a d a d a y a t a n g g a p
d a n c e p a t menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan
dan aspirasi masyarakat yang dilayani;
8.
Adaptif,
yang
cepat
menjadi
menyesuaikan
terhadap
apa
tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat
yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.
Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis di atas ,
birokrasi publik dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran
(revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur
dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka
menggunakan
pendekatan
kekuasaan,
berubah
menjadi
suka
menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis.
Imigrasi merupakan alat Negara yang memiliki tugas di bidang
lalu lintas orang masuk dan keluar serta pengawasan orang di wilayah
Republik
Indonesia.
pengawasan
Tugas
merupakan
sebagai
fungsi
penjaga
mutlak
di
pintu
bidang
gerbang
dan
keamanan
dan
penegakan hukum serta perwujudan kedaulatan negara yang harus
diemban oleh institusi Imigrasi.
Pada Era keterbukaan ini Imigrasi dituntut untuk mampu
menjabarkan dan memisahkan maksud dan arti pelayanan masyarakat,
pengamanan, penegakan hukum. Ketiga unsur yang ada pada setiap
kegiatan keimigrasian tersebut harus dilaksanakan secara bersamaan
dan simultan dan tidak mengabaikan tugas aparatur Negara sebagai
pelayan masyarakat. Untuk mewujudkan pelaksanaan pelayanan
masyarakat, pengamanan, penegakan hukum secara bersamaan dan
simultan diperlukan penjabaran yang jelas terperinci dan menuntut
adanya kepastian hukum dalam setiap keputusan yang diambil oleh
setiap pejabat Imigrasi yang bertugas.
Perwujudan pelayanan publik di Imigrasi mungkin cukup unik
mengingat produk yang dikeluarkan imigrasi berupa Dokumen milik
Negara serta Izin yang menyangkut kedaulatan negara Republik
Indonesia. Hal itulah yang mungkin menyebabkan mengapa pemerintah
ataupun
Kementerian
Hukum dan
Hak
Asasi
Manusia
tidak
menggunakan sebutan Kantor Pelayanan bagi institusi imigrasi. Hal
tersebut dimaksud agar masyarakat dapat memahami secara utuh
bahwa fungsi pelayanan yang diberikan institusi imigrasi sangatlah
berbeda mengingat tidak sepenuhnya masyarakat dapat memperoleh
haknya dalam memohon suatu permohonan kepada institusi Imigrasi,
meskipun imigrasi berkewajiban untuk memberikan jawaban atas
sesuatu yang dimohon oleh masyarakat tetapi Imigrasi tidak
berkewajiban untuk selalu mengabulkan permohonan yang diajukan
oleh masyarakat.
Sebuah penolakan dari permohonan yang diajukan oleh
masyarakat sudah seharusnya dituangkan dalam bentuk keputusan
tertulis namun jika keputusan tertulis tidak dikeluarkan maka dalam
waktu 4 (empat) bulan keputusan tertulis dimaksud tidak terbit maka
permohonan secara hukum dianggap ditolak oleh pejabat yang
mengeluarkan (pasal 3 UU No.5 Th. 1986). Norma hukum positif
tersebut sangatlah bertolak belakang dengan pelayanan prima yang
dewasa ini sedang dicanangkan pemerintah dalam rangka menuju good
governance, mengingat dalam mengambil keputusan setiap Pejabat
Imigrasi menanggung resiko dan beban yang cukup berat seperti
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 dimana terdapat
ancaman pidana bagi Pejabat Imigrasi yang tidak bekerja dengan baik
maupun lalai dalam menjalankan tugas.
Waktu dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat adalah hal
yang mutlak harus diketahui kepastiannya, namun waktu untuk
melakukan pembuktian dalam rangka pengamanan dan penegakan
hukum tidak sesingkat waktu pelayanan yang dicanangkan pemerintah,
meskipun demikian Imigrasi tetap dituntut untuk menghasilkan produk
keimigrasian yang tepat cepat bagi penggunanya. Sisi keamanan dan
penegakan hukum yang menjadi prinsip dasar penerbitan sebuah
Dokumen Negara seolah tidak dipandang sebelah mata karena sebagian
besar masyarakat lebih memilih adanya pelayanan prima yg berarti
pelayanan yang cepat, pergeseran opini masyarakat dengan yang
dimulai dengan istilah “sekarang urusan ke imigrasi lebih mudah”
membuat masyarakat semakin yakin bahwa telah terjadi pembohongan
public oleh pihak imigrasi. Pergeseran paradigma masyarakat untuk
dilayani lebih baik tidak berbanding lurus dengan kesadaran
masyarakat dalam tertib administrasi maupun tertib hukum, sehingga
menghasilkan hubungan timbal balik dengan oknum petugas imigrasi
selaku aparatur. Keadaan inilah yang seharusnya dijadikan moment
penting bagi institusi imigrasi selaku aparatur dibidang pelayanan,
pengamanan dan penegakan hukum untuk berbenah.
Aparatur keimigrasian dituntut untuk mampu mengerti dan
memahami bagaimana menjalankan pelayanan prima, pelaksanaan
pengamanan dan pelaksanaan penegakan hukum. Pelayanan prima bagi
pemohon semestinya dituangkan dengan Standar Operasional Prosedur
pelayanan yang jelas dan terukur. Pelaksanaan pengamanan
diwujudkan dalam pemberian produk keimigrasian kepada orang yang
tepat dan berhak untuk diberikan. Penegakan hukum dilaksanakan
kepada siapapun yang memang diduga melakukan pelanggaran maupun
kejahatan keimigrasian.
Pelaksanaan pelayanan, pengamanan dan penegakan hukum
secara simultan membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki
spesifikasi pegawai tehnis keimigrasian (pejabat imigrasi atau ajun
pejabat imigrasi) dan penyidik pegawai negeri sipil.
(UNDANG – UNDANG NO.6 TAHUN 2012 TENTANG KEIMIGRASIAN)
I.
PENDAHULUAN
Dengan bergulirnya globalisasi
di seluruh sektor kehidupan
masyarakat dunia dan berkembangnya teknologi di bidang informasi dan
komunikasi yang menembus batas wilayah kenegaraan, aspek hubungan
kemanusiaan yang selama ini bersifat nasional berkembang menjadi bersifat
internasional, bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya tuntutan
terwujudnya tingkat kesetaraan dalam aspek kehidupan kemanusiaan,
mendorong adanya kewajiban untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak
asasi manusia sebagai bagian kehidupan universal.
Bersamaan dengan perkembangan di dunia internasional, telah terjadi
perubahan di dalam negeri yang telah mengubah paradigma dalam berbagai
aspek ketatanegaraan seiring dengan bergulirnya reformasi di segala bidang.
Perubahan itu telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap
terwujudnya persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga Negara
Indonesia memperoleh kesempatan yang sama dalam menggunakan haknya
untuk keluar atau masuk wilayah Indonesia.
Dampak era globalisasi telah mempengaruhi sistem perekonomian
Negara Republik Indonesia, baik di bidang ekonomi, industri, perdagangan,
transportasi, ketenagakerjaan, maupun peraturan di bidang lalu lintas orang.
Perubahan tersebut diperlukan untuk meningkatkan intensitas hubungan
Negara Republik Indonesia dengan dunia internasional yang mempunyai
dampak sangat besar terhadap pelaksanaan fungsi dan tugas keimigrasian.
Penyederhanaan prosedur Keimigrasian bagi para investor asing yang akan
menanamkan modalnya di Indonesia perlu dilakukan, antara lain kemudahan
pemberian Izin Tinggal Tetap bagi para penanam modal yang telah
memenuhi syarat tertentu. Dengan demikian, diharapkan akan tercipta iklim
investasi yang menyenangkan dan hal itu akan lebih menarik minat investor
asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Hukum Keimigrasian merupakan bagian dari sistem hukum yang
berlaku di Indonesia, bahkan merupakan subsistem dari Hukum Administrasi
Negara dan bagian dari Hukum Tata Negara yang didalamnya memuat asas
Kedaulatan Negara. Pemberlakuan prinsip timbal-balik (resiprositas) pada
pemberian bebas visa terhadap orang asing merupakan perwujudan dari asas
kedaulatan Negara.
Pergeseran kebijakan selektif (selective policy) menjadi kebijakan
selektif yang menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia secara factual telah
meningkatkan arus lalu lintas orang, barang dan jasa ke wilayah Indonesia
serta mendorong memacu pertumbuhan ekonomi, proses modernisasi
masyarakat dan meningkatkan penerimaan devisa. Namun peningkatan arus
lalu lintas barang, jasa, modal, informasi dan orang juga dapat menimbulkan
dampak negative bagi Negara Republik Indonesia, seperti :
1. Dominasi perekonomian nasional oleh perusahaan transnasional
yang bergabung dengan perusahaan Indonesia (melalui Penanaman
Modal Asing dan/atau Penanaman Modal Dalam Negeri, pembelian
saham atau kontrak lisensi).
2. Munculnya Transnational Organized
Crimes (TOC) mulai dari
perdagangan wanita dan anak-anak, pencucian uang, narkotika,
obat terlarang, imigran gelap sampai ke perbuatan terorisme
internasional.
Dampak negative ini akan semakin meluas ke pola kehidupan serta
tatanan sosial budaya yang dapat berpengaruh pada aspek pemeliharaan
keamanan dan ketahanan nasional secara makro.
II. KEPUTUSAN DALAM PEMBERIAN PELAYANAN JASA KEIMIGRASIAN
Pemerintah dalam memberikan Pelayanan Hukum
di
bidang
Keimigrasian kepada masyarakat telah meletakkan dasar – dasar yang baik
dengan
disahkannya
Keimigrasian
yang
Undang
dipandang
–
Undang
mampu
No.6
menjawab
Tahun
2011
aspirasi
tentang
masyarakat
pengguna jasa keimigrasian. Pelaksanaan Undang – Undang No.6 Tahun 2011
tentang keimigrasian pada Kantor Imigrasi dilaksanakan oleh Pejabat Imigrasi
yang diberikan kewenangan seperti dimaksud dalam Undang – Undang No.6
Tahun 2011 Tahun 2011 dengan berlandaskan pada teori maupun azas – azas
hukum yang relevan dengan kewenangannya. Azas hukum yang dimaksud
adalah unsur penting atau pokok, atau dasar – dasar umum yang terkandung
dalam peraturan hukum dan mengandung nilai – nilai etis.
Dalam melaksanakan fungsi pemerintahan, aparatur imigrasi selaku
public service mempunyai kewenangan, kewenangan – kewenangan itu harus
dipergunakan dalam kerangka Negara hukum, sehingga tidak menimbulkan
kerugian bagi orang atau badan hukum perdata. Perlu diketahui bersama
bahwa istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan bevoeghieid,
tetapi mempunyai perbedaan karakter. Bevoeghieid digunakan dalam hukum
publik dan hukum privat, sedangkan wewenang selalu digunakan dalam
hukum publik. Aparatur imigrasi dalam hal ini Pejabat Imigrasi menjadi alat
negara untuk melaksanakan pelayanan kepada masyarakat menerbitkan
Dokumen Keimigrasian dan izin keimigrasian.
Dokumen dan izin yang
diterbitkan oleh Pejabat Imigrasi adalah wujud nyata dari kedaulatan negara
Indonesia, hal ini mengakibatkan semua dokumen maupun izin yang
diterbitkan oleh Imigrasi dapat dibatalkan, ditarik, dicabut dalam kerangka
pelaksanaan kedaulatan negara yang dilaksanakan juga oleh Pejabat Imigrasi
dan bersifat mutlak. Pejabat Imigrasi juga dimungkinkan untuk tidak
mengabulkan
permohonan
Dokumen
maupun
Izin
Keimigrasian
jika
ditemukan keraguan dalam proses pemeriksaan permohonan, sehingga
terbitnya permohonan dokumen maupun izin keimigrasian bukan merupakan
hak dari pemohon.
Dengan demikian, keputusan Pejabat Imigrasi dalam
memberikan pelayanan kepada pengguna jasa keimigrasian lebih didasarkan
pada kepentingan negara untuk mewujudkan kedaulatan negara. Keputusan
Pejabat Imigrasi dalam pelayanan pengguna jasa keimigrasian sejalan
dengan teori hukum publik, dimana wewenang merupakan inti dari Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Dalam Hukum Tata Negara,
wewenang dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum, jadi wewenang Pejabat
Imigrasi berkaitan dengan kekuasaan. Wewenang Pejabat Imigrasi dapat
diartikan
sebagai
suatu
kemampuan
yang
diberikan
oleh
peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum
yang sah.
Dengan adanya unsur kekuasaan, maka wewenang Pejabat Imigrasi
merupakan legitimasi bagi dikeluarkannya keputusan – keputusan sepihak
yang bersifat mengikat terhadap orang lain.
Salah satu prinsip atau asas Negara hukum adalah asas legalitas. Asas
ini menentukan bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan
hukum. Namun menurut pasal 53 ayat (2) UU No.5 Tahun 1986, Jo UU No.9
Tahun 2004 apabila suatu keputusan ternyata dikeluarkan oleh badan/pejabat
tata usaha Negara yang tidak berwenang, maka keputusan tersebut dapat
dinyatakan
sebagai
keputusan
yang
bertentangan
dengan
peraturan
perundang – undangan yang berlaku.
Berdasarkan rumusan pengertian keputusan tersebut di atas dapat
ditarik unsur–unsur yuridis keputusan menurut hukum positif sebagai
berikut :
1. Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan Pejabat Tata
2.
3.
4.
5.
Usaha Negara;
Berisi tindakan hukum tata usaha Negara;
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Bersifat konkrit, individual dan final;
Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
Apabila unsur “tertulis” ini dihubungkan dengan ketentuan Pasal 3 UU
No.5 Tahun 1986, yang menentukan bahwa apabila badan/pejabat tata usaha
Negara tidak mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan, sedangkan
hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan
keputusan tata usaha Negara. Jadi jika waktunya telah lewat sebagaimana
ditentukan
dalam
peraturan
perundang-undangan
atau
setelah
lewat
waktunya empat bulan sejak diterimanya permohonan, tetapi badan atau
pejabat
tata
usaha
Negara
itu
tidak
mengeluarkan
keputusan
yang
dimohonkan, maka badan atau pejabat tata usaha Negara tersebut dianggap
telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Sikap pasif badan/pejabat tata usaha Negara yang tidak mengeluarkan
keputusan itu, dapat disamakan dengan keputusan tertulis yang berisi
penolakan meskipun tidak tertulis. Keputusan demikian disebut keputusan
fiktif negatif. Fiktif artinya tidak mengeluarkan keputusan tertulis, tetapi
dapat dianggap telah mengeluarkan keputusan tertulis. Sedangkan negative
berarti
karena
isi
keputusan
itu
berupa
penolakan
terhadap
suatu
permohonan. Dengan demikian keharusan suatu keputusan tertulis sebagai
kompetensi absolut peradilan administrasi menjadi tidak lagi mutlak.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap permohonan yang
diterima dalam pelayanan keimigrasian seharusnya segera diproses dan
diberikan keputusan diterima permohonannya atau ditolak permohonannya.
Hal ini juga berlaku bagi pejabat yang menerbitkan atau menandatangani
keputusan harus sesuai dengan aturan yang berlaku pendelegasian harus
berdasarkan surat keputusan tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang.
III. PENGAWASAN KEIMIGRASIAN
Pelayanan
publik
dapat
diartikan
sebagai
pemberian
layanan
(melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai
kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata
cara yang telah ditetapkan. S e b a g a i m a n a
telah
dikemukakan
t e r d a h u l u b a h w a pemerintahan pada hakekatnya adalah
pelayanan
melayani
kepada
dirinya
masyarakat.
sendiri,
tetapi
Ia
untuk
tidaklah
melayani
diadakan
untuk
masyarakat
serta
menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat
mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai
tujuan bersama. Ka re n a n y a b i ro k r a s i p u b l i k b e r ke w a j i b a n d a n
bertanggung
jawab
untuk
memberikan
layanan
baik
d a n profesional. Pelayanan publik ( public services) oleh birokrasi publik
tadi a d a l a h
merupakan
salah
satu
perwujudan
dari
fungsi
a p a r a t u r negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi
negara.
Pelayanan
birokrasi
( public
publik
p u b l i k dimaksudkan
services)
untuk
oleh
mensejahterakan
masyarakat (warga Negara). Pelayanan publik dengan demikian dapat
diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai
dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sementara itu,
kondisi
yang
masyarakat saat ini telah
sangat
semakin
dinamis,
baik,
tingkat
merupakan
terjadi s u a t u
p e r ke m b a n g a n
ke h i d u p a n m a s y a r a k a t
indikasi
dari
yang
empowering yang
dialami oleh masyarakat. Hal ini berart i masyarakat semakin sadar
akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara
dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan ber negara. Masyarakat
semakin
berani
untuk
mengajukan
tuntutan,
ke i n g i n a n
dan
a s p i r a s i n y a kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin
berani u n t u k m e l a k u k a n k o n t r o l t e r h a d a p a p a y a n g d i l a k u k a n
oleh
pemerintahnya.
Dalam
ko n d i s i
masyarakat
seperti
d i g a m b a r k a n d i a t a s , birokrasi publik harus dapat memberikan layanan
publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka,
tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun
kualitas
manusia
individu
dan
dalam
arti
masyarakat
untuk
meningkatkan
secara
aktif
kapasitas
menentukan
masa
depannya sendiri.
Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang
dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi
layanan (aparatur pemerintah). Dengan ciri sebagai berikut :
1. Efektif,
lebih
mengutamakan
pada
pencapaian
apa
arti
prosedur/tata
yang
menjadi tujuan dan sasaran;
2. S e d e r h a n a ,
mengandung
cara
p e l a y a n a n diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak
berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh
masyarakat yangmeminta pelayanan;
3. Kejelasan dan ke pastian (transparan), mengandung akan
arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai :
a. Prosedur/tata cara pelayanan;
b. P e r s y a r a t a n
pelayanan,
baik
persyaratan
teknis
m a u p u n persyaratan administratif;
c. Unit
kerja
dan
atau
pejabat
yang
berwenang
dan
bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan;
d. Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya;
e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan
4. Keterbukaan,
mengandung
arti
prosedur/tata
cara
persyaratan,satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi
pelayanan,waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-
hal
lain
yangberkaitan
diinformasikan
dengan
secaraterbuka
proses
agar
pelayanan
mudah
wajib
diketahui
dan
dipahami oleh masyarakat,baik diminta maupun tidak diminta;
5. Efi siensi, mengandung arti :
a. Persyaratan
berkaitan
pelayanan
langsung
hanya
dibatasi
dengan
pada
pencapaian
hal-hal
sasaran
pelayanan dengan tetap me mperhati kan keterpaduan
antara
persyaratan
dengan
produk
pelayanan
yang
berkaitan;
b. D i c e g a h
adanya
persyaratan,
yang
pengulangan
dalam hal proses pelayanan masyarakat
bersangkutan
kelengkapan
pemenuhan
mempersyaratkan
persyaratan
dari
satuan
adanya
kerja/instansi
pemerintah lain yang terkait.
6. Ke t e p a t a n
waktu,
kriteria
ini
mengandung
arti
p e l a k s a n a a n pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam
kurun waktu yang telah ditentukan;
7.
Re s p o n s i f , le bi h m en g a r a h p a d a d a y a t a n g g a p
d a n c e p a t menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan
dan aspirasi masyarakat yang dilayani;
8.
Adaptif,
yang
cepat
menjadi
menyesuaikan
terhadap
apa
tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat
yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.
Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis di atas ,
birokrasi publik dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran
(revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur
dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka
menggunakan
pendekatan
kekuasaan,
berubah
menjadi
suka
menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis.
Imigrasi merupakan alat Negara yang memiliki tugas di bidang
lalu lintas orang masuk dan keluar serta pengawasan orang di wilayah
Republik
Indonesia.
pengawasan
Tugas
merupakan
sebagai
fungsi
penjaga
mutlak
di
pintu
bidang
gerbang
dan
keamanan
dan
penegakan hukum serta perwujudan kedaulatan negara yang harus
diemban oleh institusi Imigrasi.
Pada Era keterbukaan ini Imigrasi dituntut untuk mampu
menjabarkan dan memisahkan maksud dan arti pelayanan masyarakat,
pengamanan, penegakan hukum. Ketiga unsur yang ada pada setiap
kegiatan keimigrasian tersebut harus dilaksanakan secara bersamaan
dan simultan dan tidak mengabaikan tugas aparatur Negara sebagai
pelayan masyarakat. Untuk mewujudkan pelaksanaan pelayanan
masyarakat, pengamanan, penegakan hukum secara bersamaan dan
simultan diperlukan penjabaran yang jelas terperinci dan menuntut
adanya kepastian hukum dalam setiap keputusan yang diambil oleh
setiap pejabat Imigrasi yang bertugas.
Perwujudan pelayanan publik di Imigrasi mungkin cukup unik
mengingat produk yang dikeluarkan imigrasi berupa Dokumen milik
Negara serta Izin yang menyangkut kedaulatan negara Republik
Indonesia. Hal itulah yang mungkin menyebabkan mengapa pemerintah
ataupun
Kementerian
Hukum dan
Hak
Asasi
Manusia
tidak
menggunakan sebutan Kantor Pelayanan bagi institusi imigrasi. Hal
tersebut dimaksud agar masyarakat dapat memahami secara utuh
bahwa fungsi pelayanan yang diberikan institusi imigrasi sangatlah
berbeda mengingat tidak sepenuhnya masyarakat dapat memperoleh
haknya dalam memohon suatu permohonan kepada institusi Imigrasi,
meskipun imigrasi berkewajiban untuk memberikan jawaban atas
sesuatu yang dimohon oleh masyarakat tetapi Imigrasi tidak
berkewajiban untuk selalu mengabulkan permohonan yang diajukan
oleh masyarakat.
Sebuah penolakan dari permohonan yang diajukan oleh
masyarakat sudah seharusnya dituangkan dalam bentuk keputusan
tertulis namun jika keputusan tertulis tidak dikeluarkan maka dalam
waktu 4 (empat) bulan keputusan tertulis dimaksud tidak terbit maka
permohonan secara hukum dianggap ditolak oleh pejabat yang
mengeluarkan (pasal 3 UU No.5 Th. 1986). Norma hukum positif
tersebut sangatlah bertolak belakang dengan pelayanan prima yang
dewasa ini sedang dicanangkan pemerintah dalam rangka menuju good
governance, mengingat dalam mengambil keputusan setiap Pejabat
Imigrasi menanggung resiko dan beban yang cukup berat seperti
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 dimana terdapat
ancaman pidana bagi Pejabat Imigrasi yang tidak bekerja dengan baik
maupun lalai dalam menjalankan tugas.
Waktu dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat adalah hal
yang mutlak harus diketahui kepastiannya, namun waktu untuk
melakukan pembuktian dalam rangka pengamanan dan penegakan
hukum tidak sesingkat waktu pelayanan yang dicanangkan pemerintah,
meskipun demikian Imigrasi tetap dituntut untuk menghasilkan produk
keimigrasian yang tepat cepat bagi penggunanya. Sisi keamanan dan
penegakan hukum yang menjadi prinsip dasar penerbitan sebuah
Dokumen Negara seolah tidak dipandang sebelah mata karena sebagian
besar masyarakat lebih memilih adanya pelayanan prima yg berarti
pelayanan yang cepat, pergeseran opini masyarakat dengan yang
dimulai dengan istilah “sekarang urusan ke imigrasi lebih mudah”
membuat masyarakat semakin yakin bahwa telah terjadi pembohongan
public oleh pihak imigrasi. Pergeseran paradigma masyarakat untuk
dilayani lebih baik tidak berbanding lurus dengan kesadaran
masyarakat dalam tertib administrasi maupun tertib hukum, sehingga
menghasilkan hubungan timbal balik dengan oknum petugas imigrasi
selaku aparatur. Keadaan inilah yang seharusnya dijadikan moment
penting bagi institusi imigrasi selaku aparatur dibidang pelayanan,
pengamanan dan penegakan hukum untuk berbenah.
Aparatur keimigrasian dituntut untuk mampu mengerti dan
memahami bagaimana menjalankan pelayanan prima, pelaksanaan
pengamanan dan pelaksanaan penegakan hukum. Pelayanan prima bagi
pemohon semestinya dituangkan dengan Standar Operasional Prosedur
pelayanan yang jelas dan terukur. Pelaksanaan pengamanan
diwujudkan dalam pemberian produk keimigrasian kepada orang yang
tepat dan berhak untuk diberikan. Penegakan hukum dilaksanakan
kepada siapapun yang memang diduga melakukan pelanggaran maupun
kejahatan keimigrasian.
Pelaksanaan pelayanan, pengamanan dan penegakan hukum
secara simultan membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki
spesifikasi pegawai tehnis keimigrasian (pejabat imigrasi atau ajun
pejabat imigrasi) dan penyidik pegawai negeri sipil.