Tindakan-Tindakan Hukum Keimigrasian Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Visa Di Medan

(1)

TINDAKAN-TINDAKAN HUKUM KEIMIGRASIAN DALAM

PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN VISA DI

MEDAN

TESIS

OLEH

TJATUR SOEMARDIYANTO 087005018/ HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Judul Tesis : TINDAKAN-TINDAKAN HUKUM KEIMIGRASIAN DALAM PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN VISA DI MEDAN

Nama Mahasiswa : TJATUR SOEMARDIYANTO

Nomor Pokok : 087005018/ HK

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Muhammad Abduh, SH) Ketua

(Dr. Pendastaren, SH, MS) (Dr. Agusmidah, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum


(3)

Telah diuji pada

Tanggal 2 Agustus 2010

PANITIA UJIAN TESIS

KETUA : Prof. Muhammad Abduh, SH

ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 2. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Agusmidah, SH, M.Hum

4. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS


(4)

ABSTRAK

Keimigrasian adalah hal ihwal lalulintas orang yang masuk atau keluar wilayah negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di Indonesia jadi imigrasi disamping termasuk salah satu instansi pemerintah yang salah satu kegiatannya melayani masyarakat juga sebagai pengawasan terhadap segala keberadaan dan kegiatan orang asing. Terhadap orang asing pelayanan dan pengawasan di bidang keimigrasian dilaksanakan berdasarkan prinsip selektif (selective policy). Berdasarkan prinsip ini maka orang asing yang dapat diberikan ijin masuk ke Indonesia hanyalah orang asing yang bermanfaat bagi keesejahteraan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia, tidak membahayakan keamanan dan ketertiban serta tidak bermusuhan dengan rakyat dan pemerintah negara Republik Indonesia. Untuk mewujudkan prinsip selektif (selective policy) diperlukan kegiatan pengawasan terhadap orang asing, pengawasan ini tidak hanya pada saat orang asing masuk ke wilayah Indonesia, tetapi juga selama orang asing tersebut berada di wilayah Indonesia termasuk kegiatan –kegiatannya, sebab terdapat orang asing yang keberadaanya merugikan kepentingan bangsa dan negara seperti kasus-kasus penyalahgunaan ijin tinggal, tinggal di Indonesia melebihi jangka waktu yang ditentukan , imighran gelap dan lain sebagainya.

Metode penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (normative legal research), untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor hukum yang menjadi kendala pada tindakan-tindakan hukum dari suatu hukum administrasi, serta mengkaji ulang konsep yang menjadi penyebab. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. kedua pendekatan ini digunakan untuk mengetahui kesesuaian antara aturan-aturan dan kenyataan-kenyataan yang terjadi. Sumber data hukum yang digunakan berupa data hukum primer dan data hukum sekunder. Data hukum primer terdiri atas : Undang-undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian dan peraturan-peraturan dalam bidang keimigrasian yang berkaitan dengan permasalahan. Data Hukum Sekunder adalah data hukum yang memberikan penjelasan terhadap data hukum primer, yang berupa hasil-hasil karya ilmiah ahli hukum buku-buku dan majalah-majalah yangn berhubungan dengann permasalahan yang diteliti serta hasil-hasil penelitian hukum yang memberikan informasi tentang data hukum primer dan sekunder, yang berupa kasus-kasus. Sedangkan sumber data primer didapat dari Wawancara jarak jauh dengan pejabat Imigrasi Direktorat Jenderal Imigrasi di Jakarta serta didukung dengan observasi dan pendapat dari pejabat imigrasi di Kota Medan khususnya di kantor Imigrasi Belawan. Kemudian analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang berisi unuk dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan tindakan yang bisa dikenakan pada orang asing yang tidak mentaati peraturan yang berlaku di Indonesia ada dua macam, yang


(5)

pertama berupa tindakan keimigrasian yaitu tindakan yang berupa tindakan administratif dan yang kedua berupa tindakan Pidana keimigrasian dimana kedua tindakan ini berdasarkan Undang-undang No. 9 tahun 1992. Permasalahan timbul karena pada kedua tindakan ini tidak terdapat batas yang jelaas apabila timbul suatu kasus keimigrasian dan harus diputuskan menggunakan tindakan administratif keimigrasian atau tindakan pidana keimigrasian, meskipun dalam kenyataannya banyak digiunakan tindakan administratif keimigrasian karena tindakan keimigrasian mempunyai kelebihan berupa prosedur, waktu dan cara pembuktian yang lebih sederhana meskipun sekaligus kelebihan ini juga merupakan suatu kelemahan tersendiri yang harus diperbaiki. Tindakan administratif keimigrasian sering digunakan untuk orang asing yang melanggar peraturan di Indonesia sebab bila digunakan tindakan pidana keimigrasian yang salah satu tahapanya harus dimulai dengan penyidikan maka orang asing tersebut harus tetap tinggal di wilayah Indonesia dan hal ini menimbulkan beban tersendiri bagi negara Indonesia sedangkan ada kemungkinan orang asing tersebut untuk berusaha lebih lama tinggal di Indonesia dengan cara mengajukan banding atau kasasi sampai orang asing tersebut selesai menjalani hukuman, sehingga menguntungkan orang asing tersebut meskipun ijin tinggal bahkan paspornya sudah tidak berlaku lagi . Hal ini akan menyulitkan dalam proses pemulangannya nanti.


(6)

ABSTRACT

Immigration is about people who immigrate to or emigrate from Indonesia and about the control the foreigners in Indonesia. Therefore, the function fo immigration as the government agency is not only to serve foreigners but also to control their activities. Controlling foreigners’ activities are based on selective policy. Based on this policy, the nation, and the government of Indonesia. They will not endanger public security and public order and will not be hostile to the people and the government of Indonesia. In order to realize the selective policy, it is necessary to control the foreigners’ activities, not only foreigners who come to Indonesia, bu talso those who are staying in Indonesia because many of them inconvenience the government’s interest, such as the case of resident permit, overstay, illegal immigrant, and so on.

The method of the research was a normative legal research which was aimed to indetify and analyze the legal factors which because the obstracles for the legal action of a certain administrative regulations and to reexamine their causes. This research used legally constituted and case study approaches. Both approaches were ised to know the correspondence between the regulations and the reality. The data consisted of the primary data dan the secondary data. The primary data were dealth with Act Number 9, 1992 about the Immigration and its regulations and their problems. The secondary data were the scientific works of the legal experts, the magazines which dealth with law, and the case studies which gave the information about the primary and secondary data. The primary data were obtained from long distant interviews with Immigration officials of the Directorate General of Immigration in Jakarta, supported by the observation and the immigartion officials’ views in Medan by using qualitative method. This qualitative method was based on the assumption about the reality and the unique but complex social phenomena where regularities and the variety of patterns existed.

The result of research showed that, there are two types of sanction for the foreigners who do not comply whit the regulations: in administrative sanction and the immigration criminal sanction. Both sanction are based on Act Number 9, 1992. The problem arises because the two sanction are still ambiguous. There is no fixed rule which regulates what sanction will be used. The fact that most violations are given the administrative sanction since it has clear procedures, time, and method of giving the summary proof although this sanction has its own weaknesses which have ot be corrected. It is common to use the administrative sanction for the foreigners because if the criminal sanctionn is used, which begins with the investigation, the foreigners have to stay in Indonesia during the investigation. This condition will inconvenience the government. They will attempt to stay longer by summoning an appeal alhotugh their passports are declared void. This will make difficult for the Indonesia government in their return process.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun Judul Tesis : TINDAKAN-TINDAKAN HUKUM KEIMIGRASIAN DALAM PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN VISA DI MEDAN”. di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Muhammad Abduh, SH, sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Pandestaren, SH, MS dan Dr. Agusmidah, SH, M.Hum. dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada :


(8)

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA (K) diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.

2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, sebagai Komisi Penguji, sekaligus sebagai Sekretaris Ilmu Hukum penulis yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran kepada penulis. 4. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku penguji dan juga selaku Pembantu Dekan I

yang telah memberikan saran dan masukannya untuk perbaikan tesis ini. 5. Orang tua tercinta yang mendidik dan penuh rasa kasih sayang dan senantiasa

memberi semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

6. Istri tercinta Novian Trilestari yang penuh rasa kasih sayang dan senantiasa memberi semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

7. Kepada Rekan-rekan di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Beserta Staff Ilmu Hukum, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(9)

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membantun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, Agustus 2010 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Tjatur Soemardiyanto

Tempat/ Tanggal Lahir : Surabaya, 28 Desember 1967 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen

Jabatan/Pekerjaan : Kasi Lalintuskim Kantor Imigrasi Belawan

Alamat : Komplek Griya Marelan Blok T No. 18 Medan Pendidikan : SD Negeri Puja I Surabaya Tamat Tahun 1984

SMP YBPK Surabaya Tamat Tahun 1987 SMA Negeri I Surabaya Tamat Tahun 1990

Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Tujuhbelas Agustus Surabaya Tamat Tahun 1995

Strata Dua (S2) Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan Tamat Tahun 2010


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

A. Latar Belakang ... 1

B. Tinjauan Umum Tentang Keimigrasian ... 9

C. Tindakan-Tindakan yang Diberlakukan Terhadap Penyalahgunaan Visa dan Ijin Keimigrasian di Medan ... 14

D. Beberapa Alasan Dipilihnya Tindakan Administratif dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Visa di Medan ... 20

E. Kesimpulan ... 22

DAFTAR PUSTAKA ... 25

DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... viii BAB I PENDAHULUAN ... 1


(12)

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 14

G. Metode Penelitian ... 28

1. Spesifikasi Penelitian ... 28

2. Metode Penelitian ... 28

3. Sumber Data ... 28

4. Analisis Data ... 29

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEIMIGRASIAN ... 31

A. Sejarah Ringkas Keimigrasian di Indonesia ... 31

B. Jenis Paspor, Visa dan Peruntukkannya ... 39

C. Tata Cara Keluar Masuk Orang Asing (Lalulintas Keimigrasian) ... 49

BAB III. TINDAKAN TINDAKAN YANG DAPAT DIBERLAKUKAN TERHADAP PENYALAHGUNAAN VISA DAN IJIN KEIMIGRASIAN... 56

A. Tindakan Keimigrasian Secara Administratif ... 56

1. Kewenangan Pejabat Imigrasi secara Administratif ... 56


(13)

3. Contoh kasus... 74

B. Tindakan Keimigrasian Dalam Bentuk Tindakan Pidana ... 78

1. Kewenangan Pejabat Imigrasi selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil ... 78

2. Bentuk Tindakan Keimigrasian melalui Proses Pidana ... 88

3. Contoh kasus ... 95

BAB IV. BEBERAPA ALASAN DIPILIHNYA TINDAKAN ADMINISTRATIF DALAM PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN VISA DI MEDAN ... 100

A. Gambaran Umum Penanggulangan Penyalahgunaan Visa ... 100

1. Penanggulangan Secara Preventif (Pengawasan) ... 103

2. Penanggulangan Secara Kuratif (Tindakan)... 112

B. Alasan-alasan Dipilihnya Tindakan Administratif Keimigrasian ... 124

1. Menurut Pertimbangan Politis ... 125

2. Menurut Pertimbangan Ekonomis ... 126

3. Menurut Pertimbangan Sosial dan Budaya ... 126

4. Menurut Pertimbangan Keamanan ... 126

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 129

A. Kesimpulan ... 129

B. Saran... 130


(14)

ABSTRAK

Keimigrasian adalah hal ihwal lalulintas orang yang masuk atau keluar wilayah negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di Indonesia jadi imigrasi disamping termasuk salah satu instansi pemerintah yang salah satu kegiatannya melayani masyarakat juga sebagai pengawasan terhadap segala keberadaan dan kegiatan orang asing. Terhadap orang asing pelayanan dan pengawasan di bidang keimigrasian dilaksanakan berdasarkan prinsip selektif (selective policy). Berdasarkan prinsip ini maka orang asing yang dapat diberikan ijin masuk ke Indonesia hanyalah orang asing yang bermanfaat bagi keesejahteraan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia, tidak membahayakan keamanan dan ketertiban serta tidak bermusuhan dengan rakyat dan pemerintah negara Republik Indonesia. Untuk mewujudkan prinsip selektif (selective policy) diperlukan kegiatan pengawasan terhadap orang asing, pengawasan ini tidak hanya pada saat orang asing masuk ke wilayah Indonesia, tetapi juga selama orang asing tersebut berada di wilayah Indonesia termasuk kegiatan –kegiatannya, sebab terdapat orang asing yang keberadaanya merugikan kepentingan bangsa dan negara seperti kasus-kasus penyalahgunaan ijin tinggal, tinggal di Indonesia melebihi jangka waktu yang ditentukan , imighran gelap dan lain sebagainya.

Metode penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (normative legal research), untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor hukum yang menjadi kendala pada tindakan-tindakan hukum dari suatu hukum administrasi, serta mengkaji ulang konsep yang menjadi penyebab. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. kedua pendekatan ini digunakan untuk mengetahui kesesuaian antara aturan-aturan dan kenyataan-kenyataan yang terjadi. Sumber data hukum yang digunakan berupa data hukum primer dan data hukum sekunder. Data hukum primer terdiri atas : Undang-undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian dan peraturan-peraturan dalam bidang keimigrasian yang berkaitan dengan permasalahan. Data Hukum Sekunder adalah data hukum yang memberikan penjelasan terhadap data hukum primer, yang berupa hasil-hasil karya ilmiah ahli hukum buku-buku dan majalah-majalah yangn berhubungan dengann permasalahan yang diteliti serta hasil-hasil penelitian hukum yang memberikan informasi tentang data hukum primer dan sekunder, yang berupa kasus-kasus. Sedangkan sumber data primer didapat dari Wawancara jarak jauh dengan pejabat Imigrasi Direktorat Jenderal Imigrasi di Jakarta serta didukung dengan observasi dan pendapat dari pejabat imigrasi di Kota Medan khususnya di kantor Imigrasi Belawan. Kemudian analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang berisi unuk dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan tindakan yang bisa dikenakan pada orang asing yang tidak mentaati peraturan yang berlaku di Indonesia ada dua macam, yang


(15)

pertama berupa tindakan keimigrasian yaitu tindakan yang berupa tindakan administratif dan yang kedua berupa tindakan Pidana keimigrasian dimana kedua tindakan ini berdasarkan Undang-undang No. 9 tahun 1992. Permasalahan timbul karena pada kedua tindakan ini tidak terdapat batas yang jelaas apabila timbul suatu kasus keimigrasian dan harus diputuskan menggunakan tindakan administratif keimigrasian atau tindakan pidana keimigrasian, meskipun dalam kenyataannya banyak digiunakan tindakan administratif keimigrasian karena tindakan keimigrasian mempunyai kelebihan berupa prosedur, waktu dan cara pembuktian yang lebih sederhana meskipun sekaligus kelebihan ini juga merupakan suatu kelemahan tersendiri yang harus diperbaiki. Tindakan administratif keimigrasian sering digunakan untuk orang asing yang melanggar peraturan di Indonesia sebab bila digunakan tindakan pidana keimigrasian yang salah satu tahapanya harus dimulai dengan penyidikan maka orang asing tersebut harus tetap tinggal di wilayah Indonesia dan hal ini menimbulkan beban tersendiri bagi negara Indonesia sedangkan ada kemungkinan orang asing tersebut untuk berusaha lebih lama tinggal di Indonesia dengan cara mengajukan banding atau kasasi sampai orang asing tersebut selesai menjalani hukuman, sehingga menguntungkan orang asing tersebut meskipun ijin tinggal bahkan paspornya sudah tidak berlaku lagi . Hal ini akan menyulitkan dalam proses pemulangannya nanti.


(16)

ABSTRACT

Immigration is about people who immigrate to or emigrate from Indonesia and about the control the foreigners in Indonesia. Therefore, the function fo immigration as the government agency is not only to serve foreigners but also to control their activities. Controlling foreigners’ activities are based on selective policy. Based on this policy, the nation, and the government of Indonesia. They will not endanger public security and public order and will not be hostile to the people and the government of Indonesia. In order to realize the selective policy, it is necessary to control the foreigners’ activities, not only foreigners who come to Indonesia, bu talso those who are staying in Indonesia because many of them inconvenience the government’s interest, such as the case of resident permit, overstay, illegal immigrant, and so on.

The method of the research was a normative legal research which was aimed to indetify and analyze the legal factors which because the obstracles for the legal action of a certain administrative regulations and to reexamine their causes. This research used legally constituted and case study approaches. Both approaches were ised to know the correspondence between the regulations and the reality. The data consisted of the primary data dan the secondary data. The primary data were dealth with Act Number 9, 1992 about the Immigration and its regulations and their problems. The secondary data were the scientific works of the legal experts, the magazines which dealth with law, and the case studies which gave the information about the primary and secondary data. The primary data were obtained from long distant interviews with Immigration officials of the Directorate General of Immigration in Jakarta, supported by the observation and the immigartion officials’ views in Medan by using qualitative method. This qualitative method was based on the assumption about the reality and the unique but complex social phenomena where regularities and the variety of patterns existed.

The result of research showed that, there are two types of sanction for the foreigners who do not comply whit the regulations: in administrative sanction and the immigration criminal sanction. Both sanction are based on Act Number 9, 1992. The problem arises because the two sanction are still ambiguous. There is no fixed rule which regulates what sanction will be used. The fact that most violations are given the administrative sanction since it has clear procedures, time, and method of giving the summary proof although this sanction has its own weaknesses which have ot be corrected. It is common to use the administrative sanction for the foreigners because if the criminal sanctionn is used, which begins with the investigation, the foreigners have to stay in Indonesia during the investigation. This condition will inconvenience the government. They will attempt to stay longer by summoning an appeal alhotugh their passports are declared void. This will make difficult for the Indonesia government in their return process.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keimigrasian sebagaimana yang ditentukan di dalam Bab 1 Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Lembaran Negara Tahun 1992, Nomor 33 Tentang Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di Indonesia. Hukum Keimigrasian merupakan bagian dari sistem hukum yang berlaku di Indonesia, bahkan merupakan subsistem dari Hukum Administrasi Negara1. Fungsi keimigrasian merupakan fungsi penyelenggaraan administrasi negara atau penyelenggaraan administrasi pemerintahan, oleh karena itu sebagai bagian dari penyelenggaraan kekuasaan eksekutif, yaitu fungsi administrasi negara dan pemerintahan, maka hukum keimigrasian dapat dikatakan bagian dari bidang hukum administrasi negara.2 Untuk menjamin kemanfaatan dan melindungi berbagai kepentingan nasional, maka Pemerintah Indonesia telah menetapkan prinsip, tata pelayanan, tata pengawasan atas masuk dan keluar orang ke dan dari wilayah Indonesia sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.

1

M. Iman Santoso, Perspektif Imigrasi dalam Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan

Nasional, (UI Press, 2004), hlm. 1.

2

Bagir Manan, “Hukum Keimigrasian dalam Sistem Hukum Nasional”, disampaikan dalam


(18)

Imigrasi termasuk salah satu instansi pemerintah, yang salah satu kegiatannya memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Pelayanan dalam hal memberikan segala perizinan keimigrasian berupa Visa, Izin masuk, pendaftaran orang asing, izin masuk kembali, izin keluar tidak kembali, Surat Perjalanan RI, tanda bertolak, tanda masuk, surat keterangan keimigrasian dan perubahan keimigrasian.Tempat-tempat pelayanan keimigrasian, meliputi bidang atau sub bidang imigrasi pada Perwakilan RI di luar negeri, di perjalanan dalam pesawat udara, maupun kapal laut, tempat pemeriksaana imigrasi, Kantor Imigrasi, Bidang Imigrasi pada Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM, serta Direktorat Jenderal Imigrasi.

Terhadap orang asing, pelayanan dan pengawasan di bidang keimigrasian dilaksanakan berdasarkan prinsip selektif (selective policy). Berdasarkan prinsip ini, maka orang asing yang dapat diberikan ijin masuk ke Indonesia ialah :

a. Orang asing yang bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa dan Negara Republik Indonesia.

b. Tidak membahayakan keamanan dan ketertiban, serta

c. Tidak bermusuhan dengan rakyat maupun Pemerintah Negara Republik Indonesia.

Untuk mewujudkan prinsip selektif, diperlukan kegiatan pengawasan terhadap orang asing, pengawasan ini tidak hanya pada saat orang asing masuk ke wilayah Indonesia, tetapi juga selama orang asing berada di wilayah Indonesia termasuk kegiatan-kegiatannya sebab terdapat orang asing yang keberadaannya di Indonesia merugikan kepentingan bangsa seperti kasus-kasus penyalahgunaan ijin tinggal


(19)

keimigrasian, overstay, imigran gelap dan lain sebagainya adalah suatu bentuk pelanggaran keimigrasian yang bersifat transnasional.

Pengawasan Orang Asing di wilayah Indonesia, berupa pengawasan terhadap orang asing yang masuk, keberadaan, kegiatan dan keluar dari wilayah Indonesia, antara lain dapat menimbulkan 2 (dua) kemungkinan yakni : Pertama, Orang asing mantaati peraturan yang berlaku dan tidak melakukan kegiatan yang berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum, hal ini tidak menimbulkan masalah Keimigrasian maupun Kenegaraan. Kedua Orang asing tidak mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, hal ini menimbulkan masalah dan dapat dikenakan tindakan hukum berupa :3

a. Tindakan Hukum Pidana berupa penyidikan Keimigrasian yang merupakan bagian daripada rangkaian Integrated Criminal Justice sistem, sistem peradilan pidana ( penyidikan, penuntutan, peradilan ) dan atau ; b. Tindakan hukum administratif negara berupa tindakan keimigrasian

adalah tindakan administratif dalam bidang keimigrasian di luar proses peradilan. Termasuk bagian daripada tindakan keimigrasian ini adalah diantaranya deportasi terhadap orang asing untuk keluar dari wilayah yurisdiksi negara kesatuan Republik Indonesia.

Penegakan hukum pidana keimigrasian adalah penegakan hukum melalui proses penyidikan berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian yang dilaksanakan sesuai asas dan kaedah hukum acara pidana.

3

Wahyudin Ukun, Deportasi Sebagai Instrumen Penegakan Hukum dan Kedaulatan Negara


(20)

Pasal 50 Undang-Undang nomor 9 Tahun 1992 mengatakan bahwa orang asing yang sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud pemberian ijin keimigrasian yang diberikan kepadanya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah)

Pasal 42 (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 mengatur tentang Tindakan Keimigrasian yang menyatakan bahwa tindakan keimigrasian dilakukan terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia yang :

a. Melakukan kegiatan berbahaya atau patut diduga akan berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum, atau

b. Tidak menghormati atau mentaati peraturana perundang-undangan yang berlaku.

Maksud dari Tindakan Keimigrasian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian adalah Tindakan Administratif dalam bidang keimigrasian diluar proses peradilan. Dengan demikian maka orang asing yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dapat dikenakan tindakan administratif diluar proses peradilan. Tindakan administratif yang dimaksud sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat (2) dapat berupa :

a. Pembatasan, perubahan atau pembatalan izin keimigrasian.

b. Larangan untuk berada di suatu atau beberapa tempat tertentu di wilayah Indonesia.


(21)

c. Keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di wilayah Indonesia.

d. Pengusiran atau deportasi dari wilayah Indonesia atau penolakan masuk ke wilayah Indonesia.

Pengertian tersebut mengandung arti bahwa segala bentuk tindakan administratif dibidang keimigrasian diluar tindakan hukum pidana atau penyidikan masuk kategori Tindakan Keimigrasian. Selain menurut ketentuan hukum positif tersebut diatas, juga menurut hukum internasional bahwa tindakan keimigrasian berupa deportasi bukan tindakan hukum pidana dan ini berlaku secara universal pada negara-negara lain di dunia.

Semua tahapan-tahapan tindakan keimigrasian, tentu diperlukan adanya suatu landasan yuridis maupun administrasi, sebagai dasar operasional dalam menangani suatu kasus pelanggaran keimigrasian. Oleh karena pada hakekatnya tindakan keimigrasian adalah suatu tindakan pengekangan atau pembatasan terhadap kebebasan, dan hak asasi manusia tersebut dijamin serta dilindungi peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia.

Setiap kegiatan atau tahapan tindakan keimigrasian, selain diperlukan adanya landasan yuridis juga diperlukan administrasi tindakan keimigrasian yang berupa format, laporan kejadian, surat perintah dan keputusan tindakan berupa pemanggilan, tugas, berita acara, register, kode penomoran surat untuk masing-masing tindakan keimigrasian, sehingga pelaksanaan kegiatan penindakan tersebut, selain dapat dipertanggung jawabkan secara hukum sekaligus mencerminkan adanya kelengkapan


(22)

atau tertib administrasi untuk setiap tindakan yang telah dilakukan. Permasalahannya adalah timbulnya dua tindakan Keimigrasian yang mempunyai prosedur berbeda, yang pertama secara administratif dengan dasar Pasal 42 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992, yang kedua menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Rumusan norma sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tersebut tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam Pasal-Pasal lainnya maupun dalam Penjelasan Undang-Undang, sehingga dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.

Bertitik tolak dari ketidak jelasan undang-undang tersebut muncul berbagai kasus keimigrasian yang membuat aparat keimigrasian dalam posisi dilematis apabila mengambil tindakan misalnya yang terjadi pada kasus penangkapan warga negara

RRC atas nama Chen Long Chin di PT. Tjipta Rimba Djaja Jl. KL. Yos Sudarso Km. 7,5 Medan pada tanggal 10 Maret 2010, warga Negara RRC tersebut ditangkap

karena diduga melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan ijin keimigrasian yang diberikan kepada mereka, kemudian atas perbuatan tersebut, Kepala Kantor Imigrasi Belawan mengadakan pemeriksaan yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan yang kemudian disusul dengan dikeluarkannya surat keputusan tentang tindakan Keimigrasian an. Chen Long Chin dengan menetapakan bahwa memerintahkan Chen Long Chin untuk segera meninggalkan wilayah Indonesia pada kesempatan Pertama yang disertai surat perintah pengawalan.

Menurut ringkasan dari Berita Acara Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Kantor Imigrasi Belawan bahwa Chen Long Chin tiba di


(23)

Indonesia hari Kamis tanggal 04 Maret 2010 melalui Bandara Polonia Medan menggunakan pesawat udara Malaysia Air Lines dan datang ke Indonesia atas undangan PT. Tjipta Rimba Djaja di Jalan KL. Yos Sudarso Km. 7,5 Medan, dengan Short Visit Pass atau Bebas Visa Kunjungan Singkat serta menurut pengakuaannya : Bahwa yang bersangkutan telah diperintahkan pihak pabrik CHEN-E Taiwan untuk melakukan pekerjaan berupa memprogram dan mengontrol kinerja mesin pemotong kayu dan mesin penyambung kayu pada PT. Tjipta Rimba Djaja yang telah terpasang dan dibeli sekitar 6 (enam) bulan yang lalu dan apabila ada yang perlu diperbaiki tentang kinerja mesin tersebut maka yang bersangkutan yang memperbaikinya, yang bersangkutan juga mengaku sudah sering melakukan perjalanan ke Indonesia dan melakukan perbaikan kinerja mesin selama kuarang lebih 6 (enam) tahun terakhir ini.

Berdasarkan hal tersebut diatas Pejabat Imigrasi Kantor Imigrasi Belawan berpendapat bahwa yang bersangkutan diduga kuat telah melanggar Pasal 50 Undang-undang No. 9 Tahun 1992 dan dapat dikenakan Tindakan Keimigrasian berupa pengusiran atau deportasi.

Namun kasus serupa berbeda penanganannya dengan kasus yang terjadi pada PT. WRP di Medan karena penanganan secara Administratif tidak bisa diterima oleh pegawai dan buruh di lingkungan PT.WRP sehingga penyelesaian kasus PT. WRP. diselesaikan secara Pro Justisia dengan memberlakukan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 dan Hukum Acara Pidana sebagai dasar tindakannya hal ini akan menimbulkan masalah baru jika dikemudian hari terjadi gugatan mengenai kedua tindakan Keimigrasian yang berbeda dan Tindakan Hukum Administratif


(24)

Keimigrasian yang dikenakan pada Chen Long Chin tidak diterima, karena bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh pihak Keimigrasian sangat bertentangan dengan Pasal 19 KUHAP yang menerangkan bahwa penahanan dapat dilakukan paling lama 1 (satu) hari atau 24 jam melebihi jangka waktu tersebut tersangka harus dilepaskan apalagi pihak Keimigrasian melanggar Pasal 21 ayat (2) dan (3) KUHAP tentang tembusan surat perintah penangkapan, penahanan ataupun pengkarantinaan terhadap sanak keluarga atau sponsor pemohon praperadilan. Tindakan Pihak keimigrasian sangat sewenang-wenang karena melakuan penangkapan, penahanan atau pengkarantinaan, tidak didasarkan pada bukti permulaan yang kuat.

Namun demikian pihak Keimigrasian berpendapat bahwa tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan merupakan tindakan administratif keimigrasian yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, khususnya Pasal 1 ayat (14) yang menyatakan bahwa “tindakan keimigrasian adalah tindakan administratif dalam bidang keimigrasian di luar proses peradilan”. Tindakan Keimigrasian adalah keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat administratif diluar proses peradilan, tindakan keimigrasian ini dapat dilakukan terhadap orang asing yang melakukan kegiatan yang berbahaya, tidak menghormati atau menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Macamnya tindakan keimigrasian dapat berupa pembatalan ijin tinggal keimigrasian, larangan berada dalam wilayah tertentu di Indonesia dan pengusiran


(25)

(deportasi) sebagai upaya paksa. Karena ini merupakan tindakan administratif maka, apabila masyarakat dirugikan akibat dari tindakan keimigrasian tersebut dapat mengajukan gugatan pada Peradilan Tata Usaha Negara dengan demikian Pengadilan Negeri Medan tidak berwenang untuk memeriksa perkara pra peradilan tersebut.

Persoalan lain yang mendasar adalah masalah pengkarantinaan, ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, tidak mengatur pengkarantinaan sebagai suatu tindakan pengekangan atau membatasi kebebasan hak asasi manusia, melainkan hanya mengatur penempatan orang asing yang telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan, di tempat karantina imigrasi atau tempat lain. Pengkarantinaan orang asing dilakukan dengan penempatan pada Lembaga Permasyarakatan atau rumah tahanan negara, belum ada dasar hukum yang jelas menangani administrasi dan teknis dan biaya pelaksanaannya. Dari sudut pandang Keimigraian berpendapat bahwa pengkarantinaan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 mempunyai arti yang berbeda dengan penahanan yang dimaksudkan dalam KUHAP, pengkarantinaan merupakan tindakan keimigrasian terhadap orang asing yang diduga melakukan pelanggaran keimigrasian yang diisolasi sementara untuk dipulangkan ke negara asalnya (Deportasi), apabila orang asing berkeberatan atas tempat pengkarantinaan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Imigrasi, hal ini berbeda dengan penahanan yang dimaksudkan dalam KUHAP.

Untuk menjamin penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap benturan antara kepentingan yang berbeda itu, saluran hukum merupakan salah satu jalan yang


(26)

terbaik dan sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam falsafah negara kita, Pancasila dimana hak dan kewajiban asasi warga masyarakat harus diletakkan dalam keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat. Pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap integritas sistem pemerintahan diupayakan, oleh karena kepercayaan masyarakat merupakan faktor yang sangat krusial dalam pemerintahan.4 Oleh karena itu tujuan peradilan Tata Usaha Negara merupakan peradilan umum sebenarnya tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi sekaligus juga melindungi hak-hak masyarakat.

Dari gambaran kasus Chen Long Chin di atas, persoalannya sekarang bahwa ketentuan tentang tindakan keimigrasian dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 ada beberapa materi yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran yang antara lain adalah :

1. Perumusan Pasal 42 ayat (1) yang menerangkan “Tindakan Keimigrasian dilakukan terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan yang berbahaya atau patut diduga akan membahayakan keamanan negara dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku”.5 Sedangkan Pasal 50 menerangkan bahwa “ orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan

4

Bismar Nasution, “Peranan Birokrasi Dalam Mengupayakan Good Governance, Suatu

Kajian Dari Pandangan Hukum dan Moral”, Makalah, disampaikan pada Diseminasi Policy Paper

Hukum Nasional RI, Medan, tanggal 1-2 Oktober 2003.

5


(27)

kegiatan yang tidak sesuai dengan pemberian ijin Keimigrasian yang diberikan kepadanya, dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). 6

2. Perumusan Pasal 50 diatas menggariskan bahwa tindakan bagi orang asing yang menyalahgunakan ijin keimigrasian adalah dengan tindakan pidana dimana sebagai dasar atau pedoman dalam melakukan tindakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sedangkan dalam Pasal 42 ayat (1) dapat dikenakan tindakan keimigrasian karena tidak mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, ayat (2) menerangkan ada 7 macam tindakan keimigrasian, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada satu sisi meliputi segala tindakan administratif sedangkan pada sisi yang lain terdapat tindakan Pidana.

3. Sistimatika penempatan Pasal-Pasal tindakan keimigrasian tidak berurutan dan tidak diletakkan atau disusun dalam suatu bab tersendiri, tetapi dalam hal ini perlu adanya suatu kesepakatan pendapat terlebih dahulu, tentang pengertian dan klasifikasi penindakan apa saja yang termasuk atau dapat disebutkan sebagai tindakan keimigrasian.

Bertitik tolak dari permasalahan sebagaimana diuraikan di atas maka terlihat jelas bahwa dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 terutama Pasal 42 dan Pasal 50, nampak jelas bahwa dalam UU ini terdapat norma yang tidak jelas atau kabur, sehingga konsekuensinya melahirkan berbagai penafsiran dalam hal melakukan tindakan keimigrasian.

6


(28)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Jenis tindakan hukum apa saja yang dapat diberlakukan terhadap penyalahgunaan Visa atau ijin Keimigrasian menurut Undang-Undang No.9 Tahun 1992 ?

2. Mengapa tindakan secara Keimigrasian lebih banyak diberlakukan dalam penanggulangan penyalahgunaan Visa dan Ijin Keimigrasian di Medan ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Secara umum tujuan penelitian ini, untuk mengetahui dan menjelaskan tentang tindakan hukum apa saja yang dapat diberlakukan terhadap penyalahgunaan Visa atau ijin Keimigrasian menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992.

2. Sedangkan secara khusus Tujuan Penelitian ini adalah Untuk mengetahui tindakan mana yang paling tepat akan dikenakan apabila terjadi penyalahgunaan Visa atau ijin Keimigrasian di Medan.


(29)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan pemikiran-pemikiran teoritis terhadap tindakan keimigrasian yang pada gilirannya memberikan sumbangan bagi pemerintah dalam penyempurnaan peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang keimigrasian dan peraturan pelaksanaannya.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi aparat dilingkungan keimigrasian dalam melaksanakan tugas-tugasnya maupun akademisi untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya dalam penelitian hukum normatif.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan kasus-kasus Keimigrasian yang terjadi di kantor Imigrasi Belawan-Medan dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan diperpustakaan Universitas Sumatera Utara, penelitian ini yang mengangkat judul ”Tindakan - tindakan Hukum Keimigrasian Dalam

Penanggulangan Penyalahgunaan Visa di Medan ” belum pernah dilakukan, baik

dalam judul dan permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat


(30)

dipertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif, terbukadan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi Kerangka Teori

Dalam landasan ini akan dideskripsikan teori maupun azas-azas hukum yang relevan dengan kewenangan, keputusan dan penindakan kasus keimigrasian. Azas hukum yang dimaksudkan adalah unsur penting atau pokok, atau dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum dan yang mengandung nilai-nilai etis.7

Pada landasan ini pula dilengkapi dengan pandangan-pandangan sarjana yang berpengaruh. Pandangan-pandangan teoritik dimaksud untuk menjustifikasi ketentuan-ketentuan konstitusional, peraturan perundang-undangan, dan instrumen-instrumen hukum pemerintah, khususnya menyangkut kewenangan, keputusan dan penindakan kasus keimigrasian.

Dalam melaksanakan fungsi pemerintahan, pemerintah selaku publik service mempunyai kewenangan yang sangat besar dalam melaksanakan pembangunan, kewenang-wenangan itu harus dipergunakan dalam kerangka negara hukum, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi orang atau badan hukum perdata.

Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan bevoeghieid, tetapi mempunyai perbedaan karakter.

Bevoegheid digunakan dalam hukum publik dan hukum privat. Sedangkan wewenang

7


(31)

selalu digunakan dalam hukum publik. Dengan demikian, wewenang sejajar dengan

beuoeghed dalam hukum publik.8 Dalam hukum perdata jika seseorang atau suatu badan telah memenuhi kualifikasi tertentu yang ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan, maka berwenang mengadakan perjanjian menurut hukum perdata. Hal itu dalam hukum perdata disebut dengan istilah mampu untuk berbuat

(handelingsbekwaam). Hubungan-hubungan dalam hukum perdata dapat dilakukan

sejauh tunduk pada hukum positif.9

Dalam teori hukum publik, wewenang merupakan inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Dalam hukum tata negara, wewenang dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum. Jadi wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Wewenang terdiri atas minimal tiga unsur yaitu pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum. Wewenang dapat pula dilukiskan sebagai suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang sah.

Dengan adanya unsur kekuasaan, maka wewenang merupakan legitimitasi bagi dikeluarkannya keputusan-keputusan sepihak yang bersifat mengikat terhadap orang lain. Pelaksanaan wewenang itu dapat melahirkan norma-norma hukum material maupun hukum formal.

8

Philipus, M.Hadjon, Tentang Wewenang, Dalam Yuridika, Nomor 5 dan 6 Tahun XII September – Desember 1997.

9

Indroharto, 2004. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Buku I : Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta, Pustaka Sinar


(32)

Philipus M. Hadjon mengemukakan ada dua sumber untuk memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi. Namun dikatakan pula bahwa kadangkala, mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam memperoleh wewenang. Tetapi, dalam kaitannya dengan wewenang pemerintah untuk membuat keputusan, Philipus, M.Hadjon secara tegas mengatakan bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh kewenangan membuat keputusan yaitu atribusi dan delegasi.10

Sementara itu, Suwoto Mulyosudarmo dengan menggunakan istilah kekuasaan mengemukakan bahwa, ada dua macam pemberian kekuasaan yaitu perolehan kekuasaan yang sifatnya atribut dan perolehan kekuasaan yang sifatnya derivatif. Perolehan kekuasaan secara derivatif dibedakan atas delegasi dan mandat.11

Atribusi adalah pembentukan dan pemberian wewenang tertentu kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pembentukan dan distribusi wewenang terutama ditetapkan di dalam konstitusi atau UUD. Pembentukan wewenang pemerintahan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Di sini terjadi pemberian wewenang baru oleh suatu ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dilahirkan suatua wewenang baru.

Dengan demikian, pembentukan wewenang yang berdasarkan pada atribusi nampak dari ciri-ciri sebagai berikut :

10

Philipus, M.Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia (Introduction

to the Indonesia Administrative Law), Cet. 1 Yogyakarta Gajah Mada University Pres, hlm. 128-129.

11

Suwoto, Mulyosudanno, 1997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap


(33)

a. Melahirkan wewenang baru;

b. Dilakukan oleh suatu badan yang pembentukannya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Legislator yang berkompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan dibedakan atas original legislator, seperti MPR menetapkan UUD, dan Presiden bersama DPR membuat Undang-Undang dan

delegated legislator, seperti : Presiden menetapkan PP yang menciptakan

wewenang pemerintahan kepada organ tertentu.12

Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat suatu putusan oleh pejabat pemerintahan (delegans) kepada pihak lain (delegetaris) dan wewenang itu menjadi tanggung jawab dari delegetaris. Syarat-syarat delegasi adalah :

a. Harus difinitif, artinya bahwa delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah diserahkan.

b. Harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangana, artinya bahwa delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;

c. Tidak kepada bawahan, artinya bahwa dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan ada delegasi;

d. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya bahwa delegans berwenang meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;

e. Merupakan peraturan kebijakan (beleids-regel), artinya bahwa delegans memberikan instruksi tentang penguraian wewenang tersebut.

12


(34)

Dengan demikian, pada delegasi selalu didahului oleh adanya atribusi wewenang. Triepel membedakan delegasi atas primare dan secundare delegation. Pembedaan itu dilakukan berdasarkan pada aspek kuantitas dan kualitas (sifat).

Primare delegation berkaitan dengan jumlah atau keluasan kewenangan yang

didelegasikan, yang dapat bertambah atau berkurang. Sedangkan secundare

delegation berkaitan dengan sifat kewenangan yaitu adakalanya bersifat zefstanding

atau zakelijk. Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan

(mandataris) untuk membuat suatu keputusan atas nama yang memberikan mandat (mandans). Di sini tidak perlu ada peraturan perundang-undangan yang melandasi,

karena mandat merupakan hal rutin dalam hubungan interen. Dengan demikian, di sini tidak terjadi pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari organ atau pejabat TUN yang satu kepada pejabat TUN yang lain. Jadi, wewenang pemerintahan yang dilakuan oleh mandataris atas nama dan tanggungjawab mandat.

Ada perbedaan yang mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasia. Pada kewenangan “atribusi” kewenangan itu sudah siap ditransfer, akan tetapi tidak demikian dengan kewenangan “Delegasi”. Dalam kaitana dengan azas legalitas kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-besaran, akan tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan mengenai kemungkinan delegasi.13

13

Tatiek Sri Djamiati, 2002, Prinsip Izin Usaha Industri, Disertasi Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 65.


(35)

Berdasarkan pada paparan teori ini dalam hubungannya dengan permasalahan akan mengkaji kewenangan pejabat keimigrasian dalam melakukan tindakan keimigrasian.

Pandangan para sarjana mengenai keputusan yang merupakan tindakan hukum tata usaha Negara, yang dijadikan sebagai titik tolak pembahasan adalah pandangan WF Prins, Syahran Basah dan pandangan-pandangan sarjana lain yang menunjang sebagai bahan pembanding seperti Van Der Pot serta pengertian keputusan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

Istilah-keputusan merupakan terjemahan dari istilah Beschikking yang berasal dari bahasa Belanda sedangkan dalam bahasa Perancis disebut dengan istilah acte

administratif dan dalam bahasa Jerman disebut verwaltungsakt. Istilah beschikking di

Belanda pertama sekali diintroduksi oleh Van der Pot dan Van Vollenhown, kemudian masuk ke Indonesia melalui E.Utrecht dan WF.Prins.14

Istilah beschikking di Indonesia ada yang menterjemahkannya dengan ketetapan, seperti E.Utrecht, dan Sjachran Basah.15 Bahkan menurut Sjachran Basah,

beschikking lebih tepat digunakan untuk istilah ketetapan dan besluit untuk istilah

keputusan.

Beberapa sarjana hukum administrasiaa memberikan rumusan pengertian

beschikking sebagai berikut :

14

E. Utrecht, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Balai Buku Indonesi, Jakarta.

15

Sjachran Basah, 1985, Eksistensi dan tolok ukur Badan Peradilan Administrasi di


(36)

Menurut E. Utrecht, Beschikking (ketetapan) ialah suatu perbuatan hukum publik yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintah berdasarkan suatu kekuasaan istimewa.

W.F.Prins16 merumuskan Beschikking sebagai suatu tindakan hukum sepihak dalam lapangan pemerintahan yang dilakukan oleh alat pemerintahan berdasarkan wewenang yang ada pada alat atau organ itu.

Salah satu prinsip atau asas negara hukum adalah asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan atas hukum. Hukum harus menjadi sumber kekuasaan atau wewenang bagi setiap tindakan pemerintah. Kekuasaan atau wewenang itu diperoleh pemerintah melalui attribusi. Dengan attribusi pemerintah diberi kekuasaan atau wewenang untuk melakukan sesuatu tindakan, dimana semuala kekuasaan atau wewenang untuk melakukan tindakan itu tidak dimiiki pemerintah. Pemberian wewenang kepada pemerintah itu harus dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsekuensi dari itu pemerintah akan dinyatakan tidak memiliki kekuasaan atau wewenang untuk melakukan suatu tindakan, apabila hukum atau Undang-undang tidak memberikan attribusi kekuasaan atau wewenang kepada pemerintah untuk melakukan suatu tindakan.

Asas demikian ini menempatkan hukum sebagai sumber kekuasaan atau wewenang bagi setiap pemerintah. Bagi suatua pemerintahan yang demokratis setiap

16


(37)

produk hukumnya haruslah ditetapkan dan disetujui oleh rakyat, sehingga hukum benar-benar merupakan hasil rekayasa rakyat.

Hukum sebagai sumber kekuasaan pemerintah akan melahirkan kekuasaan atau wewenang istiamewa bagi pemerintah melakukan aktivitasnya yang bersifat hukum publik. Dengan demikian badan/pejabat tata usaha negara tanpa memiliki dasar hukum berupa peraturan umum, tidak mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan yang mengikat secara umum.

Namun Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986, jo UU No. 9 Tahun 2004 apabila suatu keputusan ternyata dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha negara yang tidak berwenang, maka keputusan tersebut dapat dinyatakan sebagai keputusan yang “bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.17

Berdasarkan rumusan pengertian keputusan tersebut di atas dapat ditarik unsur-unsur yuridis keputusan menurut hukum positip sebagai berikut : 18

1. Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oaleh Badan Pejabat Tata Usaha Negara;

2. Berisi tindakan hukum tata usaha negara;

3. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 4. Bersifat konkrit, individual dan final;

5. Menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.

17

SF.Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif, Liberty, Yogyakarta, 1997.

18

SF.Mabun, Telaahan Yurisprudens Aaanwijzi Natuurmonumenten, Penunjukan Suatu Daerah Sebagai Staatnatuurmonument, Makalah Penataran Hukum Administrasi Negara Kerjasama Hukum Indonesia Belanda, Unpad Bandung, 10-22 Agustus 1987.


(38)

Apabila unsur “tertulis” ini dihubungkan dengan ketentuan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986, yang menentukan bahwa apabila badan/pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan tata usaha negara. Jadi jika waktunya telah lewat sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau setelah lewat waktunya empat bulan sejak diterimanya permohonan, tetapi badan atau pejabat tata usaha negara itu tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan, maka badan atau pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Sikap pasif badan/pejabat tata usaha negara yang tidak mengeluarkan keputusan itu, dapat disamakan dengan keputusan tertulis yang berisi penolakan meskipun tidak tertulis. Keputusan demikian disebut keputusan fiktif-negatif.19 Fiktif artinya tidak mengeluarkan keputusan tertulis, tetapi dapat dianggap telah mengeluarkan keputusan tertulis, tetapi dapat dianggap telah mengeluarkan keputusan tertulis. Sedangkan negatif berarti karena isi keputusan itu berupa penolakan terhadap suatu permohonan. Dengan demikian keharusan suatu keputusan tertulis sebagai kompetensi absolut peradilan administrasi menjadi tidak lagi mutlak.

Pada umumnya dalam hukum acara dikenal adanya kompetensi (kewenangan) suatu badan peradilan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara. Kompetensi tersebut dibedakan atas “kompetensi relatif dan kompetensi absolut”.

19

Indoharto,1993, Usaha Memahami Peradilan Tata Usaha Negara., Buku I Beberapa


(39)

a. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif kewenangan suatu pengadilan ditentukan berdasarkan wilayah hukum yang menjadi wilayah kewenangannya. Suatu pengadilan berwenang memeriksa suatu sengketa, apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak yang bersengketa berkediaman di wilayah hukumnya.

Kompetensi relatif wilayah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dibedakan atas tiga daerah atau wilayah hukum, masing-masing meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten dan propinsi. Kompetensi relatif Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut dapat dikaitkan dengan pengadilan itu sendiri dan dapat pula dikaitkan dengan tempat kedudukan para pihak. Pada dasarnya gugatan diajukan di tempat kedudukan tergugat dan bilamana tergugat lebih dari satu Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan/Pejabat Tata Usaha Negara tersebut.

Untuk membantu dan memudahkan masyarakat pencari keadilan, bersengketa di Pengadilan Administrasi, maka apabila tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman Penggugat, gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat, untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan. Bahkan dalam hal-hal tertentu gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat. Sedangkan bilamana Pengugat dan Tergugat berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta. Demikian pula bilamana


(40)

Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan Tergugat.

b. Kompetensi Absolut

Kompetensi absolut berhubungan dengan kewenangan Pengadilan Administrasi mengadili suatu sengketa menurut objek atau materi atau pokok sengketa. Meskipun Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dapat digugat di Pengadilan Administrasi, tetapi tidak semua tindakannya dapat diadili oleh Pengadilan Administrasi.

Tindakan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang dapat digugat di Pengadilan Administrasi diatur di dalam Pasal 1 butir (3) dan Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1986, sedangkan tindakan selebihnya menjadi kompetensi Peradilan Umum atau Peradilan (Tata Usaha) Militer atau bahkan untuk masalah pembuatan Peraturan (Regeling) yang dibuat oleh Pemerintah dan bersifat umum, kewenangan untuk mengadilinya berada pada Mahkamah Agung melalui Hak Uji Materiil.20

Kompetensi absolut Pengadilan Administrasi adalah “sengketa tata usaha negara”. Sedangkan “sengketa tata usaha negara” menurut Pasal 1 butir (4) UU No. 5 Tahun 1986 adalah, Sengketa Tata Usaha Negara yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara Orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya

20

Moh. Mahfud MD, Lingkup Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dan Kapasitas

Tuntutan atas satu Keputusan Administrasi, Paper dalam Penataran Hukum Administrasi Negara,


(41)

Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di atas disebutkan bahwa sengketa tata usaha negara timbul karena dikeluarkannya “keputusana tata usaha negara”. Apakah Keputusan Tata Usaha Negara itu? Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara secara stimulatif dituangkan di dalam Pasal 1 butir (3) UU No. 5 Tahun 1986 berbunyi : Keputusan Tata Usaha

Negara adalah suatu penetapan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Di samping itu masih termasuk ke dalam kompetensi absolut Peradilan Administrasi adalah ketentuan yang terdapat pada Pasal 3, yaitu dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan kepadanya, sedangkan hal itu merupakan kewajibannya. Jangka waktu untuk itu ditentukan empat bulan sejak permohonan diterima, jika peraturan perundang-undangan tidak menentukannya. Tetapi apabila jangka waktu untuk itu ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan dasarnya, maka digunakan batas waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasar tersebut.


(42)

Konsepsi

Penanggulangan adalah proses cara, perbuatan menanggulangi.21 Penyalahgunaan adalah melakukan sesuatu tidak sebagaimana mestinya, menyelewengkan, orang yang suka mementingkan kepentingan pribadinya.22

Keimigrasian adalah hal ihwal lalulintas oraang yang masuk atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Negara Republik Indonesia23.

Tempat Pemeriksaan Imigrasi adalah pelabuhan, Bandar udara atau tempat-tempat lain yang ditetapkan oleh Menteri sebagai tempat-tempat masuk atau keluar wilayah Indonesia.24

Visa untuk Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Visa adalah ijin tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang pada perwakilan Republik Indonesia atau di tempat lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang memuat persetujuan bagi orang asing untuk melakukan perjalanan ke wilayah Indonesia.25

Tindakan Keimigrasian adalah tindakan administratif dalam bidang keimigrasian di luar proses peradilan.26

21

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Indonesia, edisi ke 4, Departemen Pendidikan Nasional, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2008

22

Ibid

23

Pasal 1, ayat 1,Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian

24

Ibid

25

Ibid

26


(43)

Pengusiran atau deportasi adalah tindakan mengeluarkan orang asing dari wilayah Indonesia karena keberadaannya tidak dikehendaki.

Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk keluar dari wilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu.

Penangkalan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk masuk ke wilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu.

Izin keimigrasian adalah izin yang resmi / sah yang diberikan oleh imigrasi yang terdiri dari :

1. Izin Singgah yang diberikan kepada orang asing yang memerlukan singgah di wilayah Indonesia untuk meneruskan perjalanan ke negara lain.

2. Izin kunjungan yang diberikan kepada orang asing yang berkunjung ke wilayah Indonesia untuk waktu yang singkat dalam rangka tugas pemerintahan, pariwisata, kegiatan sosial budaya atau usaha.

3. Izin Tinggal Terbatas yang diberikan kepada orang lain untuk tinggal di wilayah Indonesia dalam jangka waktu terbatas.

4. Izin Tinggal Tetap yang diberikan kepada orang asing untuk tinggal menetap di wilayah Indonesia.27

27


(44)

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (normative legal

research), untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor hukum yang menjadi

kendala pada tindakan-tindakan hukum dari suatu hukum administrasi, serta mengkaji ulang konsep yang menjadi penyebabnya.

2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Kedua pendekatan ini digunakan untuk mengetahui kesesuaian antara aturan-aturan dan kenyataan-kenyataan yang terjadi. 3. Sumber Data

Dalam penelitian ini sumber data hukum yang digunakan berupa data hukum primer dan data hukum sekunder.

Data Hukum Primer terdiri atas : UUD 1945, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian dan Peraturan-peraturan dalam bidang keimigrasian yang berkaitan dengan permasalahan.

Data Hukum Sekunder adalah Data hukum yang memberikan penjelasan terhadap data hukum primer, yang berupa hasil-hasil karya ilmiah ahli hukum, buku-buku dan majalah-majalah yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti serta hasil-hasil penelitian hukum yang memberikan informasi tentang data hukum primer dan sekunder, yang berupa kasus-kasus.


(45)

Sedangkan sumber data primer didapat dari Wawancara jarak jauh dengan pejabat Imigrasi Direktorat Jenderal Imigrasi di Jakarta serta didukung dengan observasi dan pendapat dari pejabat Imigrasi di kota Medan khususnya di kantor Imigrasi Belawan

4. Analisa Data

Analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).28

Analisa data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.29 Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deksriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.30

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumauskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.31 Berdasarkan pendapat Maria S.W. Sumardjono, bahwa analisis kualitatif dan analisis kuantitatif tidak harus dipisahkan sama sekali apabila digunakan dengan tepat, sepanjang hal itu

28

Burhan Bungi, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofi dan Metodologis

Kearah Penguasaan Modal Apalikasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.53.

29

Lexy J.Moleong, Metode Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.103.

30

Ibid., hlm.3.

31

Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm.103.


(46)

mungkin keduanya dapat saling menunjang.32 Analisis kualitatif itu juga dilakukan metode interprestasi.33 Berdasarkana metode interprestasi ini, diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.

Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa badan hukum primer, sekunder dan tertier, kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yakni pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis secara induktif dan atau deduktif untuk dapat memberikan gambaran secara jelas jawaban atas permasalahan yang ada, pada akhirnya dinyatakan dalam bentuk deskriptif.

32

Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, Cara Penyelesaian Karya Ilmiah Di Bidang Hukum (Panduan Dasar Menuntaskan Skripsi, Tesis dan Disertasi), Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2003. hlm.47.

33

Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, mengatakan interprestasi merupakan metode penemuan hukum dalam hlm peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya, interprestasi itu, baik dilakukan dengan metode gramatikal, teleologis atau sosiologis, sistematis atau logis, historis, komparatif, futuristis atau antisipatif, argumentum per analogiam (analogi), penyempitan hukum, argumentum a contrario, Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-bab Tentang

Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993), hlm.14-26. Lihat juga Sudikno

Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, Yogyakarta, 1999), hlm. 155-167.


(47)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEIMIGRASIAN

A. Sejarah Ringkas Keimigrasian di Indonesia

Di Indonesia pemeriksaan keimigrasian telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Pada saat itu terdapat badan pemerintah kolonial bernama Immigratie Dients yang bertugas menangani masalah keimigrasian untuk seluruh kawasan Hindia Belanda.34

Jika dikaji istilah keimigrasian berasal dari kata imigrasi yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda immigratie dan bahasa Latin immigratio. Kata imigrasi terdiri dari 2 (dua) suku kata yaitu in yang artinya dalam dan migrasi yang artinya pindah, datang, masuk atau boyong. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa arti imigrasi adalah pemboyongan orang-orang masuk ke suatu negeri.35 Pada saat itu jumlah kantor cabang Imigrasi di Indonesia sangat terbatas, hanya di kota-kota pelabuhan yang banyak disinggahi oleh kapal-kapal yang datang maupun berangkat ke luar negeri. Menurut Staatsblad 1916 No. 47 Pasal 1 ayat 2 tentang Penetapan Izin Masuk (PIM) dinyatakan bahwa : "Untuk turun kedarat diperlukan suatu Surat izin

dari pegawai yang ditunjuk oleh Presiden yang dalam pekerjaan disebut pejabat urusan pendaratan (Pejabat Imigrasi). "

34

M.Iman Santoso, Perspektif Imigrasi dalam Pembangunan Ekonomi dan ketahanan

Nasional, hlm. 17

35

T.S.G.Mulia dan K.A.H.Hidding, Ensiklopedia Indonesia, Jilid II, W. Van Hoeve, Bandung-Gravenhage, 1957, hlm.649.


(48)

Setelah bangsa Indonesia menjadi negara merdeka yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 dan tanggal 27 Desember 1949 penyerahan kedaulatan negara dari pemerintahan Hindia Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia maka pada tanggal 26 Januari 1950 secara resmi Kantor Imigrasi sebagai kantor penting pada zaman penjajahan Hindia Belanda diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia dan sekaligus menjadi Jawatan Imigrasi yang dipimpin oleh putra Indonesia Mr.H.Jusuf Adiwinata sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. Sejak adanya Jawatan Imigrasi maka negara Indonesia sebagai negara yang berdaulat mempunyai hak dan kewenangan untuk menentukan sistim hukum yang berlaku termasuk merumuskan masalah Hukum Keimigrasian diantaranya perubahan kebijakan Keimigrasian dari open deur policy untuk kepentingan pemerintah Kolonial, menjadi politik hukum keimigrasian yang bersifat selective policy yang didasarkan pada, kepentingan nasional pemerintah Indonesia.36 Artinya hanya bagi mereka yang benar-benar menguntungkan kesejahteraan rakyat dan tidak membahayakan keselamatan bangsa dan negara Republik Indonesia diizinkan masuk ke Indonesia.

Sebagai tindak lanjut dari penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Hindia Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia (Serikat) pada tanggal 27 Desember 1949, maka masalah keimigrasian di Indonesia diserahkan dari Pemerintah Hindia Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 26 Januari 1950, yang selanjutnya diambil langkah-langkah untuk mengatur masalah keimigrasian di Indonesia sebagai berikut:

36


(49)

1. Sesuai dengan Pasal II Ketentuan Peralihan UndangUndang Dasar 1945, maka Penetapan Izin Masuk Toelatingsbesluit dan Ordonansi Izin Masuk

Toelatingsordonnantie masih diberlakukan dengan perubahan-perubahan yang

disesuaikan dengan kepentingan Negara Republik Indonesia. 2. Menciptakan Peraturan Perundang-undangan yang baru berupa:

a . Undang-undang (Darurat) Nomor 40 Tahun 1950 tentang Surat Perjalanan Republik Indonesia (Paspor) sebagai pengganti Ordonnantie tahun 1937 tentang Surat Perjalanan ke luar negeri yang tidak sesuai lagi dengan kebijaksanaan Pemerintah Indonesia;

b . Undang-undang (Darurat) Nomor 42 Tahun 1950 tentang Bea-bea Imigrasi; c . Undang-undang (Darurat) Nomor 9 Tahun 1953 tentang Pengawasan Orang

Asing;

d. Undang-undang (Darurat) Nomor 8 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi;

e. Undang-undang (Darurat) Nomor 9 Tahun 1955 tentang Kependudukan Orang Asing;

f . Undang-undang Nomor 14 Tahun 1959 tentang Paspor Republik Indonesia sebagai pengganti Undang-undang (Darurat) Nomor 40 Tahun 1950 tentang Surat Perjalanan Republik Indonesia;

g. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pendaftaran Orang Asing;


(50)

Pengawasan Orang Asing;

i . Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1983 tentang Bebas Visa;

j . Peraturan Menteri Kehakiman Nomor J.M.2/ 17/2 Tahun 1954 tentang Cara Pendaftaran Orang Asing;

k. Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.03.UM.09.01 Tahun 1981 tentang Pencegahan dan Penangkalan.

l . Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Luar Negeri tentang Petunjuk Visa bagi orang asing yang akan masuk ke wilayah Negara Republik Indonesia.37

Selanjutnya jika di lihat dari sistem hukum keimigrasian pada dasamya merupakan sebagian kebijakan organ administrasi (Negara) yang melaksankan kegiatan pemerintahan (administrasi Negara) berupa perbuatan hukum pemerintah yang dilakukan Negara dalam keadaan bergerak (staat in beweging)38 fungsi dan

kewenangan keimigrasian di Indonesia dilaksanakan oleh Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia, yang secara khusus dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. Penjabaran dari sistem hukum Keimigrasian yang dijalankan oleh pemerintah secara operasional dituangkan ke dalam trifungsi imigrasi yaitu Pertama,

37

Moh Arif, Keimigrasian di Indonesia Suatu Pengantar, Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen Kehakiman, 1997, hlm. 16-17

38

Bagir Manan, Hukum Keimigrasian Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta, Ghlmia Indonesia, 2000. hlm.22


(51)

fungsi pelayanan masyarakat, Kedua, penegakan hukum, Ketiga, fungsi keamanan.39 Prayudi Atmosudirdjo menyebutnya sebagai hukum mengenai pemerintah dalam kedudukan dan fungsinya sebagai Administrator Negara.40 Selanjutnya diuraikan bahwa pemerintah suatu negara modern mempunyai lima fungsi pokok. Salah satu di antaranya adalah fungsi Administrasi Negara,41 yang meliputi tugas dan kegiatan-kegiatan:

1. Melaksanakan dan menyelenggarakan kehendak-kehendak (strategi) serta keputusan-keputusan pemerintah secara nyata.

2. Menyelenggarakan undang-undang (menurut Pasal-Pasalnya) sesuai dengan peraturan-peraturan pelaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Dilihat dari sisi ini, hukum keimigrasian yang termasuk hukum administrasi bertugas melaksanakan dan menyelenggarakan ketentuan-ketentuan Undang-undang Keimigrasian. Administrasi Negara dari sudut ilmu hukum, menurut Prajudi Atmosudirdjo mempunyai tiga arti42, yaitu:

a. Sebagai "aparatur" negara yang dikepalai dan digerakkan oleh Pemerintah;

b. Sebagai fungsi atau aktivitas atau administrasi dalam arti dinamis atau. funasional;

Dalam hal ini Administrasi Negara merupakan kegiatan-kegiatan aparatur negara. Apabila administrasi bertindak sebagai fungsi hukum, maka ia merupakan

39

Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992. Tentang Keimigrasian

40

Prayudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghlmia Indonesia, 1988, cetakan ke-9, hlm. 12

41

Ibid, hlm. 13

42


(52)

penyelenggaraan undang-undang atau pelaksanaan ketentuan undang-undang secara konkret, kausal dan (kebanyakan) individual;

c. Sebagai proses tata kerja penyelenggaraan atau sebagai tata usaha. Sebagai fungsi atau aktivitas ini berarti pengelolaan, perhitungan dan penarikan serta penyusunan ikhtisar data informasi tentang pekerjaan-pekerjaan dan kegiatan-kegiatan.

Hukum Keimigrasian dapat dilihat dalam perspektif hukum administrasi Negara. Sesungguhnya masalah keimigrasian justru merupakan sebagian kebijakan organ administrasi (negara) yang melaksanakan kegiatan pemerintahan (administrasi negara).43

Walaupun termasuk dalam hukum administratif, mengingat keimigrasian terkait dengan beberapa aspek strategis yang paling mengemukan adalah bahwa keimigrasian sebagai aspek penegakan kedaulatan Negara, oleh karena itu untuk mengawal penegakan hukum keimigrasian perlu sanksi pidana yang bersifat khusus diluar kelaziman yang berlaku sebagaimana hukum administrative lainnya, dan apabila dibandingkan dengan sanksi pelanggaran hukum adminsitratif lainnya yang lebih ringan maka kedudukan fungsi keimigrasian yang strategis secara rasional dapat diterima sebagai alasannya.

Hukum Keimigrasian yang merupakan suatu hukum administratif, namun karena kedudukan dan fungsi keimigrasian yang sangat strategis maka tidak sepenuhnya pelaksanaan sanksi dalam hukum administratif diterapkan dan malah

43

M.Iman Santoso, Perspektif Imigrasi Dalam Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan


(1)

1992 yang memberikan dasar dibenarkannya tindakan Pidana sebab kedua Pasal ini sama-sama bisa diterapkan pada Orang asing yang melakukan penyalahgunaan visa, namun pada saat mana Pasal 42 diterapkan dan pada saat mana Pasal 50 diterapkan belum ada batasan baik secara waktu, tempat, pelaku, dan barang bukti. Dalam hal ini penulis sarankan diadakan perbaikan dalam Undang-undang No. 9 tahun 1992 khususnya pemisahan antara dasar dari tindakan administrative keimigrasian dan dasar dari tindakan Pidana Keimigrasian

2. Dari tindakan-tindakan yang diambil lebih banyak dilakukan tindakan administrative keimigrasian karena tindakan keimigrasian mampu menyelesaiakan kasus-kasus keimigrasian secara cepat dan efesien, namun jika dikaitkan dengan pasal yang memberikan dasar dari tindakan Administratif Keimigrasian yaitu Pasal 42 Undang-undang No. 9 tahun 1992 terdapat juga unsur kalimat yang masih kurang jelas seperti dalam kalimat “Tindakan keimigrasian dilakukan terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan yang berbahaya atau patut diduga akan berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku” kalimat melakukan kegiatan berbahaya atau patut diduga akan berbahaya ini di lain pihak dapat mendukung efektifitas dan kecepatan dari proses tindakan tersebut namun dilain pihak dapat menimbulkan tindakan sewenang-wenang karena tidak disertai dengan barang bukti yang cukup meskipun dalam pelaksanaannya petugas Imigrasi berusaha menangkap tersangka dalam keadaan tertangkap tangan. Dalam hal ini penulis juga sarankan


(2)

diadakan perbaikan dari Pasal 42 Undang-undang No 9 tahun 12992 khususnya mengenai dasar dan prosedure dari tindakan administrative keimigrasian.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

A. Hamzah, 1995. Penegak Hukum Indonesia, Arikhah, Jakarta : Media Cetak. Burhan Bungi, 2003. Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofi dan

Metodologis Kearah Penguasaan Modal Apalikasi, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Bagir Manan, 2000. Hukum Keimigrasian Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Ghlmia Indonesia.

Duswara M, Dudu, 2002. Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Refika Aditama.

Indoharto, 1993. Usaha Memahami Peradilan Tata Usaha Negara. Cetakan Ke Empat, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

__________, 2004 Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Indonesia, edisi ke 4, Departemen Pendidikan Nasional, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2008

Lili Rasjidi, 2001. Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung : Remadja,-Rosdakarya, Bandung

Lexy J.Moleong, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya.

M.Iman Santoso, Perspektif Imigrasi Dalam Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan Nasional, University Indonesia Press Jakarta, 2004

Moh Arif. Keimigrasian di Indonesia Suatu Pengantar, Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen Kehakiman. 1997

Prajudi Armosudirdjo, 1981. Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Ghlmia Indonesia

_________________, 1988. Hukum Administrasi Negara, Cetakan ke-9, Ghlmia Indonesia.


(4)

RDH Koesumahatmadja, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara, Alumni Bandung, 1975.

Sihar Sihombing, 1993. Hukum Imigrasi, Nuansa Aulia Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1993

_____________, 2001. Hukum Imigrasi, Nuansa Aulia, Jakarta : Rineka Cipta Sjachran Basah, Eksistensi dan tolok ukur Badan Peradilan Administrasi di

Indonesia, Alumni Bandung, 1985

_____________, Beberapa Hal tentang Hukum Acara Administrasi, Alumni Bandung, 1989

Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, 1993. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,

___________, 1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty. Suparto Wijoyo, 1997. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Surabaya

: Airlangga University Press,

Suwoto, Mulyosudanno, 1997. Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Tatiek Sri Djamiati, 2002. Prinsip Izin Usaha Industri, Surabaya : Universitas Airlangga

Ukun Wahyudin, 2004, Deportasi Sebagai Instrumen Penegakan Hukum dan Kedaulatan Negara di Bidang Keimigrasian

W.F.Prins, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Walters-Groningen, Jakarta B. ARTIKEL, MAKALAH, MEDIA CETAK SERTA HASIL WAWANCARA Buku Kenangan Limapuluh Tahun Imigrasi, PT. Kipas Putih Aksara

Bagir Manan, Wewenang Propinsi Kabupaten dan Kota Dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 13 Mei 2000.

E. Utrecht, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Balai Buku Indonesia, Jakarta.


(5)

Hasil Wawancara dengan Pejabat Imigrasi/Kepala Kantor Imigrasi Belawan Kementrian Hukum dan Ham Wilayah Sumatera Utara

Materi Sosialisasi Peraturan Keimigrasian tahun 2009, Humas Direktorat Jenderal Imigrasi

Moh. Mahfud MD, Lingkup Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dan Kapasitas Tuntutan atas satu Keputusan Administrasi, Paper dalam Penataran Hukum Administrasi Negara, Bandung, 10-22 Agustus 1987.

Philipus, M.Hadjon, 2004 Tentang Wewenang, Dalam Yuridika, Nomor 5 dan 6 Tahun XII September – Desember 1997, 2004

_______________, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia (Introduction to the Indonesia Administrative Law), Cet. 1 Yogyakarta Gajah Mada University Pres.

SF.Mabun, Telah Yurisprudens Aaanwijzi Natuurmonumenten, Penunjukan Suatu Daerah Sebagai Staatnatuurmonument, Makalah Penataran Hukum Administrasi Negara Kerjasama Hukum Indonesia Belanda, Unpad Bandung, 10-22 Agustus 1987.

_____________. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif, Liberty, Yogyakarta. 1997

C. PERATURAN PERUNDAN-UNDANGAN

Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut

Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian.

Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Pencegahan dan Penangkalan.

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1994 Tentang Pengawasan Orang Asing dan Tindakan Keimigrasian.


(6)

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 Tentang Visa, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1994 Tentang Surat Perjalanan RI.

Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.04-PW.9.02 Tahun 1995 Tentang Pendaftaran Orang Asing.

Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.02-PW.09.02 tahun 1995 Tentang Tata Cara Pengawasan, Pengajuan Keberatan Orang Asing dan Tindakan Keimigrasian.

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M-02-IZ.01.10 Tahun 1995 tentang visa singgah, visa kunjungan, visa tinggal terbatas, izin masuk dan izin keimigrasian.

Petunjuk Pelaksana Direktorat Jenderal Imigrasi Nomor : F-314.IL.02.10 Tahun 1995 Tentang Tata Cara Tindakan Keimigrasian.