Studies of Spatial Pattern Based on Environmental Carrying Capacity in Garut Regency

(1)

KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI

KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG

LINGKUNGAN HIDUP

ARDHY FIRDIAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pola Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Garut Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2011

Ardhy Firdian NIM. A156090114


(3)

ABSTRACT

ARDHY FIRDIAN. Studies of Spatial Pattern Based on Environmental Carrying Capacity in Garut Regency. Under supervision of BABA BARUS and DIDIT OKTA PRIBADI.

Enviromental Carrying Capacity is measured in three methods such as, land capability, land carrying capacity and water carrying capacity. Garut Regency which is located at the upstream Cimanuk Watershed have an important role in protecting the sustainability of downstream area. The aims of this study are: (1) identifying land use in Garut Regency in 2009, (2) identifying land capability in Garut Regency, (3) assessing the suitability of land use with land capability and spatial pattern of Garut Regency, (4) identifying the status of environmental carrying capacity in Garut Regency, and (5) setting spatial pattern based on environmental carrying capacity. Based on the analysis through the interpretation of Landsat Satellite Imagery and Alos AVNIR in 2009, dryland agriculture has dominated about 45,4% and forest cover has about 23,8%. The result in land capability aspect, most areas in Garut Regency belong to Class IV (36,4% of the regency areas) and there is no Class I. The suitabilty of land cover regarding to land capabilty show that 49,6% area is categorized as suitable and 50,4% area is categorized as not suitable. Evaluation between the spatial patern and the land capability shown that 58,4% area is suitable, 24,4% area is not suitable and 17,2% area is suitable with some limitation factors. In the evaluation beetween spatial pattern and land cover shown that 64,5% area is suitable, 34,5% area is not suitable and 0,1% area is suitable with some condition. The status of land carrying capacity is deficit, and the status of water carrying capacity is deficit. According to spatial pattern that is made based on land capability and existing forest, region that can be used as the preservation area is about 60,1% and region that can be used as the cultivation area is about 41,5% of the area of Garut Regency.

Keywords : spatial pattern, land use and land cover, land capability, environmental carrying capacity


(4)

RINGKASAN

ARDHY FIRDIAN. Kajian Pola Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Garut Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup. Dibimbing oleh BABA BARUS dan DIDIT OKTA PRIBADI

Ruang menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Pemanfaatan dan pengaturan pola serta struktur ruang di Indonesia, diatur melalui undang-undang tersebut bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Menurut Dardak (2005) rencana tata ruang juga merupakan sebuah piranti untuk menjamin terpenuhinya bukan hanya hak-hak individu seperti keselamatan, kesehatan, lingkungan, kenyamanan, maupun kemudahan akses, namun juga untuk hak-hak publik.

Kabupaten Garut, merupakan salah satu wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang saat ini sedang menyusun rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Garut 2010 – 2030 sebagai pengganti RTRW sebelumnya yang berakhir tahun 2011. Di dalam RTRW tersebut, kebijakan rencana pemanfaatan ruang bagi kawasan lindung ditetapkan sebesar 74,2% atau lebih besar daripada kebijakan sebelumnya. Hal ini akan berpotensi menimbulkan konflik dalam pemanfaatan ruang dan berdampak terhadap aktifitas masyarakat lainnya.

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini, yaitu: (1) mengidentifikasi pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut, (2) mengidentifikasi kelas kemampuan lahan, (3) mengevaluasi kesesuaian antara pemanfaatan lahan aktual, rencana pemanfaatan ruang dan kelas kemampuan lahan, (4) mengidentifikasi status daya dukung lingkungan hidup di Kabupaten Garut dan (5) merumuskan arahan pemanfaatan ruang berbasis daya dukung lingkungan hidup.

Pemanfaatan lahan aktual diperoleh melalui interpretasi citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2009 Path 121 dan 122 Row 065 dan Alos AVNIR tahun 2009 menggunakan strategi klasifikasi terbimbing metode Maximum Likelihood (MLC). Kelas kemampuan lahan diidentifikasi dengan menggunakan peta sistem lahan dan peta unit lahan. Perhitungan evaluasi kesesuaian dilakukan terhadap tiga aspek, yaitu : (1) kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan, (2) kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap rencana pemanfaatan ruang dan (3) kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan.

Status daya dukung lingkungan hidup diperoleh menggunakan dua pendekatan, yaitu daya dukung lahan dan daya dukung air. Melalui pendekatan dengan metode ini, dapat diketahui status daya dukung lingkungan hidup di suatu wilayah, apakah dalam kondisi surplus atau defisit. Kondisi surplus diperoleh jika ketersediaan lingkungan hidup lebih besar daripada kebutuhan lingkungan hidup. Indikator yang digunakan untuk menentukan daya dukung lingkungan hidup adalah ketersediaan serta kebutuhan lahan dan air sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang


(5)

Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah.

Perumusan arahan pemanfaatan ruang dilakukan berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dari evaluasi kesesuaian dan daya dukung lingkungan hidup. Arahan pemanfaatan lahan difokuskan kepada deliniasi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Faktor yang digunakan adalah kelas kemampuan lahan VII dan VIII serta VI yang memiliki faktor penghambat kelerengan (l) serta kelerengan dan erosi (le). Selain itu arahan pemanfaatan lahan juga mempertimbangkan faktor pemanfaatan lahan aktual hutan yang perlu dipertahankan keberadaannya.

Terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual, yaitu: (1) hutan, (2) perkebunan, (3) pertanian lahan kering, (4) pertanian lahan basah, (5) permukiman, (6) pertambangan, (7) padang rumput, (8) tanah terbuka, dan (9) tubuh air. Pemanfaatan lahan terbesar terdapat pada pertanian lahan kering (139.760 Ha/45,4%) sedangkan pemanfaatan lahan terkecil berupa tambang pasir (200 Ha/0,1%). Pemanfaatan lahan aktual lain yang dominan adalah hutan dan pertanian lahan basah, dengan masing-masing luasan 73.290 Ha dan 51.870 Ha.

Terdapat 27 (dua puluh tujuh) sub kelas kemampuan lahan yang ada di Kabupaten Garut. Luas terbesar merupakan sub kelas kemampuan IV-lb seluas 79.750 Ha (25,9%). Sub kelas ini secara spasial penyebarannya terdapat di wilayah Garut bagian selatan. Sedangkan sub kelas kemampuan terkecil adalah V-o dengan luasan 170 Ha (0,1%). Sub kelas kemampuan ini pada kenyataannya merupakan daerah aluvial pada muara sungai yang terbentuk dari sedimentasi material tanah yang terbawa aliran sungai. Faktor dominan yang menjadi penghambat utama adalah kelerengan (l) dan erosi (e) yang dapat ditemukan pada semua kelas kemampuan. Faktor ini merupakan faktor penghambat terberat sedangkan faktor penghambat lain yang dominan adalah faktor erosi (e) dimana tinggi rendahnya penghambat faktor ini sangat dipengaruhi oleh faktor lain, seperti kelerengan (l), kondisi tutupan tanah, tekstur tanah dan curah hujan.

Hasil evaluasi kesesuaian menunjukkan bahwa dilihat dari segi pemanfaatan lahan aktual maupun segi rencana pemanfaatan ruang, secara umum masih dikatakan belum sesuai. Faktor dominan yang menjadi pembatas utama adalah faktor lereng (l) dan erosi (e).

Perhitungan daya dukung lingkungan hidup dilakukan terhadap daya dukung lahan dan daya dukung air. Perhitungan daya dukung lahan dilakukan dengan pendekatan nilai produksi, dimana total nilai produksi dari seluruh bioproduk yang dihasilkan dikalkulasikan dan disetarakan dengan harga beras. Hasil perhitungan nilai produksi terhadap sebelas kelompok komoditas yang meliputi 142 jenis komoditas, diperoleh nilai ketersediaan lahan setara luasan 613.469,19 Ha sedangkan kebutuhan lahan yang diperoleh berdasarkan kebutuhan lahan untuk setiap penduduk diperoleh nilai setara luasan 721.808,97 Ha pada jumlah penduduk sebanyak 2.380.981 jiwa. Mengacu kepada nilai ini, dimana nilai kebutuhan lahan lebih besar daripada nilai ketersediaan lahan dapat dikatakan kondisi daya dukung lahan dalam keadaan defisit. Kondisi ketersediaan air di Kabupaten Garut mencapai sebesar 1.752.635.062,43 m3/tahun sedangkan kebutuhan air mencapai 3.809.569.600,00 m3/tahun, status daya dukung air dianggap dalam keadaan defisit.


(6)

Analisis spasial yang dilakukan untuk mendapatkan arahan pemanfaatan ruang, diperoleh hasil secara umum ditinjau dari aspek kemampauan lahan, status hutan yang berfungsi lindung maupun kondisi pemanfaatan lahan aktual yang ada, kawasan lindung yang dimungkinkan untuk dialokasikan di Kabupaten Garut sebesar 60,1% dari keseluruhan wilayah. Hal ini menunjukkan capaian target rancangan RTRW Kabupaten Garut 2010-2030 yang menetapkan kawasan lindung sebesar 74,16% sulit diwujudkan.

Kata kunci: pola pemanfaatan ruang, pemanfaatan lahan aktual, kemampuan lahan, daya dukung lingkungan hidup


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI

KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG

LINGKUNGAN HIDUP

ARDHY FIRDIAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(9)

(10)

Judul Tesis : Kajian Pola Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Garut Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup

Nama : Ardhy Firdian NRP : A156090114

Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Baba Barus, MSc. Ketua

Didit Okta Pribadi, SP, M.Si. Anggota

Diketahui

Ketua Proram Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, M..Sc. Agr.


(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2010 sampai dengan Januari 2011 ini ialah daya dukung lingkungan hidup dalam penataan ruang, dengan judul Kajian Pola Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Garut Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Baba Barus, MSc. dan Bapak Didit Okta Pribadi, SP, M.Si. selaku pembimbing atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini, serta Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. Di samping itu, penghargaan dan terima kasih penulis haturkan kepada Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah beserta segenap pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB, Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Garut, Ir. Hj. Indriana Soemarto, MM yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini, Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis, rekan-rekan PWL angkatan 2009 atas segala kebersamaan selama pendidikan, dan pihak lain yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Akhirnya ucapan terima kasih yang setinggi-tinginya juga disampaikan kepada ibunda, isteri dan kedua anakku serta seluruh keluarga, atas segala do’a, dukungan, pengertian, pengorbanan dan kasih sayangnya.

Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua civitas akademik dan pemerintah, sehingga mampu memperkaya khasanah keilmuan bidang perencanaan wilayah di masa mendatang.

Bogor, April 2011


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 8 Februari 1976 dari pasangan H. Achmad Firdaus (Alm) dan Hj. Asih Miyanti. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2003 penulis menikah dengan Alin Fitriyani dan dikaruniai dua orang anak, Naufal Fadhil Hafizh dan Rayyaa Zakiyyah Azhaar.

Pendidikan SD hingga SMA diselesaikan di kota Jakarta, sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB di Bogor dan lulus tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh tahun 2009 pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Pada tahun 2000 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Kehutanan Propinsi Bali dpk Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah tahun 2000 sampai dengan tahun 2005. Tahun 2005 penulis pindah tugas ke Pemerintah Kabupaten Garut dan ditempatkan pada Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan sampai tahun 2009, kemudian di tempatkan pada Dinas Perkebunan sejak tahun 2009 sampai saat ini.


(13)

i DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ………. iv

DAFTAR GAMBAR .………... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang ……….. 1

Perumusan Masalah ……… 6

Tujuan Penelitian ………. 7

Manfaat Penelitian ……….. 7

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang ... 8

Kemampuan Lahan ... 9

Daya Dukung Lingkungan Hidup ... 12

Sistem Informasi Geografis ... 13

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran ... 15

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

Sumber dan Metode Pengumpulan Data ... 16

Analisis dan Pengolahan Data ... 21

Pemanfaatan Lahan Aktual ... 21

Kemampuan Lahan ... 23 Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual, Rencana Pemanfaatan Ruang dan Kemampuan Lahan ...

27


(14)

ii

Daya Dukung Lingkungan Hidup ... 32

Arahan Pemanfaatan Ruang Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup ... 37 Batasan-batasan ... 39

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi ... 40

Kondisi Fisik Wilayah ... 40

Topografi ... 40

Klimatologi ... 43

Hidrologi ... 45

Jenis Tanah ... 45

Kependudukan ... 46

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Garut ... 47

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual ... 50

Kemampuan Lahan ... 57

Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual, Rencana Pemanfaatan Ruang dan Kemampuan Lahan ... 61 Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual terhadap Kemampuan Lahan ... 62 Kesesuaian Rencana Pemanfaatan Ruang terhadap Pemanfaatan Lahan Aktual ... 64 Kesesuaian Rencana Pemanfaatan Ruang terhadap Kemampuan Lahan ... 66 Daya Dukung Lingkungan Hidup ... 69


(15)

iii

Daya Dukung Lahan ... 69

Daya Dukung Air ... 72

Arahan Pemanfaatan Ruang Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup ... 74 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 80

Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ……….83


(16)

iv DAFTAR TABEL

Hal

1. Klasifikasi kelas kemampuan lahan dan kriteria ... 11 2. Jenis data dan sumber perolehan data ..………... 17 3. Keterkaitan antara tujuan, variabel, jenis data, metode analisis dan

keluaran ...

18 4. Hubungan kriteria kelas kemampuan lahan dan atribut peta landsystem

dan peta landunit ...

27 5. Kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kelas kemampuan

lahan ... 29 6. Kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap rencana pemanfaatan

ruang ...

30 7. Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kelas kemampuan

lahan ... 31

8. Contoh perhitungan nilai produksi total ... 34

9. Koefisien limpasan ... 35 10. Keterkaitan antara skenario, faktor pertimbangan dan kriteria yang

digunakan untuk menyusun arahan pemanfaatan ruang ...

38 11. Luasan dan persentase Kabupaten Garut berdasarkan kelas

ketinggian ...

42 12. Luasan dan persentase Kabupaten Garut berdasarkan kelas lereng ... 42

13. Jumlah dan pertumbuhan penduduk di Kabupaten Garut ... 47

14. Luas dan persentase rencana pola ruang revisi RTRW Kabupaten Garut 2010 – 2030 ...

49

15. Luas dan persentase pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut tahun 2009 ...

50

16. Luas dan persentase kelas kemampuan lahan ... 58

17. Luas dan persentase sub kelas kemampuan lahan ... 60

18. Luas dan persentase kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan ...


(17)

v 19. Luas dan persentase kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap

pemanfaatan lahan aktual ...

66

20. Luas dan persentase kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan ...

68

21. Perhitungan ketersediaan lahan ... 69

22. Nilai produk setiap kelompok komoditas ... 70

23. Perhitungan status daya dukung air ... 72

24. Luas dan persentase pemanfaatan ruang ... 74

25. Perbandingan arahan pemanfaatan ruang menurut skenario dengan luasan minimal kawasan lindung dan rencana pemanfaatan ruang RTRW Kabupaten Garut 2010-2030 ... a 77 26. Arahan pemanfaatan ruang berdasarkan skenario alternatif ... 78


(18)

vi DAFTAR GAMBAR

Hal

1. Jumlah penduduk Kabupaten Garut 2004 – 2009 ... 4

2. Perkembangan PDRB Garut tahun 2004 – 2008 ... 5

3. Pendapatan perkapita masyarakat ... 6

4. Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan... 10 5. Kerangka pemikiran penelitian ... 15

6. Interpretasi pemanfaatan lahan aktual tahun 2009 ... 21

7. Perbandingan perbaikan citra satelit Landsat ETM 7+ Path 121 Row 065 tanggal akuisisi 24 Maret 2009 Band 542 ... 22 8. Pemanfaatan peta landunit dan landsystem ... 24

9. Penyesuaian peta landsystem menggunakan data DEM ... 25

10. Alur proses pembuatan peta kelas kemampuan lahan ... 26

11. Alur pelaksanaan pembuatan peta kesesuaian ... 28

12. Alur proses perhitungan daya dukung lahan ... 33

13. Alur proses perhitungan daya dukung air ... 36

14. Alur penyusunan arahan pemanfaatan ruang ... 37

15. Peta kelas ketinggian Kabupaten Garut ... 41

16. Peta kelas kelerengan ... 43

17. Peta curah hujan ... 44

18. Peta jenis tanah ... 46

19. Rencana pola ruang RTRW Kabupaten Garut 2010 – 2030 ... 48

20. Pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut tahun 2009 ... 51

21. Perkebunan sawit ... 52


(19)

vii

23. Perkebunan teh ... 53

24. Pertanian lahan kering ... 54

25. Pertanian lahan basah ... 54

26. Permukiman ... 55

27. Tanah terbuka ... 56

28. Kelas kemampuan lahan ... 58

29. Sub kelas kemampuan lahan ... 59

30. Kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan ... 62

31. Pertanian lahan kering pada daerah berbukit ... 64

32. Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual ... 65 33. Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan ... 67

34. Arahan pemanfaatan ruang skenario I ... 75

35. Arahan pemanfaatan ruang skenario II ... 76


(20)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ruang menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya sehingga dapat dikatakan, ruang sebagai wilayah bagi manusia untuk dapat melakukan aktifitas sosial, ekonomi dan aktifitas lainnya yang berhubungan dengan kelangsungan hidupnya dan sumberdaya yang ada. Oleh sebab itu pengaturan ruang perlu dilakukan secara terencana sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara terkendali.

Pengaturan ruang dalam kerangka kebijakan hukum di Indonesia, diatur melalui Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang diimplementasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik nasional, provinsi maupun kabupaten yang masing-masing dibedakan berdasarkan tingkat kedalaman analisis. Hal ini dilakukan dengan tujuan mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan memperhatikan :

a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;

b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif

terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Selain itu, rencana tata ruang juga merupakan sebuah piranti untuk menjamin terpenuhinya bukan hanya hak-hak individu seperti keselamatan, kesehatan, lingkungan, kenyamanan, maupun kemudahan akses, namun juga untuk hak-hak publik (Dardak 2005). Mengacu kepada pernyataan ini dapat dikatakan bahwa pemanfaatan ruang pada suatu wilayah harus sesuai dengan kapasitas lingkungan hidup serta sumber daya yang dimiliki dan pengalokasian pemanfaatan ruang


(21)

2 dilakukan dengan memperhatikan kemampuan lahan yang ada, atau dengan kata lain harus memperhatikan aspek daya dukung lingkungan hidup.

Pertimbangan aspek daya dukung lingkungan hidup dalam perencanaan pemanfaatan ruang menjadi penting, mengingat keterbatasan sumberdaya yang ada, khususnya sumberdaya lahan perlu dipertahankan kelestariannya sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi manusia. Pemanfaatan ruang yang tidak memperhatikan aspek daya dukung lingkungan hidup dapat menyebabkan terjadinya bencana alam, seperti tanah longsor dan banjir serta dalam jangka panjang akan mengakibatkan dampak sosial.

Berdasarkan pemahaman tersebut diatas, pemerintah melalui Kementerian Negara Lingkungan Hidup, menerbitkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah, yang merupakan pedoman untuk menilai daya dukung lingkungan hidup sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam penyusunan RTRW. Konsekuensi hukum penerbitan peraturan tersebut adalah setiap penyusunan RTRW yang dilakukan pada suatu wilayah perlu mempertimbangkan aspek daya dukung lingkungan hidup, termasuk rancangan RTRW Kabupaten Garut sebagai pengganti RTRW sebelumnya yang berakhir pada tahun 2011.

Kabupaten Garut, merupakan salah satu wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, dalam penyusunan rancangan RTRW mengacu kepada RTRW Provinsi Jawa Barat yang telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat. Di dalam rancangan tersebut, alokasi pemanfaatan ruang di Kabupaten Garut terbagi menjadi dua kawasan utama, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya, dengan proporsi luasan masing-masing 74,2% dan 25,8% dari keseluruhan wilayah. Pengalokasian kawasan lindung yang cukup besar juga merupakan bagian dalam mendukung program Provinsi Jawa Barat sebagai Green Province dimana kawasan lindung di Provinsi Jawa Barat akan mencapai luasan 45% dari luas wilayah Jawa Barat pada akhir tahun perencanaan. Konsekuensi logis dari penetapan ini akan berdampak terhadap aspek ruang serta aktifitas manusia dan berpotensi menimbulkan konflik.


(22)

3 Dilihat dari aspek keruangan, penetapan kawasan lindung sebesar 74,2% memerlukan penambahan luasan yang berasal dari peruntukan lain. Sebagai gambaran, pada RTRW Kabupaten Garut yang berlaku sebelumnya, pengalokasian fungsi kawasan ditetapkan sebesar 46,4% bagi peruntukan kawasan lindung dan 53,6% bagi kawasan budidaya sehingga dapat diperkirakan penambahan alokasi peruntukan kawasan lindung sebesar 27,8% akan berasal dari kawasan budidaya. Dampak lanjutan perubahan kebijakan pengalokasian ruang ini akan menyebabkan diberlakukannya pembatasan-pembatasan aktifitas terutama pada wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan kawasan budidaya. Sugandhy (1999) dalam Aliati (2007) mengemukakan bahwa kawasan non budidaya (fungsi lindung) adalah bagian dari suatu wilayah yang mempunyai fungsi non budidaya (dominasi fungsi lindung) terhadap tanah, air, flora, fauna dan budaya) dengan sudah mempertimbangkan kelestarian lingkungan hidup, dimana di dalamnya tidak diperkenankan adanya fungsi budidaya ataupun kalau terpaksa diperkenankannya dalam fungsi terbatas.

Pembatasan pemanfaatan ruang sangat bertolak belakang dengan perkembangan yang ada, jika dilihat dari faktor perkembangan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi. Menurut Andriyani (2007) meningkatnya pertambahan penduduk akan meningkatkan kebutuhan lahan untuk permukiman selain itu dikatakan, dinamika sosial ekonomi menjadi faktor pendorong terjadinya dinamika penggunaan lahan yang berakibat pada perubahan dan pergeseran penggunaan lahan.

Data statistik seperti terlihat pada Gambar 1 menunjukkan, jumlah penduduk Kabupaten Garut pada tahun 2009 sebesar 2.380.981 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 2,6% atau meningkat 98,4% dibandingkan jumlah penduduk pada tahun 1971 yang berjumlah 1.200.407 jiwa. Selama empat tahun terakhir, jumlah penduduk Kabupaten Garut cenderung mengalami peningkatan dan akan terus mengalami penambahan mendekati hampir tiga juta jiwa pada tahun 2030. Hal ini akan mendorong peningkatan kebutuhan lahan bagi pemukiman serta untuk mendukung aktiftas dan kebutuhan lainnya.


(23)

4

Sumber : diolah dari berbagai sumber

Gambar 1 Jumlah penduduk Kabupaten Garut 2004 – 2009.

Disamping itu perkembangan aktifitas masyarakat di Kabupaten Garut, selama beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang cukup intensif. Salah satu indikator untuk melihat perkembangan aktifitas yang terjadi adalah dengan melihat perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Secara keseluruhan pencapaian kinerja PDRB atas harga berlaku relatif mengalami peningkatan dari 11.323,8 miliar rupiah pada tahun 2004 menjadi 22.271,4 miliar rupiah pada tahun 2009. Peningkatan ini juga terlihat dalam perkembangan PDRB yang dihitung atas dasar harga konstan tahun 2000, dimana pada tahun 2009 nilainya mencapai 10.568,7 milyar rupiah dibandingkan tahun 2004 yang nilainya mencapai 8.418,4 milyar rupiah. Perbedaan nilai PDRB yang cukup besar menunjukkan tingginya inflasi yang terjadi di wilayah ini. Namun demikian secara umum, berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan, dinamika ekonomi yang terjadi di wilayah ini menunjukkan perkembangan perkenomian aktifitas masyarakat. Secara multi waktu, gambaran peningkatan aktifitas perekonomian masyarakat Kabupaten Garut dapat dilihat pada Gambar 2.

2.253.253

2.239.091

2.274.973

2.309.776

2.345.108

2.380.981

2.150.000 2.200.000 2.250.000 2.300.000 2.350.000 2.400.000

2004 2005 2006 2007 2008 2009


(24)

5

Sumber : diolah dari berbagai sumber

Gambar 2 Perkembangan PDRB Garut tahun 2004 – 2009.

Pertumbuhan dan perkembangan aktifitas perekonomian secara umum yang dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan nilai PDRB, berdampak terhadap pendapatan perkapita masyarakat. Pendapatan perkapita merupakan gambaran daya beli masyarakat dan dalam analisis sering digunakan sebagai gambaran indikator kesejahteraan masyarakat secara makro sehingga dapat dikatakan semakin tinggi pendapatan yang diterima penduduk maka tingkat kesejahteraannya semakin baik, demikian pula sebaliknya. Gambar 3 menunjukkan bahwa dilihat dari pendapatan perkapita masyarakat yang dihitung berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan terdapat peningkatan yang cukup tinggi. Secara agregat pendapatan perkapita riil yang diterima oleh masyarakat pada tahun 2009 mencapai 4,5 juta rupiah perkapita dibandingkan tahun 2004 yang mencapai 3,7 juta rupiah perkapita.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dilihat adanya permasalahan, yang berpangkal pada dua kepentingan yang saling bertolakbelakang namun memiliki aspek keruangan, yaitu kepentingan konservasi dan produksi. Pada satu sisi, kebijakan penetapan kawasan lindung yang cukup besar akan meredam

8,4 8,8 9,1

9,6 10,0

10,6 11,3

13,7

15,9

17,7

20,4

22,3

-5,0 10,0 15,0 20,0 25,0

2004 2005 2006 2007 2008 2009

PDRB Harga Konstan (trilyun rupiah) PDRB Harga Berlaku (trilyun rupiah)


(25)

6 penggunaan lahan yang bersifat intensif sedangkan perkembangan sosial ekonomi yang terjadi saat ini, di lain pihak memerlukan ruang yang cukup untuk dimanfaatkan sebagai media aktifitas manusia. Sehingga perlu dikaji bagaimana pemanfaatan ruang yang mampu menyeimbangkan antara kepentingan produksi maupun konservasi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup di wilayah tersebut.

Sumber : diolah dari berbagai sumber

Gambar 3 Pendapatan perkapita masyarakat

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, terlihat adanya permasalahan konflik pemanfaatan ruang yang penting untuk dikaji sehingga untuk dapat memberikan alternatif pemecahannya, penting untuk memahami beberapa hal yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi pemanfaatan lahan yang ada saat ini?

2. Bagaimana potensi sumberdaya lahan yang ada jika dilihat berdasarkan aspek kemampuan lahannya?

3,7 3,9 4,0

4,2 4,3 4,5

5,0

6,1

7,0

7,7

8,7

9,4

-1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 7,0 8,0 9,0 10,0

2004 2005 2006 2007 2008 2009


(26)

7 3. Apakah pemanfaatan lahan yang ada saat ini sudah sesuai dengan potensi yang dimiliki dan apakah perencanaan yang dibuat telah memperhitungkan potensi yang ada serta apakah perencanaan tersebut telah melihat kondisi pemanfaatan lahan yang ada saat ini?

4. Bagaimana status daya dukung lingkungan hidup wilayah pada saat ini? Apakah mengalami surplus atau defisit?

5. Bagaimana pemanfaatan ruang yang optimal dengan mempertimbangkan aspek daya dukung lingkungan hidup di wilayah tersebut?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut. 2. Mengidentifikasi kelas kemampuan lahan di Kabupaten Garut.

3. Mengevaluasi kesesuaian pemanfaatan lahan aktual, rencana pemanfaatan ruang dan kelas kemampuan lahan.

4. Mengidentifikasi status daya dukung lingkungan hidup di Kabupaten Garut. 5. Merumuskan arahan pemanfaatan ruang di Kabupaten Garut berbasis daya

dukung lingkungan hidup.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai masukan kebijakan pemerintah daerah dalam merumuskan arahan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan daya dukung lingkungan hidupnya.


(27)

8

TINJAUAN PUSTAKA

Ruang dan Penataan Ruang

Menurut Rustiadi et al. (2009) ruang terdiri dari lahan dan atmosfer. Lahan dapat dibedakan lagi menjadi tanah dan tata air. Ruang merupakan bagian dari alam yang dapat pula menimbulkan pertentangan jika tidak diatur dan direncanakan dengan baik dalam penggunaan dan pengembangannya. Oleh sebab itulah perlu dilakukan penataan ruang sehingga menjadi hak dan kewajiban setiap individu dalam upaya menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama. Dikatakan pula oleh Sugandhy (1999) dalam Aliati (2007) bahwa didalam penataan ruang perlu juga dipertimbangkan adanya ruang-ruang yang mempunyai fungsi lindung dalam kaitannya terhadap keseimbangan tata udara, tata air, konservasi flora dan fauna serta kesatuan ekologi.

Proses penataan ruang secara umum terbagi menjadi tiga, yaitu perencanaan, implementasi dan pengendalian. Menurut Permana (2004) penataan ruang adalah suatu proses yang mencakup perencanaan tata ruang (penyusunan rencana tata ruang wilayah), pemanfaatan ruang melalui serangkaian program pelaksanaan yang sesuai dengan rencana dan pengendalian pelaksanaan pembangunan agar sesuai dengan rencana tata ruang. Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa penataan ruang dilakukan sebagai: (1) optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya) guna terpenuhinya efisiensi dan produktifitas, (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya guna terpenuhinya prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan, serta (3) menjaga keberlanjutan pembangunan. Dikatakan selanjutnya, sebagai suatu proses terdapat setidaknya dua unsur penting dalam penataan ruang, pertama menyangkut unsur kelembagaan/institusional penataan ruang, dan kedua, menyangkut proses fisik ruang.

Wujud akhir dari suatu proses penataan ruang adalah dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah yang memuat rencana, pemanfaatan dan pengendalian ruang dari suatu wilayah. Menurut Dardak (2005) rencana tata ruang, sebagai produk yang dihasilkan dari proses perencanaan tata ruang, pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia yang melakukan aktiitas


(28)

9

lainnya dengan lingkungannya, baik alam maupun buatan, dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan hierarki dan kedalamannya, rencana tata ruang wilayah dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional merupakan strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah negara, yaitu arahan pengembangan sistem nasional, yang meliputi sistem permukiman dalam skala nasional, jaringan prasarana wilayah yang melayani kawasan produksi dan permukiman lintas provinsi dan pulau, penentuan wilayah yang akan diprioritaskan pengembangannya dalam waktu yang akan datang dalam skala nasional dan penetapan kawasan tertentu. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi memuat strategi dan struktur pemanfaatan ruang dalam skala wilayah provinsi, yaitu berupa arahan lokasi dan struktur pemanfaatan ruang yang bersifat lintas kabupaten dan kota agar kawasan dan wilayah tetap terjaga fungsi dan pengembangan ekonominya secara efisien, pemanfaatan sumberdaya alamnya terjaga lestari dan mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan wilayah kabupaten/kota dan kawasan serta antar sektor kegiatan secara sinergis dan efektif. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten maupun Kota memberikan arahan pengembangan pemanfaatan ruang yang mengacu kepada struktur makro, penetapan lokasi investasi, sistem pelayanan infrastruktur lingkup kabupaten/kota, arahan pengendalian rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam lingkup kabupaten/kota (Dardak 2005).

Kelas Kemampuan Lahan

Kelas kemampuan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas dan penghambat (degree of limitation) yang sama jika digunakan untuk pertanian yang umum (Sys et al. 1991 dalam Arsyad 2010). Metode kemampuan lahan digunakan untuk mengetahui kesesuaian lahan bagi penggunaan pertanian, lahan yang seharusnya dilindungi dan lahan yang dapat digunakan untuk pemanfaatan lainnya. Klasifikasi yang digunakan dalam metode ini menggunakan sistem klasifikasi yang dikembangkan oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) sistem


(29)

10

klasifikasi kemampuan lahan USDA sebenarnya sangat praktis untuk digunakan di Indonesia karena sangat sederhana, hanya memerlukan data tentang sifat-sifat fisik/morfologi tanah dan lahan yang dapat diamati di lapangan, tanpa memerlukan data tentang sifat-sifat kimia tanah yang harus dianalisis di laboratorium. Pengelompokan kemampuan tanah disusun dengan tujuan : (1) Membantu pemilik tanah dan pengguna lainnya dalam menginterpretasi peta tanah, (2) Memperkenalkan pengguna terhadap kedalaman informasi yang terdapat pada peta tanah dan (3) Membangun kemungkinan penggunaan tanah secara umum berdasarkan potensi, batasan penggunaan dan kendala pengelolaannya (USDA 1961).

Sistem ini mengenal tiga kategori, yaitu kelas, sub kelas dan unit, dimana penggolongan ke dalam kategori tersebut didasarkan atas kemampuan lahan tersebut untuk memproduksi pertanian secara umum, tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Menurut Arsyad (2010) pengelompokkan ke dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat sebagaimana terlihat pada Gambar 4.

Kelas Kemampuan

Lahan

Intensitas dan Macam Penggunaan Meningkat 

Cagar

Alam Hutan

Penggembalaan Garapan

Terbatas Sedang Intensif Terbatas Sedang Intensif Sangat Intensif  H a m b a ta n M e n in g k a t d a n P il ih a n P e n g g u n a a n L a h an Be rk u ra n g I II III IV V VI VII VIII

Gambar 4 Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan (Arsyad 2010).

Tanah dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I sampai VIII. Semakin tinggi kelas, ancaman kerusakan atau hambatan semakin meningkat sehingga penggunaannya semakin terbatas. Tanah pada Kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan


(30)

11

sesuai untuk berbagai penggunaan. Tanah pada Kelas V, VI dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad 2010). Secara rinci kriteria setiap kelas kemampuan lahan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi kelas kemampuan lahan dan kriteria

KLS KRITERIA

I 1. Tidak mempunyai atau hanya sedikithambatan yang membatasi penggunaannya. 2. Sesuai untuk berbagai penggunaan, terutama pertanian.

3. Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas: topografi datar, kepekaan erosi sangat rendah sampai rendah, tidak mengalami erosi, kedalaman efektif dalam, drainase baik, mudah diolah, kapasitas menahan air baik, subur, tidak terancam banjir dan di bawah iklim setempat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman pada umumnya

II 1. Mempunyai beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau memerlukan tindakan konservasi yang sedang.

2. Pengelolaan perlu hati-hati termasuk tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan.

3. Memiliki salah satu atau kombinasi faktor: lereng landai-berombak, kepekaan erosi sedang, kedalaman efektif sedang, struktur tanah dan daya olah agak kurang baik, salinitas sedikit atau sedang, kadang terkena banjir, kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, dan keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan

III 1. Mempunyai beberapa hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan lahan dan memerlukan tindakan konservasi khusus dan keduanya.

2. Mempunyai pembatas lebih berat dari kelas II dan jika dipergunakan untuk tanaman perlu pengelolaan tanah dan tindakan konservasi lebih sulit diterapkan.

3. Hambatan membatasi lama penggunaan bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi dari pembatas tersebut.

4. Hambatan dapat disebabkan: topografi miring-bergelombang, kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi, telah mengalami erosi sedang, dilanda banjir satu bulan tiap tahun selama lebih 24 jam, kedalaman dangkal terhadap batuan, terlalu basah, mudah diolah, kapasitas menahan air rendah, salinitas sedang, kerikil atau batuan permukaan tanah sedang, atau hambatan iklim agak besar IV 1. Hambatan dan ancaman kerusakan tanah lebih besar dari kelas III, dan pilihan tanaman juga

terbatas.

2. Perlu pengelolaan hati-hati untuk tanaman semusim, tindakan konservasi lebih sulit diterapkan. 3. Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas: lereng miring-berbukit, kepekaan erosi

tinggi, mengalami erosi agak berat, tanah dangkal, kapasitas menahan air rendah, selama 2-5 bulan dalam setahun dilanja banjir lebih dari 24 jam, drainase buruk, banyak kerikil atau batua permukaan, salinitas tinggi dan keadaan iklim kurang menguntungkan

V 1. Tidak terancam erosi tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak mudah untuk dihilangkan, sehingga membatasi pilihan penggunaannya.

2. Terletak pada topografi datar-hampir datar tetapi sering terlanda banjir, berbatu atau iklim yang kurang sesuai.

VI 1. Mempunyai faktor penghambat berat sehingga tidak sesuai untuk penggunaan pertanian. 2. Memiliki pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu

atau kombinasi faktor: lereng curam, telah tererosi berat, sangat dangkal, mengandung garam laut, daerah perakaran sangat dangkal atau iklim yang tidak sesuai.

VII Tidak sesuai untuk budidaya pertanian dengan penghambat berat dan tidak dapat dihilangkan yaitu: lereng curam dan atau telah tererosi sangat berat dan sulit diperbaiki

VIII 1. Sebaiknya dibiarkan secara alami.

2. Pembatas dapat berupa: lereng sangat curam, berbatu atau kerikil atau kapasitas menahan air rendah.


(31)

12

Daya Dukung Lingkungan Hidup

Konsep tentang daya dukung muncul karena adanya kesadaran manusia tentang dampak aktifitas yang dilakukan terhadap keberlangsungan atau keberlanjutan sumberdaya alam. Rustiadi et al. (2009) menyebutkan bahwa konsep ini berkembang seiring dengan bertambahnya tekanan terhadap sumberdaya dan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Dalam perspektif biofisik wilayah, daya dukung dapat didefinisikan sebagai jumlah maksimum populasi yang dapat didukung oleh suatu wilayah, sesuai dengan kemampuan teknologi yang ada (Binder dan Lopez 2000 dalam Rustiadi et al. 2009).

Daya dukung menurut Rustiadi et al. (2009) dapat dibedakan menjadi beberapa empat aspek, yaitu (1) daya dukung fisik, (2) daya dukung lingkungan/ekologi, (3) daya dukung sosial, dan (4) daya dukung ekonomi. Diantara keempat aspek tersebut, konsep daya dukung lingkungan merupakan yang paling menjadi perhatian, dikaitkan dengan beberapa kejadian bencana dan dampak dari perubahan iklim yang sedang terjadi saat ini. Dikatakan oleh Khanna et al. (1999) daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).

Didalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia, terminologi tentang daya dukung telah ada dan disebutkan dalam beberapa peraturan perundangan, antara lain Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera pasal 1 butir 18, 19 dan 20, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 1 butir 6 dan butir 8 serta yang terakhir Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun demikian, penerapan konsep tersebut dalam kaitan dengan Rencana Tata Ruang baru ditemukan melalui penerbitan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah.

Perhitungan daya dukung lingkungan hidup dilakukan terhadap dua aspek utama, yaitu lahan dan air. Aspek lahan menggunakan basis neraca bioproduk


(32)

13

dan biokapasitas serta kemampuan lahan yang mengadopsi konsep ecological footprint dan kelas kemampuan lahan sedangkan aspek air mengadopsi konsep water footprint (Rustiadi et al. 2010). Konsep Kemampuan Lahan yang digunakan merujuk kepada metode penentuan Kelas Kelas Kemampuan Lahan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) yang dikembangkan A.A. Klingebiel dan P.H. Montgomery Tahun 1961 (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

Konsep ecological footprint pertama kali dikemukakan oleh Mathias Wackernagel dalam desertasi yang berjudul Ecological Footprint and Appropriated Carrying Capacity: A Tool for Planning Toward Sustainability pada Universitas British Columbia Tahun 1994. Tujuan dikembangkannya konsep ini untuk mengetahui indikator yang dapat digunakan untuk menilai pembangunan berkelanjutan serta lebih jauh mengukur penggunaan sumberdaya oleh manusia dikaitkan dengan daya dukung bumi. Ukuran yang digunakan sebagai unit penggunaan sumberdaya adalah ruang bioproduk per produktifitas rata-rata dunia (global hectares/gha) yang secara khusus digunakan untuk menyatakan produksi semua sumberdaya yang dikonsumsi oleh populasi tertentu dan menyerap limbah yang mereka hasilkan, menggunakan teknologi yang ada (Chambers et al. 2000 dalam Hoekstra 2008). Sedangkan konsep Water Footprint pertama kali diperkenalkan oleh A.Y. Hoekstra dalam sebuah prosiding yang berjudul Virtual Water Trade pada Tahun 2002 dan selanjutnya bersama dengan A.K. Chapagain mengembangkan konsep ini (Romaguera et al. 2010). Konsep ini digunakan sebagai indikator penggunaan air yang dilihat dari aliran air langsung maupun tidak langsung yang digunakan oleh konsumen maupun produsen (Hoekstra 2003 dalam Aldaya et al. 2010). Walaupun Ecological Footprint berbeda dengan Water Footprint dalam dasar analisa dan metode, namun keduanya memiliki kesamaan dalam bagaimana menterjemahkan konsumsi manusia kedalam penggunaan sumber daya alam (Hoekstra 2008).

Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh

Sistem informasi Geografis (SIG) merupakan suatu teknologi informasi yang berkaitan dengan pengumpulan dan pengolahan data bereferensi spasial dan


(33)

14

berkoordinat geografis (Barus dan Wiradisastra 2000). Menurut Prahasta (2005) serta Barus dan Wiradisastra (2000), SIG mempunyai empat komponen utama dalam menjalankan prosesnya antara lain : (1) Data Input, (2) Data Manajemen, (3) Data Manipulasi dan Analisis dan (4) Data Output.

Aplikasi dan pemanfaatan SIG telah banyak dilakukan oleh berbagai orang untuk memudahkan analisis dan pengambilan keputusan. Namun teknologi ini lebih sering dimanfaatkan dalam analisis sumberdaya alam, seperti pertanian dan kehutanan (Barus dan Wiradisastra, 2000). Kalogirou (2001) memanfaatkan teknologi ini yang dikombinasinasikan dengan sistem pakar LEIGIS untuk melakukan kajian evaluasi lahan pada areal pertanian di Yunani. Reshmidevi et al. (2009) mengintegrasikan metode fuzzy kedalam aplikasi SIG untuk melakukan evaluasi kesesuaian lahan pada pertanian lahan basah. Kolomyts (2008) memanfaatkan aplikasi ini dalam permodelan untuk menduga keseimbangan karbon pada ekosistem hutan di Daerah Aliran Sungai Volga Rusia. Permodelan dilakukan dengan mengkombinasikan metode statistik empiris. Pemetaan model pendugaan kesimbangan karbon dilakukan berdasarkan data survey bentang lahan ekologi dengan menggunakan metode hierarchical extrapolation.

Pada beberapa penelitian, penggunaan teknologi SIG sering dikombinasikan dengan teknologi penginderaan jauh untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi suatu wilayah pada cakupan yang luas. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji.

Media yang digunakan untuk memperoleh informasi tersebut dengan pemanfaatan foto udara, citra satelit dan citra radar. Penggalian informasi pada media penginderaan jauh tersebut dilakukan menggunakan metode interpretasi baik secara visual maupun digital. Lillesand dan Kiefer (1990) menyatakan bahwa keberhasilan di dalam interpretasi, sangat tergantung kepada latihan dan pengalaman penafsir, sifat obyek yang diinterpretasi dan kualitas citra yang digunakan. Selain itu kedekatan interpreter dengan wilayah dimana obyek yang diinterpretasi berada juga turut mempengaruhi (Munibah 2008).


(34)

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Secara singkat bagan alir kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian.

Lahan merupakan sumberdaya alam yang memiliki sifat dapat diperbaraui dan dapat melakukan regenerasi secara terus menerus baik secara biologi maupun tidak. Sesuai dengan karakteristiknya agar pemanfaatan lahan dapat dilakukan secara berkelanjutan, harus dilakukan dengan tanpa melebihi laju regenerasinya (Rustiadi et al. 2009). Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai kemampuan lahan, dalam jangka pendek akan berakibat terjadinya bencana alam sedangkan dalam jangka panjang dapat berakibat terjadinya bencana sosial. Hal ini dapat dihindari


(35)

16 melalui pengaturan pola pemanfaatan ruang yang memperhatikan daya dukung lingkungan hidup.

Didalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 secara tegas dinyatakan bahwa daya dukung lingkungan merupakan aspek penting dan perlu diperhatikan dalam penyusunan RTRW suatu wilayah dan telah diperkuat melalui penerbitan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 sebagai pedoman revisi dan evaluasi terhadap penyusunan rencana tata ruang wilayah yang sesuai daya dukung lingkungan hidup. Hal ini dilakukan dengan tujuan menciptakan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat yang terletak pada koordinat 6o57’01” – 7o45’07” Lintang Selatan (LS) dan 107o25’15” – 108o8’58” Bujur Timur (BT) dengan luas wilayah 306.519 hektar yang terdiri dari 42 kecamatan. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan selama enam bulan, dimulai bulan Juli 2010 sampai dengan Januari 2011.

Sumber dan Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian dikumpulkan dari berbagai sumber, baik instansi pemerintah dan situs-situs penyedia data maupun studi literatur. Pada data yang terkait dengan aspek spasial, serta standarisasi mutlak diperlukan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang sesuai standar agar dapat digunakan dalam proses pengolahan lebih lanjut. Secara rinci, kaitan antara jenis data sumber perolehan data dapat dilihat pada Tabel 2.

Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini baik data primer maupun data sekunder didapatkan melalui metoda pengumpulan data yang berbeda. Data sekunder didapatkan dengan penelusuran terhadap buku, peta, internet, perundang-undangan, penelitian terdahulu maupun dari instansi terkait sedangkan data primer diperoleh dari hasil survey/cek lapangan. Keterkaitan antara tujuan, variabel, jenis data, metode analisis, dan keluaran dapat dilihat pada Tabel 3.


(36)

17 Tabel 2 Jenis data dan sumber perolehan data

No. Jenis Data Sumber Perolehan 1. Citra satelit Landsat 7 ETM+ Tahun

2009 Path 121 dan 122 Row 065 tanggal 24 Maret 2009 dan 27 Mei 2009 serta 6 Agustus 2009 dan 21 Juli 2009

http://glovis.usgs.gov/

2. Citra Alos AVNIR Tahun 2009 Earth Observation Research Center Japan Aerospace Exploration Agency

http://www.eorc.jaxa.jp/

melalui P4W IPB

3. Digital Elevation Model (DEM) http://www.gdem.aster.ersdac.or.jp/ 4. Peta Landunit DAS Cimanuk Hulu

skala 1:50.000

Tim Studi LP-IPB (1999) 5. Peta Landsystem Pulau Jawa

skala 1:250.000

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat

6. Draft Peta Rencana Pemanfaatan Ruang Kab Garut 2010 – 2030

Dinas Perumahan Tata Ruang dan Cipta Karya Kab. Garut

7. Peta Penunjukan Kawasan Hutan Jawa Barat

Dinas Kehutanan Kab. Garut 8. Garut dalam Angka 2010 Badan Pusat Statistik Jakarta 9. Data Base 2004 – 2008 Tanaman

Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut

Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Garut

10. Statistik Perkebunan Kabupaten Garut Dinas Perkebunan Kab. Garut

Selain itu beberapa perangkat tambahan juga digunakan dengan fungsi dan tujuan yang berbeda. Pengolahan data spasial berbasis vektor dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3 sedang pengolahan data yang berbasis raster dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Erdas Imangine 9.2 dan ENVI 4.5. Perangkat lain yang digunakan adalah Global Position System (GPS), kamera digital dan alat pencatat yang digunakan untuk kepentingan survey lokasi dan verifikasi lapangan.


(37)

18 Tabel 3 Keterkaitan antara tujuan, variabel, jenis data, metode analisis, dan keluaran

No. Tujuan Variabel Jenis Data Metode Analisis Keluaran

1. Identifikasi pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut

Pemanfaatan lahan aktual Tahun 2009

- Citra satelit Landsat 7 ETM+ Tahun 2009 Path 121 dan 122 Row 065 tanggal 24 Maret 2009 dan 27 Mei 2009 serta 6 Agustus 2009 dan 21 Juli 2009

- Citra Alos AVNIR Tahun 2009

- Klasifikasi terbimbing - Interpretasi visual

Peta Pemanfaatan Lahan Aktual

2. Identifikasi kelas kemampuan lahan di Kabupaten Garut

Kemampuan lahan pada tingkat kelas dan sub kelas

- Digital Elevation Model (DEM)

- Peta Landunit DAS Cimanuk

Hulu skala

1:50.000

- Peta Landsystem Pulau Jawa skala 1:250.000

- Deliniasi bentuk lahan - Spatial Join

- Merge

Peta Kelas Kemampuan Lahan


(38)

19

No. Tujuan Variabel Jenis Data Metode Analisis Keluaran

3. Evaluasi kesesuaian pemanfaatan lahan aktual, rencana pemanfaatan ruang dan kelas kemampuan lahan

Kesesuaian pemanfaatan lahan aktual, rencana pemanfaatan ruang dan kelas kemampuan lahan

- Peta Kelas Kemampuan Lahan - Peta Pemanfaatan

Lahan Aktual

- Peta Rencana Pemanfaatan Ruang - Tabel Keputusan

- Overlay - Operasi atribut

- Peta Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual terhadap Kelas Kemampuan Lahan - Peta Kesesuaian

Rencana Pemanfaatan Ruang terhadap Kelas Kemampuan Lahan - Peta Kesesuaian

Pemanfaatan Lahan Aktual terhadap Rencana Pemanfaatan Ruang

4. Identifikasi status daya dukung lingkungan hidup di Kabupaten Garut

a. Daya Dukung Lahan : - Ketersediaan Lahan - Kebutuhan Lahan b. Daya Dukung Air

- Ketersediaan Air - Kebutuhan Lahan

- Jumlah penduduk

- Produksi padi/beras

- Produksi non-padi

- Harga satuan beras

- Harga satuan tiap jenis komoditas selain beras pada tingkat produsen

- Koefisien Limpasan

Analisis Kuantitatif - Status Daya Dukung Lahan

- Status Daya Dukung Air


(39)

20

No. Tujuan Variabel Jenis Data Metode Analisis Keluaran

Tertimbang

- Curah hujan rata-rata

5. Merumuskan pola pemanfaatan lahan yang optimal di Kabupaten Garut yang sesuai dengan daya dukung lingkungan hidupnya

- Kawasan Lindung - Kawasan Budidaya

- Peta Kelas

Kemampuan Lahan - Peta Penunjukan

Kawasan Hutan - Peta Pemanfaatan

Lahan Aktual

- Overlay

- Analisis Pola Spasial

Arahan Pemanfaatan Ruang


(40)

21 Analisis dan Pengolahan Data

Pemanfaatan Lahan Aktual

Pemanfaatan lahan aktual diperoleh dari hasil interpretasi citra satelit. Identifikasi setiap kelas pemanfaatan mengacu kepada sistem klasifikasi yang digunakan oleh Departemen Kehutanan dengan generalisasi terhadap beberapa kelas pemanfaatan. Generalisasi dilakukan terhadap kelas pemanfaatan lahan hutan primer dan sekunder menjadi kelas pemanfaatan hutan dan kelas pemanfaatan sawah irigasi dan sawah tadah hujan menjadi kelas pemanfaatan sawah atau pertanian lahan basah (PLB). Proses interpretasi pemanfaatan lahan aktual dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Interpretasi pemanfaatan lahan aktual tahun 2009

Persiapan awal sebelum dilakukan pengolahan lanjutan antara lain : perbaikan stripping, koreksi geometrik dan koreksi radiometrik. Perbaikan stripping dilakukan khusus terhadap citra Landsat 7 ETM+ yang sejak tanggal 31 Mei 2003 sensor Scan Line Corrector (SLC) satelit citra Landsat ETM 7+


(41)

22 mengalami kegagalan operasi yang menyebabkan terjadinya stripping pada produk citra Landsat ETM 7+ yang dihasilkan dan bersifat permanen hingga saat ini (USGS, 2009).

Perbaikan dapat dilakukan dengan menggunakan citra pengisi yang berada pada path dan row yang sama namun tanggal akuisisi yang berbeda. Persyaratan utama adalah stripping pada citra utama dengan citra pengisi harus bersilangan sehingga area stripping pada citra utama dapat menutup secara penuh. Penelitian ini menggunakan 4 (empat) scene citra Landsat ETM 7+, dimana untuk citra utama pada path 121 dan row 065 digunakan citra pada tanggal akuisisi 24 Maret 2009 sedangkan sebagai pengisi menggunakan citra path dan row yang sama dengan tanggal akuisisi 27 Mei 2009. Pada citra utama path 122 dan row 065 digunakan citra pada tanggal 06 Agustus 2009 sedangkan sebagai pengisi digunakan citra pada tanggal akuisisi 21 Juli 2009.

Proses pengisian citra utama dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ENVI 4.5 yang telah disisipi oleh script library Landsat Gapfill. Script ini dibuat oleh Mari Minari pada tahun 2009 berdasarkan metodologi yang dibangun oleh Pat Scaramuzza, Esad Micijevic dan Gyanesh Chander pada tahun 2004. Hasil perbaikan citra Landsat ETM 7+ dapat dilihat pada Gambar 7.

a. Citra Landsat ETM 7+ Path 121 Row 065, sebelum perbaikan

b. Citra Landsat ETM 7+ Path 121 Row 065 sesudah perbaikan Gambar 7 Perbandingan perbaikan citra Landsat ETM 7+ Path 121 Row 065 tanggal


(42)

23 Koreksi geometrik dilakukan untuk menyamakan sistem proyeksi yang digunakan terhadap basis data yang ada. Sistem proyeksi yang digunakan dalam penelitian adalah UTM 48 South Datum WGS 84. Koreksi radiometrik dilakukan untuk memperbaiki penampakan citra sehingga lebih mudah untuk membedakan obyek. Kombinasi kanal yang digunakan yaitu kanal 5, kanal 4 dan kanal 2.

Tahapan selanjutnya adalah melakukan interpretasi digital dengan menggunakan strategi klasifikasi terbimbing metode Maximum Likelihood (MLC). Penting untuk dipahami, penggunaan metode MLC dapat mempercepat identifikasi obyek dengan memberikan akurasi yang cukup tinggi. Namun demikian metode ini memiliki kelemahan terutama terhadap obyek-obyek berbeda yang memiliki nilai digital berdekatan akan diklasifikasikan sebagai obyek yang sama. Terhadap hal ini perlu dilakukan perbaikan melalui interpretasi secara visual.

Pemeriksaan lapangan dilakukan untuk menilai kualitas hasil interpretasi yang dilakukan. Penentuan titik lokasi pemeriksaan dilakukan secara selektif dengan memperhatikan hasil interpretasi yang dianggap meragukan. Indikator yang digunakan untuk menilai kualitas hasil interpretasi dengan menggunakan nilai bilangan Kappa dimana, jika nilai yang diperoleh melebihi ambang nilai 85%, maka kualitas hasil interpretasi dinyatakan cukup baik untuk digunakan dalam proses pengolahan selanjutnya. Sebaliknya jika nilai tersebut kurang dari ambang batas yang ditetapkan (85%) maka dilakukan perbaikan terhadap hasil interpretasi.

Kemampuan Lahan

Peta kelas kemampuan lahan wilayah Kabupaten Garut dibuat dengan menurunkan data spasial dan atribut pada peta landunit skala 1:50.000 wilayah DAS Cimanuk dan peta landsystem skala 1:250.000. Peta landunit digunakan pada daerah Kabupaten Garut bagian Utara, sedangkan peta landsystem digunakan pada daerah Kabupaten Garut bagian selatan, sebagaimana terlihat pada Gambar 8.


(43)

24 Gambar 8 Pemanfaatan peta landunit dan landsystem

Peta landsystem skala 1:250.000 pada tingkat analisis regional kabupaten tidak dapat langsung digunakan karena informasi dan satuan poligon yang ada masih terlalu kasar sehingga memerlukan penyesuaian melalui deliniasi terhadap bentuk lahan dan relief. Deliniasi dilakukan dengan bantuan data Digital Elevation Model (DEM) yang diunduh secara bebas dari situs http://www.gdem.aster.ersdac.or.jp/ sebagai data pendukung. Data DEM yang diperoleh dari situs ini memiliki resolusi spasial 30 meter sehingga dapat dikatakan memiliki tingkat kedetilan yang lebih baik dibandingkan data SRTM yang memiliki resolusi spasial 90 m.

Sukarman (2005) menyatakan bahwa data DEM dapat digunakan untuk membantu deliniasi satuan peta tanah semi detail dengan baik, di daerah bergunung berbahan induk homogen maupun heterogen. Pada daerah demikian, DEM dapat mengidentifikasi landform (bentuk lahan) dan relief dengan baik. Tahapan proses penyesuaian peta landsystem secara rinci dapat dilihat pada Gambar 9.

Peta Landunit DAS Cimanuk Hulu skala

1:50.000 Peta Landsystem


(44)

25 a. Citra Digital Elevation Model

(DEM)

b. Konversi citra DEM menjadi Hillshade

c. Tumpang tindih dengan peta landsystem

d. Hasil dijitasi manual

Gambar 9 Penyesuaian peta landsystem menggunakan data DEM

Pada tahap awal, data DEM dikonversi menjadi bentuk hillshade dengan menggunakan fasilitas 3D Analysis pada perangkat lunak ArcGIS 9.3 (Gambar 9b). Konversi ini dilakukan untuk menampilkan bentuk lahan dari area penelitian. Hasil konversi ditumpangtindihkan dengan peta landsystem untuk kemudian dilakukan deliniasi terhadap bentuk lahan melalui proses dijitasi manual (Gambar 9c). Hasil akhir dari proses ini adalah peta landsystem yang telah disesuaikan dengan penajaman yang dilakukan terhadap aspek bentuk lahan (Gambar 9d). Secara lengkap tahapan proses pembuatan peta Kemampuan Lahan dapat dilihat pada Gambar 10.


(45)

26 Gambar 10 Alur proses pembuatan peta kelas kemampuan lahan

Selain terhadap bentuk lahan, penajaman juga dilakukan terhadap aspek kelerengan, sehingga diperoleh hasil peta landsystem yang telah mengalami penyesuaian terhadap aspek bentuk lahan dan kelerengan sedangkan atribut lainnya tetap menggunakan atribut yang terdapat pada peta landsystem. Hasil pada proses ini akan akan digabungkan dengan peta landunit yang telah memiliki skala lebih detail.

Identifikasi faktor pembatas dilakukan untuk menentukan indikator yang akan digunakan sebagai penentu kelas kemampuan lahan. Indikator tersebut antara lain : (1) tekstur, (2) lereng permukaan, (3) drainase, (4) kedalaman efektif, (5) keadaan erosi, (6) kerikil/batuan dan (7) banjir.

Interpretasi terhadap ketujuh indikator tersebut dilakukan dengan memanfaatkan atribut peta landsystem dan landunit. Tidak semua indikator tersebut terdapat informasinya dalam atribut peta landsystem dan landunit.


(46)

27 Beberapa kriteria yang digunakan serta hubungannya dengan informasi pada peta landsystem dan landunit dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hubungan kriteria kelas kemampuan lahan dan atribut peta landsystem dan peta landunit

No. Indikator Kelas Kemampuan Informasi Peta Landsystem dan

Landunit

1. Tekstur Tektur Lapisan Atas/Bawah

2. Lereng Permukaan Lereng

3. Drainase Drainase

4. Kedalaman Efektif Kedalaman Tanah

5. Keadaan Erosi Bahaya Erosi

6. Kerikil/Batuan Singkapan Batuan

7. Banjir Ancaman Banjir

Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual, Rencana Pemanfaatan Ruang dan Kemampuan Lahan

Analisis kesesuaian dilakukan terhadap tiga aspek, yaitu : (1) kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan, (2) kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan dan (3) kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap rencana pemanfaatan ruang.

Tahapan proses yang dilakukan adalah dengan melakukan tumpang tindih terhadap masing-masing peta sesuai dengan kriteria tersebut untuk kemudian dilakukan interpretasi kesesuaian berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap data atribut hasil tumpang tindih. Proses interpretasi dilakukan dengan memanfaatkan bantuan tabel keputusan yang dibuat sesuai kriteria kesesuaian sebagaimana terlihat pada Tabel 5, Tabel 6 dan Tabel 7. Secara singkat alur proses pembuatan peta kesesuaian pemanfaatan lahan aktual, rencana pemanfaatan ruang dan kelas kemampuan lahan dapat dilihat pada Gambar 11.


(47)

28 Gambar 11 Alur pelaksanaan pembuatan peta kesesuaian

Penggunaan tabel hanya dapat dilakukan satu arah secara horisontal dari kiri ke kanan dengan penilaian antara kondisi yang pertama terhadap kondisi kedua. Tabel 5 menunjukkan penilaian antara pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan suatu lahan, Tabel 6 menunjukkan penilaian antara rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan suatu lahan sedangkan Tabel 7 menunjukkan penilaian kesesuaian antara rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual yang ada.

Penentuan kondisi sesuai, sesuai bersyarat dan tidak sesuai dapat memiliki latar pertimbangan yang berbeda. Pada penilaian kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan, penilaian kondisi kesesuaian lebih memperhatikan aspek dampak pemanfaatan lahan yang dilakukan terhadap lingkungan. Penilaian kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan selain memperhatikan aspek dampak yang mungkin dapat terjadi juga mempertimbangkan aspek faktor biaya jika kegiatan tersebut dilaksanakan. Sedangkan penilaian kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual lebih merupakan potensi kemungkinan perubahan pemanfaatan suatu lahan atau ruang menjadi pemanfaatan lainnya.


(48)

29 Tabel 5 Kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kelas kemampuan lahan

Pemanfaatan Lahan Aktual

Sub Kelas Kemampuan Lahan

II ( k0 ) II ( l1/ k0) II I (b 0/e1) III (k 1) II I (l2) II I (l2/ b0/e1 ) II I (l2/ k1 ) II I (l2/ t1/ t4) II I (l2/ t1/ t4/ e1 ) II I (t1/ t4 ) II I (t1/ t4/ e 1) II I (t1/ t4/ k1) IV (b1) IV (e 2) IV (k2) IV (l3) IV (l3/ b1 ) IV (l3/ e2 ) IV (l3/ k2 ) V (o4) VI ( e3) VI ( l4) VI ( l4/ e3 ) VI I (e 4) VI I (l5 ) VI II ( l6) VI II ( l6/ t5 )

Hutan S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S

Perkebunan S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS

Permukiman S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS

PLK S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS S TS TS TS TS TS TS TS

PLB S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS S TS TS TS TS TS TS TS

Pertambangan S S S S S S S S S S S S S TS S TS TS TS TS S TS TS TS TS TS TS TS

Rumput S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS

Tanah Terbuka S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS S TS TS TS TS TS TS TS

Tubuh Air S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S

Keterangan :

S : Sesuai Faktor Pembatas : PLK : Pertanian Lahan Kering

TS : Tidak Sesuai t : tekstur tanah k : kedalaman efektif o : banjir PLB : Pertanian Lahan Basah SB : Sesuai Bersyarat l : lereng permukaan e : keadaan erosi


(49)

30 Tabel 6 Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kelas kemampuan lahan

Rencana Pemanfaatan Ruang

Sub Kelas Kemampuan

II ( k 0 ) II ( l1 /k 0 ) II I (b 0 /e 1 ) III ( k 1 ) II I (l 2 ) III (l 2 /b 0 /e 1 ) II I (l 2 /k 1 ) II I (l 2 /t 1 /t 4 ) III (l 2 /t 1 /t 4 /e 1 ) II I (t 1 /t 4 ) III (t 1 /t 4 /e 1 ) III (t 1 /t 4 /k 1 ) IV ( b 1 ) IV ( e2 ) IV ( k 2 ) IV ( l3 ) IV ( l3 /b 1 ) IV ( l3 /e 2 ) IV ( l3 /k 2 ) V ( o 4 ) V I (e 3 ) V I (l 4 ) V I (l 4 /e 3 ) V II ( e4 ) V II ( l5 ) V II I (l 6 ) V II I (l 6 /t 5 )

A. Kawsan Lindung

1. Hutan Lindung S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S

2. Rawan Tsunami S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S

3. Resapan Air S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S

4. Hutan Konservasi S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S

5. Sempadan

Pantai/Sungai

S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S

6. Perlindungan

Geologi

S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S

7. Rwn Gerakan Tanah S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S

8. Bahaya Gn Api S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S

B. Kawasan Budidaya

1. Hutan Produksi

Terbatas

S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SB SB TS TS

2. Hutan Produksi S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SB SB SB TS TS TS TS

3. Pertanian Lahan

Basah

S S S S S S S S S S S S SB TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS

4. Pertanian Lahan

Kering

S S S S S S S S S S S S S SB SB SB SB SB SB TS TS TS TS TS TS TS TS

5. Perkebunan S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SB SB SB TS TS TS TS

6. Peternakan S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS

7. Perikanan Budidaya S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS

8. Permukiman S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS

9. Pertambangan S S S S S S S S S S S S S S S SB SB SB SB TS TS TS TS TS TS TS TS

Keterangan : Faktor Pembatas :

S : Sesuai t : tekstur tanah k : kedalaman efektif o : banjir TS : Tidak Sesuai l : lereng permukaan e : keadaan erosi


(50)

31 Tabel 7 Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual

Rencana Pemanfaatan Ruang

Pemanfaatan Lahan Aktual

Keterangan

Hutan Perkebunan Permukiman PLK PLB Pertambangan Padang Rumput Tanah Terbuka Tubuh Air

A. Kawsan Lindung PLK : Pertanian Lahan

Kering

1. Hutan Lindung S S TS TS TS SB S S S

2. Hutan Konservasi S S TS TS TS SB S S S PLB : Pertanian Lahan

Basah

3. Sempadan Pantai/Sungai S S TS TS TS SB S S S

4. Resapan Air S S TS TS TS TS S TS S

5. Perlindungan Geologi Karst S S TS TS TS TS S S S S : Sesuai

6. Rawan Tsunami S S TS TS S TS S S S TS : Tidak Sesuai

7. Rwn Gerakan Tanah S S TS SB TS TS S S S

8. Bahaya Gn Api S S TS S S SB S S S SB : Sesuai Bersyarat

B. Kawasan Budidaya

1. Hutan Produksi Terbatas S S TS TS TS SB S S S

2. Hutan Produksi S S TS TS TS SB S S S

3. Pertanian Lahan Basah S S TS TS S SB S S S

4. Pertanian Lahan Kering S S TS S S SB S S TS

5. Perkebunan S S TS TS TS SB S S TS

6. Peternakan S S S S S SB S S TS

7. Perikanan Budidaya S S S S S SB S S S

8. Permukiman S S S S S SB S S TS

9. Pertambangan SB SB SB SB SB S S SB TS

Catatan:

Pembacaan tabel ini dilakukan dengan cara melihat kondisi pemanfaatan aktual terhadap rencana pemanfaatan ruang yang akan diimplementasikan, sebagai ilustrasi perpotongan sel antara kolom padang rumput dan baris hutan lindung dikatakan sebagai sesuai, artinya kondisi padang rumput sesuai untuk perencanaan sebagai hutan lindung.


(51)

32 Daya Dukung Lingkungan Hidup

Penentuan status daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu ketersediaan dan kebutuhan lingkungan hidup. Melalui pendekatan dengan metode ini, dapat diketahui status daya dukung lingkungan hidup di suatu wilayah, apakah dalam kondisi surplus atau defisit. Kondisi surplus diperoleh jika ketersediaan lingkungan hidup lebih besar daripada kebutuhan lingkungan hidup. Perhitungan status mengenai daya dukung lingkungan hidup sepenuhnya mengacu kepada metode perhitungan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Indikator yang digunakan untuk menentukan daya dukung lingkungan hidup adalah dengan pendekatan perhitungan terhadap ketersediaan dan kebutuhan lahan dan air.

Ketersediaan lahan ditentukan berdasarkan data total produksi aktual setempat dari setiap komoditas di suatu wilayah, dengan menjumlahkan produk dari semua komoditas yang ada di wilayah tersebut. Untuk penjumlahan ini digunakan harga sebagai faktor konversi karena setiap komoditas memiliki satuan yang beragam. Sementara itu, kebutuhan lahan dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak.

Perhitungan kebutuhan lahan dilakukan dengan menggunakan rumus :

� =�× �

Dimana : DL = Total kebutuhan lahan setara beras (ha) N = Jumlah penduduk (orang)

KHLL = Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup

layak per penduduk, dimana :

a. Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup layak per penduduk merupakan kebutuhan hidup layak per penduduk dibagi produktifitas beras lokal.

b.Kebutuhan hidup layak per penduduk diasumsikan sebesar 1 ton setara beras/kapita/tahun.


(52)

33 lokal, dapat menggunakan data rata-rata produktfitas beras nasional sebesar 2.400 kg/ha/tahun.

Perhitungan ketersediaan lahan dilakukan dengan menggunakan rumus :

� = (����)

�� ×

1

����

Dimana : SL = Ketersediaan Lahan (ha)

Pi = Produksi aktual tiap jenis komoditi (satuan tergantung kepada jenis komoditas)

Komoditas yang diperhitungan meliputi pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan

Hi = Harga satuan tiap jenis komoditas (Rp/satuan) di tingkat produsen

Hb = Harga satuan beras (Rp/kg) di tingkat produsen Ptvb = Produktivitas beras (kg/ha)

Faktor konversi yang digunakan untuk menyetarakan produk non beras dengan beras adalah harga. Agar mempermudah dalam perhitungan konversi harga dapat digunakan contoh seperti terlihat pada Tabel 8 dalam menghitung total nilai produksi {Σ(Pi ×Hi)}. Secara garis besar alur proses perhitungan daya dukung lahan dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Alur proses perhitungan daya dukung lahan. (Sesuai Permen LH Nomor 17 Tahun 2009)


(53)

34 Perhitungan ketersediaan air ditentukan dengan menggunakan koefisien limpasan yang dimodifikasi dari metode rasional berdasarkan informasi penggunaan lahan serta data curah hujan tahunan. Sementara itu, perhitungan kebutuhan air dihitung dari hasil konversi terhadap kebutuhan hidup layak. Perhitungan ketersediaan air dilakukan dengan menggunakan rumus :

SA = 10 × C × R × A

Nilai C dan R didekati dengan menggunakan rumus : C = Σ(Ci×Ai)/ΣAi

R = ΣRi / m

Dimana : SA = Ketersediaan air (m3/tahun)

C = Ketersediaan limpasan tertimbang

Ci = Koefisien limpasan penggunaan lahan (Tabel 9)

Ai = Luas penggunaan lahan i (ha) dari data BPS atau Daerah Dalam Angka atau dari data Badan Pertanahan Nasional (BPN)

R = Rata-rata aljabar curah hujan tahunan wilayah (mm/tahunan) dari data BPS atau BMG atau dinas terkait setempat

Ri = Curah hujan tahunan pada stasiun i m = Jumlah stasiun pengamatan curah hujan A = Luas wilayah (ha)

10 = Faktor konversi dari mm.ha menjadi m3

Tabel 8 Contoh perhitungan nilai produksi total

No. Komoditas Produksi

(Pi)

Harga Satuan (Hi)

Nilai Produksi (Pi ×Hi) 1. Padi dan palawija, antara lain :

Padi, Jagung, dst

2. Buah-buahan, antara lain : Mangga, Jeruk, dst

3. Sayur mayur, antara lain : Bawang merah, Bawang Putih, dst


(1)

120

No. Komoditas Luas Panen

(ha)

Produksi Harga Nilai Produksi (m3) (Rp/m3) (Rupiah)

(Pi) (Hi) (Pi*Hi)

Perhutani (Non Kayu)

1 Getah Pinus (Ton) 802,42 2.000 1.604.832.000

2 Getah Damar (Ton) 4,26 2.000 8.526.000

3 Rotan (Btg) 90.634,00 750 67.975.500

4 Gula Aren 1,36 4.500 6.098

5 Kopi 118.326,00 12.000 1.419.912.000

6 Cengkeh 400,00 48.000 19.200.000

7 HMT 55.944,00 50 2.797.200

8 Pisang 10.640,00 2.500 26.600.000

9 Kapolaga 625,00 60.000 37.500.000

10 Kawis 600,00 20.000 12.000.000

Hutan Rakyat

1 Jati 6.367,92 1.800.000 11.462.259.600

2 Albizia 65.118,29 200.000 13.023.658.400

3 Afrika 3.224,11 200.000 644.822.800

4 Mahoni 4.242,18 700.000 2.969.523.900

5 Kihiang 257,38 1.000.000 257.376.000

6 Eucalyptus 1.017,99 200.000 203.597.200

7 Pinus 717,62 600.000 430.569.000

8 Rimba Campuran 592.473,23 600.000 355.483.936.800

9 Suren 117,62 200.000 23.523.600

Total 387.865.854.098

Nilai Produksi Daging

No. Komoditas Luas Panen

(ha)

Produksi Harga Nilai Produksi (Kg) (Rp/Kg) (Rupiah)

(Pi) (Hi) (Pi*Hi)

1 Sapi 1.801.283,00 65.000 117.083.395.000

2 Kerbau 779.489,75 30.000 23.384.692.500

3 Kambing 339.442,75 20.000 6.788.855.000

4 Domba 883.020,75 30.000 26.490.622.500

5 Itik 108.745,33 20.000 2.174.906.667

6 Ayam Buras 1.881.878,50 24.483 46.074.031.316

7 Ayam Ras 1.226.423,50 35.000 42.924.822.500


(2)

121

Nilai Produksi Komoditas Telur

No. Komoditas Luas Panen

(ha)

Produksi Harga Nilai Produksi (Kg) (Rp/Kg) (Rupiah)

(Pi) (Hi) (Pi*Hi)

1 Ayam Buras 2.186.116,00 14.711 32.159.952.476

2 Itik 1.727.549,00 12.500 21.594.362.500

Total 53.754.314.976

Nilai Produksi Komoditas Susu

No. Komoditas Luas Panen

(ha)

Produksi Harga Nilai Produksi (Liter) (Rp/Liter) (Rupiah)

(Pi) (Hi) (Pi*Hi)

1 Susu Sapi 19.838.880,00 2.700 53.564.976.000

Total 53.564.976.000

Nilai Produksi Komoditas Perikanan

No. Komoditas Jenis Ikan

(generalisasi)

Produksi Harga Nilai Produksi (Ton) (Rp/Kg) (Rupiah)

(Pi) (Hi) (Pi*Hi)

1 Tambak

- Udang 210,72 65.000 13.696.800.000

- Udang Galah 26,11 75.000 1.958.250.000

2 Kolam/Karamba

- Mas 6.363,70 26.000 165.456.200.000

- Nila 5.454,60 25.000 136.365.000.000

- Lainnya Lele 6.363,30 11.500 73.177.950.000

3 Sawah Nila 8.329,71 25.000 208.242.625.000

4 Laut

- Tongkol 1.338,94 6.000 8.033.640.000

- Pari 25,10 8.000 200.800.000

- Lainnya Kakap 2.270,25 225.000 510.806.250.000 5 Perairan Umum Nila 890,40 25.000 22.260.000.000

Total 1.140.197.515.000


(3)

122

KETERSEDIAAN LAHAN KABUPATEN GARUT

Faktor Rumus Nilai Satuan

Total Nilai Produksi ∑(Pi*Hi) 15.059.691.643.958 Rp

Harga Beras Hb 7.442 Rp/Kg

Total Beras dari Padi

Sawah dan Ladang Pb 429.363.750 Kg

Luas Panen Padi Lb 130.164,25 Ha

Produktivitas Beras Ptvb = Pb/Lb 3.298,63 Kg/Ha

Ketersediaan Lahan (∑(Pi*Hi)/Hb)*(1/Ptvb))Sl = 613.469,19 Ha

KEBUTUHAN LAHAN KABUPATEN GARUT

Faktor Rumus Nilai Satuan

Jumlah Penduduk N 2.380.981 Jiwa

Luas Lahan Untuk Hidup Layak KHLL= 1 ton/Ptvb 0,30 Ha

Kebutuhan Lahan DL = N * KHLL 721.808,97 Ha

STATUS DAYA DUKUNG LAHAN KABUPATEN GARUT

Faktor Rumus Nilai Satuan

Ketersediaan Lahan SL 613.469,19 Ha

Kebutuhan Lahan DL 721.808,97 Ha

Status Daya Dukung Lahan Surplus jika SL > DL DEFISIT


(4)

123

Lampiran 5 Perhitungan Daya Dukung Air

Perhitungan Koefisien Limpasan Tertimbang

Penggunaan Koefisien

Limpasan Luas (Ha) C X A

Hutan 0,18 73.285,31 13.191,36

Padang Rumput 0,35 234,18 81,96

Perkebunan 0,3 25.087,84 7.526,35

Permukiman 0,65 14.258,54 9.268,05

Pertambangan 0,4 202,10 80,84

Pertanian Lahan Basah 0,2 51.873,25 10.374,65

Pertanian Lahan Kering 0,3 139.757,23 41.927,17

Tanah Terbuka 0,4 2.154,98 861,99

Tubuh Air 0,3 793,02 237,91

Jumlah Total 307.646,45 83.550,28 Koefisien Limpasan Tertimbang 0,2716

Perhitungan Curah Hujan Rata-rata

(Sumber Data Garut Dalam Angka Tahun 2009)

No. Kecamatan Curah Hujan (mm) Hari Hujan

1 Cisewu 1.929,00 210 2 Caringin 1.504,50 177 3 Talegong 1.395,80 235 4 Bungbulang 1.504,55 225 5 Mekarmukti 1.426,40 137 6 Pamulihan 1.414,60 151 7 Pakenjeng 1.484,40 156 8 Cikelet 2.303,30 239 9 Pameungpeuk 2.556,80 221 10 Cibalong 2.392,70 218 11 Cisompet 2.321,10 209 12 Peundeuy 2.306,80 204 13 Singajaya 1.931,50 191 14 Cihurip 1.205,00 262 15 Cikajang 699,10 176 16 Banjarwangi 1.988,00 264 17 Cilawu 1.975,37 183


(5)

124 No. Kecamatan Curah Hujan (mm) Hari Hujan

18 Bayongbong 1.951,65 186 19 Cigedug 1.959,05 184 20 Cisurupan 1.713,20 224 21 Sukaresmi 1.670,28 199 22 Samarang 2.744,20 236 23 Pasirwangi 1.610,60 191 24 Tarogong Kaler 885,00 280 25 Tarogong Kidul 1.040,61 250 26 Garut Kota 948,63 257 27 Karangpawitan 2.552,70 191 28 Wanaraja 2.974,20 233 29 Sucinaraja 2.968,80 232 30 Pangatikan 2.693,20 215 31 Sukawening 2.341,20 200 32 Karangtengah 2.432,25 194 33 Banyuresmi 3.800,10 238

34 Leles 2.566,15 187

35 Leuwigoong 417,20 166 36 Cibatu 2.789,45 202 37 Kersamanah 2.304,35 192 38 Cibiuk 2.328,85 193 39 Kadungora 2.902,80 202 40 Limbangan 506,40 150 41 Selaawi 2.259,90 154 42 Malangbong 2.253,50 162 Rata-rata 1.975,08 204,2

Status Daya Dukung Air

Faktor Rumus Nilai Satuan

A. KETERSEDIAAN AIR Koefisien Limpasan

Tertimbang 0,27

Curah Hujan Tahunan R 1.975,08 mm/tahun

Luas Wilayah A 307.646,45 Ha


(6)

125

Faktor Rumus Nilai Satuan

B. KEBUTUHAN AIR

Jumlah Penduduk N 2.380.981,00 Jiwa

Kebutuhan Air untuk Hidup

Layak KHLA 1.600,00 m3/tahun

Kebutuhan Air DA = N x KHLA 3.809.569.600,00 m3/tahun

C. STATUS DDA

Ketersediaan Air SA 1.650.181.447,12 m3/tahun

Kebutuhan Air DA 3.809.569.600,00 m3/tahun

Suplus SA > DA

Defisit SA < DA

Status Daya Dukung Air Defisit