Coastal Area Management based on Environment Carrying Capacity and Community Participation in Batang Regency

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BERBASIS
DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN
PARTISIPASI MASYARAKAT DI KABUPATEN BATANG

ASIH HIDAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Wilayah
Pesisir berbasis Daya Dukung Lingkungan dan Partisipasi Masyarakat di
Kabupaten Batang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013

Asih Hidayati
NIM A156110184

iv

RINGKASAN
ASIH HIDAYATI. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Daya Dukung
Lingkungan dan Partisipasi Masyarakat di Kabupaten Batang. Dibimbing oleh
BABA BARUS dan FREDIAN TONNY NASDIAN.

Kabupaten Batang merupakan salah satu kabupaten pesisir di pantai utara
Jawa yang memiliki garis pantai sepanjang 38.75 km dan luas laut sekitar 287.060
km2. Wilayah pesisir Kabupaten Batang merupakan wilayah yang sangat
produktif dan mempunyai nilai ekonomi tinggi, namun di lain pihak juga rawan

akan kerusakan. Berdasarkan dokumen renstra wilayah pesisir Kabupaten Batang
tahun 2011 diidentifikasi berbagai permasalahan yang ada di wilayah pesisir
Kabupaten Batang antara lain abrasi, akresi, sedimentasi, banjir, penyempitan
badan sungai, kerusakan mangrove, pencemaran perairan dan tanah, ego sektoral,
kelembagaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pesisir. Oleh karena
itu pengelolaan wilayah pesisir harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada semua stakeholders terutama
masyarakat pesisir. Penataan ruang merupakan salah satu alat dalam pengelolaan
wilayah pesisir, dimana tujuan utama penataan ruang untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan serta menjaga kelestarian ekosistem.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan
alokasi pemanfaatan ruang pada rencana tata ruang wilayah provinsi dan
kabupaten harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Tujuan penelitian ini adalah menilai daya dukung dan mengevaluasi
pemanfaatan ruang di wilayah pesisir; menilai pemahaman masyarakat terhadap
pengelolaan dan penataan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Batang;
menganalisis tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
wilayah pesisir; dan merumuskan arahan strategi pengelolaan wilayah pesisir.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah dengan analisis berbasis
Sistem Informasi Geografis serta dengan analisis deskriptif. Analisis daya dukung

untuk wilayah daratan dilakukan dengan berbasis kemampuan lahan. Penentuan
kelas kemampuan lahan dilakukan dengan teknik Boolean (Permen LH nomor 17
tahun 2009). Evaluasi daya dukung dan pemanfaatan ruang dilakukan dengan
melakukan tumpangtindih peta. Kondisi perairan Kabupaten Batang dinilai dari
data-data parameter fisika dan kimia perairan yang disesuaikan dengan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air
Laut. Untuk mengetahui pemahaman dan partisipasi masyarakat, berdasarkan data
kuesioner yang dianalisis deskriptif. Dari hasil analisis tersebut dilakukan sintesis
untuk merumuskan arahan strategi pengelolaan wilayah pesisir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya dukung lingkungan di wilayah
pesisir Batang berdasarkan kemampuan lahan masih sesuai (98.29%). Untuk
wilayah perairan Kabupaten Batang, kondisinya masih layak bagi biota laut
namun di beberapa lokasi (perairan Kecamatan Batang, Tulis dan Gringsing)
memiliki kadar ortofosfat yang sudah melebihi baku mutu. Saat ini lebih dari 70%
penggunaan lahan di wilayah pesisir masih sesuai/konsisten dengan rencana tata
ruang. Secara umum tingkat pemahaman masyarakat terkait kebijakan
pengelolaan dan penataan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Batang masih

v
rendah, sedangkan terkait dengan pemanfaatan/penggunaan lahan di wilayah

pesisir tingkat pemahaman masyarakat termasuk sedang. Berdasarkan tipologi
tangga Arnstein, tingkat partisipasi masyarakat termasuk kategori Informasi.
Bentuk partisipasi mayoritas responden menunjukkan berkaitan dengan kegiatan
pemanfaatan, pelestarian dan pengawasan.
Arahan pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten Batang agar diselaraskan
dengan penataan ruang yang sudah ditetapkan pemerintah dalam rencana tata
ruang wilayah, yang terbagi dalam kawasan pemanfaatan/budidaya, kawasan
konservasi/lindung dan kawasan strategis. Implementasi dari rencana penataan
ruang ini harus dilaksanakan sebagaimana fungsi peruntukannya dengan
memperhatikan daya dukung wilayah dan melibatkan masyarakat setempat
sehingga degradasi lingkungan dapat dikurangi. Strategi umum pengelolaan yang
dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan koordinasi antar lembaga pemerintah,
mengembangkan dan meningkatkan partisipasi dan pengawasan masyarakat serta
ketersediaan dan kemudahan mengakses informasi bagi masyarakat umum.
Kata kunci: wilayah pesisir Kabupaten Batang, daya dukung lingkungan,
partisipasi, pemanfaatan ruang

vi

SUMMARY

ASIH HIDAYATI. Coastal Area Management based on Environment Carrying
Capacity and Community Participation in Batang Regency. Supervised by BABA
BARUS and FREDIAN TONNY NASDIAN.

Batang regency is one of the coastal districts on the north coast of Java,
which has a 38.75 km long coastline and vast ocean of approximately 287 060
km2. Batang coastal area is a region of highly productive and have high economic
value, but on the other hand are also vulnerable to damage. The coastal area
strategic plan document Batang in 2011, identify that there are variety of problems
occured in coastal areas Batang include abrasion, accretion, sedimentation, flood,
narrowing river bodies, destruction of mangroves, pollution of water and soil, ego
sectoral, institutional and community participation in coastal management.
Therefore the management of coastal areas should be planned and integrated and
provide maximum benefits to all stakeholders, especially in coastal communities.
Spatial planning is one tool in the management of coastal areas, where the main
objective of spatial planning is to improve the society welfare, the growth and the
ecosystem conservation. According to Act No. 26 of 2007 on Spatial Planning,
spatial utilization at district must consider supportive and carrying capacity of
environment.
This study aims to assess and evaluate the environment carrying capacity

and the spatial utilizations in Batang coastal areas; assess community
understanding against management and spatial planning; analyze the level and
form of community participation in the management of coastal areas and
formulate strategic referrals to the management coastal areas in Batang.
The methods used in this study are analysis based on Geographic
Information Systems (GIS) as well as the descriptive analysis. Environment
carrying capacity analysis to the land area was based on land capability.
Determination of land capability class was done by using Boolean technique
(Regulation of the Minister of Environment Number 17, 2009). Evaluation of
carrying capacity and spatial utilization was done by overlaying the maps. Batang
waters conditions assessed from the data physical and chemical parameters were
adjusted to the Minister of Environment Decree No. 51 of 2004 on Sea Water
Quality Standard. To find the understanding and participation of the community
were analyzed descriptively, based on the results of the questionnaire. From the
results of the analyzes, then performed such synthesis to formulate strategic
direction of coastal areas management.
The results showed that environment carrying capacity in the coastal areas
of Batang based on land capability is still appropriate (98.29%). The conditions of
coastal water of Batang are still appropriate for marine life, but in a few locations
(Batang, Tulis and Gringsing sub-districts) orthophosphate levels have already

exceeded the quality standard. Currently, more than 70% of the land use in coastal
areas are still appropriate/consistent with the spatial planning. In general, the level
of public understanding of policies related to the management and spatial planning
of coastal areas in Batang is still low, mean while associated with the land

vii
utilization in coastal areas, the level of public understanding belongs to moderate
level. Based on Arnstein ladder typology, the level of community participation in
general categories as Information category. Participation form exhibited that the
majority of respondents participate at utilization, conservation and monitoring
activity. Activities follow the coaching/training is a form of activity which is the
least followed.
Coastal area management referrals in Batang need to be harmonized with
the existing spatial planing that has been set by the government in the spatial plan,
which is divided into utilization, conservation protection and strategic area.
Spatial plan should be implemented as it’s plan functions with respect to the
environment carrying capacity and involve the local community, so that
environmental degradation can be reduced. General management strategies that
can be done is to improve coordination among government agencies, to develop
and enhance community participation and oversight as well as the availability and

ease of access to information for the general public.
Keywords: Batang coastal areas, environmental capacity, participation, utilization

viii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ix

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BERBASIS
DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN
PARTISIPASI MASYARAKAT DI KABUPATEN BATANG


ASIH HIDAYATI
A156110184

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Setia Hadi, MS

xi


Judul Tesis

Nama
Nrp

: Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Daya Dukung
Lingkungan dan Partisipasi Masyarakat di Kabupaten
Batang
: Asih Hidayati
: A156110184

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Baba Barus, MSc
Ketua

Ir Fredian Tonny Nasdian, MS
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 20 Mei 2013

Tanggal Lulus:

xii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul
Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Daya Dukung Lingkungan dan Partisipasi
Masyarakat di Kabupaten Batang.
Melalui tulisan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada:
1. Dr Ir Baba Barus, MSc dan Ir Fredian Tonny Nasdian, MS selaku komisi
pembimbing yang telah memberikan saran, masukan dan bimbingan sehingga
tesis ini dapat diselesaikan.
2. Dr Ir Setia Hadi, MS selaku dosen penguji luar komisi.
3. Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku Ketua program studi Ilmu Perencanaan
Wilayah beserta staf pengajar dan manajemen.
4. Pusbindiklatren Bappenas sebagai pemberi program beasiswa.
5. Ibunda, kakak-kakak dan adik serta seluruh keluarga atas segala doa dan
dukungannya.
6. Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata seKabupaten Batang yang telah membantu dalam penyediaan data dan fasilitas
lainnya serta masyarakat di Kecamatan Batang, Kandeman, Tulis, Subah,
Banyuputih dan Gringsing atas partisipasinya dalam pengisian kuesioner.
7. Teman-teman program studi Ilmu Perencanaan Wilayah angkatan 2011 atas
bantuan, dukungan dan kerjasamanya.
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013
Asih Hidayati

xiii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xv

DAFTAR LAMPIRAN

xv

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
1.6 Kerangka Pemikiran Penelitian

1
1
2
3
3
3
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Wilayah Pesisir
2.2 Penataan Ruang
2.3 Daya Dukung Lingkungan
2.4 Partisipasi
2.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu

6
6
7
8
9
12

3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2 Metode Pengambilan Data
3.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data

15
15
15
15

4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1 Administrasi
4.2 Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut
4.3 Kebijakan Pembangunan Pemerintah Daerah

20
20
22
28

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Evaluasi Daya Dukung dan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir
5.1.1 Pola Ruang Wilayah Pesisir
5.1.2 Penggunaan Lahan Wilayah Pesisir
5.1.3 Kemampuan Lahan
5.1.4 Evaluasi Daya Dukung Wilayah Pesisir berbasis
Kemampuan Lahan terhadap RTRW Kabupaten Batang
5.1.5 Kondisi Perairan
5.1.6 Evaluasi Penggunaan Lahan terhadap Kemampuan Lahan
5.1.7 Evaluasi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap
Penggunaan Lahan
5.1.8 Permasalahan lingkungan di wilayah pesisir
5.2 Pemahaman Masyarakat terhadap Pengelolaan dan Penataan
Ruang Wilayah Pesisir di Kabupaten Batang
5.3 Tingkat dan Bentuk Partisipasi Massyarakat dalam Pengelolaan
Wilayah Pesisir di Kabupaten Batang
5.3.1 Tingkat Partisipasi Masyarakat
5.3.2 Bentuk Partisipasi Masyarakat

34
34
34
38
39
40
42
44
46
47
49
51
51
54

xiv
5.4 Arahan Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir

56

6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
6.2 Saran

64
64
64

DAFTAR PUSTAKA

65

LAMPIRAN

67

RIWAYAT HIDUP

75

DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15
Tabel 16
Tabel 17
Tabel 18
Tabel 19
Tabel 20
Tabel 21
Tabel 22
Tabel 23
Tabel 24

Klasifikasi Kemampuan Lahan dalam Tingkat Kelas
Tingkat Partisipasi Berdasarkan Tipologi Arnstein (1969)
Matriks Data, Metode Analisis dan Output Penelitian
Luas Kecamatan Pesisir di Kabupaten Batang
Jenis Tanah di Kecamatan Pesisir Kabupaten Batang
Ketinggian Lahan di Kecamatan Pesisir Kabupaten Batang
Kemiringan Lahan di Kecamatan Pesisir Kabupaten Batang
Jumlah Penduduk di Kecamatan Pesisir Menurut Jenis
Kelamin Tahun 2011
Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten Batang
Pola Ruang Wilayah Pesisir dalam RTRW Kabupaten Batang
Berdasarkan Lokasi
Alokasi Peruntukan Ruang Wilayah Pesisir
Pemanfaatan Lahan di Wilayah Pesisir
Kemampuan Lahan di Wilayah Pesisir
Evaluasi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap
Kemampuan Lahan berdasarkan Lokasi
Evaluasi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap
Kemampuan Lahan
Data Parameter Perairan di Kabupaten Batang
Evaluasi Pemanfaatan Lahan terhadap Kemampuan Lahan
Evaluasi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap
Pemanfaatan Lahan
Pemahaman/Pengetahuan Masyarakat terkait Kebijakan
Pemerintah
Pemahaman/Pengetahuan Masyarakat terkait Penggunaan
Lahan
Tingkat Partisipasi dalam Kehadiran Pertemuan
Tingkat Partisipasi dalam Pelaksanaan Kegiatan
Bentuk Partisipasi Masyarakat
Matriks Sintesis Pengelolaan Wilayah Pesisir

16
18
18
21
22
23
23
26
32
34
35
38
39
41
41
43
45
46
49
50
52
53
55
56

xv

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8
Gambar 9
Gambar 10
Gambar 11

Kerangka Pikir Penelitian
Delapan Tangga Tingkat Partisipasi Menurut Arnstein (1969)
Diagram Alir Penelitian
Wilayah Administrasi Kabupaten Batang
Pola Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Batang
Pemanfaatan/Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir
Kelas Kemampuan Lahan Wilayah Pesisir Kabupaten Batang
Evaluasi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap
Kemampuan Lahan
Sebaran Nilai Amonia, Nitrat dan Ortophosphat di
Perairan Kabupaten Batang
Evaluasi Pemanfaatan Lahan terhadap Kemampuan Lahan
Inkonsistensi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang
terhadap Pemanfaatan Lahan

5
10
19
21
37
39
40
42
44
45
47

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5

Inkonsistensi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang
terhadap Pemanfaaatan Lahan
Matriks Logik Inkonsistensi RTRW dengan
Pemanfaatan Lahan
Matriks Logik Evaluasi Pola ruang RTRW dengan
Kemampuan Lahan
Matriks Logik Evaluasi Pemanfaatan Lahan dengan
Kemampuan Lahan
Foto-Foto Kondisi Pantai di Wilayah Pesisir
Kabupaten Batang

67
68
69
70
71

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam,
wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan (Kay dan Alder
1999). Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk
ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi
yang luar biasa terhadap manusia. Lebih jauh, wilayah pesisir merupakan wilayah
yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan.
Sumber daya pesisir dan lautan merupakan potensi penting dalam
pembangunan masa depan, mengingat luas wilayah laut Indonesia adalah 62%
dari luas wilayah nasional. Berbagai keanekaragaman hayati dan lingkungan
menjadikan sumber daya pesisir dan lautan mempunyai nilai ekonomis dan
ekologis yang tinggi. Namun di sisi lain terjadi pula aktivitas pemanfaatan
sumberdaya pesisir yang memiliki kecenderungan eksploitasi dan sektoral antara
masyarakat dan para stakeholder lainnya sehingga menimbulkan terjadinya
konflik sosial.
Banyaknya pemanfaatan dan berbagai aktifitas yang terus berlangsung
dampak negatif pun muncul. Dampak-dampak utama saat ini berupa polusi,
abrasi, erosi dan sedimentasi, kerusakan kawasan pantai seperti hilangnya
mangrove, degradasi daya dukung lingkungan dan kerusakan biota pantai/laut.
Untuk menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaan wilayah
pesisir harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya kepada semua stakeholders terutama masyarakat pesisir.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengamanatkan bahwa wilayah pesisir merupakan
kekayaan yang dikuasai oleh negara, perlu dijaga kelestariannya dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, baik bagi generasi
sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Untuk mewujudkan hal
tersebut maka perlu dilakukan pendekatan pengelolaan pesisir terpadu yang
dikenal dengan Integrated Coastal Management. Pengelolaan dilakukan secara
berkelanjutan dan berwawasan global dengan memperhatikan aspirasi dan
partisipasi masyarakat dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum
nasional.
Penataan ruang merupakan salah satu alat dalam pengelolaan wilayah
pesisir, karena dasar dari pengelolaan suatu kawasan adalah tata ruang (Pratikto
2006). Tujuan penataan ruang adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional
yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan wawasan
nusantara dan ketahanan nasional agar terwujud keharmonisan antara lingkungan
alam dan buatan, keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan
sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia dan terwujud
perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
akibat pemanfaatan ruang (Rustiadi et al. 2010b).
Ada dua hal pokok yang perlu di pertimbangkan dalam penataan ruang
wilayah untuk pengelolaan sumberdaya hayati pesisir dan laut, yakni: pertama,
adalah berkenaan dengan upaya pengembangan kegiatan sosial-ekonomi dan kedua

2
yaitu berkaitan dengan daya dukung lingkungan. Pada hakekatnya kedua hal
tersebut perlu dipertemukan sehingga dapat diperoleh optimasi pemanfaatan
sumberdaya alam yang dikaitkan dengan usaha pemerataan peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan juga berdasarkan atas pertimbangan pembangunan
yang berkelanjutan.
Kabupaten Batang merupakan salah satu kabupaten pesisir di pantai Utara
Jawa yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya karena memiliki
wilayah pantai, dataran rendah maupun pegunungan dengan ketinggian 0-2 000 m
dpl, menghasilkan komoditi perikanan, perkebunan seperti teh dan karet serta
komoditi perhutanan berupa kayu jati dan gondorukem. Karakteristik wilayah
pesisir Kabupaten Batang antara lain, berupa bentangan garis pantai sepanjang
38.75 km, luas laut sekitar 287.060 km2, dengan jenis pantai berbatu dan berpasir.
Dalam rangka untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Batang
dengan memanfaatkan ruang wilayah beserta sumberdaya alam yang tersedia,
termasuk wilayah pesisir, Kabupaten Batang telah mengeluarkan Peraturan
Daerah nomor 07 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Batang Tahun 2011-2031. Untuk arahan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir,
telah dikeluarkan Peraturan Bupati nomor 16 tahun 2011 tentang Rencana
Strategis Wilayah Pesisir Kabupaten Batang tahun 2011-2030.
Berdasarkan dokumen RSWP Kabupaten Batang tahun 2011 diuraikan
berbagai permasalahan yang ada di wilayah pesisir baik yang terjadi akibat
fenomena alam maupun ulah manusia. Isu strategis dalam pengelolaan wilayah
pesisir antara lain abrasi, akresi, sedimentasi, rob, banjir, penyempitan badan
sungai, kerusakan mangrove, dampak pengembangan industri hulu dan hilir,
pencemaran perairan dan tanah, sanitasi lingkungan di tempat pelelangan dan
pengolahan ikan, terbatasnya sarana prasarana pengelolaan pesisir, ego sektoral,
kelembagaan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pesisir, dan lain-lain.
Atas dasar tersebut dan dengan adanya kebijakan pemerintah tentang otonomi
daerah dan desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan
lautan, maka sudah semestinya bila pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
pesisir secara langsung melibatkan partisipasi masyarakat baik dalam
perencanaan, implementasi, pemantauan dan evaluasi, sehingga mampu menjamin
kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat lokal serta kelestarian
pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut.
Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan karena akan menghasilkan
kebijakan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Kebijakan yang berbasis pada potensi masyarakat akan mendorong keterlibatan
masyarakat dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam. Selain itu
juga memberikan keuntungan ganda, yaitu: pertama, dengan mengakomodasi
aspirasi masyarakat maka pengelolaan pesisir dan laut akan menarik masyarakat
sehingga akan mempermudah proses penataan. Kedua, memberikan peluang bagi
masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas keamanan pesisir dan laut. Selain
itu yang lebih penting lagi adalah adanya upaya untuk meningkatkan kepentingan
hakiki masyarakat yaitu kesejahteraan.

3
1.2 Perumusan Masalah
Kabupaten Batang merupakan kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki
wilayah pesisir yang cukup luas, dengan panjang garis pantai mencapai 38.75 km.
Berbagai kegiatan pembangunan baik yang sudah maupun yang akan berjalan,
banyak yang dialokasikan di wilayah pesisir, sebagaimana yang tercantum dalam
rencana tata ruang wilayah Kabupaten Batang, misalnya pembangunan PPI,
pembangunan pelabuhan niaga, pembangunan kawasan industri.
Di sisi lain dengan maraknya kegiatan pembangunan di wilayah pesisir
Kabupaten Batang, diiringi pula dengan berbagai masalah yang muncul, yang
tampaknya belum menjadi perhatian yang cukup serius dari Pemerintah Daerah,
mulai dari masalah lingkungan sampai dengan masalah sosial. Adanya degradasi
lingkungan merupakan salah satu masalah lingkungan yang terjadi, antara lain
ditandai dengan jumlah vegetasi khas pesisir yang semakin menurun jumlah dan
luasannya serta ancaman abrasi dan intrusi air laut tiap tahun.
Timbulnya berbagai masalah tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan
wilayah pesisir Kabupaten belum dilakukan secara optimal dan terpadu antara
pemerintah, masyarakat maupun stakeholders lainnya. Pembangunan di wilayah
pesisir juga masih dilakukan secara sektoral tanpa ada koordinasi antar instansi
terkait maupun pelibatan masyarakat dalam proses perencanaannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka disusun pertanyaan yang dijawab dalam
penelitian ini, yaitu :
1. Sejauh mana kesesuaian pengalokasian ruang wilayah pesisir sebagaimana
tercantum dalam RTRW Kabupaten Batang dengan daya dukung
lingkungannya?
2. Bagaimana pengetahuan/pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan dan
penataan ruang wilayah pesisir?
3. Bagaimana tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
wilayah pesisir di Kabupaten Batang?
4. Bagaimana strategi yang dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan wilayah
pesisir yang terpadu dan berkelanjutan?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan
penelitian ini adalah :
1. Menilai dan mengevaluasi daya dukung lingkungan dan pemanfaatan ruang
wilayah pesisir di Kabupaten Batang.
2. Menilai pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan dan penataan ruang
wilayah pesisir Kabupaten Batang.
3. Menganalisis tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
wilayah pesisir di Kabupaten Batang.
4. Merumuskan arahan dan strategi pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten
Batang

4
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai
sumber informasi bagi para penentu kebijakan di Kabupaten Batang dalam
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Batang, dimana untuk
wilayah daratan memakai batasan secara administratif, yaitu enam kecamatan
yang berada di wilayah pesisir (yang memiliki garis pantai), sedangkan untuk
wilayah laut mencakup daerah seluas 4 mil laut dari garis pantai, yang menjadi
tanggungjawab pengelolaan bagi kabupaten sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004. Analisis daya dukung berbasis kemampuan lahan
hanya dilakukan untuk mengevaluasi pemanfaatan dan pola ruang di daratan,
sedangkan untuk wilayah perairan dilakukan analisis baku mutu air laut untuk
biota laut. Klasifikasi kemampuan lahan hanya dilakukan untuk tingkat kelas
kemampuan lahan.

1.6 Kerangka Pemikiran Penelitian
Saat ini terdapat kecenderungan bahwa wilayah pesisir rentan mengalami
kerusakan akibat aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber dayanya maupun
akibat bencana alam. Akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat
parsial/sektoral di wilayah pesisir atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah
pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada juga sering
menimbulkan kerusakan sumberdaya pesisir. Sementara itu, kesadaran nilai
strategis dari pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan, terpadu, dan
berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan
pesisir terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai
sektor.
Oleh sebab itu, keunikan wilayah pesisir yang rentan berkembangnya
konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pesisir, perlu dikelola
secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian
wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk
mengelola wilayah pesisirnya dengan baik. Norma-norma pengelolaan wilayah
pesisir tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan,
pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Norma-norma itu
akan memberikan peran kepada pemerintah, masyarakat, dan swasta sebagai
pemangku kepentingan melalui sistem pengelolaan wilayah terpadu.

5
Setiap kabupaten/kota pasti memiliki karakteristik fisik wilayah pesisir yang
satu sama lain berbeda. Disamping itu masing-masing kabupaten/kota juga
memiliki perhatian yang berbeda di dalam pengelolaan wilayah pesisir.
Konsekuensi dari perbedaan perhatian tersebut menghasilkan kebijakan yang
berbeda satu sama lain dalam mengelola wilayah pesisirnya. Namun sayangnya
kebijakan yang dibuat juga masih bersifat sektoral, dimana masing-masing
instansi/dinas membuat aturan hukum hanya untuk kepentingan mereka sendiri.
Kebijakan yang dibuat seringkali dilakukan tanpa ada koordinasi maupun
melibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya. Akibatnya antara pemerintah,
masyarakat maupun stakeholder lainnya berjalan sendiri-sendiri dalam
pengelolaan wilayah pesisir.
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu menghendaki adanya kesamaan
visi antar stakeholders. Menyadari arti penting visi pengelolaan itu, maka perlu
dipelopori perumusan visi bersama seperti terwujudnya pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang didukung
oleh peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penataan dan penegakan hukum,
serta penataan ruang untuk terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Untuk menjawab permasalahan dan mencapai tujuan serta manfaat tersebut
diperlukan teori-teori yang mendukung antara lain teori tentang partisipasi
masyarakat dan teori mengenai perencanaan pengelolaan wilayah pesisir. Selain
itu juga digunakan metodologi deskriptif menggunakan data primer dan sekunder
dan pada akhirnya diperoleh kesimpulan dan rekomendasi penelitian. Adapun
kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Permasalahan wilayah pesisir:
lingkungan, sosial, ego sektoral
Pengelolaan wilayah pesisir
terpadu dan berkelanjutan
Penataan ruang
wilayah pesisir

Fisik (lingkungan)

Non fisik (sosial)

Daya dukung

Partisipasi

Evaluasi

Arahan dan strategi pengelolaan wilayah pesisir

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Wilayah Pesisir
Sampai saat ini memang belum ditemukan definisi yang pasti mengenai
wilayah pesisir karena batas-batas yang ada bisa berubah sewaktu-waktu, namun
ada beberapa definisi berdasarkan keterangan dari ahli terkait. Wilayah pesisir
merupakan salah satu sistem ekologi yang paling produktif, beragam dan
kompleks. Wilayah ini berperan sebagai penyangga, pelindung dan penyaring
antara daratan dan lautan serta merupakan pemusatan terbesar penduduk.
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dalam Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem
darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Pengertian pesisir menurut Bappenas (1999) dalam Dahuri (2005), wilayah
atau kawasan pesisir atau pantai adalah daerah pertemuan antara darat dan laut,
dengan batas ke arah darat yang meliputi bagian daratan, baik kering maupun
terendam air, yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti air laut. Ke
arah laut mencakup bagian perairan sampai batas terluar dari paparan benua,
dimana ciri-ciri perairan tersebut masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah
yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, serta proses-proses
yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat maupun di laut. Misalnya,
penggundulan hutan, pencemaran industri, domestik, limbah tambak,
penangkapan ikan, dan lain-lain.
Pendefinisian wilayah pesisir dilakukan atas tiga pendekatan, yaitu
pendekatan ekologis, pendekatan administratif, dan pendekatan perencanaan.
Dilihat dari aspek ekologis, wilayah pesisir adalah wilayah yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, dimana ke arah laut mencakup wilayah
yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi. Dilihat
dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi
pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari kabupaten atau kota
yang mempunyai hulu, dan kearah laut sejauh dua belas mil dari garis pantai
untuk provinsi atau sepertiga dari dua belas mil untuk kabupaten/kota. Dilihat dari
aspek perencanaan, wilayah pesisir adalah wilayah perencanaan pengelolaan dan
difokuskan pada penanganan isu yang akan ditangani secara bertanggung jawab
(Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir 2001).
Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem pesisir dan
sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir ada yang terus menerus tergenangi dan ada
pula yang hanya sesaat. Berdasarkan sifat ekosistem, ekosistem pesisir dapat
bersifat alamiah (natural) atau buatan (manmade). Ekosistem alami yang terdapat
di wilayah pesisir adalah terumbu karang (coral reefs), padang lamun (seagrass
beds), hutan mangrove, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pescaprae,
formasi barringtonia, estuaria, laguna dan delta, sedangkan ekosistem buatan
antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan
industri dan kawasan pemukiman (Dahuri et al. 2001).
Menurut Dahuri (2005), untuk tujuan perencanaan secara praktis, wilayah
pesisir dan laut merupakan kawasan khusus, memiliki karakteristik unik dengan

7
batas-batas kawasan yang sering ditentukan berdasarkan permasalahanpermasalahan spesifik yang perlu ditangani. Kegiatan pengelolaan wilayah pesisir
dan laut harus ditekankan pada upaya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan
dan pelestarian wilayah. Penataan ruang merupakan solusi yang tepat dalam
kaitannya dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir.

2.2 Penataan Ruang
Perencanaan tata ruang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang (RTR), yang
menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dapat dibedakan menurut
batasan fungsi kawasan dan batasan administratif. Pengertian ruang dalam hal ini
mencakup ruang darat, laut, dan udara. Secara hirarkis, Rencana Tata Ruang
terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota (RTRWK).
Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang bermaksud
mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan
pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial fungsifungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah
administrasi pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu. Menurut
Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) perencanaan tata ruang mencakup
perencanaan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tataguna lahan, tataguna air,
tataguna udara, tataguna sumberdaya lainnya.
Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan aspek-aspek sebaran
sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap aktifitas
menyebar dengan luas yang berbeda-beda dan tingkat penyebaran yang berbedabeda pula. Secara lebih tegas, penataan ruang dilakukan sebagai upaya : (1)
Optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan
sumberdaya): prinsip efisiensi dan produktifitas; (2) Alat dan wujud distribusi
sumberdaya: asas pemerataan, keberimbangan dan keadilan; dan (3)
Keberlanjutan (sustainability) (Rustiadi et al. 2011).
Menurut Dahuri (2005), peranan tata ruang pada hakekatnya dimaksudkan
untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya yang optimal dengan sedapat mungkin
menghindari konflik pemanfaatan sumberdaya serta dapat mencegah timbulnya
kerusakan lingkungan hidup. Lebih jauh Dahuri (2005) menyatakan dalam
penataan ruang hendaknya memperhatikan 5 pendekatan, yaitu : (1) Penataan
ruang yang partisipatif; (2) Sinergis dengan dunia usaha; (3) Selaras dengan
lingkungan; (4) Pertumbuhan ekonomi dan (5) Peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Ada dua hal pokok yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang
wilayah untuk pengelolaan sumberdaya hayati pesisir dan laut, yaitu: pertama,
berkenaan dengan upaya pengembangan kegiatan sosial-ekonomi dan kedua
berkaitan dengan daya dukung lingkungan.

8
2.3 Daya Dukung Lingkungan
Daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat
dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu
yang panjang. Menurut Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang
pengelolaan lingkungan hidup, daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup
lain.
Evaluasi daya dukung wilayah diperlukan untuk mengelompokkan daya
dukung kawasan, sehingga dalam sutu wilayah dapat ditentukan kawasan yang
mampu mendukung kegiatan budidaya atau kawasan yang seharusnya berfungi
lindung. Pada dasarnya evaluasi daya dukung wilayah sangat terkait erat dengan
evaluasi sumberdaya lahan, dimana satuan lahan yang memiliki hambatan tinggi
akan sesuai untuk menjadi kawasan lindung dan sebaliknya dapat menjadi
kawasan budidaya (Rustiadi et al. 2011).
Dardak (2005) menyatakan bahwa perhatian terhadap daya dukung
lingkungan merupakan kunci bagi perwujudan ruang hidup yang nyaman dan
berkelanjutan. Perhatian terhadap daya dukung lahan seyogyanya tidak terbatas
pada lokasi dimana sebuah kegiatan berlangsung, namun harus mencakup wilayah
yang lebih luas dalam satu ekosistem. Dengan demikian, keseimbangan ekologis
yang terwujud juga tidak bersifat lokal, namun merupakan keseimbangan dalam
satu ekosistem.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2009) telah menyusun pedoman
perhitungan daya dukung lingkungan, yang dimaksudkan untuk menunjang
penataan ruang. Perhitungan daya dukung lingkungan tersebut didasarkan pada
kebutuhan manusia terhadap dua faktor alam yang paling mendasar, yaitu lahan
dan air. Dengan berpedoman pada perhitungan tersebut, maka dapat diprediksi
daya dukung suatu kawasan sehingga penetapan fungsinya secara berkelanjutan
dapat dilakukan secara lebih mendasar dan terarah dalam menunjang penataan
ruang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 25 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah harus menyusun
rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN), pemerintah daerah provinsi harus
menyusun rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRW provinsi), dan pemerintah
daerah kabupaten harus menyusun rencana tata ruang wilayah kabupaten (RTRW
kabupaten), dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup. Dalam
penataan ruang, tidak adanya informasi mengenai daya dukung dan daya tampung
lingkungan, membuka kemungkinan terjadinya penggunaan ruang yang tidak
sesuai dengan peruntukkannya.
Penyusunan rencana tata ruang wilayah yang tidak memperhatikan daya
dukung lingkungan hidup, dapat menimbulkan permasalahan lingkungan hidup
seperti banjir, longsor dan kekeringan. Kerusakan lingkungan hidup pada
akhirnya akan membawa kerugian sosial ekonomi yang sangat besar bagi
penduduk yang bermukim di wilayah itu khususnya, dan masyarakat secara
keseluruhan. Oleh karena itu, agar penataan ruang sesuai dengan daya dukungnya,
perlu melibatkan masyarakat dimulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan
hingga pengendaliannya.

9
2.4 Partisipasi Masyarakat
2.4.1 Definisi Partisipasi
Menurut Davis (1967) dalam Sastropoetro (1988) partisipasi didefinisikan
sebagai keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang di dalam situasi
kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok
dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang
bersangkutan. Dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, disebutkan bahwa partisipasi merupakan
keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam
proses penyusunan rencana pembangunan.
Khadiyanto (2007) dalam Chusnah (2008) merumuskan bahwa partisipasi
masyarakat adalah keikutsertaan/pelibatan masyarakat dalam kegiatan
pelaksanaan pembangunan dalam merencanakan, melaksanakan dan
mengendalikan serta mampu untuk meningkatkan kemauan menerima dan
kemampuan untuk menanggapi, baik secara langsung maupun tidak langsung
sejak dari gagasan, perumusan kebijaksanaan hingga pelaksanaan program
Mitchell et al. (2010) menyatakan banyak alasan yang dapat diberikan untuk
menyertakan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya. Melalui
konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena
kebijakan, dimungkinkan untuk (1) merumuskan persoalan lebih efektif; (2)
mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah; (3)
merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat
diterima dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan
penyelesaian sehingga memudahkan penerapan.
Partisipasi berfungsi sebagai kemitraan dalam pengelolaan wilayah.
Partisipasi yang melibatkan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam
pengelolaan wilayah pesisir mutlak diperlukan. Partisipasi masyarakat dapat
tercipta apabila ada rasa saling percaya dan saling pengertian antara semua pihak.
2.4.2 Bentuk Partisipasi
Menurut Davis (1967) dalam Sastropoetro (1988), bentuk-bentuk partisipasi
meliputi: (1) konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa; (2) sumbangan spontan
berupa uang dan barang; (3) mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan
donornya berasal dari pihak ketiga; (4) mendirikan proyek yang sifatnya berdikari
dan dibiayai seluruhnya oleh masyarakat; (5) sumbangan dalam bentuk kerja; (6)
aksi massa; (7) mengadakan pembangunan dikalangan keluarga; dan (8)
membangun proyek masyarakat yang bersifat otonom. Adapun jenis-jenis
partisipasinya meliputi: (1) pikiran; (2) tenaga; (3) pikiran dan tenaga; (4)
keahlian; (5) barang; dan (6) uang.
Dalam kegiatan penataan ruang bentuk peran masyarakat dilakukan pada 3
tahap sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2010
tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang, yaitu
meliputi :
1) tahap perencanaan tata ruang, berupa : (a) masukan mengenai persiapan
penyusunan rencana tata ruang; penentuan arah pengembangan wilayah atau
kawasan; pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau
kawasan; perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau penetapan rencana

10
tata ruang, (b) kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang.
2) tahap pemanfaatan ruang, berupa : (a) masukan mengenai kebijakan
pemanfaatan ruang; (b) kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang; (c) kegiatan
memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang
yang telah ditetapkan; (d) peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian
dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam
bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; (e) kegiatan menjaga kepentingan pertahanan
dan keamanan serta memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi
lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan (f) kegiatan investasi dalam
pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) tahap pengendalian pemanfaatan ruang, berupa : (a) masukan terkait arahan
dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta
pengenaan sanksi; (b) keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi
pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; (c) pelaporan kepada
instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan
penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar
rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan (d) pengajuan keberatan terhadap
keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap
tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
2.4.3 Tingkat Partisipasi
Arnstein (1969) mendefinisikan strategi partisipasi yang didasarkan pada
distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas) dengan badan pemerintah
(agency), partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen
participation is citizen power). Arnstein (1969) menggunakan metafora tangga
partisipasi dimana tiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda
yang didasarkan pada distribusi kekuasaan (Gambar 2).

Citizen Control
8
Delegated
7

Degrees of
Citizen Power

Patnership
6
Placation
5
Consultation

Degrees of
Tokenism

4
Informing
3
Therapy
2

Non
participation

Manipulation
1

Gambar 2 Delapan tangga tingkat partisipasi menurut Arnstein (1969)

11
Delapan tangga tingkat partisipasi menurut Arnstein (1969) yaitu :
1. Manipulasi (manipulation)
Pada tangga partisipasi ini bisa diartikan relatif tidak ada komunikasi apalagi
dialog; tujuan sebenarnya bukan untuk melibatkan masyarakat dalam
perencanaan dan pelaksanaan program tapi untuk mendidik (masyarakat tidak
tahu sama sekali terhadap tujuan, tapi hadir dalam forum).
2. Terapi (therapy)
Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang
dari pemerintah dan hanya satu arah.
3. Informasi (information)
Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat
satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada
masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan
tanggapan balik (feed back).
4. Konsultasi (consultation)
Pada tangga partisipasi ini komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih
bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan
pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan
didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan
dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi.
5. Penentraman (placation)
Pada level ini komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara
masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan
saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun pemerintah tetap menahan
kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut.
6. Kemitraan (partnership)
Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra
sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat
dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun
monitoring dan evaluasi. Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki
akses untuk proses pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk
bernegosiasi dan melakukan kesepakatan.
7. Pendelegasian kekuasaan (delegated power)
Ini berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat
untuk mengurus sendiri beberapa kepentingannya, mulai dari proses
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat
memiliki kekuasaan yang jelas dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
keberhasilan program.
8. Pengendalian masyarakat (citizen control)
Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai
kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa
campur tangan pemerintah.
Dari kedelapan tangga tersebut, Arnstein mengelompokkannya lagi menjadi
3 tingkat, yaitu:
a) Tingkat tanpa partisipasi (Nonparticipation)
Tingkat nonpartisipasi adalah tingkat partisipasi yang bukan dalam arti
sesungguhnya. Tingkat ini terdiri dari jenjang terbawah dari tangga tersebut
yaitu tingkat pertama (manipulation) dan tingkat kedua (Therapy).

12
b) Tingkat Tokenism (Degree of tokenism)
Tingkat Tokenism yaitu tingkat partisipasi yang tidak serius, dimana
masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar
pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan
jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang
keputusan. Tingkat Tokenism terdiri tiga jenjang yaitu tingkat ketiga
(informing), tingkat keempat (consultation) dan tingkat kelima (placation).
Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk
menghasilkan perubahan dalam masyarakat.
c) Tingkat Kekuasaan Masyarakat (Degree of Citizen Power)
Tingkat kekuasaan masyarakat yaitu tingkat dimana masyarakat telah memiliki
kekuasaan, yang terdiri dari tingkat keenam (partnership), tingkat ketujuh
(delegated power) dan tingkat kedelapan (citizen control). Tiga tangga terakhir
ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang oleh
Arnstein dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat
dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan.
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir sangatlah
penting. Apabila dilihat karakteristik wilayah pesisir dan lautan baik dari segi
sumberdaya alam maupun dari masyarakatnya sangat kompleks dan beragam,
maka dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan sudah seharusnya secara
langsung melibatkan masyarakat lokal. Sesuai dengan Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang
Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, keterbukaan dan
peran serta masyarakat merupakan salah satu prinsip dasar dalam pengelolaan
wilayah pesisir terpadu.

2.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu
Berdasarkan karakteristik dan dinamika dari kawasan pesisir, potensi dan
permasalahannya, maka kebijakan pemerintah untuk membangun kawasan pesisir
dan laut secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat dilakukan melalui
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu (Darajati 2004). Konsep
pengelolaan wilayah pesisir berbeda dengan konsep pengelolaan sumberdaya pada
umumnya, pada pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang mengelola adalah
semua orang dengan objek segala sesuatu yang ada di wilayah pesisir.
Pengelolaan wilayah pesisir tidak melihat wilayah pesisir sebagai target, yang
paling utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada
karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan
wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi,
lingkungan, ekonomi dan sistem sosial.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pengelolaan w