Perilaku, Pola Peletakan Telur dan Efisiensi Pemarasitan Parasitoid Trichogramma chilotraeae Nagaraja & Nagarkatti pada Berbagai Jumlah Inang dan Kepadatan Parasitoid

PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI
PEMARASITAN PARASITOID Trichogramma chilotraeae
NAGARAJA & NAGARKATTI (HYMENOPTERA:
TRICHOGRAMMATIDAE) PADA BERBAGAI
JUMLAH INANG DAN KEPADATAN PARASITOID

HASRIYANTY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

1

ABSTRAK

HASRIYANTY. Perilaku, Pola Peletakan Telur dan Efisiensi Pemarasitan
Parasitoid Trichogramma chilotraeae Nagaraja & Nagarkatti (Hymenoptera:
Trichogrammatidae) Pada Berbagai Jumlah Inang dan Kepadatan Parasitoid.
Dibimbing oleh DAMAYANTI BUCHORI dan PUDJIANTO.
Sebagian besar parasitoid Hymenoptera, termasuk parasitoid

Trichogramma chilotraeae merupakan organisme yang mempunyai pola
reproduksi haplodiploidi. Penentuan kelamin keturunan sepanjang peletakan telur
ditentukan oleh induk betina berdasarkan keadaan lingkungan, dalam hal ini
jumlah inang dan kepadatan parasitoid. Jumlah inang dan kepadatan parasitoid
tersebut dalam perbanyakan massal juga dapat mempengaruhi berbagai ciri
kebugaran sekaligus menentukan efisiensi pemarasitan. Perilaku dan pola urutan
peletakan telur penting dikaji untuk lebih memahami perilaku parasitoid untuk
tujuan memaksimalkan keberhasilan reproduksi dan keberlangsungan
keturunannya nanti, yang secara langsung memberikan arti penting untuk
memperbaiki keefektifan pengendalian hama sasaran di lapangan dalam suatu
program pengendalian hayati. Selain itu kajian berbagai ciri kebugaran serta
efisiensi pemarasitan penting dilakuan dalam kaitannya dengan kegiatan
perbanyakan massal di laboratorium. Dalam penelitian ini dipelajari perilaku
reproduksi melalui pengamatan urutan peletakan kelamin keturunan pada
perlakuan jumlah inang 3, 6, 12, 24 dan 48 dan dipaparkan pada 1 dan 2
parasitoid; berbagai ciri kebugaran parasitoid T. chilotraeae pada jumlah inang 3,
6, 12, 24 dan 48; serta pengaruh kepadatan parasitoid, yakni kepadatan 1, 2, 3 dan
4 parasitoid betina terhadap nisbah kelamin keturunan.
Jumlah inang berpengaruh terhadap perilaku dan pola peletakan telur.
Pada umumnya parasitoid T. chilotraeae memulai rangkaian peletakan telur

dengan menghasilkan keturunan betina. Faktor jumlah inang dan kepadatan
parasitoid betina berpengaruh pada perilaku selfsuperparasitism. Jumlah inang
juga berpengaruh terhadap berbagai ciri kebugaran dan efisie nsi pemarasitan.
Rasio 24 inang dengan 1 parasitoid betina lebih efisien dibandingkan rasio 48
inang dengan 1 parasitoid, dengan pemarasitan paling efektif terjadi pada tiga jam
pertama hari pertama. Meningkatnya kepadatan parasitoid betina berpengaruh
pada nisbah kelamin (proporsi betina). Nisbah kelamin semakin menurun seiring
bertambahnya kepadatan parasitoid.
.

2

PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI
PEMARASITAN PARASITOID Trichogramma chilotraeae
NAGARAJA & NAGARKATTI (HYMENOPTERA:
TRICHOGRAMMATIDAE) PADA BERBAGAI
JUMLAH INANG DAN KEPADATAN PARASITOID

HASRIYANTY


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Entomologi dan Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

3
PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis
yang berjudul “Perilaku, Pola Peletakan Telur dan Efisiensi Pemarasit an
Parasitoid Trichogramma chilotraeae Nagaraja & Nagarkatti (Hymenoptera:
Trichogrammatidae) pada Berbagai Jumlah Inang dan Kepadatan Parasitoid”,
dilaksanakan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanaian Bogor pada bulan Juni
2005 hingga Maret 2006.
Terima kasih penulis ucapkan kepada ibu Dr. Ir. Damayanti Buchori,

M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing dan bapak Dr. Ir. Pudjianto, M.Si.
sebagai anggota atas segala bimbingan dan petunjuknya selama penelitian dan
penulisan tesis. Terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi serta
seluruh staf pengajar Pascasarjana Program Studi Entomologi Fitopatologi yang
telah memberikan pengetahuan yang tak ternilai harganya selama masa
perkuliahan. Disamping itu, ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Rektor serta Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Tadulako yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk melanjutkan pendidikan program Magister Sains pada Sekolah
Pascasarjana IPB. Demikian pula pada Pengelola Biaya Pendidikan Program
Pascasarjana (BPPS) Dikti atas dukungan biaya selama masa studi.
Penghargaan dan ungkapan terima kasih kembali penulis sampaikan
kepada ibu Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. selaku penanggungjawab
Laboratorium
Bioekologi Parasitoid dan Predator atas perizinan untuk
menggunakan semua bahan dan peralatan penelitian di laboratorium sehingga
penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. Terima kasih juga kepada Adha Sari,
Bandung Sahari dan Akhmad Rizali atas diskusi dan masukan-masukannya serta
kepada seluruh anggota Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator untuk
segala pertemanan dan menciptakan suasana kekeluargaan di laboratorium, juga

kepada mahasiswa pascasarjana Entomologi Fitopatologi angkatan 2004 terima
kasih untuk persahabatan, bantuan serta dukungan dalam menyelesaikan studi.
Pada akhirnya, karya ini penulis persembahkan buat ayahanda dan ibunda
tercinta karena dengan doa dan keridhaan semua ini dapat berjalan lancar, serta
kepada suami terkasih Andi Amran Mappasittung, kedua anakku Andi Aura
Amaliyah dan Andi Azra Amaliyah atas keikhlasan, pengertian, doa dan dorongan
serta semangat untuk pencapaian ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, 25 Agustus 2006

Hasriyanty

4
Judul tesis

: Perilaku, Pola Peletakan Telur dan Efisiensi Pemarasitan
Parasitoid Trichogramma chilotraeae
Nagaraja &
Nagarkatti (Hymenoptera: Trichogrammatidae) pada

Berbagai Jumlah Inang dan Kepadatan Parasitoid

Nama

: Hasriyanty

NIM

: A451040011

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc.
Ketua

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si.
Anggota

Diketahui


Ketua Program Studi
Entomologi dan Fitopatologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.

Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

Tanggal UJian: 25 Agustus 2006

Tanggal Lulus : 26 September 2006

5

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Soni, Kecamatan Dampal Selatan, Kabupaten Tolitoli
Sulawesi Tengah pada tanggal 27 Oktober 1972 dari Ayah Hi. Latjella Mannessa

dan Ibu Hj. Djuhrana. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Tahun 1990 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas pada SMA
Negeri I Palu dan pada tahun yang sama melanjutkan studi ke Universitas
Tadulako Palu Jurusan Agronomi dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada
tahun 1996. Sejak Juni tahun 2001 penulis tercatat sebagai tenaga pengajar pada
Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako
Palu. Pada tahun ajaran 2004/2005 penulis berkesempatan untuk melanjutkan
studi ke Program Magister Sains, Program Studi Entomologi dan Fitopatologi
Institut Pertanian Bogor dengan biaya pendidikan BPPS Dikti.

16

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
Perilaku, Pola Peletakan Telur dan Efisie nsi Pemarasitan Parasitoid
Trichogramma chilotraeae Nagaraja & Nagarkatti (Hymenoptera:
Trichogrammatidae) pada Berbagai Jumlah Inang dan Kepadatan Parasitoid
adalah benar karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun
kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam tesis dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Bogor, 25 Agustus 2006

Hasriyanty
A451040011

17

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi:
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,
baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya.

6

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................

xi

DAFTAR GAMBAR .............................................................................

xii

PENDAHULUAN ............................................................................ ......

1

Latar Belakang ............................................................................................

1

Tujuan Penelitian .................................................................. ..........

4


Manfaat Penelitian ................................................................ ..........

4

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... ......

5

Parasitoid
Telur
Trichogrammatidae
dalam
Pengendalian Hayati ...................................................................................

5

Pengendalian Hayati Pada Hama Plutella xylostella ......................

7

Trichogramma chilotraeae Nagaraja & Nagarkatti dan
Sebarannya ....................................................................................

9

Alokasi Jenis Kelamin Keturunan pada Trichogrammatidae ..........

10

BAHAN DAN METODE .......................................................................

15

Waktu dan Tempat ..........................................................................

15

Persiapan Penelitian ........................................................................

15

Koleksi dan Perbanyakan Parasitoid ..................................................... 15
Perbanyakan serangga inang Corcyra cephalonica ............................ 15
Pelaksanaan Penelitian ...................................................................

16

Identifikasi Parasitoid ................................................................

16

Pola Urutan Peletakan Telur ......................................................

17

Studi Pengaruh Jumlah Inang terhadap Efisiensi Pemarasitan ..

18

Studi Waktu Pemarasitan Paling Efektif ...................................

19

Studi Pengaruh Jumlah Betina terhadap Nisbah Kelamin ..........

20

HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................

21

Identifikasi Parasitoid ....................................................................

21

Perilaku Penemuan dan Penerimaan Inang ....................................

23

Pola Urutan Peletakan Telur Parasitoid T. chilotraeae ..................

25

Nisbah Kelamin ..........................................................................
Pengaruh Jumlah Inang dan Kepadatan Parasitoid Terhadap

32

7
Parasitisasi ..................................................................................

34

Persentase Selfsuperparasitism ..................................................

37

Efisiensi Pemarasitan Berbagai Jumlah Inang ................................

41

Waktu Pemarasitan Paling Efektif ............................................

45

Pengaruh Kepadatan Betina Terhadap Nisbah Kelamin Keturunan

46

KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................

50

Kesimpulan ....................................................................................

50

Saran ..............................................................................................

50

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................

51

8

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Alokasi jenis kelamin keturunan yang dihasilkan induk parasitoid
T. chilotraeae pada peletakan telur ke-1 sampai peletakan telur
ke-n................................................................................................

28

Frekuensi berbagai variasi pola urutan peletakan tiga telur
pertama, parasitoid T. chilotraeae ...............................................

32

Rata-rata nisbah kelamin (proporsi betina) pada berbagai
kepadatan inang dan kepadatan parasitoid .....................................

34

Total inang terparasit, persentase inang terparasit, persentase
keturunan betina dan persentase keturunan jantan pada berbagai
jumlah inang...................................................................................

35

Persentase inang terparasit, persentase keturunan betina dan
persentase keturunan jantan pada berbagai kepadatan parasitoid
inang ..............................................................................................

36

6

Persentase selfsuperparasitism pada berbagai jumlah inang..........

37

7

Persentase selfsuperparasitism pada berbagai kepadatan
parasitoid .......................................................................................

38

Frekuensi berbagai variasi selfsuperparasitism pada peletakan
tiga telur pertama parasitoid T. chilotraeae pada berbagai jumlah
inang ..............................................................................................

40

Total inang terparasit, rata-rata inang terparasit per hari,
persentase kemunculan imago dan lama hidup parasitoid T.
chilotraeae pada berbagai jumlah inang ......................................

41

2
3
4

5

8

9

9

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2
3

4

5
6
7
8
9

Karakter morfologi T. chilotraeae hasil identifikasi; antena,
sayap dan genitalia imago jantan...................................................

22

Karakter morfologi T. chilotraeae berdasarkan kunci identifikasi;
antena, sayap dan genitalia imago jantan......................................

22

Persentase keturunan betina yang dihasilkan pada setiap urutan
peletakan telur pada berbagai jumlah inang, pemaparan satu
parasitoid betina .............................................................................

26

Persentase keturunan betina yang diletakkan pada setiap urutan
peletakan telur pada berbagai jumlah inang, pemaparan dua
parasitoid betina ............................................................................

30

Nisbah kelamin keturunan dari satu induk betina yang
meletakkan telur pada berbagai kepadatan inang .........................

33

Nisbah kelamin keturunan dari dua induk betina yang
meletakkan telur pada berbagai kepadatan inang ..........................

33

Persentase selfsuperparasitism sepanjang peletakan telur,
pemaparan satu parasitoid betina .................................................

39

Persentase selfsuperparasitism sepanjang peletakan telur,
pemaparan dua parasitoid betina .................................................

39

Grafik jumlah inang terparasit perhari .........................................

42

10 Nisbah kelamin total satu parasitoid betina pada berbagai jumlah
inang ...............................................................................................

43

11 Sebaran data nisbah kelamin parasitoid betina pada berbagai
jumlah inang ..................................................................................

44

12 Proporsi keturunan betina pada setiap hari pengamatan selama
masa hidup induk betina ................................................................

45

13 Grafik jumlah inang terparasit pada setiap 3 jam pemaparan ......

45

14 Nisbah kelamin parasitoid T. chilotraeae pada berbagai
kepadatan parasitoid ......................................................................

46

18

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hama ulat daun kubis Plutella xylostella Lin. (Lepidoptera: Yponomeutidae)
merupakan salah satu hama penting pada pertanaman kubis yang dapat
menimbulkan kerusakan dan bisa mengakibatkan kegagalan panen. Selama ini,
ditingkat petani pengendalian hama ini biasanya menggunakan insektisida
sintetik, namun dari beberapa penelitian membuktikan bahwa hama ini mampu
mengembangkan sistem kekebalan sehingga menjadi resisten terhadap insektisida.
Bila hal ini terjadi maka biasanya petani akan meningkatkan dosis atau
mencampur berbagai jenis insektisida (Kfir
penelitian Rauf et al. (2005)

2002). Sebagai contoh, hasil

melaporkan bahwa petani di tiga lokasi sentra

produksi kubis di pulau Jawa menggunakan 35 produk insektisida untuk
mengendalikan hama P. xylostella dan Crocidolomia vaponana (Fabricus)
(Lepidoptera: Noctuidae). Penggunaan insektisida yang berlebihan dan dengan
sifat insektisida yang berspektrum luas akan ikut mematikan berbagai jenis musuh
alami hama ini di lapangan. Sebagai akibatnya, bila tidak ada faktor alami yang
menekan maka populasi hama akan semakin tinggi dan lebih sulit untuk
dikendalikan (Kfir 2002).
P. xylostella dilaporkan merupakan serangga hama yang mempunyai
kemampuan untuk mengembangkan sifat resisten terhadap berbagai jenis
insektisida.

Penggunaan

DDT

secara

luas

pada

tahun

1940-an, telah

mengakibatkan hama ini dengan cepat menjadi resisten terhadap bahan aktif
insektisida tersebut. Selanjutnya dilaporkan bahwa P. xylostella resisten terhadap
diclorvos, cartap, methomiyl, chlorpyrifosmethyl dan malathion serta berbagai
bahan aktif insektisida lainnya (Kfir 2002). Hama ini bahkan merupakan serangga
hama pertama yang dilaporkan resisten terhadap bahan aktif insektisida mikroba
Bacillus thuringiensis Berl. (Tabone et al. 2003; Tabashnik et al. 1990 dalam
Nofemela 2004). Oleh karena itu, dibutuhkan teknik pengendalian yang tidak saja
efektif untuk menekan populasi hama tetapi lebih dari itu mampu mengatasi
permasalahan kemampuan hama ini me ngembangkan sifat resisten.

19
Pengendalian

hayati

menggunakan

parasitoid

merupakan

teknik

pengendalian yang bisa mengatasi permasalahan serangga hama karena parasitoid
pada umumnya mempunyai kemampuan untuk memarasit ratusan inang sehingga
dapat dengan cepat menekan populasi hama. Parasitoid juga mempunyai sifat
selektif sehingga tidak menimbulkan dampak pada musuh alami lainnya dan tidak
menimbulkan resistensi pada hama sasaran (Nofemela 2004).
Di Indonesia, parasitoid P. xylostella yang selama ini dilaporkan hanya ada
satu spesies yakni Diadegma semiclausum Hellen (Hymenoptera: Ichneumonidae)
yang merupakan parasitoid larva (Kalshoven 1981). Tetapi dari hasil penelitian
Meilin (1999) melaporkan, dari hasil eksplorasi di beberapa daerah di wilayah
Jawa,

ternyata

didapatkan

Trichogrammatidae

yang

tiga

spesies

menyerang

parasitoid

telur

Trichogrammatoidea cojuangcoi Nagaraja,

P.

telur

dari

xylostella

Trichogrammatoidea

famili
yakni

armigera

Nagaraja dan Trichogramma flandersi Nagaraja & Nagarkatti. Dari eksplorasi
yang dilakukan di daerah Pangalengan Bandung pada penelitian ini, ternyata
diperoleh satu spesies parasitoid Trichogrammatidae lainnya yang menyerang
telur P. xylostella dan diidentifikasi sebagai Trichogramma chilotraeae Nagaraja
& Nagarkatti. Pemanfaatan parasitoid telur Trichogrammatidae ini dapat menjadi
pilihan karena dapat mengendalikan hama pada fase paling awal sehingga
kerusakan tanaman dapat dicegah sedini mungkin. Parasitoid ini juga dapat
dikembangbiakkan secara massal di laboratorium dengan menggunakan inang
pengganti Corcyra cephalonica Stointon (Lepidoptera: Pyralidae).
Berkenaan dengan tujuan untuk memanfaatkan parasitoid T. chilotraeae ini,
banyak aspek mendasar yang perlu dikaji baik dalam kaitannya dengan kegiatan
pembiakan

massal,

maupun

untuk

mengetahui

berbagai

karakter

yang

berhubungan dengan kemampuan parasitoid ini untuk dapat berperan di lapangan
nantinya. Aspek tentang hubungan inang-parasitoid, kajian biologi reproduksi
untuk pengembangan metode pembiakan massal perlu diperhatikan untuk
mendapatkan parasitoid yang berkualitas tinggi, demikian pula aspek ekologi dan
perilaku reproduksinya.
Hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan selama ini, menunjukkan
bahwa setiap spesies parasitoid Trichogrammatidae atau spesies yang sama tetapi

20
berasal dari populai yang berbeda memiliki ciri-ciri biologi yang berbeda. Faktor
lingkungan, dalam hal ini kepadatan inang dan kepadatan parasitoid (foundres), juga
berpengaruh pada biologi dan perilaku reproduksi yang nantinya akan menentukan
kualitas parasitoid yang dihasilkan. Hasil penelitian Khan et al. (2004) melaporkan
bahwa parasitoid Trichogramma chilonis Ishii dapat merespon kondisi kepadatan
inang dan kepadatan induk parasitoid dan hal ini dapat berpengaruh pada berbagai
indikator kualitas yang diukur.
Jumlah inang dan kepadatan parasitoid akan berpengaruh pada perilaku
reproduksi, dalam hal ini pengaturan alokasi kelamin keturunan yang dihasilkan oleh
induk betina. Studi tentang pengaturan alokasi kelamin keturunan oleh induk
betina sebagai respon terhadap lingkungan dapat dilakukan dengan pengamatan
urutan peletakan telur. Pengamatan ini akan memberikan gambaran mengenai
perilaku reproduksi parasitoid T. chilotraeae ini karena diketahui bahwa setiap
spesies parasitoid Hymenoptera mempunyai strategi peletakan telur yang berbeda.
Wanjberg (1993) melaporkan bawa pada parasitoid Trichogramma brassicae
Bezdenco, akan memulai rangkaian peletakan telur dengan meletakkan keturunan
jantan pada awal-awal peletakan telur. Demikian pula Colazza dan Wajnberg
(1998) melaporkan bahwa urutan peletakan telur parasitoid Trissolcus basalis
(Wollaston) (Hymenoptera: Scelionidae) pada berbagai jumlah inang dalam suatu
paket tidak diletakkan secara acak. Peletakan telur pertama pada semua perlakuan
berbagai jumlah inang selalu jantan (strategi “jantan pertama”),

tetapi bentuk

alokasi kelamin keturunan akan berubah sebagai respon terhadap variasi jumlah
inang.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mempelajari perilaku dan pola peletakan
telur parasitoid T. chilotraeae pada berbagai jumlah inang dan kepadatan
parasitoid ; (2) mempelajari efisiensi pemarasitan pada berbagai kepadatan inang;
dan (3) mempelajari pengaruh kepadatan parasitoid terhadap nisbah kelamin
keturunan.

21
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang perilaku
reproduksi, pola peletakan telur, efisiensi pemarasitan dan pengaruh kepadatan
betina terhadap berbagai indikator yang diukur, nantinya dapat digunakan sebagai
dasar untuk menentukan langkah- langkah pengendalian yang akan dilakukan
terhadap serangga hama sasaran. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan juga
dapat memberikan informasi yang dapat digunakan dalam kaitannya dengan
kegiatan pembiakan massal di laboratorium untuk mendapatkan parasitoid yang
berkualitas.

22
Pengendalian hayati menggunakan parasitoid telur family Trichogrammatidae
untuk mengendalikan berbagai jenis hama, terutama hama dari ordo Lepidoptera
telah banyak dilakukan secara rutin di beberapa negara, penggunaan parasitoid
Trichogrammatidae ini menjadi pilihan karena dapat mengendalikan hama pada
fase paling awal sehingga kerusakan tanaman dapat dicegah sedini mungkin, tidak
meninggalkan residu pada produk pertanian dan terutama aman terhadap
kesehatan manusia. Dilaporkan bahwa sampai saat ini lebih dari 32 juta hektar
lahan pertanian di seluruh dunia menggunakan parasitoid Trichogramma untuk
mengendalikan hama tanaman (Li 1994). Di Indonesia, penggunaan parasitoid
telur ini telah banyak digunakan dan berhasil mengendalikan hama penggerek
tebu, penggerek padi dan penggerek kedelai (Kalshoven 1981), dan saat ini telah
banyak dibiakkan secara massal sebagai teknologi alternatif non pestisida.
Nisbah kelamin keturunan parasitoid Hymenoptera diketahui bervariasi
antar satu spesies dengan spesies lainnya, bahkan dalam satu spesies akan
mempunyai nisbah kelamin keturunan yang berbeda tergantung dari kondisi
lingkungan (Godfray 1994). Hal ini dapat terjadi karena diketahui parasitoid
Hymeoptera mempunyai pola reproduksi haplodiploidi, dimana jantan haploid
berkembang dari telur yang tidak dibuahi dan betina diploid akan berkembang
dari telur yang dibuahi, dan penentuan kelamin keturunan dapat diatur oleh induk
betina berdasarkan keadaan lingkungan, jadi berdasarkan konsep ini maka nisbah
kelamin keturunan dapat menjadi ekstrim bias betina atau bias jantan (Colazza &
Wajnberg 1998).
Penelitian ini akan melihat bagaimana respon betina parasitoid T. chilotreae
pada berbagai kepadatan inang dan kepadatan parasitoid yang diamati melalui
strategi urutan peletakan kelamin keturunan, dan bagaimana pengaruhnya
terhadap berbagai indikator kualitas yang diukur.

23

TINJAUAN PUSTAKA
Parasitoid Telur Trichogrammatidae dalam Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati merupakan suatu strategi pengendalian hama yang saat
ini banyak dikembangkan untuk menggantikan penggunaan pestisida sintetik yang
cenderung menimbulkan dampak negatif seperti resistensi dan resurgensi pada
hama sasaran, munculnya hama sekunder, pencemaran lingkungan dan
pengaruhnya pada kesehatan manusia serta residu pada produk pertanian dan
hewan. Istilah pengendalian hayati pertama kali diartikan sebagai penggunaan
musuh alami untuk mengendalikan hama. Akan tetapi kemudian berkembang dan
diartikan sebagai pengendalian hama tanpa menggunakan senyawa kimia
termasuk teknik pengembangan tanaman yang resisten terhadap hama dan
penyakit, modifikasi kultur teknis, pengaturan waktu tanam, eradikasi, pelepasan
jantan steril atau dengan menggunakan feromon (Wilson & Huffaker 1976).
Sedangkan menurut DeBach (1973),

pengendalian hayati diartikan sebagai

kegiatan parasitoid, predator dan patogen yang memelihara dan menjaga
keseimbangan kepadatan polulasi suatu organisme lain pada suatu tingkat
populasi rata-rata tanpa pengendalian lain.
Salah satu kelompok musuh alami serangga hama yang banyak
dikembangkan adalah parasitoid. Parasitoid umumnya merupakan serangga dari
ordo Hymenoptera, tetapi beberapa spesies parasitoid juga dapat ditemukan pada
Ordo Diptera, Strepsiptera, Coleoptera dan Lepidoptera (Gord et al. 1999). Salah
satu famili dari ordo Hymenoptera yang anggotanya banyak berperan sebagai
parasitoid adalah famili Trichogrammatidae.
Parasitoid famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid yang telah
banyak dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mengendalikan berbagai jenis
hama

karena sifatnya yang generalis. Pemanfaatan parasitoid ini juga sering

menjadi pilihan karena merupakan parasitoid telur yang mengendalikan hama
pada fase paling awal sehingga kerusakan tanaman dapat dicegah sedini mungkin.
Parasitoid ini juga mudah ditangani dan penggunaannya

di lapangan dapat

digabungkan dan kompatibel dengan metode pengendalian lain (Alba 1988)
sehingga dapat mendukung pelaksanaan PHT di lapangan. Parasitoid ini terutama
banyak digunakan untuk menekan hama penting dari ordo Lepidoptera. Beberapa
spesies Trichogramma juga dapat memarasit telur Coleoptera, Diptera,
Heteroptera, Hymenoptera dan Neuroptera (Smith 1996; Knutson 2002).
Dalam Famili Trichogrammatidae terdapat 80 genera dan semuanya
diketahui merupakan parasitoid telur (Pinto & Stouthamer 1994). Dua genera
yang terkenal adalah Trichogramma dan Trichogrammatoidea (Clausen 1940;
Nagarkatti

&

Nagaraja

1977).

Di

Indonesia,

beberapa

parasitoid

Trichogrammatidae yang pernah dilaporkan antara lain: Trichogramma japonicum
Ashmead, Trichogrammatoidea nana Zehnt (Kalshoven 1981), Trichogramma
australicum

Girault

(Nagarkatti

&

Nagaraja

1977;

Kalshoven

1981),

T. chilotraeae, Trichogrammatoidea armigera Nagaraja (Nagarkatti & Nagaraja
1977; Nurindah & Bindra 1989), Trichogrammatoidea guamensis Nagaraja
(Nurindah & Bindra 1989), Trichogramma flandersi dan Trichogrammatoidea
cojuangcoi Nagaraja (Meilin, 1999).
Sejarah penggunaan Trichogramma untuk mengendalikan berbagai jenis
serangga hama telah berlangsung sejak lama. Namun demikian, baru pada tahun
1926 Trichogramma mulai dibiakkan secara massal ketika Flander untuk pertama
kalinya mengembangkan sistem pengembangbiakan massal dengan menggunakan
telur inang pengganti Sitotroga cerealella Oliver (Lepidoptera: Gelechiidae)
(Li 1994). Selama 20 tahun terakhir parasitoid Trichogramma telah digunakan
secara luas terutama untuk mengendalikan hama-hama pada tanaman pangan,
misalnya padi, jagung, gandum dan sorgum; pada tanaman industri seperti tebu,
kapas dan kedelai; serta

sayuran dan buah-buahan (Li 1994). Di Indonesia,

Trichogramma telah digunakan untuk mengendalikan hama pada tanaman kapas,
bit gula, anggur, kubis, apel, tomat dan padi (Smith 1996).

Beberapa hasil

penelitian juga menunjukkan keefektifan penggunaan parasitoid Trichogramma
dan Trichogrammatoidea untuk mengendalikan berbagai jenis hama di lapangan.
Penelitian Ramlan (2001) menunjukkan bahwa tingkat parasitisasi T. armigera
populasi Cianjur sebesar 37,77% dan berhasil menurunkan kerusakan polong
kedelai sebesar 23,27% serta meningkatkan produksi sebesar 70 gr biji kering/10

rumpun tanaman. Hasil penelitian Herlinda et al. (1997) menunjukkan bahwa
Trichogrammatoidea bactrae bactrae Nagaraja berhasil menurunkan kerusakan
polong akibat serangan hama Etiella zinkenella (Treitschke) (Lepidoptera:
Pyralidae) pada tanaman kedelai. Di luar negeri, penggunaan parasitoid
Trichogramma ini telah dilakukan secara komersial pada lebih dari 32 juta hektar
lahan per tahun di Cina, Eropa, Asia, Amerika Selatan, Australia dan Amerika
Serikat (Li 1994). Pada tahun 1972, dilaporkan bahwa di India telah
dikembangkan

T.

pelepasan

armigera

bersama-sama

T.

australicum,

Trichogramma achaeae Nagaraja & Nagarkatti dan Telenomus sp. untuk
mengatasi serangan Helicoverpa armigera Hubn. (Lepidoptera: Noctuidae) pada
berbagai tanaman yang bermanfaat secara ekonomi.

Pengendalian Hayati pada Hama Plutella xylostella
Beberapa agens hayati dilaporkan dapat digunakan untuk mengendalikan
populasi P. xylostella. B. thuringiensis merupakan salah satu mikroba dari
golongan bakteri yang diketahui efektif untuk mengendalikan hama ini.
B. thuringiensis sudah sejak lama diproduksi secara komersial dan dikemas dalam
bentuk formulasi yang mudah diaplikasikan di lapangan (Kfir 2002). Di
Indonesia,

beberapa

petani

di

Cianjur

dan

Bandung

dilaporkan

telah

menggunakan formulasi bioinsektisida B. thuringiensis ini dalam berbagai merek
dagang, antara lain Agrisal WP, Bactospeine WP, Dipel WP dan Thuricide HP
(Rauf et al, 2005). Polyhedral, dan granulosis virus juga dilaporkan pernah
digunakan untuk mengendalikan hama ini. Cendawan Beauveria brongniartii
(Saccardo) telah digunakan di Prancis dan Beauveria bassaiana (Balsamo) dalam
bentuk formulasi komersil Boverin telah digunakan di Amerika (Kfir 2002).
Dari kelompok parasitoid, beberapa spesies parasitoid larva yakni Cotessia
plutella Kurdjumov (Hymenoptera: Braconidae) dan Diadegma mollipla
(Holmgren) (Hymenoptera: Ichneumonidae) telah digunakan secara luas di
pertanaman kubis di Afrika Selatan (Nofemela 2004). Di Kanada bagian barat
dilaporkan

parasitoid

Diadegma

insulare

Cresson

(Hymenoptera:

Ichneumonidae), Microplitis plutellae Muesbeck (Hymenoptera: Braconidae) dan
Diadromus subtilicornis (Gravenhorst) (Hymenoptera: Ichneumonidae) (Street

2000). Di Indonesia, dilaporkan ada satu spesies parasitoid larva yakni D.
semiclausum (Kalshoven 1981).
Akhir-akhir ini, banyak dikaji penggunaan musuh alami parasitoid telur
dari famili Trichogrammatidae yang berpotensi sebagai agens pengendali hayati
yang efektif. Parasitoid telur mempunyai keuntungan dibanding dengan parasitoid
larva, karena menyerang telur hama, sehingga dapat mengendalikan hama pada
fase paling awal sebelum hama merusak tanaman.

Di Indonesia, khususnya di

pulau Jawa telah dilaporkan ada tiga spesies parasitoid Trichogrammatidae yang
diidentifikasi sebagai parasitoid telur P. xylostella

yakni T. flandersi, T.

cojuangcoi, dan T. armigera (Meilin 1999). Sedangkan di luar negeri, beberapa
yang dapat disebutkan antara lain: di Cina Selatan dilaporkan ada 5 spesies
Trichogramma

dan

Trichogrammatoidea

yakni

Trichogramma

confusum

Nagaraja, Trichogrammatoidea bactrae Nagaraja, Trichogramma ostriniae Pang
& Chen, Trichogramma raoi Nagaraja dan Trichogramma bilingensis He & Pang
(Yurong et al. 2003; Huang et al. 2005), di Australia T. bactrae dan
Trichogramma pretiosum Riley (Liu et al. 2004), di Jepang, parasitoid
Trichogramma chilonis Ishii serta di Filipina Trichogramma evanescens
Westwood dan T. armigera (Alba 1988). Miura (2003) melaporkan bahwa
penggunaan T. chilonis mampu mengendalikan P. xylostella dalam rumah kaca
dengan tingkat parasitisasi mencapai 80%.

Klem et al. (1992) melaporkan

terdapat 27 spesies Trichogramma dan Trichogrammatoidea yang memarasit
P. xylostella yang berasal dari USSR, Prancis, Cina, Amerika, Taiwan dan
Thailand, tetapi hanya ada 7 spesies yang memungkinkan untuk dikembangkan
lebih lanjut untuk tujuan pengendalian, yakni; T. bactrae, Trichogramma
principium Sug & Sor, T. pretiosum, Trichogramma leptoparameron Dyurich,
T. chilonis, T. confusum dan T. ostriniae. Menurut laporan Tabone et al. (2003),
terdapat 40 strain Trichogramma yang menyerang hama P. xylostella. Di Amerika
ada 5 spesies Trichogramma yang diproduksi secara komersil yakni T. pretiosum,
T. ostriniae,

T. platneri, T. minutum dan T. brassicae serta satu spesies juga

sedang dikembangkan yakni T. bactrae (Vasquez et al. 1997).

Trichogramma chilotraeae Nagaraja & Nagarkatti dan Sebarannya
Dalam klasifikasi, Trichogramma chilotraeae termasuk dalam famili
Trichogrammatidae, superfamili Chalcidoidea, Ordo Hymenoptera (Borror et al.
1992). Identifikasi Trichogramma dan Trichogrammatoidea

sangat sulit

dilakukan karena keduanya mempunyai perbedaan morfologis yang sangat kecil,
spesies-spesies dari kedua genus tersebut mempunyai sebaran luas dan strain yang
bervariasi. Perbedaan kedua genus tersebut dapat dilihat pada karakter sayap
depan, antena jantan dan genitalia imago jantan (Nagarkatti & Nagaraja 1977;
Alba 1988). Identifikasi spesies di dasarkan pada beberapa karakter dari genitalia
jantan yang sangat khas untuk masing- masing spesies. Untuk melakukan
identifikasi maka sebelumnya harus dilakukan pembuatan preparat mikroskop.
T. chilotraeae

memiliki dorsal expansion gonobase (DEG) kurang lebih

berbentuk segitiga dengan chelat structures (CS) yang besar dan terletak jauh dari
ujung gonoforceps (GF) (Alba 1988).
Informasi penyebaran parasitoid T. chilotraeae di Indonesia sampai saat ini
belum diketahui secara pasti karena terbatasnya eksplorasi dan penelitianpenelitian yang dilakukan. Untuk pulau Jawa, beberapa penelitian menunjukkan
bahwa parasitoid T. chilotraeae dijumpai menyerang telur H. armigera pada
tanama n jagung (Nurindah & Bindra 1989), Chillo suppressalis (Wlk.)
(Lepidoptera: Pyralidae) pada tanaman padi, dan Ostrinia furnacalis (Guenee)
(Lepidoptera: Pyralidae) pada tanaman jagung (Kalshoven 1981), tetapi belum
pernah di laporkan menyerang telur P. xylostella. Di Malaysia, India, Kambodja,
Filipina dan Thailand, parasitoid ini juga dilaporkan menyerang telur hama
C. suppressalis dan O. furnacalis (Suasa 2002)

Alokasi Jenis Kelamin Keturunan pada Trichogrammatidae
Pada umumnya parasitoid Hymenoptera adalah haplodiploid. Jantan haploid
berkembang dari telur yang tidak dibuahi dan betina diploid berkembang dari telur
yang dibuahi. Betina yang tidak berkopulasi akan menghasilkan keturunan yang
semuanya jantan, sementara betina yang telah berkopulasi akan menyimpan
sperma dalam spermateka dan pada saat peletakan telur, betina dapat mengatur
alokasi kelamin keturunan sepanjang peletakan telur berdasarkan kondisi
lingkungan (Godfray 1994; Ode & Hunter 2002).
Strategi dalam mengatur alokasi kelamin keturunan oleh induk betina
dilaporkan mempunyai pola tertentu. Strategi tersebut dilakukan sebagai tanggap
terhadap kondisi lingkungan, dalam hal ini jumlah betina (Wanjberg 1994) atau
kondisi jumlah inang (Colazza & Wajnberg 1998). Pada umumnya, induk betina
meletakkan keturunan jantan pada awal-awal peletakan telur, atau biasa disebut
“strategi jantan pertama”. Penelitian Wanjberg (1993) menunjukkan bahwa pada
jumlah inang tetap, induk betina parasitoid T. brassicae, akan memulai rangkaian
peletakan telur dengan peletakan telur jantan dilakukan pada suatu jarak yang
teratur. Sebaliknya hasil penelitian Tagawa (2000) menjelaskan bahwa pada
parasitoid Cotesia glomerata L. (Hymenoptera: Braconidae) betina yang telah
berkopulasi tidak mempunyai pola kecenderungan untuk meletakkan keturunan
jantan atau betina pada awal ataupun pada akhir rangkaian peletakan telur.
Alokasi jenis kelamin keturunan yang diletakkan oleh induk betina,
tergambar pada suatu pola peletakan telur yang pada akhirnya dapat dilihat pada
nisbah kelamin keturunan. Alokasi keturunan ini meletakkan keturunan jantan
pada awal-awal peletakan telur. Strategi peletakan keturunan jantan pada awalawal peletakan telur juga dilaporkan terjadi pada parasitoid T. basalis (Colazza &
Wajnberg 1998) dan pada parasitoid Telenomus busseolae Gahan (Hymenoptera:
Scelionidae) (Bayram et al. 2004). Pada kedua penelitian ini dilaporkan bahwa
strategi ”jantan pertama” terjadi pada semua perlakuan jumlah inang. Bila jumlah
inang bertambah maka pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor parasitoid dan
faktor inang. Faktor parasitoid yakni kepadatan betina yang mengeksploitasi suatu
patch, sedangkan dari faktor inang dalam hal ini adalah kualitas inang, termasuk
ukuran inang, umur inang, superparasitisme dan jumlah inang. Selain itu,

temperatur yang ekstrim juga akan mempengaruhi perilaku betina (Gordh et al.
1999).
Penelitian tentang alokasi kelamin keturunan karena pengaruh faktor
kepadatan betina yang mengeksploitasi suatu patch, dilakukan dengan melihat
pengaruhnya terhadap nisbah kelamin. Secara teoritikal, faktor kepadatan betina
yang mempengaruhi nisbah kelamin keturunan dapat diprediksi dan dijelaskan
berdasarkan teori alokasi kelamin keturunan. Teori Fisher memprediksi nisbah
kelamin keturunan secara umum yaitu 50 : 50 (Godfray 1994). Kondisi ini dapat
terjadi dengan asumsi setiap betina pada suatu populasi menghasilkan keturunan
betina dan keturunan jantan dengan proporsi yang sama, atau dapat terjadi karena
separuh betina menghasilkan keturunan jantan saja dan separuhnya menghasilkan
keturunan betina saja. Model prediksi nisbah kelamin keturunan berdasarkan
kepadatan parasitoid betina yang akhir-akhir ini banyak dikaji adalah
menggunakan pendekatan teori local mate competition (LMC) yang dikemukakan
oleh Hamilton (1967) yang memprediksi bahwa betina dapat me ngubah alokasi
kelamin keturunan sebagai respon terhadap sibmating dan kepadatannya dalam
suatu patch. Betina dapat memprediksi dan meletakkan lebih banyak telur yang
tidak dibuahi pada kondisi dimana kepadatan betina tinggi. Berdasarkan teori ini
didapatkan model bahwa nisbah kelamin (proporsi jantan)

untuk setiap n

foundres adalah (n – 1)/2n (Hamilton 1967). Persamaan ini selanjutnya
disempurnakan oleh Taylor dan Bulmer (1980) dalam

Collazza dan Wajnberg,

(1998) dengan model persamaan [(n – 1)/2n] [4n -2] / [4n – 1]. Dengan asumsi ini
dapat diprediksi bahwa jika hanya ada satu betina yang mengkolonisasi suatu
kelompok inang, maka nisbah kelamin adalah 0, yang berarti nisbah kelamin
keturunan akan bias betina. Namun dalam kondisi ini parasitoid betina biasanya
akan meletakkan sedikit keturunan jantan yang nantinya dapat membuahi semua
saudaranya. Bila jumlah betina bertambah, maka nisbah kelamin juga akan
semakin tinggi dan diprediksi 50 : 50, dengan asumsi bertambahnya jumlah betina
pada suatu kelompok inang akan menyebabkan terjadinya kompetisi untuk
mendapatkan inang dan masing- masing akan meletakkan sedikit telur. Jika pada
awal peletakan telur, parasitoid betina meletakan telur jantan, maka sebagai akibat
pengurangan jumlah telur yang diletakkan adalah nisbah kelamin menjadi tinggi

(bias jantan). Parasitoid betina mampu mengubah penentuan kelamin keturunan
berdasarkan respon sibmating dan kepadatan betina dalam suatu kelompok.
Wajnberg (1994) melaporkan bahwa pada parasitoid T. brassicae, nisbah kelamin
keturunan akan berbeda bila hanya 1 parasitoid betina yang mengkolonisasi
dengan nisbah kelamin 0,1791, dibandingkan dengan bila ada 2 atau 4 betina,
maka nisbah kelamin meningkat berturut-turut menjadi 0,2525 dan 0,2735.
Prediksi nisbah kelamin menggunakan pendekatan model LMC ini juga
dilaporkan oleh Gauthier et al. (1997) pada parasitoid soliter Dinarmus basalis
Rond. (Hymenoptera: Pteromalidae) dan Debout et al. (2002) pada parasitoid
Leptopilina heterotoma (Hymenopetara: Eucoliidae) menjelaskan bahwa, proporsi
keturunan jantan akan meningkat seiring dengan peningkatan kepadatan induk
betina. Hal yang sama juga ditunjukkan dari hasil penelitian Flanagan et al.
(1998) yang menunjukkan bahwa bila terdapat dua betina parasitoid Nasonia
vitripennis Walker (Hymenopetara: Pteromalidae) pada suatu patch, maka nisbah
kelamin akan berkorelasi negatif dengan jumlah telur yang diletakkan. Jumlah
telur yang diletakkan semakin sedikit seiring bertambahnya kepadatan betina. Hal
lain yang juga dijelaskan adalah bahwa dalam suatu kondisi kepadatan betina
yang sedikit (2 betina) maka nisbah kelamin yang dihasilkan berkorelasi positif
dengan ukuran tubuh betina lainnya pada suatu patch. Betina yang mempunyai
ukuran tubuh lebih besar akan meletakkan telur lebih banyak dan akibatnya akan
menyebabkan nisbah keturunan menjadi bias betina.
Terjadinya superparasitisme merupakan pendekatan lain yang dapat
menjelaskan kenapa nisbah kelamin akan meningkat bila kepadatan betina pada
suatu patch bertambah. Bila kepadatan betina meningkat sedangkan jumlah inang
tetap, maka ketersediaan inang menjadi terbatas, pada keadaan ini dapat terjadi
superparasitisme. Bila terjadi superparasitisme pada satu inang, biasanya imago
yang berhasil hidup adalah imago jantan (Werren 1984; Godfray 1994; Gauthier
et al. 1997).
Ukuran inang mempengaruhi alokasi kelamin keturunan. Teori ini
pertamakali dikemukakan oleh Charnov yang menyatakan bahwa jika sejumlah
inang yang dipaparkan pada parasitoid betina mempunyai ukuran yang tidak
sama, umumnya parasitoid akan meletakkan keturunan betina pada inang yang

relatif lebih besar dan keturunan jantan pada inang yang relatif lebih kecil
(Godfray 1994). Teori ini telah dibuktikan pada beberapa parasitoid Hymenoptera.
Bernal et al. (1999) melaporkan bahwa ukuran inang berpengaruh nyata terhadap
nisbah kelamin keturunan yang dihasilkan parasitoid betina Metaphycus stanleyi
Compere dan M. flavus Howard (Hymenoptera: Encyrtidae). Ode dan Heinz
(2002) juga melaporkan bahwa keturunan betina pada parasitoid Dyglyphus isaeae
Walker (Hymenoptera: Eulophidae) akan muncul dari inang yang relatif lebih
besar dan keturunan jantan akan muncul dari inang yang relatif lebih kecil. Hal
yang sama juga dilaporkan oleh Mayhew dan Godfray (1997) pada prasitoid
Laelus pedatus Say. (Hymenoptera: Bethylidae), yang merupakan parasitoid yang
dapat meletakkan satu sampai lima telur pada satu inang. Bila hanya meletakkan
satu keturunan, keturunan jantan akan diletakkan pada inang berukuran kecil,
sementara keturunan betina diletakkan pada inang berukuran besar. Bila
meletakkan lebih dari satu telur pada satu inang maka pada inang yang besar akan
diletakkan satu telur jantan dan satu atau lebih telur betina.
Faktor umur inang akan mempengaruhi penerimaan dan kesesuaian inang
bagi perkembangan parasitoid dan akhirnya mempengaruhi kebugaran parasitoid.
Pada umumnya, parasitoid menyukai telur yang masih muda, karena kemungkinan
larva parasitoid lebih mudah mencerna kuning telur dibandingkan bila inang
sudah akan menjadi larva (Godfray 1994). Hasil penelitian Ruberson dan Kring
(1993) menunjukkan bahwa umur inang sangat berpengaruh terhadap penerimaan
dan kesesuaian pada parasitoid T. pretiosum. Waktu perkembangan dan daya
hidup parasitoid menurun pada inang yang berumur 62 jam dibanding inang yang
berumur 38 jam atau 14 jam. Akan tetapi hal berbeda ditunjukkan dari hasil
penelitian Reznik et al. (1997) yang menjelaskan bahwa penerimaan inang pada
parasitoid T. principium tidak hanya dipengaruhi oleh umur inang yang saat itu
diberikan, tetapi juga bergantung pada inang yang didapatkan sebelumnya. Inang
yang berumur lebih tua dapat diterima bila sebelumnya parasitoid betina telah
melakukan peletakan telur pada inang yang umurnya lebih muda.

Sementara itu

Godin dan Boivin (2000) menjelaskan bahwa pengaruh umur inang terhadap
penerimaan beberapa parasitoid Trichogramma dan Trichogrammatoidea juga
sangat tergantung dari spesies inangnya. Nisbah kelamin tidak berbeda diantara

perlakuan umur inang pada inang Trichoplusia ni Hubner (Lepidoptera:
Noctuidae) dan Pieris rapae L (Lepidoptera: Pieridae), sementara pada inang P.
xylostella umur inang berpengaruh pada nisbah kelamin.
Pengaruh jumlah inang yang tersedia pada satu kelompok juga diketahui
dapat mempengaruhi nisbah kelamin keturunan. Colazza dan Wajnberg (1998)
melaporkan bahwa nisbah kelamin keturunan yang dihasilkan parasitoid betina
T. basalis secara signifikan berbeda nyata pada jumlah inang yang berbeda.
Nisbah kelamin (proporsi jantan) semakin menurun seiring bertambahnya jumlah
inang. Percobaan dilakukan dengan menempatkan satu parasitoid betina untuk
memarasit sekelompok telur inang dalam jumlah yang berbeda yakni; 4, 8, 16, 32,
64 dan 128. Dari percobaan tersebut dilaporkan bahwa nisbah kelamin keturunan
yang didapatkan adalah 0,405 pada jumlah telur inang 4 dan menurun menjadi
0,087 untuk jumlah telur inang 32. Akan tetapi, nisbah kelamin kembali
meningkat pada kelompok telur 64 dan 128 yakni masing- masing 0,129 dan
0,168. Menurut Godfray (1994), bila jumlah inang berlebihan maka seiring
dengan waktu nisbah kelamin akan bias jantan karena berkurangnya sperma. Hal
yang sama juga dilaporkan oleh Bayram et al. (2004) mengemukakan bahwa pada
parasitoid T. busseolae, nisbah kelamin akan menurun pada perlakuan jumlah
inang 4, 8, 16 dan 32 dan cenderung meningkat pada perlakuan 64 dan 128 inang.
Meski demikian, secara statistik nisbah kelamin pada perlakuan 8 inang tidak
berbeda nyata dengan perlakuan 16, 32, 64 dan 128 inang.

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2005 sampai dengan Maret 2006
bertempat di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Persiapan Penelitian
Koleksi dan Perbanyakan Parasitoid
Parasitoid T. chilotraeae yang digunakan pada penelitian ini berasal dari
areal pertanaman kubis di daerah Pangalengan Bandung. Koleksi parasitoid
dilakukan dengan cara mengumpulkan kelompok-kelompok telur P. xylostella
yang ada pada daun kubis dengan menggunakan tangan (hand collection method).
Telur yang terkumpul dibawa ke laboratorium dan diinkubasikan sampai
parasitoid muncul dari telur yang terparasit. Parasitoid tersebut kemudian
dikembangbiakkan pada telur inang pengganti C. cephalonica. Parasitoid dari
perbanyakan ini kemudian diidentifikasi dan dibiakkan lebih lanjut sebagai bahan
penelitian.
Perbanyakan parasitoid dilakukan dengan cara menempelkan telur inang
pengganti C. cephalonica menggunakan gom arabik pada suatu pias (potongan
karton yang berukuran 1 x 4 cm). Telur inang pada pias kemudian didinginkan di
dalam freezer selama 2 jam dengan tujuan untuk membunuh embrio dalam telur.
Telur inang selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung reaksi untuk dipaparkan
pada parasitoid. Parasitoid yang digunakan pada penelitian ini adalah keturunan
F6 – F33.

Perbanyakan Serangga Inang Corcyra cephalonica
Perbanyakan C. cephalonica dimaksudkan untuk mendapatkan telur yang
akan digunakan sebagai inang pengganti untuk perbanyakan parasitoid dan inang
untuk percobaan. Perbanyakan C. cephalonica mengacu pada Herlinda (1995),
dimana imago jantan dan betina C. cephalonica yang didapat dari gudang pakan,
dimasukkan dalam kotak peneluran yang berbentuk silinder dan terbuat dari

52
karton dengan diameter 8 cm dan tinggi 20 cm dengan bagian atas dan bawah
yang ditutup dengan kawat kasa 25 mesh sebagai tempat bertelur C. cephalonica.
Selang satu hari, telur-telur yang menempel pada kawat kasa dipanen dengan
menggunakan kuas dan ditempatkan pada cawan petri. Sebagian telur digunakan
untuk perbanyakan C. cephalonica itu sendiri dengan cara menaburkan telur pada
kotak perbanyakan yang berisi media campuran pakan ayam dan dedak dengan
ketebalan sekitar 3 cm dan sebagian lainnya digunakan untuk inang perbanyakan
parasitoid dan inang pada pelaksanaan percobaan.

Pelaksanaan Penelitian
Identifikasi Parasitoid
Parasitoid

Trichogrammatidae

yang

diperoleh

dari

lapangan

dikembangbiakkan di laboratorium, selanjutnya diidentifikasi secara morfologi
untuk menentukan genus dan spesies. Identifikasi didasarkan pada ciri-ciri sayap
depan, sayap belakang, antena dan genitalia jantan berdasarkan kunci identifikasi
Nagarkatti dan Nagaraja (1977), Alba (1988) dan Nurindah (2002).
Indentifikasi dilakukan dengan cara menyiapkan spesimen imago jantan
parastoid. Untuk melihat morfologi luar parasitoid, dibuat dalam bentuk preparat
sementara yaitu spesimen langsung ditata pada gelas obyek yang sebelumnya
ditetesi larutan larutan Hoyer dan ditutup dengan gelas penutup. Sedangkan untuk
melihat alat genitalia, spesimen parasitoid disiapkan dalam bentuk preparat
permanen dengan cara dilakukan penjernihan terlebih dahulu. Dalam proses
penjernihan, imago jantan ditempatkan dalam tabung reaksi yang diberi larutan
KOH 10% kemudian direbus dalam air selama ± 1 jam. Setelah jernih, dilakukan
penataan parasitoid di atas gelas obyek yang sebelumnya ditetesi larutan Hoyer
dan ditutup dengan gelas penutup. Preparat kemudian dipanaskan pada hot plate
selama beberapa hari kemudian diamati di bawah mikroskop Olympus BX 50
yang dilengkapi kamera untuk di foto.

53
Pola Urutan Peletakan Telur
Parasitoid yang digunakan pada percobaan ini adalah parasitoid yang telah
berumur 1 hari dan diperkirakan sudah berkopulasi serta telah diberi makan cairan
madu 10%. Parasitoid ditempatkan pada tabung reaksi sesuai dengan perlakuan
kepadatan parasitoid, yakni satu dan dua parasitoid. Sementara itu, pias ditempeli
telur inang dengan cara merekatkan telur satu per satu dan disusun dalam barisanbarisan dimana jumlahnya disesuaikan dengan perlakuan, yakni 3, 6, 12, 24 dan
48 telur tiap pias. Pias kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah
berisi parasitoid dan selanjutnya diamati di bawah mikroskop.

Dokumen yang terkait

Biologi, Perilaku Peletakan Telur dan Superparasitisme Parasitoid Diadegma eucerophage Horstmann (Hymenoptera : Ichneumonidae) Pada Larva Plutella xylostella Linnaeus (Lepidoptera : Yponomeutidae)

0 5 81

Neraca kehidupan parasitoid telur Trichogrammatoidea armigera Nagaraja Hymenoptera:Trichogrammatidae) pada beberapa suhu yang berbeda

0 12 72

Pembiakan Parasitoid Telur Trichogrammatoidea spp. (Hymenoptera:Trichogrammatidae) Selama 100 Generasi : Implikaslnya Terhadap Preferensi Dan Kebugaran Parasitoid Pada Lima Jenis Inang

0 9 72

Tanggap fungsional parasitoid telur trichogramma protiosum riley terhadap telur inang Corcyra cephalonica stainton pada pertanaman kedelai

2 23 59

Perilaku, Pola Peletakan Telur dan Efisiensi Pemarasitan Parasitoid Trichogramma chilotraeae Nagaraja & Nagarkatti (Hymenoptera: Trichogrammatidae) pada Berbagai Jumlah Inang dan Kepadatan Parasitoid

1 10 146

Neraca kehidupan parasitoid telur Trichogrammatoidea armigera Nagaraja Hymenoptera Trichogrammatidae) pada beberapa suhu yang berbeda

0 3 62

Implikasi faktor geografis, lama generasi dan jumlah betina awal terhadap kualitas parasitoid Trichogrammatoidea cojuungcoi Nagaraja

0 3 87

4. Kapasitas Reproduksi Hidup dan Perilaku Pencarian Inang Tiga Parasitoid Liriomyza sativae

1 2 5

JUMLAH INANG DAN KEPADATAN PARASITOID: PENGARUHNYA TERHADAP PERILAKU SELFSUPERPARASITISM PARASITOID Trichogramma chilotraeae NAGARAJA & NAGARKATTI (HYMENOPTERA: TRICHOGRAMMATIDAE) | Hasriyanty | Agroland 155 534 1 PB

0 0 6

POTENSI PARASITOID TELUR

0 0 8