Analisis kesesuaian lahan dan pengembangan kawasan perikanan budidaya di wilayah pesisir kabupaten Kutai Timur

(1)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DAN

PENGEMBANGAN KAWASAN PERIKANAN BUDIDAYA

DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN KUTAI TIMUR

NIRMALASARI IDHA WIJAYA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kesesuaian Lahan dan Pengembangan Kawasan Perikanan Budidaya di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2007

Nirmalasari Idha Wijaya NRP C251050041


(3)

ABSTRAK

NIRMALASARI IDHA WIJAYA. Analisis Kesesuaian Lahan dan Pengem-bangan Kawasan Perikanan Budidaya di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur. Dibimbing oleh SANTOSO RAHARDJO dan GATOT YULIANTO.

Posisi pengembangan Kabupaten Kutai Timur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) termasuk dalam Kawasan Andalan Laut (KADAL) Bontang dan sekitarnya dengan sektor unggulan perikanan, pertambangan, dan pariwisata. Namun kenyataannya, saat ini belum ada kebijakan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur dalam bentuk arahan tata ruang untuk pengembangan perikanan budidaya di pesisir.

Penelitian ini bertujuan untuk: menganalisis kesesuaian lahan wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur untuk budidaya tambak, budidaya karamba jaring tancap, dan budidaya rumput laut; menilai kelayakan finansial pengembangan perikanan budidaya; mengidentifikasi faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang mempengaruhi pengembangan kawasan perikanan budidaya; merumuskan strategi pengembangan kawasan perikanan budidaya.

Metode yang digunakan adalah: analisis data spasial dengan metode SIG, analisis konflik pemanfaatan lahan dengan Proses Hierarki Analitik (PHA), analisis kelayakan usaha, analisis Location Quotient, dan analisis SWOT untuk menentukan strategi pengembangan kawasan perikanan budidaya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas kesesuaian lahan berdasarkan peta komposit adalah untuk karamba jaring tancap seluas 1.204,77 ha, untuk rumput laut seluas 9.509,71 ha, dan untuk tambak 9.726,79ha. Namun tidak semua potensi ini dapat dimanfaatkan semua untuk budidaya karena sifat pesisir yang terbuka (open acces). Berdasarkan pertimbangan pemanfaatan oleh sektor-sektor lain di pesisir Kabupaten Kutai Timur, maka luas efektif lahan perairan dan daratan pesisir untuk budidaya yaitu: budidaya karamba jaring tancap 411,13 ha; budidaya rumput laut long line 3.246,62 ha; dan budidaya tambak 3.913,47 ha.

Prioritas pemanfaatan lahan berdasarkan hasil pembobotan PHA berturut-turut adalah untuk budidaya karamba (0,432), budidaya rumput laut (0,427), dan tambak (0,119). Pengembangan perikanan budidaya yang sesuai di Kecamatan Sangatta adalah tambak dan rumput laut, di Kecamatan Bengalon adalah tambak, di Kecamatan Kaliorang adalah karamba dan rumput laut, di Kecamatan Sandaran sesuai untuk rumput laut, dan di Kecamatan Sangkulirang sesuai untuk tambak, rumput laut dan karamba. Kecamatan Sangkulirang dapat dijadikan pusat pengembangan perikanan budidaya karena memiliki potensi kesesuaian lahan yang paling luas.


(4)

ABSTRACT

NIRMALASARI IDHA WIJAYA. Land Suitability and Aquaculture Zone Development in Coastal Area of Kutai Timur District. Under the direction of SANTOSO RAHARDJO dan GATOT YULIANTO.

The objectives of this study were: to analyze coastal area land suitability of Kutai Timur District for brackishwater ponds, fixed net cage and long line seaweeds; to find out financial feasibility of aquaculture development; to identify strength, weakness, opportunity, and threat factors; to formulate strategy for aquaculture zone development.

The methods used were: spatial analysis using GIS method, seascape conflict utilization using analytical hierarchy process, financial feasibility analysis, Location Quotient analysis, and SWOT analysis to formulate strategies for aquaculture development zone.

The results of this study shows that the suitable area for fixed net cage are 1.204,77 ha, for long line seaweeds are 9.509,71 ha, and for brackishwater ponds aquaculture are 9.726,79 ha. Based on exploiting consideration by other sectors in coastal area of Kutai Timur District, effectively wide of coastal area for aquaculture is: fixed net cage are 411,13 ha; long line seaweeds are 3.246,62 ha; and brackishwater ponds aquaculture are 3.913,47 ha.

Seascapes utilization priority resulted from analytical hierarchy process scoring shows the priority sequence as the following: fixed net cage (0,432), long line seaweed (0,427), and brackishwater ponds aquaculture (0,119). Based on these analysis, the recommendation for aquaculture development zone are: brackishwater ponds and long line seaweeds for Sangatta Subdistrict, brackishwater ponds for Bengalon Subdistrict, long line seaweeds and fixed net cages aquaculture for Kaliorang Subdistrict, long line seaweeds for Sandaran Subdistrict, and brackishwater ponds, fixed net cages aquaculture and long line seaweeds for Sangkulirang Subdistrict. Sangkulirang Subdistrict can be increased to aquaculture development nodal area because owning widest highly suitable area.


(5)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya


(6)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DAN

PENGEMBANGAN KAWASAN PERIKANAN BUDIDAYA

DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN KUTAI TIMUR

NIRMALASARI IDHA WIJAYA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007


(7)

Judul Tesis : Analisis Kesesuaian Lahan dan Pengembangan Kawasan Perikanan Budidaya di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur

Nama : Nirmalasari Idha Wijaya

N R P : C251050041

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc. Ir. Gatot Yulianto, M.Si. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Manajemen Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur kita panjatkan kehadiran ALLAH SWT, karena atas rahmat dan karunia-NYA penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Hal yang melatarbelakangi pemilihan judul tesis: Analisis Kesesuaian Lahan dan Pengembangan Kawasan Perikanan Budidaya di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur ini adalah: Pertama, penulis yang berdomisili dan diperbantukan sebagai Dosen Kopertis di Sekolah Tinggi Pertanian di Kabupaten Kutai Timur, melihat sebuah tantangan yang besar untuk memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir yang demikian besar agar dapat menjadi sektor kedua setelah pertambangan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir di Kabupaten Kutai Timur. Kedua, pengembangan perikanan budidaya pesisir ini sejalan dengan Program Daerah GERDABANGAGRI (Gerakan Daerah Pembangunan Agribisnis) yang dicanangkan oleh Bupati Kutai Timur, Bapak Drs. Awang Farouk Ishak, MM, M.Si., sejak tahun 2001 yang lalu, dan penulis merupakan salah satu dari Sarjana Penggerak Pembangunan Agribisnis (SP2AB) pada program tersebut.

Tantangan dan dorongan itulah yang memicu penulis untuk lebih mengenali dan mendalami permasalahannya. Mudah-mudahan tesis ini dapat menjadi jawaban dan tidak hanya sekedar menjadi sebuah kajian ilmiah yang berada di “awang-awang”, tidak dapat dioperasionalkan atau hanya menjadi sebuah rekomendasi yang tidak memberi manfaat pada rakyat setempat.

Melalui tulisan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bpk Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Bpk Ir. Gatot Yulianto, M.Si. sebagai anggota komisi pembimbing, para pejabat di Kabupaten Kutai Timur, rekan-rekan se-almamater program studi SPL, dan teristimewa kepada suami dan anak-anakku yang tercinta, yang dengan segala kasih sayang, doa, dan pengertiannya telah mendukung penulis untuk menyelesaikan karya ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada para penyandang dana yaitu BPPS-Dikti dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur.

Semoga bimbingan, bantuan dan kerjasama tersebut membuahkan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat dan dapat membuat masyarakat di pesisir Kabupaten Kutai Timur hidup lebih sejahtera dan damai.

Bogor, April 2007 Nirmalasari Idha Wijaya


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 Januari 1973, merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari Ayahanda Achyani dan Ibunda Sri Muljati (Alm-ah).

Pendidikan SD, SMP dan SMA penulis selesaikan di Pati, selanjutnya pada tahun 1991 penulis diterima di Program Studi Perikanan pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan lulus pada tahun 1996. Penulis pernah bekerja sebagai Sarjana Penggerak Pembangunan Agribisnis (SP2AB) di Kab. Kutai Timur pada tahun 2001, dan kemudian menjadi Dosen di Sekolah Tinggi Pertanian (STIPER) Kutai Timur sampai sekarang, dengan jabatan sebagai Ketua Jurusan Ilmu Kelautan. Selama menjadi Dosen, penulis pernah diangkat sebagai Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kab. Kutai Timur sebagai utusan dari perguruan tinggi dari tahun 2003-2005.

Pada tahun 2005 mengikuti pendidikan S2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Sekolah Pascasarjana IPB, dengan beasiswa dari BPPS Dikti. Penulis menikah dengan Subari, seorang PNS pada Dinas Pendidikan Kutai Timur, dan dikaruniai 3 orang putra dan 1 putri yaitu Dewangga Farros Haidar, Dzakia Nadaa Qonita, Taufik Hilmi Muzaffar, dan Wahid Aqil Lutfiannur.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR... ... xi

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

PENDAHULUAN Latar Belakang... 1

Identifikasi dan Perumusan Masalah... 4

Tujuan Penelitian... 4

Manfaat Penelitian... 4

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Ruang, Wilayah, dan Kawasan ... 5

Pengembangan Kawasan ... 5

Sistem Teknologi Akuakultur... 9

Perikanan budidaya di Wilayah Pesisir dan Laut ... 10

Budidaya Tambak di Wilayah Pesisir ... 13

Sistem Informasi dan Analisis Geografis ... 16

Proses Hierarki Analitik/PHA ... 19

Analisis SWOT ... 21

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian... 26

Kerangka Pendekatan Studi ... 28

Teknik Pengumpulan Data... 29

Teknik Pengambilan Responden ... 29

Teknik Analisis Data ……….. 31

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN... 45

HASIL DAN PEMBAHASAN Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak ……….. 58

Kesesuaian Lahan Budidaya Karamba Jaring Tancap ………….…. 64

Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Sistem Long Line …… 68

Identifikasi Keterlibatan dan Peran Stakeholders ... 72

Proses Hierarki Analitik untuk Konflik Pemanfaatan Lahan ... 75

Peta Komposit Kesesuaian Lahan ... 81

Pengembangan Perikanan budidaya di Wilayah Kecamatan ……. 83

Luas Efektif Lahan untuk Budidaya ... 88

Kelayakan Usaha Pengembangan Perikanan Budidaya ………….. 90

Proyeksi Peningkatan Pendapatan 94 Unsur-unsur Strategis SWOT ……….……….…… 95

Strategi Pengembangan Perikanan Budidaya ………….…………. 102

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 109

Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 111


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Wilayah Administrasi di Lokasi Penelitian... 26 2. Kerangka Pendekatan Studi …………... 28 3. Alur Kerja Analisa Spasial untuk Kesesuaian Lahan ... 32 4. Diagram Hierarki Analisis Arahan Pengembangan Kawasan Budidaya... 38 5. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak ... 62 6. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Karamba Jaring Tancap .......... 67 7. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut sistem Long Line ... 71 8. Peta Komposit Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak, Karamba, dan

Rumput Laut……….

82 9. Peta Zonasi Pengembangan Perikanan Budidaya di Wilayah Pesisir

Kabupaten Kutai Timur……….


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jenis dan Sumber Data yang Dibutuhkan dalam Analisis Kesesuaian

Lahan dan Arahan Pengembangan Kawasan Perikanan Budidaya ……. 30

2. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Tambak ... 34

3. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Karamba Jaring Tancap ... 35

4. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Rumput Laut Long Line 35 5. External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) ... 42

6. Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) ... 43

7. Model Matriks TOWS Hasil Analisis SWOT ………. 44

8. Wilayah Kabupaten Kutai Timur Per Kecamatan ………. 46

9. Jumlah Rumah Tangga Perikanan menurut Jenis Kegiatan ... 55

10. Penyebaran, Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Penduduk kecamatan pantai, di Kabupaten Kutai Timur Tahun 2000-2004 ... 56

11. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Tambak ... 61

12. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Karamba ... 65

13. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Rumput Laut ... 70

14. Stakeholder yang Terkait dengan Kegiatan Perikanan ... 72

15. Matriks Analisa Pengaruh Stakeholders ……… 73

16. Matriks Prioritas Kriteria dalam Mencapai Tujuan Pengembangan Perikanan Budidaya di Pesisir Kabupaten Kutai Timur ... 76 17. Matriks Prioritas Kriteria Ekonomi ... 78

18. Matriks Prioritas Kriteria Penurunan Konflik ... 78

19. Matriks Prioritas Kriteria Pelestarian Sumberdaya Alam Lingkungan .. 79

20. Bobot dan Prioritas Kegiatan Budidaya untuk Pengembangan Perikanan ... 80

21. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Tambak, Karamba dan Rumput Laut Berdasarkan Peta Komposit ... 83

22. Nilai LQ Kecamatan Pantai di Pesisir Kabupaten Kutai Timur ……… 84

23. Luas Kesesuaian Lahan Perikanan budidaya di Pesisir Kecamatan Pantai Kabupaten Kutai Timur ………. 84

24. Matrik Arahan Pengembangan Perikanan budidaya Pesisir di Kecamatan Pantai Kabupaten Kutai Timur ……….. 88

25. Luas Efektif Lahan Budidaya dan Jumlah Unit Budidaya ... 90

26. Analisis Kelayakan Usaha Perikanan Budidaya Pesisir ……….. 92

27. Hasil External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) ... 102

28. Hasil Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) ... 103

29. Matriks TOWS Strategi Pengembangan Kawasan Perikanan Budidaya 104 30. Prioritas Strategi Pengembangan Kawasan Perikanan Budidaya ... 105


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Pengamatan Hidro-oseanografi ……….. 116

2. Bobot dan Prioritas Alternatif Kegiatan Perikanan untuk Pengembangan Kawasan Pesisir Kabupaten Kutai Timur ………….. 117

3. Nilai Produksi Perikanan Budidaya Pantai Menurut Kecamatan, 2005 118 4. PDRB Kab. Kutai Timur atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2005 ... 119

5. Distribusi Persentase PDRB Kab. Kutai Timur atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2005 ... 120

6. Rincian Anggaran Biaya Budidaya Tambak Udang Tradisional…… 121

7. Cash Flow Analisis Usaha Tambak Udang Tradisional ……….. 122

8. Rincian Anggaran Biaya Budidaya Rumput Laut Long Line ………. 123

9. Cash Flow Analisis Usaha Budidaya Rumput Laut Long Line ……... 124

10. Rincian Anggaran Biaya Budidaya Kerapu Karamba Jaring Tancap.. 125

11. Cash Flow Analisis Usaha Budidaya Kerapu sistem Karamba Tancap 126 12. Perhitungan Luas Efektif Lahan Perairan ……… 127

13. Kuisioner SWOT ……… 128

14. Kuisioner Data Non Government Stakeholder ……… 131

15. Kuisioner Data Goverment Stakeholder ………. 135

16. Kuisioner Proses Hierarki Analisis (PHA) ……….. 139

17. Peta-peta Tematik ……….. 141


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 (Dahuri et al, 2001), sedangkan Kabupaten Kutai Timur sendiri memiliki garis pantai sepanjang 152 km (Bappeda Kutim, 2004). Dengan kekayaan laut sebesar ini selayaknya Indonesia menjadikan bidang kelautan sebagai tumpuan dalam pembangunan ekonomi nasional. Namun kenyataannya selama ini pembangunan perikanan dan kelautan, termasuk pemberdayaan masyarakat pesisir, selalu diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sectoral) dalam pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi masih dititikberatkan pada pembangunan di daratan (up land) yang terkadang melupakan dampaknya bagi wilayah pesisir. Kondisi ini masih ditambah lagi dengan karakteristik pesisir yang multiganda (multi use) dalam penggunaannya, sehingga konflik kepentingan menjadi tidak dapat dihindarkan. Kabupaten Kutai Timur sebagaimana umumnya daerah pesisir yang lain tidak terlepas dari kondisi tersebut.

Kabupaten Kutai Timur merupakan salah satu wilayah hasil pemekaran dari Kabupaten Kutai berdasarkan UU no. 47 tahun 1999, tentang pemekaran wilayah propinsi dan kabupaten, dan diresmikan oleh Mendagri pada tanggal 28 Oktober 1999. Sebagai kabupaten yang baru terbentuk, Kabupaten Kutai Timur memiliki banyak sumberdaya alam yang belum dimanfaatkan baik di darat maupun di laut. Sumberdaya yang terdapat di daratan antara lain pertambangan batu bara dan minyak bumi, hutan hujan tropis, termasuk hutan lindung Taman Nasional Kutai.

Sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir dan laut Kabupaten Kutai Timur antara lain ekosistem mangrove, ekosistem estuaria, ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem pantai berpasir. Ekosistem-ekosistem tersebut masing-masing memiliki fungsi ekologis yang sangat penting, serta kekayaan biota yang tinggi dan produktif. Garis pantai Kabupaten Kutai Timur sepanjang 152 km, dan berdasarkan pada UU No 22


(15)

Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Pasal 3 dan 10, maka sejauh 4 mil dari garis pantai tersebut pengelolaannya merupakan kewenangan Pemda Kutai Timur. Perubahan status dari kecamatan menjadi kabupaten menyebabkan perkembangan penduduk sangat pesat di daerah ini. Perkembangan penduduk ini pada akhirnya mendorong pembangunan wilayah yang juga semakin pesat. Pembangunan wilayah yang pesat ini, bila tidak didukung dengan perencanaan yang tepat, dikhawatirkan akan merusak kelestarian sumberdaya alam.

Sektor budidaya perikanan pesisir, saat ini merupakan sektor yang belum berkembang di Kabupaten Kutai Timur. Namun hal ini bukan berarti kawasan pesisir dan laut Kabupaten Kutai Timur tidak memiliki potensi yang dapat mendukung pengembangan budidaya perikanan pesisir. Garis pantai sepanjang ± 152 km dengan ekosistem pesisir yang kaya merupakan modal yang besar untuk budidaya perikanan pesisir.

Berdasarkan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kutai Timur atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha Tahun 2000- 2005 (Lampiran 4), struktur ekonomi di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur saat ini didominasi oleh sektor pertambangan batu bara, yakni adanya PT Kaltim Prima Coal dan pertambangan minyak bumi oleh PT Pertamina, dengan angka PDRB sebesar Rp. 10.157.143.080.000,00 (82,36 % dari total PDRB tahun 2005). Sementara itu sektor perikanan mempunyai nilai PDRB hanya sebesar Rp. 89.747.690.000,00 (0,73 % dari total PDRB tahun 2005).

Permasalahan umum yang merupakan kendala dalam berkembangnya perikanan budidaya tersebut antara lain karena kebijakan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur dalam bentuk arahan tata ruang untuk pengembangan budidaya perikanan pesisir yang belum partisipatif. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) posisi Kabupaten Kutai Timur dalam pengembangannya termasuk dalam Kawasan Andalan Laut (KADAL) Bontang dan sekitarnya dengan sektor unggulan perikanan, pertambangan, dan pariwisata. Namun pembangunan daerah selama ini masih dititikberatkan pada sektor pertambangan.

Pemanfaatan sumberdaya perairan laut di kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur selama ini dilakukan tanpa perencanaan dan pengawasan yang baik,


(16)

seperti aktivitas tangkap lebih pada beberapa kawasan, penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan bahan kimia, konversi hutan mangrove menjadi tambak dan lain-lain. Salah satu bukti lain pengelolaan dan pengaturan pemanfaatan perairan laut di kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur belum dilakukan secara baik dan benar yaitu timbulnya berbagai konflik pemanfaatan ruang seperti antara kapal-kapal pengangkut batubara dengan petani budidaya karamba tancap, antara kegiatan budidaya rumput laut dengan aktivitas lalu lintas kapal-kapal nelayan, serta antara pemanfaatan hutan mangrove untuk tambak oleh penduduk dengan pengelola Taman Nasional Kutai (TNK). Untuk mengatasi konflik pemanfaatan ruang tersebut perlu disusun suatu rencana tata ruang yang menyeluruh dan terpadu bagi semua sektor yang terkait dengan wilayah pesisir. Dengan adanya penataan ruang ini diharapkan setiap sektor yang ada akan lebih terjamin keberlanjutan usahanya, termasuk sektor perikanan budidaya.

Perikanan budidaya, terutama budidaya yang berbasis pada perairan (water-based aquaculture), merupakan sistem yang terbuka, dimana interaksi antara unit budidaya dengan lingkungan perairan berlangsung hampir tanpa pembatasan. Selain itu sistem water-based aquaculture umumnya dilakukan di perairan umum (open acces) yang bersifat multi fungsi, sehingga bisa terkena dampak pencemaran atau menjadi salah satu sumber pencemaran lingkungan (agen pencemar). Keberhasilan perikanan budidaya sangat tergantung pada kondisi kualitas air, sedangkan air merupakan media yang sangat dinamis dan mudah terpengaruh dampak pencemaran dari lingkungan di sekitarnya, baik eksternal maupun internal. Oleh karena itu penzonasian wilayah perikanan budidaya dalam penataan ruang diharapkan dapat menghindarkan sektor budidaya dari sektor lain yang tidak berkesesuaian, sehingga pengembangan budidaya dapat menguntungkan dan berkelanjutan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka hal penting yang diperlukan adalah adanya identifikasi potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang mendukung kegiatan budidaya perikanan. Selain itu diperlukan suatu pengelolaan pesisir secara menyeluruh yang mencakup penyusunan zonasi dan arahan pengembangan kegiatan budidaya perikanan pesisir berdasarkan dengan kesesuaian lahannya dalam rencana tata ruang, sehingga diharapkan dapat


(17)

terlaksana pembangunan wilayah pesisir yang menguntungkan dan berkelanjutan, dengan memperhatikan fungsi preservasi, konservasi dan fungsi pemanfaatannya. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam pengembangan perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan di Kabupaten Kutai Timur yang dapat mendukung kegiatan perikanan budidaya belum diidentifikasi. 2. Belum ada zonasi untuk perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten

Kutai Timur.

3. Faktor-faktor strategis yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur untuk kegiatan perikanan budidaya belum diidentifikasi.

4. Kebijakan yang dilakukan untuk mengarahkan pengembangan perikanan budidaya di kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur belum disusun secara terpadu dan berkelanjutan sesuai dengan peruntukan lahan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis kesesuaian lahan wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur untuk budidaya tambak, budidaya karamba, dan budidaya rumput laut. 2. Menilai kelayakan finansial pengembangan perikanan budidaya.

3. Mengidentifikasi faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang mempengaruhi pengembangan kawasan perikanan budidaya.

4. Merumuskan strategi pengembangan kawasan perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Pemerintah Daerah, sebagai masukan dalam perencanaan dan pengembangan pesisir Kabupaten Kutai Timur untuk kegiatan budidaya, berdasarkan pada kondisi fisik dan sosial ekonomi yang ada sehingga dapat dilakukan perencanaan secara terpadu sesuai dengan peruntukannya.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Ruang, Wilayah, dan Kawasan

Undang-undang Nomor 24/1992 tentang Penataan Ruang mendefinisikan

ruang sebagai wadah kehidupan yang meliputi ruang daratan, laut, dan udara, termasuk di dalamnya tanah, air, udara, dan benda lainnya sebagai satu kesatuan kawasan tempat manusia dan mahkluk hidup lainnya melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya.

Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu: (i) jarak, (ii) lokasi, (iii) bentuk, dan (iv) ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah (Budiharsono, 2001).

Wilayah didefinisikan Budiharsono (2001) sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal dalam dimensi ruang yang merupakan wadah bagi kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak sama.

Definisi konsep kawasan menurut Rustiadi et al. (2006) adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional.

Pengembangan Kawasan

Istilah pembangunan dan pengembangan digunakan dalam banyak hal yang sama, yang dalam bahasa Inggrisnya adalah development, sehingga untuk berbagai hal, istilah pembangunan dan pengembangan dapat saling dipertukarkan.

Secara umum pembedaan istilah ”pembangunan” dan ”pengembangan” di Indonesia memang sengaja dibedakan karena istilah pengembangan dianggap mengandung konotasi ”pemberdayaan”, ”kedaerahan” atau ”kewilayahan”, dan ”lokalitas”. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ”pengembangan” lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa


(19)

pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari ”nol’, atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas (Rustiadi et al., 2006).

Secara filosofis, proses pembangunan dapat diartikan sebagai ”upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik” (Rustiadi et al., 2006).

Menurut Todaro (2000) yang diacu dalam Rustiadi et al. (2006), pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki, yaitu kecukupan (sustenance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jatidiri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses dimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.

Terjadinya perubahan baik secara incremental maupun paradigma, menurut Anwar (2001) yang diacu dalam Rustiadi et al. (2006), mengarahkan pembangunan wilayah/kawasan kepada terjadinya pemerataan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan keberlanjutan (sustainability).

Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang sangat kaya akan sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Sumberdaya pesisir terdiri dari sumberdaya hayati dan nir-hayati, dimana unsur hayati terdiri atas ikan, mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan biota laut lain beserta ekosistemnya, sedangkan unsur non-hayati terdiri dari sumberdaya mineral dan abiotik lain di lahan pesisir, permukaan air, kolom air, dan dasar laut (Djais et al., 2002).


(20)

Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (Integrated Coastal Zone Management/ICZM) adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental service) yang terdapat di kawasan pesisir dengan cara melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assesment) tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfataan guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaan ini dilakukan secara kontinyu dan dinamis, dengan mempertimbangkan segala aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspirasi masyarakat pengguna (stakeholders), serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada (Sorensen dan Mc Creary, 1990; IPPC, 1994 dalam Dahuri et al., 2001).

Lebih lanjut, Dahuri et al. (2001) mengatakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (ICZM) adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan (sustainable development). Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mencakup tiga dimensi: sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.

Sedangkan menurut Cicin-Sain (1998) pengelolaan pesisir diinter-pretasikan dalam dimensi keterpaduan kebijakan yang menekankan pada beberapa isu penting, yaitu: 1) keterpaduan antar sektor di dalam wilayah pesisir atau dengan wilayah lain, 2) keterpaduan antara wilayah darat dan laut dalam zona pesisir, 3) keterpaduan antar level pemerintahan (nasional dan lokal), 4) keterpaduan antar negara, 5) keterpaduan antar disiplin ilmu (ilmu alam, sosial, dan teknik).

Dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu, mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan vertikal dan horisontal, ekosistem darat dan lalut, sains dan manajemen, merupakan proses pengelolaan sumberdaya alam pesisir yang mengacu pada pengelolaan yang berkelanjutan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut. Oleh karenanya pengelolaan dan pemanfaatan ruang wilayah


(21)

pesisir Kabupaten Kutai Timur harus terintegrasi dan harus melibatkan semua sektor serta stakeholders yang ada, sehingga dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Penataan Ruang Pesisir

Dalam pengembangan lautan salah satu kegiatannya yang penting adalah menata ruang lautan untuk penggunaan multiganda (multiple use of ocean space) untuk: (i) menghindari konflik penggunaan ruang lautan, dan (ii) menjaga kelestarian sumberdaya yang terkandung di dalamnya (Rais et al., 2004).

Menurut Rustiadi et al. (2006) penataan ruang adalah upaya aktif manusia untuk mengubah pola dan struktur pemanfaatan ruang dari satu keseimbangan ke keseimbangan yang baru, yang ”lebih baik”. Penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Dengan memahaminya sebagai proses pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang secara hakiki harus dipandang sebagai bagian dari proses pembangunan khususnya menyangkut aspek-aspek spasial dari proses pembangunan.

Penataan ruang dilakukan sebagai upaya: (1) optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya): prinsip efisiensi dan produktivitas, (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya

Tata ruang wilayah pesisir merupakan pengaturan penggunaan lahan wilayah pesisir ke dalam unit-unit yang homogen ditinjau dari keseragaman fisik, non-fisik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, keamanan. Pengaturan penggunaan lahan diperlukan karena wilayah pesisir merupakan kawasan di permukaan bumi yang paling padat dihuni oleh umat manusia (Dahuri et al., 2001).

Tiga alasan ekonomis terkonsentrasi pembangunan di wilayah pesisir menurut Bengen (1999) adalah: (a) wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara biologis sangat produktif, (b) wilayah pesisir menyediakan berbagai kemudahan praktis dan relatif lebih mudah bagi kegiatan industri dan pemukiman dan kegiatan lainnya, dibandingkan dengan yang dapat disediakan daratan lahan


(22)

atas, (c) wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama yang menarik dan menguntungkan.

Sistem Teknologi Akuakultur

Sistem teknologi akuakultur didefinisikan sebagai wadah produksi beserta komponen lainnya dan teknologi yang diterapkan pada wadah tersebut serta bekerja secara sinergis dalam rangka mencapai tujuan akuakultur. Tujuan akuakultur adalah memproduksi ikan dan akhirnya memperoleh keuntungan. Memproduksi ikan berarti mempertahankan ikan bisa dan tetap hidup, tumbuh dan berkembang biak dalam waktu sesingkat mungkin hingga mencapai ukuran pasar dan bisa dijual. Komponen di dalam sistem teknologi akuakultru bekerja sinergis sehingga tercipta lingkungan terkontrol dan optimal bagi upaya mempertahankan kelangsungan hidup ikan serta memacu pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan (Effendi, 2004).

Menurut Effendi (2004), sistem akuakultur bisa dikelompokkan menjadi 2, yaitu sistem akuakultur berbasiskan daratan (land-based aquaculture) dan sistem akuakultur berbasiskan air (water-based aquaculture). Sistem budidaya yang termasuk dalam land-based aquaculture antara lain terdiri dari kolam air tenang, kolam air deras, tambak, bak, akuarium, dan tangki. Sedangkan sistem budidaya yang termasuk dalam water-based aquaculture antara lain jaring apung, jaring tancap, karamba, kombongan, long line, rakit, pen culture, dan enclosure.

Dalam sistem land-based aquaculture, unit budidaya berlokasi didaratan dan mengambil air dari perairan di dekatnya. Terdapat pembatas antara unit budidaya dengan perairan sebagai sumber air, minimal oleh pematang sehingga

land-based aquaculture merupakan sistem tertutup (closed system). Faktor lingkungan eksternal yang mempengaruhi sistem produksi, seperti pencemaran, dapat direduksi dengan cara menutup aliran air masuk ke dalam sistem atau

men-treatment air terlebih dahulu sebelum digunakan.

Berbeda dengan land-based aquaculture, unit budidaya water-based aquaculture ditempatkan di badan perairan (sungai, saluran irigasi, danau, waduk, dan laut) sehingga merupakan suatu sistem yang terbuka (open system), dimana interaksi antara ikan (unit budidaya) dengan lingkungan perairan berlangsung


(23)

hampir tanpa pembatasan. Selain itu sistem water-based aquaculture umumnya dilakukan di perairan umum (open acces) yang bersifat multi fungsi, sehingga bisa terkena dampak pencemaran atau menjadi salah satu sumber pencemaran lingkungan (agen pencemar). Konflik kepentingan dan isu lingkungan pada water-based aquaculture lebih sering muncul dan lebih rumit dibandingkan pada land-based aquaculture (Effendi, 2004).

Budidaya Perikanan di Wilayah Pesisir dan Laut

Budidaya laut atau marikultur adalah suatu kegiatan pemeliharaan organisme akuatik laut dalam wadah dan perairan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan. Budidaya laut merupakan bagian dari kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) yang didefinisikan sebagai intervensi yang terencana dan sengaja oleh manusia dalam proses produksi organisme akuatik (Shell & Lowell, 1993) untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan sosial. Berdasarkan kepada habitat sumber air yang dimanfaatkan, budidaya perikanan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu budidaya air tawar (freshwater culture), budidaya air payau (brackishwater culture) dan budidaya laut (mariculture) (Pillay, 1990)

Tujuan budidaya laut adalah memproduksi makanan, meningkatkan stok ikan di laut (stock enhancement), memproduksi umpan untuk kegiatan penangkapan atau menghasilkan ikan hias (Tucker, 1998). Kegiatan budidaya laut untuk tujuan memproduksi makanan manusia sesungguhnya memiliki sejarah yang panjang terutama di Cina, Mesir, Romawi dan Eropa (Effendi, 2004), namun berkembang dengan cepat beberapa puluh tahun belakangan ini saja (Beveridge, 1996). Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain menurunnya produksi perikanan tangkap, sedangkan populasi manusia cenderung bertambah dengan. Budidaya perikanan diharapkan mengisi kekurangan kebutuhan protein akibat stagnasi dan menurunnya produksi perikanan sementara populasi manusia bertambah dengan cepat (Muir dan Roberts, 1985).

Kegiatan budidaya perikanan di wilayah pesisir dan laut sebagian besar adalah kegiatan usaha perikanan tambak, baik tambak udang, ikan bandeng, atau campuran keduanya. Selain itu, terdapat pula beberapa jenis kegiatan budidaya yang lain, seperti budidaya rumput laut, tiram dan budidaya ikan dalam keramba


(24)

(net impondment) (Bardach et al., 1972). Air merupakan media utama dalam kegiatan budidaya perikanan, oleh karena itu pengelolaan terhadap sumber-sumber air alami maupun non alami (tambak, kolam, dan lain-lain) harus menjadi perhatian utama dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut.

Dalam kegiatan budidaya perikanan laut terdapat beberapa tipe pembudidayaan yaitu:

1) Sea Ranching dan Restocking

Sistem terbuka terdiri atas kegiatan sea ranching dan restocking. Sea ranching adalah pemeliharaan ikan dalam suatu kawasan perairan laut yang terisolasi geografis secara alamiah. Kawasan karang dalam adalah suatu kawasan yang secara geografis dan alamiah mengisolasi ikan-ikan karang (demersal species), teripang, moluska dan krustasea (udang dan lobster). Secara reguler hatchery swasta melakukan kegiatan restocking beberapa benih ikan potensial kedalam kawasan sea ranching (Nurhakim, 2001).

2) Eclosure

Enclosure adalah sistem budidaya yang dilakukan di perairan laut dimana sebagian besar dinding wadah dari sistem tersebut merupakan dinding alam (teluk, perairan diantara beberapa pulau) dan sebagian kecil berupa dinding buatan manusia (man made) berupa jaring, pagar kayu atau batu (Beveridge, 1996; Pillay, 1990). Kepadatan organisme budidaya bergantung kepada jenis komoditas yang diusahakan dan daya dukung sistem. Prakteknya, budidaya dalam sistem enclosure ini tidak dilakukan pemberian pakan (no feeding), dan hanya mengandalkan kepada ketersediaan pakan alami. Kegiatan ini mengandalkan benih dari hatchery yang berlokasi di dekatnya. Output dari kegiatan ini adalah ikan ukuran konsumsi (5-12 bulan pemeliharaan) dan ikan ukuran bibit (2-3 bulan pemeliharaan) untuk keperluan pembesaran (fatening) di sistem cage culture atau pen culture. Sistem ini dilakukan oleh SDM dengan kemampuan pembudidayaan yang rendah.

3) Pen Culture

Pen culture adalah sistem budidaya menggunakan wadah dengan dinding buatan manusia yang terbuat dari jaring atau kayu, sementara dasar wadah berupa dinding alam (Beveridge, 1996; Pillay, 1990). Kepadatan


(25)

organisme budidaya bergantung kepada jenis komoditas yang diusahakan dan daya dukung sistem. Beberapa komoditas yang potensial dipeliharan dalam sistem ini adalah abalon, teripang dan ikan kerapu.

Prakteknya, budidaya dalam sistem pen culture ini bisa dilakukan pemberian pakan atau tanpa pemberian pakan (no feeding), dan hanya mengandalkan kepada ketersediaan pakan alami. Output dari kegiatan ini adalah ikan ukuran konsumsi (5-12 bulan pemeliharaan) dan ikan ukuran bibit (2-3 bulan pemeliharaan) untuk keperluan pembesaran (fatening) di sistem

cage culture. Sistem ini dilakukan oleh SDM dengan kemampuan pembudidayaan menengah.

4) Cage culture

Cage culture adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring, baik mengapung (floating net cage) maupun menancap (fixed net cage) (Beveridge, 1996; Pillay, 1990). Semua dinding adalah buatan manusia. Sistem ini menggunakan padat penebaran ikan yang relatif tinggi, sehingga tergolong berteknologi intensif. Mengingat kepadatan ikan tinggi, maka dibutuhkan lokasi dengan sirkulasi air yang baik sehingga mampu mensuplai oksigen yang cukup bagi organisme budidaya dan ketersediaan pakan yang cukup. Sistem budidaya ini seyogyanya dilakukan oleh SDM dengan kemampuan pembudidayaan yang relatif tinggi. Sistem budidaya cage culture tergolong sistem budidaya intensif, sehingga dituntut pula pemberian pakan yang intensif dan pengguna benih yang bermutu (Gjedrem, 1988; Cowey &. Cho, 1991 dalam Soebagio, 2004).

Jaring apung adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring yang mengapung (floating net cage) dengan bantuan pelampung dan ditempatkan di perairan seperti danau, waduk, laguna, selat, dan teluk. Sistem tersebut dewasa ini lebih dikenal dengan dengan nama karamba jaring apung (KJA). Komoditas akuakultur yang sudah lazim dibudidayakan dalam KJA di perairan laut antara lain kerapu, kakap, udang windu, bandeng, samadar dan ikan hias laut (Effendi, 2004).

Jaring tancap (fixed net cage) adalah sistem teknologi budidaya dalam wadah berupa jaring yang diikatkan pada patok yang menancap ke dasar peraiaran. Sistem ini ditempatkan di pantai perairan danau, waduk, laut, dan


(26)

sungai yang tenang yang memiliki kedalaman sekitar 3-7 m. Pada kedalaman perairan >7 m sulit untuk mencari patok dengan panjang >10 m. Penempatan sistem ini di perairan laut harus memperhatikan kisaran pasang surut pada saat pasang kantong jaring yang terendam bisa mengakibatkan ikan lepas keluar, sedangkan pada saat surut ketinggian air dari dasar kantong masih bersisa minimum 1 m (Effendi, 2004). Komoditas akuakultur yang sudah lazim dibudidayakan dalam karamba jaring tancap di perairan laut antara lain kerapu, kakap, udang windu, bandeng, samadar dan ikan hias laut. Di Kabupaten Kutai Timur saat ini telah mulai diupayakan pembesaran udang lobster (Homarus sp) dalam karamba jaring tancap.

Budidaya Tambak di Wilayah Pesisir

Budidaya tambak adalah kegiatan pemeliharaan dan pembesaran biota perairan dalam suatu perairan tambak dalam waktu tertentu untuk mendapatkan hasilnya dengan cara memanennya.

Pengertian tambak adalah kolam ikan yang dibuat pada lahan pantai laut dan menggunakan air laut (bercampur dengan air sungai) sebagai penggenangnya. Tambak berasal dari kata ”nambak” yang berarti membendung air dengan pematang sehingga terkumpul pada suatu tempat. Bentuk tambak umumnya persegi panjang dan tiap petakan dapat meliputi areal seluas 0,5 sampai 2 ha. Deretan tambak dapat mulai dari tepi laut terus ke pedalaman sejauh 1-3 km (bahkan ada yang mencapai 20 km) tergantung sejauh mana air pasang laut dapat mencapai daratan (Hardjowigeno, 2001).

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), berdasarkan letak tambak terhadap laut dan muara sungai yang memberi air ke tambak, maka dapat dibedakan tiga jenis tambak, yaitu:

(a) Tambak lanyah, adalah tambak yang terletak dekat sekail dengan laut atau lebih jauh, tetapi air laut masih dapat menggenangi tambak tanpa mengurangi salinitas yang menyolok, sehingga tambak tersebut berisi air laut yang berkadar garam 30 ‰.

(b) Tambak biasa, adalah tambak yang terletak di belakang tambak lanyah dan selalu terisi campuran air asin dari laut dan air tawar dari sungai, setelah kedua


(27)

macam air tersebut tertahan dalam petakan tambak, maka terciptalah air payau dengan kadar garam 15 ‰.

(c) Tambak darat, adalah tambak yang terletak jauh dari pantai laut. Tambak ini kurang memenuhi syarat untuk produksi biota air payau karena salinitasnya rendah (5-10 ‰).

Biota perairan yang umum dibudidayakan di tambak antara lain: udang windu (Penaeus monodon), udang putih (Penaeus merguensis), bandeng (Chanos chanos), kakap (Lates calcalifer), nila merah (Oreochromis niloticus), dan rumput laut (Euchema spp). Di wilayah Kalimantan mulai muncul usaha budidaya kepiting bakau (Scylla serrata) di tambak.

Udang windu merupakan komoditas yang paling populer dibudidayakan, karena permintaan pasar laur negeri yang semakin meningkat dengan harga yang relatif tinggi. Komoditas lain yang cukup banyak diusahakan, terutama di tambak tradisional adalah bandeng. Perkembangan teknologi budidaya bandeng cenderung lambat, namun merupakan komoditas yang banyak diproduksi dan dikonsumsi.

Bandeng merupakan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan strategis dibanding komoditas perikanan lain, karena: (i) teknologi pembenihan dan pembesaran telah dikuasai dan berkembang di masyarakat, (ii) persyaratan hidupnya tidak memerlukan kriteria kelayakan yang tinggi karena toleran terhadap perubahan mutu lingkungan, (iii) merupakan ikan yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi di Indonesia dalam bentuk hidup dan segar, serta untuk umpan hidup tuna, (iv) merupakan sumber protein ikan yang potensial bagi pemenuhan gizi serta pendapatan masyarakat petambak dan nelayan (Ahmad, 1998 dalam Alaudin, 2004).

Untuk memperoleh produksi tambak yang diharapkan, kegiatan budidaya tambak udang harus memperhatikan daya dukung lahan. Poernomo (1992) menyatakan daya dukung tambak dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: tipe dasar pantai, tipe garis pantai, arus, amplitudo pasang surut, elevasi, mutu tanah, air tawar, jalur hijau, dan curah hujan. Dari daya dukung tersebut maka dapat ditentukan tingkat teknologi budidaya yang tepat, yaitu tradisional, semi intesif, atau intensif.


(28)

Di Indonesia, budidaya tambak udang dikategorikan pada tiga sistem produksi, yaitu: sistem ekstensif/tradisional, semi intensif, dan intensif. Ciri-ciri masing-masing sistem budidaya tersebut dapat dilihat pada Tabel 1a.

Tabel 1a. Sistem budidaya udang di Indonesia

SISTEM CIRI-CIRI

EKSTENSIF ¾ Pergantian air memanfaatkan energi pasang surut ¾ Padat penebaran 5.000-15.000 ekor/ha

¾ Menggunakan pupuk TSP, urea, organik yang diperkaya

SEMI INTENSIF

¾ Ukuran tambak, kedalaman air, kedalam pematang mirip tambak ekstensif

¾ Pemasukan air dengan menggunakan pompa air ¾ Menggunakan kincir air

¾ Padat penebaran 15.000-150.000 ekor/ha ¾ Menggunakan pakan buatan (pelet)

INTENSIF ¾ Konstruksi tambak lebih dalam daripada tambak ekstensif

¾ Pemasukan air dengan menggunakan pompa air ¾ Menggunakan kincir air

¾ Padat penebaran >150.000 ekor/ha

¾ Menggunakan pakan buatan (pelet) berkualitas tinggi Sumber: Chamberlain (1991) dalam Kusumastanto (1994)

Pada umumnya tambak di Indonesia yang dikelola dengan tidak menggunakan kincir, sedikit menggunakan pakan, serta menerapkan pemupukan sudah mampu memproduksi udang antara 500-750 kg/ha/4 bulan. Tambak yang dikelola dengan sistem tradisional ini akan memberikan kelangsungan produksi yang lebih lestari dibanding sistem intensif (Widigdo, 2002). Di Philipina tambak yang lestari dan memiliki mutu produk yang baik adalah tambak yang menerapkan teknologi rendah (tradisional) dengan target produksi sekitar 600-750 kg/ha/4 bulan (Garcia dalam Widigdo, 2002). Sejalan dengan itu, Poernomo (1992) menyatakan bahwa tambak semi intensif mempunyai target produksi antara 2-4 ton/ha, sedangkan untuk tambak ekstensif target produksinya antara 500-750 kg/ha. Tambak yang dikelola dengan sistem ekstensif akan memberikan kelangsungan produksi yang lestari daripada sistem semi intensif.


(29)

Sistem Informasi dan Analisis Geografis

Sistem informasi adalah suatu jaringan perangkat keras dan lunak yang dapat menjalankan operasi-operasi dimulai dari perencanaan, pengamatan, dan pengumpulan data, kemudian untuk penyimpanan dan analisis data, termasuk penggunaan informasi yang diturunkan ke beberapa proses pengambilan keputusan. Fungsi sistem informasi adalah sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu peta merupakan bagian dari sistem informasi spasial (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Informasi dan analisis geografi berupa informasi yang bersifat keruangan yang merupakan hasil penafsiran data yang dituangkan dalam bentuk simbol sebagai gambaran keadaan sebenarnya di lapangan dalam bentuk peta. Informasi keruangan ditujukan untuk menjawab masalah yang terkait dengan pertanyaan apa, di mana, kapan, bagaimana, dan mengapa (Sandy, 1986). Untuk lebih mengoptimalkan dalam menghimpun dan memanfaatkan informasi keruangan tersebut maka disusunlah Sistem Informasi Geografis (SIG).

Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang berreferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang berreferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Intinya SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non-spasial (Star dan Estes dalam Barus dan Wiradisastra, 2000)

SIG secara singkat diartikan sebagai suatu perangkat lunak untuk mengumpulkan, menyimpan, menampilkan kembali, mentransformasi, dan menyajikan data keruangan (spatial) atau geografis dari sebagian fenomena ruang muka bumi (Burrough dalam Barus dan Wiradisastra, 2000). Kelebihan SIG jika dibandingkan dengan sistem pengelolaan data dasar yang lain adalah kemampuannya untuk menyajikan informasi spatial maupun non spatial secara bersama-sama dalam bentuk vektor, raster ataupun data tabular (Barus dan Wiradisastra, 2000).


(30)

Basis data yang terdapat di dalam SIG dibagi dalam dua bagian, yaitu basis data grafis/spatial/ruang dan basis data non grafis/atribut/keterangan. Model data grafis terdiri dari dua model, yaitu data raster dan data vektor. Pada model data raster setiap informasi akan disimpan pada setiap pixel (picture element). Susunan data dasar raster ini terdiri dari koordinat pixel dan informasi yang dikandungnya disajikan biasanya dengan intensitas warna. Pada susunan demikian, setiap pixel adalah satuan yang berdiri sendiri dan bukan merupakan satu rangkaian yang saling berhubungan dengan pixel sekitarnya (De Mers, 1997).

Data dasar vektor mengandung informasi koordinat dan arah. Model vektor ini dapat menampilkan kembali titik, garis, dan poligon (area) dengan ketelitian dan pendekatan yang cukup tinggi dari kenampakan sesungguhnya. Data spatial vektor secara garis besar dibedakan dalam tiga jenis kenampakan, yaitu feature titik, garis, dan area (Laurini dan Thompson dalam Barus dan Wiradisastra, 2000).

Basis data non grafis/non spasial berbentuk atribut, yang peranannya tidak menunjukkan posisinya akan tetapi lebih bersifat penjelasan mengenai obyek atau bersifat identitas. Data atribut dapat dinyatakan menjadi 4 bentuk, yaitu: a) nominal, b) ordinal, c) interval, dan d) ratio (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Penentuan Sektor Basis dalam Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah memandang penting adanya keterpaduan sektoral, spasial, serta keterpaduan antar pelaku-pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Dalam kacamata sistem industri, keterpaduan sektoral berarti keterpaduan sistem input dan output industri yang efisien dan sinergis. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antara sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis (Rustiadi et al., 2006).

Akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, dalam suatu perencanaan pembangunan selalu diperlukan adanya skala prioritas pembangunan. Dari sudut dimensi sektor pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas suatu pemahaman bahwa (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung atau tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan


(31)

(penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional, dan lain-lain), (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda, dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktifitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, infrastruktur, dan sosial yang ada. Sehingga setiap wilayah selalu terdapat sektor yang bersifat strategis (Rustiadi et al., 2006). Sektor strategis di suatu wilayah dapat ditentukan dengan pendekatan model ekonomi basis.

Inti dari model berbasis ekonomi (economic base model) adalah bahwa arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah tersebut. Ekspor tersebut berupa barang-barang dan jasa, termasuk tenaga kerja. Tenaga kerja dan pendapatan pada sektor basis adalah fungsi permintaan dari luar (exogeneous), yaitu permintaan dari luar yang mengakibatkan terjadinya ekspor dari wilayah tersebut. Disamping sektor basis, ada kegiatan-kegiatan sektor pendukung yang dibutuhkan untuk melayani pekerja (dan keluarganya) pada sektor basis dan kegiatan sektor basis itu sendiri. Kegiatan sektor pendukung, seperti perdagangan dan pelayanan perseorangan, disebut sektor non-basis (Budiharsono, 2001).

Untuk mengetahui apakah suatu sektor merupakan sektor basis atau non-basis dapat digunakan beberapa metode, yaitu: (1) metode pengukuran langsung dan (2) metode pengukuran tidak langsung. Metode pengukuran langsung dilakukan dengan survai langsung. Metode pengukuran tidak langsung ada beberapa metode, yaitu: (1) melalui pendekatan asumsi; (2) metode location quotient; (3) metode kombinasi 1 dan 2; dan (4) metode kebutuhan minimum (Budiharsono, 2001).

Metode Location Quotient

Metode location quotient (LQ) merupakan perbandingan antara pangsa relatif pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat wilayah terhadap pendapatan (tenaga kerja) total wilayah dengan pangsa relatif pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat nasional terhadap pendapatan (tenaga kerja) nasional (Budiharsono, 2001). Secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut:


(32)

Dimana:

vi = pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat wilayah

vt = pendapatan (tenaga kerja) total wilayah

Vi= pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat nasional

Vt= pendapatan (tenaga kerja) total nasional

Apabila LQ suatu sektor ≥ 1, maka sektor tersebut merupakan sektor basis. Sedangkan bila LQ suatu sektor < 1, maka sektor tersebut merupakan sektor non-basis. Asumsi metode LQ adalah penduduk di wilayah yang bersangkutan mempunyai pola permintaan wilayah sama dengan pola permintaan kabupaten. Asumsi lainnya adalah bahwa permintaan wilayah akan suatu barang akan dipenuhi terlebih dahulu oleh produksi wilayah, kekurangannya diimpor dari wilayah lain.

Proses Hierarki Analitik/PHA (Analitycal Hierarchy Process/AHP)

Marguire dan Carver (1991) dalam Subandar (2002) telah mengamati kelemahan analisis spasial (SIG) dalam menganalisis sebuah model multi kriteria dalam konteks proses pembuatan keputusan (spatial decision). Kelemahan SIG yang lain adalah keterbatasannya dalam penentuan prosedur pendukung pengambilan keputusan (Birkin et al, 1996; Maguire, 1995 dalam Subandar, 2002).

Subandar (1999) mengunakan teknik MCDM (Multy Criteria Multy Decision) untuk mengatasi kelemahan SIG dalam pengambilan keputusan. Proses Hierarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analitycal Hierarchy Process/AHP) merupakan salah satu metode MCDM yang mula-mula dikembangkan oleh Saaty (1991), dan sangat populer digunakan dalam perencanaan lahan, terutama dalam pengalokasian penggunaan lahan (land use allocation). Kelebihan dari teknik ini adalah kemampuan untuk memandang masalah dalam suatu kerangka yang terorganisir tetapi kompleks, yang

Vt

Vi

vt

vi


(33)

memungkinkan adanya interaksi dan saling ketergantungan antar faktor, namun tetap memungkinkan kita untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara sederhana (Saaty, 1991).

Proses Hierarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analitycal Hierarchy Process/AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun 1970-an.

Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah (Saaty, 1991):

1. AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tidak terstruktur.

2. AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.

3. AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

4. AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

5. AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas.

6. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.

7. AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.

8. AHP mempertimbangkan prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.

9. AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda.

10. AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.


(34)

Proses Hierarki Analitik/PHA pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Analisis ini ditujukan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur. Analisis ini biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif) maupun masalah-masalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka pada situasi dimana data informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman, atau intuisi. PHA ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan pada banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki dalam situasi konflik (Saaty, 1991).

Pada dasarnya metode dari PHA ini adalah; (i) memecah-mecah suatu situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya; (ii) menata bagian-bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki; (iii) memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel; (iv) mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut (Saaty, 1991).

Menurut Permadi (1992), kelebihan Proses Hierarki Analitik (PHA) lebih disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hierarki. Sifat fleksibilitas tersebut membuat model PHA dapat menangkap beberapa tujuan dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hierarki. Bahkan model tersebut dapat memecahkan masalah yang mempunyai tujuan-tujuan yang saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan dan tujuan serta kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Karenanya, keputusan yang dilahirkan dari model PHA tersebut sudah memperhitungkan berbagai tujuan dan berbagai kriteria yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi sumberdaya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan baik oleh model PHA.


(35)

PHA merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, dimana pengambilan keputusan berusaha memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan. Sebaiknya, sedapat mungkin dihindari adanya penyederhanaan seperti membuat asumsi-asumsi dengan tujuan dapat diperoleh model yang kuantiatif. Dalam PHA, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible

(tidak terukur) ke dalam aturan biasa sehingga dapat dibandingkan (Saaty, 1991). Poerwowidagdo (2003), menyatakan bahwa di dalam penyelesaian persoalan dengan PHA terdapat tiga prinsip dasar yang harus di perhatikan, yaitu: (i) menggambarkan dan menguraikan secara hierarki, yaitu memecah-mecah persoalan menjadi unsur-unsur terpisah, (ii) pembedaan prioritas dan sintesis atau penetapan prioritas, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif kepentingannya, dan (iii) konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria logis.

Tahapan analisis data dengan PHA menurut Saaty (1991) adalah: 1. identifikasi sistem

2. penyusunan struktur hierarki

3. membuat matriks perbandingan/komparasi (pairwise comparison) 4. menghitung matriks pendapat individu

5. menghitung pendapat gabungan 6. pengolahan horisontal

7. pengolahan vertikal 8. revisi pendapat.

Analisis SWOT

Analisis SWOT (Strenght Weakness Opportunities Threats) adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi organisasi/perusahaan. Analisis tersebut didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strenght) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats)


(36)

(Salusu, 1996). Sedangkan menurut Kotler, 1988; Wheelen dan Hunger, 1995 dalam Kajanus (2001) analisa SWOT adalah suatu alat yang umum digunakan untuk penganalisaan lingkungan yang internal dan eksternal dalam rangka mencapai suatu pendekatan sistematis dan dukungan untuk suatu situasi pengambilan keputusan.

Analisis SWOT dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 2 model matriks, yaitu matriks SWOT atau matriks TOWS. Model matriks mendahulukan faktor-faktor eksternal (ancaman dan peluang), kemudian melihat kapabilitas internal (kekuatan dan kelemahan). Suatu strategi dirumuskan setelah TOWS selesai dianalisis (Salusu, 1996).

Matriks TOWS menghasilkan 4 strategi (Rangkuti, 2004), yaitu: (1) Strategi SO, memanfaatkan kekuatan untuk merebut peluang.

(2) Strategi WO, memanfaatkan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.

(3) Strategi ST, memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau memperkecil dampak dari ancaman eksternal.

(4) Strategi WT, didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha memperkecil kelemahan, serta menghindari ancaman.

Metode Rapid Rural Appraisal (RRA) untuk Pengkajian Wilayah

RRA (Rapid Rural Appraisal), dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Pengenalan Pedesaan dalam Waktu singkat, merupakan metode yang relatif baru berkembang sejak akhir dekade 70-an.

Menurut Daniel (2002), RRA dirancang terutama untuk untuk tim yang berbeda disiplin ilmu, guna dipakai untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi atau data dalam jangka waktu yang singkat, dengan lebih komprehensif. Metode penelitian ini pada prakteknya tidak perlu harus terlalu terfokus pada sampel yang representatif (berbeda dengan metode survei atau studi kasus), tetapi lebih mengutamakan pemahaman tentang realita sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan aspek bio-fisik suatu daerah atau masyarakat. Keunggulan metode ini adalah jawaban atas suatu masalah dapat diperoleh dalam waktu singkat dan biaya murah, tapi juga secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan (Daniel, 2002).


(37)

Dalam pelaksanaannya metode RRA juga sekaligus melakukan konfirmasi data (secara segitiga), data sekunder, didalami melalui wawancara semistruktural

dengan pengambil kebijakan, kemudian data ini dikonfirmasikan ke lapangan (petani, sesepuh desa, sumberdaya alam). Dari lapangan hasilnya didiskusikan oleh tim yang terdiri berbagai disiplin ilmu atau keahlian (Daniel, 2002).

Wawancara semistruktural adalah suatu bentuk wawancara yang hanya menggunakan beberapa pertanyaan pokok (sub-topik) sebagai pedoman. Pertanyan-pertanyan pokok tersebut telah disiapkan sebelumnya, tetapi tidak berbentuk kuisioner, dan dijadikan acuan untuk membuat pertanyaan ketika melaksanakan wawancara.

Penelitian untuk tesis pada bidang ilmu yang bersifat multidisiplin seperti pengelolaan sumberdaya pesisir, walaupun merupakan penelitian indiviual, sangat memungkinkan menggunakan metode RRA ini karena bidang ilmu yang multidisplin menggunakan berbagai displin ilmu di dalam analisisnya.


(38)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur, dengan garis pantai sepanjang ± 152 km, yang meliputi 5 kecamatan pantai yaitu Kecamatan Sangatta, Kecamatan Bengalon, Kecamatan Sangkulirang, Kecamatan Kaliorang, dan Kecamatan Sandaran (Gambar 1).

Batas penelitian ke arah darat, untuk peruntukan budidaya tambak, dibatasi sejauh 4 km dari garis pantai. Sedangkan batas penelitian ke arah laut dibatasi sejauh 4 mil laut yang merupakan batas kewenangan pengelolaan pesisir oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur berdasarkan UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Waktu penelitian kurang lebih 7 bulan, yaitu dari bulan Agustus 2006– Pebruari 2007. Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: (1) tahap persiapan bulan Agustus-Oktober 2006 (2) tahap penelitian lapangan bulan November 2006-Januari 2007 (3) tahap analisis data bulan Pebruari 2007.

Kerangka Pendekatan Studi

Pengembangan budidaya perikanan laut di kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur didasarkan pada kondisi potensi supply, demand, dan existing.

Potensi supply adalah kondisi sumberdaya alam kawasan pesisir baik secara fisik, kimia maupun biologi yang mempunyai interaksi satu sama lain, yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan potensi demand meliputi kondisi sosial ekonomi masyarakat serta stakeholders

lain yang dalam perkembangannya membutuhkan pasokan sumberdaya alam yang memadai serta pengaturan pemanfaatan agar dapat terjamin kelestariannya. Kondisi existing adalah kondisi pemanfataan saat ini yang meliputi budidaya tambak, budidaya karamba sistem fixed net cage, dan budidaya rumput laut long line.

Selanjutnya dilakukan analisis terhadap ketiga komponen tersebut untuk menetapkan zonasi dan arahan pengembangan kawasan, yang sesuai dengan kondisi (potensi dan status) sumberdaya alam dan prioritas kebutuhan masyarakat.


(39)

Gambar 1. Wilayah Administrasi dan Stasiun Sampling di Lokasi Penelitian


(40)

Untuk mengkaji pemanfaatan lahan digunakan pendekatan analisis spasial, analisis konflik, dan analisis arahan pengembangan. Analisis spasial untuk mengetahui kesesuaian lahan dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis. Sedangkan analisis konflik pemanfaatan lahan dilakukan dengan pendekatan Proses Hierarki Analitik/PHA (Analysis Hierarchy Proces). Dengan analisis tersebut akan dapat ditentukan prioritas kegiatan pemanfaatan ruang yang optimal.

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif untuk mendapatkan karakteristik kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur dengan berdasarkan pada kondisi biogeofisik yang ada. Karakteristik kawasan merupakan salah satu acuan dalam Sistim Informasi Geografis (SIG) untuk menentukan kesesuaian lahan agar sesuai dengan peruntukannya.

Kelemahan analisis spasial (SIG) dalam menganalisis sebuah model multi kriteria dalam konteks proses pembuatan keputusan (spatial decision) untuk pemecahan konflik pemanfaatan lahan, dijembatani dengan cara menggabungkan bobot yang diperoleh dari PHA dengan matriks atribut yang diperoleh pada analisis spasial (SIG).

Komponen dalam analisis PHA didasarkan pada tujuan pengembangan kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur yang berkelanjutan (sustainable development), yang dibangun oleh tiga dimensi, yang merupakan pilar dasar pembangunan berkelanjutan, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dan dimensi kelestarian lingkungan. Pembobotan dalam PHA menggunakan metode

participatory yang merupakan gabungan pendapat dari seluruh responden dengan menggunakan rata-rata geometrik (geometric mean).

Penghitungan nilai Location Quotient (LQ) untuk setiap sektor usaha dilakukan untuk mengetahui usaha budidaya yang merupakan sektor basis, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam pengembangan kawasan budidaya.

Selanjutnya dilakukan analisis SWOT untuk memperoleh strategi arahan pengembangan kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur. Analisis SWOT dilakukan untuk memperoleh rencana pengembangan kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur berdasarkan faktor internal (kekuatan-kelemahan) dan faktor eksternal (peluang-ancaman) yang ada di daerah tersebut.

Kerangka pendekatan studi yang digunakan disajikan dalam Gambar 2 berikut ini.


(41)

Analisis Konflik Pemanfaatan Lahan

(PHA) Rancangan PHA

Proses PHA PEMANFAATAN SAAT INI:

- budidaya tambak - budidaya karamba - budidaya rumput laut BIOFISIK:

•Jenis Tanah

•Curah Hujan

•Topografi

•Kemiringan Lahan

•Penggunaan Lahan

•Jarak dari laut

•Dan lain lain

KONDISI DAN POTENSI

WILAYAH PESISIR KAB. KUTAI TIMUR

Analisis Kesesuaian Lahan (SIG)

Kriteria Kesesuaian Lahan Proses Analisis Kesesuaian Lahan

PRIORITAS PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PETA KESESUAIAN LAHAN

Untuk KEGIATAN PERIKANAN

SISI SUPLAI SISI PERMINTAAN

Pembangunan Berkelanjutan:

• dimensi Lingkungan

• dimensi Ekonomi

• dimensi Sosial

Penggabungan Matriks Atribut

dan Matriks Bobot Matriks Bobot Matriks Atribut

STRATEGI DAN ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN BUDIDAYA PERIKANAN DI WILAYAH PESISIR KAB. KUTAI TIMUR

Gambar 2. Kerangka Pendekatan Penelitian

-Analisis LQ

-Analisis SWOT

-Analisis Kelayakan Usaha

-Analisis Spasial

PETA KOMPOSIT KESESUAIAN LAHAN


(1)

# #

# #

# # #

# #

# # #

#

# # # #

# # #

# ##

# #

# #

#

#

#

#

#

#

#

Tl.Pandan Tl.Kabak

Tl.Lombok Tg.Sangatta

Tg.Bara Muarabengalon Muarabengalon

P.Birahbirahan P.Miang Besar

P.Miang Kecil Labuhankelambu Sekerat

Sekerat

Bualbual Bualbual

Kaliorang

Susuk Luar Susuk Luar Tanjungmanis Tanjungmanis Susuk DalamSusuk Dalam Maloy

Maloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini Tg.Mangk Teluk Nepa

Sangatta

Sangkulirang

Bengalon

Sandaran

SELAT MAKASSAR

Bengalon

Kaliorang

Sandaran

Sangatta

Sangkulirang

LEGENDA:

PULAU KALIMANTAN INZET LOKASI PENELITIAN

PETA TEMATIK SALINITAS KAB. KUTAI TIMUR

N

0

10 Kilometers

1

5

' 0°

1

5'

3

0

' 0°

3

0'

4

5

' 0°

4

5'

0

0

' 1°

0

0'

117°30' 117°30'

117°45' 117°45'

118°00' 118°00'

118°15' 118°15'

118°30' 118°30'

118°45' 118°45'

119°00' 119°00' 118

118

119

119

1 1

Sumber Peta: 1. Peta RBI Bakosurtanal 1992 skala 1:250.000

2. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37, 1992, skala 1:200.0000

2. Peta Tematik Proyek MCRMP Kab. Kutim 2005, skala 1:50.000

Salinitas

< 30

>30 -- 31

>31 -- 32

>32 -- 33

>33 -- 34

>34 -- 35

Kab. Berau

# #

# #

# # #

# #

# # #

#

# # # #

# # #

# ##

# #

# #

#

#

#

#

#

#

#

Tl.Pandan Tl.Kabak

Tl.Lombok Tg.Sangatta

Tg.Bara Muarabengalon Muarabengalon

P.Birahbirahan P.Miang Besar

P.Miang Kecil Labuhankelambu Sekerat

Bualbual Bualbual

Kaliorang

Susuk Luar Susuk Luar Tanjungmanis Tanjungmanis Susuk DalamSusuk Dalam Maloy

Maloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini Tg.Mangkaliha Teluk Nepa

Sangatta

Sangkulirang

Bengalon

Sandaran

SELAT MAKASSAR

Sekerat

Bengalon

Kaliorang

Sandaran

Sangatta

Sangkulirang

LEGENDA:

Sumber Peta: 1. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37,

1992, skala 1:200.0000 2. Peta RBI Bakosurtanal, 1992

skala 1:250.000 3. Survey Lapangan

PETA TEMATIK KETERLINDUNGAN PERAIRAN KAB. KUTAI TIMUR

N

0

10 Kilometers

0°1

5

' 0°

1

5'

3

0

' 0°

3

0'

0

°45'

4

5'

1

°00'

0

0'

117°30' 117°30'

117°45' 117°45'

118°00' 118°00'

118°15' 118°15'

118°30' 118°30'

118°45' 118°45'

119°00' 119°00' 118

118

119

119

1 1

# Kota

Sungai Garis_pantai

Keterlindungan

sangat terlindung

terbuka

terlindung

INZET LOKASI PENELITIAN

PULAU KALIMANTAN


(2)

# #

# #

# # #

# #

# # #

#

# # # #

# # #

# ##

# #

# #

#

#

#

#

#

#

#

Tl.Pandan Tl.Kabak

Tl.Lombok Tg.Sangatta

Tg.Bara Muarabengalon Muarabengalon

P.Birahbirahan P.Miang Besar

P.Miang Kecil Labuhankelambu Sekerat

Sekerat

Bualbual Bualbual Kaliorang

Kaliorang

Susuk Luar Susuk Luar Tanjungmanis Tanjungmanis Susuk DalamSusuk Dalam Maloy

Maloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini

Tg.Mangkalihat Teluk Nepa

Sangatta

Sangkulirang

Bengalon

Sandaran

SELAT MAKASSAR

Bengalon

Kaliorang

Sandaran

Sangatta

Sangkulirang

Kab. Berau

LEGENDA:

Sumber Peta: 1. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37,

1992, skala 1:200.0000 2. Peta Tematik Proyek MCRMP Kab. Kutim

2005, skala 1:50.000

PETA TEMATIK KECERAHAN PESISIR KAB. KUTAI TIMUR

N

0

10 Kilometers

1

5

' 0°

1

5'

3

0

' 0°

3

0'

4

5

' 0°

45

'

0

0

' 1°

00

'

117°30' 117°30'

117°45' 117°45'

118°00' 118°00'

118°15' 118°15'

118°30' 118°30'

118°45' 118°45'

119°00' 119°00' 118

118

119

119

1 1

Kecerahan

100%

90%

85%

70%

60%

PULAU KALIMANTAN INZET LOKASI PENELITIAN

# #

# #

# # #

# #

# # #

#

# # # #

# # #

# ##

# #

# #

#

#

#

#

#

#

#

Tl.Pandan Tl.Kabak

Tl.Lombok Tg.Sangatta

Tg.Bara Muarabengalon Muarabengalon

P.Birahbirahan P.Miang Besar

P.Miang Kecil Labuhankelambu Sekerat

Sekerat

Bualbual Bualbual Kaliorang

Kaliorang

Susuk Luar Susuk Luar Tanjungmanis Tanjungmanis Susuk DalamSusuk Dalam Maloy

Maloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini Tg.Mang

Teluk Nepa

Sangatta

Sangkulirang

Bengalon

Sandaran

SELAT MAKASSAR

Bengalon

Kaliorang

Sandaran

Sangatta

Sangkulirang

LEGENDA:

Sumber Peta: 1. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37,

1992, skala 1:200.0000 2. Peta Tematik Proyek MCRMP Kab. Kutim

2005, skala 1:50.000

PULAU KALIMANTAN INZET LOKASI PENELITIAN

PETA TEMATIK DISSOLVED OKSIGEN KAB. KUTAI TIMUR

N

0

10 Kilometers

0

°15'

1

5'

0

°30'

30

'

4

5

' 0°

45'

1

°00'

00'

117°30' 117°30'

117°45' 117°45'

118°00' 118°00'

118°15' 118°15'

118°30' 118°30'

118°45' 118°45'

119°00' 119°00' 118

118

119

119

1 1

#

Kota

Sungai

Garis_pantai

DISSOLVED OKSIGEN

< 4

4 -- 4,5

>4,5 -- 5

>5 -- 5,5


(3)

PULAU KALIMANTAN INZET LOKASI PENELITIAN

0

10 Kilometers

N

PETA TEMATIK TERUMBU KARANG KAB. KUTAI TIMUR

Sumber Peta: 1. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37,

1992, skala 1:200.0000 2. Peta RBI Bakosurtanal, 1992

skala 1:250.000 3. Survey Lapangan

LEGENDA:

Bengalon

Kaliorang

Sandaran

Sangatta

Sangkulirang

# # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # ## # # # # # # # # # # # Tl.Pandan Tl.Kabak Tl.Lombok Tg.Sangatta Tg.Bara Muarabengalon Muarabengalon P.Birahbirahan P.Miang Besar P.Miang Kecil Labuhankelambu Sekerat Bualbual Bualbual

Kaliorang

Susuk Luar Susuk Luar Tanjungmanis Tanjungmanis Susuk DalamSusuk Dalam Maloy

Maloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini

Tg.Mangkalihat Teluk Nepa

Sangatta

Sangkulirang

Bengalon

Sandaran

SELAT MAKASSAR

0° 1 5 ' 0° 1 5' 0° 3 0 ' 0° 3 0' 0° 4 5 ' 0° 4 5' 1° 0 0 ' 1° 0 0' 117°30' 117°30' 117°45' 117°45' 118°00' 118°00' 118°15' 118°15' 118°30' 118°30' 118°45' 118°45' 119°00' 119°00' 118 118 119 119 1 1 # Kota Sungai Garis_pantai

Terumbu Karang

Kab. Berau

# # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # ## # # # # # # # # # # # Tl.Pandan Tl.Kabak Tl.Lombok Tg.Sangatta Tg.Bara Muarabengalon Muarabengalon P.Birahbirahan P.Miang Besar P.Miang Kecil Labuhankelambu Sekerat Sekerat Bualbual Bualbual Kaliorang Kaliorang Susuk Luar Susuk Luar Tanjungmanis Tanjungmanis Susuk DalamSusuk Dalam Maloy

Maloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini

Tg.Mangkalihat Teluk Nepa Sangatta Sangkulirang Bengalon Sandaran

SELAT MAKASSAR

0° 0 0 ' 0° 0 0' 0 °15' 0° 1 5' 0 °30' 0° 30' 0° 4 5 ' 0° 4 5' 1 °00' 1° 00' 1° 1 5 ' 1° 15' 117°30' 117°30' 117°45' 117°45' 118°00' 118°00' 118°15' 118°15' 118°30' 118°30' 118°45' 118°45' 119°00' 119°00' 118 118 119 119 0 0 1 1 PULAU KALIMANTAN INZET LOKASI PENELITIAN

#

Kota

Sungai

Garis_pantai

0

10 Kilometers

N

PETA TEMATIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN KAB. KUTAI TIMUR

Sumber Peta: 1. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37,

1992, skala 1:200.0000 2. Peta RBI Bakosurtanal, 1992

skala 1:250.000 3. Survey Lapangan 4. Olah Data Citra

Bengalon

Kaliorang

Sandaran

Sangatta

Sangkulirang

Substrat_Dasar_Perairan

lumpur

pasir karang

pasir lumpur

LEGENDA:

Kab. Berau


(4)

Bengalon

Kaliorang

Sandaran

Sangatta

Sangkulirang

Kab. Berau

LEGENDA:

Sumber Peta:

1. Peta RBI Bakosurtanal 1992

skala 1:250.0000

2. Peta Jenis Tanah Puslitanag

2001, skala 1:250.000

PULAU KALIMANTAN INZET LOKASI PENELITIAN

PETA TEMATIK CURAH HUJAN KAB. KUTAI TIMUR

Curah_hujan

1600 - 2100

1600 - 2700

1600 - 3900

1600 - 4100

1600 - 4200

1600 - 4400

1800 - 4200

1800 - 4400

0

10 Kilometers

N

# #

# #

# # #

# #

# # #

#

# # # #

# # #

# ##

# #

# #

#

#

#

#

#

#

#

Tl.Pandan Tl.Kabak

Tl.Lombok Tg.Sangatta

Tg.Bara Muarabengalon Muarabengalon

P.Birahbirahan P.Miang Besar

P.Miang Kecil Labuhankelambu Sekerat

Sekerat

Bualbual Bualbual Kaliorang

Kaliorang

Susuk Luar Susuk Luar Tanjungmanis Tanjungmanis Susuk DalamSusuk Dalam Maloy

Maloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini Tg.Mangk

Teluk Nepa

Sangatta

Sangkulirang

Bengalon

Sandaran

SELAT MAKASSAR

1

5

' 0°

15

'

0

°30'

30'

0

°45'

0

°45'

0

0

' 1°

00

'

117°30' 117°30'

117°45' 117°45'

118°00' 118°00'

118°15' 118°15'

118°30' 118°30'

118°45' 118°45'

119°00' 119°00' 118

118

119

119

1 1

# #

# #

# # #

# #

# # #

#

# # # #

# # #

# ##

# #

# #

#

#

#

#

#

#

#

Tl.Pandan Tl.Kabak

Tl.Lombok Tg.Sangatta

Tg.Bara Muarabengalon Muarabengalon

P.Birahbirahan P.Miang Besar

P.Miang Kecil Labuhankelambu Sekerat

Sekerat

Bualbual Bualbual Kaliorang

Kaliorang

Susuk Luar Susuk Luar Tanjungmanis Tanjungmanis Susuk DalamSusuk Dalam Maloy

Maloy

Tg. Pagar Tg. Labuhanbini

Tg.Mangkaliha Teluk Nepa

Sangatta

Sangkulirang

Bengalon

Sandaran

SELAT MAKASSAR

1

5

' 0°

15

'

0

°30'

30'

0

°45'

0

°45'

0

0

' 1°

00

'

117°30' 117°30'

117°45' 117°45'

118°00' 118°00'

118°15' 118°15'

118°30' 118°30'

118°45' 118°45'

119°00' 119°00' 118

118

119

119

1 1

N

0

10 Kilometers

PETA TEMATIK JENIS TANAH KAB. KUTAI TIMUR

INZET LOKASI PENELITIAN

PULAU KALIMANTAN

Sumber Peta: 1. Peta RBI Bakosurtanal 1992

skala 1:250.0000 2. Peta Jenis Tanah Puslitanag

2001, skala 1:250.000

LEGENDA:

Sangkulirang

Sangatta

Sandaran

Kaliorang

Bengalon

Fluvaquent Hydraquent Rendolls Tropaquept Tropotolis Tropudults Dystropept


(5)

Lampiran 18:

Dokumentasi

Mangrove di lokasi tambak Sangkulirang

Vegetasi cemara laut

Mangrove di Sangkimah

Pantai di lokasi tambak Bengalon

Ekosistem Lamun

Ekosistem pasir putih

Bagan penangkapan ikan

TPI di Muara S. Kenyamukan


(6)

Vegetasi kelapa di Teluk Lombok

Karamba di Tanjung Bara

Kondisi Tambak Bengalon

Mangrove Teluk Lombok

Bulu babi

Karamba apung dengan drum

Karamba tancap di Teluk Lombok