Model Pengkajian Resiko Ekologis Akibat Tumpahan Minyak di Perairan Teluk Jakarta

PENDAHULUAN

1.I. Latar Belakang

Letak geografis lndonesia yang sangat strategis yaitu pada posisi
silang antara dua buah Samudera -Pasifik dan Hindia- dan diapit oleh dua
Benua -Asia dan Australia- serta besarnya potensi sumber daya alam yang
dimiliki,

memberikan kontribusi besar dalam

pengembangan kegiatan

kemaritiman dan pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir seperti sumber
daya perikanan, rumput laut, par~wisatabahari dan sumberdaya mineral
termasuk hidrokarbon yang terdapat di lepas pantai.
Berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya mineral (hidrokarbon)
tersebut, hingga tahun 1995, kurang lebih 41% dari total produksi minyak
dan gas bumi lndonesia berasal dari daerah lepas pantai, dan sisanya
diperoleh dari daerah pesisir atau daratan (Siagian, 1994).


Dengan

ditemukannya ladang-ladang rninyak baru di perairan lndonesia, maka
kegiatan eksplorasi,

eksploitasi dan produksi minyak semakin meningkat.

Kondisi tersebut tentunya

(multiplier effects) seperti

tidak

hanya

perolehan

memberikan
devisa


negara,

manfaat ganda
penyediaan

kesempatan kerja dan kegiatan ekonomi lain yang terkait, tetapi juga
berpotensi menimbulkan resiko pencemaran perairan faut seperti yang terjadi
di Perairan Teluk Jakarta (PTJ) (Salirn, dkk. 1997).

Teluk Jakarta merupakan wilayah perairan yang

memiliki potensi

surnberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat penting. Diantara
potensi dan sumberdaya Perairan Teluk Jakarta (PTJ) adalah ikan dan biota
laut,

hutan mangrove dan terumbu karang;

sedang jasa-jasa lingkungan


rneliputi industri, pariwisata, transportasi laut dan sebagainya.

Pemanfaatan

sumberdaya tersebut urnumnya dilakukan rnelalui berbagai kegiatan sepertj
perikanan dan pariwisata bahari ber~kutpenyediaan fasilitas pendukungnya
seperti pelabuhan.
Digunakannya PTJ untuk kegiatan lalulintas kapal, kegiatan perikanan,
pariwisata dan lain-lain,

merupakan sumber pencemar potensial di PTJ.

Kegiatan yang makin intensif tersebut mengakibatkan PTJ telah mengalami
perubahan (gangguan) dan dapat menyebabkan kerusakan (tekanan) pada
lingkungan perairan disertai dengan menurunnya kualitas perairan. Fenornena
lain adalah digunakannya PTJ sebagai jalur lalulintas kapal-kapal tanker oleh
perusahaan

pertambangan


Pertambangan (WKP)

minyak

lepas

pantai

di

Pertarnina Kepulauan Seribu.

Wilayah

Kuasa

Kegiatan tersebut

menggugah perhatian akan bahaya resiko ekologis yang rnungkin muncul

akibat ceceran rninyak oleh pecahnya (blowout) anjungan minyak atau
kecelakaan kapal tanker dari perusahaan perminyakan yang-berada di sekitar
PTJ.
Minyak yang tumpah dari kecelakaan kapal tanker dapat menyebar
perlahan-lahan

ke

perairan

pesisir.

Lapisan

minyak

yang

menutupi


permukaan air, akan

rnengganggu aktivitas

respirasi

biota

laut,

dan

menirnbulkan pembiusan (narkosis) serta kernatian berbagai biota laut pada
berbagai tahap penyebaran. Tingginya mortalitas pada daerah produktif
selanjutnya akan menurunkan nilai catch per unit of effort atau

nilai CPUE

nelayan setempat. Partikel minyak yang terakumulasi dalam jaringan tubuh
vegetasi dan fauna yang menjadi sumber pangan bagi manusia, akan

mernbahayakan kesehatan manusia. Selain itu pada konsentrasi dan tingkat
ketebalan tertentu partikel rninyak juga akan merusak sistern perikanan atau
budidaya tarnbak, menurunkan

sektor

pendapatan bisnis dan pariwisata

bahari di sepanjang pesisir (Seip. 1995).
Kondisi tersebut merupakan suatu tantangan besar bagi para pengguna
(users)

khususnya

para

pengambil keputusan di

bidang


pengelolaan

surnberdaya alarn dan lingkungan hidup. Karena di satu sisi

untuk

rnensejahterakan rakyat, harus dilakukan kegiatan pembangunan di berbagai
sektor termasuk sektor rnigas (minyak dan gas bumi), di lain pihak
pembangunan yang rnemanfaatkan

SDA tersebut menimbulkan dampak

negatif yang tidak diinginkan.
Oleh karena itu berkaitan dengan bentuk pengelolaan lingkungan laut
dan pesisir terhadap tumpahan minyak

serta untuk mendukung rencana

pengembangan lokasi pengeboran minyak lepas pantai dan mengevaluasi
pilihan bentuk pengelolaan tumpahan minyak yang paling layak, diperlukan

beberapa kegiatan penunjang

seperti kegiatan pengkajian resiko ekologis

akibat tumpahan rninyak lepas pantai oleh perusahaan pertambangan minyak
di WKP Perairan Kepulauan Seribu.
Untuk menanggulangi pencemaran laut oleh tumpahan minyak, perlu
dilakukan upaya terpadu baik dalam skala mikro maupun makro, termasuk
pengembangan perangkat lunak berbasrs digital yang dapat mernprediksi pola
pergerakan tumpahan minyak di perairan laut.

Perangkat lunak yang telah

dikembangkan saat ini umumnya baru pada tahap

memprediksi pola

pergerakan tumpahan minyak, dan belum pada kegiatan pengkajian resiko
yang ditimbulkan. Walaupun kegiatan pengkajian resiko telah dilakukan akan
tetapi


kegiatan tersebut

masih dilakukan secara terpisah dan

terintegrasi. Oleh karena itu

belum

untuk perbaikan dan peningkatan kegiatan

tersebut dilakukan penelitian lanjutan yang bersifat laboratorium,

yang

bertujuan selain mengembangkan model pergerakan yang sudah ada juga
dimaksudkan untuk memprediksi peluang resiko yang ditirnbulkan mulai dari
tahap pelepasan (release) partikel minyak mentah, tahap partikel minyak
rnengenai biota (exposure), tahap peluang partikel minyak mernpengaruhi
biota laut sampai tahap penentuan tingkat resiko minyak mentah terhadap

biota laut.
Kegiatan pengkajian resiko ekologis

tersebut merupakan kebutuhan

mendesak yang harus dilakukan secara lebih dini, terus menerus dan
menyeluruh. Akan tetapi terlalu kompleksnya sistem pesisir dan sifat ketidak
pastian (uncerfainty) yang dimiliki sistem pesisir dan laut serta beragamnya

karakteristik

tumpahan

minyak,

memungkinkan

untuk

dipilih

alternatif

penggunaan alat analisis (analytical tool) yang marnpu menyederhanakan
kompleksitas sistem yang dikaji.

Untuk itu penggunaan teknik pendekatan

simulasi dan permodelan yang dikombinasikan dengan distribusi peluang
sangat

rnernbantu dalam metakukan kegiatan pengkajian resiko yang

dilakukan.

Pendekatan

simulasi

dan

permodelan

digunakan

untuk

menyederhanakan kompleksitas dari sistem, sedangkan distribusi peluang
digunakan untuk mernbantu meminimalisasi ketidakpastian sistem.
Berdasarkan latar belakang tersebut,

maka dilakukan penelitian

MODEL PENGKAJIAN RESIKO EKOLOGIS AKIBAT TUMPAHAN MINYAK
Dl PERAIRAN TELUK JAKARTA.

1.2.

Perurnusan Masalah
Permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana menetapkan karakteristik pelepasan (release) partikel minyak
2. Bagaimana menentukan karakteristik zat pencemar yang mengenai biota
(exposure),

3. Bagaimana menentukan karakteristik efek partikel minyak terhadap biota
laut
4. Bagaimana mengkombinasikan ketiga karakteristik tersebut sehingga

diperoleh karakteristik resiko tanpa harus rnenggunakan dunia nyata (the
real world).

1.3

Kerangka Pemikiran Pemecahan Masalah
Secara skematik kerangka pemikiran pemecahan masalah penelitian ini

ditampilkan pada Gambar 1 .

Pengeboran minyak lepas pantai dan aktivitas

perminyakan yang rnenggunakan perairan laut dan pesisir sebagai jalur
pelayaran kapal tanker dapat menimbulkan pencemaran berupa tumpahan
minyak ke perairan sekitar. Fenomena tersebut harus diantisipasi sejak dini
melalui berbagai bentuk kegiatan diantaranya kegiatan pengkajian resiko
Iingkungan. Proses pengkajian resiko lingkungan menggunakan empat tahap
kegiatan yaitu: tahap penentuan pelepasan (release), tahap penyebaran zat
pencemar yang mengenai biota (exposure), tahap penentuan efek serta tahap
penentuan tingkat resiko ekologis yang ditimbulkan akibat tumpahan minyak.
Agar proses penentuan tingkat resiko ekologis dapat dilakukan dengan
baik diperlukan beberapa komponen penunjang yaitu komponen manusia
(terdiri atas pengelola, pengguna dan perencana) yang dapat memberi
masukan dan menyediakan informasi data yang dibutuhkan dalarn proses
simulasi dan uji laboratorium. Komponen lain adalah komponen alat (tool),
seperti pengembangan perangkat lunak untuk membangun sub-sub model
terkait yang mampu menjabarkan hubungan antara tingkat zat pencemar
mengenai penerima (reseptoi) dan tingkat efek. Peran sub-sub model tersebut
dijelaskan

sebagai

penerima (reseptorj

berikut :

(1)

tingkat

zat

pencemar

mengenai

dijelaskan oleh sub model zat pencemar mengenai

penerima (reseptor), (2) tingkat efek dijelaskan dalam sub model efek,

(3)

kemudian keduanya dijabarkan kembali ke dalam beberapa sub model terkait,
seperti sub model pergerakan (trajectory) partikef minyak dan sub model
ekologis

untuk menjabarkan sub model efek.

(4) Hasil interaksi tingkat

pelepasan, penyebaran dan pengaruh kemudian digunakan untuk rnenduga
tingkat resiko.
Karena seluruh sub model terkait rnerupakan abstraksi dari sistem
nyata yang kompieks

dan senantiasa menghadapi kondisi ketidakpastian

(uncedainfy), maka untuk dapat melakukan simulasi terhadap sub-sub model
tersebut diperlukan prosedur permodelan sistem dinamik
distribusi peluang.

dan konsep

Prosedur permodelan sistem dinamik diperlukan dalam

mengabstraksikan dunia nyata dalam model analisis pengkajian resiko (APR)
yang

lebih

sederhana,

sehingga

model

yang

terbentuk

mampu

mensimulasikan kondisi real dari sistem pada setiap tahap pengkajian resiko.
sedangkan

konsep

distribusi

peluang

berperan

dalam

meminimalisasi

ketidakpastian sistem dengan menghitung peluang-peluang kejadian yang
muncul dari sekian banyak kejadian yang disimulasikan.

Dengan demikian

untuk mengetahui tingkat resiko akibat tumpahan minyak,

penggunaan

kombinasi teknik pendekatan sistem dengan distribusi peluang merupakan
alternatif terbaik yang dipilih.

Sebelum dikomunikasikan kepada pengelola.

hasil pengkajian resiko tersebut mendapat rnasukan dari para pengguna dan
pengambil

keputusan

untuk

menetapkan

bentuk

pengelolaan

dan

pengambilan keputusan yang menjadi dasar bagi kegiatan pengeloaan
resiko ekologis akibat tumpahan minyak di laut. Hasil akhir pengkajian resiko
yang diperoleh dapat digunakan oleh para pengelola resiko dalam
menentukan bentuk kebijakan pengelolalaan resiko tumpahan minyak
terhadap Perairan Teluk Jakarta di masa depan.
Analisis Resiko
Dialog Pengelola
dan Perencana

Model Nasib dan
Lintasan Partikel
Minyak

Tumpahan Minyak

Karakteristik
Penyebaran

+

1 . Data masukan
2. Proses Iterasi
3. Pemantauan
Has i l

peluang

Karakteristik Efek
Karakteristik
Pengelolaan
3. Pengambilan

kepada pengelola resiko

r----l

Pengelola Resiko

Gambar 1. Kerangka Pernikiran Pemecahan Masalah

Maksud dan Tujuan Penelitian

4

Maksud

penelitian

ini

adalah

untuk

mengembangkan

kegiatan

pengkajian resiko dalam mengidentifikasi resiko ekologis akibat tumpahan
minyak di wilayah pesisir PTJ. Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1) Menentukan karakteristik pelepasan (release) partikel minyak
2) Menentukan karakteristik zat pencemar (partikel rninyak) mengenai biota
laut (exposure)
3) Menentukan karakteristik efek partikel minyak terhadap biota laut

4) Memberikan informasi mengenai tingkat resiko ekologis yang ditimbulkan
akibat turnpahan minyak terhadap biota laut.
1.5.

Manfaat Penelitian
lnforrnasi yang dihasilkan dari kegiatan pengkajian resiko dapat

digunakan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan tumpahan
minyak sekarang dan di masa depan. Proses tersebut juga diharapkan dapat
memberi arahan berupa kerangka kerja bagi para pengguna (users) dalarn
menetapkan kebijakan terbaik dalam pengelolaan resiko ekologis

akibat

tumpahan minyak di perairan laut dan pesisir. Pengkajian resiko yang
dilakukan

setidaknya

dapat

menentukan

bentuk

penanganan

atau

pengendalian resiko tumpahan minyak dengan tingkat strategi pengelolaan
yang tepat.

II.

2.1.

TINJAUAN PUSTAKA

Pencemaran Laut

Menurut

Winarso

(1990).

pencernaran

laut

adalah

keadaan

pencemaran yang terjadi di perairan atau di laut. Berdasarkan penelitian.
pencernaran laut lebih memusatkan diri pada proses fisis dari sebaran limbah
daripada proses biologis dan kimiawinya.

Perairan laut dikatakan tercemar

jika ditemukan ketidakrnurnian pada rnasa air tersebut. Ketidakmurnian air
laut dapat disebabkan beberapa ha1 seperti: tumpahan minyak, pernbuangan
berbagai limbah radioaktif,
1986).

pertanian, industri

maupun

dornestik (Clark,

Masalah pencemaran air laut rnenjadi sangat penting,

karena

pencemaran yang terjadi, baik disengaja atau karena kecelakaan, banyak
diternukan

di

perairan

pantai

dangkal

yang

merupakan

wilayah

berproduktivitas tinggi.

2.2.

Dampak Pencemaran Minyak

2.2.1. Dampak Terhadap Biota

Toksisitas minyak bumi terhadap biota akuatik selain ditentukan oleh
komposisi kirnianya, juga ditentukan oleh tipe dan sifat fisik rninyak bumi.
kondisi perairan yang terkena bahan pencemar,

kadar bahan pencemar,

serta lamanya bahan pencemar tersebut berinteraksi dengan biota.

Howart (1991) dalam Sloan (1993) menduga bahwa dampak akut dan
tidak langsung dari turnpahan rninyak terhadap phytoplankton dan zooplankton
dalam alam masih sedikit diketahui. Hasil penelitian

Siagian, Siregar dan

Rifardi (1994) menyimputkan bahwa ada pengaruh kontaminasi minyak bumi
terhadap pertumbuhan berat individu ikan hidup, dan sernakin tinggi kadar
toksisitasnya

akan

semakin

besar

pengaruhnya

dalam

menghambat

pertumbuhan ikan hidup tersebut.
Menurut Hamiedy (1976), kandungan hidrokarbon jenuh dalam perairan
pada konsentrasi rendah dapat menyebabkan Anasthesia dan Narcosis,
merusak sell dan akan menimbulkan
hewan-hewan tingkat rendah.

kematian pada sebagian

besar

Adanya lapisan rninyak di permukaan, akan

menghalangi penguapan dan akan menghalangi distribusi dan difusi oksigen
dari udara ke dalam air. Selain itu lapisan rninyak juga akan rnengurangi daya
tembus sinar matahari sehingga mengurangi pertumbuhan plankton dan
nabati lainnya (Hutagalung, 1985).
Penelitian rnengenai darnpak minyak terhadap zooplankton juga telah
banyak dilakukan. Reid (1987) dalam Sloan (1993) menyatakan bahwa minyak
mineral (minyak bumi) banyak terdeteksi pada telur-telur atau larva Copepoda.
Minyak di dasar perairan akan rnerintangi fotosintesis dari Zooxanthella
(Hamiedy, 1976 dan Berwick. 1983 dalam Dahuri, dkk., 1996).

2.2.2. Dampak Terhadap Ekosistem

Ekosistem pantai merupakan bentuk ekosistem yang sangat penting
dalam

menopang

produktivitas

perikanan

taut.

Daerah

pantai

dapat

merupakan ternpat mencari makan, tempat asuhan dan tempat pemijahan
bagi berbagai jenis spesies ikan komersial. Rusaknya daerah pantai akibat
pencemaran akan mempengaruhi kondisi kualitas air dan organisme yang
mendiami daerah sekitar pantai.
Howart (1991) dalam Sloan (1993) menyatakan bahwa telah banyak
dilakukan analisis untuk menduga pengaruh langsung maupun tidak langsung
dari minyak bumi terhadap perairan. Baker (1974 )
menyatakan

bahwa

pengaruh fraksi

dalam

Siagian (1985)

larut dari minyak bumi dapat

menyebabkan pertumbuhan organisme terhambat. Pada daerah beriklirn
tropis, dampak tidak
akan menyebabkan

langsung tumpahan minyak terhadap batuan karang
kematian

(Sloan. 1993). Pencemaran minyak dapat

mempunyai pengaruh yang luas terhadap hewan dan tumbuhan yang hidup di
daerah tersebut.

Minyak yang menyebar sangat berbahaya bagi kehidupan

burung laut yang selalu berenang di atas permukaan air, seperti Auk (sejenis
burung laut yang hidup di daerah sub tropik) dan Guillemot (jenis burung laut
kutub) (Hutabarat dan Evan, 1988).
Howarth (1991) dalam Utama (1996).

menyatakan bahwa lapisan

minyak yang rnenutupi permukaan laut dapat bertahan selama beberapa
bulan, bahkan dalam konsentrasi rendah

minyak di dalam laut dapat

mempunyai dampak

letal

bagi sumberdaya

hayati perairan.

Berbagai

organisme dapat tertekan biia sangat terbuka terhadap hidrokarbon minyak,
karena bahan-bahan kimia yang beracun mengganggu proses kehidupan
organisme, menghalangi aktivitas fisik atau mengganggu penerimaan sensor
dan perubahan perilaku.
Sementara itu Sloan (1993) mengemukakan bahwa jenis rumput laut
akan rnenentukan tingkat kerentanan terhadap tumpahan minyak.

et.al.,

Ballaou

(1987) rnengungkapkan bahwa dari hasil penelitian yang telah dilakukan

selama 30 bulan dapat disimpulkan bahwa setelah terkena tumpahan minyak
selama empat bulan, mangrove (bakau) akan mengalami perontokan daun

(defoliast)bahkan kematian. Ditambahkan oteh Sloan, (1993), bahwa sekali
"mangrove" terkena minyak, maka ia akan terbunuh. Bahkan penyemprotan
dengan dispersanpun tidak dapat menolong kerusakan tersebut. Sama halnya
rumput laut, "mangrove" memiliki tingkat kerentanan yang berbeda-beda
menurut jenisnya.
Menurut Pariwono (1996). rninyak bersifat merusak bagi kehidupan
akuatik karena beberapa ha1 yaitu: (1) kehadiran minyak dapat menutupi serta
merusak ganggang dan plankton,

sehingga pembiakannya terhambat (2)

lapisan minyak yang tebal dapat rnenghambat proses reaerasi dan fotosintesis
alamiah (3)

komponen-komponen air

yang dapat

timbulnya proses peracunan secara langsung dan

larut memungkinkan
(4)

komponen-komponen minyak yang dapat mengendap akan menutupi dasar

2.2.3. Dampak Terhadap Kesehatan
Pada bidang kesehatan, tampaknya pengaruh polusi minyak terhadap
lingkungan perairan relatif kecil. Dalam air minum, senyawa minyak menjadi
senyawa organoteptik pada konsentrasi jauh di bawah standar Toksisitas
Kronik (US EPA. 1976). Dengan demikian mengkonsumsi air yang terpolusi
minyak tidak-signifikan untuk menyatakan sebagai sumber exposure bagi
manusia. Walaupun demikian peluang tubuh manusia terkontaminasi minyak
pada proses rantai makanan cukup besar, yakni ketika mengkonsumsi ikan
atau ikan karang yang terkontaminasi minyak.
2.3.

Karakteristik Minyak dan Pencemarannya di Laut

2.3.1. Karakteristik Minyak Burni

Minyak berasal dari bahan organik, diantaranya plankton, hewan dan
tumbuhan yang mengendap dalam sedimen dan mengalami dekomposisi
akibat pengaruh sifat fisik dan kimia (tekanan, suhu dan waktu yang lama)
serta dibantu oleh bakteri an-aerob dan akhirnya menjadi minyak bumi
(Mallins, 1977).
Komposisi dan sifat minyak mineral (minyak bumi) sangat beragam.
Berdasarkan struktur molekulnya minyak bumi terdiri dari ribuan senyawa
kimia yang dikelompokkan menjadi lima yaitu: (1) n-alkana; seri alkana
berantai lurus, biasanya mengandung atom C dari 1-60 buah.

(2) alkana

bercabang; merupakan isomer dari alkana (3) siklo-alkana (naftena)

- senyawa

alkana yang mengandung gugus cincin - (4) aromatik

-

mengandung 1 atau

lebih

gugus

(5) olefin

-

benzen

dengan

atau tanpa substitusi gugus alkil

-

dan

mengandung gugus alkena. Biasanya terdapat dalam rninyak

mentah (crude oil)- (Hutagalung, 1985).
Pengeftian umurn minyak bumi adalah minyak alarn dengan beraneka
macam warna yaitu: hitarn, coklat,

hijau sampai kuning muda. Kornponen

utama minyak burni adalah hidrokarbon (Cappuzo, 1987). Sementara itu
Hamiedy (1976) memberi definisi minyak mentah (crude oil)

sebagai

campuran yang kornpleks, mengandung hidrokarbon jenuh bertitik didih
rendah, dan cepat larut dalam air.

Clark (1986) mendefiniskan "crude OR'

sebagai campuran berbagai hidrokarbon yang terdapat dalam fase cair pada
tekanan atrnosfer tertentu.

Hidrokarbon yang terdapat pada "crude oif'

merupakan komponen organik yang terdiri dari atom hidrogen dan karbon
yang berdasarkan susunan dan sifat kimianya terbagi menjadi tiga kelas, yaitu

: alifatik, alisiklik, dan aromatik.
Disarnping adanya ikatan hidrokarbon, minyak bumi juga rnerniliki
ikatan non-hidrokarbon yang disebut senyawa "impurities ". Senyawa ini terdiri
atas unsur-unsur belerang (organo belerang), nitrogen (organo nitrogen),
oksigen (organo oksigen) dan beberapa logam berat (senyawa organo metal)
(Green dan Trett, 1989). Senyawa Non-hidrokarbon berada dalam seluruh
fraksi minyak burni, tetapi konsentrasinya rneningkat searah peningkatan berat
jenis (BJ).

2.3.2. Pencemaran Laut oleh Tumpahan Minyak di Perairan.

Menurut Coutrier (1976), sumber tumpahan minyak di laut tidak hanya
berasal dari aktivitas penambangan minyak saja, akan tetapi juga dari pihak
konsumen minyak, baik yang berasal dari aliran sungai (DAS) , pemukiman
kota, pemukiman pantai. pabrik-pabrik industri dan kapal-kapal yang langsung
membuang air sisa (ballast) nya ke laut.

Justru 61.5 % tumpahan minyak ke

laut berasal dari sumber konsumen minyak, yakni; 34.9 % dari transportasi
dan 26.6 % dari aliran sungai. Sedangkan oleh aktivitas produksi lepas pantai
hanya sekitar 1.3%.

Sebenarnya pencemaran laut oleh tumpahan minyak

mineral sudah ada sejak berabad-abad yang lampau sebagai akibat rembesan
minyak secara alarni dari dalam bumi (oil seeps), seperti yang terjadi di Santa
Barbara, California, Amerika Serikat dan di Teluk Cariaco, Venezuela. Pada
saat itu manusia belum mengetahui bahaya minyak mineral terhadap
organisme perairan (Hutagalung. 1985)
2.3.3. Proses Penyebaran Tumpahan Minyak.

Menurut kategorinya minyak tergolong polutan konservatif

(tidak

rnudah diurai) karena dapat bertahan lama di perairan, sebelum akhirnya
menguap ataupun teradsorpsi oleh adanya berbagai reaksi fisiko kimia
perairan. Sebaran tumpahan minyak di perairan laut adalah keadaan proses
fisis yang kompleks dari gelombang, arus, kerapatan dan beda konsentrasi
antara lapisan minyak dan air laut. Untuk mengenali pola sebaran tumpahan

minyak di perairan taut dapat dibantu dengan menggunakan konsepsi
permodelan sistem (Hutagalung, 1985 ).
Minyak

bumi yang

mengalami proses

masuk ke dalam

penguraian

lingkungan perairan akan

baik secara fisika, kimia maupun biologi.

. Nasib dari bahan pencemar setelah memasuki tautan akan mengalami
berbagai

proses diantaranya

terencerkan dan tersebarkan oleh turbulensi

dan arus laut serta secara biologis diuraikan oleh
kemudian
akan

diserap oleh plankton nabati

mengalami

pengendapan,

serta

terlarut

mikroorganisme yang
secara

fisika

ataupun

kirnia
menguap

(Ruyitno, dkk. 3994).
Arumsyah (1994)

menyatakan bahwa minyak bumi yang masuk ke

dalam perairan laut akan mengalami proses penguapan
fraksi

ringan),

terjadinya

degradasi,

dan

(terutama

emulsifikasi

dari

komponen-kornponen tertentu. Dengan demikian partikel-partikel minyak bumi
bisa melayang,

mengapung, atau tenggelam ke dasar perairan disamping

terdispersi dan teremulsi.
Pergerakan dan penyebaran minyak di laut dipengaruhi oleh arus,
suhu, salinitas serta turbulensi. Sirkulasi arus dapat membantu datam
penyebaran bahan pencemar dari daerah yang terbatas ke daerah yang lebih
luas. Suhu dan salinitas berpengaruh dalam penyebaran, pencampuran dan
pengendapan dari zat-zat yang masuk ke dalam air laut. Suhu dan salinitas
rnempengaruhi viskositas

(kekentalan),

yang

secara tidak langsung

mempengaruhi

kecepatan

pengendapan

partikel-partikel minyak

(Arumsyah, 1994). Sedangkan besarnya turbiditas sangat menentukan
kecepatan pencampuran dan pengendapan dari tumpahan minyak ke dalam
air laut.
2.3.4. Penanggulangan Tumpahan Minyak

Para ahli telah berusaha mencari cara yang paling efektif untuk
menanggulangi masalah pencemaran minyak bumi. Ada beberapa cara
penanggulangan tumpahan minyak di laut baik bersifat kimia maupun fisik.
1)

Cara Kimia
Beberapa cara penanggulangan tumpahan minyak yang bersifat kimia

yaitu: (1) dengan menyemprotkan dispersan. Dispersan merupakan senyawa
kimia yang bersifat aktif permukaan dan digunakan untuk mendispersikan
tumpahan minyak di laut agar tumpahan minyak tidak mengotori pantai
(Mulyono.

1995).

mempercepat

Tujuan

laju

dari

penggunaan

biodegradasi

minyak,

dispersan

mencegah

diantaranya

pengotoran

:

dan

pencemaran kehidupan laut, mencegah kernatian burung laut dan rnencegah
terbentuknya gumpalan-gumpalan minyak (tar-lumps) (Coutrier, 1976).
Pemberian dispersan pada tumpahan minyak ini pada dasarnya adalah
menambah jumlah zat-zat surfaktan sehingga tegangan permukaan antara
minyak dan air menjadi sangat kecil dan minyak dapat terpecah menjadi
butiran-butiran yang lebih kecil.
bergabungnya

Selain itu dispersan dapat mencegah

kembali butiran-butiran yang terdispersi

(Mulyono, 1995).

.

Senada dengan pendapat tersebut, Coutrier (1976) rnengernukakan secara
teknis pelaksanaan operasi pembersihan dengan dispersan pada pokoknya
adalah dengan cara rnenyemprotkan dispersan tersebut ke dalarn lapisan
rninyak. Penyemprotan ini dapat dilakukan dengan pompa tangan, dari suatu
kapal rnaupun dari pesawat terbang atau heli copter. Efektivitas yang tinggi
akan diperoleh bila disertai dengan usaha pengadukan yang baik.
Selain berdampak positif, obat-obat pembersih seperti dispersan
tersebut

juga

berpotensi

menirnbulkan darnpak

negatif

karena

pada

daerah-daerah yang rnenggunakan dispersan sebagai pembersih, ternyata
mengalarni proses pembersihan lebih lambat daripada daerah yang tidak
rnenggunakan dispersan (Hutabarat dan Evans, 1988). Narnun Sloan (1993),
rnenernukan bahwa tiga dari 12 dispersan yang diujikan pada ikan, batuan dan
rurnput laut serta "mangrove" menunjukkan tidak bersifat toksik. Tiga tipe
dispersan tersebut adalah dari jenis Cold clean, Corexit 9550 dan Finasol

OSR7.lnformasi tersebut sangat rnembantu khususnya pernerintah Indonesia
untuk menentukan pilihan terhadap jenis-jenis dispersan apa yang paling
cocok untuk digunakan dalarn penanggulangan turnpahan minyak. (2) cara
kimia lainnya adalah dengan mengembangbiakan bakteri atau rnikroba
pernakan qtau pemecah minyak pada daerah-daerah dirnana terdapat
gumpalan rninyak pada wilayah perairan yang tercernar, narnun penggunaan
cara

ini

baru

pada

tahap

penelitian laboratorium dan

belum

dapat

direalisasikan penggunaannya. Menurut laporan dari beberapa surnber,

tarnpaknya cara ini sangat bernilai untuk direalisasikan, karena efisiensi
waktu, biaya dan tenaga.
(1972)
Reisfeld ef. -a/.,

mengemukakan kemungkinan penggunaan

kemarnpuan mikroba untuk membantu meningkatkan biodegradasi dari
minyak bumi sehingga dapat mengurangi kontaminasi.

Data mengenai

adanya mikroba laut di perairan Indonesia yang mampu rnemecah minyak
sampai sekarang masih sukar diperoleh

2).

Cara Fisik

Beberapa cara penanggulangan yang bersifat fisik maupun kebijakan
telah diungkapkan oleh Coutrier (1976) antara lain : (1) rnelokalisir tumpahan
agar

tidak

meluas,

(2)

mengumpulkan

rninyak

tumpahan,

dan

(3) mernbersihkan daerah sekitarnya. Sedangkan Dahuri, Rais, Ginting dan

Sitepu (1996) mengungkapkan suatu upaya pencegahan (preventif) dengan
melakukan

program

monitoring

serta

rencana

untuk

kemungkinan terjadinya tumpahan minyak di perairan laut.

menanggulangi

2.4.

Analisis Sistem dan Permodelan

2.4.1. Konsepsi Sistem

Sistem adalah bagian dari alam semesta yang dapat dibedakan dengan
jelas dari lingkungan luarnya, baik oleh batas fisik maupun batas konseptual
(Hillel. 1977). Pada hakekatnya semua yang dipandang sebagai sistem dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu sistem terbuka (open system) dan sistem
tertutup (closed system) (Rambo, 1984). Sistem-sistem tersebut tanpa disadari
telah menjadi bagian kehidupan mahtuk hidup. Menurut Eryatno, dkk., (1990)
suatu sistem pada urnurnnya dapat dimodelkan. Sedangkan
memodelkan

suatu sistem biasa

disebut

usaha

untuk

permodelan sistem (Bindun,

1984).
2.4.2.

Diskripsi Model
Model merupakan suatu abstraksi atau penyederhanaan dari sebuah

sistem. Rau dan Wooten (1980) memandang bahwa model merupakan suatu
penampakan dari sistem sebenarnya. Model-model suatu ekosistem umumnya
lebih sederhana dari arti sesungguhnya. Seperti halnya model pesawat
terbang lebih kecil daripada pesawat sesungguhnya. Proses kegiatan yang
menggunakan pendekatan sistem sebagai kerangka bahasan dikenal dengan
istilah permodelan (modelling).
Hall dan Day (1977) mengartikan permodelan sebagai suatu proses
dimana interaksi antara komponen-komponen ekosistem diidentifikasi dan
dianalisis.

Ditambahkan pula

oleh

Diana dan

Conyers

(1992)

dan

Tasrif (1994); permodelan memiliki kegunaan praktis bagi para pengambil
keputusan dalarn menganalisis suatu permasalahan dan mengungkapkannya
sebagai suatu alternatif kebijakan.
2.4.3. Tujuan Permodelan

Berdasarkan pandangan Nasendi dan Anwar (1 985), Nasoetion (1996)
serta Simarmata (1985). maka penggunaan permodelan memiliki tujuan yaitu:
(1) guna menganalisis dan mengidentifikasi pola hubungan antara masukan
dan keluaran dengan parameter kualitas lingkungan yang diamati. (2) guna
rnenyusun suatu strategi optimal dalam sistem pengendalian, serta (3) guna
mengidentifikasi kondisi-kondisi mana suatu pilihan kebijakan dapat diterima.
2.4.4. Prosedur Permodelan

Untuk membangkitkan data menjadi suatu model, beberapa langkah
yang

lebih dikenal dengan prosedur permodelan harus

dilaksanakan.

Langkah-langkah aplikasi secara lengkap dirangkum sebagai berikut: proses
pembentukan

model

yang

sederhana

pada

dasannya

merupakan

pengembangan proses-proses ilmiah, yang didasari oleh logika pikir murni
yang diperoleh dari pengalaman sebelumnya ataupun otodidak. Model
konseptual yang terbentuk kemudian dilanjutkan dengan penggambaran
model diagramatik
menjelaskan

di

atas kertas. Tujuan

keseluruhan

konsep

yang

model diagram
dikembangkan

ini adalah

pada

tahap

sebelumnya. Karena dalam penggambaran tahapan konstruksi sistem didasari
pada

logika,

pengalaman dan

pengetahuan,

maka

konstruksi

sistem

dipengaruhi oleh berbagai variabel, sehingga pembentukan model secara
matematik dapat membantu memecahkan masalah. Akhirnya dengan bantuan
model komputer yang terprogram, suatu alternatif pemecahan dapat dihitung
lebih jauh dalam upaya mencapai tujuan yang sebenarnya (Hall dan Day,
1977; Gordon, 1980 dan Winardi, 1989).
2.4.5. Simulasi

Satu pendekatan pengembangan model adalah simulasi. Menurut
Forester (1961), simulasi sering digunakan untuk menjelaskan proses uji coba
pada model-model pengganti sistem nyata.

Sedangkan Winardi (1989)

menyebut simulasi sebagai usaha untuk membentuk sebuah model percobaan
tentang suatu proses atau sistem keputusan, untuk kemudian mengevaluasi
berbagai macam atternatif-alternatif khusus dengan jalan menguji model yang
bersangkutan secara berulang. Dipandang dari sudut tertentu dapat dikatakan
bahwa simulasi merupakan sebuah metode penyelenggaraan eksperimentasi
(eksperimentito).

Keuntungan digunakannya simulasi adalah dapat memecahkan banyak
sekati persamaan secara serentak (simultan) dan dapat mengakomodasi
sistem non-linier dari suatu proses atau persamaan. Jadi sangat sesuai untuk
sistem

yang

kompteks.

Melalui

simulasi

keputusan-keputusan yang

berguna

terhadap

juga

dapat

jenis-jenis

diperoleh

permasalahan

tertentu dengan cara melakukan uji coba (eksperimentasr) tanpa mengganggu

sistem

atau

mengadakan perlakuan terhadap

sistem

yang

diteliti

(Hall dan Day, 1977).
Simulasi pada urnumnya bersifat empiris. Tujuan simulasi bukanlah
untuk "optimasi" melainkan didasari pada pendekatan coba-mencoba (trial
and eror aproach) terhadap problerna-problema yang kompleks. Simulasi tidak
menggunakan metode yang tetap seperti halnya simpleks dalam "linier
programming", tetapi hanya suatu tatacara yang bergantung pada persoalan
yang dikaji.
2.5.

Analisis Pengkajian Resiko (APR)

Analisis Pengkajian Resiko (APR) adalah suatu kegiatan pengkajian
untuk menentukan pengaruh yang diterima lingkungan seperti tumbuhan,
hewan dan komponen sistem lingkungan lain akibat masuknya zat-zat
pencemar ke sistern lingkungan (SETAC TIP, 1997).

Analisis Pengkajian

Resiko (APR) pada umumnya terkait dengan aktivitas manusia yang dalam
mernanfaatkan SDA sering mengubah gambaran penting dari sistem ekologi
seperti danau, sungai, hutan atau pesisir.
dibangkitkan

suatu

baru serta dapat

program

mengurangi

Dari hasil APR juga dapat

penelitian untuk
ketidakpastian

menambah

(uncertainty)

inforrnasi

dari

sistem

(Hart, ef. a/., 1992)
2.5.1. Alasan digunakannya APR sebagai Alat (Tool)
Alasan digunakannya APR oleh industri, badan-badan pemerintah,
rnasyarakat,

para

praktisi maupun para pengambil keputusan,

karena

APR dapat mendukung dalarn pengarnbilan keputusan di bidang pengelolaan
lingkungan.

Selain itu APR

rnembantu mengorganisasi inforrnasi dan

memberikan kontribusi dalam rnenetapkan suatu keputusan (SETAC TIP,
1997). Secara lengkap ernpat alasan mengapa APR dijadikan sebagai alat

(fool)dalam pengelolaan resiko yaitu:
1). Memperjelas resiko tertentu sehingga rnembantu dalarn rnengalokasikan
SDA yang terbatas
2).

Membantu pembuat

keputusan dalam

menjawab pertanyaan yang

berkaitan dengan konsekuensi dari beragarn kegiatan pengelolaan SDA

3). Memudahkan penegasan identifjkasi nilai lingkungan yang diamati
4).

Mengidentifikasi pertentangan (gap) yang terjadi antara pengetahuan
dengan kondisi di lapang, sehingga dapat ditetapkan prioritas penelitian di
rnasa depan.

2.5.2. Tahapan Pengkajian Resiko.

Secara urnum ada empat tahap pengkajian resiko, sebagai berikut:
1). Penetapan karakteristik "pelepasan" partikel rninyak

2). Penetapan karakteristik zat pencemar mengenai biota laut
3). Penetapan karakteristik efek
4). Penetapan karakteristik resiko (Dooley, 1990 dan Cardwell eta/.,
1993)

Dalam proses penyelesaian seluruh tahap pengkajian resiko tersebut
rnenghadapi berbagai kendala seperti kondisi ketidakpastian,
sistem, dinarnika sistern dan keterbatasan sistern

kornpleksitas

(Kuntoro dan Listiarini,

1987). Oleh karena itu

pengembangan sub-sub model pada setiap tahap

(mulai tahap pelepasan sampai tahap penetapan karakteristik resiko) dijiwai
oleh konsep analisis sistem dan distribusi peluang.
2.5.3.

Model Pengkajian Resiko Ekologis

Permodelan sistem

yang

dibahas dalam

ha1 ini

adalah

model

pengkajian resiko ekologis . Model pengkajian resiko ekologis ini dijabarkan
menjadi tiga sub model yaitu:
1). Sub model karakteristik zat pencemar rnengenai biota laut
2). Sub model karakteristik efek dan

3). Sub model karakteristik resiko

I). Sub model karakteristik zat pencemar mengenai biota laut .
Sub model ini terbagi menjadi dua sub model yaitu: sub model
pergerakan lapisan minyak (trajectory)

dan sub model jalur pencemar

rnengenai biota laut (exposuree pathways).
a.

S u b model nasib dan pergerakan lapisan minyak
Fay (1971)

menurunkan persamaan rnaternatika untuk menghitung

model sebaran pencemaran di laut.

Salah satu kajian model sebaran zat

pencemar di laut menurutnya yakni model sebaran limbah yang terjadi di
perairan laut secara mendatar.

Terutama untuk kajian satu dimensi (ID).

Sedangkan Winarso (1990) membahasnya dalam konteks tiga dimensi.

Lirnbah berbentuk partikel minyak yang masuk ke perairan dapat
berakumulasi tergantung pada interaksi dari biokimia yang sangat kompleks.
Kekuatan dan besar dari aliran dan sebarannya sangat dipengaruhi oleh halha1 khusus dari minyak,
viskositas

seperti:

gaya gravitasi,

tegangan perrnukaan,

serta parameter lingkungan yang memungkinkan terjadinya

perubahan kondisi fisik permukaan laut seperti proses penguapan, pencucian
dan aliran.
Adanya

penguapan berpengaruh dalam rneningkatkan kepekatan

minyak dalam air,
kepekatan dari

sedangkan pencucian dan aliran dapat menurunkan

partikel minyak. Selain faktor-faktor tersebut,

penyebaran

turnpahan rninyak juga dipengaruhi oleh faktor iklim antara lain: 1) ukuran
kekuatan angin, 2) sirkulasi angin lokal, 3) arus pasang serta 4) gelombang.
Lintasan penyebaran tumpahan minyak juga

dipengaruhi oleh adanya

pengaruh rotasi bumi dan perbedaan kutub bumi (coriolis efect). Model
rnatematika nasib dan pergerakan tumpahan minyak tersebut menggunakan
model yang telah

dikembangkan oleh Hadi, dkk. (1995) dan Salirn, dkk.

(I
997).
b.

Sub model jalur penyebaran zat pencemar yang mengenai biota.

Sub model ini bertujuan untuk menentukan deskripsi dari jenis dan
intensitas zat pencernar mengenai reseptor.

Deskripsi termasuk kondisi

ketidaktentuan (uncertainty) yang dibahas dalam peluang zat pencemar
rnengenai reseptor berbagai kategori.

Secara skematik sub model

jalur

penyebaran

zat

pencemar

rnengenai

reseptor

(exposuree pathways)

ditampilkan pada Garnbar 2.

I

1

Turnpahan Minyak

Kolarn Air

Budidaya Tarnbak
Organisme Perairan

Gambar 2. Model Jalur Penyebaran Zat Pencernar yang Mengenai
Reseptor (Exposure Pafhways)
2).

Sub Model Efek (SME)
Sub model efek (SME) digunakan untuk menentukan karakteristik efek.

Kegiatan ini bertujuan untuk rnendefinisikan konsentrasi zat-zat kirnia

atau

jumlah penyebab stres fisik yang diperkirakan menyebabkan pengaruh
tertentu. Penetapan pengaruh didasari pada lokasi masing-masing obyek atau

dapat

pula

berdasarkan

kriteria

yang

dikeluarkan

oleh

badan-badan

pemerintah serta badan kesehatan dunia ( Seip, 1991). Sub model efek yang
lengkap untuk wilayah pesisir pada umumnya menggunakan enam atribut
(Gambar 3).

1
Perikanan

lndustri Pariwisata

Ekonomi

Tumpahan Minyak

Mangrove

Kematian Biota

+

Kerusakan
Lingkungan
Kesehatan Manusia

Gambar 3. Hierarki Enam Atribut Sub Model Efek

3).

Sub Model Resiko (SMR)
Sub model resiko (SMR) rnensyaratkan pendugaan resiko akibat

terlepasnya partikel minyak ke Perairan Teluk Jakarta. Pada tahap ini dibuat
suatu keadaan (skenario) yang menggarnbarkan terjadinya tumpahan rninyak
dengan berbagai kondisi pelepasan partikel minyak.

Inti

model resiko

dijabarkan dalarn tiga bagian (Dooley, 1990).
Bagian 1.

Penentuan total peluang pengaruh (Pi)

Total peluang pengaruh dapat ditentukan dengan mengalikan peluang
pelepasan partikel minyak dengan peluang zat pencemar rnengenai biota laut
untuk rnasing-masing keadaan (skenario) (Tabel Lampiran 64).
Bagian 2. Penentuan besar pengaruh (Ni) yang diterima biota laut akibat
zat pencemar minyak berbagai atribut masing-masing keadaan (Tabel 1).
Tabel 1. Atribut Pengaruh Tiga Keadaan (skenario) Turnpahan Minyak yang
Mengenai Biota laut (Dooley, 1990).

Biota laut

Kakap Putih

Atribut
Pengaruh

Jurnlah Kejadian yang Dialami
Biota laut
pada Tiga Keadaan (Skenario) Tumpahan
Minyak (Ni)
Konsentrasi
Konsentrasi
Konsentrasi
Rendah
Sedang
Tinggi

1. Sakit

A

€3

2. Mati

D

E

Keterangan :
A, B dan C

adalah jumlah kejadian sakit, bernilai satu sampai n.

D, E dan F

adalah jumlah kejadian mati, bernilai satu sampai n.

Bagian 3.

Mengalikan total peluang pengaruh (Pi) dengan jumlah biota laut

yang terpengaruh (Ni), berikut interpretasinya. Proses pemasukan data dan
perhitungannya ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Jumlah Peluang Pengaruh (Pi), Jumlah Biota laut

yang

Terpengaruh (Ni) dan Hasil Kali Pi dengan Ni (Dooley, 1990)

Keterangan :
Ps

= Nilai jumlah peluang sakit biota laut

Pm

= Nilai jumlah peluang mati biota laut

Ns

= Jumlah biota laut yang terpengaruh (sakit)

Nrn

= Jumlah biota laut yang terpengaruh (mati)

2.5.4. Konsep Peluang

Komarudin (1984)

mengungkapkan bahwa peluang adalah suatu

konsep yang merupakan ukuran bagi kemungkinan atau ketidakmungkinan
timbulnya suatu peristiwa. Sekiranya suatu peristiwa sangat tidak masuk aka1

untuk terjadi, rnaka dikatakan rnerniliki peluang yang sangat kecil

untuk

terjadi. Sebaliknya jika peristiwa itu besar sekali kemungkinannya untuk
terjadi, rnaka dikatakan mernpunyai peluang yang besar untuk terjadi.
Peluang juga dipandang sebagai suatu cara untuk menjabarkan
ketidakpastian seseorang dalam menghadapi suatu kejadian atau variabel.
Peluang berhubungan dengan tingkat pengetahuan

atau inforrnasi yang

dirniliki seseorang pada saat menghadapi kejadian tersebut, yaitu dengan
rnenanyakan: "berapa besar kernungkinan rnunculnya variabel tersebut"
(Kuntoro dan Listiarini, 1990).
Dalarn konteks yang sarna, konsep peluang oleh statistikawan diganti
dengan istiIah yang lebih inforrnatif tetapi tidak berketepatan tinggi,

seperti

"rnungkin" dan "harnpir pasti" dengan sebuah bilangan antara no1 dan satu;
yang rnenunjukkan dengan tepat seberapa jauh suatu kejadian mungkin atau
tidak mungkin terjadi. Contoh yang dapat diberikan adalah suatu pernyataan
pengarnat lingkungan yang rnerarnalkan bahwa sejumlah zat pencemar radio
aktif rnempunyai kernungkinan tiga berbanding dua untuk menirnbulkan
kernatian terhadap biota laut. Dari pernyataan tersebut, kita mungkin akan
mengartikan bahwa biota laut akan rnengalarni kernatian dengan peluang
besar; atau bahwa bila zat pencernar radio aktif tersebut terlepas (release)
dalam beberapa kejadian,

maka biota laut akan mati kira-kira tiga-perlima

atau 60% dari keseluruhan kejadian.

Ungkapan tiga berbanding dua dapat diubah menjadi peluang dengan
membentuk
pembilang,

pecahan-pecahan

dengan

bilangan-bilangan

itu sebagai

dan jumlah keduanya sebagai penyebut. Jadi ungkapan tiga

berbanding dua dalam kejadian tersebut, dapat diartikan bahwa
biota laut mati
adalah 215

adalah 343 + 2) = 315 = 0.6.

peluang

dan peluang tidak

mati

= 0 . 4 (Steel dan Torrie. 1993).

2.5.5. Komponen Fisik Perairan Laut.

Pada umurnnya proses penyebaran limbah di perairan laut lebih
memusatkan diri pada proses fisisnya daripada proses biologi dan kimiawinya
(Winarso, 1990). Jorge dan Bentillo (T992) rnenyatakan bahwa penyebaran
rninyak dipengaruhi oleh kombinasi dari angin skala besar,
lokal, arus perrnukaan

dan arus pasang surut.

sirkulasi angin

Sedangkan menurut J.M.

Bishop (1984). penyebaran minyak di permukan air tergantung dari volume,
densitas minyak dan kondisi lingkungan seperti kecepatan angin,
tinggi gelombang.

arus dan

Oleh karena itu berkaitan dengan faktor-faktor yang

mernpengaruhi proses penyebaran tumpahun minyak ini, perlu diketahui
komponen-komponen fisik perairan laut di lokasi kejadian. Untuk dapat
memahami dan mengkaji komponen tersebut, maka perlu diketahui terlebih
dahulu parameter-parameter fisika perairan yang ada. Beberapa parameter
tersebut antara lain: keadaan angin (arah dan kecepatan),
(pasut) dan pola arus.

pasang surut

I).

Angin

Angin

merupakan

pergerakan

massa

udara.

Terjadinya

angin

disebabkan karena adanya perbedaan tekanan udara sebagai hasil dari
pengaruh ketidak seimbangan pemanasan sinar rnatahari terhadap tempat tempat

di

sejurnlah
khusus

permukaan bumi. Keadaan tersebut rnenyebabkan naiknya
besar

yaitu

massa

udara yang ditandai

terdapatnya

tekanan

udara

dengan

timbulnya

sifat

yang tinggi dan rendah

(Hutabarat dan Evans, 1988)
Data

tentang

arah

dan

kecepatan

angin

diperlukan

untuk:

(1) memprakirakan besar dan arah gelombang. (2) memprakirakan kuat dan
arah arus non-pasut , (3) memprakirakan arah dan kecepatan penyebaran
limbah terapung yang terjadi di perairan, seperti turnpahan minyak atau bahan
pencemar lainnya.
2).

Pasang-Surut (Pasut)

Menurut Nontji

(1987).

pasang surut atau disingkat pasut adalah

gerakan naik turunnya muka laut secara berirarna yang disebabkan oleh gaya
tarik bulan dan matahari. Karena adanya gaya tarik bulan yang kuat, maka
bagian bumi yang terdekat ke bulan akan tertarik rnembengkak sehingga
perairan samudra disitu akan naik dan menimbulkan pasang. Pada saat yang
sarna, bagian burni di baliknya akan mengalami keadaan serupa yaitu pasang.
Sementara itu pada sisi lainnya bagian yang tegak lurus terhadap posisi

bumi-bulan, air samudra akan bergerak ke samping sehingga rnenyebabkan
terjadinya keadaan surut.
Pasut di Indonesia dilihat dari pola gerakan muka lautnya dibagi empat
jenis

yakni : pasut harian tunggal (diurnal tide), pasut harian ganda

(semidiurnal tide),

pasut

campuran

condong

ke

harian

ganda

(mixed tide, prevailing semidiurnal), dan pasut campuran condong ke harian
tunggal (mixed tide, prevailing diurnal). Berbeda dengan arus yang disebabkan
oleh angin yang hanya terjadi pada air lapisan tipis permukaan, maka arus
pasut dapat rnencapai lapisan yang lebih dalam.
lnformasi mengenai pasang surut diperlukan untuk:
( 1 ) Mengetahui daerah pantai atau daratan yang masih dipengaruhi oleh laut,

dan sebaliknya
(2) Mengetahui proses gerakan massa air yang disebabkan oleh pasut

(3) Mengetahui luas perairan yang dipengaruhi oleh pasut, sehingga dapat

mernprakirakan luas persebaran darnpak.

3).

Arus

Nontji (1988), Hutabarat dan Evans (1988).

mendefinisikan arus

sebagai gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan
angin atau karena perbedaan dalam densitas air laut atau dapat pula
disebabkan oleh gerakan

bergelombang panjang,

disebabkan oleh pasang surut.

seperti arus

yang

Pada umumnya arus yang disebabkan oleh

pasut tebih banyak teramati di perairan pantai terutama pada selat-selat

sempit dengan kisaran pasut yang tinggi.

Sedangkan di laut terbuka,

arah

dan kekuatan arus di lapisan permukaan, sangat ditentukan oleh angin.
Dengan adanya arus, maka massa air di lapisan permukaan akan terbawa
mengalir.
Dilihat dari segi oseanografi,

sirkulasi arus merupakan ha1 penting

karena dapat membantu dalam pendistribusian bahan pencemar dari daerah
yang terbatas menuju daerah yang luas (Ruivo, 1972). Sedangkan menurut
Susanto (1993), lintasan tumpahan minyak yang terjadi cenderung mengikuti
pola arus dibanding pola angin.
4).

Vektor dan Skalar
Kata vektor berasal dari

(cam'er),

yang

ada

Resnick,

1984).

besaran-besaran

bahasa Latin

hubungannya

Jadi

dapat

yang memiliki

dengan

yang

pergeseran (Halliday dan

disimpulkan
besar

artinya pembawa

bahwa

vektor

adalah

(magnitude) dan arah. Vektor

pergeseran hanyalah merupakan satu contoh saja. Besaran-besaran fisis lain
yang merupakan vektor adalah : gaya, kecepatan, percepatan, medan listrik.
dan

medan

magnet.

Perhitungan

dengan

vektor

harus

memenuhi

aturan-aturan penjumlahan tertentu (Franks, 1981)
Selain vektor, dikenal besaran fisis yang hanya dinyatakan secara tepat
oleh sebuah bilangan dan satuannya saja. Disebut skalar. Beberapa besaran
fisis yang merupakan skalar lainnya adalah massa, panjang, waktu,

rapat

(density), tenaga (energi), dan temperatur. Perhitungan dengan skalar dapat

dilakukan dengan aturan aljabar biasa. Konsep analisis vektor pada dasarnya
merupakan penjabaran vektor posisi suatu partikel
komponen-komponen vektor garis

atau obyek menjadi

berarah baik sejajar

dengan sumbu

horisontal (x) maupun sumbu vertikal (y) dengan mengikuti aturan-aturan
penjumlahan aljabar tertentu (Salim, dkk. 1997)
Franks (1981) dan Halliday dan Resnick (1984 ) memaparkan satu
formulasi mengenai penguraian vektor menjadi komponen-komponen vektor
pada suatu sistem tertentu sebagai berikut: Bila suatu obyek (partikel) dalam
suatu bidang atau ruang tertentu memiliki besaran (magnitude) a dan
membentuk arah relatif terhadap sumbu x positif sebesar 8, maka vektor posisi
partikef tersebut dapat diuraikan menjadi komponen-komponen vektor garis
berarah.
5).

Mekanika Fluida
Aplikasi konsep mekanika fluida di berbagai bidang kajian sangat

penting dipahami; seperti bidang biomekanik untuk kajian mengenai aliran
darah; bidang rneteorologi dan teknik kelautan tentang gerahan massa udara
dan arus-arus permukaan (Potter dan Wiggert, 1991).
Secara terminologi istilah fluida dapat didefinisikan sebagai suatu zat
yang dapat mengalir (termasuk cairan dan gas). Sedangkan konsep mekanika
merupakan istilah mengenai pergerakan suatu benda. Jadi mekanika fluida

dapat diartikan sebagai bahasan rnengenai pengubahan bentuk fluida dalam
berbagai keadaan (Halliday dan Resnick, 1984).
Sifat

fluida

rnemiliki

dinamika;

yakni

bagian

mekanika

yang

dihubungkan dengan gaya-gaya yang berkaitan dengan sifat-sifat benda yang
bergerak. Untuk menjelaskan gerak suatu fluida, maka dapat dilakukan
dengan rnernbagi elemen-elemen tersebut menjadi elemen-elemen volume
yang sangat kecil yang dinamakan partikel fluida. Namun kita rnenemukan
kesulitan yang besar. Oleh karena itu atas jasa Leonhard EuIer (1707-1783)
dikernukakan suatu kemudahan, yaitu dengan cara "mensfesifikkan " sejarah
dari setiap pertiket terrnasuk massa jenis (p) dan kecepatan fluida di setiap titik
di dalam ruang pada setiap saat (Halliday dan Resnick, dkk., q984).
Satu diantara beragarn karaketristik aliran fluida adatah aliran kental
(Viscous) dan tak kental (Non-viscous). Viskositas gerak fluida disarnakan
analog dengan gesekan di dalarn benda padat. Pada berbagai kasus, seperti
persoalan pelurnasan, viskositas sangat penting. Viskositas rnernperkenalkan
gaya-gaya tangensial diantara lapisan-lapisan fluida didalam gerak relatif dan
rnengakibatkan disipasi rnekanis (Halliday dan Resnick, 1984).
Menurut Potter and Wiggert (1991), viskositas dapat diartikan sebagai
'internal stickinness' dari suatu fluida. la rnerupakan sifat dari fluida yang
mengatur jumlah fluida sehingga dapat dialirkan dalam saluran pipa selama
periode waktu tertentu. Selain itu viskositas berperan sebagai pengatur dalam

mernbangkitkan turbulens. Sehingga dalarn pernbahasan mengenai aliran
fluida, viskositas rnerupakan bagian fluida yang sangat penting. Pergerakan
turnpahan minyak (PTM) rnerupakan satu contoh rnekanika fluida untuk
kategori aliran fluida kental dan tak kental. PTM menggunakan medium
kontinyu, yang didasarkan pada hukurn gerak Newton yang digabungkan
dengan hukum-hukum gaya yang sesuai.
Sifat fluida selain viskositas yang berkaitan dengan PTM adalah
densitas (density), tegangan perrnukaan (surface tension), serta kinematika
viskositas (kinematic viscosity). Sifat tersebut sangat rnempengaruhi gerakan
lintasan titik pusat rnassa minyak serta penyebaran partikel rninyak dari titik
pusat massa.
2.5.6.Toksisitas

Menurut Canadian Executing Agency (CEA) (1992), toksisitas adalah
kekuatan

atau

kemarnpuan

materi

yang

bersifat

inheren

dan

akan

mengakibatkan darnpak merugikan (letal atau subletal) pada mahluk hidup.
Efek toksik ditentukan oleh konsentrasi dan waktu pemaparan

(exposure

time) serta dirnodifikasi oleh variabel seperti suhu, pH serta bentuk dan
keberadaan materi tersebut.
Rand dan Patrocelli (1