Pengaruh Suplemen Hormon 20-Hidroksi Ekdison dan Kolestrol dalam Pakan Buatan serta Ablasi Tangkai Mata terhadap Sinkronisasi Percepatan Pelunakan Karapaks dan Pematangan Telur Kepiting Bakau, Scylla serrata (Forskal, 1775)

I-

F?

& Hidrokekdison dan Kektesterol dalam ~ a k a nBuatan sects Ablasi Tangkai
hrapako dan

we$

m t a (faakal, 1i75). (Di
sebagai K m a ,ProfDr.
R .Toelihere.M.*. , Prof.br,Sfi Hartini SjaRfn' Sikar, Dr.Atmad@
da n Dr. lr.H.AhmadAnsori Matrjik,M.Sc. sebagai Anggda).

RINGKASAN

S&

penelltian msnpmenai pelunalcan karapaks dan pernatangan
balcav, %V,iia


ssrrata (Forskal) dilakukan di Panti

Windu P.T. Armada Tanindo di Kernmatan Suppa,
elatan; telah dilaksanakan dari bulan Maret
1997. PenMilian ini bertujuan unhrk
rC

y ang bsrpenganrh pasitif brhadap

serb pmingkstan kuantitas dan
a.

a
m

$

z a

9 kualitag d u r kepiting bakau. Perangsangan unhrk rnematangkan ouai3um

s
3. 3
S 2 ditekan
pada permpatan perkembangan organ reproduksi melalui

A3$ 5akleras&ktiuitas
r r r
S,

Kepiting uJ yang digunakan berukuran kbar kampaks 100+1 mm

2,

Q

E

3.

TI

2,

gan€ikulit.

t

f

rrg rrntuk b 'na ban 1 4 T g mm urrhik jantan, dipcrrlleh dari hasil wangkapan

7

X-- g
-.

..

z=

di kawaean hutan k k a u di P a m i Palim,Kabupaten Bane, Sulawsi

selahn-1 Analisis histologi tangkai mata dan perkernbangan sel klur,
lcavdunqan protein dan k m a t telur serta konsentrasi 20-OH-E di dalam
I

kualibtif melipub pgarnatan tingkat kematangan p a d brdasarkan
morfologi s e p e ~yang dikemukakan Estampador (1949, serb
ivadas: 1978 dalam Kasry, 1984), strrrMu~sel tetur dan *kusnsi

Judul Disertasi

: PENGARUH SUPLEMEN HORMON 20-HIDROKSIEKDISON DAN KOLESTEROL DAIAM PAKAN
BUATAN SERTA ABIASI TANGKAI MATA
TERHADAP SlNKRONlSASl PERCEPATAN
PELUNAKAN KARAPAKS DAN PEMATANGAN
TELUR KEPlTlNG BAKAU, Scylla semta
(FORSKAL, 1775)

Nama Mahasiswa : MUHAMMAD HATTAH FATTAH
Menyetujui :


\

P
1. Komisi Pembimbing

Ketua

.-y&;,
/

,

L / L x

I ,

Prof.Dr.Mozes R.Toelihere,M.Sc
Anggota

/


-

Prof.Dr.Sri Hartini Sjahfri Sikar
Anggota

c

---I^_

Dr.Atrnadja Hardjamulia,MS
Anggota

2. Ketua Pogram Studi

-

Biologi Reproduksi

Tanggal lulus : 2


4 JAN

I998

Dr.lr.H.Achmad Ansori Mattjik,M.Sc
Anggota

Penulis adalah putera pertama lbunda Hj.St.Hawa dan Ayahanda
H.Abdul Fattah, dilahirkan pada tanggal 28 April 1962 di Ujung Pandang,
Sulawesi Selatan.
Penulis mengikuti pendidikan sekolah dasar (SD) hingga sekolah
menengah atas (SMA) dari tahun 1969 hingga 1981 di Ujung Pandang.
Pada tahun 1981 melanjutkan pendidikan ke lnstitut Pertanian Bogor melalui
Proyek Perintis II.
Lulus sarjana perikanan lnstitut Pertanian Bogor pada tanggal 28
Oktober 1986. Diangkat menjadi staf pengajar KOPERTIS WiI.IX
dipekerjakan pada Fakultas Perikanan Universitas Muslim Indonesia (UMI),
Ujung Pandang dari tahun 1987 hingga sekarang.


Pada tahun 1988

memperdalam ilmu pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
(UNHAS) dan memperoleh gelar Magister Sains pada tanggal 24 Desember
1991.

Program S3 pada Program Studi Biologi Reproduksi, Program

Pascasarjana lnstiiut Pertanian Bogor sejak tahun 1992.
Penulis menikah dengan Ir.St.Rahbiah B.Hattah,MSi pada tahun
1989 dan kini dikaruniai tiga orang anak, Muhammad Fakhrurrozy Septian

(almarhum), Dhian Karina Aprilani dan Muhammad Afif Novaldi.

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas segala hidayah dan inayah Allah SWT.
sehingga memungkinkan diselesaikannya penelitian dan penulisan hasil
penelitian ini.
Masalah terbesar yang dihadapi pengelolaan pembenihan (hatchery)

kepiting bakau, Scylla senata (Forskal) dan krustasea pada umumnya
adalah keterbatasan sediaan benih dan calon induk. Hal tersebut diperberat
oleh keterbatasan informasi dasar yang diperlukan dalam pengembangan
budidaya

kepiting

bakau.

Telah

dikembangkan

berbagai

teknik

perangsangan, akan tetapi hasil yang dicapai belum memuaskan. Penelitian
ini diharapkan dapat memberi jawaban atas permasalahan tersebut.
Penelitian ini memacu pematangan ovarium kepiting bakau melalui

pendekatan sinkronisasi pelunakan karapaks dan pematangan ovarium.
Selain itu, penelitian ini telah menghasilkan berbagai informasi dasar untuk
pengembangan budidaya kepiting bakau.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada Bapak Prof.Dr.H.M.lchsan Effendie,M.Sc., selaku ketua
komisi pembimbing, serta Bapak Prof.Dr.Mozes R.Toelihere.M.Sc., Ibu
Prof.Dr.Sri Hartini Sjahfri Sikar, Bapak Dr.Atmadja Hardjamulia,MS. dan
Dr.lr.H.Achmad Ansori Mattjik,M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing,
atas keikhlasan, kesabaran dan kelembutan hati memberi bimbingan,
nasihat, arahan dan dorongan selama perencanaan,

pelaksanaan dan

penulisan hasil penelitian. Bapak Prof.Dr.H.Muhammad Eidman,M.Sc. dan
Dr.Mohammad Kasim Moosa,APU. selaku penguji luar komisi, karena
kemurahan hati dan kecendekiannya

telah memperkaya bobot dan

khasanah tulisan ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak

Koordinator Kopertis Wil. IX, Ketua Yayasan Badan Wakaf Universitas
Muslim Indonesia (UMI),

Rektor UMI, Dekan Fakultas Perikanan UMI,

Rektor lnstitut Pertanian Bogor (IPB), Direktur Program Pascasarjana (PPs)

IPB dan Ketua Program Studi Biologi Reproduksi PPS IPB atas kesempatan
yang diberikan untuk mengikuti pendidikan pascasarjana di IPB. Tim
manajemen program doktor (TMPD) Direktorat Jenderal Pendidikan TinggiDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan yang berkenan menyediakan
biaya pendidikan, Ketua Yayasan Badan Wakaf UMI, Ketua Yayasan
Latimojong, Direksi P.T. Citra Mina Seram Lestari dan Ketua Yayasan
Supersemar yang memberi bantuan dana penelitian serta Direktur P.T.
Armada Tanindo, P.T. Bukaka Agro, P.T. Unggul, Kepala Balai Proteksi
Tanaman Pangan dan Hortikultura IX, para Kepala Laboratorium dalam
lingkungan

UMI

yang

menyediakan

Prof.Dr. 1r.H.M. Natsir Nessa,

fasilitas

Dr.Ir.H.Ambo Ala,

penelitian.

Bapak

Dr.Ir. Ridwan Affandi,

Dr.lr.Djaja S.Sjafei, Dr.lr.Hery Sonjaya,DEA, Ir.Arsyuddin Salam,M.Fish
(almarhum) dan Dr.lr.H.Masud Sikong,MSc yang banyak memberi masukan
teoritis dan empiris kepada penulis.
Secara khusus saya sampaikan terima kasih yang tulus ikhlas
kepada lstri saya tercinta, Ir.St.Rahbiah Busaeri,MSi yang senantiasa setia
mendampingi dan mendukung penulis dikala suka dan duka. Ucapan terima
kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada anak-anak kami tersayang
Muhammad Fakhrurrozy Septian (almarhum), Dhian Karina Aprilani dan
Muhammad Afif Novaldi yang senantiasa mengobarkan semangat kerja
penulis. Kepada lbunda Hj.St.Hawa dan Ayahanda H-Abdul Fattah, lbunda
Hj.St.Rusdiah dan Ayahanda Drs.H.Busaeri Djuddah, penulis ucapkan
terima kasih yang setulusnya karena beliau-beliau telah mencurahkan kasih
sayangnya yang begitu tulus kepada penulis. Semoga Allah SWT.,
menyayanginya sebagaimana menyayangi penulis. Kepada semua kakak
dan adik, penulis ucapkan terima kasih atas segala perhatian, kasih sayang
dan simpati yang saya rasakan selama ini.
Kepada rekan-rekan sejawat staf pengajar Fakultas Perikanan UMIUjung

Pandang,

Hasyim

Halim,SE,

Ir.Andi

Asriadi,

Ir.Alimuddin,

Ir.M.Mahmud Banapon, Ir.Budiman Tila, Ir.Hajar Harun, Ir.Wahyuni,
Ir.M.Tawakkal, Ir.M.Syahid, Ir.M.Rais Hibu, Abd.Haris, Hasrul dan Palla

Rahim yang tidak kurang memberi bantuan selama pelaksanaan penelitian,
saya ucapkan terima kasih.
Akhirnya semua pihak yang telah memberi berbagai bantuan,
kepadanya penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang
sedalam-dalamnya. Semoga dapat dipetik manfaat dari penelitian dan
tulisan ini.

Bogor, Januari 1998
Penulis

DAFTAR IS1

Halaman
KATA PENGANTAR .........................................................................

xii

DAFTAR IS1 ......................................................................................

xiv

DAFTAR TABEL ..............................................................................

xvii

DAFTAR GAMBAR .........................................................................

xix

DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................

xxii

PENDAHULUAN ................................................................................

I

Latar Belakang ......................................................................

1

Pendekatan Masalah ...........................................................

4

Tujuan Penelitian ...................................................................

9

Hipotesis ................................................................................

9

TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................
Sistematika dan Morfologi........................................................
Daur Hidup...............................................................................
Pakan dan Kebiasaan Makan ................................................
Pakan Buatan .........................................................................
Sistem Neurosekretori Tangkai Mata ......................................
Sirkulasi Hemolimfa .................................................................
Mekanisme Ganti Kulit ...........................................................
Fungsi dan Mobilisasi Kalsium ...............................................
Kolesterol dan Hormon 20-Hidroksiekdison............................
Pertumbuhan ..........................................................................

11

Kopulasi dan Transfer Spermatofor..............................................
Perkembangan Ovarium dan Telur .............................................
Vitelogenesis ...............................................................................
Pemijahan ...................................................................................
Pembuahan dan Penetasan .......................................................
Ablasi Mata..................................................................................
Kualitas Media..............................................................................
MATERI DAN METODE PENELlTlAN ..................................................

Waktu dan Tempat ....................................................................
Bahan dan Peralatan .................................................................
Metode Penelitian .....................................................................
Rancangan Penelitian dan Analisis Data ...................................
HASlL DAN PEMBAHASAN .................................................................
Pakan Standar dan Ablasi Tangkai Mata .................................
Pakan Standar .................................................................
Ablasi Tangkai Mata ........................................................
Kualitas Media ..............................................................
Kombinasi Hormon 20-OH-E dan Kolesterol...............................
Pelunakan Karapaks ......................................................
Perkembangan Ovarium...................................................
Kuantitas dan Kualitas Telur ..........................................
Kualitas Media .................................................................

Kombinasi Hormon-Kolesterol dan Ablasi Tangkai Mata .....
Pelunakan Karapaks ................................................
Perkembangan Ovarium...........................................
Kuantitas dan Kualitas Telur ...................................
Kualitas Media ........................................................
KESIMPUIAN DAN SARAN.............................................................
Kesimpulan .........................................................................
Saran ...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................
LAMPIRAN........................................................................................

DAFTAR TABEL

Halaman

Nomor
Teks

1. Komposis pakan standar ..........................................................

48

2. Matriks faktor dan taraf percobaan pertama .................................

51

3. Matriks faktor dan taraf percobaan kedua ....................................

52

4. Matriks faktor dan taraf percobaan ketiga ......................................

55

5. Kisaran nilai kualitas media hasil pengukuran
selama percobaan pertama dan kisaran
yang layak menurut pustaka ............................................... 72
6. Kisaran nilai kualitas media hasil pengukuran

selama pecobaan kedua dan kisaran yang
layak menurut pustaka ................................................... 94
7. Kisaran nilai kualitas media hasil pengukuran
selama percobaan ketiga dan kisaran yang
layak menurut pustaka ...............................................

115

DAFTAR GAMBAR
Halaman

Nomor
Teks

1. Skema pendekatan penelitian ........................................................

8

2. Morfologi kepiting yang bertelur dilihat dari arah dorsal
(A) dan ventral (0) ...........................................................

12

3. Sel neurosekretori tangkai mata pada krustasea .............................

19

4. Diagram sistem sirkulasi hemolimfa kepiting ..................................

22

5. Diagram pelepasan karapaks tua pada proses ganti kulit ................ 23
6. Pengaruh pemberian pakan berkadar lemak dan jumlah

pemberian pakan yang berbeda terhadap pertumbuhan
mutlak kepiting uji .............................................................. 64
7. Perkembangan sel telur berbagai tingkat pemberian
lemak 0, 5, 11dan 14 persen ............................................ 65
8. Struktur set neurosekretoritangkai mata kepiting bakau ................. 68
9. Pengaruh letak pernotongan tangkai mata terhadap waktu

pematangan ovarium, IGS dan fekundibs ........................

70

10. Pengaruh kombinasi hormon dan kolesterol terhadap kandungan
Ca dan P karapaks tua kepiting bakau...............................

75

11. Proporsi lebar adomen terhadap segmen sternum toraks dan

fase reproduksi kepiting bakau........................................... 77
12. Pengaruh pemberian kombinasi hormon dan kolesterol

terhadap perkembangan ovarium...................................... 79
13. Hubungan tingkat kematangan dan deviasi warna

ovarium kepiting bakau .................................................... 81

14. Pengaruh kombinasi hormon dan kolesterol terhadap lama
pematangan ovarium dan kadar hormon 20-OH-E
dalam ovarium kepiting bakau...........................................

82

15. Pengaruh kombinasi hormon dan kolesterol terhadap retensi
protein dan lemak ovarium kepiting uji............................... 87
16. Perkembangan ovarium kepiting uji pada fase ganti
kulit A1 .............................................................................

91

17. Pengaruh kombinasi horrnon, kolesterol dan ablasi
tangkai mata terhadap interval waktu ganti
kulit kepiting bakau............................................................ 95
18. Pengaruh kombinasi hormon, kolesterol dan ablasi tangkai maia
terhadap kadar Ca karapaks tua dan kadar hormon
20-OH-E ovarium kepiting bakau........................................ 96

t 9. Pengaruh perlakuan UD, AD, UP, AP, US dan AS
terhadap perkembangan sel telur
kepiting bakau .................................................................. 100
20. Set telur atresia pada kepiting bakau yang
diberi perlakuan AS........................................................... 101
21. Pengamh hormon, kolesterol dan ablasi tangkai
mata terhadap lama pematangan
ovarium kepiting bakau ....................................................102
22. Pengaruh kombinasi hormon, kolesterol dan ablasi tangkai
mata terhadap fekunditas dan IGS
kepiting bakau...................................................................108
23. Pengaruh kombinasi hormon, kolesterol dan ablasi tangkai mata
terhadap retensi lemak dan protein ovarium
kepiting bakau................................................................... 109

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Nomor
Teks
1. Klasifikasi fase, lama dan persentase siklus
ganti kulit kepiting ......................................................

2. Hasil analisis proksimat pakan uji ..........................................
3. Komposisi campuran vitamin .................................................
4. Komposisi campuran mineral ................................................
5. Metode ekstraksi horrnon 20-hidroksiekdison untuk
spektrofotometer.........................................................
6. Klasifikasi tingkat kematangan ovarium.....................................

7. Alat yang digunakan dalam pengukuran peubah
yang dipantau ...........................................................
8. Pengaruh pemberian lemak 0 , 5 , 8 dan 11 persen

di dalam pakan buatan terhadap
pertumbuhan.. ...........................................................
9. Sidik ragam pengaruh pemberian lemak dan jumlah
pemberian pakan terhadap pertumbuhan ..................

10. Pengaruh tingkat pemberian lemak terhadap lama
pematangan ovarium, fekunditas, IGS
serta retensi protein dan lemak ovarium ...................
11. Pengaruh letak pemotongan tangkai mata terhadap
lama pematangan ovarium, fekunditas
dan IGS ......................................................................
12. Sidik ragam pengaruh letak pemotongan tangkai
mata terhadap lama pematangan ovarium ................

13. Sidik ragam pengaruh letak pemotongan tangkai mata
terhadap fekunditas.......................................................
14. Sidik ragam pengaruh letak pemotongan
tangkai mata terhadap IGS.............................................
15. Pengaruh perlakuan kombinasi hormon dan
kotesterol terhadap Interval waktu ganti ..........................
16. Analisis faktor pemberian hormon dan faktor. .............................
17. Sidik ragam pengaruh pemberian hormon
dan kolesterol terhadap interval
ganti kulit. .......................................................................
18. Pengaruh pemberian hormon dan kolesterol terhadap
fekunditas, IGS dan diameter telur .................................
19. Sidik ragam pengaruh pemberian hormon dan
kolesterol terhadap kadar Ca
karapaks tua ....................................................................
20. Fekunditas, IGS serta retensi protein dan lemak ovarium
kepiting uji perlakuan kombinasi horrnon dan
kolesterol...........................................................................
21. Pengaruh pemberian hormon dan kolesterol terhadap
lama pematangan ovarium ..............................................
22. Pengaruh pemberian horrnon dan kolesterol terhadap
fekunditas, IGS dan diameter telur .................................
23. Sidik ragam pengaruh pemberian hormon dan
kolesterol terhadap diameter telur ....................................
24. Pengaruh pemberian hormon dan kolesterol terhadap
protein dan lemak ovarium serta retensi
protein dan lemak ovarium. ..............................................
25. Pengaruh perlakuan hormon dan kolesterol
terhadap kadar hormon 20-OH-E ovarium..........................

26. Sidik ragam pengaruh pemberian hormon dan
kolesterol terhadap kadar hormon
20-OH-E ovarium................................................................

157

27. Pengaruh kombinasi hormon 20-OH-E dan kolesterol
terhadap kandungan Ca dan P karapaks tua,
kandungan hormon 20-OH-E ovarium dan
interval waktu ganti kulit kepiting bakau ............................. 157
28. Pengaruh kombinasi hormon 20-OH-E dan kolesterol
terhadap lama pematangan ovarium dan
kandungan hormon 20-OH-E ovarium
kepiting bakau .................................................................... 158
29. Pengaruh pemberian kolesterol dan ablasi tangkai

mata terhadaap Interval waktu ganti kulit........................... 159

30. Analisis faktor pemberian kolesterol dan ablasi
tangkai mata ........................................................ ............. 160
31. Sidik ragam pengaruh pemberian kolesterol dan
ablasi tangkai mata terhadap interval
waktu ganti kulit .................................................................. 160
32. Pengaruh pemberian kolesterol dan ablasi tangkai
mata terhadap tebal, berat serta kadar Ca dan
P karapaks tua ................................................................... 161
33. Sidik ragam pengaruh pemberian kolesterol dan
ablasi tangkai mata terhadap kadar Ca
karapaks tua ...................................................................... 162
34. Pengaruh kombinasi kolesterol dan ablasi tangkai mata
terhadap kadar Ca karapakas tua, interval
waktu ganti kulit dan kadar hormon 20-OH-E..................... 162
35. Pengaruh pemberian kolesterol dan ablasi tangkai
mata terhadap lama pematangan ovarium..........................163
36. Pengaruh pemberian kolesterol dan ablasi tangkai
mata terhadap fekunditas, IGS dan diameter
telur ...................................................................................

164

37. Sidik ragam pengaruh pemberian kolesterol dan
ablasi tangkai mata terhadap fekunditas............................ 165

xxiii

38. Pengaruh pemberian kolesterol dan ablasi
tangkai mata terhadap retensi
protein dan lemak ovarium........................
39. Sidik ragam pengaruh pemberian kolesterol
dan ablasi tangkai mata terhadap
retensi lernak ovarium ....................................................... 167
40. Pengaruh pemberian kolesterol dan ablasi
tangkai mata terhadap kadar
horrnon 20-OH-E ovarium.................................................. 168
41. Pengaruh kombinasi kolesterol dan ablasi
tangkai mata terhadap retensi protein
dan lemak serta kadar hormon
20-OH-E ovarium kepiting bakau ....................................... 169
42. Sidik ragam pengaruh pembeflan kolesterol dan
ablasi tangkai mata terhadap kadar
hormon 20-OH-E ovarium ................................................. 169

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kepiting bakau, Scylla senata (Forskal) adalah kepiting besar dan
agresif yang memiliki variasi warna dari hijau merah kecoklatan atau coklat
keunguan hingga keabu-abuan. Kepiting bakau hidup di habitat hutan bakau
di Wilayah Indo-Pasifik dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.
Dewasa ini produksi kepiting bakau masih mengandalkan pada hasil
aktivitas penangkapan di kawasan hutan bakau. Kapasitas produksi dengan
cara demikian terbatas dan sangat bergantung kepada kondisi alam dan
musim, sehingga kesinambungannya sulit dipertahankan.
Pengembangan sektor budidaya kepiting bakau yang diharapkan
dapat meningkatkan kapasitas dan kesinambungan produksi menghadapi
kendala utama, yaitu keterbatasan benih. Untuk dapat memenuhi kebutuhan
akan benih, telah mulai dikembangkan sistem panti pembenihan (hatchery)
kepiting bakau. Salah satu masalah yang ditemui dalam pengembangan
panti pembenihan kepiting bakau adalah terbatasnya sediaan induk matang
ovarium yang dapat memenuhi kriteria tepat kuantitas, kualitas dan waktu.
Ketersediaan induk matang ovarium bergantung pada jumlah calon
induk yang siap untuk dipacu kematangan ovariumnya. Dengan dernikian,
keberhasilan penyediaan induk matang ovarium tidak terlepas dari
keberhasilan merangsang atau memacu perkembangan ovarium calon

induk. Untuk dapat memacu kematangan ovarium telah dilakukan berbagai
teknik perangsangan, tetapi hasil yang dicapai belum memuaskan.
Teknik perangsangan yang banyak dipergunakan adalah ablasi atau
pemotongan tangkai mata. Mata dan tangkainya selain berfungsi dalam
sistem penglihatan, ikut berperan dalam pengaturan proses reproduksi
krustasea, khususnya dalam pematangan ovarium. Intensitas dan mungkin
warna cahaya mempengaruhi proses reproduksi melalui mata dan
tangkainya. Tangkai mata mengandung sistem neurosekretori yang
menghambat pematangan ovarium. Teknik ablasi tangkai mata, telah
berhasil mempercepat pematangan ovarium udang windu (Penaeus
monodon Fabricius) tetapi menyebabkan rendahnya fekunditas dan
kelangsungan hidup benih (Sukarna, 1986). Pada kepiting Parathelpusa
hydrodrumus yang sedang mengalami vitelogenesis, kandungan lemak
dalam ovariumnya naik secara mencolok sedangkan dalam hepatopankreas
menurun (Adiyodi dan Adiyodi, 1970). Hal ini membuktikan bahwa lemak
sangat diperlukan pada krustasea yang sedang mengalami perkembangan
telur. Diduga kandungan lemak pada oosit induk udang menurun akibat
ablasi. Hal tersebut didasarkan pada adanya petunjuk bahwa hormon yang
dihasilkan oleh tangkai mata berperan mensintesis lemak dalam
hepatopankreas yang merupakan lokasi penting penimbunan lemak
(Nurdjana, 1986). Selanjutnya timbunan lemak tersebut menjadi cadangan
nutrien yang penting selama belum dapat mengambil pakan dari media.

Dengan demikian cadangan lemak dalam oosit sangat menentukan vitalitas
dan tingkat kelangsungan hidup benih.
Ovarium udang windu yang diablasi berkembang sangat cepat
sehingga pertumbuhan oosit juga menjadi cepat dan berukuran besar (Vogt
et a/., 1989). Namun, jumlah telur yang dihasilkan lebih sedikit. Teknik
alternatif

diperlukan

untuk

memacu

pematangan

ovarium

tanpa

menimbulkan dampak negatif terhadap kesempumaan pembentukan telur.
Daging kepiting betina matang gonad yang dapat dimakan rata-rata
hanya sekitar 39,4 persen dari total bobot tubuh. Sekitar 60,6 persen dari
bagian tubuh kepiting yang terdiri dari karapaks, kaki jalan dan kaki renang,
sapit, serta kulit bagian abdomen tidak dapat dimakan (Sulaeman dan
Hanafi, 1992).
Pertumbuhan pada krustasea merupakan pertambahan bobot badan
yang terjadi secara berkala pada setiap setelah pergantian kulit atau molting
(Schaefer, 1968 dalam Villaluz et a/., 1977 dan Chittleborough, 1975).
Proses ganti kulit pada filum Arthropoda termasuk krustasea dan serangga
dikendalikan oleh hormon ekdisteroid (Aiken, 1980). Ganti kulit atau ekdisis
pada krustasea juga dipengaruhi oleh ketersediaan pakan dan dukungan
faktor lingkungan.
Pertumbuhan pada krustasea dapat meliputi percepatan pematangan
ovarium dan kesempurnaan pembentukan oosit. Selain dapat mempercepat
pematangan telur, perangsangan yang efektif dan berkesinambungan
diharapkan dapat menyempurnakan pembentukan dan pematangan telur.

Teknik perangsangan yang efektif diperlukan agar dapat memacu
kesinambungan proses ganti kulit. Dengan demikian diharapkan dapat
menghasilkan telur yang tepat kuantitas, kualitas dan waktu.
Pendekatan Masalah
Kematangan ovarium krustasea dipengaruhi oleh hasil kerja
beberapa jenis hormon.

Secara alami, kematangan ovarium dipengaruhi

oleh aktivitas GSH (gonad stimulating hormone) yang dihasilkan oleh organY. Dalam menjalankan fungsinya, aktivitas GSH dihambat oleh GIH (gonad

inhibiting hormone) yang dihasilkan oleh organ->(yang terdapat pada tangkai
mata.

Untuk mempercepat pematangan ovarium, selama ini dilakukan

teknik ablasi tangkai mata sehingga produksi GIH dapat dieliminasi. Dengan
demikian GSH dapat lebih berperan mematangkan ovarium.
Tingkat harga kepiting bakau ditentukan oleh kelengkapan organ,
jenis kelamin, bobot tubuh, kondisi karapaks dan kematangan ovariumnya.
Kepiting betina yang utuh, berkarapaks lunak atau matang ovarium,
harganya sangat mahal dan banyak diminati konsumen tertentu.
Sebagaimana krustasea berkulit keras lainnya, kepiting bakau harus
menjalani proses ganti kulit untuk bertumbuh dan bereproduksi. Aktivitas
perkawinan pada umumnya krustasea didahului oleh ganti kulit. Sewaktu
pergantian kulit, karapaks yang keras akan ditanggalkan dan digantikan
dengan karapaks yang lunak. Jadi, status kekerasan karapaks kepiting
betina akan menentukan keberhasilan perkawinan. Karapaks yang keras
dapat menghambat deposisi spermatofor pada spermateka betina. Oleh

karena sering menjadi mangsa yang mudah selama atau sesudah proses
ganti kulit, kepiting bakau akan membenamkan diri di dalam lumpur pada
kawasan hutan bakau atau di dalam lubang selama proses ganti kulit.
Aktivitas ganti kulit juga menghasilkan karapaks tua yang kaya akan
kitin dan kitosan. Menurut Aldon (1997) karapaks kepiting banyak
dibutuhkan untuk menghasilkan lensa kontak non-alergenik, kulit imitasi,
pipa paralon bebas polutan dan filter limbah industri tekstil. Hal tersebut
menyebabkan permintaan pasar dunia akan kitin dan kitosan terus
meningkat hingga mencapai 1.000 ton per tahun dengan harga AS$
200 per kilogram.

Karena itu, diperlukan teknik yang dapat menghasilkan kepiting
bakau betina berkarapaks lunak atau matang ovarium secara masal.
Dibutuhkan teknik yang secara simultan dapat menyingkronkan pelunakan
karapaks dan pematangan ovarium tanpa melakukan perusakan organ
biologis. Perangsangan dapat dilakukan melalui pemberian horrnon atau
substansi lain dalam pakan buatan dengan kuantitas dan kualitas tertentu
yang berpengaruh terhadap pematangan telur dan pelunakan karapaks.
Kematangan ovarium sangat dipengaruhi oleh kondisi organ-organ
reproduksi. Pada organisme muda, kemampuan untuk melakukan proses
reproduksi sangat ditentukan oleh cepat atau lambat berfungsinya organ
reproduksi. Perkembangan organ reproduksi tidak terlepas dari proses
pertumbuhan secara keseluruhan.

Laju pertumbuhan krustasea dipengaruhi oleh kelancaran proses
ganti kulit yang secara internal dikendalikan oleh sistem neuroendokrin
(Carlisle dan Francis, 1959; Warner, 1977; Aiken, 1980 dan Lockwood,
1989). Secara eksternal proses ganti kulit krustasea dipengaruhi faktor
lingkungan luar seperti ketersediaan pakan dan mutu media pemeliharaan
(Hartnoll, 1982 dan Sikong, 1982).
Pertumbuhan adalah ekspresi dari perpaduan antara perubahan
struktur melalui metamorfosis dan ganti kulit serta penambahan biomassa
sebagai proses transforrnasi materi dan energi menjadi massa tubuh
(Hartnoll, 1982). Pertumbuhan dapat terjadi bila cadangan nutrien dalam
tubuh melebihi kebutuhan fisiologis.
Mekanisme ganti kulit pada krustasea diawali dengan memobilisasi
dan mengakumulasi cadangan kalsium, fosfor dan bahan organik ke dalam
hepatopankreas pada akhir fase intermolt . Pembentukan dan pengerasan
karapaks (eksoskeleton) baru pada fase pasca ganti kulit (postmolt) hanya
terjadi jika tersedia cadangan material organik dan anorganik pada
hemolimfa, hepatopankreas dan media pemeliharaan (Wickins, 1982).
Keberhasilan proses ganti kulit ditentukan oleh kemampuan MH
(molting hormone) atau ekdisteroid yang dihasilkan oleh organ-\/ untuk
merangsang pergantian kulit dan mengeliminir aktivitas MIH (molting
inhibiting hormone) yang dihasilkan oleh organ->(. Selain itu, hormon
ekdisteroid bersama-sama dengan FH (female hormone) berperan

mengendalikan perkembangan organ seksual individu yang menjelang
dewasa (Adiyodi dan Adiyodi, 1970).
Efektifitas kompleks neurosekretori tangkai mata dalam menstimulasi
vitelogenesis dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad (TKG) dan fase
siklus ganti kulit (Bormiski

dan

Klek, 1974 dalam

Wickins, 1976).

Ekdisteroid diduga turut berperan dalam vitelogenesis, terbukti dengan
tingginya konsentrasi ekdisteroid yang berhasil diisolasi dari ovarium kepiting
Cancer anthonyi pada fase vitelogenesis (Chang, 1991). Hal ini
menunjukkan ekdisteroid diperlukan pada pematangan telur (Gambar I).
Krustasea pada umumnya tidak dapat mensintesis steroid secara
langsung (Quackenbush, 1986). Kolesterol diperlukan dalam pakan induk.
Kolesterol yang diberikan diharapkan dapat menjadi bahan baku (prekursor)
untuk sintesis steroid termasuk ekdisteroid (Gambar I).
Jika induksi atau sintesis hormon ekdisteroid melalui pakan buatan
yang diberikan efektif dan optimum, diharapkan dapat menyinkronkan
rangsangan terhadap percepatan pematangan telur dan pelunakan
karapaks. Dengan demikian dapat dihasilkan kepiting bakau matang
ovarium atau berkulit lunak tanpa merusak tangkai mata. Selain itu,
penyediaan kepiting berkarapaks lunak dapat meningkatkan nilai konsumsi
daging dan bagian tubuh lain dari kepiting. Hal ini dapat mengurangi limbah
dan bagian tubuh kepiting yang tidak dapat dimakan serta menghasilkan
bahan baku kitin dan kitosan yang banyak dibutuhkan oleh industri tertentu.

INDUKSI HORMON 20-Oh-t,
KOLESTEROL DAN ABLASI
TANGKAI MATA

I

GANTl KULlT

-1

PELUNAKAN
KARAPAKS

BERKARAPAKS
LUNAK

MOBlLlSASl SERTA
AKUMULASI Ca DAN P

-,
SlNTESlS
EKDISTEROID

,\

TANGKAI MATA

SISTEM SYARAF PUSAT

1

(HEPATOPANKREAS
DAN OVARIUM)

Gambar 1. Skema pendekatan penelitian

A

Tujuan Penelitian
Berdasarkan pendekatan masalah yang telah diuraikan, maka
penelitian ini dilakukan dengan tujuan :
1. Mengevaluasi efektifitas pemberian kombinasi hormon 20-hidroksiekdison

(20-OH-E) dan kolesterol di dalam pakan buatan serta ablasi tangkai
mata terhadap percepatan pematangan telur serta peningkatan kuantitas
dan kualitas telur.
2. Menentukan kombinasi pemberian hormon 20-OH-E dan kolesterol yang

efektif dan optimum melalui pakan buatan yang dapat menyinkronkan
percepatan pematangan telur dan pelunakan karapaks.
3. Menentukan kombinasi pemberian hormon 20-OH-E dan kolesterol yang

efektif dan optimum melalui pakan buatan atau ablasi tangkai mata yang
dapat lebih menyinkronkan pematangan telur dan pelunakan karapaks.
4. Meningkatkan

efektifitas

ablasi

tangkai

mata

dengan cara

meminimalkan pengaruh negatifnya yakni melakukan ablasi pada
bagian tangkai mata yang terdapat organ->( dan diikuti dengan pemberian
kombinasi hormon 20-OH-E dan kolesterol yang efektif dan optimum.
Hipotesis
Dalam penelitian ini diajukan beberapa hipotesis sebagai berikut :
1. Suplemen

kombinasi hormon 20-OH-E dan kolesterol di dalam

pakan buatan dengan dosis yang efektif dan optimum dapat
mempercepat dan mempersingkat proses pematangan telur serta

meningkatkan kuantitas dan kualitas telur daripada hanya diberi
hormon 20-OH-E, kolesterol atau ablasi tangkai mata.
2. Suplemen kombinasi hormon 20-OH-E dan kolesterol dengan dosis yang

efektif

dan optimum dalam pakan buatan dapat mempercepat

sinkronisasi pematangan telur dan pelunakan karapaks daripada hanya
diberi hormon 20-OH-E atau kolesterol.
3. Suplemen kombinasi hormon 20-OH-E dan kolesterol dengan dosis yang

efektif dan optimum dalam pakan buatan dapat mempercepat
sinkronisasi pematangan telur dan pelunakan karapaks daripada ablasi
tangkai mata.
4. Ablasi tangkai mata pada posisi yang tepat serta pemberian pakan

buatan yang mengandung suplemen kombinasi hormon 20-OH-E
dan

kolesterol dengan dosis yang efektif dan optimum dapat

meningkatkan efektifitas ablasi tangkai mata.

TlNJAUAN PUSTAKA

Sistematika dan Morfologi
Sistematika kepiting bakau yang juga dikenal sebagai kepiting lumpur
menurut Motoh (1977), Warner (1977) dan Moosa et al. (1985) adalah
sebagai berikut :
Filum

: Arthropods

Klas

: Crustacea

Ordo

: Decapoda

Famili

: Portunidae

Genus : Scylla De Haan, 1833 dan
Spesies : Scylla senata (Forskal, 1775)
Genus Scylla memiliki ciri-ciri panjang pasangan kaki jalan lebih
pendek daripada sapit, pasangan kaki terakhir berbentuk dayung. Karapaks
melebar ke arah anterolateral. Ruas dasar dari sungut (antena) biasanya
lebar, sudut anteroeksternal kerap kali berlobi dan flagel berada pada orbit
mata (Gambar 2).
Lebih jauh Motoh (1977) mengemukakan bahwa di dalam genus
Scylla terdapat tiga spesies masing-masing S. serrata, S. tranquebarica dan

S. oceanica serta satu varietas yakni S. serrata varietas paramamosain.
Untuk dapat membedakan keempatnya, Estampador (1949) dalam Moosa
et a1 . (1985) mempergunakan warna sebagai salah satu faktor pembeda
utama. Scylla

oceanica

dan

S. tranquebarica

mempunyai warna

mata

antena

I

I

I

.

I
I

&

i

abdomen

I

m
-

lebar kaapaks

daerah subhepar
sternum toraks .
rongga mulut
daerph
pterigostamlas

daerah bawah insang
massa telur .

(B)

t

Gambar 2. Morfologi kepiting yang bertelur dilihat dari arah dorsal (A)
dan ventral (B)

dasar hijau buah zaitun, sedangkan S. serrata dan S. serrata var.
paramamosain memiliki warna dasar hijau merah kecoklatan atau coklat
keunguan sampai keabu-abuan. Keempat jenis kepiting tersebut juga dapat
ditemukan di Indonesia (Moosa et al., 1985). Namun demikian, beberapa
peneliti mengemukakan bahwa perebedaan-perbedaan tersebut hanyalah
sebagai

variasi

individu

dalam

penyesuaiannya

terhadap

habitat.

Stephenson dan Campbell (1960) mengganggap bahwa keempat jenis
kepiting yang dikemukakan Estampador (1949 dalam Moosa et a/., 1985)
dan Motoh (1977) hanyalah merupakan satu jenis saja.
Untuk dapat membedakan antara kepiting jantan dan kepiting betina,
ditentukan dengan cara mengamati ruas-ruas pada abdomennya. Menurut
Moosa et al., (1985) pada kepiting jantan ruas-ruas abdomennya sempit,
sedangkan pada kepiting betina lebih lebar.

Daur Hidup
Estampador (1949 dalam Kasry, 1984) membagi perkembangan
kepiting bakau dalam tiga tahap yakni embrionik, larva dan pasca larva.
Telur akan menetas setelah tujuh belas hari dalam pemijahan, sedangkan
embrio tetap berkembang walaupun induknya telah mati (Ong, 1966 dalam
Hill, 1974). Sedangkan menurut Motoh (1977) perkembangan kepiting bakau
mulai dari telur sampai mencapai ukuran dewasa mengalami beberapa
tingkat perkembangan yaitu zoea, megalopa, kepiting muda dan kepiting
dewasa.

Kepiting bakau akan melangsungkan sebagian besar hidupnya pada
daerah estuaria dan daerah rawa mangrove (Macnae, 1968 dalam Hill,
1974). Setelah matang gonad kepiting bakau melakukan migrasi ke laut
untuk melepaskan telumya (Arriola, 1940).

Pakan dan Kebiasaan Makan
Menurut Arriola (1940) kebiasaan makan kepiting bakau adalah
pemakan bangkai (scavenge0 dan pemakan sesamanya (kanibal). Larva
kepiting memakan zooplankton, sedangkan pada tingkat kepiting muda
memakan ikan-ikan kecil, udang dan sejenisnya. Selain itu, menurut
Williams (1978) kepiting muda juga

menyukai moluska terutama

kekerangan.
Kepiting bakau aktif mencari pakan pada malam hari, terutama pada
periode bulan gelap. Aktivitasnya mencari pakan lebih dari satu kali dalam
semalam, terbukti dari frekuensi pengisian lambung kepiting bakau yang
dapat berlangsung beberapa kali (Hill 1976 dan Rajinder et a1 ., 1976 dalam
Hendriks, 1983). Berbeda dengan ha1 tersebut menurut Wedjatmiko dan
Yukasano (1990) kepiting bakau mencari pakan setiap saat dan nafsu
makan terbesar terjadi pada pukul 06.00-12.00.
Menurut Chen (1976), Lavina (1977) dan Anonim (1985) kepiting
bakau mempunyai sifat tidak memilih-milih pakan, dapat memakan segala
jenis pakan seperti isi perut dan daging ikan, isi perut hewan, siput, kulit
kodok, daging kerang-kerangan, sampah dapur, atau sisa-sisa pakan
lainnya. Selanjutnya Chen (1976) menjelaskan bahwa kepiting pada fase

megalopa bersifat karnivora dan setelah dewasa bersifat

omnivorous

scavenger. Ransum ikan rucah utuh yang diberikan pada kepiting bakau
langsung diterkam dengan sapitnya dan dicabik-cabik dengan rahangnya
yang kuat. Pakan yang hancur ketika dicabik-cabik tidak semua dapat
langsung ditelan sehingga beberapa bagian buyar ke dalam air dan
mengendap ke dasar wadah (Sulaeman dan Hanafi, 1992).
Pakan Buatan
Untuk mematangkan ovarium kepiting bakau, Salam

et a/. (1990)

memberikan hati sapi yang kandungan kolesterolnya tinggi sebagai sumber
pakan. Kebutuhan kolesterol untuk udang windu dalam pakan adalah 0,5
persen (Sikong, 1982). Sedangkan menurut Lim dan Persyn (1989)
kebutuhan udang windu akan kolesterol berkisar antara 0,5-1,25 persen.
Pemberian protein yang mengandung asam amino esensial
diperlukan untuk pertumbuhan jaringan dan organ. Lemak merupakan
komponen utama dari kuning telur dekapoda-krustasea dan berperan dalam
metabolisme yang berhubungan dengan aktivitas ganti kulit (Ezhilarasi dan
Subramoniam, 1984). Karbohidrat bagi udang selain sumber energi juga
berfungsi sebagai bahan baku untuk sintesis kitin (Pascual, 1980).
Primavera (1978) memberikan pakan buatan sebanyak lima persen
dari bobot tubuh untuk perawatan induk udang windu dengan komposisi
terdiri dari 90 persen cumi-cumi, lima persen annelida laut dan lima persen
pakan formula. Millamena et a/. (1986) menggunakan pakan buatan dengan
kandungan protein 52,80 persen dan lemak 12,14 persen. Bahan baku

untuk formulasi pakan digunakan daging cumi-cumi, daging kepala udang
dan daging ikan. Pemberian kombinasi pakan ikan lemuru dan kerang taut
dengan perbandingan 1:1 dapat lebih cepat memacu pematangan ovarium
induk kepiting bakau jika dibandingkan dengan kombinasi ikan rucah, cumicumi dan kerang, ikan lemuru serta kombinasi ikan lemuru dan cumi-cumi
(Rusdi, 1993). Penambahan tepung udang, tepung cumi-cumi atau kerang
hijau dapat meningkatkan daya pikat pakan yang diberikan kepada udang
windu (Murdinah, 1989).
Bahan pengikat terbaik untuk pembuatan pakan adalah karboksimetil
selulosa (CMC) dan tapioka masing-masing sebanyak lima persen dari
bobot formula pakan dengan lama pemanasan 45 menit (Murdinah, 1989).
Ukuran pelet disesuaikan dengan berat udang yang dipelihara. Pelet
berdiameter 1,O-1,5 mm diberikan kepada udang dengan berat 1-10g dan
diameter 1,5-2,5 mm untuk berat 10-50 g. Udang dengan berat lebih dari 50
g sebaiknya diberikan pelet berdiameter 2,5-3,O mm (Poernomo, 1985).
Pemberian pakan buatan dengan kandungan protein 34 sampai dengan 42
persen dan energi 2,9 sampai dengan 4,4 kkal per gram ransum untuk
udang

(P.

merguiensis)

dapat

menghasilkan

pertumbuhan

dan

kelangsungan hidup tertinggi (Sedgwick, 1979).
Pada

udang

perkembangan telur,

windu

yang

diablasi,

terutama

pada

masa

jumlah pakan yang diberikan dapat mencapai 30

persen dari bobot badan per hari (Nurdjana, 1979). Jumlah pakan yang
diberikan harus dalam jumlah yang cukup agar dapat dihindari timbulnya

sifat kanibalisme. Sehubungan dengan ha1 tersebut Gani (1988) dalam
penelitiannya menghasilkan pertumbuhan terbaik pada perlakuan kepiting
betina yang diberi pakan usus ayam sebanyak 30 persen dari bobot badan
dengan frekuensi pemberian pakan sekali sehari yakni pada malam hari.
Sedangkan hasil penelitian Bonga (1992) menunjukkan pemberian ikan teri
rebus menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi dari perlakuan usus
ayam dan ikan teri segar.
Sistem Neurosekretori Tangkai Mata

Peran mata dalam reproduksi krustasea dipengaruhi oleh cahaya.
Menurut Primavera (1985) aspek cahaya yang umumnya mempengaruhi
reproduksi krustasea adalah intensitas, periode panjang hari (fotoperiod) dan
warna cahaya. Penelitian sistem endokrin pada krustasea telah dilakukan
secara terpisah pada tahun 1928 oleh Perkins yang mengamati

Palaemonetes dan

Keller yang

mengamati udang jenis

Crangon

menghasilkan keterangan yang sama bahwa perubahan warna yang terjadi
pada krustasea dikendalikan oleh bahan kimia yang mengikuti sirkulasi
hemolimfa (Carlisle dan Knowles, 1959).
Menurut Carlisle dan Passano (1953), organ-X merupakan sumber
penghasil bahan-bahan sekresi yang terdapat pada kelenjar sinus. Organ-X
terdiri dari sekelompok badan sel syaraf penghasil hormon. Organ-X
Brachyura terletak pada bagian dorsalateral tangkai mata, antena medula
eksterna dan medula interna. Organ-X kelompok Natantia terletak dekat kulit
luar dan biasanya pada bagian distal dari medula terminalis (Welsh, 1961).

Menurut Highnam dan Hill (1969) ditemukan perbedaan struktur sel
neurosekretori tangkai mata pada masing-masing kelompok krustasea
(Gambar 3). Organ-X Lysmata seticaudata terletak pada medula terminalis.
Palaemon setratus memiliki dua organ->(yang masing-masing terletak pada
medula eksterna dan medula terminalis. Gecarcinus lateralis juga memiliki
dua organ-X tetapi masing-masing terletak pada medula intema dan medula
terminalis.
Organ-X dan kelenjar sinus membentuk sistem neurosekretori yaitu
suatu sistem yang terdiri dari kompleks pars ganglionaris organ-X, saluran
kelenjar sinus dan kelenjar sinus. Kelenjar sinus merupakan tempat
pertemuan dari berbagai neurofibra neurosekretori dengan vasa sinusoidea
yang membentuk organ neurohemal (Carlisle dan Passano, 1953).
Menurut Adiyodi dan Adiyodi (1970) secara alami keadaan lingkungan
merupakan sumber rangsangan pertama yang mempengaruhi bekerjanya
susunan syaraf pusat. Jika keadaan belum memungkinkan perkembangan
sel telur, susunan syaraf pusat memerintahkan organ->( yang terletak pada
tangkai mata untuk menghasilkan GIH. Hormon GIH sebelum dilepaskan ke
organ sasaran terlebih dahulu disimpan dalam kelenjar sinus yang juga
terletak pada tangkai mata.

Fungsi GIH adalah secara langsung

menghambat perkembangan kelenjar androgen pada individu jantan atau
ovarium pada individu betina sehingga spermatozoa atau ovum terhambat
perkembangannya.

Selain itu, mempengaruhi perkembangan ovarium

secara tidak langsung dengan menghambat aktivitas organ-Y yang terletak

t

xoc

(8)

Lpmoto
~ccicoudotr

(b)

Poloemon
ae~totur

(c)
Gccorclnvr
loterolir

*.

Gambar 3. Set neurosekretori tangkai mata pada beberapa kelompok
krustasea (Highnam dan Hill, 1969) (dps : asesori spot
pigmen, nt : neurofibra neurosekretori dari otak ke kelenjar
sinus, lg : lamina ganglionaris, me : medula eksterna,
megx : medula eksterna ganglionik organ->(, mi : medula
interna, mt : meduia terminalis, sg : keienjar sinus, xsgt :
saluran kelenjar sinus dan kelenjar sinus, spx : pori sensori
organ->( dan xoc: penghubung organ->()

pada bagian kepala.

Jika organ-Y bekerja akan dihasilkan GSH yang

merangsang pembentukan spermatozoa pada individu jantan atau ovum
pada individu betina.
Organ mandibula lobster (Homams americanus) menghasilkan metil
farnesoat (MF) yang berperan sebagai aktivator organ-Y. Sintesis MF berada
dibawah kendali kelenjar sinus dengan cara meningkatkan kadar siklik GMP
(cGMP) pada organ mandibula. Siklik GMP adalah kurir kedua bagi kelenjar
sinus untuk menghambat sintesis MF oleh organ mandibula. Pada lobster
tidak ditemukan pengaruh dari siklik AMP (CAMP) (Tsukimura et a/. ,1993).
Metil farnesoat pada krustasea memiliki struktur dan peran yang sama
dengan hormon juvenil Ill yang dihasilkan oleh serangga (Borst dan Laufer,
1990). Selanjutnya, Tamone dan Chang (1993) mengemukakan bahwa MF
pada kepiting berperan sebagai stimulator dalam sekresi ekdisteroid.
Reseptor immunoreaktif ekdisteroid (RiE) pada lobster diidentifikasi
terletak pada otot ekstensor kaki jalan dan jaringan neuron tangkai mata.
Letak reseptor pada sel neuron tangkai mata berhubungan dengan organ->(
dan kelenjar sinus. Keberadaan RiE pada organ->( dan kelenjar sinus
menghasilkan mekanisme balikan (feedback mechanism) diantara organ-Y
dan organ->( yang berperan di dalam regulasi hormon ganti kulit. Aksi
seluler ekdisteroid dilakukan melalui rangsangan sintesis protein untuk
sediaan ekdisis (El Haj et a1.,1994). Konsentrasi ekdisteroid pada tangkai
mata ditemukan lebih tinggi daripada yang terdapat di dalam hemolimfa.

Menurut Yano dan Wyban (1992) pematangan ovarium Penaeus
vannamei dapat dilakukan dengan pemberian ekstrak otak lobster. Otak
lobster diduga dapat menstimulasi pelepasan GSH dari ganglion toraks P.
vannamei atau dikenal dengan gonad stimulating hormone-realising
hormone (GSH-RH). Lebih jauh dapat dibuktikan bahwa sekresi GSH-RH
hanya terjadi pada fase vitelogenesis.
Sirkulasi Hemolimfa
Sirkulasi hemolimfa pada kepiting, seperti halnya sirkulasi darah pada
organisme lain pada umumnya, berperan dalam transportasi hasil-hasil
metabolisme, distribusi hormon dan zat-zat lain yang mengatur fungsi sel.
Pada kepiting, hemolimfa dipompakan oleh jantung melalui arteri-arteri
sistem terbuka (haemocoelic) ke seluruh bagian tubuh sampai pada pangkal
kaki jalan (pereiopod). Dan jaringan, darah kembali ke jantung melalui sinus
infrabranchial dan afferent branchial

yang mengalirkan hemolimfa ke

jantung melalui lamela insang (Warner, 1977). Skema sirkulasi hemolimfa
kepiting disajikan pada Gambar 4.
lnformasi tentang mekanisme pengaliran hemolimfa kembali ke
jantung pada krustasea belum banyak diketahui. Sirkulasi darah dari bagian
posterior ke jantung pada serangga disebabkan oleh tekanan yang tinggi
pada pembuluh darah. Tekanan pembuluh darah ditimbulkan oleh tekanan
gas yang tinggi pada ruang abdomen yang menyebabkan penyempitan
pembuluh darah pada bagian posterior (Chapman, 1982).

C

arteri sefala

arteri melandas

sinus infrabrankial

-

-

-

4

Gambar 4. Diagram sistem sirkulasi hemolimfa kepiting (Warner, 1977)
Mekanisme Ganti Kulit
Tubuh kepiting dan krustasea pada umumnya disokong oleh lapisan
kutikula keras yang berperan sebagai rangka luar atau eksoskeleton.
Lapisan kutikula yang keras terdapat pada bagian luar tubuh dan otot
melekat pada bagian dalamnya (Warner, 1977).
Permukaan kepiting terdiri dari empat lapisan kutikula dan satu sel
lapisan epidermis yang terletak pada bagian dasar, sebagaimana yang
disajikan pada Gambar 5 (Carlisle dan Francis, 1959; Warner, 1977; Aiken,
1980; Chapman, 1982 dan Lockwood, 1989).
Pertumbuhan krustasea didahului oleh proses pelepasan kulit
(karapaks). Pertumbuhan tidak mungkin terjadi pada saat badan masih
terbungkus oleh kulit yang keras (Schaefer, 1968 dalam Villaluz et a/.,

1977 dan Kasry, 1984). Frekuensi ganti kulit dan penambahan ukuran setiap
ganti kulit, sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh suhu, cahaya, nutrisi,
interaksi antara organisme, habitat, kepadatan, musim, fase perkembangan
reproduksi serta potensi genetik.
Ganti kulit adalah semua rangkaian proses yang meliputi persiapan
untuk pergantian kutikula tua, pengelupasan, pembentukan kutikula baru,
peningkatan ukuran dan pembentukan jaringan (Carlisle dan Francis, 1959;
Passano, 1960; Chapman, 1982 dan Lockwood, 1989).
Krustasea seperti halnya pada serangga (Carslisle dan Francis , 1959
dan Chapman, 1982), proses ganti kulit dimulai dengan pembelahan sel-sel
epidermis secara mitosis menjadi berbentuk padat, rapat dan kolumnar
(Gambar 5). Akibat pembelahan sel-sel epidermis, terjadi tegangan pada
permukaan sel-sel epidermis dan kutikula terpisah dari cairan epidermis.
Cairan ganti kulit disekresi ke ruang antara kutikula dan epidermis sampai
kutikula baru sempuma. Pada tahap

pertama, cairan ganti kulit yang

mengandung enzim proteinase dan kitinase, mencerna semua endokutikula
dari kutikula lama