Peran Asuransi Kesehatan dalam Benchmarking Rumah Sakit

PERAN ASURANSI KESEHATAN DALAM BENCHMARKING RUMAH SAKIT
DALAM MENGHADAPI KRISIS EKONOMI
JUANITA, SE, M.Kes.
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Jurusan Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan
Universitas Sumatera Utara
Pendahuluan
Sejak pertengahan tahun 1997 Indonesia di landa krisis moneter yang pada saat ini
telah berkembang menjadi krisis ekonomi serta pelbagai krisis lainnya yang
berpengaruh pada berbagai aspek hidup dan kehidupan bangsa. Tercatat sebagai
krisis moneter atau krisis ekonomi tersebut, yang penyebab pertamanya tidak lain
adalah karena terpuruknya tukar rupiah terhadap dolar. Tidak kurang sekitar 49,5
juta jiwa atau sekitar 24,2 % dari jumlah seluruh penduduk Indonesia pada saat ini
hidup di bawah garis kemiskinan.
Berikut ini disampaikan uraian tentang pengaruh krisis moneter atau krisis ekonomi
tersebut terhadap kesehatan masyarakat di Indonesia serta kemungkinan
penyesuaian kebijakan yang akan ditempuh pada masa yang akan datang. Uraian
tentang pengaruh krisis moneter atau krisis ekonomi terhadap kesehatan
masyarakat lebih diutamakan pada status gizi serta prilaku kesehatan masyarakat.
Sedangkan uraian tentang pengaruh krisis moneter atau krisis ekonomi terhadap
kinerja pelayanan kesehatan masyarakat lebih di titik beratkan pada kinerja Pusat

Kesehatan Masyarakat, Bidan di desa serta terhadap kinerja pos pelayanan terpadu
(posyandu).
Pembahasan
Pelayanan kesehatan dibedakan dalam dua golongan, yakni :
1. Pelayanan kesehatan primer (primary health care), atau pelayanan kesehatan
masyarakat adalah pelayanan kesehatan yang paling depan, yang pertama kali
diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalami ganggunan kesehatan atau
kecelakaan.
2. Pelayanan kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary health care),
adalah rumah sakit, tempat masyarakat memerlukan perawatan lebih lanjut
(rujukan. Di Indonesia terdapat berbagai tingkat rumah sakit, mulai dari rumah
sakit tipe D sampai dengan rumah sakit kelas A.
Pelayanan kesehatan masyarakat pada prinsipnya mengutamakan pelayanan
kesehatan promotif dan preventif. Pelayanan promotif adalah upaya meningkatkan
kesehatan masyarakat ke arah yang lebih baik lagi dan yang preventif mencegah
agar masyarakat tidak jatuh sakit agar terhindar dari penyakit.
Sebab itu pelayanan kesehatan masyarakat itu tidak hanya tertuju pada
pengobatan individu yang sedang sakit saja, tetapi yang lebih penting adalah upayaupaya pencegahan (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif). Sehingga,
bentuk pelayanan kesehatan bukan hanya puskesmas atau balkesma saja, tetapi
juga bentuk-bentuk kegiatan lain, baik yang langsung kepada peningkatan

kesehatan dan pencegahan penyakit, maupun yang secara tidak langsung
berpengaruh kepada peningkatan kesehatan.
Bentuk-bentuk pelayanan kesehatan tersebut antara lain berupa Posyandu,
dana sehat, polindes (poliklinik desa), pos obat desa (POD), pengembangan
masyarakat atau community development, perbaikan sanitasi lingkungan, upaya
peningkatan pendapatan (income generating) dan sebagainya.

2002 digitized by USU digital library

1

Peran swasta, khususnya LSM dalam pelayanan kesehatan masyarakat ini
sangat besar. Saat ini LSM yang berpartisipasi dalam penyelenggaraan atau paling
tidak mengupayakan dana bagi penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat
sudah cukup banyak. LSM semacam ini yang terdapat di Departemen Kesehatan saja
mencapai sekitar 150.
Lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) tersebut
dapat dikategorikan mejadi 5 kelompok yaitu :
1. Kelompok organisasi profesi kesehatan. Misalnya IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan
Masyarakat), HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan), IDI (Ikatan Dokter

Indoneia) dan sebagainya.
2. Kelompok organisasi yang bidang kegiatannya kesehatan. Misalnya Pilkesi,
Perdhaki, PKBI, Yayasan Kusuma Buana,dan lain-lain.
3. Kelompok organisasi yang salah satu kegiatannya kesehatan. Yaitu Yayasan
Dharmais, YLKI, Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS) Yayasan Bina Swadaya,
Fatayat NU, Muhammadiyah, dan sebagainya.
4. Kelompok organisasi kesehatan tradisional. Misalnya Persatuan Akupuntur
Indonesia, Kelompok Pencinta Pengobatan Tradisional Indonesia, Yayasan
Pengelola Obat Tradisional dan sebagainya.
5. Kelompok organisasi swadaya masyarakat internasinal. Misalnya World Vision
International, Care, Helen Keller Internasional, Save the Children dan
sebagainya.
Pelayanan kesehatan rujukan adalah rumah sakit mulai dari tipe D sampai
dengan tipe A di Indonesia sampai pada pertengahan tahun 1997 berjumlah 858
rumah sakit dengan jumlah tempat tidur 102.042 TT. Pengelola atau pemilik rumah
sakit di Indonesia dikelompokkan menjadi empat yakni :
1. Rumah sakit pemerintah, yang dibedakan menjadi rumah sakit Departemen
Kesehatan dan Rumah sakit Pemda (Pemerintah Daerah), yang dibedakan lagi
menjadi rumah sakit Pemda Provinsi dan rumah sakit Pemda Kodia/Kabupaten.
Jumlah rumah sakit jenis rumah sakit ini sampai dengan tahun 1997 adalah 340

unit dengan jumlah tempat tidur 49.622.
2. Rumah sakit ABRI, yang dibedakan menjadi rumah sakit Angkatan Darat,
Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Rumah sakit Polri, berjumlah 111 dengan
jumlah tempat tidur 10.386.
3. Rumah sakit Departemen lain yang biasanya dimiliki BUMN, seperti rumah sakit
Pertamina, rumah sakit Perkebunan dan sebagainya, berjumlah 72 dengan
jumlah tempat tidur 7.283.
4. Rumah sakit swasta yang dikelola LSM atau perusahaan LSM penyelenggaraan
rumah sakit swasta ini biasanya dibedakan menjadi rumah sakit yang didirikan
lembaga keagamaan dan rumah sakit netral. Jumlah seluruh rumah sakit swasta
sampai dengan tahun yang sama adalah 35 unit dengan jumlah tempat tidur
34.303.
PERHATIAN KURANG.
Perhatian pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan saat ini
sangat kurang. Hal ini dapat dilihat dari alokasi anggaran untuk Departemen
Kesehatan dari tahun ke tahun sangat rendah, kurang dari 5% dari APBN. Pada
tahun 1997/1998, alokasi anggaran untuk Departemen Kesehatan adalah 4,7% dari
APBN dan hal ini mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang
hanya 3,6%.
Sementara itu di negara-negara yang sudah maju, alokasi anggaran untuk

kesehatan mencapai 6% - 15%. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan
alokasi anggaran untuk kesehatan yang ideal adalah sekurang-kurangnya 6% dari
anggaran belanja negara (APBN).

2002 digitized by USU digital library

2

Dari anggaran yang kecil inipun, pengalokasiannya untuk pelayanan
kesehatan masyarakat (promotif dan kuratif) dan pelayanan kuratif atau rumah sakit
sangat timpang (tidak seimbang). Hal ini dapat dilihat dari alokasi anggaran rutin
Departemen Kesehatan.
Alokasi anggaran pada tahun anggaran 1997/1998 untuk Direktorat
Pembinaan Pelayanan Kesheatan hanya 1,4% sedang alokasi anggaran untuk
Direktorat Pelayanan Medis atau rumah sakit sebanyak 26,8% dari anggaran rutin
Departemen Kesehatan. Melihat peran pemerintah dan swasta yang tercermin dari
data yang ada, memang belum begitu tampak perbedaan porsinya.
Pengalaman dari negara-negara yang sudah maju, tampaknya ada
pembagian peran antara pemerintah dan swasta dalam hal penyelenggaraan
pelayanan kesehatan. Pemerintah lebih memfokuskan peran pada pelayanan

kesehatan masyarakat (public health), sedang swasta memperoleh porsi lebih
banyak dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan sekunder dan tersier (rumah
sakit).
Sebab itu dalam menghadapi era globalisasi serta untuk efisiensi pembiayaan
pelayanan kesehatan di Indonesia, sebaiknya pemerintah lebih mengkonsentrasikan
sumber daya pada pelayanan kesehatan masyarakat dan mengunragi alokasi
anggara untuk rumah sakit. Sedang pengembangan pelayanan kesehatan rujukan
atau rumah sakit lebih dipercayakan kepada swasta saja. Ini berarti swasta atau LSM
lebih mengembangkan pelayanan rumah sakit, sedangkan pemerintah lebih baik
mengembangkan pelayanan masyarakat (promotif dan kuratif).
Dampak krisis ekonomi di Indonesia saat ini meluas ke seluruh bidang
kehidupan, termasuk bidang pelayanan kesehatan. Dilema yang dihadapi pelayanan
kesehatan, diatu pihak pelayanan kesehatan harus menjalankan misi sosial. Yakni
merawat dan menolong yang sedang menderita tanpa memandang sosial, ekonomi,
agama dan sebagainya. Namun dipihak lain pelayanan kesehatan harus survive
secara ekonomi dalam menghadapi badai krisis ini. Sebab itu pelayanan kesehatan
harus melakukan reformasu, reorientasi dan revitalisasi. Dalam melakukan
reorientasi dan reformasi bidang pelayanan kesehatan, sekurang-kurangnya dua
upaya dasar yang perlu dilakukan. Yakni, diversifikasi products atau pelayanan dan
meningkatkan kemitraan atau partnership.

Pertama diversifikasi pelayanan. Ini dimaksud agar jasa pelayanan kesehatan,
khususnya rumah sakit tetap survive bahkan berkmebang. Jasa pelayanan ini
seyogianya tidak hanya tergantung hasil dari satu atau dua penjual jasa pelayanan
saja, melainkan harus dikembangkan menjadi beraneka ragam.
Lebih dari itu, jasa pelayanan kesehatan (rumah sakit) swasta juga dapat
menjangkau pelayanan diluar jasa pelayanan kesehatan. Msialnya rumah sakit di
daerah yang mempunyai lahan luas, sehingga lahan tersebut dapat dijadikan usaha
pertanian atau peternakan yang hasilnya dapat menunjang kebutuhan rumah sakit,
baik yang langsung digunakan maupun yang secara tidak langsung.
ASURANSI KESEHATAN.
Gangguan kesehatan (penyakit) adalah suatu kondisi yang tidak dapat
diprediksikan timbulnya, namun hampir pasti akan terjadi dalam suatu siklus
kehidupan setiap manusia. Dengan perkataan lain, penyakit adalah salah satu resiko
yang dihadapi oleh setiap manusia yang selanjutnya akan berdampak kepada biaya.
Prevalensi terjadinya rasio sakit serta severity dari resiko sakit tersebut pada setiap
individu sangat bervariasi, dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal
maupun eksternal yang mempengaruhi individu tersebut.
Melihat karanteristik tersebut diatas, maka biaya yang timbul akibat
gangguan kesehatan (penyakit) merupakan obyek yang layak diasuransikan.
Asuransi Kesehatan adalah suatu sistem pembiayaan kesehatan yang telah


2002 digitized by USU digital library

3

dilaksanakan sejak zaman dahulu. Bentuk yang paling awal dikenal pada masyarakat
Cina, yaitu mebayar kepada dokter pada waktu sehat dan mendapat pelayanan pada
waktu sakit, tanpa perlu membayar lagi. Asuransi kesehatan terbatas pada jaminan
pengobatan akibat kecelakaan telah dilaskanakan pada masa kerajaan Romawi.
Tradisi ini diteruskan ke Eropa pada abad pertengahan, dan pada abad ke 17
mulailah diterapkan asuransi kesehatan bagi pelaut, yang menjadi cikal bakal dari
asuransi kesehatan modern.
Dalam perjalanannya asuransi kesehatan telah mengalami perkembangan
secara substantial, baik dari sifatnya (wajib/sukarela; social/social regulated/
commercial), jenis pertanggungan accident/sickness/disability/accidental death and
dismemberment/hospitalization
and
survey/special
sickness),
kepesertaan

(group/individu), maupun sifat asuransi (conventional/managed care).
Asuransi Kesehatan yang paling mutakhir adalah managed care, dimana
sistem pembiayaan dikelola secara terintegrasi dengan sistem pelayanan. Asuransi
kesehatan dengan model managed care ini mulai dikembangkan di Amerika. Hal ini
timbul oleh karena dengan sistem pembiayaan kesehatan yang lama inflasi biaya
kesehatan terus meningkat jauh diatas inflasi rata-rata, sehingga digali model lain
untuk mengatasi peningkatan biaya kesehatan. Managed care dengan model HMO
pada dasarnya sudah mulai diterapkan pada tahun 1983 yaitu oleh kaisar
Permanente Medical Care Program, tetapi secara meluas mulai diterapkan pada
tahun 1973, yaitu dengan diberlakukannya HMO Act, pada periode pemerintahan
Noxon.
Pada hakekatnya, managed care adalah suatu konsep yang masih terus
berkembang, sehingga belum ada suatu definisi yang satu dan universal tentang
managed care. Namun demikian secara umum dapat didefinisikan bahwa managed
care adalah suatu sistem dimana pelayanan kesehatan terlaksana secara terintegrasi
dengan sistem pembiayaan, yang mempunyai 5 elemen sebagai berikut :
1. Penyelenggaraan pelayanan oleh provider tertentu (selecte provider).
2. Ada kriteria khusus untuk penetapan provider.
3. Mempunyai program pengawasan mutu dan management utilisasi.
4. Penekanan pada upaya rpomotive dan preventive.

5. Ada financial insentive bagi peserta yang melaksanakan pelayanan sesuai
prosedur.
Perbedaan Fundamental
antara asursansi kesehatan tradisional dengan managed care.

Benefit
Provider
Fungsi pelayanan
pembiayaan
Resiko finansial
Sitem
provider.

dan

pembayaran

Fimamcial incentive untuk
pengendalian biaya.
Pengendalian mutu


Tradisional
Terbatas
bebas
Terpisah

Managed Care
Menyeluruh
Tertentu/selected
Terintegrasi

Ditanggung sendiri oleh
perusahaan asuransi.
FFS
-/sedikit

Ditanggung
bersama
dengan provider.
Negosiasi,
prepayment
(kapitasi,
budget
system).
+

Tidak terlibat

Terlibat.

2002 digitized by USU digital library

4

Dengan managed care berarti badan pengelola dana(perusahaan asuransi)
tidak hanya berperan sebagai juru bayar,sebagaimana berlaku pada asuransi
tradisional,tapi ikut berperan dalam dua hal penting,yaitu pengawasan mutu
pelayanan (qualiti control)dan pengendalian biaya (cost containment).
Sebagaimana disebutkan dimuka,salah satu elemen managed care adalah
bahwa pelayanan diberikan oleh provider tertentu,yaitu yang memenuhi kriteria yang
ditetapkan meliputi aspek administrasi,fasilitas sarana,prasarana,prosedurdan proses
kerja atau dengan istilah lain meliputi proses bisnis, proses produksi, sarana, produk
dan pelayanan. Dengan cara ini maka pengelola dana (asuransi) ikut mengendalikan
mutu pelayanan yang diberikan kepada pesertanya.
Dengan menerapkan manajemen utilisasi,berarti perusahaan asuransi ikut
memantau setiap utilisasi pelayanan oleh peserta. Setiap utilisasi pelayanan dan
biayanya direkam (recording), analisa (analizing), dan diberikan umpan balik (feed
back) kepada provider, baik dari segi pemanfaatan pelayanan maupun dari biaya
yang digunakan.Untuk pelaksanaan kegiatan ini harus ada sistem informasi yang
baik dengan data yang akurat dan mutakhir. Jadi dapat disimpulakan bahwa dalam
sistem pembiayaan kesehatan secara managed care, semua pihak terkait yaitu
pengolahan dana, pemberi pelayanan, dan peserta secara aktif ikut berperan dalam
pengendalian mutu dan biaya pelayanan.
WHO didalam The World Health Report 2000-Health System: inproving
pervormance juga merekomendasikian untuk mengembangkan sistem pembayaran
secara ”pre payment”, baik dalam bentuk asuransi, tax, maupun socialsecurity.
Sistem kesehatan haruslah dirancang sedemikian rupa,sehingga bersifat terintegrasi
antara sistem pelayanan dan sitem pembiayaan, mutu terjamin (quality assurance)
dengan biaya terkendali (cost containment). Indonesia dengan kondisi yang sangat
turbulensi dalam berbagai hal pada saat ini, serta dengan keterbatasan resources
yang ada, maka sistem managed cara merupakan pilihan yang tepat dalam
mengatasi masalah pembiayaan kesehatan.
BENCHMARKING PADA RUMAH SAKIT
Untuk adanya kesamaan pandang terhadaf pengertian “Benchmarking”,
dibawah ini disamping beberapa pengertian :”Benchmarking is a continius process of
comperison, projection, and implementation “(H. James Harington and James S.
Herington,1996). Dalam pengertian tersebut sangat ditekankan adanya proses yang
terus menerus berkesinambungan dalam hal membandingkan,membuat proyeksidan
juga dalam pelaksanaan program.”Benchmarking is an external focus on internal
activities, function or option in order to actieve contious improvement”.(C .J.McNair,
CMA and Kathleen H. J. Leibfried,1999). Dalam pengertiannya lebih ditekankan
kepadapengetan eksternal untuk melihat kegiatan – program, fungsi-fungsi maupun
operasional dalam organisasi sendiri dalam rangka peningkatan atau keberhasilan
yang berkesinambungan.
Dari defenisi kedua diatas dapat diambil kesimpulan bahwa: Benchmarking
adalah suatu cara yang sistematik dan berkesinambungan yang dapat
mengidentifikasi produk-produk unggulan, pelayanan yang prima, proses yang
efisien dan efektif, sistem operasi organisasi yang tepat dan dapat
dilaksanakan,dalam rangka menekan biaya, memperpendek siklus produksi (dalam
suatu rumah sakit adalah pelayanan yang cepat), serta dapat meningkatkan
kepuasan pelanggan”.
Konsep “mutu” dalam pelayanan kesehatan telah tumbuh dan berkembang
sejak dekade 80-an, cara-cara untuk meningkatkan kualitas pelayanan di Rumah
Sakit terus dikembangkan, salah satunya melalui”quality assurance”. Dengan
kemajuan teknologi khususnya dibidang informasi maka mutu saja tidak cukup,
namun tuntutan juga terhadaf percepatan kinerja (velocity in performance), yang

2002 digitized by USU digital library

5

berkembang sejak dekade 90-an dimana hal tersebut juga merupakan salah satu
faktor untuk memenangkan persaingan. Oleh karena itu berbagai upaya dalam
rangka peningkatan pelayanan terus dikembangkan oleh manajemen rumah sakit.
Dewasa ini, Rumah sakit sudah berkembang kearah suatu industri, tidak hanya
sebagai”socio economic unit” apalagi hanya sekedar sebagai unit saja,namun sudah
berkembang sebagai”revenue centre” bahkan sebagai”profil centre”. Kita menyadari
bahwa industri Rumah sakit adalah industri yang padat karya,padat teknologi dan
padat modal, oleh karena itu dalam menghadapi era globalisasi, dimana kompetisi
akan semakin keras, tentunya dunia perumah sakitan harus berbenah diri, harus
mengambil langkah-langkah antisipasi karena yang akan ikut bermain pendatang
baru adalah mereka-mereka yang sudah ”world class”.
Tuntutan pelanggan (penggunaan jasa Rumah sakit), baik sebagai individu
maupun industri misalnya asuransi kesehatan akan makin lebih banyak dan semakin
transparan. Bagaimana Rumah sakit dapat mensejajarkan diri dan dapat unggul
dalam kompetisi dengan para pendatang baru yang sudah “world class” tadi, salah
satunya adalah dengan melakukan Benchmarking. Pada industr, ada 4 area –
klasifikasi untuk bench marking, yaitu proses bisnis, sarana, produkdan pelayanan
(service). Keempat area tersebut pada Rumah sakit juga dapat dilaksanakan, yang
menifestasinya sebagai berikut :
! Proses bisnis, organisasi dan manajemen rumah sakit termasuk didalamnya
sistem yang anut dan dikembangkan (sistem keuangan, sistem informasi, dll).
! Proses produksi : pada rumah sakit lebih ke arah profesionalisme (sistem dan
prosedur).
! Saran : alat-alat diagnostik dan penunjang diagnostik, untuk tindakan, komputer
untuk kegiatan manajemen dan administratif (termasuk miss terbesar). Sarana
perawatan.
! Produk dan pelayanan : antara lain lama pasien dirawat, infeksi nosokomial,
kematian di tumah sakit, moral hazard, waktu tunggu untuk suatu tindakan obat
yang rasional, kepuasan pasien dan lain-lain.
Dengan melakukan Benchmarking, maka rumah sakit akan dapat
mempromosikan diri apakah masuk dalam kategoti, “world class”, “country class”,
posisi diatas rata-rata rumah sakit, psosisi dibawah rata-rata rumah sakit, namun
masih dalam kategori baik, rumah sakit yang “tidur” ataukah rumah sakit yang
bermasalah.
Dengan Benchmarking diharapkan dapat mempertemukan antara tuntunan
pelanggan (individu dan asuransi kesehatan) serta produk yang ditawarkan oleh
rumah sakit. Perlu kita cemrati bersama kecenderungan di beberapa daerah di
Indonesia, seperti di Sumatera Utara khususnya di Medan dan juga di Pontianak
Kalimantan Barat, banyak sekali masyarakat kedua daerah tersebut lebih memilih
rumah sakit di Penang dan Kusing bila memerlukan perawatan rumah sakit daripada
di daerahnya. Malahan di Potianak dikoordinasikan oleh perorangan.
Perkembangan selanjutnya diharapkan dengan pengelompokan tersebut
maka dengan sendirinya akan tercipta standa-standar sesuai dengan kelas/kelompok
rumah sakit itu sendiri.
Dengan mengetahui posisi tersebut, maka upaya-upaya untuk perbaikan dan
peningkatan akan menjadi lebih mudah. Menyadari perkembangan yang ada, patut
menjadi pertanyaan kita bersama, apakah sistem akreditasi rumah sakit yang
dikembangkan saat ini masih valid?

2002 digitized by USU digital library

6

EKSPEKTASI PERUSAHAAN ASURANSI TERHADAP RUMAH SAKIT.
Salah satu keunggulan kompetitif dari suatu perusahaan asuransi adalah
apabila perusahaan asuransi tersebut mempunyai provider network yang luas
bermutu dan profesional. Di dalam managed care untuk memperoleh provider
network yang bermutu biasanya diterapkan “credentialing” yaitu suatu metode untuk
mereview kinerja provider, meliputi riwayat kerja, malpraktek, education dan
training, utilisasi pelayanan dan rujukan, tingkat kepuasan dan keluhan pasien, dan
status sertifikasi mutu yang dimiliki (akreditasi).
Dari data yang diperoleh melalui credentialing ini dapat dinilai apakah suatu
provider layak untuk menjadi bagian dari provider network atau tidak. Komponenkomponen dalam credentialing ini yang perlu mendapat perhatian dari manajemen
rumah sakit dan tentunya sama atau menjadi bagian dari area Benchmarking rumah
sakit, agar rumah sakit dapat diikutsertakan sebagai anggota jaringan asuransi
kesehatan. Proses credentialing ini akan diulang (recredentialing) secara periodik,
biasanya setiap 2 (dua) tahun.
Kinerja rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada peserta secara
tidak langsung akan memberi dampak terhadap penilaian konsumen terhadap
perusahaan asuransi kesehatan yang mananggung konsumen tersebut. Perlu juga
disadari bersama bahwa baik perusahaan asuransi kesehatan maupun rumah sakit
keduanya dapat terkena UU no. 8 tahun 1999 tentang “Perlindungan Konsumen”.
Karena sifat kerjasama keduanya, maka hal tersebut harus menjadi perhatian
bersama, untuk tidak saling dirugikan.
Didalam sistem kesehatan secara manged care, perusahaan asuransi dan
pemberi pelayanan kesehatan berada pada posisi yang saling berkaitan dan saling
membutuhka. Perusahaan asuransi memutuhkan provider untuk melayani
pesertanya, dan sebaliknya provider juga membutuhkan perusahaan asuransi
sebagai pasar potensinya. Jadi dalam sistem bisnisnya, keduanya ini mempunyai
bargaining power yang sama kuat, sehingga mekanisme kerjasama yang dirancang
juga harus menggunakan prinsip win-win.
Secara garis bersar faktor penting yang menjadi titik berat perhatian
perusahaan kesehatan terhadap rumah sakit adalah sebagai berikut :
1. Efisiensi.
Sebagai badan/lembaga keuangan perusahaan asuransi memberi perhatian besar
terhadap efisiensi. Efisiensi dalam pelayanan kesehatan ditekankan terhadap
optimalisasi pelayanan/pelayanan sesuai kebutuhan medis, dan menghahindari
overutilisasi. Organisasi, sistem dan prosedur yang diterapkan di Rumah sakit
harus menunjang kerah efisien dan efektifitas.
2. Kesesuaian (appropriateness).
Banyak pelayanan kesehatan yang memberikan efek samping yang negatif pada
pasien. Oleh sebab itu pemberian pelayanan sesuai indikasi medis dan tidak
berlebihan selain berdampak efisiensi juga melindungi pasien dari hal-hal yang
tidak diinginkan, misalnya adanya moral hazard. Penggunaan obat tradisional
perlu menjadi komitmen bersama.
3. Ketersediaan (availability).
Masalah sarana dan prasarana penting untuk menjadi perhatian. Pelayanan yang
tersedia di rumah sakit haruslah lengkap sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
baik secara medis maupun non medis, hal ini akan mempermudah pasien dan
juga menghemat biaya.
4. Waktu (timeliness).
Banyak hal pelayanan kesehatan yang seusai dengan waktu, kasus emergency
memerlukan tindakan yang cepat dan akurat. Waktu tunggu yang lama baik
untuk keperluan administratif maupun untuk tindakan medis, sering menjadi

2002 digitized by USU digital library

7

penyebab keluhan utama pasien. Hal ini sangat berkaitan dengan proses bisnis
dan proses produksi rumah sakit.
5. Kelangsungan Pelayanan (continuity).
Salah satu karakteristik pelayanan kesehatan adalah memerlukan pelayanan
yang berkelanjutan. Sejalan dengan itu, maka rumah sakit harus dapat
menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan secara berkesinmabungan, dengan
pelayanan dan mutu yang terkendali dan senantiasa terus ditingkatkan.
6. Keamanan (safety).
Keamanan pelayan merupakan tuntutan utama dari semua pihak karena
pelayanan kesehatan mengandung resiko yang tidak kecil maka untuk keamanan
pasien, profesionalisme seluruh petugas rumah sakit harus dapat dijamin. Upaya
malpraktek harus dicegah dan upaya peningkatan profesionalisme petugas harus
merupakan komponen pokok dari manajemen rumah sakit.
Bagi perusahaan asuransi itu sendiri, perlu membuat standar-standa terhadap
rumah sakit yang akan diharapkan dapat masuk jaringan dengan membuat
pembobotan terhadap komponen-komponen tersebut diatas. Sedangkan bagi rumah
sakit yang ingin menjadi anggota jaringan asuransi kesehatan, setelah mengetahui
tuntutan asuransi kesehatan tersebut, dalam rangka memenangkan kompetisi,
seyogianya mengambil langkah-langkah untuk Benchmarking dimana komponen
tuntutan asuransi kesehatan tersebut, merupakan item untuk proses Benchmarking
selanjutnya.
Perkembangan selanjutnya, akan terjadi seleksi alamiah terhadap rumah
sakit dimana akan terjadi pengelompokkan rumah sakit sesuai hasil Benchmarking.

2002 digitized by USU digital library

8

PENUTUP.
Dengan meningkatkan biaya pelayanan kesehatan yang makin tidak
terkendali serta mengantisipasi perkembangan industri rumah sakit yang cenderung
mengikuti mekanisme pasar, maka pilihan yang tepat untuk pembiayaan kesehatan
adalah asuransi kesehatan, namun demikian mengingat kondisi ekonomi negara dan
masyarakat, serta keterbatasan sumber daya yang ada, perlu dikembangkan pilihan
asuransi kesehatan dengan suatu pendekatan yang efisien, efektif dan berkualitas
agar dapat menjangkau masyarakat luas.
Untuk itu sudah saatnya dikembangkan asuransi kesehatan nasional dengan
managed care sebagai bentuk operasionalnya. Dengan cakupan asuransi yang akan
semakin luas maka akan diperlukan juga jaringan pelayana (rumah sakit) yang
semakin luas pula.
Tuntutan
terhadap
pelayanan
yang
berkualitas
baik
terhadap
penyelenggaraan asuransi kesehatan maupun penyelenggaraan pelayanan kesehatan
akan semakin meningkat, demikian pula dalam kerjasama bisnisnya, keduanya
mempunyai keterikatan dan ketergantungan yang tinggi, maka keduanya harus
senantiasa meningkatkan permormansinya secara terus meenrus, terlebih lagi dalam
rangka menghadapi pesiang dari luar.
Upaya peningkatan yang berkesinambungan tidak hanya menjadi
tanggungjawab pemberi pelayanan kesehatan saja tetapi juga bagi penyelenggaraan
asuransi. Dan Bechmarking sebagai salah satu metoda untuk peningkatannya perlu
pula dilaksanakan oleh perusahaan asuransi.

2002 digitized by USU digital library

9

DAFTAR PUSTAKA.
1. Mills, Anne & Lucy Gilson, Ekonomi Kesehatan Untuk Negara-negara Sedang
Berkembang. Dian Rakyat, Jakarta 1990.
2. Andari, Orie, Peran Asuransi Kesehatan dalm Benchmarking Rumah Sakit,
Seminar Benchmarking Rumah Sakit, Jakarta 27 Juli 2000.
3. Notoatmodjo Soekidjo, Peran Pelayanan Kesehatan Swasta dalam Menghadapi
Masa Krisis. Suara Pembaruan Daily, 2001.
---

2002 digitized by USU digital library

10